Salju Pertama di New York (Part 1 - 5)

8
0
Deskripsi

SALJU PERTAMA DI NEW YORK

  • Part 1
  • Part 2
  • Part 3
  • Part 4
  • Part 5

PART 1

JAKARTA, INDONESIA

Bangunan bercat putih itu tidak terlalu besar, hanya terdiri dari empat ruangan. Setiap hari, tempat itu selalu ramai oleh seniman-seniman amatir yang ingin melukis ataupun sekedar mengobrol dengan teman. Sebagian besar mereka adalah lelaki, sedangkan wanitanya hanya beberapa orang saja.

"Hai, Anna. Bolos kuliah lagi?"

Gadis bernama Anna itu mendongak, mengalihkan tatapannya dari kanvas. Tersenyum lebar seraya merapikan poni yang berantakan. "Ya, entah kenapa mendadak hari ini aku merindukan kanvas, kuas, dan cat."

"Asal bodyguard ayahmu tidak menyusul ke sini." Ervan mengambil bangku kayu dan duduk di samping Anna.

"Tenang saja, aku kabur dari kampus diam-diam. Tidak ada yang akan tahu." Anna mengedipkan sebelah mata, disambut tawa Ervan. Pria itu mengacak rambut Anna yang digulung ke atas secara asal.

"Dasar gadis nakal!"

Anna, tidak banyak orang yang tahu bahwa gadis itu memiliki nama panjang Keanna Dasha Anderson. Menyandang nama belakang seorang pengusaha ternama di Indonesia, tidak membuat gadis itu bangga. Ia justru tidak menyukai nama keluarganya.

Sejak kecil wajah Anna tidak pernah terendus oleh kamera pers. Berbeda dengan kedua kakaknya yang beberapa kali menjadi sampul majalah berkat segudang prestasi. Anna mendengus. Ya, dia memang berbeda. Dengan wajah Asia dan mata cokelatnya, orang lain tidak akan percaya jika dia mengaku sebagai putri Darren Anderson.

Tentu saja, karena semua orang hanya tahu jika putra dan putri Darren Anderson berwajah blasteran serta bermata hazel. Oke, tapi Anna tidak pernah peduli dengan hal itu. Walau sesekali pernah terbersit dalam benaknya, mungkin dia bukan anak kandung ayahnya.

Really? Tapi jelas-jelas wajahnya sangat mirip dengan ibunya. Atau jangan-jangan ... ia adalah hasil perselingkuhan ibunya dengan pria lain? Astaga, Anna! Apa yang kau pikirkan? Jangan pernah berpikiran buruk tentang ibumu, oke?

"Kau tidak akan pernah menjadi orang sukses seperti kedua kakakmu jika masih saja main-main dengan kuliahmu."

Anna kembali memoles kanvas di hadapannya. "Apa peduliku? Menjadi orang sukses bukanlah cita-citaku. Harta ayahku tidak akan habis bahkan sampai keturunan ke tujuh."

"Kau akan terus hidup bergantung pada harta ayahmu?"

"Tentu saja tidak. Impian terbesarku menjadi seorang pelukis. Tapi sayang, entah kapan aku bisa belajar melukis tanpa gangguan Papa."

"Papamu hanya ingin putrinya menjadi salah satu penerus perusahaannya, aku rasa itu tidak salah, Anna. Kau lihat kakakmu, 'kan? Mata dunia tengah tertuju padanya. Apa kau tidak ingin seperti mereka?"

Anna membanting kuas dengan kasar. "Berhenti membanding-bandingkanku dengan mereka jika kau masih ingin kuanggap sebagai teman. Aku sama sekali tidak ingin menjadi seperti mereka."

"Anna, aku hanya—"

"Pergilah, Ervan! Aku ingin sendiri!"

Jika Anna sudah bersikap ketus, berarti ia sedang tidak ingin diganggu. Ervan beranjak meninggalkannya. Ervan tahu, hubungan antara Anna dan ayahnya tidak harmonis. Menurut cerita Anna, ia sering diperlakukan berbeda dengan kedua kakaknya.

Kedua kakaknya selalu meraih prestasi gemilang, sedangkan sejak kecil, Anna selalu mendapatkan nilai di bawah rata-rata kelas. Kalau saja Darren Anderson bukan penyumbang dana terbesar di sekolah, bisa dipastikan putri bungsunya akan selalu tinggal kelas.

Hanya lima menit sejak Ervan meninggalkan bangkunya, seniman berumur dua puluh lima tahun itu kembali menghampiri Anna. "Anna, cepat sembunyi! Bodyguard ayahmu datang!" serunya.

Anna tergagap, diletakkannya kuas di atas palet, lantas bergegas berlari ke ruangan sebelah. Sial! Kenapa bodyguard ayahnya selalu saja tahu ke mana Anna pergi? Padahal di sini tidak ada tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat persembunyian.

Tatapan Anna tertuju pada pria bertubuh tinggi tegap yang sedang berdiri menatap lukisan di dinding. Tidak ada pilihan lain, mungkin pria itu bisa membantu. Tanpa pikir panjang, Anna segera mendorong tubuh pria asing itu ke sudut ruangan.

"Hei, apa-apaan ini?" tanya pria itu keheranan.

"Jangan banyak bicara, peluk aku sekarang!"

Pria berjaket hoodie warna hitam itu menaikkan kedua alis. Sebelum sempat melontarkan pertanyaan berikutnya, Anna sudah terlebih dulu memutar posisi mereka, lalu melingkarkan kedua lengan di pinggang si pria. Siapa pun yang melihat mereka, pasti akan menyangka pria itu sedang menyudutkan kekasihnya dan berniat menciumnya.

"Biarkan seperti ini, beberapa menit saja. Tolong, aku sedang dalam bahaya," lirih Anna.

"Kau gila!"

"Tolong jangan bicara apa pun, tiga menit, please!"

Samar-samar Anna mendengar teriakan di ruangan sebelah. Tidak diragukan lagi, itu pasti suara bodyguard ayahnya. Semoga saja keberadaan Anna tidak ditemukan.

"Di mana Anna, aku tahu dia ada di sini!"

"Tidak, Tuan. Anna baru saja pergi dari tempat ini."

"Bohong!" Bodyguard itu bergerak ke ruangan sebelah, lantas berdecih. "Jadi selain tempat melukis, ini juga tempat untuk berbuat mesum? Menjijikkan!"

Anna menghela napas lega begitu terdengar derap langkah kaki menjauh. Keberadaannya aman, untung saja ada pria ini. Anna melonggarkan pelukannya, mendongak menatap wajah dengan rahang tegas dan bulu-bulu halus di sana. Mata birunya seolah menenggelamkan Anna ke dasar lautan.

Sedetik kemudian, Anna terpana. Terlebih saat ia merasakan belaian lembut di wajahnya. Disusul wajah pria itu mendekat dan ....

Plaaaak!

Sebuah tamparan keras melayang, pria itu mundur dua langkah seraya memegangi pipi kirinya.

"Berani sekali kau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!" teriak Anna.

