Lorong Waktu

1
0
Deskripsi

Dalam sebuah perayaan pertemuan keenam sekawan atas jeda yang terjadi di antara mereka. Perayaan tawa dan bahagia berubah menjadi perayaan mengenang masa saat mereka terjebak di sebuah lorong waktu.

Bagaimana dengan perjuangan mereka? 

Dapatkah mereka selamat?

Yuk ikuti kisahnya

Masa waktu membawa keenam sekawan kembali bertemu, mereka merayakan pertemuan itu dengan berkemah. Melewati sebuah hutan pinus dengan pemandangan minim penerangan, dan jalurnya yang terjal membuat keenamnya didera rasa kebingungan untuk sampai ke tempat tujuannya.

“Jarak nya masih jauh gak sih Sya?” tanya Devon.

“Udah deket kok, kita jalan kaki aja,” ujar Ersya.

“Hah? Lu yang bener aja Sya, jangan bercanda deh,” ucap Alka dengan tidak terima.

Ersya menghempaskan napasnya. Ketika mereka sedang berdiskusi, datanglah seorang laki-laki paruh baya.

“Permisi,” ucapnya.

Keenamnya sontak kaget menoleh ke sumber suara.

“Astaga, saya kira hantu,” celetuk Bari.

Alka menyikut lengan Bari.

“Hahaha bukan nak, saya masih napak kok. Nih buktinya kaki saya masih menginjak bumi loh,” canda laki-laki paruh baya tersebut seraya menyinari kakinya dengan lampu senter yang ia genggam.

“Maafin temen saya ya pak, suka gak di rem mulutnya,” ucap Alka seraya memohon maaf.

“Astaga Al, lu kira mulut gue mobil kali ada remnya,” gerutu Bari pada Alka.

Alka memberi kode pada Bari untuk meminta maaf.

“Eh iya, pak maaf ya pak,” ucap Bari menyeringai seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Tidak apa nak, oh iya saya Mamat penjaga area  ini. Kalian mau kemana?” tanya lelaki paruh baya tersebut.

“Saya Devon pak, saya dan teman-teman saya mau pergi berkemah pak,” ucap Devon.

“Oh mau berkemah dekat kaki bukit ya?” tanya lelaki paruh baya tersebut.

“Iya pak betul,” ucap Cila antusias.

“Ah ya, untuk sampai ke perkemahan kalian tidak bisa menggunakan mobil nak. Jalurnya kecil dan sangat terjal, untuk sampai kesana sekitar 5 Km lagi. Namun, kalian tetap bisa kesana menggunakan Lorong Waktu,” ucap lelaki paruh baya tersebut.

“Lorong waktu?” ucap Ersya mengerutkan dahinya.

“Iya nak lorong waktu, dari sini kalian lurus saja nanti akan terlihat lorongnya,” ucap Mamat.

“Apakah lorong waktu akan lebih cepat menibakan kami sampai ke perkemahan?” tanya Ersya.

“Iya bisa, akan lebih aman jika kalian menggunakan jalur ini,” ucap Mamat.

Tanpa bertanya lagi, Ersya memberi kode  pada kelima kawannya untuk mengikutinya

“Lu yakin Sya?” bisik Gerald.

“Iya yakin lah, ini bikin jalan kita lebih cepet sampai ke sana, kalo ada yang mudah kenapa harus yang susah,” bisik Ersya.

“But I don’t know Sya, rasanya ada yang janggal aja,” bisik Gerald.

“Oh iya, berhati-hatilah dalam perjalanan nak. Saling menjaga satu sama lain ya,” ucap pak Mamat.

“Iya pak siap, makasih ya pak atas bantuannya. Kami pamit,” ucap Devon.

“Iya sama-sama” ucap pak Mamat.

Kini keenam sekawan tersebut berjalan menuju lorong waktu, lorong yang akan menibakan mereka lebih cepat ke tempat perkemahan.

“Hah, ini lorongnya?” ucap Alka memastikan.

“Udah ayo masuk aja, ikutin aja apa kata pak Mamat,” ucap Ersya.

“Ini lorong apa rumah semut dah? Kecil banget” ucap Bari menatap lorong tersebut.

“Bar, kalo lu ilang gara-gara mulut lu gak di rem jangan salahin kita ya,” ucap Gerald menakuti.

“Dih, lu ngomong yang bener dong,” bisik Bari.

“Udah ayo cepetan, mempersingkat waktu loh kita nih,” ucap Ersya.

“Iya siap komandan,” ucap Bari.

Cila memutar-mutar ponselnya di udara namun nihil sinyal.

“Gak ada sinyal di sini,” ucap Cila.

“Hah yang bener?” tanya Devon.

“Iya coba Devon cek aja,” ucap Cila.

Devon mengeluarkan ponselnya, ia terkejut bahwa yang dikatakan Cila benar. Menyusuri lorong waktu yang hanya satu jalur saja, Gerald memikirkan satu hal bahwa lorong ini seperti tidak ada ujungnya, pencahayaan lorong tersebut redup. 

“Ini lorong kayak kagak ada ujungnya ya?” tanya Gerald.

“Ah masa? Gerald jangan nakutin gitu dong ngomongnya,” gerutu Cila.

“Kalo gak ada ujungnya, gak bisa balik ke rumah lagi lu Cil,” celetuk Bari.

“Serius? Ih jangan gitu dong, Cila masih mau makan seblak samping rumah Cila,” gerutu Cila.

“Ya ampun Cila, dalam hal tergenting kayak gini lu masih mikirin seblak,” ucap Bari.

“Bari,” ucap Alka penuh penekanan seraya menatapnya dengan penuh selidik.

Hingga ditengah perjalanan menyusuri lorong tersebut Gerald melihat gerbang menuju jalur keluar lorong seperti di tutup perlahan demi perlahan.

“Eh itu gerbangnya mau ditutup, cepetan yok lari,” teriak Gerald.

Keenam sekawan itu berlari menuju jalur keluar namun sesampainya di titik terdekat jalur keluar. Pintu tersebut tertutup, Devon dan Gerald berusaha untuk membuka gerbang besi itu dengan kuat. Namun nihil terbuka. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam mencoba membuka gerbang lorong waktu tersebut tidak membuahkan hasil apa-apa. Ersya menggigit bibir bawahnya, Cila yang menangis di pundak Alka, Bari serta Devon yang terdiam seribu bahasa

Gerald menghempaskan napasnya kasar, ia memijat dahinya memikirkan cara. 

“Enggak seharusnya kita semua ikutin opini lu Sya,” ucap Gerald dingin.

“Ger, lu kan tadi denger pak Mamat ngomong bisa pake jalur ini. Lu semua juga pada denger kan?” ucap Ersya memastikan.

“Iya gue denger, tapi kenapa kalo dia kasih opsi kita mesti lewat sini, dia juga enggak kasih tahu kalo gerbang lorong waktu bakalan seperti ini?” tanya Devon.

“Ada yang enggak beres nih,” ucap Bari.

"Yang gue inget tadi pak Mamat bilang kita harus saling menjaga satu sama lain," ucap Devon. 

"Kok jadi horror ya," gumam Bari. 

“Cila mau pulang, Cila masih mau ketemu mama sama bapak, masih mau makan seblak, masih mau rawat kucing Cila yang namanya Moci, Cila mau pulang,” rengek Cila. 

Alka mengelus pundak Cila untuk menenangkan sahabatnya itu.

“Lu sih Bar, besok-besok gue mau bawa mulut lu ke bengkel mobil biar dipasangin rem,” celetuk Alka.

“Dih, kenapa jadi gue? Udah Cil udah kita gak bakal balik,” ucap Bari 

“Bar,” ucap Alka penuh penekanan. 

“Eh bakal balik maksudnya, udah jangan nangis lagi lah,” ucap Bari santai. 

“Udahlah Ger, kita tunggu aja. Siapa tau dikit lagi kebuka gerbangnya,” ucap Devon.

“Bukan masalah itu Dev, siapa sih yang paling pengen banget buka opini pergi ke sini, siapa yang paling pengen banget jadi kepala kordinasi atas pertemuan ini di tempat asing kayak begini, terus kita terjebak, terus kita enggak tahu itu gerbang bakalan bisa kebuka apa enggak. Di sini enggak ada sinyal, kita minta tolong sama siapa. Coba deh lu pada pikir sendiri, kalau kita berakhir semua di sini, enggak bisa balik ke rumah lagi, mungkin ini emang akhirnya,” ketus Gerald.

“Iya gue tahu Ger, gue salah atas hal ini. Gue cukup egois atas hal ini, tapi kalau enggak kayak gini kita enggak bisa ketemu. Bari enggak bakal balik dari Malaysia, Alka bakalan tetap sibuk dengan pekerjaannya, lu bakalan lebih sibuk menetapkan pertemuan lu sama kita, bahkan Devon dan Cila bakalan sibuk karena mengembangkan usaha mereka. Kalau lu bilang kita bakalan berakhir di lorong ini, lu salah besar. Lu terlalu memperbesar rasa takut lu, daripada memperbesar rasa yakin lu,” ucap Ersya.

“Sya, lu enggak tahu kehidupan gue kayak gimana. Lu enggak cukup tahu seberapa berat yang gue hadapi ketemu lu dan kalian semua,” ketus Gerald.

"Lu aja enggak cerita apapun tentang hidup lu Ger, kita semua ada untuk bersama-sama," ucap Alka. 

“Iya Ger, gue cukup egois,” ucap Ersya seraya menitikkan air mata dan berpaling melangkah mundur dan terduduk di samping Cila.

“Udah Ger, kita bisa bicarain ini baik-baik,” ucap Devon menenangkan Gerald.

Gerald menepis tangan Devon, lalu ia berpaling pergi mendekati gerbang lorong waktu yang masih terkunci. Devon menghempaskan napasnya, lalu pergi duduk di dekat Bari.

“Udah lama ya kita enggak ketemu, sekalinya ketemu malah berantem,” ucap Bari.

“Gue mau buat pengakuan, kalau gue cukup rindu ketemu Cila,” ucap Bari lagi.

Cila membulatkan matanya, seraya mengusap air matanya.

“Cil, gue mau belajar berani jujur sama perasaan gue, gapapa ya,” ucap Bari menyeringai.

Cila,Alka, Devon, Ersya serta Gerald sontak kaget mendengar itu.

“Bari, maksudnya ngomong gitu kenapa?” ucap Cila dengan polosnya.

“Lu nembak Cila, Bar?” tanya Devon.

“Nah, gue suka nih yang kayak gini. Pada bersuara akhirnya,” ucap Bari menyeringai.

“Dasar php,” ucap Alka seraya melempar gumpalan tissue pada Bari. 

Cila berdecit.

“Eh bakwan bu Susi masih dua ribuan gak sih harganya?” tanya Bari.

“Goceng tiga sekarang,” ucap Ersya.

“Enak kali ya makan bakwan, gue inget tuh waktu Gerald beli bakwan di kantin ngutang,” celetuk Bari.

“Bar,” ucap Alka.

“Apaan sih, emang faktanya kok,” ucap Bari tidak terima.

“Mulut lu di rem bisa enggak sih,” gerutu Alka.

“Iya gue ngutang, tapi besoknya bayar kok tapi mukanya bu Susi sinis ke gue karena gue tidak kelihatan kayak orang susah, gue kan ngutang karena dulu duit jajan gue dikurangin akibat ketahuan bolos,” celetuk Gerald seraya tertawa.

Devon tertawa lepas.

“Lah, lu inget enggak pas pelajar matematika lu pipis di celana karena enggak bisa jawab,” celetuk Devon.

Semuanya tertawa mengingat kejadian lampau, lorong waktu membawa mereka kembali bertemu pada masa dahulu.

“Gue malah jadi keinget beberapa hal kalau ternyata kita dulu bisa saling kenal hanya karena satu frekuensi humor yang sama, hal paling apes yang kita punya bener-bener bikin gue mikir kok bisa ya kita ketemu,” pikir Ersya.

“Emang semuanya tuh enggak ada yang kebetulan sih, gue inget satu kalimat yang bilang begini seseorang yang dihadirkan dalam hidup kita itu adalah cara Tuhan menemani kita," ucap Devon.

“Hal paling krusial ketika lu benar-benar dekat sama seseorang terus beda pendapat. Tapi seengaknya bikin kita ketemu diri kita sendiri, kenal sama orang lain yang lu kira dekat banget tapi ternyata enggak sama sekali, lu cuma tahu permukaan seseorang kalau lu belum benar-benar tahu sikap dan watak terdalamnya dan bersama dengan dia di titik paling sulit,” jelas Alka.

“Kita sebenarnya tuh punya rahasia tersendiri sekalipun sebenarnya lu bilang dengan suara ini rahasia, sejujurnya kita enggak pernah ada yang tahu hati setiap orang. Jadi, walaupun sebenarnya enggak banyak orang dengan gampang bercerita, hal paling gampang adalah menyemangati dia dan juga menemaninya meskipun dia enggak buka suara,” ucap Devon.

“Ya, gue sadar. Gue menuntut lu semua mengerti akan keadaan gue tapi gue sendiri enggak melakukan sebaliknya. Jadi, kadang gue sempat mikir kalau gue cerita, beban itu malah memberatkan kalian semua,” ucap Gerald seraya menunduk.

“Terus buat apa arti sahabat, beban itu sendirian lu pikul. Lu enggan berbagi beban karena enggak enak, tapi gue cuma pengen bilang sama lu Ger kesatuan meringankan langkah sampai ke tempat tujuan. Gapapa ngerasa lemah, lu manusia bukan Hulk Ger," ucap Bari.

“Uhuk, tumben pinter,” celetuk Ersya.

“Eh Sya, gini-gini gue pinter loh. Lu pada enggak tahu aja emak gue suka kasih gue vitamin mata ikan,” celetuk Bari.

Semua menghela napas bersama mendengar ucapan Bari yang terkadang diluar nalar.

Tak lama setelah itu, Alka membuka tasnya, lalu mengeluarkan pisau kecil serta bebatuan yang ia dapat di sekitar tempatnya duduk. Hal itu menciptakan tanda tanya bagi kelima kawannya. 

 “Al, lu mau ngapain?” tanya Bari.

“Mau berusaha,” ucap Alka dengan language gontainya berjalan menuju gerbang jalur luar lorong waktu. 

Bari menatap bingung, tidak lama Cila serta Devon berlari mengikuti Alka. Bari pun ikut menyusul. Alka mengetuk-ngetuk jari-jari gerbang lorong tersebut dengan bebatuan dengan sangat kuat, diikuti Devon serta Bari yang telah selesai melakukan aktivitasnya. Cila menggunakan pisau kecil menggesek permukaan lorong untuk membuka celah. Gerald pun membantu Cila, diikuti Ersya menggunakan bebatuan memukul jari-jari gerbang tersebut. 

“Beban jadi ringan kalau?” ucap Gerald.

“Dibuang,” celetuk Bari.

“Bar,” ucap Alka penuh penekanan lagi.

“Apa sih Al, manggil mulu kayak operator,” celetuk Bari.

“Bisa enggak sih," kesal Alka.

“Bisa apa? Bisa memiliki waktu dengan kamu? Tenang abis kita keluar dari sini, kita habiskan berdebat okay?” ucap Bari.

Alka tetap terus melanjutkan aktivitasnya memukul jair0jari gerbang besi itu. Hingga pada akhirnya usaha mereka  membuahkan hasil, dua jari-jari gerbang berhasil membengkok dan  hal ini memudahkan untuk keluar dari lorong waktu tersebut.

"Tuh kan bisa," ucap Alka. 

Ersya tanpa kata apapun langsung memeluk Alka. 

"Makasih ya Al," ucap Ersya. 

"Sama-sama Sya," ucap Alka mengelus pundak Ersya. 

Pelukan itu disusul oleh Cila. 

"Oke sebelum dilanjutkan lagi, pelukan kebersamaan kita lanjutkan, setelah kita semua udah pada keluar dari sini ya," ucap Devon tersenyum. 

"Ih Devon, ganggu aja," gerutu Cila. 

"Al, coba tes dulu. Itu celah nya bisa gak lu lewatin," ucap Gerald. 

Setelah itu, Alka mencoba untuk melewati celah yang dibuat tadi. Dengan degup jantung yang berdetak bersamaan. Ia berhasil untuk keluar dari celah jari-jari tersebut. Semua bersorak gembira akan hal itu, bahwa perjuangan mereka membuat celah secara dadakan pada gerbang besi itu tidak sia-sia. Perjuangan itu di lanjutkan oleh Cila, Ersya, Gerald, Devon dan juga Bari. 

Namun ketika celah itu dilewati oleh Bari, kakinya tidak bisa keluar dikarenakan tersangkut. Baru mengerang kesakitan, di satu sisi Alka mencoba mengetuk lagi dengan batu. Sampai pada akhirnya, Devon dan Gerald berusaha kuat menarik Bari agar bisa keluar sepenuhnya. 

"Tahan Bar, ini sakitnya bentaran doang kok," ucap Gerald. 

Alka memberi aba-aba untuk Bari mengambil napas lalu membuangnya dengan perlahan. Sampai di hitungan ketiga, kaki Bari dapat berhasil keluar dari celah besi tersebut. 

Cila pun memberi sebuah kain syal miliknya untuk menutupi luka pada kaki Bari seraya Alka membersihkannya dengan air mineral. 

"Al, sakittt," teriak Bari. 

"Iya sabar, namanya juga ujian," celetuk Alka seraya menekan mata kaki Bari yang lebam. 

"SAKITTTTT WOY!" teriak Bari. 

"Ish, lu dendam banget apa sama gue Al, jangan ditekan itu masih lebam Al, astaga," gerutu Bari. 

"Oke, kita udah berhasil keluar dari lorong itu. Makasih ya semuanya maaf gue salah tadi," ucap Ersya. 

"Iya gue juga minta maaf ya tadi kebawa emosi," ucap Gerald menyeringai. 

Cila memeluk Ersya, diikuti Gerald, Devon dan juga Alka. 

"Heh lu pada ya, gue ditinggalin. Gue mau ikutan juga lah," celetuk Bari. 

"Sini lah," ucap Devon. 

"Nyindir apa gimana nih? Kaki gue cedera kagak liat?" celetuk Bari lagi. 

Mereka pun tertawa bersama mendengar ucapan Bari. Hari itu menjadi saksi bahwa jeda pada sebuah hubungan pertemanan kembali dipersatukan dalam sebuah lorong waktu. Dekat terasa asing tanpa gesekan, proses bertumbuh dan saling mengenal satu sama lain terkadang terjadi pada jeda ataupun gesekan di antara sesama. Tetapi biarlah proses ini tidak membuat kita terlampau lebih lama menjadi dingin melainkan ada untuk saling menyembuhkan dan saling berada pada masing-masing sisi. Benteng sebesar apapun dan beban seberat apapun yang menghalangi langkah dalam mencapai tujuan dapat dikalahkan dengan kebersamaan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Try Again
1
0
Segala upaya, segala gagal-gagal yang tercipta membuat Ayura tidak yakin akan kemampuan dirinya. Seperti layaknya bermain games ketika gagal mencapai target muncul dua opsi yaitu out dan try again. Opsi apa yang Ayura pilih dalam ajang kompetisi lari marathon yang akan ia ikuti? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan