The Shadow of Black Rose (Part 1 - 5) Gratis

2
0
Deskripsi

Hanya dalam hitungan detik, senjata api telah berpindah tangan. Moncong pistol berada tepat di kepala Flora. Gadis itu memejamkan mata, gemetar. Untuk kedua kalinya Alsen menodongkan pistol ke arahnya.

"Dalam situasi seperti saat ini, seharusnya Nona bisa menyimpulkan apa arti mawar hitam. Dendam, kebencian, dan ... kematian," desis Alsen.

Perlahan, Alsen menurunkan senjatanya. Flora memberanikan diri membuka mata. Gadis itu kehilangan kata-kata. Ucapan Alsen terdengar mengerikan.

"Seharusnya Nona...

PROLOG

"Namanya Alsen," ujar Romeo. "Dia yang akan menjagamu selagi aku sibuk di luar negeri."

Flora mengerjap, sudut matanya melirik pria muda bersetelan kemeja putih dan jas hitam yang berdiri tegak di samping Romeo. Pria itu mengangguk hormat dengan wajah datar tanpa senyuman. Mata tajamnya menyiratkan keangkuhan. 

Napas Flora terengah-engah, ia membenci kehadiran pria itu. Ia pun meraih jambangan kristal dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lantas membanting benda antik itu hingga hancur. Kepingan-kepingan kristal berhamburan ke segala arah.

"Flo!" Romeo berteriak emosi, mencekal pergelangan tangan saudara kembarnya. "Tidak bisakah kau bersikap tenang sedikit?"

Flora mengempaskan tangannya hingga terlepas dari genggaman Romeo. Mundur selangkah, wajah sayunya semakin memerah menahan emosi.

"Bagaimana aku bisa tenang? Papa dan Mama baru saja meninggal. Dan kau memasukkan orang asing itu ke rumah ini!" Telunjuknya mengarah tepat ke wajah Alsen.

"Dia bukan pria asing sembarangan, Flo! Dia seorang bodyguard terlatih!"

"I don't care! Masa bodoh, aku tidak membutuhkannya! Suruh dia pergi sekarang juga!"

"Flo, mengertilah." Romeo menurunkan nada suara, menyentuh kedua bahu Flora dengan lembut. "Saat ini hanya kita yang tersisa, dan tidak menutup kemungkinan pembunuh-pembunuh itu juga sedang mengincar nyawa kita berdua." 

"Kau yang seharusnya mengerti! Dalam keadaan seperti ini aku membutuhkan kakakku! Bukan pria asing!"

Bisa diterka bagaimana perasaan Flora saat itu. Rasa sedih karena kehilangan kedua orang tua, dan sekarang ia semakin tertekan dengan kehadiran pria dingin yang akan menjaganya. Sementara Romeo sibuk mengurus perusahaan. Kakak macam apa itu?

Flora menatap tajam pada Romeo, lantas melempar tatapan penuh kebencian pada Alsen. Hanya beberapa detik, karena detik selanjutnya ia berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Sungguh, ia ingin menangis sekencang-kencangnya.

"Flora! Setidaknya sampai aku tahu siapa pembunuh Mama dan Papa!"

Gadis itu mengabaikan seruan kakaknya, terlanjur kecewa. Ia mempercepat langkah dan membuka pintu kamar. Baru saja akan menutupnya lagi, sesosok tubuh tinggi tegap terlebih dahulu menyelinap masuk dengan sikap waspada.

"Apa yang kau lakukan di kamarku, pria bodoh?" teriak Flora.

"Saya hanya ingin memastikan kamar ini aman untuk Anda, Nona."

"Aku tidak membutuhkanmu!"

Alsen tidak menanggapi Flora. Kembali melangkah dan memeriksa setiap sudut kamar sembari memegang pistol. Mata tajamnya awas menelisik ke segala arah, mengantisipasi kalau-kalau ada bahaya yang mengincar nyawa majikannya.

"Aku memecatmu detik ini juga! Pergilah!"

Lagi-lagi Alsen tidak mengacuhkan seruan Flora. Membuka pintu kamar mandi dan kembali fokus pada tugas. Flora mendengus, berjalan di belakang Alsen seperti anak ayam membuntuti induknya.

"Aku memecatmu! Apa kau tidak punya telinga?"

Tanpa menoleh, Alsen menjawab cepat, "Saya bekerja pada Tuan Romeo, maka hanya dia yang bisa memecat saya."

Flora kehabisan ide. Kalau saja ia bisa mendorong tubuh pria dingin ini dari atas balkon kamar. Atau memukul kepalanya dengan besi. Bagaimana jika merebut pistol dari tangannya dan tembak dia tepat di jantungnya?

"Aku sama sekali tidak membutuhkan perlindunganmu!" Flora menepuk pundak Alsen.

Terlatih oleh sikap waspada, tepukan di pundak kirinya membuat Alsen berbalik dan mendaratkan moncong pistol tepat di dada Flora.

Tubuh Flora gemetar, merasa ngeri. Jika saja Alsen menarik pelatuknya, maka Flora akan terbunuh detik itu juga. Ia mendongak, bertatapan dengan mata setajam elang milik Alsen.

"I will protect you, until I die," desis Alsen. Bergerak satu langkah ke kanan dan pergi meninggalkan Flora.

"Romeo! Pecat dia sekarang juga!" Pintu kamar mandi berdebum keras. 

***

 

 

PART 1

KEHILANGAN

"Stop, James!" Flora mendorong tubuh pria yang tengah mendekapnya. Napas keduanya terengah-engah.

Pria bernama James itu menampakkan sorot mata kecewa. "Come on! Kita sudah menjalin hubungan selama satu tahun tapi kenapa kau masih saja tidak mau melakukannya denganku?"

Flora mencoba menetralkan napas sembari merapikan rambutnya yang berantakan. Lagi-lagi, mereka hampir melampaui batas. Beruntung, sisa-sisa kewarasan Flora membuat gadis itu segera sadar dari ciuman kekasihnya.

"Berapa kali harus kubilang, tolong bersabar sampai kita menikah.

James berdecak. "Kita sama-sama sudah dewasa, Flo."

"Ini bukan masalah masih kecil atau sudah dewasa, tapi ini mengenai sebuah prinsip. Ayolah, kita buat malam pengantin kita nanti menjadi sesuatu yang istimewa."

"Kau sangat menyiksaku, Flo!"

James hampir saja mencium Flora lagi, jika saja ponsel gadis itu tidak berdering. Flora menaikkan kedua alis, lantas bergerak ke meja di sudut ruangan. Tangannya mengacak isi tas dan mengambil benda pipih berlogo apel. Nama Romeo terpampang di sana.

"Ya, Romeo? Please, ini baru jam 9 malam dan kau menyuruhku pulang? Aku bukan anak kecil!" protes Flora.

Namun, seketika wajahnya berubah pias saat Romeo membuka suara. Papa dan Mama kecelakaan, kondisinya parah dan sekarang dirawat di ruang ICU.

Tubuh Flora gemetar. Tidak mungkin! Dua jam lalu bahkan Papa menelepon Flora agar tidak pulang larut malam. Lalu sekarang apa?

"Are you okay, Baby?" James menyentuh pundak kekasihnya.

"Mama dan Papa kecelakaan."

"Astaga, semoga mereka baik-baik saja."

"Kondisinya kritis. Aku takut, James!" Flora menangkup wajah. 

Kecemasan Flora bukanlah tanpa alasan. Satu bulan lalu, kakak tertuanya juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih parah. Mobil yang dikendarai masuk ke dasar jurang dan terbakar. Jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan.

Jika sekarang Mama dan Papa mengalami hal yang sama, bagaimana jika nasib mereka sama tragisnya dengan nasib kakak tertua Flora? Ah, Flora takut kehilangan kedua orang tuanya.

"Antarkan aku ke rumah sakit sekarang!" Flora bergegas memakai sweater dan mengusap air mata.

***

Aroma khas tanah basah dan aroma bunga berbaur menjadi satu. Langit mendung, dan rintik hujan enggan berhenti membasahi bumi, mengiringi duka di pagi hari.

Sudah hampir tiga puluh menit Flora bersimpuh di samping makam kedua orang tuanya. Ia tidak percaya jika Papa dan Mama akan pergi secepat ini. Setelah sebulan yang lalu Flora kehilangan kakak tertuanya, kini duka kembali menyelimuti keluarganya.

"Kita pulang, Flo. Biarkan Mama dan Papa tenang di alamnya." Romeo menyentuh bahu Flora, sementara tangan kanannya memegang sebuah payung hitam.

Gadis itu menggeleng lemah. Matanya sembab, hidungnya memerah. Sejak semalam, ia tidak berhenti menangis. 

Selama ini, ia begitu dekat dengan kedua orang tuanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga mereka, Flora menjadi putri kesayangan Papa dan Mama. Mereka sangat memanjakan Flora, selalu menuruti apa pun keinginan putrinya.

Sekarang, Mama dan Papa sudah pergi. Flora ragu, apakah ia bisa menjalani hari-hari tanpa mereka? Ia memang memiliki Romeo, akan tetapi pria itu jelas tidak bisa menggantikan posisi Mama dan Papa dalam kehidupan Flora.

"Jangan cemas, Flo." James menimpali. "Masih ada aku di sampingmu."

Flora menyusut sisa-sisa cairan bening di matanya. Menghela napas kasar sembari mendongak menatap James. Pria itu tersenyum dan mengangguk, meyakinkan Flora.

Kalau bukan karena hujan yang semakin menderas, Flora enggan meninggalkan makam Mama dan Papa. Meski Romeo memayunginya, akan tetapi angin kencang membuat air hujan membasahi kain hitam yang tersampir di pundak gadis itu.

Perlahan James menyentuh lengan Flora, mengajaknya beranjak dari sana. Flora tak kuasa menolak lagi. Untuk terakhir kali, ditatapnya dua gundukan tanah merah bertabur bunga. Ah, kedua kaki Flora terasa berat untuk melangkah.

"Besok kita bisa ke sini lagi. Sekarang hujan turun terlalu lebat, aku tidak ingin kau sakit. Kau harus istirahat, sejak semalam kau belum tidur."

Flora mengalah, ia membenarkan ucapan Romeo. Meski di rumah nanti, ia tidak yakin bisa tertidur pulas. Ia belum sepenuhnya menerima kepergian Mama dan Papa. Entahlah, Flora tidak mengerti. Terlebih saat Romeo mengatakan jika kecelakaan Mama dan Papa sangat janggal.

Romeo yakin jika seseorang telah menyabotase mobil yang dinaiki mereka, sama halnya dengan kecelakaan yang menimpa kakak tertua mereka. Hanya saja, Romeo tidak tahu siapa pelakunya.

Masa bodoh, Flora tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanya satu, ia tidak rela kehilangan kedua orang tuanya. 

***

Romeo menyilangkan kedua lengan di depan dada, mengawasi seorang pria yang sedang sibuk melayangkan tinju pada sebuah samsak. Tubuh berkulit kecokelatan itu basah oleh keringat. 

Tanpa mengenal lelah, pria itu terus melayangkan tinju, seolah tenaganya tidak pernah ada habisnya. Merasa diawasi, ia pun menghentikan aktivitasnya. Menoleh pada Romeo dengan tatapan tajam.

"Kau yang bernama Alsen?" tanya Romeo.

"Ya," sahut Alsen singkat. Ia mengelap wajah dan lehernya dengan sehelai handuk kecil.

"Seseorang merekomendasikanmu padaku. Katanya, kau bisa diandalkan, selalu melaksanakan tugas dengan baik dan tidak pernah gagal."

Alsen memicingkan mata, mengawasi Romeo dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Lalu?"

"Aku membutuhkanmu."

"Untuk?"

"Menjaga adikku. Kedua orang tua dan kakak kami meninggal, kemungkinan terbesar karena pembunuhan. Sekarang hanya tersisa aku dan adikku. Aku curiga jika seseorang itu juga mengincar nyawa kami."

Alsen menyugar rambut, lagi-lagi menatap Romeo tanpa ekspresi. "Bayarannya?"

Romeo menyebutkan sejumlah nominal yang cukup besar, akan tetapi Alsen hanya menaikkan kedua alis seraya kembali menghampiri samsak tinju. "Anda bisa cari orang lain."

Romeo hampir berteriak frustrasi. Benar apa kata orang, selain sedikit bicara, pria bernama Alsen itu memang selalu meminta bayaran tinggi untuk setiap tugasnya. Mungkin itu sebanding dengan kemampuan yang dimiliki.

Lihatlah bagaimana cara Alsen menyerang samsak dengan tinju serta tendangan kakinya. Romeo yakin Alsen adalah orang yang tepat untuk melindungi Flora. Terlebih lagi, sikap dingin Alsen yang nampaknya akan bekerja secara professional, tidak akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. 

Romeo tidak ingin Flora jatuh pada orang yang salah. Semua orang mengakui kecantikan Flora, tubuhnya proporsional layaknya model papan atas. Wajahnya pun akan membuat pria mana pun takluk dibuatnya. Yang paling penting, Romeo tahu benar bahwa Flora belum pernah tersentuh lelaki.

Usai berlatih dengan samsak, Alsen mengambil sebuah pedang dan dengan lincah memainkannya. Benda tajam itu melayang di udara, bergerak seiring tubuh Alsen yang meliuk memperlihatkan kebolehannya dalam hal ilmu bela diri.

Romeo semakin terkesima, dan ia tidak punya pilihan lain. Nyawa adiknya jauh lebih penting dari harta sebanyak apa pun. Tanpa berpikir panjang lagi, ia merogoh cek dari saku jasnya. Membubuhkan tanda tangan di sana.

"Kau boleh mengisi nominal berapa pun yang kau inginkan, asalkan kau bersedia menjaga adikku." Romeo meletakkan cek di atas meja.

Alsen menghentikan gerakannya. "Tinggalkan kartu nama Anda."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Alsen. Pria itu kembali mengayunkan pedang, kali ini tepat mengenai sebuah apel di atas meja. Apel itu terbelah menjadi dua, tepat di bagian tengahnya. 

Romeo hampir ternganga dibuatnya. Ia semakin yakin jika Alsen pasti bisa menjaga Flora. Romeo mendesah lega, mengambil kartu nama dan meletakkannya di samping cek.

"Kau bisa mulai bekerja besok. Terima kasih. Aku mempercayakan adikku padamu."

Alsen tidak menjawab, sibuk dengan senjata barunya. Sebuah pistol. Dengan gerakan cepat, Alsen menembak botol-botol yang terjajar di meja, dan semuanya pecah tertembus peluru. Baiklah, Alsen memang memiliki kemampuan di atas rata-rata, Romeo harus mengakui itu.

***

 

 

PART 2

BODYGUARD

Berkali-kali Flora mengawasi jam digital di dinding ruang tamu. James terlambat tiga puluh menit untuk menjemputnya. Sementara ponsel pria itu tidak bisa dihubungi. Menunggu memang membosankan.

Hari ini James berjanji akan mengajaknya berjalan-jalan di taman. Flora butuh hiburan setelah kepergian kedua orang tuanya membuat ia terpuruk.

Tepat saat Flora akan kembali ke kamar, bel berbunyi. Gadis itu tersenyum, setengah berlari mendekati pintu dan membukanya. Namun, senyumnya menghilang saat ia tidak menemukan James di sana.

Flora menaikkan kedua alis, heran melihat kehadiran pria bertubuh tinggi tegap di hadapannya. Jika dilihat dari kemeja putih dan jas hitam yang dikenakan, pria itu bukanlah salah satu bodyguard Romeo.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Flora.

"Saya ingin bertemu Tuan Romeo," sahutnya datar.

Really? Romeo memiliki teman bertampang dingin seperti ini? Oke, dilihat dari tampang, pria ini memang cukup tampan, tetapi wajah tanpa senyumnya itu membuatnya terlihat menyebalkan. 

"Romeo tidak di rumah. Kau bisa pergi sekarang."

"Saya ingin bertemu Tuan Romeo."

Flora melebarkan mata. Apa selain dingin, pria di hadapannya juga minim kosakata sehingga tidak bisa mencari kata-kata lain selain mengulang kalimatnya? Di mana Romeo menemukan pria semacam ini?

"Pergilah sebelum aku memanggil security untuk menyeretmu!" Flora menutup pintu, akan tetapi gerakannya kalah cepat dari pria di hadapannya. 

Hanya dengan sebelah tangan, pria asing itu dengan mudah menahan pintu agar tidak tertutup, sementara Flora sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk melancarkan usahanya. Akhirnya, Flora menyerah. Setelah memberikan tatapan penuh amarah, Flora meninggalkan pintu dan berteriak memanggil kakaknya.

"Romeo! Ada pria aneh yang entah berasal dari planet mana, mencarimu!"

***

"Namanya Alsen," ujar Romeo. "Dia yang akan menjagamu selagi aku sibuk di luar negeri."

Flora mengerjap, sudut matanya melirik pria muda bersetelan kemeja putih dan jas hitam yang berdiri tegak di samping Romeo. Pria itu mengangguk hormat dengan wajah datar tanpa senyuman. Mata tajamnya menyiratkan keangkuhan. 

Napas Flora terengah-engah, ia membenci kehadiran pria itu. Ia pun meraih jambangan kristal dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lantas membanting benda antik itu hingga hancur. Kepingan-kepingan kristal berhamburan ke segala arah.

"Flo!" Romeo berteriak emosi, mencekal pergelangan tangan saudara kembarnya. "Tidak bisakah kau bersikap tenang sedikit?"

Flora mengempaskan tangannya hingga terlepas dari genggaman Romeo. Mundur selangkah, wajah sayunya semakin memerah menahan emosi.

"Bagaimana aku bisa tenang? Papa dan Mama baru saja meninggal. Dan kau memasukkan orang asing itu ke rumah ini!" Telunjuknya mengarah tepat ke wajah Alsen.

"Dia bukan pria asing sembarangan, Flo! Dia seorang bodyguard terlatih!"

"I don't care! Masa bodoh, aku tidak membutuhkannya! Suruh dia pergi sekarang juga!"

"Flo, mengertilah." Romeo menurunkan nada suara, menyentuh kedua bahu Flora dengan lembut. "Saat ini hanya kita yang tersisa, dan tidak menutup kemungkinan pembunuh-pembunuh itu juga sedang mengincar nyawa kita berdua." 

"Kau yang seharusnya mengerti! Dalam keadaan seperti ini aku membutuhkan kakakku! Bukan pria asing!"

Bisa diterka bagaimana perasaan Flora saat itu. Rasa sedih karena kehilangan kedua orang tua, dan sekarang ia semakin tertekan dengan kehadiran pria dingin yang akan menjaganya. Sementara Romeo sibuk mengurus perusahaan. Kakak macam apa itu?

Flora menatap tajam pada Romeo, lantas melempar tatapan penuh kebencian pada Alsen. Hanya beberapa detik, karena detik selanjutnya ia berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Sungguh, ia ingin menangis sekencang-kencangnya.

"Flora! Setidaknya sampai aku tahu siapa pembunuh Mama dan Papa!"

Gadis itu mengabaikan seruan kakaknya, terlanjur kecewa. Ia mempercepat langkah dan membuka pintu kamar. Baru saja akan menutupnya lagi, sesosok tubuh tinggi tegap terlebih dahulu menyelinap masuk dengan sikap waspada.

"Apa yang kau lakukan di kamarku, pria bodoh?" teriak Flora.

"Saya hanya ingin memastikan kamar ini aman untuk Anda, Nona."

"Aku tidak membutuhkanmu!"

Alsen tidak menanggapi Flora. Kembali melangkah dan memeriksa setiap sudut kamar sembari memegang pistol. Mata tajamnya awas menelisik ke segala arah, mengantisipasi kalau-kalau ada bahaya yang mengincar nyawa majikannya.

"Aku memecatmu detik ini juga! Pergilah!"

Lagi-lagi Alsen tidak mengacuhkan seruan Flora. Membuka pintu kamar mandi dan kembali fokus pada tugas. Flora mendengus, berjalan di belakang Alsen seperti anak ayam membuntuti induknya.

"Aku memecatmu! Apa kau tidak punya telinga?"

Tanpa menoleh, Alsen menjawab cepat, "Saya bekerja pada Tuan Romeo, maka hanya dia yang bisa memecat saya."

Flora kehabisan ide. Kalau saja ia bisa mendorong tubuh pria dingin ini dari atas balkon kamar. Atau memukul kepalanya dengan besi. Bagaimana jika merebut pistol dari tangannya dan tembak dia tepat di jantungnya?

"Aku sama sekali tidak membutuhkan perlindunganmu!" Flora menepuk pundak Alsen.

Terlatih oleh sikap waspada, tepukan di pundak kirinya membuat Alsen berbalik dan mendaratkan moncong pistol tepat di dada Flora.

Tubuh Flora gemetar, merasa ngeri. Jika saja Alsen menarik pelatuknya, maka Flora akan terbunuh detik itu juga. Ia mendongak, bertatapan dengan mata setajam elang milik Alsen.

"I will protect you, until I die," desis Alsen. Bergerak satu langkah ke kanan dan pergi meninggalkan Flora.

"Romeo! Pecat dia sekarang juga!" Pintu kamar mandi berdebum keras. Flora kembali turun ke ruang tamu menemui kakaknya. 

Romeo yang sedang menelepon seseorang, mendadak mengakhiri pembicaraan jarak jauhnya. “Tenanglah, Flo.”

“Tenang bagaimana, hah? Kau lihat dia bahkan berani masuk ke kamarku tanpa izin!”

“Kamarmu adalah salah satu lingkup ruang kerja Alsen.”

“Yang benar saja! Kau bahkan membelanya? Bagaimana jika dia berbuat macam-macam padaku? Aku seorang gadis, dan dia laki-laki asing yang tidak diketahui asal usulnya.”

“Bagaimana cara menjelaskannya padamu?” Romeo mengusap wajahnya. “Kita saudara kembar, Flo. Seharusnya kau bisa merasakan apa yang aku rasakan. Aku mempercayai Alsen, kau tidak bisa merasakan itu?”

“Tolonglah, Romeo. Aku bisa meminta James untuk menjagaku.”

“Percayalah, sebagai sesama lelaki, instingku mengatakan jika Alsen bukan pria brengsek. Meski tampilan luarnya terlihat sedikit mengerikan, tapi dia type lelaki berprinsip yang menghargai wanita.” 

“Kau selalu saja sok tahu!”

“Bukannya sok tahu. Aku berbeda denganmu. Selama ini kau hanya menghabiskan waktu bersama teman-temanmu. Sedangkan aku, sudah berinteraksi dengan banyak orang yang memiliki berbagai macam sifat. Pertama kali melihat Alsen, instingku mengatakan jika dia satu-satunya lelaki yang bisa menjagamu.”

Flora menangkup wajah, putus asa. Sepertinya ia tidak bisa membantah keputusan Romeo lagi. Saat ini, Romeo yang sepenuhnya memegang kendali. Entah itu yang berkaitan dengan urusan perusahaan, ataupun mengenai kehidupan keluarga mereka.

“Semuanya akan baik-baik saja, Flo.” Romeo meraih tubuh Flora ke dalam pelukannya. Mengelus rambut panjang adiknya sembari berbisik, “Jangan biarkan pembunuh itu memegang kendali atas pertarungan ini. Kita harus mengambil alih, Flo. Kita harus menang setelah mencari kebenaran. Turunkan egomu, biarkan Alsen membantu kita meraih kemenangan ini.”

***

Alsen mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang tamu. Langkahnya terhenti di sudut ruangan. Mengambil sebuah pigura yang menampakkan foto Flora dan almarhum ayahnya. Senyum Flora terlihat ceria, berbeda jauh saat gadis itu menyambut kedatangan Alsen.

"Abaikan sikap Flora." Romeo berdiri di samping Alsen. "Sejak kecil Mama dan Papa selalu memanjakannya. Wajar jika sekarang dia menjadi gadis yang sulit diatur. Masa mudanya dihabiskan untuk bersenang-senang dengan teman-temannya, tanpa dia sadari bahwa mereka hanya memanfaatkan materi milik keluarga kami."

Alsen menatap Romeo sekilas, lalu meletakkan pigura ke tempat semula. Tatapannya beralih pada foto Flora dengan pakaian wisuda.

"Itu Flora saat wisuda. Sayangnya dia tidak pernah serius menuntut ilmu. Dia kuliah hanya untuk mencoba hal-hal baru. Selebihnya, untuk bersenang-senang." Romeo kembali menjelaskan. "Oke, aku harap nanti Flora tidak akan terlalu merepotkanmu. Satu jam lagi aku harus pergi ke Singapura. Selamat bekerja, Alsen."

Romeo menepuk pundak Alsen, lantas beranjak meninggalkannya. Alsen mengetuk-ngetukkan ujung jari di meja, memperhatikan punggung Romeo yang semakin menjauh.

Romeo Williams, putra kedua dari Tuan Williams yang sekarang menjadi salah satu pengusaha muda tersukses di Indonesia. Selain menjadi penerus perusahaan yang dirintis oleh ayahnya, Romeo juga berhasil mengembangkan sayap bisnisnya ke berbagai bidang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Melihat kesuksesan keluarga Williams, wajar jika banyak orang iri hingga akhirnya menganggapnya sebagai musuh. Entahlah, Alsen tidak mau tahu. Alsen sendiri sebenarnya merasa enggan berurusan dengan orang kaya, terlebih yang bersifat angkuh dan sombong seperti Nona Flora Williams.

Alsen tidak punya pilihan lain, ia terlanjur menerima tugas ini. Dan sepertinya dia akan mengalami sedikit kesulitan, mengingat sifat-sifat Flora yang sudah disebutkan Romeo beberapa saat lalu. 

Kalau boleh memilih, Alsen lebih memilih menjadi bodyguard seorang bos mafia ketimbang menjadi pengawal gadis manja. Sekali lagi, Alsen tidak punya pilihan lain.

***

 

 

PART 3

MAWAR HITAM

Jam dinding antik di sudut ruang tamu berdentang tiga kali. Alsen melipat koran edisi terbaru, lantas meletakkannya di meja. Tatapannya beralih pada jam warna gold berukuran cukup besar. Bandulnya bergerak seirama dengan suara yang dihasilkan. 

Keluarga Williams nampaknya sangat menyukai barang antik. Selain jam dinding mahal, ada beberapa guci antik dari berbagai negara, tersebar di seluruh ruangan. Ditambah lagi, lukisan-lukisan karya seniman ternama yang menghias dinding. 

Beberapa saat setelah suara nyaring tidak terdengar lagi, bel pintu berbunyi. Seorang pelayan tergopoh-gopoh melintasi ruang tamu, akan tetapi Alsen memberikan isyarat agar wanita tua itu menjauh.

"Mulai hari ini, aku yang bertugas membuka pintu," ucap Alsen, setidaknya ia bisa mengambil kesimpulan apakah tamu itu berbahaya atau tidak.

Alsen mengawasi pria bertubuh tinggi tegap di hadapannya. Jika dilihat dari wajahnya, pria itu bukanlah asli pribumi. Rambut sedikit pirang, hidungnya mancung, dan bermata biru. Kalau Alsen tidak salah tebak, pria ini berdarah setengah Eropa. 

"Siapa Anda?" tanya Alsen.

"Aku? James!"

"Ada perlu apa datang ke sini?"

James mendelik. Haruskah ia mendapat pertanyaan itu? Yang benar saja, sudah puluhan kali ia bertandang ke rumah ini, dan baru kali ini ia diperlakukan seperti orang asing. "Tentu saja untuk menjemput Flora."

"Maaf, untuk saat ini Nona Flo tidak bisa bertemu pria asing."

"What? Are you crazy? Aku bukan orang asing, Flora kekasihku." James menaikkan nada suara. "Dan siapa kau? Berani sekali menginterogasiku layaknya seorang penjahat."

"Saya yang bertanggung jawab atas keselamatan Nona Flo."

James mendengus, menatap Alsen dari ujung kaki hingga ujung rambut. Bodyguard baru? "Aku tidak peduli siapa dirimu. Aku ingin bertemu Flora."

James melangkah masuk, akan tetapi Alsen menghalanginya. "Anda tidak bisa masuk tanpa seizin saya."

"Aku tidak ada urusan denganmu!" 

James mendorong Alsen dengan kasar. Tubuh Alsen terhuyung. Detik selanjutnya, Alsen menarik kedua tangan James dan menguncinya di balik punggung. James mencoba memberontak, namun Alsen jelas bukan tandingannya.

"Apa yang kau lakukan pada James?" Flora berteriak dari ujung tangga. Beberapa saat lalu ia mendengar keributan di ruang tamu. Ia bergegas berlari meninggalkan kamar, dan benar saja. James terlihat tidak berdaya oleh Alsen.

Flora semakin emosi saat dengan sekali gerakan Alsen mendorong tubuh James keluar rumah dan mengunci pintunya.

"Apa-apaan ini?" Flora menghampiri bodyguard barunya.

Alsen tidak menjawab, pria itu mencabut anak kunci dan memasukkannya ke saku celana. Flora semakin meradang.

"Bagaimana mungkin Romeo memperkerjakan pria gila sepertimu? Kau tidak bisa bertindak semaumu seperti ini! Buka pintunya!"

Alsen menatap Flora tajam. "Saat ini Anda harus waspada pada setiap orang yang berada di dekat Anda, termasuk pada kekasih Anda."

"Ya! Dan aku juga harus waspada denganmu! Kau orang asing! Sementara aku mengenal James lebih dari setahun! Kau tahu apa tentang dia, huh?"

"Anda memang mengenalnya, tapi Anda tidak pernah tahu apa motif dia mengenal Anda."

"Jangan sok tahu! Kau bukan siapa-siapa di rumah ini!"

"Tuan Romeo membayar mahal saya untuk melindungi nyawa adiknya."

"Tapi kau bukan melindungiku! Kau menyiksaku!"

Alsen tidak mengacuhkan teriakan Flora. Pria itu meninggalkan majikannya, masuk ke ruangan pribadi.

***

Flora duduk dengan gelisah di meja makan. Ia mengetuk-ngetukkan jari di permukaan meja, sesekali memainkan ujung rambut. Saat seorang pelayan menghampirinya, ia menghela napas lega.

"Kau sudah memberikan teh itu untuknya?" tanya Flora.

"Sudah, Nona."

"Bagus," Flora tersenyum miring. Jangan sebut dia gadis pintar jika tidak bisa mengelabui bodyguard menyebalkan itu. Flora hanya perlu menunggu beberapa menit, dan ia bebas melakukan apa pun yang ia mau.

Alsen pasti tidak akan tahu jika minuman yang dibawa oleh pelayan, sebelumnya sudah dicampur dengan obat bius. Ide brillian, Flora tidak perlu memakai tenaga untuk melawan Alsen.

Lima belas menit kemudian, Flora menghampiri ruangan pribadi Alsen. Mengendap-endap dan mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Pria itu pasti sudah tergeletak tidak berdaya. Membayangkan itu, Flora tersenyum senang.

Saking semangatnya, ia justru terhuyung dan pintu terdorong hingga terbuka lebar. Flora mencengkeram handle pintu kuat-kuat, merasa kikuk. Sial! Ia ketahuan mengintip! Pasalnya, Alsen tidak sedang tidur seperti dalam bayangannya. Sekarang, Flora harus menanggung malu.

Alsen sedikit menurunkan kacamata hitamnya, sehingga ia bisa dengan jelas menatap Flora. Sebelah tangannya memegang cangkir putih berisi kopi. Bagaimana bisa berubah menjadi kopi? Bukankah Flora membuatkan teh?

Alsen berdeham. "Saya tidak menyukai teh. Gunakan kopi dengan sedikit krimmer jika ingin menjebak saya."

Mata Flora terbelalak lebar. Ternyata untuk mengelabui Alsen tidaklah mudah. Pria itu memiliki tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Sekarang bagaimana? Rencananya untuk kabur bersama James gagal.

"Aku benar-benar ingin melenyapkanmu dari muka bumi ini," dengus Flora.

Lagi-lagi Alsen tidak menanggapi. Meminum kopi dari cangkir, lantas mengusap bibir dengan ibu jarinya. Sangat menyebalkan!

Apa Romeo tidak bisa mencari bodyguard yang menyenangkan? Yang mudah diajak berkomunikasi dan selalu menampakkan wajah ramah. Bukan seperti Alsen, sedikit bicara dan tidak pernah tersenyum. Dingin seperti es, dan kaku layaknya robot.

Alsen meletakkan cangkir di meja dan beranjak dari sofa saat bel pintu berbunyi. Flora membuntutinya, berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk kabur. Yah, meski untuk kali ini Flora sudah kehabisan ide.

"Ada kurir yang mengantar buket bunga untuk Nona Flora." Security menunjukkan sebuah buket berisi rangkaian mawar hitam.

Flora merangsek maju, ingin mengambil buket bunga dari tangan security. Namun, Alsen terlebih dulu mencekal pergelangan tangan kanannya. 

"Bakar bunga itu."

"Siap, Tuan Alsen!" Security berlalu, disusul jeritan histeris Flora.

"Kau! Lagi-lagi mencampuri urusanku!" Flora menepis cekalan tangan Alsen. Emosinya sudah memuncak. Sungguh, ingin rasanya ia membunuh pria di hadapannya saat ini juga.

"Saya hanya ingin melindungi Anda."

"Melindungi apa? Kau terlalu mencampuri urusan pribadiku! Pertama, kau melarang kekasihku datang. Lalu sekarang, kau membuang bunga yang jelas-jelas dikirimkan untukku! Bagaimana jika James yang mengirimnya?"

Alsen tidak mengacuhkan teriakan Flora. Lengan kokohnya terulur untuk mengunci pintu dan kembali memasukkan anak kunci ke saku celana. 

Emosi Flora semakin terpancing. Tanpa pikir panjang, ia merampas pistol dari pinggang Alsen. Gadis itu mengarahkan pistol ke punggung Alsen dan bersiap menarik pelatuknya. Namun, Alsen adalah seseorang yang sudah terlatih bergerak dalam situasi genting. Flora tidak ada apa-apanya di mata Alsen.

Hanya dalam hitungan detik, senjata api telah berpindah tangan. Moncong pistol berada tepat di kepala Flora. Gadis itu memejamkan mata, gemetar. Untuk kedua kalinya Alsen menodongkan pistol ke arahnya.

"Dalam situasi seperti saat ini, seharusnya Nona bisa menyimpulkan apa arti mawar hitam. Dendam, kebencian, dan ... kematian," desis Alsen.

Perlahan, Alsen menurunkan senjatanya. Flora memberanikan diri membuka mata. Gadis itu kehilangan kata-kata. Ucapan Alsen terdengar mengerikan.

"Seharusnya Nona bersyukur karena Tuan Romeo rela mengeluarkan uang banyak demi keselamatan adiknya. Anda hanya memiliki dua pilihan, berlindung di balik punggung saya, atau berjalan sendiri dan mati sia-sia."

Flora menelan salivanya. Apa Alsen hanya bisa berbicara panjang lebar saat mengucapkan kalimat mengerikan dan membuat Flora tidak berkutik?

"Saya akan berusaha mencari tahu siapa pengirim mawar hitam itu," ucap Alsen lagi, sesaat sebelum melangkah pergi.

Sepeninggal Alsen, Flora mengacak rambutnya kesal. Apa Alsen pikir Flora akan terkesan dengan kalimat terakhirnya? Sama sekali tidak! Menurut Flora, Alsen terlalu berlebihan. Mungkin saja kiriman buket bunga itu dari seorang penggemar rahasia Flora.

Tapi bagaimana jika yang dikatakan Alsen benar? Pengirim mawar hitam itu orang yang sama dengan dalang di balik kecelakaan Mama dan Papa? Dendam, kebencian, dan kematian.

Berpikir positif, Flo! Jangan dengarkan Alsen. Bodyguard menyebalkan itu hanya ingin mendapatkan bayaran tinggi, sehingga memanfaatkan kesempatan yang ada. Dan Flora sama sekali tidak ingin mempercayainya!

***

 

 

PART 4

BAYANGAN HITAM

Mawar hitam. Sebenarnya Flora tidak peduli pada buket bunga yang tidak diketahui pengirimnya. Alsen keterlaluan, bisa-bisanya ia mengartikan bunga itu sebagai lambang kebencian. Ya, pria dingin memang tidak tahu menahu tentang hal romantis, bukan? 

Baiklah, Flora hanya menghibur diri. Meski berulang kali ia mencoba berpikir positif, tetapi ada kalanya ia berimajinasi yang tidak-tidak. Bagaimana jika saat ini seorang sniper sedang berdiri di suatu tempat dan bersiap mengeksekusinya?

No! Itu tidak mungkin. Flora bahkan masih tidak percaya jika penyebab kematian orang tuanya adalah ulah dari orang-orang jahat. Bisa jadi mereka murni kecelakaan, hanya saja Romeo terlalu berlebihan menanggapi hal ini.

Flora menyentuh pagar balkon kamar, memperhatikan pria berseragam security yang sedang menuangkan cairan bening ke atas buket mawar hitam. Tak lama, percikan api menyambar buket bunga dan membakarnya hingga hancur menjadi abu.

Flora menghela napas kasar. Semenjak kedatangan Alsen, kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Kebebasannya terenggut begitu saja. Jangankan untuk bersenang-senang dengan teman-teman, berkencan dengan James pun tidak bisa. Peraturan macam apa itu?

Apa pun yang terjadi, Flora tidak akan menyerah untuk melawan bodyguard menyebalkan itu. Dia akan membuktikan pada Alsen, bahwa pria asing itu tidak pantas menjadi pengawalnya. Mungkin ia perlu merencanakan rencana untuk melarikan diri, tentunya dengan planing yang lebih matang.

Mengabaikan kobaran api kecil di halaman, Flora masuk ke kamar. Mengambil ponsel dan menelepon James.

"Baby, I miss you." James menyambutnya dengan sapaan hangat.

"Oh, James. Aku sangat tersiksa oleh bodyguard-ku!"

"Apa kau sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk kabur?"

"Pria itu menjagaku selama 24 jam. Entahlah, mungkin Alsen tidak pernah tidur. Dia selalu terjaga di ruangan kerjanya. Dia memasang CCTV di setiap pintu, karenanya aku tidak bisa semudah itu melarikan diri."

"Kau harus mencobanya lagi, Baby."

"Ah ya, bahkan buket mawar yang kau kirimkan pun dibakar atas perintah Alsen."

"Buket mawar? Aku tidak mengirimkan bunga ke rumahmu."

Flora melebarkan mata. Jika bukan James yang mengirimnya, lalu siapa? Lagi-lagi Flora berpikir positif. Ada banyak pria di luar sana yang mengagumi kecantikannya. Bisa jadi bunga itu sebagai ungkapan kekagumannya. Tapi, ah ....

"Oke, James. Mungkin buket bunga tadi salah alamat."

"Flora ...."

"Ya?"

"Aku ingin cepat-cepat melamarmu."

"Eh ...." Flora menggigit bibirnya. Andai Papa dan Mama bisa mendengar kabar ini, pasti mereka merasa bahagia. Setahun menjalin hubungan dengan James, Flora semakin yakin jika pria itu terbaik untuknya.

"Bagaimana, kau siap?"

"Tentu."

"Jika kita bertemu, kita bisa membicarakan ke tahap yang lebih serius. Mungkin nanti aku perlu bicara dengan kakakmu. Aku tahu kau masih dalam suasana berduka, tapi aku pikir jika kita menikah, Romeo akan mempercayakanmu sepenuhnya padaku. Sehingga kau tidak membutuhkan bodyguard lagi.”

"Aku setuju. Oke, aku akan menghubungimu lagi nanti saat sudah berhasil kabur dari rumah."

"Jaga diri baik-baik, Baby."

Flora mengempaskan tubuh ke atas ranjang. Meringkuk di bawah selimut bergambar Menara Eiffel. Pikirannya berkecamuk memikirkan banyak hal. Kepergian Mama dan Papa begitu mendadak, dan beruntung ia memiliki Romeo dan James.

James berperan banyak dalam menenangkan hati Flora. Pria itu yang selalu memberinya semangat untuk terus melangkah maju meski tanpa kehadiran Mama dan Papa. James juga yang membantunya bangun dari rasa terpuruk.

Romeo salah menempatkan Alsen di rumah ini. Flora tidak membutuhkan pria asing itu. Kalaupun Romeo tidak bisa selalu hadir untuknya, maka yang Flora butuhkan adalah James, bukan Alsen.

***

Setelah berjam-jam berkutat di berbagai laci, akhirnya Flora menemukan kunci cadangan. Tepat pukul dua dini hari, gadis itu mengendap-endap dan keluar dari rumah. Ia yakin jika Alsen sudah tertidur.

Setengah jam lalu ia sudah memerintahkan pelayan untuk memberikan minuman yang sudah dicampur dengan obat bius untuk security. Sehingga, ia bisa dengan leluasa melewati pintu gerbang. 

Flora menengok ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan James. Ia tersenyum saat menemukan sosok pria itu berdiri di bawah pohon palem. Sementara mobilnya diparkir radius sepuluh meter dari sana.

"Baby, akhirnya kau berhasil terbebas dari bodyguard itu." James memeluk erat tubuh Flora.

"Ah, James! Rasanya aku tidak ingin kembali ke rumah ini. Cepat bawa aku pergi dari sini!"

"Let's go!" James menggandeng tangan Flora, melangkah cepat menuju mobil.

James membuka pintu mobil untuk Flora. Gadis itu mengempaskan pantat ke kursi dan bersandar dengan nyaman. Ia merasa lega.

"Aku merasa lega, seperti seekor burung yang baru terlepas dari sangkar." Flora tersenyum, ditatapnya James yang duduk di balik kemudi.

Kedua mata itu saling bertatapan. Ada kerinduan yang terpancar di sana. James memajukan tubuh untuk mendekat pada kekasihnya. Tanpa canggung, lengannya mengalung di leher Flora dan menarik wajah cantik itu. Ia hampir saja mencium Flora jika saja tidak ada suara mengganggu dari kursi belakang.

"Maaf, tidak sepatutnya kalian melakukan hal tidak senonoh di hadapan orang lain."

Refleks James dan Flora menoleh ke belakang. Flora terlonjak dan melebarkan mata. "Alsen! Kau lagi!"

Flora menggertakkan gigi. Kenapa Alsen selalu ada di mana-mana? Apa pria itu memiliki kemampuan menghilang dari satu tempat ke tempat lain? Bagaimana cara Alsen masuk dan duduk di kursi belakang mobil? 

Dan apa katanya tadi? Tidak senonoh? Huh, sok suci! Seolah dia tidak pernah berciuman dengan lawan jenis! Menyebalkan!

"Apa yang kau lakukan di sini?" Flora menatap Alsen kesal.

"Saya yang bertanggung jawab atas keselamatan Anda, mungkin Anda lupa."

"Aku aman bersama James."

"Jika terjadi sesuatu pada Anda, Tuan Romeo akan menyalahkan saya."

"Aku akan menikah dengan James! Dan aku pastikan saat itu terjadi, Romeo akan memecatmu! Sekarang turun dari mobil James!"

"Saya akan mengawal ke mana pun Anda pergi."

"Aku akan tidur di apartemen James."

"Saya akan pastikan Tuan James tidak akan berani menyentuh Anda."

Argh ... bodyguard yang satu ini! Berani sekali masuk ke wilayah pribadi Flora! "Kami akan membicarakan pernikahan kami. Kau tidak berhak ikut campur."

"Tuan James bisa membicarakan pernikahan di hadapan Tuan Romeo, mengingat dia pengganti orang tua Anda."

"Jangan mengaturku!"

"Kembalilah, Nona. Anda tidak aman berada di sini. Saya melihat seseorang bersembunyi di balik rerimbunan pohon. Saya khawatir ada mata-mata yang sedang mengintai Anda."

James tertawa mengejek. "Di sini aku justru mencurigaimu sebagai mata-mata. Kenapa kau membatasi pergerakan Flora? Kau berlagak melindunginya, tapi sebenarnya kau hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghabisinya. Kau harus berhati-hati dengan pria ini, Baby."

"Kita tidak punya waktu banyak, Nona! Cepat ikut saya!" Alsen turun dari mobil, tidak mengacuhkan ucapan James. Ia membuka pintu depan dan menarik Flora dengan cepat.

Flora memekik, tertatih-tatih mengikuti langkah cepat Alsen. Sementara pria itu bersiaga dengan pistolnya.

Alsen benar, Flora melihat sebuah bayangan di dekat pohon dan tanaman perdu. Tapi, apa benar dia orang jahat? Atau mungkin hanya orang yang kebetulan lewat? Lalu untuk apa bersembunyi?

Kekhawatiran Alsen masuk akal. Tapi bagaimana dengan pendapat James? Alsen salah satu dari mata-mata itu? Tidak mungkin! Ini sangat membingungkan. Alsen mencurigai James, sedangkan James mencurigai Alsen.

Ah, lupakan. Lagipula Romeo tidak mungkin salah dalam mengambil anak buah. Pria itu selalu berhati-hati dalam setiap mengambil keputusan. Yah, meski Alsen cukup menyebalkan di mata Flora, tetapi mungkin itu tuntutan tugas. Meski demikian, Alsen tidak seharusnya masuk ke wilayah pribadi Flora. Terlebih dengan menjauhkan Flora dari James. Flora butuh privasi.

"Saya minta Anda masuk ke kamar, saya akan memeriksa orang mencurigakan tadi," ucap Alsen sesampai di halaman.

"Tapi−"

"Saya hanya menjalankan tugas, tolong jangan mempersulit saya."

Flora mencebikkan bibir. Seorang pelayan wanita datang dan menuntun Flora untuk masuk ke rumah. Flora tidak bisa membantah lagi.

Kenapa hidupnya semakin rumit dan dipenuhi dengan teka-teki? Mawar hitam, lalu bayangan mencurigakan. Lantas, besok apa lagi?

Yang jelas, Flora ingin mengungkapkan kekesalannya pada Romeo. Pria itu harus pulang untuk membicarakan pernikahan adiknya dengan James. Dan karir Alsen akan segera berakhir! Flora menyeringai kejam.

***

 

 

PART 5

PRIA MENCURIGAKAN

Flora menahan napas sembari menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Dari balkon kamar ia bisa menyaksikan samar-samar dua orang lelaki yang sedang adu kekuatan. Tidak salah lagi, Alsen bertarung melawan orang asing.

Alsen terlihat menyarangkan tendangan di dada lawannya hingga tersungkur. Selang beberapa detik, sebuah mobil melintas dan pria asing itu dengan gesit masuk ke sana. Selanjutnya, mobil melaju kencang, menyisakan Alsen yang masih bersiaga di tempatnya.

Apakah pria asing itu bermaksud mencelakai Flora? Seandainya Alsen terlambat datang, mungkinkah saat ini Flora sudah tidak bernyawa? Ah, tapi ada James yang bisa melindunginya. Really? Tadi siang saja James dengan begitu mudah dipukul mundur oleh Alsen. Bagaimana James bisa melawan pria asing yang sepertinya keahlian bela dirinya setara dengan Alsen?

Huh, apa-apaan ini? Flora mulai mengagumi kemampuan Alsen dalam melindunginya? Tidak! Flora sama sekali tidak terkesan dan tidak ingin mengucapkan terima kasih. Bukankah Romeo sudah membayarnya untuk tugas itu?

Alsen mengunci pintu gerbang, lantas masuk ke pos security. Mungkin untuk membangunkan tiga orang security yang tengah tertidur pulas akibat ulah Flora. Oke, kali ini Flora mengakui kesalahannya.

Gadis itu mengakui kecerobohannya. Ia tidak bisa membayangkan seandainya orang-orang jahat itu menyelinap ke rumah dengan mudah. Untung saja ada Alsen. Argh! Kenapa harus memikirkan Alsen terus, sih?

Tergesa-gesa Flora turun ke ruang tamu, menunggu Alsen di sana. Bersandar di pilar bangunan seraya menyilangkan kedua lengan.

"Aku tidak akan mengucapkan terima kasih!" seru Flora.

Alsen hanya mengangkat bahu, mengunci pintu dan berlalu dari hadapan Flora. Flora mendengus kesal. Gadis itu tidak suka diabaikan. Come on, ia terbiasa mendapatkan perhatian dari semua orang, terutama pria-pria yang mengagumi kecantikannya. Sedangkan Alsen, terlalu angkuh dan seolah tidak tertarik pada kecantikan Flora sedikit pun.

"Kenapa kau jarang menanggapi kalimatku?" Flora membuntuti Alsen dan lagi-lagi pria itu tidak mengacuhkannya.

Tepat di depan ruangan pribadinya, Alsen berhenti dan menatap Flora, memberikan isyarat agar Flora menjauh darinya. Saat itulah, Flora tertegun. Tangannya terulur menyentuh dahi pengawalnya.

"Kau berdarah," ucap Flora.

"Jangan pedulikan saya. Kembali ke kamar, jangan berada di dekat jendela ataupun di balkon, itu area berbahaya karena Anda akan lebih mudah menjadi target."

"Tapi, lukamu—"

Alsen menepis tangan Flora agar tidak lagi menyentuh luka di dahinya. Lalu, ia masuk ke ruangan dan menutup pintu tepat di depan majikannya.

Flora mengernyit heran. Kenapa mendadak ia bersikap peduli pada bodyguard menyebalkan itu? Namun, Alsen bukannya berterima kasih, tapi justru mengusir Flora secara halus. Yang benar saja, seharusnya Alsen bersyukur karena Flora mempedulikannya. Selama ini Flora bahkan tidak pernah sepeduli ini pada seorang pria, terkecuali James tentunya.

Flora menggaruk kepalanya, masih tidak mengerti pada kejadian beberapa detik lalu.

***

"Tolong mengertilah, Flo. Aku sangat sibuk dan tidak bisa pulang hanya untuk urusan sepele seperti itu."

Flora berdecak. Urusan pernikahan dibilang sepele? Astaga! Oke, Flora tahu jika perusahaan Romeo yang bergerak di bidang pariwisata dan perhotelan di Singapura sedang berkembang pesat. Tapi bukan berarti Romeo bisa mengabaikan urusan adiknya.

"Apa kau tahu di sini aku sangat tersiksa? Aku tidak bisa berkumpul dengan teman-temanku, tidak bisa berkencan dengan James. Aku seperti burung di dalam sangkar," protes Flora.

"Alsen menjalankan tugasnya dengan benar."

"Lalu bagaimana dengan pernikahanku dengan James?"

"Apa harus secepat itu, Flo? Mama dan Papa baru saja pergi, kita tidak mungkin menggelar pesta pernikahanmu."

"Aku tidak menginginkan resepsi pernikahan mewah. Cukup aku dan James resmi menjadi suami istri."

Hening sejenak, barangkali Romeo sedang mempertimbangkan keinginan adiknya. "Oke, kau bisa atur pernikahan kalian secepatnya."

"Setelah kami menikah kau bisa memecat Alsen."

"Tidak bisa! Alsen akan tetap mengawalmu sampai kasus selesai."

"Tapi James bisa melindungiku."

"Jangan membantahku, Flo! Atau aku tidak akan pernah merestui pernikahan kalian."

Flora mencebikkan bibir. "Tapi pria menyebalkan itu tidak pernah mengizinkanku bertemu dengan siapa pun termasuk calon suamiku sendiri."

"Berikan teleponnya pada Alsen. Aku yang akan bicara padanya."

Flora bergegas beranjak dari kamar, membuka pintu ruangan Alsen tanpa permisi. Pria itu tengah sibuk memeriksa komputer berisi rekaman CCTV. Flora menyodorkan ponsel padanya. "Romeo ingin bicara padamu."

Alsen menerima ponsel dari Flora tanpa ekspresi. "Ya, Tuan?"

"Begini, Flora sudah membicarakan tentang rencana pernikahannya dengan James, dan aku menyetujuinya."

"Anda yakin, Tuan? Dalam keadaan seperti ini kita harus menaruh kewaspadaan terhadap siapa pun, termasuk pada Tuan James."

"Kau tidak perlu mencemaskannya. Adikku sudah menjalin hubungan dengan James cukup lama. Sekarang, tugasmu mengawal mereka dalam mempersiapkan pernikahannya. Kau bisa antar ke mana pun mereka pergi."

"Siap, Tuan."

"Oke, Flora. Aku rasa semuanya selesai. Alsen akan membantumu menyiapkan pernikahan. Jaga diri baik-baik."

Flora merebut ponsel dari tangan Alsen. "Entah kapan aku bisa terlepas dari pria gila sepertimu. Dan sekarang kau tidak memiliki alasan untuk melarang James datang ke sini. Mengerti?"

Alsen menaikkan kedua alis, lantas mengalihkan tatapan ke komputer. Lagi-lagi mengabaikan kehadiran Flora.

"Ah, ya! Nanti malam antar aku ke butik untuk fitting gaun pengantin. Bersama James tentunya."

Flora bergeming menanti jawaban dari Alsen. Namun, pria itu sepertinya tidak berniat menanggapi Flora. 

"Hello! Apa di sini aku berbicara dengan dinding?" sindir Flora.

"Apa Anda butuh jawaban? Apa saya bisa menolak perintah?" Alsen menoleh, menghunjamkan mata tajamnya pada Flora.

Flora mendengus. Semua kalimat yang keluar dari bibir Alsen selalu menyebalkan. Mungkin ada baiknya jika pria itu diam daripada harus berbicara.

***

Alsen berjalan membuntuti Flora, masuk ke sebuah butik langganannya. Butik bernuansa modern itu terlihat elegan dengan lampu hias yang menambah semarak bangunan berdinding kaca tersebut.

Malam itu, James sibuk dan dia tidak bisa menemani Flora untuk fitting gaun pengantin. Karena sudah terlanjur membuat janji temu dengan pihak butik, terpaksa Flora datang hanya dengan Alsen.

Seorang pelayan wanita menghampiri Flora, menyambutnya dengan ramah. "Selamat malam, Nona Flora."

"Malam Rea, kau sudah menyiapkan gaun pengantin keluaran terbaru?"

"Semua sudah kami siapkan." Wanita muda bernama Rea itu melirik Alsen sebentar, lantas berbisik pada Flora. "Calon suami Anda sangat tampan, Nona."

Flora melebarkan mata. "Dia bukan calon suamiku, tapi pengawalku."

"Oh ya? Setampan itu tapi hanya menjadi seorang pengawal? Kalau saya berada di posisi Anda, saya akan menjadikannya sebagai pelabuhan cinta." Rea mengedipkan sebelah mata pada Alsen, tetapi pria itu tidak merespon.

"Berhenti membicarakannya, nanti dia bisa besar kepala. Pria dingin seperti dia sama sekali bukan type-ku."

Rea tertawa, mengajak Flora menuju ke sebuah ruangan khusus. Sementara Alsen memilih untuk duduk di sofa. Membaca koran edisi hari ini. Tersenyum miring mengingat percakapan kedua wanita itu.

Menjadi calon suami Nona Flo? Itu tidak ada dalam list impian Alsen. Bayangkan saja, gadis manja dan cerewet itu pasti tidak pernah mau mengalah. Menjadikan seorang pria bertekuk lutut di hadapannya. 

Alsen lebih menyukai gadis berhati lemah lembut, di mana saat gadis itu berbicara selalu menundukkan pandangannya dengan pipi yang bersemu merah. Gadis yang hanya ada dalam khayalan Alsen. 

"Tidak ada pria lain di sini selain dirimu, dengan terpaksa aku meminta pendapatmu. Apa aku cocok mengenakan gaun ini?"

"Ya, sangat cantik."

Jawaban yang memuaskan. Akan tetapi, masalahnya Alsen menjawab pertanyaan Flora dari balik koran. Artinya, Alsen menjawab tanpa menatap Flora terlebih dulu. Lalu bagaimana pria itu bisa menjawab sangat cantik? Asal tebak begitu?

"Permisi, bisa singkirkan koranmu dan tatap aku beberapa detik saja?" Dengan kasar Flora menarik koran di tangan Alsen dan membuangnya ke lantai.

Alsen mengangkat bahu, menatap Flora sekilas. Tubuh gadis itu terbalut gaun pengantin berwarna putih dengan aksen payet di bagian dada. Memang cantik, tapi sayang Alsen tidak menyukai wajahnya yang dipasang semasam mungkin.

Alsen menunduk. "Cantik, tapi mungkin Anda bisa mencari gaun yang bagian dadanya lebih tertutup."

"Huh, sok suci," dengus Flora.

"Bisa cepat sedikit, Nona?"

"Sekarang kau mulai berani mengatur-aturku?"

"Meminimalisir waktu berada di luar rumah jauh lebih baik untuk keselamatan Anda."

"Kau membosankan."

"Maaf, Nona. Saya melihat sesuatu yang mencurigakan. Seseorang meletakkan mawar hitam itu lagi di depan pintu butik. Kita harus segera pergi dari sini."

Flora menoleh ke pintu kaca. Alsen benar, di lantai sana tergeletak setangkai mawar hitam. Mungkinkah itu hanya kebetulan? 

"Nona Flo, merunduk!" Alsen menarik tubuh Flora dan membuat wanita itu merunduk di sofa.

Flora memekik, melihat sebilah pisau meluncur dan menancap tepat di atas meja. Jika saja Alsen tidak menarik tubuhnya, mungkin pisau itu sudah menembus ke jantungnya. Beruntung, saat itu pengunjung butik hanya mereka berdua. Tiga orang pelayan berteriak ketakutan, bersembunyi di bawah meja.

Alsen bersiaga, tatapannya mengarah pada pria berpakaian serba hitam yang baru saja menyelinap keluar dari pintu, berlari menembus kegelapan.

"Kita pulang sekarang, Nona!" Alsen menarik lengan Flora, membawa gadis itu keluar dari butik. 

Flora terseok-seok mengikuti langkah cepat Alsen. Tangan kirinya memegang sisi gaun pengantin. Tubuhnya gemetar, benarkah pria berpakaian setelan hitam berusaha membunuhnya? Ah, tapi tidak mungkin!

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Shadow of Black Rose (Part 6 - 10) - Gratis
2
3
Alsen melepas jas hitamnya, lantas menyelimutkannya di pundak Flora. Gadis itu menoleh, tatapannya kembali beradu pandang dengan Alsen. Ia mencoba menyelami mata tajam milik pria itu, sorot dingin yang menyimpan sejuta misteri. Seolah ada sekat yang membatasi Flora sehingga ia tidak bisa menembus batas yang diciptakan oleh Alsen.Angin bertiup semakin kencang, daun-daun bergemerisik menciptakan suara khas alam. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar suara burung hantu. Ah, Flora membenci suara mencekam itu. Sedikit lagi, ia kembali menggeser tubuh lebih merapat pada Alsen. Daripada ia harus mati ketakutan, akan lebih baik jika ia menurunkan ego dan berpengangan pada lengan Alsen kuat-kuat. Oh, malam ini akan terasa sangat panjang dan menyiksa! Dan Flora tidak mengerti, entah kenapa Alsen terlihat begitu menikmati petualangan ini!***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan