
Hidup Naruto terlalu sederhana untuk dirinya yang merasa luar biasa. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu selalu berkhayal menjadi seorang putri seorang miliuner saat mendapat omelan sang atasan yang seperti tidak ada habisnya.
Namun, bagaimana jika khayalannya itu menjadi nyata?
Peristiwa tidak terduga membuatnya terlempar ke dunia antah berantah dan hebatnya, Naruto bukan hanya putri seorang milyuner, tapi seorang Putri Mahkota Kerajaan Ame. Seorang istri dari pangeran menyebalkan yang secara...
PROLOG - BAB 2
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Pairing : SasuFemNaru
Rated : T+
Warning : Gender switch, OC, OOC, typo (s)
Genre : Crime, ABO, action, family, romance
Moonlight Magic
Prolog
By : Fuyutsuki Hikari
.
.
.
Naruto menatap retakan pasir yang tercipta diantara benteng istana pasirnya. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu mendecih, memicingkan mata, terlihat kesal karena istana pasir yang berhasil dibangunnya selama lebih dari dua jam harus retak karena kesengajaan seorang Danzo.
"Kenapa ekspresimu tidak enak dilihat?" Danzo, pria paruh baya sekaligus bos Naruto di perusahaan tempatnya bekerja masih berdiri menjulang tidak jauh dari tempat wanita itu duduk saat ini. "Kau marah karena aku tidak sengaja menginjak istana pasir jelekmu ini?" Lagi, Danzo menendang sisi kiri istana pasir Naruto hingga runtuh.
Tentu saja aku marah dasar tua Bangka sialan! Apa kau belum tahu siapa aku? Aku bisa membelimu dengan uang ayahku!
"Uzumaki!" Suara keras Danzo berhasil menarik Naruto dari lamunan pendeknya. Wanita itu mengerjap, seperti linglung lalu mendongak, balas menatap lekat atasannya itu. "Kau marah?" tanyanya lagi.
Naruto tidak langsung menjawab. Ia menepuk-nepuk bagian belakang celananya sebelum berdiri tegak dan memasang ekspresi ramah. "Tidak, Pak. Bagaimana bisa saya marah? Bukankah Anda tidak sengaja menendang istana pasir yang saya bangun." Jengkel, ia merasa jengkel luar biasa karena harus berpura-pura ramah di hadapan Danzo. Kenapa aku harus terlahir miskin? Jeritnya di dalam hati.
Danzo mendengkus, suasana hatinya selalu memburuk setiap kali melihat Naruto. Jika bukan kebijakan perusahaan, ia pasti tidak akan mengikutsertakan Naruto serta pada liburan perusahaan kali ini. Sialan, kenapa hasil penjualan produk Naruto harus berada di peringkat kedua semester ini? Batinnya, kesal.
"Kau ini selalu tidak becus bekerja. Saat liburan pun kau masih bisa mengganggu ketenangan orang lain. Sebenarnya manfaatmu apa hidup di dunia ini, Naruto?"
Naruto memasang ekspresi datar.
Danzo menunjuk Naruto, kesal. "Coba kau tanya ke teman-temanmu yang lain, apa aku pernah memarahi mereka semua dengan kata-kata kasar? Tidak, aku tidak melakukannya karena mereka selalu menyelesaikan pekerjaan dengan hasil memuaskan, sedangkan kau ... pekerjaanmu hanya membuatku sakit kepala." Ia menendang sekali lagi. "Kenapa kau membangun benda sialan ini di sini?"
Kenapa kau melewati jalan ini? Garis pantai sangat lebar dan panjang, batin Naruto, menggerutu.
"Kau masih mau bekerja untukku atau tidak?" bentak Danzo, berkacak pinggang. "Jika tidak mau, kau bisa keluar kapan saja!"
Kenapa kau tidak memecatku saja? Kenapa harus aku yang mengundurkan diri? Apa kau tidak mau membayar pesangonku dalam jumlah besar? Naruto hanya bisa bicara di dalam hati. Ia membungkuk dalam. "Maafkan saya, Pak!" Berbalik dengan batinnya, Naruto memutuskan untuk meminta maaf walau ia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini.
"Maaf ... kau selalu meminta maaf, tapi melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Dasar bodoh!" makinya sebelum berjalan pergi.
Naruto sudah sangat sering mendengar makian seperti itu dari bosnya selama ini. Namun, entah kenapa hatinya masih saja terasa sakit saat mendengar makian demi makian itu, dan seperti biasa, Naruto memikirkan alasan kenapa bosnya selalu bersikap kasar padanya? Apa karena aku miskin? Atau karena dirinya sangat mudah untuk ditindas?
Mengembuskan napas panjang, sekali lagi ia menatap istana pasirnya yang telah roboh. "Sama seperti hatiku," gumamnya.
"Naruto?"
Kali ini ia tidak menoleh. Tatapan Naruto masih tertuju ke istana pasir miliknya. Ia masih bergeming saat Sakura berdiri di sampingnya.
"Danzo memarahimu lagi?"
Menoleh, Naruto mengangguk. Bibirnya mengerucut. "Dia yang menendang istana pasirku, tapi aku yang dimaki habis-habisan. Bukankah seharusnya aku yang marah karena dia menghancurkan istana pasir yang kubangun selama berjam-jam?"
"Hei, jangan diambil hati." Sakura menyenggol pelan lengan Naruto yang masih cemberut. "Bukankah sifat Danzo memang seperti itu?" sambungnya. "Kau kenal Kiba, kan?"
Naruto mengangguk. Kedua wanita itu kini berjalan bersisian menyusuri pantai.
"Danzo memakinya hanya karena Kiba lupa membeli tambahan salad untuknya."
"Benarkah?"
Sakura mengangguk. "Dia memang seperti itu, jadi jangan diambil hati."
Perlahan Naruto memutar kepalanya ke kiri, lalu ke kanan dan melepas napas panjang. Stres yang dideritanya selama dua tahun ini membuat tubuh wanita itu sangat kurus. "Andai saja aku terlahir dari keluarga kaya, aku pasti tidak akan bekerja untuk Danzo dan bertemu dengannya." Ia mendesah.
Deburan ombak terdengar bersahutan. Burung camar menukik, masuk ke dalam air laut sebelum kembali terbang membawa hasil buruan di dalam paruh mereka.
Naruto menunduk, menatap kaki telanjangnya yang basah oleh air laut. Keputusan untuk ikut liburan kali ini benar-benar salah. Seharusnya ia memilih untuk tidak ikut serta. Naruto pikir bisa menenangkan diri di tempat ini, tapi dugaannya ternyata meleset.
"Andai saja aku putri seorang milyuner, aku pasti sudah menjadikan Danzo sebagai pembersih sepatuku."
Sakura terkekeh. Ditepuknya bahu Naruto, pelan. "Ingat kita bertahan bekerja untuk Danzo karena miskin dan kurang berpendidikan," tukas Sakura, mengingatkan. "Saat ini sangat sulit untuk mencari pekerjaan, jadi bersabarlah. Jika kau sudah mendapatkan pekerjaan lebih baik, aku akan mendukungmu untuk keluar dari perusahaan ini."
Naruto tidak menjawab. Ia memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana pendek. Menatap langit di kejauhan, ia bergumam, "Aku akan pergi jalan-jalan sebentar."
"Jalan-jalan ke mana?" tanya Sakura mengikuti arah pandangan Naruto. "Sebentar lagi langit gelap, dan apa kau lihat awan hitam itu?" Naruto mengikuti arah yang ditunjuk oleh telunjuk Sakura. "Sebentar lagi pasti turun hujan lebat. Sebaiknya kita kembali saja ke hotel. Besok aku akan menemanimu jalan-jalan."
"Masalahnya saat ini aku tidak mau bertemu Danzo," ujar Naruto mengendikkan bahu, ringan. "Aku tidak ingin makan malam bersamanya. Kau jangan khawatir, jika turun hujan aku akan mencari tempat aman untuk berlindung. Bukankah daerah di sekitar pantai sangat ramai?"
Sakura terlihat tidak yakin. Sekali lagi ia menatap awan mendung yang bergerak semakin mendekat. Di satu sisi Sakura tahu jika Naruto butuh waktu untuk sendiri, tapi di sisi lain ia khawatir jika harus meninggalkannya seorang diri.
"Aku pergi." Ucapan Naruto membuat Sakura mengerjap kaget. "Jangan khawatir, aku sudah dewasa. Sebelum jam sembilan malam aku pasti sudah kembali," janji Naruto. Ia melambaikan tangan sebelum membalikkan badan dan berjalan menjauh meninggalkan Sakura yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan pasrah.
.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam saat hujan reda. Naruto bernapas lega. Ia mendongakkan kepala, menatap langit gelap tanpa bintang di kejauhan. Hampir dua jam ia duduk di dalam halte bus di sisi hutan, menunggu hujan yang akhirnya reda.
Tubuhnya mengigil menahan dingin. Pakaian pendek yang dikenakannya tidak cukup membantu menghangatkan atubuhnya saat hujan.
"Seharusnya aku mendengarkan ucapan Sakura tadi," sesalnya.
Naruto kembali mendongak, menatap heran cahaya bulan yang terlihat tidak biasa. "Pasti hanya imaginasiku saja," gumamnya, terus berjalan.
Memeluk tubuhnya sendiri, ia menyusuri jalan untuk kembali ke hotel. Hawa dingin membuatnya semakin menggigil. Suasana gelap di sekelilingnya memaksa Naruto mengeluarkan telepon genggamnya untuk menyalakan senter.
Sebenarnya Naruto merasa heran karena tidak bisa mendapatkan sinyal pada telepon genggamnya di tempat ini. Oh, ayolah, ia merasa berada di antah berantah.
Tuhan, kenapa perasaannya begitu gelisah?
Naruto memeluk tubuhnya sendiri dengan satu tangan. Ia baru saja menengok ke belakang saat mendengar suara decitan ban yang terdengar sangat dekat. Naruto menjerit, tapi semuanya sudah terlambat. Mobil sedan berwarna hitam itu melaju tidak terkendali ke arahnya, begitu cepat dan menghantam tubuh Naruto dengan keras.
"Apa dia masih hidup?"
Telinga Naruto samar mendengar suara seorang pria berbicara.
"Bantu aku melempar tubuhnya ke jurang," tukas suara yang sama.
Naruto ingin berteriak. Ia ingin memohon untuk tetap diizinkan hidup, tapi mulutnya tidak sanggup untuk bicara. Rasa sakit dahsyat dirasakan oleh Naruto sebelum akhirnya dunianya menjadi gelap sepenuhnya.
.
.
.
Kedua mata itu terbuka lebar. Dengan sangat rakus Naruto meraup oksigen untuk mengisi paru-parunya. Napasnya memburu, kepalanya terasa sakit. Naruto terdiam beberapa saat, berusaha menetralkan kembali napasnya yang tidak terkendali.
Menelan dengan susah payah, ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tunggu, ada yang aneh, pikirnya. Kenapa telapak tangannya terasa sangat halus?
Naruto membuka mata lebar-lebar. Menunduk, mengamati selimut brokat bersulam indah yang menyelimuti sebagian tubuhnya. Aroma bunga lili tercium menyengat. "Apa-apaan ini?" gumamnya, menatap ngeri pakaian tidur yang dikenakannya.
Kenapa kasurnya terasa sangat empuk? Ia bicara di dalam hati. Seingatnya kasur hotel yang ditempatinya tidak seempuk ini.
"Kupikir kau akan mati."
"Tentu saja aku juga berpikir akan mati jika ditabrak oleh mobil sialan sekeras itu." Naruto mendecih, memejamkan mata sembari memijat keningnya yang berdenyut sakit.
"Sejak kapan kau bicara sekasar itu?"
"Sejak kapan kau peduli?" Naruto balik bertanya. Merasa kesal, ia menoleh ke arah sumber suara yang berhasil membuatnya terganggu. "Kau siapa?" tanyanya setelah berhasil menyembuhkan diri dari keterkejutan. Naruto menatap sosok pria yang berdiri beberapa meter darinya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pakaian yang dikenakan oleh pria itu seperti berasal dari abad ke lima belas, pikirnya.
"Kenapa pakaianmu aneh sekali?" cibir Naruto, merinding ngeri.
"Kecelakaan itu sepertinya membuat pikiranmu terganggu, Putri Mahkota."
Tunggu apa maksudnya putri mahkota? Siapa putri mahkota. Naruto menekuk kening dalam. "Siapa putri mahkota?"
"Kau, tentu saja kau."
Jawaban itu membuat Naruto tertawa keras hingga perutnya terasa sakit. Ia menepuk-nepuk sisi ranjang, lalu menunjuk pria di hadapannya. "Kau pasti sudah gila. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kalian sedang mengerjaiku? Ya Tuhan, kau benar-benar lucu."
"Kau benar-benar tidak sopan," desis Sasuke, menyipitkan mata. "Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu," sambungnya. Ia menepukkan tangan sebanyak dua kali dan tidak lama berselang lima orang pelayan wanita masuk ke dalam kamar dengan kepala menunduk dalam.
Tawa Naruto terhenti seketika. Ia merasa sangat bingung. Wanita itu tidak tahu dimana dia berada saat ini?
Apakah dia tengah bermimpi saat ini?
"Setelah dokter kerajaan selesai memeriksa putri mahkota, bantu dia bersiap dan pastikan wanita itu berada di tempat pesta tepat waktu!" Ucapan Sasuke menarik Naruto dari lamunan pendeknya. Pria itu memberi perintah dengan suara tegas, terkendali. Sekali lagi tatapan tajamnya diarahkan kepada Naruto yang masih terlihat bingung, tidak mengerti akan apa yang tengah terjadi.
"Aku harap kau tidak melakukan hal konyol seperti tadi hanya untuk menarik perhatianku." Naruto bisa menangkap nada sinis dalam ucapan pria di hadapannya. "Jangan membuatku repot!"
"Siapa yang mau membuatmu repot?" Naruto mengangkat dagu, tinggi. Entah darimana keberaniannya itu berasal. Sudah cukup ia ditindas Danzo selama bertahun-tahun. Naruto tidak akan mengizinkan pria asing ini untuk menindasnya juga. "Jangan terlalu percaya diri. Kenapa aku harus menarik perhatianmu. Membuang-buang waktu!" balasnya membuat tensi udara di dalam ruangan itu meningkat drastis.
Para pelayan tidak berani berkomentar. Mereka menundukkan kepala dalam, sementara kedua tuan saling memandang dengan penuh kebencian.
.
.
.
Bab 1. Siapa Aku?
Naruto tidak mengatakan apa pun saat seorang dokter paruh baya memasuki kamarnya lalu memeriksa kondisi kesehatan wanita itu dengan saksama. Melihat dengan ujung mata, ia mengamati pergerakan dokter paruh baya itu yang kini bicara dengan seorang wanita berpakaian serba putih yang ditebak Naruto sebagai seorang suster.
"Putri Mahkota, berapa umur Anda?" Dokter itu bertanya dengan sikap sangat sopan. Kedua tangannya diletakkan di depan tubuh, mata tajam pria itu mengamati perubahan ekspresi yang ditanya.
"Dua puluh tujuh tahun." Naruto melipat kedua tangannya di depan dada.
Keheningan meraja, menguasai ruangan luas nan nyaman itu untuk beberapa saat. Beberapa orang pelayan yang tengah menyiapkan pakaian serta perhiasan putri mahkota sejenak menghentikan kegiatan mereka dan menoleh, menatap ke arah ranjang besar bertiang empat.
"Siapa nama Anda?" Dokter itu kembali bertanya dengan nada sama.
"Uzumaki Naruto."
"Dari mana Anda berasal?"
Naruto berdecak, memutar kedua bola matanya, jengah. "Apa aku harus menjawab semua pertanyaan omong kosong itu?" keluhnya, terdengar tidak sabar.
"Tentu saja kau harus menjawabnya." Sasuke menyambar dari arah pintu masuk. Pria itu menyipitkan kedua mata saat mendengar dengkusan keras Naruto. "Kami harus tahu apa ada masalah dengan otak kecilmu itu?"
Menggertakkan gigi, Naruto akhirnya memilih untuk mengalah. Dihirupnya oksigen dalam-dalam. Naruto berusaha menenangkan emosinya yang sudah berada di ujung tanduk dan siap meledak. "Tokyo," ucapnya kemudian. "Aku berasal dari Tokyo." Tubuh Naruto tersentak kaget saat seorang pelayan wanita berlari menghampirinya lalu meremas tangan wanita itu dengan lembut.
Sang pelayan bernama Tayuya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca saat bicara, "Putri Mahkota, Anda berasal dari Kerajaan Konoha. Nenek kandung Anda merupakan Yang Mulia Ratu Mito Uzumaki. Apa Anda tidak mengingatnya?"
Mito? Siapa Mito? Naruto bicara di dalam hati. Keningnya ditekuk dalam. Ia jelas masih mengingat siapa dirinya dan dari mana dia berasal. Yang aneh justru orang-orang di dalam ruangan ini. Mereka mengenakan pakaian aneh dengan model Victorian.
Naruto mengembuskan napas panjang sebelum bicara. "Namaku Namikaze Naruto, umur dua puluh tujuh tahun dan berasal dari Tokyo," terangnya. Kedua tangan wanita itu diangkat ke udara. "Aku masih ingat betul siapa diriku," tegasnya.
"Apa kau mengenalku?"
Memasang ekspresi galak, Naruto menjawab ketus, "Aku tidak mengenal pria sombong sepertimu."
"Yang Mulia ...." Dokter Jiraiya langsung menahan lengan kanan Sasuke yang terlihat marah dan hendak menerjang ke sisi ranjang. "Bolehkah hamba meminta waktu Anda?" tanyanya.
Sasuke tidak langsung menjawab. Pandangan pria itu masih tertuju kepada Naruto yang balas menatapnya dengan sikap menantang. Ia tidak mengerti kenapa sikap Naruto bisa berubah seratus delapan puluh derajat?
Menganggukkan kepala pelan, Sasuke berjalan terlebih dahulu masuk ke ruang baca milik Naruto yang berada di sisi kiri kamarnya. Keduanya berdiri berhadapan. Sasuke terlihat tidak sabar sementara Jiraiya berusaha bersikap setenang mungkin.
"Yang Mulia, sepertinya benturan keras itu membuat ingatan Putri Mahkota sedikit terganggu."
"Dia gila?"
Dengan cepat Jiraiya menggelengkan kepala lalu mengangkat kedua tangannya tinggi hingga sebatas dada. "Maksud hamba bukan seperti itu."
"Akan lebih mudah jika seperti itu," balas Sasuke. Matanya berkilat licik. "Dia akan lebih mudah disingkirkan jika gila," ujarnya. "Apa kau mau membantuku?" Sasuke menaikkan dagu tinggi, menatap pria yang lebih pendek beberapa centi darinya itu dengan tatapan penuh intimidasi. "Bantu aku menggulingkannya dari posisi putri mahkota!"
.
.
.
Keheningan kembali datang setelah kepergian Sasuke dan dokter Jiraiya. Wanita itu melirik pelayan yang terlihat tengah menahan tangis di sisi ranjangnya. Berdecak pelan, Naruto membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Kalian keluar!" Kalimat itu ditujukan Naruto untuk empat orang pelayan wanita yang ada di ruangannya. "Kau ..." tunjuknya ke arah Tayuya. "Tetap di sini!"
"Putri Mahkota, kami harus membantu Anda untuk bersiap." Seorang pelayan menjawab dengan suara sopan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Gaun berwarna biru muda yang ia kenakan bergerak pelan setiap kali dirinya berjalan mendekat menuju ranjang.
Naruto menggelengkan kepala. Telapak tangannya diayunkan anggun di depan wajah. Ah, ia merasa sangat beruntung karena sering membaca dan menonton drama kerajaan sehingga bisa meniru beberapa gerakan tubuh para kaum bangsawan. "Aku akan memanggil kalian lagi setelah selesai bicara dengannya."
Keempat pelayan pun tidak berani membantah. Keempatnya segera undur diri setelah memberi salam hormat.
.
.
.
Naruto menatap lekat pelayan wanita yang berdiri di hadapannya, lekat. Pelayan wanita itu meremas jemari tangannya, cemas. Dari pergerakan tubuhnya, Naruto bisa menebak jika pelayan wanita itu tengah diselimuti gugup.
Menempatkan kedua tangan di atas ranjang empuk, Naruto mengangkat wajah. Suara wanita itu terdengar berwibawa saat bertanya. "Jadi, siapa namamu?" Ia mengerjap. Berusaha meyakinkan diri jika suara yang terdengar penuh wibawa itu benar miliknya. Berdeham pelan, Naruto bertanya lagi, "Kau mengenalku dengan baik, bukan?"
Tayuya jatuh berlutut. Air matanya jatuh. Pertanyaan yang diajukan oleh Naruto membuat kesedihannya tidak bisa dibendung. "Putri Mahkota, Anda benar-benar lupa kepadaku?" Tangan gemetar wanita itu meremas pelan gaun tidur berenda warna putih yang dikenakan oleh Naruto. Air mata membasahi kedua pipinya. "Hamba Tayuya, pelayan yang dikirim ke Ame untuk melayani Anda lima tahun lalu."
Menekuk kening dalam, Naruto mengawasi pahatan wajah Tayuya. Wanita yang kini berlutut di hadapannya terlihat masih sangat muda. "Berapa usiamu?"
Mengelap kasar air mata dengan punggung tangan, suara tercekat Tayuya menjawab, "Dua puluh tahun."
"Semuda itu?"
Tayuya duduk dengan punggung terasa kaku. Ia masih terisak pelan saat bicara. "Hamba sudah mengabdi untuk Kerajaan Konoha sejak berusia dua belas tahun."
"Eksploitasi anak," gumam Naruto, tidak jelas. Ia mengembuskan napas panjang. Sama seperti yang pernah dibacanya di novel-novel kerajaan, pihak kerajaan dan keluarga bangsawan sudah terbiasa mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Tidak sedikit dari mereka yang dibeli dari pasar budak atau sengaja dikirim oleh keluarga miskin mereka untuk bekerja demi mendapatkan beberapa peni.
Naruto terdiam sejenak untuk mengambil napas. Sebuah mantel berwarna putih gading terpasang asal di bahunya. Ia melipat tangan di depan dada. Mata wanita itu menyapu ke segala penjuru. Cahaya matahari yang masuk melewati jendela kaca Prancis membuat suasana di dalam ruangan terasa seperti di dalam negeri dongeng.
Aku memang sedang berada di negeri dongeng, batin Naruto.
"Apa kau bisa menjelaskan kepadaku apa yang terjadi hingga aku seperti ini?" Naruto menaik-turunkan telapak tangannya di depan tubuh. Dia merasa perlu tahu alasannya menjadi seperti sekarang ini. Naruto merasa perlu tahu apakah dirinya sedang bermimpi atau memang terlempar ke dimensi lain?
Tayuya terlihat ragu sebelum akhirnya menjawab, "Kemarin sore Anda ditemukan tidak sadarkan diri di taman belakang istana utama," terangnya. "Kami menemukan Yang Mulia basah kuyup dan ada luka di kening kiri Anda," sambungnya.
Jemari tangan Naruto diletakkan di kening kirinya. Ia sedikit mengernyit saat bagian yang disentuhnya terasa sakit. "Lalu apa yang kau tahu mengenai diriku?"
"Hamba harus memulai dari mana?" Tayuya balik bertanya. Jemari tangannya saling bertaut di atas pangkuan.
"Dari mana asalku?" Naruto merubah posisi duduknya dengan gerakan anggun. Sekali lagi ia merasa takjub karena tubuhnya secara otomatis bergerak gemulai, terasa ringan. "Siapa aku dan keluargaku?"
Tayuya duduk bersimpuh di atas karpet tebal. "Anda merupakan cucu dari Yang Mulia Ratu Uzumaki Mito." Ia memulai. Kepalanya menunduk hingga tidak menyadari jika Naruto menaikkan satu alis tinggi saat pelayan itu menyebutkan kembali marga keluarga Mito. "Anda berasal dari Kerajaan Konoha dan datang ke Kerajaan Ame lebih dari tiga belas tahun yang lalu untuk menikah dengan Putra Mahkota Sasuke."
"Berapa usiaku?"
"Lapor Yang Mulia, usia Anda tahun ini tiga puluh tahun." Jawaban Tayuya membuat mulut Naruto terbuka lebar. Di dunia ini ternyata dia lebih tua tiga tahun dari usia sebenarnya. "Usia pernikahan Anda memasuki tahun ketiga belas," sambung Tayuya. Nada bicaranya terdengar lebih terkendali walau sesekali isakan itu masih meluncur dari tenggorokannya. "Putra Mahkota pernah menikah sebelumnya, tapi bercerai. Beliau sudah memiliki seorang putri sebelum menikah dengan Anda."
Naruto menaikkan satu alisnya tinggi. "Dia sudah memiliki anak." Telapak tangannya dikibaskan, anggun di depan wajah.
"Anda pun sudah memiliki anak."
Naruto mengerjap. Pandangannya segera beralih kepada Tayuya. Naruto menunjuk dirinya sendiri. "Aku sudah memiliki anak?" tanyanya, seperti ingin meyakinkan diri. Anggukan kepala Tayuya berhasil membuat Naruto bertambah syok. "Berapa usianya sekarang? Anakku laki-laki atau perempuan? Dia anakku dengan pangeranmu itu?" Pertanyaan itu ditanyakan secara beruntun. Naruto tidak bisa membayangkan dirinya bercinta dengan putra mahkota menyebalkan itu.
"Pangeran Menma sudah berusia sepuluh tahun," terang Tayuya.
Ah, jadi anakku seorang laki-laki. Penerus kerajaan? Pikirnya. Jika begitu, posisiku di kerajaan ini sangatlah kuat.
"Benar, Pangeran Menma merupakan putra Anda bersama Pangeran Sasuke." Tayuya melanjutkan ceritanya dengan hati-hati. Di luar, matahari sudah berada di puncak kepala. "Cucu kerajaan saat ini tinggal bersama ratu dan raja. Sementara Putri Sarada tinggal di paviliun pribadinya yang diawasi secara langsung oleh ratu serta Lady Hinata."
"Hinata?" beo Naruto. "Siapa dia?"
"Beliau merupakan putri sulung dari Perdana Menteri Hyuuga."
"Putri seorang perdana menteri bisa mengawasi seorang cucu kerajaan?" Mata Naruto disipitkan. "Terdengar aneh."
Tayuya tidak langsung menjawab. Ia terlihat meragu saat mengangkat wajah dan menatap singkat sang tuan.
Naruto mencondongkan tubuh ke arah Tayuya. "Berapa usia Sarada?"
"Lima belas tahun," jawab Tayuya, setengah berbisik, tapi masih bisa didengar dengan baik oleh Naruto.
"Kenapa pengurusan keduanya tidak dipercayakan kepadaku?" Telapak tangan lentik itu berada di dadanya yang sedikit terbuka. Ekspresi Naruto terlihat anggun sekaligus angkuh secara bersamaan. "Apakah Sarada tidak menyukaiku?" tanyanya. Hubungan seorang anak dan ibu tiri biasanya tidak terlalu baik.
"Itu ... itu karena—" Tayuya menelan dengan susah payah. Ia bingung apa harus mengatakan alasan sebenarnya kepada sang tuan. "Hal itu karena pihak kerajaan tidak mempercayai Anda untuk merawat keduanya." Tayuya terdiam, merasa takut jika sang tuan akan murka mendengar jawabannya. Namun, yang ditakutkannya tidak terjadi. Naruto justru setuju dengan alasan pihak kerajaan. Dia memang tidak akan mampu mengurus dua orang anak karena tidak memiliki pengalaman.
Sepertinya Tuhan berada di sisiku. Naruto mengulum senyum puas. Merawat seorang putri berusia remaja dan putra berusia sepuluh tahun sangatlah tidak mudah. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya di tempat ini. Naruto akan memanfaatkannya dengan sangat baik. "Memang baiknya seperti itu."
Tayuya mengangkat wajah. "Putri Mahkota, tapi hal itu sangat berbahaya?" Ia mengambil napas dalam sebelum kembali bicara. "Ada banyak pihak yang ingin menggulingkan Anda saat ini. Mereka berpikir Anda tidak berguna. Sudah menjadi rahasia umum jika kalangan pejabat menginginkan Lady Hinata untuk menjadi putri mahkota."
"Benarkah?" cibir Naruto, menyipitkan mata. "Putra mahkotamu itu bisa langsung menikahi Hinata jika mau. Kenapa dia tidak melakukannya? Apa karena dia mencintaiku?" Pertanyaan itu terdengar sangat percaya diri.
Lagi, Tayuya terlihat serba salah. "Putra mahkota tidak pernah menyukai Anda, Yang Mulia. Beliau menikahi Anda atas permintaan Raja Fugaku karena adanya perjanjian antar dua kerajaan," terangnya. "Adapun alasan putra mahkota tidak menikahi Lady Hinata tidak lain kaena undang undang kerajaan melarang anggota kerajaan untuk memiliki lebih dari satu istri."
"Apa karena perjanjian itu putra mahkota menceraikan istri pertamanya?"
Tayuya menggelengkan kepala. "Putri Sakura digulingkan dari posisinya karena tidak bisa memberikan seorang putra," terangnya. "Mereka berpikir Lady Hinata yang akan naik menggantikannya, tapi raja memiliki rencana lain. Mereka harus menelan pil pahit karena Anda yang menduduki posisi tersebut."
Sepertinya akan sangat sulit untuk bertahan di tempat ini, pikir Naruto. Ia tersenyum tipis, jika selama ini dirinya mampu menghadapi Danzo, Naruto yakin bisa mengatasi para pejabat yang tidak menyukainya.
Ah, darimana dia harus memulai?
"Di tempat ini apa ada orang yang menyukaiku?"
Tayuya mengerjap. "Sepertinya tidak ada, Yang Mulia," jawabnya membuat Naruto mengusap wajah, sebal.
.
.
.
Bab 2. Pesta Dansa
.
.
.
Wanita itu beberapakali mengerjapkan mata saat menatap pantulan dirinya pada kaca cermin besar di sisi kiri ruangan. Naruto terkesiap, membawa satu telapak tangannya ke depan bibir yang setengah terbuka. Gaun tidur tipis yang dikenakannya saat ini membuat Naruto bisa melihat jelas lekukan tubuhnya yang berisi.
Kedua telapak tangannya bergerak, dibawa ke bawah payudara penuhnya yang padat. Sekali lagi ia mengerjap, mengabaikan tatapan bingung Tayuya dan enam orang pelayan muda di belakang punggungnya. Tidak seperti tubuh aslinya, tubuh Naruto saat ini berisi di bagian-bagian penting. Namun, walau begitu, lengan dan kakinya terlihat kurus dan halus.
"Apa aku benar-benar harus menghadiri pesta dansa istana?" Naruto bertanya tanpa melepaskan pandangan dari pantulan dirinya di kaca. Ia memutar pelan tubuhnya, ke kanan lalu ke kiri. Tersenyum seperti orang gila, Naruto merasa puas melihat lekuk tubuhnya saat ini.
"Anda harus menghadirinya Yang Mulia. Akan menjadi masalah baru jika Anda tidak datang." Tayuya membantu sang tuan membuka pakaian tidurnya. Namun, dengan pelan Naruto menepis lengan kurus sang pelayan dari tangannya.
Naruto membalikkan badan. Pandangannya kini tertuju ke gaun berwarna hijau zamrud yang berada di tangan seorang pelayan. Gaun itu terlihat berat, pikirnya.
Berjalan cepat, ia menghampiri pelayan wanita itu lalu menyentuh bahan gaun dengan ujung telunjuk. "Potongan gaun ini terlalu kaku," ucapnya, menaikkan satu alis tinggi. "Dengan postur tubuhku ini, akan sangat sia-sia jika aku mengenakan gaun tertutup itu," tambahnya,
Naruto berbalik, menatap Tayuya yang masih memasang ekspresi bingung. Keheningan menguasai ruangan untuk beberapa saat. Aroma bunga lili tercium kuat di udara. "Aku memerlukan gaun yang bisa menonjolkan payudaraku ini." Ia menyeringai, meletakkan kedua telapak tangannya di bawah payudara sembari menatap Tayuya penuh makna.
"Jika mereka menginginkanku datang, maka aku harus datang dengan menakjubkan." Naruto terkekeh pelan. Ia masih merasa tidak percaya karena bisa mengatakan hal itu. Tuhan, akhirnya ia bisa merasakan perasaan puas karena bisa menggenggam dunia di dalam tangannya.
Memutar badan dengan gerakan anggun, ia pun bertanya, "Aku ingin melihat koleksi gaun-gaunku."
.
.
.
Ekspektasi Naruto sepertinya terlalu tinggi hingga harus menelan kecewa saat melihat koleksi gaunnya. Ada ratusan gaun yang tergantung di dalam ruangan khusus di sisi kanan kamarnya, dan jika boleh jujur, model gaun-gaun itu terlalu kuno.
"Selama ini aku mengenakan gaun-gaun membosankan itu?" tanya Naruto, menunjuk puluhan gaun yang menggantung di hadapannya. "Apa aku tidak memiliki gaun lain?"
Tayuya berjalan mendekat. Telapak tangannya disimpan di depan perut saat bicara. "Lapor Yang Mulia, Anda tidak terlalu menyukai potongan gaun yang terbuka, karena itulah penjahit istana membuatkan Anda gaun-gaun dengan model tertutup."
"Tapi gaun-gaun ini terlihat membosankan," keluh Naruto. Ia berjalan pelan, berusaha mencari gaun yang disukainya. "Ambilkan gaun itu untukku!" Naruto menggunakan nada perintah saat bicara. Ujung lentik jemarinya menunjuk gaun yang ia maksud.
Seorang pelayan wanita berjalan tergopoh-gopoh untuk mengambilkan gaun yang dimaksud. Menundukkan kepala, pelayan itu menyodorkan gaun ke hadapan Naruto.
"Aku ingin renda bagian dada dibuka." Naruto menatap Tayuya saat bicara. "Gaun ini sangat indah, tapi menyembunyikan aset berhargaku. Kau tahu?"
Naruto menjeda, menaikkan satu alis tinggi saat menatap Tayuya yang balas menatap bingung. "Payudaraku," sambung Naruto, penuh penekanan. Ia berdecak pelan lalu kembali mengalihkan pandangan ke gaun sutra putih dengan bordiran benang emas serta aksen biru muda yang indah.
"Bordiran benang emas ini sangat indah." Naruto menyentuh lembut bagian dada gaun itu, tanpa berkedip. Namun, renda hingga leher ini mengganggu," tukasnya. "Apa kita masih memiliki waktu untuk merubah gaunku ini?"
Tayuya tidak langsung menjawab. "Masih ada dua jam sebelum pesta dansa dimulai. Hamba dapat mengusahakan untuk merubah gaun Anda ini." Ia berjalan, mengambil gaun itu dari tangan pelayan lain lalu mendekapnya. "Namun, waktunya sangat sempit untuk Anda bersiap. Biasanya Anda memerlukan waktu selama tiga jam untuk berias."
Penjelasan Tayuya membuat Naruto memiringkan kepala ke satu sisi. Ekspresi wanita itu tidak terbaca. "Tiga jam? Aku memerlukan waktu tiga jam untuk bersiap?" Anggukan kepala Tayuya membuatnya mual. "Apa saja yang kulakukan hingga memerlukan waktu sebanyak itu untuk bersiap?" tanyanya. "Kau kerjakan tugasmu sementara aku mandi dan berias. Aku akan pastikan kepada kalian akan siap dalam waktu satu jam," tukasnya penuh penegasan.
"Tumpukan apa itu?" Naruto bertanya saat keluar dari ruang penyimpanan gaun dan melihat dua buah keranjang kayu berisi tumpukan kain. Ia berdiri tegak saat pelayan membantunya membuka gaun tidur, sementara matanya masih menatap lekat keranjang-keranjang itu.
"Lapor Yang Mulia, itu handuk yang akan Anda gunakan untuk dan setelah mandi."
Mulut Naruto terbuka lebar saat pandangan matanya bertemu dengan pelayan wanita yang menjawab pertanyaannya tadi. "Berapa jumlah handuk-handuk itu?" Ia menujuk ke arah keranjang kayu.
"Jumlahnya selalu sama, Yang Mulia. Handuk-handuk itu selalu berjumlah delapan puluh delapan buah."
"Nyaris menyaingi Dowager Cixi," gumamnya tidak jelas. Ia melangkah masuk ke dalam bak mandi, menenggelamkan sebagian tubuhnya di sana. Naruto segera berkelit saat dua orang pelayan berniat mencuci rambut pirang panjangnya saat ini. "Aku tidak memiliki waktu untuk mengeringkan rambut, jadi mari kita lewati proses mencuci rambut."
Naruto mengangguk puas saat pelayan itu mematuhi perintahnya. Sekejap ia memejamkan mata. Ah, kehidupan keduanya benar-benar menakjubkan. Naruto tidak akan keberatan jika semua ini ternyata hanya mimpi. Setidaknya ia pernah merasakan kebahagiaan ini.
"Selain itu, aku tidak memerlukan handuk sebanyak itu setiap kali mandi. Siapkan saja sepuluh handuk setiap harinya." Naruto melirik lewat ujung matanya, menatap singkat perubahan ekspresi pelayan wanita yang tengah membantunya mandi saat ini. Mereka terlihat sangat bingung.
Tidak mengatakan apa pun, para pelayan itu menganggukkan kepala. Satu handuk besar dibentangkan setelah Naruto selesai mandi lalu digunakan untuk membungkus tubuhnya.
Sekali lagi ia merasa takjub karena tubuh wanita yang ditempatinya ini berbanding terbalik dengan tubuh aslinya di abad dua puluh satu. Mungkin karena wanita ini pernah melahirkan? Pikirnya, tidak mau ambil pusing.
Berjalan menuju meja rias, Naruto berdiri tegak, mengizinkan para pelayan untuk mengeringkan tubunya lalu membantu Naruto mengenakan pakaian dalam berenda yang tercium harum lili.
Naruto mengernyit, harum pakaian dalamnya terlalu menyengat. "Apa aku bisa mengganti parfum untuk pakaianku?" Ia bisa merasakan gerakan di sekitarnya berhenti untuk beberapa saat.
"Aroma apa yang Anda inginkan, Yang Mulia?" tanya seorang pelayan wanita yang berdiri di belakang punggung Naruto. Sekuat tenaga wanita itu menarik tali korset sang tuan hingga Naruto memekik kaget. "Maaf Yang Mulia, tapi korset ini akan membuat pinggang Anda terlihat lebih ramping."
Persetan dengan pinggang ramping. Naruto hanya ingin bernapas lega saat ini. Ditepuk-tepuknya tangan sang pelayan saat berkata, "Kendorkan sedikit, aku kesulitan bernapas." Naruto mengembuskan napas lega setelah korsetnya sedikit dilonggarkan. Tidak ada masalah dengan ukuran pinggangnya, kenapa harus terlihat sangat kecil?
Oh, Naruto mengingat sesuatu. Di zaman Victoria, para wanita berlomba-lomba untuk mengecilkan pinggang mereka hingga tidak keberatan mengenakan korset sangat ketat demi untuk itu. Pemakaian korset yang terlalu ketat dapat menimbulkan gangguan kesehatan di masa depan, dan Naruto tidak menginginkan hal itu.
"Hamba sudah selesai melepas renda di leher gaun Anda, Yang Mulia." Tayuya berjalan cepat membawa gaun itu di tangan. Ia memperlihatkan hasil karyanya yang terlihat sangat rapi di hadapan sang tuan.
"Masih sedikit tertutup, tapi jauh lebih baik." Naruto menganggukkan kepala, puas. "Terima kasih!" ucapnya. Tayuya mengerjapkan mata. Mulutnya yang terbuka langsung ditutupnya kembali. Ia sangat terkejut karena sang tuan mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Sudah menjadi tugas hamba, Yang Mulia." Tayuya akhirnya mampu bicara setelah suara yang tercekat di tenggorokannya kembali. Dengan cekatan, Tayuya dibantu oleh dua orang pelayan lain membantu Naruto mengenakan gaunnya. Mereka tersenyum lembut saat melihat gaun begitu pas membalut tubuh sang tuan.
"Apa aku memiliki perhiasan yang cocok untuk gaun ini?"
Tayuya menganggukkan kepala. "Tentu saja Anda memilikinya, Yang Mulia."
.
.
.
Ada yang berbeda di halaman istana utama, malam ini. puluhan kereta kuda dengan logo keluarga bangsawan berjajar rapi di sepanjang jalan menuju halaman masuk istana. Kereta-kereta itu bergerak rapi, membawa sang pemilik masuk ke halaman istana utama.
Ada lebih dari sepuluh pelayan pria berjaga di halaman saat ini. Mereka menyambut kedatangan para tamu dan mengantarnya hingga pintu masuk istana untuk diperiksa dan diumumkan kedatangannya.
Jam dinding besar berdetak kencang. Jarum pendek jam masih berada di pukul enam sore. Raja dan ratu belum memasuki aula pesta saat ini, oleh karena itu sebagian besar tamu undangan memilih berada di taman sayap kanan aula untuk berbincang.
Sudah menjadi rahasia umum jika para bangsawan seringkali melakukan hal-hal tercela saat pesta-pesta kerajaan atau para bangsawan berlangsung. Perselingkuhan seringkali terjadi, dan tidak jarang menimbulkan keributan hingga yang berujung duel.
Di tempat lain, Naruto berjalan didampingi oleh Tayuya beserta empat pelayan wanitanya menuju aula pesta. Penampilan wanita itu terlihat sangat menakjubkan, malam ini. Sorot mata yang biasanya terlihat ringkih dan lemah kini terlihat angkuh, penuh percaya diri. Hei, tidak akan ada yang bisa menghentikan Naruto untuk menikmati kehidupannya saat ini.
Lorong istana terasa sangat panjang. Lampu-lampu gamtung berpendar temaram. Beberapa tamu yang berada di sana segera membungkukkan badan saat melihat kedatangan sang putri mahkota.
"Arah jam sebelas, dia Perdana Menteri Hyuuga." Tayuya mendekatkan diri ke telinga tuannya saat bicara. Alunan musik klasih yang mengalun dari dalam aula sudah terdengar hingga ke tempat mereka berjalan saat ini.
Naruto tidak bereaksi. Wanita itu mengangkat dagu tinggi, terlihat angkuh dan sulit digapai.
"Putri Mahkota," sapa Hiashi sangat sopan. Pria itu memberi salam hormat lalu mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Naruto yang terulur anggun di hadapannya. "Hamba mendengar Anda mengalami kecelakaan." Kalimat ini diucapkan dengan nada penuh simpati. Mata tajam pria itu mengamati penampilan Naruto dengan saksama.
Naruto mempertahankan air mukanya dengan lihai. Ekspresinya tidak terbaca saat pandangan wanita itu bersirobok dengan Hiashi. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja." Naruto menaikkan satu alis tinggi. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?"
Bohong jika dikatakan Hiashi tidak terkejut melihat perubahan sikap putri mahkota. Dari gaya berpakaian dan bicara saja wanita di hadapannya jelas sangat berbeda dengan putri mahkota yang dikenalnya selama ini.
Hiashi menggelengkan kepala. "Anda terlihat sangat luar biasa," pujinya.
"Terima kasih, Perdana Menteri. Aku sama sekali tidak menduga akan mendengar pujian itu dari mulutmu." Naruto tersenyum tipis.
"Kecelakaan itu sepertinya membuat Anda menjadi pandai bicara, Putri Mahkota."
Naruto memicingkan mata. Dagunya semakin diangkat naik. Beberapa tamu undangan yang berada di sekitar mereka sesekali berbisik, terlihat ingin tahu pembicaraan putri mahkota dan perdana menteri saat ini. Ketegangan sangat terasa. Naruto memiringkan kepala ke satu sisi sebelum bicara, "Apa maksudmu Perdana Menteri?"
Hiashi mengangkat bahu acuh tak acuh. Pandangan pria itu berubah, meremehkan. "Kecelakaan yang Anda alami berhasil membuatmu pandai bicara dalam sekejat mata, Yang Mulia."
Ia menjeda, terkekeh pelan. Tatapannya masih meremehkan. "Mungkin ada baiknya jika Anda mengalami kecelakaan lain agar kepandaian Anda meningkat drastis."
"Sebagai seorang Perdana Menteri, ucapanmu sangat tidak sopan." Senyum Hiashi menghilang cepat mendengar nada dingin yang diucapkan oleh Naruto. "Bagaimanapun juga posisiku di kerajaan ini adalah seorang putri mahkota," sambungnya. "Apa kau sengaja mempermalukanku di tempat umum agar mereka meniru sikap tidak sopanmu kepadaku?"
Hiashi tidak menjawab. Ia benar-benar terkejut karena putri mahkota berani bicara setajam itu kepadanya.
"Kau jangan lupa satu hal!" Naruto berbisik di sisi kanan Hiashi. "Kedudukanku saat ini lebih tinggi darimu, jadi jaga perilakumu saat berhadapan denganku!" Naruto melenggang santai setelah mengatakan hal itu kepada Hiashi. Dengan penuh percaya diri ia melangkah masuk ke dalam aula pesta.
Kedatangannya kali ini berhasil membuat tamu undangan menahan napas. Pembawaan sikap Naruto yang penuh percaya diri terlihat sangat jelas. Mereka terkejut menemukan sosok putri mahkota yang sangat berbeda. Wanita yang tengah berjalan membelah lantai dansa itu terlihat sangat angkuh, penuh wibawa.
"Akhirnya kau datang." Ucapan dingin Sasuke menyambut kedatangan Naruto. Satu alis putra mahkota diangkat naik saat menilai penampilan istirnya malam ini dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Bukankah kau yang memintaku untuk datang?" Naruto mendudukkan diri dengan anggun di kursi kosong yang telah diatur untuknya. Pandangan wanita itu menyapu ke segala penjuru sebelum kembali menatap Sasuke, lekat. Tangannya terulur, mengejutkan Sasuke yang terlihat tidak siap. Tanpa kata Naruto membetulkan letak dasi kupu-kupu yang dikenakan oleh putra mahkota. "Dasimu sedikit miring," ucapnya, tersenyum simpul.
Di samping wanita itu, Sasuke terdiam. Ia melirik singkat kepada Naruto sebelum akhirnya mengalihkan pandangan kepada Neji yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Sang jenderal muda menganggukkan kepala, lalu beranjak pergi secara diam-diam keluar dari aula pesta tepat sebelum suara terompet terdengar nyaring, mengumumkan kehadiran raja dan ratu di aula pesta, malam ini.
"Aku harap kau bisa menjaga sikap!" Sasuke membetulkan jas berwarna gelap yang dikenakannya sebelum berdiri untuk menyambut raja dan ratu.
Naruto terkekeh, ikut berdiri dan menjawab, "Memangnya apa yang akan kulakukan? Membuat skandal perselingkuhan?" ucapnya asal. Jangan tanya Naruto kenapa mulutnya tidak bisa dijaga saat ini?
"Akhirnya kau memperlihatkan wajah aslimu, Uzumaki Naruto."
Naruto berdecak pelan. Di pintu aula, raja dan ratu berjalan bersisian, tersenyum ramah menyapa tamu undangan. "Kau akan sangat terkejut jika melihat wajah asliku, Putra Mahkota," tantangnya, tenang, "Jika kau ingin melihat wajah asliku, buat aku memperlihatkannya kepadamu."
.
.
.
TBC
Source pics : Pinterest
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
