
Luo Lan Hua, seorang putri dari Raja Yuterlihat seperti memiliki segalanya yang bisa didambakan oleh semua gadis di Kota Su tanpa tahu jika dirinya bukanlah putri favorit di Kediaman Raja Yu.
Walau begitu, Lan Hua terkenal akan kecantikan dan kepandaiannya, Lan Hua memiliki tunangan yang tampan sekaligus berasal dari keluarga terpandang. Namun, kehidupannya berubah dalam semalam. Lan Hua mendapati tunangannya berselingkuh dengan saudari tirinya. Dengan keji tunangan dan saudarinya memutarbalikkan...
Cahaya lilin di atas meja menghasilkan cahaya kuning pudar para tirai ranjang. Wangi bunga menyeruak masuk dari luar jendela yang terbuka. Langit yang gelap tertutup awan hitam kilat menyambar-nyambar di kejauhan, suara guntur saling menyusul sebelum akhirnya hujan turun membasahi bumi.
Berbaring di atas ranjang, Lan Hua menatap langit-langit kamarnya, nyalang. Di atas meja kecil di samping ranjang, terdapat nampan berisi teko teh serta kue-kue kecil manis.
Melepas napas panjang, Lan Hua berusaha menggali ingatan kehidupan pertamanya. Ekspresi remaja itu terlihat sangat serius. Memiringkan tubuh ke sisi kiri, Lan Hua menjadikan satu tangannya sebagai bantalan kepala.
Beberapa hari ke depan, Selir Chi akan memanggil seorang Pendeta Tao untuk mengusir nasib buruk dari Kediaman Raja Yan. Saat hal itu terjadi, pendeta yang juga seorang peramal akan meramal nasib semua anak dari Raja Yan.
Dari tujuh orang anak, hanya Lan Hua yang memiliki nasib buruk. Pendeta Tao itu mengatakan jika Lan Hua membawa nasib sial sejak lahir dan harus disucikan jika tidak ingin nasib buruknya menyebar ke semua anggota keluarga.
Walau Raja Yan tidak terlalu ambil pusing, nasib Lan Hua semakin terpuruk. Dia terasing, tidak banyak yang bersedia menjadi temannya. Selir Chi mengambil kesempatan itu untuk merudung Lan Hua secara terang-terangan. Hadiah dari Jenderal Tua Zhu untuk Lan Hua selalu diambil dan dijadikan hadiah untuk anak-anaknya.
Mengulum senyum culas, Lan Hua melepas napas panjang. Tidak akan ada yang terbebas dari pembalasan dendamnya kali ini.
Keesokan harinya, Lan Hua sudah selesai mandi dan berpakaian. Duduk di meja rias, remaja itu membuka kotak perhiasannya. Ekspresinya mengeras, di dalam kotak kayu itu, tidak banyak perhiasan yang tersisa. Kalung dan gelang peninggalan ibunya nyaris tidak ada. Beberapa orang pelayan yang melayaninya mengambil barang-barang itu tanpa bisa Lan Hua hentikan.
Tersenyum kecil, Lan Hua mengamati pantulan dirinya di cermin perunggu. Dulu, karena Selir Chi secara halus melarangnya makan bersama di Aula Keluarga, Lan Hua menerimanya tanpa banyak bertanya. Namun, kali ini berbeda.
Berjalan keluar, dua orang pelayan wanita yang baru saja datang terlihat aneh melihat Lan Hua sudah sanggup turun dari ranjang bahkan menghias diri. Wanita itu terlihat polos, tidak ada satu pun perhiasan menempel di tubuhnya.
Mengenakan pakaian berwarna kuning lembut, wajah Lan Hua masih terlihat sangat pucat. Di langit, matahari baru saja merangkak naik. Pertama-tama, Lan Hua mendatangi paviliun neneknya untuk memberi salam.
Nyonya Tua Jing merupakan selir pertama dari kaisar terdahulu. Setelah suaminya mangkat, Nyonya Jing keluar istana dan tinggal bersama putra sulungnya—Raja Yan. Menikmati teh melatinya, Dayang Fu memberi laporan jika Lan Hua meminta izin untuk memberi salam.
“Eh, anak itu sudah pulih?” Nyonya Tua Jing meletakkan cangkir tehnya ke atas nampan. Walau usianya sudah memasuki tujuh puluh tahun, Nyonya Tua Jing masih terlihat memesona. Auranya begitu berwibawa. Di Kediaman Raja Yan, selain Selir Chi, semua orang tunduk kepada perintahnya. “Izinkan dia masuk!”
Tidak lama berselang, Lan Hua masuk untuk memberi salam. Gerakannya tanpa cela sehingga Nyonya Tua Jing tidak memiliki celah untuk mengkritiknya.
Menganggukkan kepala, Nyonya Tua Jing mengamati penampilan cucu perempuan keduanya ini. “Kenapa kau berpenampilan polos?” tanyanya. Tadi malam, Nyonya Tua Jing baru saja kembali dari istana sehingga tidak mengetahui kejadian yang menimpa cucu keduanya kemarin. “Ke mana perhiasanmu?”
Lan Hua menatap kedua lengan lalu menyentuh telinganya sendiri. Bibir pucatnya mengulum senyum tipis. “Nenek, aku tidak memiliki perhiasan yang cocok untuk gaunku.”
Nyonya Tua Jing menekuk kening dalam. Di sampingnya, Dayang Fu ikut mengernyit. Mereka tahu selama ini Jenderal Tua Zhu selalu memberi hadiah kain sutra indah dan perhiasan untuk ketiga cucunya. “Di mana perhiasan dari kakekmu?”
Memasang pose bingung, kedua alis Lan Hua saling bertaut. “Perhiasan dari kakek?” beonya, tidak mengerti. “Maksud Nenek apa? Aku tidak pernah mendapatkan perhiasan dari kakek.”
Keheningan meraja. Udara di dalam ruangan itu seketika menjadi berat.
Ekspresi Nyonya Tua Jing saat ini tidak terbaca. “Panggil Selir Chi!”
Sedikit membungkukkan badan, Dayang Fu menganggukkan kepala. Dayang tua itu bergegas pergi untuk menjalankan perintah tuannya.
“Kemari!” Nyonya Tua Jing memiliki perasaan tidak tega saat melihat penampilan Lan Hua yang terlalu kurus dan pucat. “Kenapa kau begitu pucat?” tanyanya. Melihat keragu-raguan di wajah cucu perempuannya, dia lanjut berkata, “Jangan takut! Katakan kepadaku, apa yang terjadi.”
Saat Selir Chi dan Dayang Fu tiba, Lan Hua tengah menikmati teh dan makanan manisnya. Ujung mata Selir Chi melirik Lan Hua, sinis sebelum memberi salam kepada mertuanya.
“Selir Chi, menurutmu apa yang kurang dari penampilan Lan Hua?” Nyonya Tua Jing bertanya tanpa tergesa. Menyesap tehnya pelan, dia masih belum menatap menantunya yang kini duduk di seberang meja Lan Hua.
Selir Chi mengamati penampilan Lan Hua dengan saksama. Apa yang aneh dari penampilan anak pembawa sial ini? Pikirnya masam.
Tersenyum lembut, Selir Chi menggunakan nada sangat sopan saat menjawab, “Ibu, aku tidak menemukan sesuatu yang salah dari penampilan Lan Hua. Anak ini memang tidak menyukai perhiasan.”
“Oh, begitu?” Nyonya Tua Jing tersenyum kecil. Pandangannya bersirobok dengan menantunya. “Hadiah dari Jenderal Tua Zhu, apa kau yang menerimanya?”
Untuk beberapa saat Selir Chi tidak bisa berkata-kata. Wajahnya menegang sebelum akhinya dia berhasil mengendalikan diri. “Ah, masalah itu,” ujarnya berbasa-basi. “Ibu, Lan Hua masih kecil. Aku menyimpan semua hadiah dari kakeknya untuk mahar Lan Hua nanti. Hadiah ulang tahun dari sang jenderal pun aku simpan dengan baik.” Menggantung ucapannya, Selir Chi melanjutkan ucapannya, “Selain itu, Lan Hua juga sudah setuju.” Pandangannya teralih kepada putri tirinya. “Bukan begitu?” tanyanya terdengar halus, walau pada kenyataannya syarat akan ancaman.
Masih memasang ekspresi polos, Lan Hua menjawab singkat, “Oh, jadi Nyonya yang menyimpan semua hadiah yang kakek kirim untukku?” Memiringkan kepala ke satu sisi, Lan Hua mengernyit sebelum akhirnya terbelalak. Seketika dia menjadi gugup. “Nenek, bagaimana ini?” tanyanya. “Aku kira kakek sudah tidak menginginkanku lagi. Beberapa hari lalu aku mengirim surat kepadanya, bertanya kenapa dia selalu melupakan hari ulang tahunku dan tidak pernah mengirim hadiah kepadaku.” Tentu saja itu bohong. Lan Hua belum mengirim surat itu, tapi akan segera mengirimnya. Dia ingin tahu bagaimana reaksi kakeknya jika tahu mengenai hal ini?
“Lan Hua!” Selir Chi berteriak keras. Matanya melotot ke arah Lan Hua. Untuk pertama kalinya dia gagal mengendalikan diri di hadapan mertuanya.
“Kenapa reaksimu seperti ini?” tanya Nyonya Tua Jing. Wanita tua itu menampar permukaan meja, keras. “Jika Lan Hua tahu, kenapa dia bisa mengirim surat kepada kakeknya? Selir Chi, apa kau sengaja ingin mengadu domba Kediaman Raja Yan dan Jenderal Tua Zhu?”
Selir Chi menggelengkan kepala. Dia terlihat sangat panik. Ketika suaminya datang, wanita itu langsung berlindung di belakang Raja Yan. “Tuan, semua ini hanya kesalahpahaman.” Dia menunjuk Lan Hua. “Anak ini berbohong. Dia memfitnahku!”
“Nyonya, kebohongan apa yang aku katakan?” Lan Hua bicara dengan suara tercekat. Matanya berkaca-kaca. Menggenggam erat saputangannya, Lan Hua lanjut bicara. “Selama ini aku memang tidak tahu jika kakek mengirim hadiah kepadaku. Karena itu aku mengirimnya surat dan bertanya kenapa dia selalu melupakan ulang tahunku? Selain itu, nenek juga bertanya kenapa aku tidak menggunakan perhiasan. Sebenarnya, perhiasan apa yang harus aku pakai? Kotak perhiasanku hampir kosong. Beberapa dayang mengambilnya dengan paksa, mengatakan jika Anda mengizinkan mereka mengambil apa pun dariku.”
“Lancang!” Suara Raja Yan menggelegar. Wajahnya memerah karena marah. Mendengar hal itu, Lan Hua tidak bisa menahan diri untuk memberi dirinya sendiri selamat di dalam hati. Wanita itu menyembunyikan ekspresi bahagianya saat melihat ketakutan di kedua mata Selir Chi sekarang. “Panggil para pelayan itu dan geledah kamar mereka!” perintahnya tegas.
Mendengkus keras, Raja Yan duduk di kursi kosong. Pandangan marahnya tertuju kepada Selir Chi sebelum akhirnya kembali tertuju kepada Lan Hua. “Kenapa kau baru bicara sekarang?” Raja Yan membentak putrinya, keras.
Lan Hua berlutut. Bibirnya yang pucat gemetar. Tubuh ringkih itu perlahan bersujud di hadapan sang ayah lalu berkata, “Ayah, mereka mengancamku. Mereka mengatakan tidak akan memberiku makanan jika aku berani mengadu. Mereka bahkan tidak segan memukulku jika melawan. Jika tidak percaya, Ayah bisa memerintahkan Dayang Fu untuk memeriksa tubuhku.”
Terisak pelan, air mata buayanya jatuh. “Ayah, di rumah ini siapa yang menyayangiku? Selama ini aku hanya bisa merahasiakan perlakuan buruk para pelayan terhadapku untuk bertahan hidup.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
