Laki-laki Sederhana yang Menjadikan Aku Penuh Cinta #CeritadanRasaIndomie

0
0
Deskripsi

Pertanyaan itu terus bergumul dalam otakku. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri mengajakmu sarapan di tempat biasa, hanya untuk menanyakan, lalu cinta itu seperti apa menurutmu? Dan lagi-lagi jawabanmu membuat mataku terbelalak.

“Bagiku, cinta itu sederhana, Fa. Seperti aku menyukai indomie telur ceplok ini, tanpa peduli rasanya seperti apa. Asinkah, hambar, manis, aku tetap suka. Cinta adalah apa yang kulakukan dan kurasakan padamu, enggak ada hubungannya dengan apa yang kamu berikan padaku....

Kata orang, pasangan adalah cerminan diri kita. Begitulah aku melihatmu, Mas. Aku seperti melihat sisi diriku pada manusia lain yang berbeda jenis kelamin. Banyak sekali hal-hal yang tanpa perlu kujelaskan, kamu sudah memahaminya. Seperti awal mula kita berjumpa, apa kamu masih mengingatnya? Kabut pagi, suasana sepi di sebuah warmindo (Warung Makan Indomie) dekat kampusku. Di sana kita bertemu. 

“Wah, lihat Fatiha makan jadi makin lapar.” Kalimat sapaan yang menurutku terlalu berani untuk seseorang yang baru saja dikenalkan oleh Tara—sahabatku—padaku. 

Aku membalasmu dengan tatapan tajam yang siap menerkam. Kamu seperti sedang menghakimiku yang seharian kemarin kehilangan nafsu makan karena patah hati. Kelebatan pikiran buruk mulai menari-nari di kepalaku. 

“Heeee … stop ya! Mas Ilham jangan ganggu, dia lagi banyak masalah! Dia mau diajak makan aja udah seneng banget aku.” Kata Tara berusaha menengahi kita. 

Sorot matamu berubah menjadi lembut. Lalu terucap kata-kata yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, “Aku enggak tahu seberat apa masalahmu, Fa. Tapi seandainya kamu merasa perlu seseorang untuk sekadar cerita, aku akan berusaha mendengarkanmu semampuku.”

Kalimat yang lagi-lagi cukup lancang untuk ukuran orang yang baru saja berkenalan. Tapi anehnya, hatiku justru menghangat, marah yang tadinya meluap tiba-tiba lenyap. Kamu melanjutkan perbincangan dengan Tara. Sedangkan aku masih mengembara dalam pikiran yang terus mengulang momen patahnya hati karena ditinggal pergi oleh orang yang mungkin saja tak pernah menganggapku ada. 

***

Satu tahun, waktu yang kuhabiskan untuk merangkai impian bersamanya, ternyata tak cukup menjadi alasan baginya mempertahankan hubungan. Dia pergi, mengubah janji yang sempat kukira sepenuh hati. Penjelasan? Apa itu? Aku bahkan ragu dia pernah berpikir aku penting untuknya. Aah … memang pada akhirnya semua salahku. Sejak awal sudah banyak yang bilang dia jarang serius ketika mendekati perempuan.

Tapi karena aku sudah lama memendam kekaguman padanya, kata-kata mereka tak terdengar olehku, red flag yang sebenarnya sudah dia tunjukkan beberapa kali pun tak kuindahkan. Rasanya aku ingin sekali menjedotkan kepalaku ke tembok setiap mengingat semua kebodohan-kebodohanku. Harapanku menikah setelah selesai kuliah kini musnah. 

Sekarang aku bingung harus melakukan apa. Hidupku terasa kacau setelah kepergiannya. Dulu aku terlalu naif hingga mementingkan kepentingannya di atas urusan-urusanku. Termasuk skripsi yang kuabaikan karena membantu menyelesaikan tulisan-tulisannya. Ya, Lukman Dewantara—yang katanya penulis mega best seller—itu menggunakan jasa menulisku dengan bayaran janji akan dijadikan asisten seumur hidup olehnya. Semakin kuulang kenangan tentangnya, semakin aku ingin berhenti mengunyah makanan yang ada di hadapanku.

“Eh, pesanan kita sama ternyata ya Fa! Indomie kuah telur ceplok buat sarapan pagi gini emang gak ada obat, sih.” Kata-katamu membuyarkan lamunanku. 

“Dih, apa enaknya coba? Enakan juga yang goreng.” Tara menyangkal pernyataanmu.

“Heh, dua lawan satu menang mana?” Kamu tampak enggak mau kalah.

“Emang kita lagi bertanding ya?” Tanyaku sambil menyeringai.

“Enggak sih, aku nanya aja.” Jawabmu tanpa dosa diiringi gelak tawa.

Aku dan Tara pun ikut terbahak. Kalo diingat-ingat, ini kali pertama aku tertawa sejak menerima undangan pernikahan Mas Lukman. Entahlah, tapi kamu mengaburkan batas antara orang yang sudah kenal lama dengan yang baru saja. Aku enggak merasa diperlakukan beda dari Tara. 

Perlakuan itu membuatku bertanya-tanya, apa kamu memang begitu ke semua orang yang pertama kali bertemu, Mas? Atau hanya kepadaku? Mungkin rasa penasaran itu juga yang jadi salah satu alasan aku mudah membuka hati padamu. 

Sejak pertemuan hari itu, kita jadi sering bertemu. Tanpa sengaja, atau kadang aku yang sebenarnya memang mencarimu di Warmindo favorit kita. Favorit kita? Hahaha … aku tak perlu konfirmasi padamu, kan , Mas? Aku yakin, kamu setuju tentang ini. Kalau enggak setuju pun ya enggak apa-apa. Perbedaan-perbedaan kecil seperti itu bagi kita justru terlihat lucu.

Dulu kukira cinta adalah melakukan segalanya untuk orang yang kita cintai. Bahkan meskipun dengan terpaksa. Sepertinya, pemikiran itu yang dulu membuatku menekan keinginan-keinginan dan mengutamakan kepentingan Mas Lukman. Ya, ternyata aku hanya menekannya bukan berdamai dengan keinginan itu. Jadi wajar kalau aku merasa tertipu dengan Mas Lukman, karena ternyata aku pun sedang membohongi diriku sendiri. Seakan aku menekan keinginan untuknya, padahal demi harapan pribadi. Aku berharap dengan aku mengutamakan kepentingannya di atas keinginanku, dia enggak akan pergi dan selalu bersamaku. Tapi hasilnya zonk, dia tetap pergi dan aku mematahkan harapanku sendiri. 

“Emm … gitu ya, Fa? Kamu kecewa karena setelah semua yang kamu lakukan, kamu tetap ditinggalkan? Eh, bentar deh, kalau gitu berarti masalahnya di harapanmu agar enggak ditinggalkan dong, ya? Bukan orangnya.” 

Aku mengernyitkan dahi mendengar tanggapanmu. Maksudnya hanya aku yang salah? Pikirku. 

Tapi belum sampai aku membalas perkataanmu, kamu melanjutkannya lagi. “Maksudku begini, coba deh bayangin! Bukannya kamu tetap akan terluka seandainya jatuh cinta pada orang lain dengan harapan yang sama, lalu orang tersebut melakukan tindakan yang sama juga? Yang kalau diganti bisa memperbaiki keadaan, hanya harapan kita, kan?”

Aku berpikir sebentar lalu menjawab, “Iya, sih. Tapi bukan hanya harapanku yang kalau diubah bisa memperbaiki keadaan. Dia juga bisa mengubah perilakunya.”

“Emm … berarti menurutmu cinta itu memaksa orang lain untuk mengubah perilakunya sesuai kepentingan kita? Bukannya saat kita memaksa, cinta jadi berubah makna, ya?” Aku bisa saja tersinggung dengan pertanyaan yang kamu ajukan karena kamu jelas sudah tahu jawabannya. Tapi anehnya, aku malah meragukan cinta yang selama ini kupercaya. Jadi, yang kulakukan pada Mas Lukman setahun belakangan itu apa kalau bukan cinta? 

Pertanyaan itu terus bergumul dalam otakku. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri mengajakmu sarapan di tempat biasa, hanya untuk menanyakan, lalu cinta itu seperti apa menurutmu? Dan lagi-lagi jawabanmu membuat mataku terbelalak.

“Bagiku, cinta itu sederhana, Fa. Seperti aku menyukai indomie telur ceplok ini, tanpa peduli rasanya seperti apa. Asinkah, hambar, manis, aku tetap suka. Cinta adalah apa yang kulakukan dan kurasakan padamu, enggak ada hubungannya dengan apa yang kamu berikan padaku. Aku yakin, kamu tetap bisa merasakan seandainya aku punya motif lain.”

Deg … desiran halus tiba-tiba menyelinap dalam hatiku. Mungkin karena kata-kata yang kamu ucapkan kuterjemahkan sebagai ungkapan perasaan. Dengan sedikit ragu aku mencoba memperjelasnya, “Maksudnya, Mas?”

“Aku sedang dipenuhi cinta karenamu, Fa. Aku berharap bisa menikah denganmu, tapi aku juga berharap kamu enggak terbebani olehku. Jadi, menjawabnya atau enggak itu terserah padamu.” Suaramu terdengar jelas dan lugas.

Seperti harapanmu, aku sama sekali enggak terbebani karena ungkapan itu. Kurasa karena kamu pun tampak biasa. Sampai-sampai aku lupa menjawabnya padahal sudah enam bulan berlalu. Lalu apa yang membuatku setuju menikah denganmu Mas? Sebab setelah enam bulan itu, aku juga penuh cinta karenamu. Aku enggak takut lagi ditinggal pergi, aku hanya berusaha melakukan bagianku dengan sepenuh hati. 

Kini sudah tujuh tahun kita menikah, Mas. Tentu bukan tanpa masalah. Seperti saat ini. Tapi aku sadar, masalah hadir saat aku mulai serakah. Dia mengingatkan aku dan kamu untuk kembali pada posisi cukup. Jadi aku datang ke tempat ini, memakan menu kesukaan kita, agar kembali sadar pada cinta sederhana yang selama ini membuat kita tumbuh bersama.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan