
Deskripsi
PROLOG
"Ini seriusan?" tanyaku dengan wajah cemberut dan bibir bergetar. Sementara objek di depan mataku malah terkekeh.
"Iya, Sayang. Aku harus melanjutkan study ke luar negeri."
"Terus aku ditinggal?" tanyaku, manyun.
Gibran mengangguk, "nggak lama, kamu selesaikan dulu sekolah kamu di sini, setelah itu kuliah yang benar. Saat aku udah jadi orang, aku pasti balik ke sini dan melamar kamu sama Papa Mama kamu yang protektif itu."
Hatiku berbunga, aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah...
48,942 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Romance Comedy
Selanjutnya
DETAK
23
6
PROLOG Natalia Laura : Woy... undangan dari Tiaraa ada di rumah gueDinda Arya : Siap bu bosRizka Ayu : Gue nggak ambil, berangkat jam berapa?Natalia Laura : Kila mana nih?Shakilisty : Bentar, CEO hati lagiii minta dibikinin makanan Natalia Laura : Datangnya bareng yuuuk..Dinda Arya : Pasangan di bawa,kan?Shakilisty : Hueeee kalian pada bawa laki. Aing kudu nyewa di mana?
Shakilisty : Ya Tuhan jatuhkan CEO tampan, menawan, dan seiman yang datang melamar daku. Natalia Laura : sarap lo, si Alfa lo lepeh gituuu...Shakilisty : Dia kurang hawt, bokong kurang menggoda Pocker face. Kila mengembuskan napas yang terdengar berat dan menderu. Gadis itu menunduk, melepas kacamata bacanya, lalu memijat tulang hidungnya dengan kasar.Ditatapnya tiga lembar kertas di atas meja yang berada tepat di depannya. Tagihan apartemen, cicilan mobil, dan tagihan kartu kredit. Ditarik paksa tali yang mengikat rambut, menggerai surai bergelombang miliknya hingga menutupi sebagian wajah.Satu desahan kembali ia embuskan, kali ini lebih lama, mengeluarkan segala sesak di dalam dada yang dipendamnya selama ini. Dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Andai bisa menangis, tentu dia akan merintih sepuasnya agar semua beban yang ditanggungnya terlepas. Namun, tak ada satu tetes air mata pun yang terjatuh, hingga membuatnya semakin menyesakkan diri.Kring! Ponselnya berdering.Hallo...Tagihan mobil sudah terlambat tiga bulan, kalau lusa belum ada transaksi. Kami terpaksa menarik paksa kembali mobilnya.Iya, Mas, jawab Kila singkat. Lalu, melempar iPhone miliknya ke karpet lantai. Namun di detik berikutnya, Kila terperanjat, bangkit berdiri dan melompati meja untuk mengambil ponselnya. Diusapnya penuh sayang iPhone terbaru itu.Untung nggak kenapa-kenapa. Cicilan baru lunas bulan kemarin.Setelahnya, lagi-lagi ia terdiam. Kembali memperhatikan tiga lembar tagihan yang masih senantiasa bertengger di atas meja. Membuat Kila ingin menghunus kertas itu hingga robek dalam sekali tebas.Gue harus ngepet ke mana? CEO nggak ada yang nyangkut pula. Sial. SATUAku mematut diri di depan cermin rias. Kebaya kutu lengan pendek berwarna putih gading, melekat sempurna di lekukan tubuhku yang tinggi ramping. Lengkap dengan bawahan kain batik merah hati, yang kukombinasikan dengan riasan sederhana, tapi tetap memancarkan aura seorang Shakila. Membuat rasa percaya diriku semakin melambung tinggi. Senyumku bahkan terus mengembang sempurna.Malam ini aku akan menghadiri pesta pernikahan sahabatku semasa sekolah hingga kerja—Tiara. Aku memutar tubuhku depan cermin. Sekali lagi meneliti apakah ada sesuatu yang kurang, karena sebagai perempuan perfectionist, aku tak suka ada sedikit pun cacat dalam setiap penampilanku. Setelah dirasa cukup, kuambil clutch bag yang tersimpan di atas meja. Bergegas pergi tetapi kembali terdiam ketika pandanganku bertemu dengan kain bakal yang serupa bawahanku. Kain bakal yang seharusnya menjadi atasan untuk pasanganku—jika saja aku punya. Akan tetapi, mengingat statusku yang masih dalam taraf mencari, membuatku tidak tahu harus memberikan kain itu kepada siapa.Ya sudahlah. Sendiri pun aku masih tetap bisa berdiri, bukan?Keluar dari lift, aku berjalan santai. Menyadari beberapa pasang mata lelaki melirik ke arahku dengan tatapan nakal. Aku mengubah gaya berjalanku yang semakin kubuat-buat, sengaja ingin menggodai mereka. High heels lima belas sentimeter dengan ujung runcing berwarna gelap, membuat pinggulku kian terangkat sempurna.Aku semakin gencar meggoyangkan pinggul ke kanan dan ke kiri, berjalan bak peragawati yang selalu menjadi pusat perhatian jika mereka sedang berjalan di runaway. Bukankah memang begitu kenyataannya? Bahwa di masa sekarang ini, penampilan sudah menjadi kebutuhan primer. Orang-orang rela merogoh kocek dalam, bahkan rela merasakan kesakitan demi sebuah penampilan menarik.Orang dengan penampilan menarik, membuat mereka memiliki nilai plus dan diuntungkan. Sering sekali kujumpai lowongan pekerjaan dengan kriteria 'berpenampilan menarik'. Haha. Orang selalu bilang, yang penting baik hatinya. Semua hanya kebohongan belaka. Mana ada orang pertama kenal langsung rogoh-rogoh hati. Pasti wajah dulu, body dulu, penampilan terlebih dahulu, masalah hati belakangan. Dan, aku bersyukur karena tak perlu membuang uang banyak untuk operasi plastik dan sebagainya. Tinggal poles sedikit sana sini, sudah membuatku menarik. ---Ballroom sudah dipadati tamu saat kakiku menginjak pintu masuk. Banyak sekali rangkaian bunga yang berjajar di sepanjang lorong menuju tempat berlangsungnya acara. Aku terus melangkah sambil melongok kanan dan kiri, mencari di mana keberadaan teman-temanku. Tamu undangan memang terlihat ramai, mengingat jabatan dari sang mempelai pria. Langkah kakiku terhenti saat menemukan perempuan mengenakan kebaya yang senada denganku. Perempuan itu berdiri lima meter dari tempatku berdiri sekarang. Menyerongkan badan, aku melangkah kemudian. Perempuan tersebut terlihat cantik meski badannya sedikit berisi.Entah karena aku terlalu fokus pada temanku atau memang karena ruangan ini terlalu dipadati tamu, hingga tanpa sadar membuatku merasakan sesuatu yang dingin di bagian dada. Aku menundukkan kepalaku, bercak merah bersarang di kebaya yang kukenakan. Shit. Penampilanku yang sudah kutata sedemikian rupa, harus rusak karena air minuman yang tumpah di kebayaku. Padahal belum ada satu jam aku berada di sini, sudah ada yang membuatku emosi.Ups... maaf, Shakila. Gue nggak sengaja, ucap perempuan di depanku.Kulempar lirikan membunuh pada manusia kampret itu. Dia masih tertawa, penuh rasa bangga karena merasa menang dan berhasil membuatku geram. Aku menatapnya nyalang, tak berkedip sama sekali. Semakin mengintimidasi hingga membuat objek di hadapanku terdiam.Gue tahu lo sengaja.Emang, jawab perempuan laknat itu santai, bahkan masih sempatnya menyeringai.Hahaha... kenapa lo? Masih dendam sama gue? Takut laki lo gue bawa lari? Udah ngasih apa lo sampai takut ditinggalin begitu? cecarku.Jalang model lo emang pantes disiram. Kalau perlu dirajam.Aku maju selangkah, masih dengan tatapan yang sama.Bukan gue yang godain cowok lo. Dia yang ngaku jomlo sama gue, jelasku sedikit menunduk di telinganya, kalau lo nggak mau hak sepatu gue nyasar di mulut lo, lebih baik jaga sikap. Jaga mulut, bisikku penuh ancaman.Setelah itu, kutinggalkan Renata yang membeku di tempat. Meski dalam langkah ke lima masih terdengar gerutuan dan umpatan darinya, tapi semua hanya kuanggap angin lalu. Tak kupedulikan segala bentuk cacian yang ditujukan padaku.Mendekati Dinda, aku melambaikan tangan. Ciyeee... bumil sekarang teplekan, godaku pada Dinda yang malam ini terlihat cantik sekali dengan perut besarnya. Benar kata orang, aura perempuan hamil memang berbeda.Iya, gue nggak bisa ngeksis sekarang. Bapaknya nggak mau anaknya kenapa-kenapa. Pakai yang sesenti aja gue nggak boleh, keluh Dinda dengan tampang sok memelas.Rivan yang berdiri di samping Dinda, hanya tertawa karena merasa dijadikan bahan omongan. Merasa tak terganggu dan tetap memeluk pinggang Dinda erat. Sesekali mengusapkan tangan kanan di perut buncit sang istri seraya terus memamerkan senyumnya yang senantiasa menguarkan aura bahagia pada sekelilingnya. Van, lo hamil berapa bulan? sindirku pada Rivan yang makin terlihat berisi. Terlihat semakin dewasa. Perutnya juga semakin buncit walau tetap terlihat tampan. Tapi, biasa juga begitu, bukan? Lelaki yang sudah beristri pasti perutnya makin lebar. Dan itu tanda makmurnya seorang suami karena terawat oleh sang istri.Rivan berdecak, Untung lo cantik banget malam ini, Kil. Jadi kata-kata lo barusan tertutup sama penampilan lo yang selalu memukau.Dasar mulut playboy! Tak jauh beda dengan lelaki lainnya.Dinda mendengus, melepas kaitan tangan sang suami dan berjalan maju duluan meninggalkan aku dan Rivan di tempat. Rivan langsung berjalan cepat supaya sejajar dengan Dinda, berusaha mengeluarkan segala bentuk rayuannya. Bercanda, Yang. Bilang sama bundamu, Dek, Ayah cuma bercanda. Hanya mengungkapkan sedikit kejujuran.“Kila emang cantik, badannya langsing, pakai baju apa aja cocok. Beda sama aku, iya, kan?Aku berjalan di belakang mereka sesekali mendengus meremehkan rayuan busuk yang dilayangkan Rivan pada Dinda. Menuju tempat Zhio dan Rizka berada. Terlihat Zhio merangkul pundak Rizka posesif. Sesekali menggesekkan janggutnya di kepala Rizka. Lalu, pandanganku beralih pada Rivan yang dengan penuh binar sayangnya mengelus perut besar Dinda. Sesekali membisikan sesuatu membuat Dinda mencubit perut suaminya.Apa aku iri? JELAS. Melihat sahabat dekat memiliki pacar saja rasanya kretak kretek seperti dilindas kereta api. Apalagi ini, yang satu nunggu lahiran, yang satu nikah malam ini, yang satu udah punya anak dua, yang satu mau nikah awal tahun. Sedangkan aku… tetap JOMLO. Punya pacar mah mending ada yang digandeng. Lah ini? ke mana-mana terus sendiri. Kurang merana apa aku sekarang?Kelakuan lo makin hari makin menjijikan banget, Van. Zhio berkomentar. Mungkin geleuh melihat Rivan yang sedang berjongkok, menempelkan telinganya di perut Dinda. Seolah mendengarkan anaknya sedang bercengkrama, sesekali tersenyum aneh.Ntar lo juga ngarasain sendiri kalau Rizka hamil. Eh, kapan kalian nikah? Jangan hamil dulu sebelum dibawa ke penghulu, ya, tanya Dinda.Zhio dan Rizka saling pandang, melemparkan senyum. TOLONGLAH WOY! Ada jomlowati di sini. Aku memutar bola mata jengah. Melihat kelakuan empat orang ini. Awal tahun depan. Jadi, siapin bonus akhir tahun kalian buat nyumbang kita. Kalau bisa buat akomodasi bulan madu ke Raja Ampat."Males. Mending duitnya buat biaya pendidikan anak gue ntar. Rivan kembali mendumel. Berbeda sekali memang pemikiran calon bapak satu ini.Nata mana sih? tanya Dinda celingukan.Masih di jalan. Biasalah kerempongan dia kan memang paling banyak di antara kita, jawabku.Rizka mendekat ke arahku dengan sedikit mendongak. Kebaya lo kenapa merah gini, Kil?ini minuman, kan? Rizka memindai kebayaku yang terlihat janggal. “Lo habis nabrak orang atau gimana?”Biasa, ada mak lampir lewat tadi, dan dengan sengaja nyiram minumannya ke gue. Bikin kebaya gue jadi lebih berwarna gini, komentarku. Memang kampret itu Renata, belum juga tampil di panggung sudah dirusak saja penampilanku.Lo kapan nikah, Kil? Ayem aja kayaknya ke kondangan selalu sendirian. Nggak merasa butuh gandengan gitu biar kaya truk di luar sana. Pembahasan kembali ke nikah. Dan kali ini aku yang terkena pertanyaan dari Rivan.Nanti kalau tiba-tiba ada CEO nongkrong depan rumah gue sambil menyodorkan berlian 24 karat ngajak nikah. Baru gue nikah.Sekarang kawin dulu ya, Kil? Zhio balas sambil memainkan sebelah alisnya lucu.Lo kenapa sih, Kil,main-main terus? Lo udaaah 28 tahun shaaay, udah saatnya membangun rumah tangga. Apa lagi yang mau lo cari? Dinda kali ini berkomentar. Prihatin mungkin menatap sahabatnya yang jomlowati satu ini.Aku pengin nikah? Ya, jelas. Perempuan mana yang tak ingin menikah? Cung! Kuberi uang.Uang mainan.Namun, kalau pun saat ini aku ditanya ingin menikah atau tidak, maka pada detik pertama akan kujawab tidak. Aku belum terpikir sampai sana. Masih jauh jika harus menjalani sebuah hubungan legal. Ada sesuatu yang membuatku tetap bertahan dalam kesendirian, meski kadang aku dilanda rasa iri untuk berbagi dengan seseorang yang kusebut imam.Yoo... itu siapa yang ngobrol sama Rian? tanyaku tiba-tiba saat pandanganku jatuh pada lelaki tegap memakai baju batik yang membelakangiku.Dia berdiri diantara Rian, Bagas, Bu Farida, dan Pak Ardhi—jajaran para petinggi di kantor tempatku bekerja. Namun aku yakin, dia bukan salah satu karyawan karena aku merasa tidak pernah melihat lelaki dengan postur seperti itu di kantor . Walaupun demikian, lelaki itu terlihat familiar di mataku.Oh... itu anaknya Pak Wibisana. Bos kita berhalangan hadir karna bininya lagi mau jalan-jalan keliling Eropa.Kok gue nggak tahu Pak Webek punya anak laki. Masih muda pula. Pandanganku tak lepas dari punggung lelaki itu.Anak bini keduanya, gosip di divisi gue begitu. Kebenarannya gue nggak tahu, ujar Zhio menebak.Aku, Zhio, dan Tiara memang satu tempat kerja. Jadi, wajar kalau di sini banyak kutemukan teman kerjaku. Dan banyak pula teman semasa sekolah menengah atas.Pak Webek pasti tajir gila. Bininya berapa sih? tanya Rizka penasaran.Jelas tajir. Yang ngisi kantong laki lo tiap bulan kan dia. Nah, elo yang bagian nguras. Rivan menjawab. Aku sudah tak berniat menimbrung lagi. Bomat sama obrolan mereka. Fokusku sudah teralih pada lelaki tersebut.Dinda mencekal lenganku sambil menggeleng, mungkin dia tahu apa yang ada dipikiranku saat ini, jangan macem-macem, Kil. Please. Dinda memohon. Dia memang si peri yang berhati selembut kapas.Aku tersenyum ke arahnya. Tenang aja Dinda sayangkoh. Gue bakal baik-baik saja.Aku berjalan, mengumpulkan segala bentuk percaya diriku. Punggung kokoh itu bagai melambai-lambai minta dibelai, disandari. Uluuuh... kartu kredit, mobil, apartemen doakan Mama, ya? Mama sedang berjuang untuk kalian.Pemirsah, doakan saya. Kalau dapet rupeh-rupeh. Kalian kecipratan bagian. Cebu tiap kepala.Aku mengambil dua gelas minuman, berjalan dengan jumawanya. Saat tubuhku tiba-tiba terasa melayang, kurasakan senggolan dari belakang hingga membuat kakiku tak mampu menopang bobot tubuhku menyebabkan aku terhuyung ke depan.Gelas dalam genggamanku terjatuh. Namun, sebelum tubuhku menyentuh lantai. Sebuah tangan melingkar di pundakku. Menahanku tetap berdiri. Bunyi gelas pecah membuat pandangan khalayak jatuh padaku. Kutengokkan kepala ke belakang.Gibran. Ada Gibran di sana. Menjadikan tangannya sebagai tali supaya aku tak terjatuh.Thanks, Bran.Aku membenahi diriku.Selamat malam, Shakila.Kualihkan pandanganku ke depan. Di sana, lelaki yang sama dengan yang kutatap punggungnya tadi, dengan senyum mengembang yang jelas menyimpan sejuta makna.Seperti ada pocong loncat di siang hari. Aku terkejut. Benar-benar seperti halusinasi. Lelaki di depanku, berdiri di sana. Anak bosku.Januar, panggilku lirih. DUADengan langkah lebar kususuri jalan, sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka sembilan sementara menurut info, meeting akan dilaksanakan pukul setengah sembilan, dan itu artinya aku sudah terlambat setengah jam.Pagi, Mbak Kila, sapa satpam yang bertugas gedung ini. Hanya kubalas dengan senyum singkat, langkah kakiku semakin cepat saat memasuki lobi.Kulihat banyak mata menatap aneh ke arahku. Tak kupedulikan mereka, wajar jika mereka menatap padaku, mereka punya mata. Ya pantes, kan? Aku sudah malas merasakan baper hanya untuk hal-hal konyol.Masuk dalam lift aku sedikit merapikan pakaian yang kukenakan—blouse hijau tua dan rok pensil selutut. Coba saja jika bekerja diperkenankan memakai sarung, mungkin aku memilih memakai kain tersebut. Jadi, aku bisa bebas berlari jika dikejar waktu seperti sekarang ini. Sebelum keluar dari kotak besi berjalan, kusempatkan kembali meneliti penampilanku. Kupoles lagi gincu di bibirku. Kalau Pak Webek marah tinggal kedip-kedip manja saja, sudah pasti langsung luluh.Jadi, semalam aku pergi clubing bersama teman-temanku. Walau tak pulang dalam kondisi mabuk, tapi tetap saja aku tiba di apartemen pukul tiga pagi. Menyebabkan aku bangun kesiangan dan harus mengejar waktu supaya tak terlambat tiba di kantor.Ting! Lift tiba di lantai 21. Lantai tempatku mencari pulus-pulus. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan menuju ruang meeting.Bosbes udah di dalem. Bagas memberi informasi padaku saat melewati kubikelnya.Aku tersenyum sekilas, thanks, Gas.Kuketuk pintu ruangan terlebih dahulu, sebelum membuka pintu. Maaf saya terlambat.Oh... jadi ini ketua tim kalian? Terlambat 45 menit dari jadwal.Kuangkat kepalaku. Bertemu sepasang mata jernih yang berdiri di samping proyektor. Bukan Pak Wibisana yang memimpin meeting kali ini melainkan Januar. Anaknya. Shit. Aku mengumpat dalam hati. Kenapa mahkluk ini bisa ada di sini.Kenapa terlambat?Aku memutar bola mata malas, macet, Pak, jawabku persis anak sekolah yang ketahuan terlambat oleh gurunya.Memang kamu hidup di Jakarta sudah berapa lama? Baru kemarin? Kenapa baru tahu kalau Jakarta memang macet?Aku terdiam karena membenarkan perkataan Januar, tapi tak mungkin kujawab aku bangun kesiangan, bukan? Meski mulutnya lebih pedas daripada cabe-cabean, tetapi tampilan lelaki itu tampak menawan dengan kemeja slimfit berwarna putih. Membuat Januar lebih bercahaya.Kamu benar-benar tak mencerminkan contoh yang baik buat anak buahmu. Meeting penting tapi bisa telat hampir sejam sendiri. Kamu bisa datang seenaknya, tak ada profesionalitas sama sekali. Memang ini perusahaan punya bapakmu? Punya keluargamu?”Januar terus berucap entah apa. Yang jelas sedang ceramah panjang lebar. Dan aku memilih mengamati penampilannya. Menulikan pendengaranku yang mulai panas oleh suara bisik-bisik pengisi ruangan ini. Januar kenapa bisa hawt gini si? Kemeja putih rapi, celana bahan hitam, dan wangi yang semerbak. UlaaalaaaMulut Januar masih berkomat-kamit, meski bisa dianggap sebagai bawahan yang tak memperhatikan tapi aku tak fokus dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Meneliti bagian mana saja dari Januar yang berubah fantastis. Tubuhnya sunggu proposional, berbeda dengan dulu. Sembari menunggu Januar selesai berceramah, aku menyenandungkan lagu di dalam hati.Sudah mabuk minuman ditambah mabok judi. Masih saja akang tergoda janda kembang tak sudi kutak sudi. Sudah banyak buktinya suami mabuk janda. Lupa kasih sayang, juga tak pulang-pulang. Istri disengsarakan... ouwoooo....Bu Shakila, anda mendengarkan saya atau tidak?"Iya, Pak, bohongku mencari aman. Jadi, saya boleh masuk atau tidak? tanyaku saat semua orang sudah diam.Anda yakin akan melakukan presentasi dengan mengenakan sendal jepit seperti itu?Terdengar grasak grusuk sekitarku. Orang-orang terlihat menahan tawa kemudian aku menunduk, ingin mencari kebenaran dari ucapan Januar barusan. Sial!Anjiiir gue cuma swallowan choooy...Silakan keluar ruangan dan kembali lagi di meeting selanjutnya.Kampreeet.Aku langsung membuka pintu dan menutupnya sekali dorong. Apa lo lihat-lihat, bentakku pada Niken yang kubikelnya berada di depan ruang meeting.Kenapa lo? Itu pertanyaan dari Bagas.Januar itu kurang orgasme. Kurang pelepasan semalem. Makanya mencak-mencak nggak karuan, dumelku sembari berjalan menuju lift. Mulutnya emang harus disumpel pakai melon si Siska. Biar kicep sambil ngenyot terus.Aku terus menggerutu, tak kupedulikan pandangan orang-orang yang menatapku aneh. Pantas saja aku merasa ada keganjilan dari diriku sejak pagi tadi ternyata sendal jepit kampret ini biang keroknya.Loh, Mbak Shakila kok sudah turun? Pak Barjo, satpam di sini bingung melihatku yang kembali turun. Dan keluar dari kantor padahal belum ada satu jam yang lalu aku naik.Aku terus saja mengumpati Januar, kutarik kembali semua kata-kataku. Dia tak tampan. Dia burik. Jelek. Item. Methisil. Hidup pula. Tak ada bagusnya sama sekali.Hari ini kenapa aku sungguh sial. Bangun kesiangan, ban mobil kempes, berangkat naik gojek, ketemu sama si iblis Januar yang entah datang dari planet mana, lalu ditendang dari ruang meeting.Aku duduk di halte depan gedung kantorku. Kugoyangkan kakiku kanan kiri bergantian, sudah lengkap penderitaanku. Lengkap dengan swallow.Januar kenapa harus kembali lagi? Kenapa dia tak menetap saja di alam ghaib sana. Melihatnya pagi ini membuatku jadi terkenang masa lalu. Dan yang lebih membuatku tercengang. Januar kenapa sekarang berbeda 180 derajat daripada dulu. Sok tak mengenal diriku pula. Kampret, kan? Padahal dulu Januar mengemis cinta padaku.Kutiup rambut depanku yang menutupi wajah. Beberapa orang lewat sambil memandangku. Mereka tak pernah melihat perempuan cantik duduk di halte apa?Kurasakan dingin di pipiku. Aku sudah hampir memuntahkan lahar panas saat kulihat seorang lelaki duduk di sebelahku. Menyodorkan kaleng soda dingin padaku.Cewek cantik kalau nongkrong di halte itu berasa karunia rakyat jelata. Mikir harga bedaknya berapa, luntur nggak dipakai desak-desakkan di bus.Kuambil kaleng minuman tersebut, belum kubuka malah kupukulkan pada kepala lelaki itu, garing deh, Bran.Kulirik jam di pergelangan tanganku, bolos ya lo? Masih jam kantor ini tapi elo kenapa berkeliaran di luar begini?Bos ya enak, Kil, mau jungkir balik di jalan raya juga anak buah diam saja.Gibran memang lulusan luar negeri, jadi pantas saja dia dipandang lebih daripada yang lulusan dalam negri macam kami ini. Kerja siang malam dianggap biasa. Memang pemikiran orang Indonesia wajib diganti.Tapi pas lo metong ketabrak, anak buah lo pada syukuran.Gibran tertawa, mengacak-acak rambutku, jujur amat si lo, Kil, jadi orang. Mulut kaya cabe rawit, pedes banget.Muluuut gue semanis lolipop kali, Bran.Kenapa bisa di sini? tanyanya kali ini tak ada nada bercanda.Aku mendesah, gue telat terus diusir sama bos dari ruang meeting.HAHAHA aji-ajian lo udah luntur ya. Masa bos lo ngusir seorang Shakila?Kupukul dadanya, gue mau ngeluarin jurus seribu bayangan. Terus gue sobek-sobek itu mulut bos tapi apalah aku makan juga dari gaji kerja perusahaan dia.Gibran tergelak kembali, nggak tahu deh, Kil. Dari dulu tiap lihat lo tersiksa merana gini bawaan gue bahagia.Kuampreet.Balik sana ke kandang lo, usirku. Kantor Gibran memang bersebrangan dengan gedung kantorku.Kasihan ntar cewek cantik digodain orang.Muluut lo, Bran. Kelamaan gagal move on ya lo jadi sinting begini.Mana ada gue gagal move on.Alaaah, bohong lo tapi thanks gue ada temen ngoceh di sini.Gibran kembali tertawa, anak rambutnya berjatuhan karena pergerakan kepalanya. Sumpah. Dia ganteng banget. Pantas saja temen sedivisiku sering nongkrong di food court kantor dia. Nongkrongin ini manusia satu.Lo juga jomblo menahun, Kil. Thanks juga udah buat gue senyum bibir. Lagi suntuk aja sebenernya gue.Hidung Gibran mancung, bahkan lebih mancung daripada punya Januar. Gibran lebih putih daripada Januar, tapi badan Januar lebih tegap.Gibran dan Januar sama-sama memiliki perut sobek-sobek tidak, ya? Kenapa jadi ngebandingin mereka ,ya? suntuk kenapa lo? tanyaku.Suntuk, jenuh, bosen. Kerja tiap hari, gaji kebanyakan. Rumah kelar beli. Mobil udah lunas, tanah udah mulai investasi. Bingung mau ngabisin duit sendiri.Semelekethe ini orang...Alaaah bilang aja lo pengin kawin. Kudorong lengannya dengan telunjukku. Wow keras choooy...Kawin bisa diatur. Nikahnya yang susah, jawabnya defensif.Lo ganteng padahal, Bran. Umur udah 29 tahun. Masih bisa kalau sekedar nunjuk dedek gemes yang baru lulus SMA.Ogah! Dedek gemes desahannya melengking kaya tikus kejepit. Mending sama yang mateng. Desahannya kaya harmoni lagu.Hah? Eanjiiir ya, mulut lo, Bran. Demennya desah-desahan.Dia menatapku, mata Januar tergolong bening sementara milik Gibran hitam pekat, kita hidup sudah lebih dari seperempat abad, Kil. Yang begini itu sudah bukan kejadian awam lagi. Lo bahkan lebih dari sekedar tahu.Kupukul lengannya, Woya jelaaaas.Lo sendiri kenapa masih jomblo, Kil. Umur udah 28 tahun, wajah oke, pendidikan tinggi. Kurang apalagi?Karena duit gue masih belum cukup buat sekedar dihabisin sendirian. Mobil belum kelar. Apartemen belum lunas. Investasi belum ada. Kubalik kata-katanya barusan.Kita saling melengkapi ya, Kil. Kaya isi kutang. Harus dua.Kugeplak kepalanya. Isi otaknya tak berubah sejak aku mengenalnya lebih dari sepuluh tahun lalu.EHM!Deheman keras menghentikan percakapan kami. Menengok ke depan kutemukan Januar berdiri di sana dengan tatapan hendak memakanku. Dia masih dendam karena kejadian masa lalu? Iya? Karena sedetik sapa, rusak move on se-abad
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan