Part 1, 2, 3

1
0
Deskripsi

Part 1, 2, 3

OBAT UNTUK SUAMIKU

Kupandang obat perngs4ng di tangan. Haruskah aku melakukannya agar Mas Danu mau menyentuhku lalu kami bisa punya anak? Aku menghela napas, merasa ragu.

Suamiku itu, sangat dingin. Juga irit kata. Begitu pwndiam. Setiap aku bertanya,

"Mas, sudah makan belum?"

Jawabnya, "Sudah."

"Mau kubuatkan teh, Mas?"

"Tidak."

"Mas mau kurebuskan air buat mandi?"

"Ya."

Aku terkadang sampai tercengang heran. Apa berkata lebih panjang sedikit akan membuatnya radang tenggorokan atau malah sakit perut akut? Tidak jarang, bibirku mengatup rapat karena kehabisan kata-kata. Ia selalu menjawab, tak pernah bertanya balik.

Sungguh, meskipun Mas Danu tampan, bertubuh tinggi ramping, berkulit bersih dan punya tatapan memabukkan, namun ia bukan suami ideal bagiku. Mungkin, bagi semua wanita. Ia tak romantis. Kaku seperti batang pisang. Jangan bayangankan bagaimana suasananya saat kami melakukan hubungan pasutri. Itu tidak pernah terjadi. Atau mungkin ... belum? Jangankan melakukan seperti yang pasangan suami istri baru menikah perbuat, mencium kening saja hanya pas ijab kabul.

Kalau alasan tak melakukan 'itu' karena tak suka, kenapa dulu mau menikah denganku?

Aku sih, jelas, sudi membina rumah tangga dengannya karena imbalan uang dari ibunya yang tak sedikit. Cukup, lah, untuk melunasi utang Ayah sehingga rumah penuh kenangan bersama mendiang Ibu tak jadi dijual. Jadi, bodoh jika aku tak mau menikah dengan lelaki pemilik banyak studio itu, sudah begitu, ganteng pula. Sekalian berenang, minum air.

Masih terpahat segar dalam ingatan, saat pertama bersua dengannya. Ia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, sebulanan tak sadarkan diri. Tika yang membawaku padanya. 
Anak majikanku itu, tak sengaja menabraknya di jalan depan taman. Ia memberi imbalan uang yang tak sedikit asal aku mau rutin menjenguk korbannya sebagai ungkapan penyesalannya karena mengemudikan mobil dalam keadaan kalut. Aku setuju saja. Sampai akhirnya, ibu Mas Danu meminta agar aku mau jadi istri anaknya dengan imbalan uang.

Jadi, aku murni menikah tanpa cinta. Hanya demi uang, sementara dia ... entahlah. Tidak tahu. Ia tak pernah berkeluh kesah tentang masalahnya, seolah aku adalah orang asing. Saban hari, kupompa semangat agar terus sabar. Berprinsip kuat bahwa cinta pasti tumbuh seiring bergantinya waktu. Memang agak kuno, tapi memang begitulah caraku bertahan.

Bunyi ketukan dari arah depan membuatku segera memasukkan obat ke saku celana, lekas berdiri dan melangkah cepat menuju ruang tamu. Seperti biasa, aku menyambutnya dengan senyum terkembang di bibir. Istri harus terlihat menyenangkan di depan suaminya, bukan? Tidak peduli baginya, mungkin aku hanyalah pajangan. Atau mungkin ... pembantu?

"Mas mau kurebuskan air buat mandi?" Ini adalah pertanyaan rutinku. Ia yang baru mengenyakkan diri di sofa tampak begitu lelah, langsung mengangguk. "Ya."

Aku melirik jam, sudah pukul 9 malam. Aku menatapnya sejenak lalu menuju dapur. Setelah menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi air, kukeluarkan bungkusan kecil dari saku celana. Ini dari ibu mertua. Sambil menatap benda kecil di tangan, aku menimbang-nimbang. Haruskah melakukannya?

Aku menarik napas dalam, mencoba meredam gemuruh dada saat membayangkannya. Kata ibu mertua, ini adalah obat perangsang. Heran, kenapa ibu bisa tahu kami tak pernah melakukan 'itu? Tahu-tahu beliau datang, tanya mantunya ini sudah hamil atau belum, lalu memberikan ini. Haruskah melakukannya? Perasaan lagi-lagi digelayuti ragu. Melakukannya karena obat dan bukannya atas kemauan sendiri ... duh ... aku memejamkan mata, galau tingkat tinggi.

Mas Danu menghampiri tepat setelah kusiapkan air untuknya. Tanpa basa-basi, ia menutup pintu kamar mandi. Tak berselang lama, terdengar suara air yang jatuh menimpa lantai. Lakukan, tidak, yaa? Tergambar kembali wajah ibu mertua yang begitu berharap agar kami segera memberi cucu untuknya. Lalu, membayang wajah ayah yang menatapku kasihan. Ayah mungkin bisa merasakan rumah tangga sang anak yang tak berjalan harmonis

Menarik napas, aku mencoba memantapkan hati. Lalu dengan tangan gemetar, memasukkan sebutir obat ke gelas teh yang baru dibuat. Siapa tahu dengan aku hamil, hubungan kami menjadi lebih dekat. Laiknya pasangan menikah.

"Sudah kubuatkan teh untukmu," kataku saat ia keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Sebagai perempuan normal, aku agak berdebar melihatnya hanya berpakaian seperti itu.

"Ya."

Ia masuk kamar, menguncinya. Sementara aku segera membawa teh hangat menuju ruang depan. Sudah menjadi rutinitasnya, duduk di depan sebentar sambil melihat-lihat laporan yang dikirim lewat WA, baru setelah itu beranjak tidur.

"Diminum, Mas," kataku dengan jantung berdegup kencang saat ia duduk di sebelahku. Mas Danu mengangguk, meraih HP di sofa, lalu sibuk dengan sesuatu entah apa.

"Diminum, Mas, nanti keburu dingin."

Tidak digubris. Ia sudah tenggelam dalam aktifitasnya. Haruskah menunggunya di kamar saja? Baiklah, bete juga dicueki.

Beberapa menit kemudian, saat kantuk mulai membuat mata terasa berat, kurasakan tangan Mas Danu menyentuh bahuku dari belakang. Embusan napasnya yang hangat menerpa puncak kepalaku. Membuat dada bergemuruh hebat. Jantung mengentak-entak menyesakkan dada. Ini adalah pengalaman pertama. Rasanya tegang bukan main.

Aku memejamkan mata saat ia membalik tubuhku menghadapnya. Tangannya bergerak menyentuh pipiku. Ia berbisik pelan di telinga, "Syafitri, aku sangat merindukanmu. Akhirnya, kamu datang juga padaku."

Perasaan menyenangkan yang tadi membuat tubuh bereaksi aneh, terempas begitu saja. Aku beranjak bangun dengan hati berkedut nyeri. Siapa Syafitri?

"Syafitri ...." Ia bergeser mendekat, menangkup wajahku dengan kedua tangan. Menatapku dalam-dalam. Sinar mata penuh kerinduan itu ... jelas untuk gadis lain. Aku mengigit bibir, menahan perasaan sakit yang kian menjadi.

"Aku Liana, Mas. Istrimu."

"Syafitri ...." Ia mencoba memelukku.

Aku tak kuat lagi. Juga tak ingin melakukannya dengan ia membayangkan sang istri sebagai gadis lain. Aku tak sanggup. Meskipun awalnya menikah karena uang, tapi ini begitu menyesakkan dada. Sangat menyakitkan.

Aku beranjak berdiri lalu keluar kamar sambil terisak, berlari ke kamar sebelah, menguncinya, kemudian bersandar di pintu sambil menangis. Tak kuacuhkan gedoran yang membuat pintu terus bergetar. Hati dan perasaan sama sakitnya. Apa salah jika aku sakit hati karena ia menyebut nama perempuan lain? Meski menikah awalnya karena uang, tetapi, aku bersungguh-sungguh menjadi istri yang baik. Namun nyatanya, semua terbukti tak berarti.

"Syafitri, buka pintunya. Apa lelaki itu lebih penting daripada aku? Sya. Buka pintunya. Syaaa."

Aku memejamkan mata, terisak kecil. Tak lama, terdengar isakan lain.

Part 2

Aku perlahan membuka mata saat menggema azan subuh. Aku melompat terkejut saat pintu terbuka, ternyata Mas Danu terlelap dengan kepala bersandar di dinding. Setelah meredamkan gemuruh dada, aku melangkah pelan menuju kamar mandi, menunaikan kewajiban-Nya, setelah itu melakukan aktifitas seperti biasa sambil mencoba melupakan kejadian semalam.

"Sarapan sudah kusiapkan." Aku meliriknya saat Mas Danu mendekat dengan pakaian rapi. Ia menatapku sekilas, lalu duduk di meja makan, perlahan menyesap kopi.

Aku menarik napas, tak ada obrolan lanjutan. Tak bisakah ia meminta maaf karena semalam salah mengenali istrinya? Mengharap maafnya, sepertinya hal yang konyol. Apa jangan-jangan ia tak mengingatnya? Karena merasa tak nyaman, aku akhirnya meraih sapu. Lebih baik berkutat dengan kesibukan daripada terus merasa canggung begini.

"Yang semalam ...."

Hening. Aku menunggu lanjutan ucapannya dengan dada bergemuruh.

"Aku minta maaf."

Aku menghela napas. Hanya seperti itu sajakah? Tak bisa menjelaskan? Aku menggigit bibir. Cukup lama menunggu, ia tak kunjung melanjutkan. Akhirnya aku meninggalkannya, membereskan rumah sambil menyanyi dengan nada ceria. Tak peduli hati terasa tersayat. Perasaan pedih tak terperi. Siapa yang tak sakit hati saat sang suami menyebut gadis lain di malam pertama mereka?

Aku menghela napas. Tangan bergerak pelan mengusap air mata yang menetes. Aku kembali bernyanyi dengan nada ceria saat ia melangkah melewatiku dengan tas hitam di tangan.

"Aku makan di rumah."

"Ya." Aku tak menatapnya. Tumben. Apa lelaki kaku ini merasa bersalah? Kupikir, ia tak punya perasaan.

"Pulang jam 5."

Aku menghela napas saat terdengar bunyi pintu ditutup dari luar. Lalu kembali menghela napas saat teringat tadi itu, kalimat terpanjang yang pernah meluncur dari mulutnya sepanjang kami resmi menikah. Apakah ini awal hubungan kami akan terbangun?
Mengingatnya menyebut nama perempuan lain, aku menggigit bibir. Sepertinya, aku terlalu berlebihan berharap.

***

Seperti yang dijanjikannya, ia pulang tepat pukul 5 sore. Langsung menuju kamar mandi, lalu menghampiriku di meja makan yang sudah menunggunya dengan perasaan canggung dan tak nyaman. Keheningan terus memeluk kami. Tanpa kata, aku mengambilkannya nasi dan lauk. Ia segera memakannya. Hening. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang meramaikan ruangan ini.

"Aku sudah kenyang." Lalu, aku beranjak menuju ruang tengah. Sambil menunggu azan, kunyalakan televisi. Jantung hampir melompat saat melihat Mas Danu menyusul duduk di sebelahku.

Aku meliriknya. Dia mau apa, sih, sebenarnya. Jika hanya membuat canggung, seharusnya tak perlu dekat-dekat. Lihatlah, lelaki kaku ini hanya diam seperti batu. Tatapannya fokus ke layar televisi yang tengah menampilkan iklan minuman bersoda. Sementara jari-jemarinya mengetuk-ngetuk lututnya. Ealaah, iklan saja fokus banget seperti itu.

"Tumben pulang cepat." Sebenarnya agak kesal karena selalu aku yang mengakhiri kebisuan. Namun mau bagaimana lagi, masa suami istri seperti orang asing. Heran, masa lelaki tak ada inisiatif memulai. Bilang maaf, kek, lalu menjelaskan, kek. Membuka obrolan ringan, kek. Sama sekali tidak peka. Pantas saja, perempuan yang digilainya menjauh. Siapa juga yang betah dengan lelaki super pendiam begini?

Aku berdeham. Lalu meliriknya sinis.

"Tadi pagi sudah bilang."

"Ingat, kok! Tapi kan biasanya selalu pulang jam sembilan malam. Tumben!" ucapku sinis.

Ia menoleh, mengerutkan kening. Mungkin heran karena tak biasanya istrinya ini berkata dengan nada tinggi. Terserah, deh, ia mau berpersepsi bagaimana. Aku bersikap pura-pura cuek walau sebenarnya jantung berdegup hebat. Aku meraih air minum lalu menyeruputnya pelan untuk mengusir gugup. Dari sudut mata, terlihat ia sedang mengawasiku. Membuat dadaku terus berdesir aneh.

"Kamu lebih suka aku pulang malam?"

"Uhuk. Uhuk." Aku tersedak air. Dan semakin terbatuk-batuk saat Mas Danu mendekat lalu menepuk-nepuk pelan bahuku.

"Bukan begitu," sahutku setelah batuk mereda. 
Ia memandangku cukup lama. Sungguh membuat salah tingkah saja. Enam bulan menikah, ini baru yang pertama. Bertatapan seintens ini.

"Heran aja, biasanya kamu kan selalu pulang jam 9."

"Pelanggan semakin banyak. Aku cari asisten."

"Ooh, gituu."

Ia membisu. Kembali fokus pada layar televisi. Keheningan di antara kami sungguh membuatku tak nyaman. Sudahlah, lebih baik pergi saja. Namun, baru saja hendak beranjak, ia berkata,

"Kamu mau kita bulan madu?"

"Apa?"

"Bulan madu," ulangnya, kali ini menoleh menatapku. Setelah 6 bulan, ia akhirnya mengajak pergi bersenang-senang. Apa ia melakukannya karena merasa bersalah?

"Kenapa tiba-tiba? Apa kamu merasa bersalah karena semalam ... emp ...."

"Baru punya waktu. Dulu, belum ada asisten."

Sungguh tak kusangka kejadian semalam bisa membuatnya berkata lebih panjang dari biasanya. Apa ia begitu merasa bersalah? Kutatap Mas Danu curiga. Ia berpaling, tatapannya kembali lekat pada layar televisi. Dasar lelaki tak berperasaan. Tak bisakah membujuk? Malulah, yaaa, kalau langsung mengangguk mengiyakan. Siapa tahu, bulan madu akan menjadi awal kedekatan kami.

Hening yang pqnjang. Cepat bujuk dong, Maas. Batinku, menatapnya penuh harap. Tetapi, lelaki menyebalkan ini sama sekali tak menoleh. Ia malah sedikit tertawa pada benda sialan itu. Aku mencoba menegurnya dengan mengembuskan napas kuat. Ia menoleh, mengerutkan kening, lalu kembali ke layar televisi.

"Tidak mau ya sudah."

Aku menggigit bibir menahan geram. Lalu melangkah cepat meninggalkannya diiringi suara tawa. Ia tertawa pada layar televisi. Sungguh menyebalkan! Rasanya, ingin berbalik lalu menimpuk wajahnya yang tanpa ekspresi dengan batu.

Part 3

Mas Danu kembali pulang sore. Kami makan tanpa bicara. Lebih tepatnya, sejak ia pulang, sama sekali tak ada perbincangan. Aku yang biasanya lebih dulu menegur misal menanyakan mau dibuatkan kopi atau tidak, memilih langsung membuatkannya dengan mulut terkatup. Memang sengaja melakukannya untuk merangsang Mas Danu membuka percakapan. Namun, ia sama sekali tak bicara. Mulutnya terus bungkam.

Sebenarnya, aku ini menikah dengan manusia atau benda, sih? Kok sama sekali tidak peka, ya?

Aku memandangnya kesal. Sepertinya, aku harus bicara tho the point saja.

"Tadi ibu datang, Mas. Ibu bilang, kenapa kita lama punya anak."

Sungguh lega setelah mengucapkannya, namun sesudahnya, merasa sangat malu. Semoga dengan memberi embel-embel 'kata ibu' ia tak berprasangka aneh-aneh. Memang ibu menanyakan aku sudah hamil atau belum seminggu yang lalu.

Mas Danu menatapku, lalu buru-buru meraih gelas tehnya, langsung meminumnya hingga kandas.

"Kamu ingin kita melakukannya?" Tatapnya lekat.

Aku tercengang. Dada bergemuruh hebat. Siapa yang tak syok ditodong langsung pertanyaan seperti itu? Bisakah melakukannya tanpa bertanya-tanya? Apakah si perempuan sebelum melakukan 'itu' selalu ditanyai begitu oleh pasangannya?

Aku berusaha tak terlihat sedang salah tingkah. "Ibu yang menanyakannya tadi siang, bukan aku, Mas."

"Tadi siang?" Mas Danu mengernyit. Ia menyuap makanan lalu melanjutkan, "tadi siang ibu ke studio bersama teman-temannya."

Deg! Jantungku rasanya mau melompat dari rongganya. Wajahku memanas seketika. Aku menarik napas dalam, berusaha mengendurkan ketegangan. Mas Danu pasti berprasangka akulah yang menginginkannya.

Sambil mencoba mengenyahkan perasaan malu, aku berkata, "Sebenarnya, sudah satu Minggu yang lalu ibu bilangnya. Tapi baru kusampaikan padamu."

Ia mengerutkan kening. Memandang cukup lama. "Oh," ujarnya.

Lalu, ia kembali melanjutkan makan. Perasaan malu terus bergumul di hatiku. Aku menyuap nasi sambil menunduk, berharap ia pergi lebih dulu.

"Kamu ingin kita melakukannya?"

"Apa?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Punya anak."

Hening cukup lama. Dengan tubuh terasa panas dingin aku mendongak, langsung mendapati sepasang matanya yang menatap tajam. Aku menggigit bibir. Mengangguk, tentu akan membuatku sangat malu. Apalagi jika ternyata ia tak menginginkan itu. Akhirnya, alih-alih menjawab, aku malah melontarkan pertanyaan baru.

"Kamu sendiri bagaimana?"

Ia terdiam cukup lama. Aku menelan ludah. Butuh berpikir lama menjawabnya. Apakah gadis bernama Syafitri itu lebih penting? Mataku terasa memanas. Aku mencoba menguatkan hati. "Jangan menangis, Li. Jangan."

"Ayo bulan madu."

Aku refleks memandangnya.

"Aku sudah pesan resort. Besok pagi kita berangkat ke Jakarta."

Aku menatapnya kesal. Apa ia sungguh tak bisa mengatakannya lebih dulu? Mungkin, jika aku bisa menahan diri, ia pasti sudah mengatakan akan mengajak bulan madu. Aku sungguh menyesal, tapi sudah telanjur. Cepat kusantap makananku lalu berlalu meninggalkannya tanpa kata. Haruskah besok-besok tak usah berkata apa-apa biar ia berinisiatif membuka perbincangan lebih dulu? Aku mengangguk, sepertinya, aku harus sedikit jual mahal mulai dari sekarang. Harus.

***

Perjalanan dari Lampung ke Jakarta sungguh melelahkan. Sepanjang jalan, aku lebih banyak tidur. Mulai benar-benar menikmati perjalanan saat mobil yang dikendarai Mas Danu melewati Serang. Aku asyik memerhatikan gedung-gedung tinggi, tak mempedulikan Mas Danu yang sesekali menoleh lalu mengernyit heran.

Aku menurunkan kaca jendela saat mobil memasuki kawasan resort. Ada sebuah patung putri duyung yang mengenakan kemben, di bawahnya, terlihat beberapa orang sedang berselfi ria. Mas Danu segera turun di salah satu bangunan dan kembali masuk tak lama kemudian. Mobil kembali melaju, melewati bangunan-banguban bernuansa alam dan akhirnya berhenti disalah satu bangunan unik berbentuk kapal.

"Turun," ucapnya sambil membuka pintu mobil. Aku segera turun, menoleh ke sana-kemari memerhatikan sekitar dengan takjub. Pantai tampak berkilauan oleh lampu warna-warni.

Setibanya di kamar, aku langsung merebah di kasur yang empuk. Sementara Mas Danu menuju kamar mandi.

"Tidak mandi?" Ia keluar dengan jubah mandi. Wajahnya terlihat segar setelah keramas.

Aku langsung beranjak bangun. "Mandi, aku gak sejorok itu."

Ia tak menjawab, hanya menyisir rambutnya lalu duduk di dekat jendela. Aku segera masuk kamar mandi. Apa setelah ini kami akan melakukan 'itu? Bagaimana cara memulainya? Ia, atau aku yang harus bergerak lebih dulu? Duuh. Dadaku semakin berdebar keras membayangkan yang tidak-tidak.

Ketukan di pintu membuatku segera menyudahi aktifitas mandi. Mas Danu sudah berganti baju. Mengenakan kaus merah terang yang membuat tubuhnya terlihat atletis serta jins di bawah lutut.

"Kamu tidak lapar? Aku menunggumu dari tadi."

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Merasa sedikit malu karena sempat membayangkan yang tidak-tidak. Mas Danu benar, kita harus makan malam dulu.
Aku memilih satu baju dalam tas, segera membalikkan badan untuk menuju ke kamar mandi.

"Bukannya kamu ingin memulainya?"

"Maksudnya?" Aku menatapnya tak mengerti.

"Kenapa mau ganti baju di kamar mandi? Bukanya kamu ingin memulai berhubungan lebih jauh denganku?"

Aku menelan ludah. Ini kalimat terpanjang darinya. Sekaligus kalimat yang tak berperasaan.

"Iya, tapi ...."

"Kenapa? Malu?"

Iih, dia ini manusia atau bukan, sih. Hal sepele yang sudah pasti jawabannya saja harus ditanyakan. Sepertinya ia benar-benar harus diruwat.

"Makanya kemarin aku tanya, apa kamu serius ingin melakukannya?"

Mas Danu menatapku lekat. Aku mengenakan jubah mandi, tapi merasa ditelanjangi. Sungguh rasanya tidak nyaman sekali. Jantung tiba-tiba berdetak cepat. Baiklah, aku memejamkan mata. Toh, mengenakan dalaman. Satu. Dua. Tiga. Aku sangat berharap lelaki tak peka itu berpaling, tapi nyatanya, tatapan Mas Danu tetap lekat ke sini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Part 4-5
1
4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan