Kosa Rasa
“Aku khawatir seandainya kita mengiya untuk kata yang sama namun tidak merasa hal yang serupa. Memahami rasamu adalah ikhtiarku menjaga diri dari melukai dan betindak tidak semestinya.”
Memahami Manusia
Hidup membawa Saya kepada orang-orang baru. Membuat Saya mendengarkan banyak pengalaman baru. Membaca kisah-kisah baru. Mengharuskan Saya belajar seni memahami orang lain. Hampir sembilan bulan Saya menetap di rumah. Selain kuliah formal, sepertinya Allah sedang berencana memberikan pengajaran...
Kosa Rasa
“Aku khawatir seandainya kita mengiya untuk kata yang sama namun tidak merasa hal yang serupa. Memahami rasamu adalah ikhtiarku menjaga diri dari melukai dan betindak tidak semestinya.”
Memahami Manusia
Hidup membawa Saya kepada orang-orang baru. Membuat Saya mendengarkan banyak pengalaman baru. Membaca kisah-kisah baru. Mengharuskan Saya belajar seni memahami orang lain. Hampir sembilan bulan Saya menetap di rumah. Selain kuliah formal, sepertinya Allah sedang berencana memberikan pengajaran lain kepada hidup Saya, sebut saja sebagai kuliah kehidupan. Di mana bulan demi bulan ini Allah berikan banyak sekali pelajaran. Saya yakin Allah tidak sedang bercanda dalam mendatangkan seseorang. Terlepas dia kelak akan tinggal sejanak, lama, atau bahkan menjadi teman hingga nanti Saya tua. Pada akhirnya banyak orang datang silih berganti. Begitu pula dengan kisah-kisah yang kudengar dengan saksama ataupun ibrah yang kuambil dengan senang hati. Kau tahu, semua ini berbuah sekarang. Telingaku yang sudah mulai nyaman untuk berkompromi menjalani peran sebagai pihak pendengar. Bibirku sudah belajar bagaimana berbahasa yang baik di depan mereka yang hangat, santun, dingin, kaku, bahkan tegas perangainya tanpa merenggut kenyamanan mereka dalam bercerita. Dan Saya begitu yakin, hal ini dialami juga oleh kalian, Sahabat. Kalian yang begitu antusias memahami manusia. Yang berusaha menjadi manfaat bagi manusia lainnya. Pada akhirnya, memahami manusia adalah tentang kita yang benar-benar belajar atas apa adanya diri manusia. Berbekal hati yang lapang, pikiran yang terbuka, telinga yang tegar, bibir yang bersahaja. Dan.., rasa yang sama.
Kosa Rasa
Bagi Saya, empati itu soal memahami rasa. menghitung bagaimana rasa yang sedang dialami orang lain. Jadi, tidak bijak jika kita ini menilai rasa mereka dengan rasa yang kita miliki. Sebab seringkali kata tidak mewakili rasa, justru mendistraksi rasa itu sendiri. Semakin banyak rasa yang kita pernah alami, yang kita pernah pelajari, dan pahami, semakin banyak pula kosa rasa yang kita miliki.
Beberapa hari lalu Saya duduk bersama seorang, yang keputusannya seringkali mendapatkan pertentangan dari orang di sekitarnya, bahkan dari kedua orang tua dan saudaranya. Seorang yang dianggap tidak pandai megelola uang, orang yang dianggap tidak lihai dalam mencari uang, dan segel negatif lainnya. Kami berdiskusi cukup lama hari itu. Kali ini lagi-lagi diijinkan-Nya Saya untuk belajar darinya. Yah, tentu saja sebagai pihak pendengarnya. Beberpa kali hampir saja air di pelupuk mata ini jatuh, namun untungnya tidak, mataku memang basah namun saat airnya akan jatuh, Saya coba membuka mata lebar-lebar dan mengangkat kepala ke atas sedikit untuk menahannya. Saya takut larut dalam emosi berlebih hari itu. Wallauhu ‘alam, mungkin jika ujian Saya sebegaimana perempuan ini, belum tentu mampu lulus ujian dengan nilai baik. Di masa-masa awal pernikahannya, yang bisa dibilang belum terlalu punya apa-apa. Keputusannya untuk sering libur bekerja atau bahkan justru menjual beberapa asetnya, yang Saya pikir sebelumnya itu hal yang salah, hari itu Saya tersadar dengan sebaik-baiknya kesadaran. Semua itu tentu saja bukan demi alasan yang ringan. Semua itu memang demi laki-laki yang mungkin paling dicintainya di dunia ini. Iya, laki-laki 21 bulan yang saat itu duduk di pangkuannya sambil memainkan permen-permen rasa buah dan botolnya yang Saya beri. Anak pertamanya ini beberapa kali mengalami sakit pernafasan. Katanya, sejak umurnya enam bulan, nafasnya diiringi suara serak dan berat. Jantungnya juga berdebar ketika malam hari. Demi Tuhan, tidak ada seorang ibu yang tidak menderita melihat buah hatinya begitu.
Sepuluh bulan kemudian, dia dan suaminya bersepakat untuk berpisah. Entahlah bagaimana pula rasa yang ditanggung sekarang ini. Belum lagi stigma negatif orang lain yang sampai saat ini belum juga hilang dari dirinya. Saya tidak sedang membahas bagaimana perempuan 30 tahunan ini menyelesaikan masalahnya. Tidak. Tentu anak seperti Saya belum memiliki kapasitas itu juga. Namun Saya sedang membahas bagaimana keempatian orang di sekitarnya baik yang ditunjukkan secara langsung atau yang ada di belakangnya. Jujur saja betapa ini menjadi sebuah kosa rasa baru bagi Saya. Memahami orang lain dengan sebenar-benarnya orang lain, tidak dikotori oleh subjektifitas diri Saya. Mungkin kami ini bisa bersepakat untuk kata yang sama (Kesedihan), namun apakah kata yang kita sepakati ini mewakili rasa yang sama. Kesedihan dari Saya yang mana yang setigkat dengan kesedihan itu? Sepertinya ini lebih sedih dari Saya yang ditinggal mati kucing kesayangan. Sejak hari itu, Saya berhenti memberikan perasangka buruk. Saya memohon ampun kepada Tuhan, atas khilaf yang keji ini. Dan berfikir untuk membantunya. Entah dengan apa, namun Saya berfikir demikian.
Saya sempat memikirkan jika setiap orang yang datang hanya untuk menghakimi itu sedikit membuka telinganya, melapangkan dadanya, dan memahami kosa rasa ini dengan baik. Mungkin saja, barang siapa pun yang memiliki daya untuk membantu, akan membantu. Namun pada akhirnya ini sebuah fenomena empati yang sedang Allah suguhkan di depan Saya. Sekali lagi, bagi Saya empati adalah memahami soal rasa. Jika ini baik, maka akan berlanjut menjadi manifestasi yang baik pula, seperti mendukung, membantu, meringankan, bahkan turut menanggungnya. Wallahu ‘alam, sementar ini begitu yang Saya ketahui.
Kepada Rasa Lain
Kita tidak harus terjerumus lopak dalam untuk kelak mau membantu orang yang terjerumus pula. Jika untuk mendapatkan kosa rasa baru kita harus mengalami, maka bagaimana jika rasa itu perihal kehilangan yang dengannya kita tidak lagi merasa sepenhnya menjadi manusai? Atau mungkin dengan cara yang lebih pedih dari itu? Bukan jalan yang mudah juga, bukan? Maka dari itulah sepertinya Saya ini harus banyak mendengar dan merasakan berbagai rasa yang sedang diemban orang lain, agar bijak dalam memahami dan menjaga diri dari tindakan yang tidak semestinya.
Kepada rasa yang bertuan pada orang lain. Memberinya ruang untuk bisa dipahami adalah lebih bijak dibanding memberinya penghakiman yang menyakiti. Jika kita sudah bisa bersepakat pada kata yang sama dengan rasa yang serupa, kita bisa menghadapinya dengan lebih baik. Tidak harus lagi ada pihak yang tersakiti, tidak juga pihak yang menyakiti. Yang ada hanya pihak-pihak yang saling membantu dan menguatkan. Indah sekali, bukan? Setiap kosa rasa adalah amanah sekaligus kesempatan dari Allah. Dan dengan menuliskannya adalah salah satu cara mensyukurinya. Sepertinya sudah cukup panjang kalimat tentang kosa rasa baru ini, Sahabat. Jaga diri baik-baik. Dari segala kemungkinan sakit, dari segala perbuatan yang tidak semestinya, dan dari menghakimi tanpa mengerti.
Salam,
Fauziaherin
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