"Hei, kau bicara apa? Memangnya siapa yang lebih dulu memelukku?"

"Bukan berarti kau boleh menciumku. Dasar pria mesum!" Tanpa menoleh lagi, Anna bergegas meninggalkan ruangan.

"Axelle, kau baik-baik saja?" Ervan menghampiri pria yang sedang memegangi pipinya.

"Siapa dia?" Axelle menatap punggung Anna dengan tajam.

"Salah satu gadis yang sering belajar melukis di sini."

"Meski sedikit tomboy, tapi tidak terlalu jelek." Axelle menyeringai.

"Tidak! Jangan dia, Axelle!" seru Ervan.

Axelle terkekeh, meninju bahu temannya perlahan. "Jangan khawatir! Gadis tomboy bukanlah type-ku!"

"Tapi dia berwajah Asia. Please, jangan jadikan dia sebagai korbanmu selanjutnya."

"Karena kau mencintainya?"

"Karena dia temanku."

"Teman special?"

Ervan mendesah. "Percayalah, meski kau mendekatinya, percuma. Hatinya sudah terpatri untuk teman kakaknya."

"Cinta itu butuh perjuangan, Dude!" Axelle menepuk pundak Ervan. Tanpa diceritakan pun, dia tahu Ervan menaruh hati pada gadis berpenampilan tomboy itu. Sekali lagi, diliriknya Anna yang sedang membereskan peralatan melukis di ruangan sebelah.

Celana selutut berpadu T-shirt maroon dilapisi jaket denim dengan sedikit aksen robekan di beberapa bagian. Rambut hitamnya digulung ke atas, poninya terlihat berantakan. Meski demikian, wajah Asianya cukup membuat Axelle terpana untuk beberapa detik.

"Apa yang membuatmu meninggalkan kantor dan datang ke sini?" Ervan mengalihkan pembicaraan.

"Terkadang berkas-berkas kantor itu membosankan. Sedikit polesan cat di kanvas akan menghilangkan jenuh."

"Ya, darah seni dari ayahmu mengalir deras di dalam tubuhmu."

"Sayangnya lukisanku tidak sebagus milik ayahku."

"Kau hanya perlu banyak belajar," hibur Ervan. "Oke, jika ingin melukis, kau bisa memakai peralatan milikku."

Beberapa saat lalu, Anna mengira bodyguard ayahnya yang bernama Albert sudah pergi. Ternyata ia salah, tak lama setelah keluar dari tempat persembunyian, Albert sudah berdiri tegak di hadapannya.

"Nona Anna, Tuan Darren menunggu Anda di rumah."

"Astaga, Albert! Kau benar-benar membosankan. Tidak bisakah kau memberiku waktu untuk bersenang-senang sebentar saja?" keluh Anna.

"Ini untuk kesekian kalinya Anda membolos kuliah. Tuan akan menghukum saya jika saya membiarkan Anda, Nona."

"Terserah apa pun katamu, setelah ini akan kukatakan pada Papa, aku akan berhenti kuliah, dan kau tidak perlu lagi memata-mataiku di kampus." Anna meraih tas ransel miliknya. "Padahal aku akan memberikan setengah jatah uang saku milikku jika kau mau menuruti perintahku."

"Tuan Darren bahkan sudah memberikan bonus yang lebih besar untuk tugas ini, Nona."

"Ya! Ya! Kau memang terlalu patuh pada ayahku. Apa kau tidak pernah merasakan masa muda? Bermain-main sebentar tidak ada salahnya, Albert!"

"Maaf, Nona! Saya hanya menjalankan perintah ayah Anda."

Anna mendengus. Baiklah, setelah ini dia harus siap-siap mengantuk oleh ceramah Darren. Itu sudah biasa, namun kenakalan Anna tidak pernah berubah. Dia masih tetap Anna yang ceroboh dan pemberontak.

***

PART 2

Anna mengempaskan pantatnya ke atas sofa. Tidak jauh dari sana, Darren bersandar di dinding, kedua tangannya terlipat di depan dada. Anna melirik ayahnya sekilas, tetapi bergegas menunduk saat dilihatnya Darren memberikan tatapan dingin. Oke, Anna siap menampung kemarahan ayahnya.

"Berkumpul dengan pria-pria bertato itu lagi?" tanya Darren tegas.

"Tato itu seni, Pa. Seseorang tidak bisa di-judge sebagai orang jahat hanya karena tato di lengannya," sanggah Anna.

"Mereka sudah jelas perkumpulan orang-orang yang tidak punya masa depan. Kau ingin seperti mereka, huh? Mau jadi apa nanti? Gelandangan?"

"Anna ingin jadi pelukis, Pa!"

"Pelukis? Siapa yang mau membeli kanvas jelek seperti lukisanmu?"

"Itu karena Papa tidak pernah memberikan kesempatan pada Anna untuk mengasah bakat."

"Dasar gadis keras kepala!" Darren membanting vas bunga berukuran kecil di sudut ruangan. "Tidak bisakah kau menjadi gadis penurut seperti kedua kakakmu?"

Anna berjingkat. Serpihan kaca vas bunga itu terlempar ke kakinya, menyisakan sedikit goresan di sana. "Kenapa Papa selalu saja membanding-bandingkan Anna dengan Kak Lea dan Kak Aldric? Anna tahu, Pa! Anna berbeda. Anna tidak cerdas seperti kedua anak Papa yang lain. Anna hanya putri Papa yang bodoh. Mungkin seharusnya Anna tidak pernah menjadi anak Papa, itu yang Papa harapkan bukan?"

"Terus saja membantah, Anna!" hardik Darren.

"Anna menyesal karena harus menjadi anak Papa!" Anna mengusap setitik cairan bening di sudut matanya. Ia meraih tas ransel dan segera berlari meninggalkan Darren. Menyusuri anak tangga dengan cepat, lantas membanting pintu kamar.

Darren menghela napas kasar. Ia tidak tahu apa yang membuat putri bungsunya menjadi gadis pemberontak. Anna sangat berbeda dengan Lea dan Aldric, anak-anak cerdas dengan segudang prestasi.

Lea, anak pertama yang kini menjadi model terkenal sekaligus penari balet dengan berbagai macam penghargaan. Kedua bernama Aldric, pria yang mewarisi kecerdasan Darren. Sekarang, ia sedang menjalani program beasiswa S2 di New York.

Si bungsu, Anna. Sejak kecil sudah menjadi anak yang susah diatur. Nilai-nilai di sekolahnya selalu rendah, tidak pernah mau belajar. Karenanya, Darren malas pergi ke sekolah Anna ketika ada undangan rapat. Pria itu selalu menyuruh anak buahnya untuk mewakilinya, bahkan sampai Anna masuk perguruan tinggi, tidak pernah sekalipun ia datang ke kampusnya.

Mungkin Darren salah. Seorang anak sangat membutuhkan dukungan kedua orang tuanya, bukan? Tetapi, Darren lebih memilih untuk hadir di acara sekolah Lea dan Aldric ketimbang Anna. Di sana, kamera pers akan berseliweran meliput kesuksesan keduanya. Orang tua mana yang tidak bangga ketika semua orang memuji kecerdasan anaknya?

"Darren, berapa kali kubilang, kau terlalu keras mendidik Anna." Alesha menyentuh pundak suaminya.

"Sejak dulu kau selalu memanjakannya. Lihat, itu membuat Anna menjadi gadis pemberontak," ucap Darren ketus.

"Anna bersikap seperti itu karena sejak dulu kau selalu memaksakan kehendakmu. Setiap anak punya bakat dan minat masing-masing. Begitu juga dengan kecerdasan yang berbeda-beda, itu anugerah Tuhan. Sebagai orang tua seharusnya kita mendukungnya, bukan malah mengabaikannya."

"Jika dididik dengan keras saja dia memberontak, apalagi jika menggunakan kelembutan. Entah jadi apa dia nanti. Gadis nakal yang hamil di luar nikah? Teruslah kau bela putrimu itu!" Darren mendengus, lantas berlalu meninggalkan istrinya.

Darren tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Anna mau menjadi salah satu penerus perusahaannya. Sebenarnya Darren tahu, IQ Anna tidak serendah itu. Gadis itu hanya malas belajar dan sengaja membuat onar untuk mencari perhatian.

Sejak dulu Darren sudah bosan mendengar laporan dari guru kelas Anna bahwa putrinya tidak mau mengerjakan tugas sekolah. Kertas-kertas ulangannya justru dijadikan sebagai media untuk menggambar. Tidak hanya itu, saat dimasukkan ke les balet seperti kakaknya, gadis kecil itu justru kabur ke gedung sebelah untuk belajar karate.

Saking seringnya kabur, pernah suatu kali Anna terjatuh saat berusaha memanjat tembok pembatas bangunan, sampai tangannya patah dan harus dirawat di rumah sakit. Apa gadis kecil itu jera? Tidak, bahkan peristiwa jatuh itu membuat Anna semakin lincah memanjat dinding. Dia benar-benar gadis kecil yang hyperaktif dan cenderung nakal.

***

Matahari sore bersinar cerah. Anna membuka pintu balkon. Dari lantai dua tersebut, ia bisa melihat taman rumah. Ibunya pecinta flora, wajar jika rumah mereka memiliki taman yang cukup luas. Berbagai macam bunga tumbuh di sana, mulai dari mawar, melati, bougenville, dll. Saking banyaknya, Anna sampai tidak hafal nama bunga itu satu per satu.

Jemari lentik Anna menyentuh pagar balkon, mata cokelatnya tertuju pada dua orang pria yang sedang bertanding karate di atas rerumputan, Aldric dan Charless. Sudah menjadi hal wajib bagi kedua pria itu untuk mengadu ilmu karate saat Aldric datang dari New York. Pemenangnya sudah bisa ditebak. Sampai saat ini, Charless tidak pernah bisa terkalahkan.

Pertandingan itu selalu berakhir dengan Aldric tergeletak di rerumputan. Kemudian, Charless akan mengulurkan tangan untuk membangunkannya. Kedua pria itu berpelukan. Charless menepuk pundak Aldric seraya tersenyum.

"Sangat tampan." Anna bergegas meraih kamera DSLR yang menggantung di leher, mengarahkannya pada Charless. Selain hobi melukis, Anna juga menyukai dunia fotografi. Ke mana pun ia pergi, kamera adalah salah satu barang yang wajib ada di dalam ransel.

Anna tersenyum puas melihat hasil bidikannya. Seperti biasa, Charless selalu terlihat tampan sekalipun dilihat dari jarak jauh. Terlebih saat sedang berkeringat seperti sekarang. Anna bahkan rela menukar makanan favoritnya demi melihat teman kakaknya.

"Hei, Si Mata Cokelat! Sedang melihat apa, hah?" Suara teriakan Aldric membuat Anna berjingkat. Gadis itu bergegas menyembunyikan kamera di balik punggung.

Si Mata Cokelat, panggilan special dari Aldric untuk Anna, hanya karena gadis itu memiliki warna mata berbeda dengan kedua kakaknya. Menyebalkan, bukan?

"Bukan urusanmu, Si Mata Hazel!" Anna balas berteriak.

"Hai, Anna!" Charless melambaikan tangan. "Lama tidak berjumpa. Apa kau juga ingin menguji ilmu karate denganku?"

Bertanding karate dengan Charless? Anna bukannya tidak berani, tetapi masalahnya ia tidak bisa mengontrol detak jantungnya saat berada di dekat pria itu. Perawakan tinggi tegap serta otot-otot tubuh terbentuk sempurna. Ah, ayolah, Anna berharap ia bisa tertidur dengan nyaman dalam dekapannya, seperti saat kecil dulu.

Sewaktu kecil Anna sering tidur dengan Charless. Tetapi semenjak Anna merayakan ulang tahun ke delapan, pria itu mulai menghindar. Dan mulai saat itu, Anna merasa sangat kehilangan. Di saat yang sama pula, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya, sesuatu yang tidak pernah ia mengerti.

Seiring waktu yang terus berjalan, akhirnya Anna sadar. Ia telah jatuh cinta pada Charless bahkan sebelum ia mengerti apa arti cinta. Gadis itu masih terlalu kecil untuk bisa memahaminya. Semakin lama, perasaan itu tumbuh semakin subur hingga saat ini. Tidak ada pria manapun yang mampu membuat hatinya berpaling dari Charless.

"Huh, gadis lemah seperti dia, terkena tendangan sedikit saja langsung terjatuh!" Aldric kembali berseru.

Kakak yang menyebalkan. Aldric tidak ubahnya seperti Darren, selalu meremehkan Anna. "Masa bodoh!" Anna membalikkan badan, dan tertegun saat menemukan Alesha berdiri tegak di ambang pintu.

"Boleh lihat kameranya, Sayang?" Alesha tersenyum.

Anna menggeleng gugup. Masih ada foto Charless di LCD display kamera, Alesha tidak boleh tahu, atau wanita itu akan mencurigai perasaan putrinya terhadap Charless.

"Tidak, Ma. Bunga wijaya kusuma milik Mama sedang mekar, karenanya Anna memotretnya."

"Bunga wijaya kusuma akan mekar di malam hari, bukan siang hari."

"Eh ... itu ... emmm ... maksud Anna anggrek Mama."

"Merindukan Charless?"

"Ah, Mama bicara apa?"

"Temui dia, Sayang! Kalian sudah lama tidak bertemu."

"Tapi—"

"Mama dengar malam ini Charless dan Aldric akan menonton bioskop. Kau mau ikut?"

"Kak Aldric? Malas, Ma. Dia menyebalkan."

"Kalau begitu Mama akan meminta agar Charless hanya mengajakmu. Mama tahu, kau butuh hiburan setelah Papa memarahimu. Kalau pergi bersama Charless, Papa pasti tidak akan marah lagi."

"Eh, tapi—"

"Kau siap-siap saja, oke?"

Anna mematung di tempatnya, sementara Alesha berbalik meninggalkan putrinya. Sekali lagi, dilihatnya foto Charless. Menonton bioskop bersama pria yang dicintai? Oh, astaga! Apa Charless nanti akan bersikap romantis seperti pria-pria yang berkencan dengan kekasihnya?

Menarik napas panjang, pikiran Anna mulai melayang ke mana-mana. Apa yang harus Anna lakukan seandainya Charless ... ehm ... menciumnya, mungkin. Ya Tuhan, itu akan menjadi ciuman pertama Anna! Hanya membayangkannya saja, Anna sudah dibuat melayang. Bibir Charless yang ... ah ....

Cukup, jangan dibayangkan lagi. Anna hanya perlu berpikir, kostum apa yang harus dipakai malam ini? Celana jeans dengan kaos bergambar kartun, atau dress ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh?

Anna mengacak rambutnya kasar. Kak Charless! Kenapa kau membuatku jadi serba salah begini!

***

PART 3

Berkali-kali Anna menarik napas panjang. Akhirnya, setelah berdebat dengan Aldric, gadis itu bisa menonton bioskop berdua bersama Charless. Dan entah apa yang membuat Charless memilih kursi deretan A, apa pria itu punya rencana untuk mencium Anna sehingga harus memilih tempat strategis? Astaga, Anna! Siapa yang sudah mencemari pikiranmu?

Charless duduk di kursi paling ujung, sementara Anna duduk di sebelah kanannya. "Tidak masalah 'kan, nonton film horror. Aku tahu kau tidak penakut."

"Tentu saja," sahut Anna lesu. Rupanya Charless masih ingat jika sejak kecil Anna sangat pemberani. Baiklah, artinya gadis itu tidak bisa modus berpura-pura takut lalu menyembunyikan wajah di dada bidang Charless.

Anna memainkan ujung rambutnya. Malam ini, ia mencoba untuk berpenampilan feminim. Meski style berpakaiannya masih tetap kasual, khas Anna. T-shirt putih dilapisi kemeja warna krem, dipadu dengan celana pendek warna senada. Sepatu kets kuning menyempurnakan penampilan tomboy-nya.

"Oh ya, aku dengar Lea kembali memenangkan kompetisi balet di New York," ujar Charless.

"Ya, seperti biasa. Putri kesayangan Papa selalu menambah koleksi pialanya."

"Jangan begitu, Anna. Papamu juga menyayangimu, meski dengan cara yang berbeda."

Anna menggeleng lemah. "Itu tidak benar. Aku tidak tahu apa yang membuat Papa terlihat membenciku. Terkadang aku bahkan berpikir bahwa aku bukan anak kandung Papa."

"Anna, jangan berpikiran yang tidak-tidak."

"Kak Aldric selalu mengataiku anak pungut."

"Aldric senang menggodamu. Jangan mempercayai ucapannya."

Anna tersenyum miring. "Bagaimana aku bisa mengabaikan ucapannya, jika sikap Papa dan kedua kakakku terlihat tidak menyukaiku. Hanya Mama satu-satunya orang selalu memberikan dukungan."

"Dengarkan aku." Charless meremas jemari Anna. "Papamu hanya ingin kau menjadi gadis baik dan tidak salah bergaul. Sedangkan kedua kakakmu, tidak menyukaimu karena sejak kecil kau selalu menjahili mereka."

"Alasan klise!" Sekuat tenaga Anna menahan agar air matanya tidak tumpah. "Papa mengizinkan Kak Lea untuk meraih cita-citanya sebagai model dan penari balet. Lalu kenapa Papa tidak memberikan kesempatan padaku untuk mengembangkan bakat? Meski Papa tahu, minat dan bakatku adalah melukis seperti Mama."

"Papamu tidak menyukai orang yang berprofesi sebagai pelukis."

"Tapi kenapa?"

Charless melepaskan genggamannya pada tangan Anna. "Sudahlah Anna, suatu saat nanti kau akan tahu."

"Apa kalian merahasiakan sesuatu?"

"Lupakan saja, Anna. Tidak ada yang dirahasiakan. Bisa kita fokus ke film?"

Anna tidak membantah. Lampu bioskop sudah dipadamkan dan film dimulai sejak beberapa detik lalu. Seketika, gadis itu kehilangan selera menonton. Lagipula, tujuan utama datang ke bioskop hanya untuk berada di dekat pujaan hatinya. Meski akhirnya ia tidak bisa mengontrol jantungnya yang berdetak terlalu cepat.

Namun, pembicaraannya dengan Charless membuat pikiran Anna berkelana ke rumah. Ia menyandarkan punggung di kursi, matanya terpejam. Terbayang saat Darren berkali-kali memarahinya, lantas menyalahkan Alesha karena terlalu memanjakan putri bungsunya.

"Apa kau tidak bisa menghilangkan hobimu yang terlalu ekstrim itu? Melukis, mendaki gunung, diving! Apa yang bisa kau dapat dari itu semua? Kesenangan? Lalu mengabaikan kuliahmu?"

"Anna masih muda. Wajar dia memiliki hobi seperti itu." Alesha selalu memberikan pembelaannya.

"Ya! Kau bela terus putrimu! Biarkan dia tetap menjadi gadis yang bergaul dengan pria-pria bertato itu!"

Putrimu! Seolah Darren menyatakan Anna bukanlah putrinya. Sebenci itukah Papa pada Anna? Hanya karena Anna memiliki hobi yang berbeda dengan kedua kakaknya? Hanya karena Anna bukanlah anak berprestasi?

Apa semua ini salah Anna? Bukan keinginan Anna jika ia harus terlahir dengan fisik dan kecerdasan yang berbeda dengan Aldric dan Lea.

"Anna, aku ke toilet sebentar."

Anna bergumam tanpa membuka mata, membiarkan Charless meninggalkan kursi. Gadis itu benar-benar sudah kehilangan mood-nya. Diam-diam ia menyesali keputusannya karena menuruti keinginan Alesha untuk pergi berdua dengan Charless.

Nampaknya, Charless sama sekali tidak menganggap bahwa pergi bersama Anna adalah sesuatu yang istimewa. Mendadak, ia kembali teringat kalimat Aldric sebelum ia pergi ke bioskop.

"Senang bisa berduaan dengan Charless? Kau jatuh cinta padanya, 'kan? Hei, Mata Cokelat! Jangan mimpi, Charless tidak menyukai bocah ingusan sepertimu."

Menyebalkan! Anna sadar, Aldric benar. Usianya terpaut lima belas tahun dengan Charless. Wajar jika pria itu lebih menyukai wanita yang sepantaran dengannya, atau minimal yang bisa bersikap dewasa. Bukan gadis cildish dan ceroboh seperti Anna.

Anna merasakan remasan lembut di tangan kanannya. Tetapi gadis itu masih enggan untuk membuka mata. Kalau perlu, tertidur sampai film selesai. Tidak peduli sekalipun beberapa pengunjung bioskop berbisik adegannya mulai seru.

Seru bagi mereka, tidak bagi Anna. Tidak ada hal seru selain hal-hal yang memacu adrenalin. Anna menyukai petualangan di alam bebas, karenanya diam-diam ia bergabung dengan komunitas pecinta alam. Saat Darren pergi ke luar negeri, Anna akan memanfaatkan waktu untuk mendaki gunung, ataupun diving dan menikmati keindahan bawah laut.

Remasan di jemari Anna semakin kuat. Perlahan, perasaan aneh mulai menjalar di pembuluh darahnya. Astaga, Charless tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Anna memejamkan mata lebih kuat. Ia semakin tidak berkutik saat pipinya disentuh dengan lembut.

Detak jantungnya semakin tidak terkontrol, saat tiba-tiba Charless mengecup bibirnya. Refleks Anna membuka mata, bersamaan dengan seorang wanita yang duduk di sisi Charless bangkit dari kursi seraya mengumpat.

"Axelle, apa yang kau lakukan?" seru wanita itu.

Axelle! Anna membelalakkan mata. Ia baru sadar, pria yang menciumnya berada di sisi kanan, sedangkan jelas-jelas Charless berada di sisi kiri. Suasana redup bioskop membuat Anna sulit mengenali wajah pria asing itu.

"Honey, maaf! Film ini terlalu seru sampai-sampai tidak sadar aku mencium gadis lain. Aku pikir dia itu kau!" Pria bertubuh tinggi itu melangkah cepat menyusul kekasihnya yang sudah terlebih dulu pergi.

Sementara Anna mematung, menyentuh bibir basahnya. Pria asing itu telah mencuri ciuman pertama Anna! Menjinjikkan! Seharusnya Charless yang melakukan itu, bukan orang lain! Anna menoleh ke samping, Charless baru saja kembali dari toilet.

"Sorry, lama. Ada karyawan yang meneleponku," jelas Charless di antara bisingnya speaker bioskop.

"Tidak apa-apa."

"Kau terlihat gelisah. Masih memikirkan Papamu?"

"Aku baik-baik saja. Aku mau ke toilet dulu." Anna bergegas berdiri sembari menutup mulutnya. Ia harus segera menghapus jejak ciumannya. Mengeluh dalam hati, kenapa sesaat lalu Anna justru menikmati ciuman itu karena ia pikir Charless yang menciumnya?

***

"Aku tidak berniat menciumnya!" seru Axelle seraya berlari di belakang gadisnya.

"Dari dulu kau tidak pernah berubah, Axelle! Aku membencimu!" Gadis itu masuk ke dalam taksi. Detik selanjutnya, taksi melaju menyisakan segumpal debu untuk Axelle.

"I don’t care." Pria itu tersenyum miring. Sama sekali tidak merasa cemas sekalipun seribu orang gadis berlari meninggalkannya, karena masih ada ribuan gadis lain yang siap dijadikan sebagai kelinci percobaan.

Pria bermata biru itu bersandar di dinding. Sungguh gila, ia baru saja mencium gadis tak dikenal. Sejujurnya, Axelle melakukan itu dengan sengaja untuk membuat kekasihnya patah hati dan hubungan mereka berakhir. Artinya, Axelle telah berhasil menambah list nama-nama gadis yang pernah ia sakiti.

Tunggu dulu, jika memang ciuman itu hanya sebuah permainan, kenapa ia justru terhanyut saat bibir mereka bersentuhan? Meski hanya ciuman singkat, tetapi terasa berbeda. Sesaat, ia merasakan desiran aneh di seluruh pembuluh darahnya.

Dari sekian banyak gadis yang pernah dipermainkan Axelle, gadis itu benar-benar berbeda.

***

PART 4

Anna melangkah cepat menuju kamar. Di ujung tangga, Aldric berdiri seraya menyilangkan kedua lengan di depan dada. Tersenyum sinis pada adiknya.

"Hei, ini belum satu jam, kenapa cepat sekali kembali dari bioskop? Batal menonton, eh?" Aldric menarik rambut Anna yang dikuncir kuda.

Terpaksa Anna menghentikan langkah, kulit kepalanya terasa perih akibat tarikan Aldric. "Lepas! Sakit, bodoh!"

"Sudah kubilang, Charless tidak akan tertarik pada gadis ingusan sepertimu. Dia menyukai wanita dewasa bertubuh seksi. Aku rasa kau harus belajar berdandan pada Kak Lea agar bisa cantik seperti dia. Jika tidak, sampai perawan tua pun tidak akan ada pria yang mau menjadi kekasihmu."

"Aku tidak peduli! Memang apa bedanya denganmu? Sampai sekarang pun kau tidak mempunyai kekasih. Aku mulai curiga jika kau tidak normal."

"Tidak normal?"

"Aku curiga kau seorang gay." Anna tertawa lantang, lalu menarik tangan Aldric dan memelintirnya, hingga pria itu meringis.

Dengan gesit, Aldric berhasil meloloskan diri. Tidak mau kalah, Anna melayangkan pukulan, tapi gagal karena lagi-lagi kakaknya menghindar. Dalam sekejap, tubuh Anna sudah roboh dan terkapar di lantai, sedangkan Aldric berjongkok seraya mengunci kedua lengan adiknya.

"Aldric!" Teriakan Alesha membuat kedua anaknya menoleh. "Berapa kali Mama bilang, jangan bertanding karate di dalam rumah! Dan tega sekali kau membuat adikmu terjatuh seperti itu!"

"Si Mata Cokelat yang mulai duluan, Ma!" seru Aldric. Ia melepaskan kuncian tangannya.

"Bohong, Ma! Si Mata Hazel mengatai Anna. Sampai perawan tua tidak akan ada pria yang mau melirik Anna!"

"Aldric, kau tidak boleh bicara seperti itu pada adikmu!"

"Apa bedanya, Ma? Dia juga menuduhku seorang gay!"

"Sudah, cukup! Berhenti bertengkar. Kembali ke kamar dan jangan ganggu adikmu lagi."

"Oke, Ma!" Aldric melangkah meninggalkan Anna setelah sebelumnya memberikan tatapan tajam pada gadis itu.

Anna bangkit dan menjulurkan lidah pada Aldric. "Selamat malam, Ma! Anna mengantuk dan ingin segera tidur." Gadis itu mengecup kedua pipi ibunya.

"Tunggu, Sayang! Kenapa kau pulang cepat dari bioskop? Di mana Charless?"

"Kak Charless sudah pulang, tidak ada film yang bagus."

"Setidaknya kalian bisa dinner dulu, 'kan?"

"Anna kenyang, Ma!" Anna masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Menyandarkan punggung di sana. Napasnya terengah-engah, ia menyentuh bibirnya. Pria asing itu telah mencuri ciuman pertamanya! Menjijikkan! Seharusnya Charless yang melakukan itu!

Bekas ciuman itu harus dihilangkan. Astaga, mungkin Anna harus mencuci bibirnya dengan tanah sebanyak tujuh kali. Oke, itu berlebihan. Tetapi Anna benar-benar membenci ciuman ini. Seandainya ia bisa menemukan pria itu, maka Anna ingin menghajarnya sampai bibir pria itu lebam dan tidak bisa mencium sembarang wanita lagi.

Tatapan Anna tertuju pada Molly, kucing yang sedang tertidur pulas di sofa. Anna segera berlari menghampiri kucing kesayangannya.

"Hei, Molly! Cepat bangun!" Anna menowel kucing berwarna abu-abu, namun tidak ada reaksi. "Dasar kucing pemalas!"

Diangkatnya tubuh Molly, kucing itu pun menggeliat, menatap malas pada Anna. Gadis itu segera mencium bulu-bulu lembut Molly, berharap bekas ciuman itu bisa menghilang dengan sendirinya.

"Hapus ciuman pria kurang ajar itu, Molly!"

Anna membawa Molly ke atas tempat tidur. Jemarinya bergerak menekan saklar lampu utama. Suasana ruangan berubah redup saat ia menyalakan lampu tidur di sisi ranjang. Berbaring memeluk kucing kesayangannya. Sial! Kenapa cahaya redup justru mengingatkannya pada ciuman tadi? Seketika tubuh Anna meremang. Ya Tuhan, kenapa dadanya terasa sesak, dan tidak bisa dipungkiri bahwa ia ... menikmati ciuman itu!

***

Seminggu setelah peristiwa ciuman itu, lambat laun Anna mulai melupakannya. Meski beberapa hari ini ia merasa bosan karena tidak bisa kabur lagi dari kampus. Anna memiliki bodyguard baru, Aldric. Astaga, pria itu benar-benar tidak bisa dikelabui.

"Wow, makan malam special, Ma? Apa Mama mengundang tamu?" Anna menghampiri meja makan yang penuh dengan aneka masakan. Rendang daging sapi, gulai ayam, seafood, spaghetti, dll. Tatapan Anna tertuju pada setoples selai kacang di sudut meja. Sekarang ia tahu, Lea akan datang dari New York.

Roti selai kacang, makanan favorit kakak sulungnya. Anna menarik kursi dan duduk di sana. Bersiaplah, Anna! Setelah ini kau akan mendengar Papa membanding-bandingkanmu dengan kakakmu!

"Hari ini Lea datang, Sayang," ujar Alesha seraya mengoleskan selai kacang pada selembar roti tawar. Special untuk Lea.

Anna hanya bergumam singkat. Bibirnya cemberut, kedua siku bertumpu pada meja, menopang dagu dengan malas. Tidak lama kemudian, Darren duduk di kursi paling ujung, memperhatikan putri bungsunya.

"Anna, bisa duduk yang benar? Cara dudukmu itu mencerminkan seorang pemalas!" Darren memperingatkan.

Anna memang pemalas, Pa! Ingin rasanya Anna menjawab ucapan ayahnya, tetapi percuma. Itu hanya akan memancing kemarahan selanjutnya. Gadis itupun mencoba duduk manis dengan kedua lengan terlipat di atas meja, persis seperti anak TK.

"Di mana Aldric? Sebentar lagi Lea sampai," tanya Darren.

"Aldric berkunjung ke apartemen Charless."

"Apa kamar Lea sudah dirapikan? Jangan lupa perbanyak stok selai kacang agar tidak kehabisan."

"Semuanya sudah siap, Darren."

Anna mendengus. See, hanya Lea yang datang, tapi penyambutannya dipersiapkan dengan matang seperti menyambut Presiden Amerika. Hello, Lea hanya pergi ke New York selama seminggu untuk mengikuti kompetisi balet!

"Papa! I'm coming!"

Semua mata tertuju pada seruan seorang gadis di ambang pintu. Di sana, Lea berdiri anggun. Tubuh langsingnya dibalut dress ketat warna pink. Rambut pirangnya tergerai di punggung. Cantik dan menawan.

"Hello My Princess, I miss you!" Darren segera berjalan menghampiri Lea.

"Miss you too, Papa! Lea pulang membawa kemenangan untuk Papa."

"Papa bangga padamu, My Princess!" Darren memeluk putrinya. "Ayo, kita makan. Kau pasti merindukan masakan ibumu."

"Hai Mama, Lea membeli jam tangan terbaru untuk Mama." Lea memberikan kecupan di pipi Alesha. "Wow! Selai kacang!"

"Mama membuatkannya untukmu, Sayang. Makanlah, kau pasti lapar."

Tanpa diperintah dua kali, Lea segera menjatuhkan pantat di kursi dan meraih setangkup roti selai kacang. Dia tersenyum melihat adiknya yang sedang mengaduk nasi dengan kuah seafood. "Hai Anna! Aku juga membelikan sesuatu untukmu! Sepatu sneakers favoritmu."

Anna mengangguk singkat. "Terima kasih," ucapnya tanpa melepas pandangannya dari tiga ekor udang di piring.

"Anna, contoh kakakmu. Kariernya sukses, selalu memenangkan berbagai kompetisi. Sedangkan kau bisa apa selain memanjat pagar dan kabur dari kampus? Bergaul dengan pria-pria bertato. Kau tidak akan pernah punya masa depan jika tidak mau berubah." Darren memulai ceramahnya.

"Sudahlah, Pa! Ini bukan saatnya untuk membicarakan hal itu. Ada satu kabar gembira lagi. Papa mau dengar?" Mata hazel Lea berbinar, bibirnya tidak berhenti tersenyum sekalipun sedang mengunyah roti favoritnya.

"Katakan, Sayang! Mama juga ingin mendengar itu."

"Dua minggu lagi akan ada kompetisi balet di London. Jika Lea berhasil memenangkan kompetisi ini, maka Lea akan menjadi penari balet terbaik di dunia."

Anna mulai bosan dengan percakapan ini. Di dekat Lea, ia merasa semakin jauh dari orang tuanya, terutama Papa. Papa yang selalu membanggakan Princess-nya. Sedangkan Anna, siapa bagi Darren? Putri yang tidak dianggap?

"Wow, keren!" Anna berseru lantang. "Kak Lea akan memenangkannya. Sebagai seorang Princess Papa yang hebat, kau pasti bisa menaklukkan dunia. Selamat, Kak! Tapi jika kembali dari London nanti, tidak perlu membelikanku oleh-oleh. Aku bisa membelinya sendiri."

"Anna, kau kenapa?" tanya Lea heran.

"I'm fine!" ucap Anna sembari beranjak dari kursi. Lalu, ia melangkah meninggalkan sepiring nasi dan tiga ekor udang yang belum sempat ia makan.

"Makananmu belum habis, Anna! Mau ke mana?" teriak Darren.

"Memberi makan Molly, Pa!" sahut Anna asal. Langkahnya semakin cepat, menuju balkon kamar.

Jemari Anna menyentuh pagar balkon. Cairan bening mengambang di pelupuk mata. Sudah ratusan kali ia berkata pada diri sendiri. Anna memang berbeda. Ia bukan gadis berbakat seperti Lea, bukan pula anak cerdas seperti Aldric. Tapi haruskah Papa membanding-bandingkannya hampir setiap hari?

Tuhan, tolong kirim malaikat untuk menyelamatkan Anna dari rasa terpuruk ini! Sungguh, ia merasa lelah. Darren terlalu mengekangnya, dan Anna tidak bisa bergerak sesuka hati.

Tubuh Anna merosot ke lantai. Kedua lengannya memeluk lutut, lalu membenamkan wajah di sana. Setiap detik, ia selalu berusaha menjadi gadis kuat. Tetapi kenyataannya, dia tetaplah seorang gadis yang rapuh. Pemberontakannya hanyalah sebuah tameng semata. Berpura-pura kuat di hadapan orang lain, meski sesungguhnya ia membutuhkan seseorang sebagai tempat bersandar.

"Hei, Si Mata Cokelat! Sejak kapan berubah menjadi gadis cengeng, huh?"

Anna mendongak. Entah sejak kapan Aldric berdiri di hadapannya. Pria menyebalkan itu tersenyum mengejek. Inilah salah satu kebiasaan Aldric yang tidak berubah sejak kecil, masuk ke kamar Anna tanpa mengetuk pintu.

"Pergilah, Kak! Aku sedang tidak ingin menguji ilmu karateku," lirih Anna.

Bukannya pergi, Aldric justru duduk di sisi Anna. Mengacak rambut gadis itu dengan lembut. "Ada banyak hal yang tidak kau tahu, Anna. Kau hanya perlu menuruti apa pun yang diinginkan Papa. Itu jika kau ingin Papa tidak lagi memandangmu dengan sebelah mata."

"Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan dariku? Apa benar aku bukan anak kandung Papa?"

Aldric menangkup kedua pipi adiknya. Mata hazelnya menembus jauh ke dalam mata cokelat Anna. "Jika kau menyayangi Mama, maka jangan pernah tanyakan ini pada siapapun. Itu hanya akan membuat luka lama Mama kembali terbuka. Percayalah padaku, Anna! Kau hanya perlu mengambil hati Papa dengan menuruti semua permintaannya."

"Tapi aku bukan robot yang bisa dikendalikan sesuka hati." Anna menatap Aldric ragu. Untuk pertama kalinya, Anna melihat sedikit ketulusan dari pria berwajah blasteran itu. Ketampanan yang diwariskan oleh ayahnya.

"Jangan lagi menjadi gadis pemberontak. Aku mengatakan ini karena aku menyayangimu." Aldric mengecup dahi Anna. "Don't cry!"

Usai mengucapkan kalimatnya, Aldric meninggalkan Anna tanpa menoleh lagi. Gadis itu termenung, ini untuk pertama kalinya Aldric bersikap manis. Bukan lagi beradu ilmu karate seperti biasanya.

Menuruti semua perkataan Papa. Mampukah Anna melakukan itu?

***

PART 5

Ragu-ragu, Anna mendekati Lea yang sedang asyik membaca majalah fashion edisi terbaru. Anna hampir saja meninggalkan ruang tamu. Tetapi, Lea terburu melihat kehadirannya.

"Hei, Anna! Ada apa?"

"Eh, tidak ada apa-apa, Kak. Aku hanya—"

"Duduklah, aku tahu sejak tadi kau mengawasiku. Ada yang ingin ditanyakan?"

Duduk di samping Lea, Anna terlihat berpikir keras untuk mengajukan pertanyaan. Sebenarnya Lea selalu bersikap baik. Hanya saja, Anna sering bersikap jahil pada kakaknya, sehingga mereka sering terlibat pertengkaran.

Anna yang usil dan ceroboh. Sejak kecil, gadis itu selalu saja membuat Lea menangis. Mulai dari melemparkan boneka gajah kesayangan Lea ke kolam renang. Meletakkan kecoa di tempat tidur Lea, menguji ilmu karate hingga Lea tersungkur dan lengannya patah.

Anna juga berkali-kali menempelkan ulat bulu di rambut kakaknya, dan masih banyak list kenakalan yang lain. Hingga akhirnya mereka bertengkar dan saling menjambak satu sama lain. Perkelahian itu selalu berakhir dengan tangisan Lea, sementara Anna akan mematung menyaksikan kakaknya mengadu pada Darren.

Selanjutnya bisa ditebak, Anna kecil akan dihadiahi ceramah ayahnya. "Berhenti menjadi gadis nakal! Jadilah gadis penurut! Bagaimana Papa bisa menyayangimu jika sikapmu tidak pernah berubah!"

Anna kecil hanya menunduk, tidak ada setetes air mata pun yang mengalir dari mata cokelat bening itu. Berusaha kuat, meski sebenarnya ia ingin sekali menangis. Hingga akhirnya Mama datang lalu memeluk dan mencium kedua pipinya sembari berbisik, "Jangan dengarkan Papa, kami semua menyayangimu. Papa hanya berusaha mendidik Anna agar menjadi anak baik." Anna hanya mengangguk lesu. Yang ia tahu, Papa akan melakukan apa pun untuk Princess kesayangannya.

Lea adalah Princess kesayangan Papa. Sedangkan Anna mungkin seperti rumput liar yang merusak pemandangan di taman rumah. Putri yang tidak bisa mengharumkan nama baik Papa. Bukan hanya prestasi buruk, terlibat perkelahian di sekolah adalah hal biasa bagi Anna. Bahkan beramai-ramai mencuri mangga di kebun tetangga. List kenakalan Anna membuat Darren kehilangan stok kesabaran.

"Hello! Kenapa melamun?" Lea melambaikan tangan di depan wajah adiknya.

"Ehm ... boleh aku minta tolong padamu?"

"Kenapa tidak?"

"Apa ... kau mau mengajariku ... berdandan?"

Seketika Lea tergelak, ditatapnya wajah Anna dengan saksama. "Hei, sejak kapan adikku yang tomboy ini ingin berubah menjadi seorang gadis feminine?"

"Tidak masalah jika kau tidak mau."

"Dengan senang hati aku akan membuat gadis tomboy ini menjadi gadis paling cantik. Tapi, tunggu dulu. Biasanya hanya ada satu hal yang membuat seseorang ingin mengubah penampilannya. Pasti karena kau sedang jatuh cinta, 'kan?"

"Tidak, Kak!" Rona merah menjalar di wajah Anna.

"Kau tidak bisa membohongiku, Anna! Katakan, pria mana yang telah membuatmu jatuh cinta? Ah, apa salah satu pria bertato di galeri seni itu?"

"Bukan, Kak! Aku—"

"Oke, selama ini kita tidak pernah saling terbuka. Bagaimana jika mulai sekarang kita berubah? Aku menyayangimu, Anna! Aku percaya kita bisa menjadi kakak adik yang saling mensupport satu sama lain. Bagaimana, setuju?"

"Baiklah, aku setuju."

"Kita mulai untuk bercerita tentang seseorang yang kita cintai. Aku atau kau duluan?"

"Kau duluan saja."

Lea menutup majalah dan meletakkannya di meja. Jemarinya mengusap rambut pirangnya. Kemudian, ia mulai bercerita. "Kau tahu 'kan selama ini aku sering bergonta-ganti pasangan. Di antara semua pria itu, tidak ada satu pun yang aku cintai."

"Kau menjalin hubungan tanpa cinta?"

"Ya, selama ini aku selalu mencoba untuk mencintai mereka. Tapi gagal, hatiku tidak bisa berpaling sedikit pun. Terlebih saat aku tahu mereka hanya memanfaatkanku, entah itu karena popularitas, harta, dan kecantikan. Yang membuatku kecewa, banyak di antara mereka yang hanya menginginkan seks. Itu gila, Anna. Beruntung sampai saat ini aku masih menjaga prinsip yang diajarkan keluarga kita."

"Lalu, siapa pria yang kau cintai?"

Kedua sudut bibir Lea tertarik ke atas membentuk senyuman. "Dia seorang pria dewasa. Tampan dan baik hati. Pangeran impianku. Sampai detik ini aku masih menunggunya, berharap ia segera mengucapkan kata cinta. Kau tahu 'kan, Anna. Tidak ada pria mana pun yang bisa menolak pesonaku."

Anna tertawa renyah. "Aku membayangkan dia seorang pangeran berkuda putih yang sangat tampan. Cepat katakan, siapa dia?"

"Kak Charless!"

Refleks, tawa Anna terhenti. Charless! Jadi selama ini kakak beradik itu mencintai pria yang sama? Tapi kenapa harus Charless?

"Kau pasti tidak pernah menyangka, bukan? Ya, dia pria idamanku. Apa menurutmu aku cocok dengannya, mengingat selisih umur di antara kami cukup jauh?"

Anna mengangguk perlahan, menahan hatinya yang bergejolak. Ribuan belati terhunus dan menikam tepat di ulu hatinya. "Ya, kalian pasangan yang sangat cocok."

"Lalu, siapa pria yang kau cintai?"

"Tebakanmu benar. Aku mencintai salah satu seniman bertato di galeri seni. Tapi aku mohon jangan katakan pada Papa …."

"Tentu tidak. Kapan-kapan kau harus mengenalkannya padaku. Siapa namanya?"

Oh, Anna tidak bisa mengatakan ini. Mungkin akan lebih baik jika ia mengalihkan pembicaraan. Beruntung, Alesha muncul membawa jambangan bunga ukuran besar berisi mawar. Anna bergegas bangkit dari sofa dan berlari menghampiri ibunya.

"Biar Anna yang membawa ini," ujar Anna sembari mengambil jambangan dari tangan Alesha. "Diletakkan di mana, Ma?"

"Letakkan saja di dekat sofa samping Lea. Mama akan memangkas ranting bonsai di taman, kau mau ikut?"

"Malas, Ma. Anna mau menonton TV."

Anna meletakkan jambangan di samping sofa. Dihirupnya aroma harum yang menguar dari kelopak berwarna pink itu. Perhatiannya terpecah saat Lea memekik kegirangan.

"Kak Charless!" seru Lea. "Wow, kau pasti membawa buket bunga sebagai ucapan selamat atas kemenanganku dalam kompetisi balet, 'kan?"

Anna termenung menyaksikan Lea menghambur ke arah Charless seraya memeluknya. Ada rasa nyeri yang tidak tertahan melihat adegan itu. Mereka pasangan yang sangat serasi, 'kan? Benar, tidak ada pria manapun yang mampu menolak pesona Lea.

"Lama tidak bertemu, aku merindukanmu! Terima kasih buket bunganya." Lea meraih buket bunga dan menciumnya.

Tidak kuasa menahan gejolak di hatinya, Anna mencoba bersikap biasa saja. Ia melambai pada Charless, lantas berseru pada Alesha. "Ma, boleh Anna membantu Mama memangkas bonsai?"

"Tadi bilang tidak mau! Oke, Sayang! Kalau begitu Mama akan mengambil gunting di gudang. Kau bisa langsung ke taman, sudah ada satu gunting di sana."

"Oke, Ma!" Setelah mengangguk dan tersenyum pada Charless, Anna melangkah cepat menuju taman. Berjongkok di dekat pot bunga adenium, diambilnya gunting khusus untuk memangkas ranting-rantingnya.

Bayangan wajah Lea yang berbinar menyambut kedatangan Charless, kembali terlintas di benak Anna. Baiklah, lupakan Charless, Anna! Pria itu sama sekali tidak cocok denganmu.

Arrrggghh! Ingin rasanya Anna berteriak sekuat tenaga. Jemarinya meraih gunting dan mulai membantu Alesha memangkas ranting adenium. Sampai ia merasakan sentuhan lembut di bahu kanannya.

"Sayang, kau sudah lupa cara memangkas ranting adenium yang benar? Jika cabang tanaman adenium masih terlalu muda, sebaiknya jangan dipangkas. Nantinya batang itu akan membusuk dan sulit mengeluarkan tunas baru lagi." Alesha mengelus rambut putrinya.

Gadis itu mendongak. Matanya mengerjap perlahan. "Maaf, Anna lupa."

"Kembalilah ke kamar, Sayang. Kau butuh istirahat. Bermain game bersama Aldric tidak ada salahnya, itu bisa mengurangi sedikit kegelisahanmu."

"Baiklah, Ma!"

"Good girl!"

Setelah meletakkan gunting di rerumputan, Anna beranjak meninggalkan Alesha. Mungkin ibunya benar. Bermain game lalu bertengkar dengan Aldric bisa membuatnya melupakan Charless sejenak. Yeah, hanya sejenak. Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya, sedangkan cinta itu terlanjur hadir bahkan di saat ia belum memahami perasaan apa yang ada di hatinya.

"Anna!"

Langkah Anna terhenti. Ia membalikkan badan dan tersenyum.

"Seekor kucing tidak bisa dengan mudah mendapatkan tikus buruannya. Ia harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan."

"Kucing? Tikus?" Anna mengerutkan dahi, tidak memahami ucapan Alesha.

"Cinta itu butuh perjuangan, Sayang!"

Rona merah menjalar di wajah Anna. Jadi ibunya tahu bahwa ia ... mencintai Charless? Ah, Mama memang satu-satunya orang yang selalu memahami Anna. Di saat semua orang berusaha membuatnya terluka, maka Mama adalah orang pertama yang akan membalut lukanya.

"Thank you, Mama!"

Anna kembali melanjutkan langkah. Selama ada Mama, Anna pasti bisa melewati rasa sakit ini. Tapi, haruskah Anna memperjuangkan cintanya? Jika Papa tahu perasaan Lea pada Charless, sudah tentu Princess kesayangannya yang akan direstui. Seandainya Anna harus mati karena perasaan cintanya pun, Papa tidak akan pernah peduli.

Gadis itu mengusap cairan bening di sudut mata. Apa yang disembunyikan oleh mereka dan membuat Papa tidak menyukainya? Kalau saja Anna bisa tahu kisah masa lalu Mama. Tapi ia tidak mungkin tega mengungkit hal itu. Sesakit apa pun hati Anna, gadis itu akan berusaha menahannya, demi menjaga perasaan Mama.

I love you, Mom! You are my everything!

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Salju Pertama di New York (Part 6 - 10)
4
0
SALJU PERTAMA DI NEW YORKPart 6Part 7Part 8Part 9Part 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan