
“Kumenunggu dan menemukanmu”
(Raditya Arya Fathian)
“Pokoknya kita putusssss”
Baru jadian....sudah ada yang menggoda. Lagi sayang-sayangnya...eh dianya minta putus dan menghilang.
Giliran sudah ketemu, enggak bakal dilepas lagi dong. Mantan oh mantan...
Bab 1
Calon Menantu
“Masih banyak antrian pasien, Rin?” tanya Raditya pada Rina–perawat yang hari ini bertugas mendampinginya di rumah sakit.
“Masih ada dua pasien, Dok,” jawab Rina memeriksa berkas pasien di tangannya.
“Ohh, panggilkan kalau begitu, Rin.” Radit adalah dokter sekaligus pemilik rumah sakit yang didirikan Pak Irfan–sang ayah–untuknya. Radit tidak meneruskan jejak Pak Irfan sebagai pengusaha namun memilih untuk menjadi dokter. Pak Irfan tidak memaksakan Raditya untuk melanjutkan mengelola perusahaan namun mendirikan sebuah rumah sakit yang sudah berjalan selama empat tahun. Terletak di tengah kota dan di pinggir jalan yang strategis menjadikan rumah sakit cepat berkembang. Raditya menggandeng sejawatnya sesama dokter umum ataupun dokter spesialis untuk mengisi posisi di rumah sakitnya.
Pasien berikutnya seorang remaja laki-laki yang didampingi ibunya, keluhan deman dan mulai muncul benjolan di tubuh yang diduga cacar air. Dengan sabar Raditya melakukan pemeriksaan, menyarankan banyak istirahat, makan sayur buah dan cukup minum air putih serta meresepkan obat kepada pasien.
“Iya, nih, Dok. Susah banget disuruh makan sayur, maunya yang kering-kering. Kalau buah harus dipotong-potong, disiapkan di piring baru mau,” keluh ibu pasien.
“Dibiasakan, ya, Dik. Sakit ataupun sehat sayur dan buah harus jadi menu harian. Apalagi adik masih dalam tahap pertumbuhan begini. Ibu juga harus lebih variatif dalam penyajian menu harian keluarga. Air putihnya dibanyakin ya, Bu, agak demam ini.” Raditya mulai mencoret-coret obat yang akan diresepkan pada pasiennya.
“Ini bisa ditebus di apotik ya, Bu. Semoga cepat sehat.”
“Aamin, terima kasih, Dok, terima kasih, Sus,” kata ibu pasien pada Raditya dan Rina yang dibalas dengan senyuman. Rina membukakan pintu untuk pasien.
“Pasien terakhir ya, Rin?” tanya Raditya memastikan ketika Rina kembali ke mejanya.
“Iya, Dok, saya panggil dulu, ya,” jawab Rina sambil membuka pintu.
Seorang ibu berusia lima puluhan memasuki ruangan, memakai gamis dan hijab tosca dengan tas di bahu. Wajahnya sedikit pucat, namun kecantikannya yang nampak terawat tetap terlihat jelas, mengingatkan Raditya pada seseorang yang entah siapa samar tapi terasa cukup familiar.
“Keluhannya, apa, Bu Fida?” tanya Raditya dengan ramah setelah memeriksa kartu pasien dan namanya yang ada di meja.
“Pusing, dok, sepertinya hipertensi saya naik, ini. Biasanya saya sama Dokter Danu, kemarin mau berobat kok ya saya enggak bisa keluar rumah. Tapi sama Dokter Radit sepertinya saya cocok ini, Dokter sebaya dengan anak bungsu saya,” celoteh Bu Fida.
“Wah, sebaya dengan anak bungsu Ibu? Saya ini anak sulung, Ibu Fida sepertinya awet muda, tetap cantik di usia sekarang. Kita periksa dulu di tempat tidur, ya, Bu.” Di tempat tidur pasien tampak Rina telah menunggu dan mempersiapkan untuk pasien.
“Ah Dokter bisa aja, Dokter Radit juga ganteng, gini, pintar lagi. Masih muda sudah jadi dokter.” Bu Fida membaringkan tubuh di tempat tidur, Raditya mulai melakukan serangkaian pemeriksaan.
Setelah mengecek dan menanyakan beberapa kondisi terakhir Raditya dan Bu Fida kembali duduk di kursi pasien dan dokter. Raditya mulai menuliskan beberapa resep yang diperlukan.
“Iya, Bu. Hipertensinya kumat, Ibu banyak pikiran, ya?” tanya Raditya.
“Namanya ibu-ibu ya, Dok. Adaaaa aja yang dipikirkan, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Belum lagi anak bungsu saya, haduh bikin saya pusing. Sudah waktunya nikah malah pacaran sama orang yang enggak saya suka, kalau anak muda sekarang bilang mah bad boy, ganteng sih ganteng, tapi kan jadi suami enggak cuma modal ganteng doang. Nikah kan seumur hidup, beda sama pacaran. Dari awal pacaran saya sudah enggak setuju sama hubungan mereka, tapi anak saya tetap keukeuh aja, kalau curhat sama papanya juga katanya anak sudah besar, kan saya jadi tambah pusing, Dok.” Bu Fida mencurahkan perasaannya dengan leluasa, Raditya mendengarkan dengan perhatian dan sabar, Rina yang berdiri di sampingnya hanya tersenyum. Begitu banyak karakter pasien yang ditangani tapi selama ini Raditya selalu sabar menghadapi, itulah yang membuat beberapa pasien yang berobat ketika sudah mengenal Raditya akan susah berpaling pada dokter lainnya.
“Diajak bicara baik-baik, Bu, anaknya, dari hati ke hati. Seperti yang Bapak katakan anaknya ‘kan sudah besar, bukan anak kecil lagi yang gampang diperintah ini itu. Ibu juga jaga makanan, kurangi garam dan gorengan. Ini saya resepkan obat, bisa ibu tebus di apotik,” kata Raditya dengan sabar sambil menyerahkan kertas resep.
“Terima kasih, ya, Dok. Dokter Radit sepertinya gampang diajak curhat ini.” Bu Fida menerima resep yang diberikan Raditya.
“Saya hanya mencoba mendengarkan, Bu. Semoga Bu Fida cepat sembuh.”
“Aamiin. Eh, dok, dok sebentar, boleh minta nomor WA nya? Siapa tahu saya mau konsultasi masalah kesehatan.” Bu Fida mengeluatkan ponsel dari tasnya.
“Boleh, Bu.” Raditya menyebutkan nomor WA, beberapa pasien terkadang meminta nomor pribadinya, dan Raditya hanya akan memberikan kepada orang-orang tertentu.
“Sudah saya simpan, barusan saya WA ya, Dok. Jangan lupa nama saya Bu Fida.”
“Siap, Bu.”
“Eh, sebentar-sebentar, Dok.” Bu Fida seperti teringat akan sesuatu yang terlupakan. “Boleh minta foto bareng? Sus, saya minta tolong, ya.” Bu Fida berdiri dan menyerahkan ponsel pada Rina yang ada di sebelah Raditya. Raditya nampak terkejut namun tidak bisa menolak ketika Bu Fida berdiri di dekatnya dan memasang wajah penuh senyuman.
“Dok, ayo senyum, Dok. Lihat kameranya suster,” pinta Bu Fida. Dengan gelagapan Raditya menuruti permintaan Bu Fida. Dengan berbagai pose dan arahan gaya sesuai keinginan Bu Fida akhirnya sesi foto bersama berakhir, Raditya menarik napas lega, Rina menahan senyum melihat tingkah laku Raditya dan Bu Fida.
“Terima kasih banget, ya Dok. Ini saya mau memperlihatkan foto anak saya ke Dokter, cantik, loh, anak saya. Saya pingin menjodohkan dengan Dokter Radit. Dokter Radit benar-benar menantu idaman, saya mau calon menantu seperti ini.” Bu Fida membuka-buka galeri fotonya.
“Waduh, Ibu. Kok dari sesi pengobatan, curhat, pemotretan kok jadi sesi perjodohan?” tanya Raditya.
“Yaaa...siapa tahu jodoh, kalau jodoh kan enggak akan kemana, Dok. Namanya juga usaha seorang Ibu. Ini foto anak saya sudah ketemu yang paling bagus, cantik, kan?” Bu Fida mengarahkan ponsel ke tangan Raditya. Dengan segan Raditya menerima ponsel itu dan terperangah melihat foto yang ada di hadapannya.
“Ini ‘kan Orin, Bu?” tanya Raditya.
“Dokter kenal? Iya itu Orin anak saya, nama lengkapnya Orin Agista,” jawab Bu Fida dengan senyum lebar.
“Iya, Bu, kenal waktu SMU, dulu Orin mantan pacar saya.” Reflek Raditya menutup mulutnya yang keceplosan.
Bab 2
Kita Putus
“Dokter kenal? Iya itu Orin, anak saya, nama lengkapnya Orin Agista,” jawab Bu Fida dengan senyum lebar.
“Iya, Bu, kenal waktu SMU, dulu Orin mantan pacar saya,” reflek Raditya menutup mulutnya yang keceplosan.
“Wahhh, iya, Dok? Kalau gitu waktu kami dulu belum pindah karena ayahnya Orin mutasi. Kami baru dua tahun tinggal lagi di kota ini, Dok. Ayahnya Orin pensiun, jadi kami menempati rumah yang di sini, kebetuan juga Orin keterima kerja di sini. Benar-benar jodoh, Dok.” Bu Fida menatap Raditya yang salah tingkah dengan sumringah.
“Orin sekarang kerja di mana, Bu?” tanya Raditya menutupi kegugupannya.
“Kerja di bank. Kapan-kapan Dokter Raditya main ke rumah, ya,” pinta Bu Fida dengan wajah serius.
“Ahh...iya, mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi, Bu.”
“Ya sudah kalau gitu, Ibu pamit dulu, takut mengganggu pekerjaan Dokter Raditya.” Bu Fida berdiri, menyalami Raditya dan pamit pulang.
Raditya menarik napas lega setelah kepergian Bu Fida, Rina tersenyum menggoda dokter muda yang baru saja dijodohkan pasiennya. “Alamat bakal ada yang CLBK, nih, Dok,” candanya.
“Dunia begitu sempit, Rin. Pantas tadi saya merasa seperti mengenal wajah Bu Fida waktu pertama kali masuk ruangan, ternyata ibunya Orin,” keluh Raditya memejamkan mata dan bersandar di kursi. Rina tertawa kecil melihatnya.
.....
Masa putih abu-abu
“Cha, tadi siapa yang pakai tas sekolah pink?” tanya Raditya pada sepupunya setelah melepas kepergian beberapa teman sekolah yang habis belajar kelompok di rumahnya.
“Orin, kenapa? Mas Radit naksir, ya?” tanya Icha dengan jutek. “Jangan gangguin teman Icha, Mas. Playboy seperti Mas Adit enggak boleh pacaran sama temannya Icha.” Icha menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga, mengambil toples kue nastar.
“Kenapa Cha? Adit naksir temanmu?” tanya Irfan– kakaknya Icha– yang sebaya dengan Raditya.
“Tahu, tuh, Mas Radit, enggak bisa lihat cewek bening langsung nyosor aja, padahal sudah banyak cewek juga.”
“Playboy gimana, sih, Cha? Kan cewek-cewek itu yang ngejar-ngejar Mas Radit.”
“Enggak percaya mah Icha pokoknya.” Icha memalingkan wajahnya dari Raditya, mengambil remote TV dan mencari saluran yang menarik.
“Siapa, sih Cha? Orin?” Irfan ikut mengambil nastar dari toples yang digenggam Icha.
“Iya, dari tadi kita ngerjain tugas Mas Radit bolak balik seperti setrikaan, ternyata ngincar Orin.”
“Tenang, Bro. Nanti aku bantu, Orin banyak yang naksir tapi masih jomblo, kok.” Irfan menepuk pelan bahu Raditya.
Icha dan Irfan merupakan sepupu Raditya yang sama-sama sudah menginjak bangku SMU. Namun Icha dan Irfan bersekolah di tempat yang berbeda dengan Raditya. Sore itu Orin dan teman-temannya belajar kelompok di rumah Icha, mereka bertemu dengan Raditya yang kebetulan sedang menginap di rumah sepupunya.
.....
“Rin, dapat salam dari Radit, sepupuku yang kemarin ada di rumah, udah disampaikan Icha belum?” tanya Irfan saat menghampiri Icha untuk pulang bersama. Setiap hari Irfan dan Icha pulang pergi dengan naik motor yang dikendarai Irfan.
“Ohh, terimakasih, Mas Irfan, salam kembali,” jawab Orin dengan malu-malu. Orin bukannya tidak tahu pada saat ia belajar di rumah Icha ada Raditya yang hilir mudik sibuk di sekitar mereka, tapi ia malu untuk bertanya pada Icha.
“Enggak usah didengarin apa kata Mas Irfan, Rin. Mas Radit mah playboy. Ayo Mas pulang.” Icha sudah ada di boncengan motor dan menarik-narik ransel Irfan memintanya untuk segera pulang.
Masa-masa penjajakan dilalui Raditya dan Orin, Icha yang awalnya tidak menyetujui akhirnya tidak bisa menolak hubungan saudara dan sahabatnya. Rona bahagia selalu terpancar dari wajah Orin setiap kali menceritakan tentang Raditya.
“Cha, Lala itu siapanya Mas Radit?” tanya Orin saat mereka berdua di kantin sekolah. Icha sedang menikmati pisang goreng dan Orin menikmati es doger di hadapannya.
“Mmmm...sepertinya teman sekolah yang satu komplek perumahan sama Mas Radit, kalau enggak salah waktu jadi pengurus OSIS mbak Lala jadi sekretaris, Mas Radit kan waktu itu jadi ketua OSIS, Rin.”
“Oooo...memang sudah akrab, ya?” tanya Orin.
“Sepertinya sih, emang kenapa, Rin?” Icha menatap Orin dengan mata menyelidik.
“Kemarin pas kita ke toko buku Mas Radit terima telepon dari Lala lama banget, dan sepertinya akrab gitu. Waktu itu kamu sama Mas Irfan ke toilet.” Hubungan Orin dan Radit masih berbilang minggu, selama itu pula mereka tidak pernah pergi berdua karena Orin masih takut dengan kedua orang tuanya. Jika pergi biasanya mereka bersama Icha dan Irfan.
“Sepertinya sih Mbak Lala naksir Mas Radit sudah lama, Rin. Tapi Mas Raditnya enggak mau, cuma ya gitu, mereka masih berteman aja, kan sekelas, pernah akrab di OSIS, tetangga rumah juga. Sudah enggak usah dipikirkan, Mas Irfan bilang Mas Radit sayangnya sama kamu, kok,” hibur Icha. Selama ini memang Raditya lebih banyak bercerita pada Irfan yang sebaya dibandingkan dengan Icha.
“Iya cuma tanya aja, kok.” Orin tersenyum manis, menghabiskan sisa-sisa es di gelasnya.
.....
Siang ini cuaca sangat cerah, Orin, Icha, Hasna dan Aina baru saja pulang les matematika. Mereka mampir ke sebuah kedai es krim yang cukup ramai. Setelah memarkirkan motor mereka masuk ke kedai, celingukan mencari kursi yang kosong.
“Berempat, ya, Kak? Di sana masih ada meja yang kosong,” sapa seorang pelayan bercelemek yang membawa nampan berisi gelas dan piring kotor. Selain es krim kedai juga menjual beraneka kudapan, cocok untuk dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda.
“Iya, Kak, terima kasih.” Orin dan teman-temannya melangkah menuju meja yang ditunjukkan, terletak agak di pojok sehingga tidak terlihat dari pintu masuk.
“Cha, itu ‘kan sepupumu yang waktu itu ada di rumahmu waktu kita belajar kelompok?” tanya Hasna pada Icha. Hanya Icha yang baru mengetahui hubungan Orin dan Raditya. Orin dan Icha melihat meja yang ditunjuk Hasna, Raditya duduk berdua dengan seorang perempuan berhadap-hadapan dan tampak akrab, perempuan itu menyuapi es krim ke mulut Radit.
“Mas Radit?” pekik Icha. Raditya menoleh tepat saat Orin menatapnya dengan mata yang mulai memerah menahan tangis.
“Rin..” Raditya bergegas beranjak dari kursinya mendatangi Orin, namun Orin langsung berbalik dan kembali ke parkiran dengan air mata yang berderai. Dengan tergesa-gesa dicarinya kunci motor yang masih tersimpan di tas.
“Rin, kamu salah sangka, tadi Mas Radit enggak berdua, ada teman-temannya Lala tapi masih di toilet, Lala tadi yang maksa nyicip es krimnya.”
“Orin enggak percaya, emang benar kata Icha, Mas Radit playboy,” pekik Orin dengan airmata yang berlinang.
“Rin, jangan gitu, dong. Kita bicara dulu, ya, jangan motoran sambil nangis, gitu,” Raditya menarik tangan Orin yang segera ditepis dengan kasar.
“Pokoknya kita putussss.”
Bab 3
Permintaan Mama
Raditya tersadar dari lamunan masa putih abu-abu. Hanya berbilang bulan dia mengenal Orin, dan hanya dalam hitungan Minggu mereka berhubungan, namun kenangan itu masih membekas hingga sekarang. Orin yang berparas imut menggemaskan, rambutnya hitam panjang, bibirnya tipis, alisnya hitam alami, langsung menarik hati Raditya pada saat pertama bertemu.
Dering ponsel mengagetkan Raditya, diangkatnya ponsel yang ada di meja kerjanya, tampak nama Bu Fida terpampang di layar. Raditya mengernyitkan dahi, ibu dari seseorang yang baru dipikirkan sekarang menelepon.
[Assalamualaikum, Bu Fida]
[Waalaikum salam, Dok. Ah, senangnya Ibu langsung dijawab seperti ini. Lagi sibuk?] tanya Bu Fida.
[Enggak juga, Bu. Ini masih memeriksa beberapa berkas] Raditya melirik beberapa berkas di meja yang masih belum disentuh.
[Alhamdulillah kalau begitu, Ibu takut ganggu. Nanti malam ada acara, Dok? Kalau ada waktu saya mau mengundang Dokter Raditya makan malam di rumah] terdengar suara Bu Fida yang sangat antusias.
[Ohhh...ada acara apa, Bu?] tanya Raditya dengan sopan.
[Makan malam biasa aja, kok. Cuma mengundang Dokter Radit makan malam bersama keluarga kami. Ibu memang suka masak, semoga Dokter suka]
[Nanti malam, ya, Bu? Kalau hari ini saya ada praktik. Kalau besok sepertinya bisa]
[Besok ya, Dok. Boleh deh, nanti saya kirim alamat rumah]
[Tapi Bu Fida sudah masak buat acara nanti malam?] tanya Raditya yang khawatir jika Bu Fida telah mempersiapkan segala sesuatunya dan ia tidak bisa datang malam ini.
[Gampang, Dok. Saya belum masak, kok. Bahan-bahannya aja yang sudah siap di kulkas. Sampai bertemu besok ya Dok, maaf mengganggu waktunya]
[Iya, Bu Fida, sama-sama] Raditya menutup telepon. Besok dia akan bertemu dengan Orin, dia mengerti maksud Bu Fida mengundang makan malam. Sekian tahun berlalu entah bagaimana Orin sekarang, yang terlihat di foto ponsel Bu Fida Orin masih secantik dulu, namun sekarang berhijab dan lebih dewasa. Setelah berpisah Raditya sempat menjalin hubungan dengan beberapa wanita, namun tidak ada yang serius dan hanya sebentar saja. Memori dan rasa di hatinya selalu dipenuhi Orin, mengherankan...hanya kenal dan berhubungan sebentar saja namun kenangannya selalu membekas.
Pasien yang cukup banyak dan meeting dengan manajemen rumah sakit membuat Raditya sejenak melupakan Orin. Rumah sakit akan melakukan perluasan bangunan rawat inap karena semakin banyak masyarakat yang mempercayakan layanan kesehatannya. Selain itu pelayanan yang diberikan sangat baik sehingga memberikan kepercayaan bagi beberapa perusahaan untuk bekerja sama dengan rumah sakit yang Raditya miliki. Masih ada tanah yang cukup luas di belakang rumah sakit, rencananya akan dibangun kamar rawat inap tambahan. Raditya sangat beruntung karena meskipun orangtuanya berkecimpung dalam dunia usaha namun tidak pernah memaksakan kehendak kepada anak-anaknya untuk meneruskan. Bahkan Raditya yang tertarik pada dunia medis diberi fasilitas rumah sakit untuk mempraktikkan ilmu yang dimiliki.
Menjelang malam akhirnya Raditya pulang ke rumah, suasana sudah cukup sepi. Raditya memarkirkan mobil, Bi Suni–ART rumah tangga–membukakan pintu dan membawa tas kerjanya.
“Sudah makan, Mas Radit?” tanya Bi Suni.
“Sudah, Bi. Papa Mama sudah tidur?” Raditya melepaskan sepatu dan meletakkan di tempatnya.
“Masih di ruang TV, Mas. Ada Mbak Raya dan Mas Ranu juga. Tadi Bi Suni buat wedang jahe merah, Mas Radit mau?”
“Boleh, deh, Bi. Yang hangat saja, ya, jangan terlalu panas,” pinta Raditya.
Raditya melangkahkan kaki ke ruang keluarga, nampak Pak Arya dan Bu Maya–orang tua Raditya–sedang menonton televisi dengan kedua adiknya, Raya dan Ranu. Raya adalah adik perempuannya, baru saja lulus kuliah dan tertarik membantu Bu Maya menekuni usaha rumah makan, sesuai dengan hobinya yang berkutat di dapur. Ranu adalah adik lelakinya, baru saja diterima di sebuah kampus negeri di luar kota, tidak jauh hanya dua jam perjalanan. Biasanya dua minggu sekali jika tidak ada kegiatan kampus Ranu pulang ke rumah.
“Pada ngumpul gini, Ranu tumben sudah pulang hari ini?” sapa Raditya pada adiknya.
“Libur semester, Mas. Harusnya kemarin sudah bisa pulang tapi masih ngurusin mobil di bengkel,” jawab Ranu.
“Radit ke kamar dulu ya, Ma, Pa, ganti baju. Nanti ke sini lagi, Bi Suni mau buatin wedang jahe.”
“Ah, iya, Dit. Tadi Mama di pasar lihat jahe merah bagus-bagus, Mama beli, deh. Tadi Mama juga sudah minum. Sana ganti baju dulu, sudah salat Isya belum?” tanya Bu Maya.
“Sudah, Ma tadi di rumah sakit.” Raditya beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya di lantai dua. Membasuh muka dan berganti baju kaos dan celana pendek yang lebih nyaman untuk di rumah. Dengan penampilan yang jauh lebih segar Raditya turun kembali ke ruang keluarga, hanya tertinggal Pak Arya dan Bu Maya.
“Raya dan Ranu kemana, Ma?” Raditya menghempaskan tubuh di samping Maya, dua cangkir wedang jahe yang masih mengepul ada di hadapannya. Pak Arya berbaring di pangkuan istrinya, matanya fokus melihat acara televisi yang menayangkan film kesukaan Bu Maya, film drama romantis.
“Raya tadi ada telepon dari temannya, Ranu sepertinya masih capek habis perjalanan pulang. Bagaimana rumah sakit, Dit?” tanya Bu Maya.
“Pasien tambah banyak, Ma. Kemarin baru saja Radit penandatangan kerjasama dengan PT. Raya Eka Sejahtera untuk pelayanan kerjasama kesehatan karyawannya.” Raditya menyebutkan salah satu perusahaan besar di kotanya.
“Jadi nambah kamar, Dit?”
“Insya Allah, Ma. Tadi habis meeting sama manajamen buat persiapan pengajuan ke bank. Sudah ada beberapa bank yang mengajukan penawaran kerjasama.”
“Terus kapan mikir nikah, Dit? Karir sudah oke, kamu enggak pingin seperti Papa gini? Capek-capek pulang kerja ada yang ngurusin,” goda Pak Arya.
“Ngerti, deh, yang bahagia pacaran melulu.” Raditya mengecup pipi kiri Bu Maya, bersandar di bahu ibunya.
“Umurmu sudah waktunya untuk menikah, Dit. Mama juga pingin punya cucu, sudah lama enggak ada suara bayi di rumah ini, Mama jadi kangen. Mama pingin kamu ada yang mengurusi, mendampingimu. Umur sudah cukup untuk menikah, materi sudah kamu punya, apalagi yang ditunggu?” Bu Maya menghidu aroma sampo di rambut Raditya.
“Papa sudah tua juga, Dit. Pingin istirahat, kamu menyukai dunia medis, Raya suka dunia kuliner, Ranu masih belum terlihat. Kalau kamu punya istri dan menguasai dunia bisnis kan bisa bantu Papa mengelola perusahaan.” Pak Arya bangun dari tidurnya, menyesap wedang jahe di hadapannya.
Raditya memejamkan mata dengan nyaman di bahu Bu Maya, pikirannya mengembara pada wajah seorang gadis yang lama tidak pernah berjumpa namun selalu ada dalam ingatannya. Wajah yang mempesona dan menggoda untuk dimiliki.
Bab 4
Dia
“Papa sudah tua juga, Dit. Pingin istirahat, kamu menyukai dunia medis, Raya suka dunia kuliner, Ranu masih belum terlihat. Kalau kamu punya istri dan menguasai dunia bisnis ‘kan bisa bantu Papa mengelola perusahaan.” Pak Arya bangun dari tidur, menyesap wedang jahe di hadapannya.
Raditya memejamkan mata dengan nyaman di bahu Bu Maya, pikirannya mengembara pada wajah seorang gadis yang lama tidak pernah berjumpa namun selalu ada dalam ingatannya. Wajah yang mempesona dan menggoda untuk dimiliki.
....
Hari yang padat dengan agenda, meeting dengan manajemen rumah sakit, dan jadwal praktik sudah menanti hari ini. Raditya sedang bersiap-siap di kamarnya, sambil bercermin dan memasang kancing kemeja teringat akan janjinya hari ini dengan Bu Fida. Dengan membawa jas praktik dan tas kerja Raditya melangkahkan kakinya menuju ruang makan, tampak Raya, Ranu, Pak Arya, dan Bu Maya sedang menikmati sarapan. Bi Suni yang melintas menawarkan membawakan jas dan tas yang ada di tangan Radit.
“Kapan ya, Bi, tugas Bi Suni digantikan istri? Umur segini masih betah jomblo?”goda Raya.
“Anak kecil makan aja, enggak usah ngurusin orang tua.” Raditya menghempaskan tubuhnya di sebelah Raya, mencomot perkedel di piring adiknya dan mengunyah tanpa perasaan bersalah.
“Mas iniiii....itu masih banyak perkedel di piring, ngapain sih ambil punya Raya?” Raya memekik kesal yang hanya disambut kedipan menggoda dari Raditya.
“Kalian ini, dari kecil sampai sekarang yang diributi masalah gini-gini, aja,” tegur Bu Maya. Radit, Raya...malam ini minta dimasakkan apa? Ranu minta dibuatin sup buntut.” Bu Maya mengarahkan dagu pada Ranu yang duduk di hadapan Pak Arya. Setiap pulang dari kos biasanya Ranu memiliki permintaan menu pada Bu Maya, obat kangen selama menjadi anak rantau.
“Radit enggak makan di rumah, Ma. Ada janji makan malam di luar.” Raditya menerima piring yang disodorkan Bu Maya, ada nasi, sayur dan lauk yang telah disiapkan, segelas jus sudah ada di mejanya.
“Dengan siapa, Dit? Rekanan?” tanya Bu Maya yang masih sibuk menyiapkan makanan untuk anak-anaknya. Walaupun Raditya, Raya dan Ranu sudah besar, tapi jika makan bersama Bu Maya akan sibuk memastikan apa saja yang tersaji di piring anak-anaknya.
“Pasien, Ma. Ternyata Ibunya teman Radit dulu waktu SMU.”
“Wah, pasti seru ketemu teman lama, Mas, bisa CLBK, dong,” celetuk Raya yang sudah lama terobsesi punya kakak ipar dari Radit, ingin merasakan punya saudara perempuan katanya.
“Anak kecil sok tahu. Kalau ceriwis lama-lama Mas suntik, loh.” Raditya mengeluarkan senjata andalannya. Sejak kecil Raya sangat takut ke dokter karena beranggapan setiap berobat pasti akan disuntik. Bu Maya yang melihat keributan antara Raditya dan Raya yang tak usai hanya menggelengkan kepala.
....
Sedari pagi Raditya dipenuhi agenda yang melelahkan, meeting dengan pihak manajemen baru selesai menjelang siang, ditambah dengan jadwal praktik dan janji dengan beberapa pasien. Menjelang Magrib Raditya baru bisa bernafas lega, di ruangannya yang cukup lapang dan nyaman Raditya duduk berselonjor melepas penat. Mengutak-utak ponsel menjawab beberapa chat yang terabaikan karena kesibukannya hari ini, tampak pesan dari Bu Fida yang sudah dikirim sedari siang.
[Jangan lupa malam ini, ya, Dok! Ibu sudah masak banyak, loh. Kalau dokter tidak datang Ibu jadi sedih] Raditya tersenyum melihat pesan dari Bu Fida.
[Insya Allah, Bu, saya sudah selesai praktik] Tidak berapa lama pesan Raditya berubah menjadi centang biru.
[Wahh akhirnya terbaca juga pesan Ibu. Sibuk, ya, Dok?”]
[Tadi siang sih lumayan, Bu. Sekarang sudah santai, kok. Saya bersiap-siap dulu, ya, Bu]
[Saya tunggu, ya, Dok]
Raditya meletakkan ponsel di meja dan bersiap untuk membersihkan diri. Di ruangan khusus untuknya tersedia kamar mandi dan beberapa baju ganti. Chocolate cake kesukaan Orin dari toko kue langganan juga telah dpesan dan tersedia di mejanya. Bertahun-tahun berpisah tetap saja Raditya mengingat apa saja yang disuka Orin. Mengingat Orin remaja dan membayangkan sebentar lagi akan bertemu membuat Raditya tersenyum sendiri saat membersihkan cambangnya yang mulai tumbuh. Penampilannya kali ini harus paripurna, dia akan bertemu dengan Orin sekaligus keluarganya.
Suasana rumah sakit masih cukup ramai dengan para pasien yang berobat, hari ini Raditya tidak ada jadwal praktik sehingga menyanggupi permintaan Ibu Fida. Beberapa karyawan, dokter dan perawat yang berpapasan menyapa dengan ramah. Meskipun sebagai dokter sekaligus pemilik rumah sakit Raditya tidak pernah menjaga jarak dengan rekan kerjanya. Usianya yang masih muda tidak menjadikannya penghalang dalam bergaul dengan karyawan yang masih muda ataupun dokter yang lebih senior.
Mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang Raditya menuju toko bunga langganan rumah sakit berdasarkan rekomendasi pegawainya. Tampak berbagai bunga segar memenuhi toko. Raditya beranjak masuk ke dalam toko, pegawainya telah memesankan bunga yang ia inginkan dan Raditya hanya tinggal mengambilnya saja.
“Maaf bisa bertemu dengan Mbak Sarah?” tanya Raditya pada seseorang yang sedang sibuk merangkai bunga.
“Pak Radit, ya? Saya Sarah, Pak. Barusan Mbak Mila telepon kalau bunganya sudah mau diambil, sudah dibayar, kok, Pak. Ini sudah jadi, saya tadi hanya merapikan saja,” jawab Sarah dengan ramah sembari menyerahkan rangkaian bunga di tangannya kepada Raditya yang mengangguk dan tersenyum ramah.
“Cantik sekali bunganya, Mbak Sarah. Mudah-mudahan yang saya berikan suka.”
“Pasti suka, Pak Radit. Bunga yang cantik untuk orang yang spesial,” goda Sarah. Selama ini Sarah hanya berhubungan dengan Mila—pegawai rumah sakit—yang sering memesan bunga. Dari Mila pula Sarah mengetahui bahwa Radit adalah pemilik rumah sakit dan belum menikah, banyak karyawati dan dokter muda yang mengidolakannya.
“Doakan saya, ya, Mbak Sarah.” Raditya menggenggam rangkaian bunga dengan wajah cerah.
“Semoga berhasil Pak Radit.” Sarah mengantarkan Raditya hingga ke mobilnya, bagaimanapun rumah sakit Raditya adalah salah satu langganannya dan pelayanan serta hubungan baik adalah salah satu hal yang selalu dijaga Sarah.
Raditya memasuki mobil dengan bersemangat dan menuju rumah Orin, masih sama seperti dulu saat SMU. Raditya saat itu memang tidak pernah berkunjung karena dilarang Orin yang saat itu tidak berani jujur pada orang tuanya kalau sudah pacaran. Setelah putus Orin juga langsung pindah sekolah karena ayahnya yang merupakan karyawan BUMN harus mutasi. Saat itu setelah putus Raditya beberapa kali ke rumah Orin, hanya bisa memandang dari kejauhan karena rumahnya tertutup rapat dan kosong tanpa penghuni. Beberapa bulan kemudian rumah tersebut ada yang menempati kembali karena telah dikontrakkan oleh keluarga Orin. Sejak saat itu Raditya tidak pernah mengunjungi rumah itu lagi, berharap kenangannya bersama Orin akan memudar seiring berjalannya waktu.
Raditya memarkirkan mobilnya di depan rumah Orin, rumah berlantai dua di cluster perumahan yang cukup besar. Halamannya tampak asri dengan berbagai tanaman hias yang terawat, menunjukkan pemiliknya menyukai keindahan dan kerapihan. Dengan hati berdegup Raditya memencet bel rumah, tidak berapa lama terdengar suara pintu yang akan dibuka.
“Kamuuuu?”
Bab 5
Kesal
Raditya memarkirkan mobilnya di depan rumah Orin, rumah berlantai dua di cluster perumahan yang cukup besar. Halamannya tampak asri dengan berbagai tanaman hias yang terawat, menunjukkan pemiliknya menyukai keindahan dan kerapihan. Dengan hati berdegup Raditya memencet bel rumah, tidak berapa lama terdengar suara pintu yang akan dibuka.
“Kamuuuu?” seraut wajah yang nampak terkejut ada di balik pintu. Wajah yang tidak pernah Raditya lupakan namun sekarang dengan penampilan yang jauh lebih dewasa. Kecantikannya masih terlihat sempurna, bahkan jauh lebih matang,. Mengenakan rok plisket berwarna hijau olive dengan blouse hitam berlengan panjang dan bermotif bunga yang warnanya senada dengan hijab. Orin tampak mempesona.
“Assalamualaikum, Orina Agista, apa kabar?” sapa Raditya dengan senyum lebar.
“Waalaikum salam. Ngapain Mas Radit ke sini, aku lagi sibuk, sebentar lagi ada tamu yang diundang Mama.” Orin menjawab dengan ketus. Senyuman Raditya tambah lebar melihat Bu Fida yang menyusul Orin.
“Malam, Tante.”
“Malam, masuk Nak. Orin tamunya disuruh masuk, dong, jangan berdiri di pintu terus.” Bu Fida menyambut Raditya dengan ramah, berbeda dengan Orin yang masih cemberut.
“Tamu apaan, sih, Ma. Tamunya Mama belum datang. Tuh, kan, Mas Radit, sebentar lagi tamunya Mama datang, kami ada acara. Buruan deh Mas Radit pulang, ngapain juga ke sini.”
“Loh...loh, kok enaknya kamu ngusir Nak Radit, ini kan tamunya Mama. Sana selesaikan piring sama sendok yang tadi belum selesai.” Bu Fida mempersilahkan Radit masuk dan menarik Orin yang masih menghalangi di depan pintu.
“Jadi tamunya Mama itu Mas Radit? Yang Mama bilang tamu spesial?” Setengah melotot Orin mengarahkan jari telunjuk ke wajah Raditya.
“Ya iya lah spesial, cakep gini, dokter, santun lagi. Ayo, Dok, duduk di sini. Biarin aja enggak usah dilayani Orin, dia memang gitu, enggak bisa lihat Mamanya senang.” Bu Fida menarik tangan Raditya masuk ke ruang tamu.
Tante ini saya bawakan bunga buat tante dan chocolate cake untuk Orin.” Raditya menyerahkan rangkaian bungan anggrek dan plastik kue ke tangan Bu Fida,
“Wahhh cantik sekali bunganya, Nak. Tante suka, terima kasih, ya. Kue ini juga kesukaan Orin, Nak Radit tahu aja.” Bu Fida menerima bunga dan kue dengan wajah sumringah.
“Orin ini kuenya dibawa ke ruang makan, sekalian disiapkan dulu ya yang tadi belum selesai. Mama mau manggil Papa dulu buat nemani Radit. Ayo, Nak, duduk dulu di sini.” Bu Fida mempersilahkan Radit duduk. Dengan menghentak-hentakkan kakinya Orin masuk ke dalam rumah, membawa chocolate cake pemberian Raditya.
“Saya terlambat, ya, Tante?” Raditya menghempaskan tubuhnya di sofa tamu.
“Enggak terlambat sama sekali, kok. Nak Radit tunggu dulu di sini, ya. Saya panggilkan Papanya Orin.” Bu Fida meninggalkan Raditya sendiri di ruang tamu. Ada foto keluarga yang terpajang di dinding, nampak Bu Fida dan suaminya duduk di kursi, di belakang mereka ada Orin dan perempuan yang wajahnya mirip Orin namun lebih dewasa, menggendong balita yang sangat imut, didampingi seorang lelaki muda. Nampaknya mereka adalah kakak Orin dan suaminya.
Tidak berapa lama datanglah Bu Fida bersama suaminya, wajah Orin lebih dominan mirip papanya.
“Malam, Om.” Raditya berdiri dan mengulurkan tangan, Pak Satya menyambutnya dengan hangat.
“Jadi ini dokter Radit yang dari kemarin Mama ceritakan? Sampai Papa bosan diulang-ulang terus, enggak sabar ini Mamanya Orin mengajak dokter Radit ke rumah kami.” Pak Satya mempersilahkan Raditya duduk kembali, Bu Fida duduk di sebelahnya, memamerkan karangan bunga anggrek yang diberikan Raditya.
“Ganteng, kan, Yah? Santun lagi, cocok ini dijadikan calon menantu. Lihat nih bunga anggrek buat Mama, bagus, kan?”
“Iya, iyaa...Calon menantu buat calon suaminya siapa, Ma? Orin?” tanya Pak Satya.
“Ya iya lah, Orin. Siapa lagi, Pa? Anak Papa yang belum sold out ‘kan cuma Orin, Jenar kan sudah jadi istrinya orang.” Bu Fida menggerutu membalas godaan suaminya. “Lagian Orin dan Radit ini sudah saling mengenal ternyata, Pa. Mantan pacar lagi,” sambung Bu Fida.
“Oh, ya? Kapan kalian pacaran?”
“Dulu, Om, waktu SMU. Tapi cuma sebentar saja. Saya juga waktu itu belum pernah ke rumah ini karena dilarang Orin. Dulu kami enggak pernah jalan berdua, biasanya bareng sepupu saya, Icha”
“Ooo...Icha yang dulu sekelas Orin itu sepupunya Radit? Sekarang Icha dimana?”
“Di Yogya Tante, dua bulan lagi rencananya akan menikah, suaminya perwira angkatan darat, jadi kemungkinan akan sering pindah-pindah.”
“Waktu SMU memang Orin dan kakaknya kami larang pacaran, fokus dulu sama sekolah. Kalau sekarang sudah besar, sudah tahu batasan-batasannya.”
“Tapi Papa sudah bosan lihat Orin pacaran, Ma. Siapa itu nama pacarnya? Gilang? Sudah berapa tahun mereka pacaran? Kalau antar jemput juga jarang mampir rumah, anak orang dipacari lama-lama. Apa lagi sih yang sebenarnya mereka tunggu, usia sudah matang, pekerjaan juga ada. Sebagai orang tua wajar kan Dok kalau kami khawatir anak gadis kelamaan pacaran, saya ingin Orin cepat menikah, sudah waktunya.”
“Panggil saja nama saya Radit, Om, tidak usah ada embel-embel dokter. Di sini saya sebagai temannya Orin.”
“Iya, Pa. Radit aja biar lebih akrab. Kita langsung makan, yuk. Mana ini Orin enggak keluar-keluar, ada tamu enggak disuguhin apapun. Langsung makan aja, ya, Nak.” Bu Fida berdiri dan mengajak Pak Satya dan Raditya ke ruang makan, nampak Orin duduk di kursi sedang memainkan ponsel dengan wajah yang ditekuk.
“Sudah selesai menata piring dan sendok, Rin? Dari tadi kok enggak kasih tahu Mama di depan. Ayo Nak duduk dulu, makan yang banyak, jangan sungkan-sungkan.” Bu Fida menarik kursi, menyiapkan piring dan sendok untuk Radit. Orin yang duduk di hadapan Raditya tidak peduli, asik dengan dirinya sendiri, mengambil nasi dan lauk pauknya.
“Orin ini dua bersaudara Nak Radit, Jenar nama kakaknya, tapi tinggal di Surabaya karena suami bekerja di sana. Anaknya baru satu, dua tahun, laki-laki.”
“Wah, lagi lucu-lucunya itu, Om. Cucu pertama lagi.”
“Iya, Nak, hampir setiap hari video call. Apalagi selama saya pensiun, yang menghibur ya Bama, cucu saya itu. Makanya Om pingin Orin segera menikah ya karena pingin punya cucu juga yang ada di sini, biar dekat sama Oma Opanya. Iya kan, Rin...kalau sudah menikah jangan jauh-jauh dari Papa Mama, ya, cukup Mbak Jenar yang tinggal di luar kota. Papa kan pingin bisa setiap hari mainan sama cucu.” Pak Satya yang duduk di sebelah Raditya melirik Orin yang duduk di hadapannya.
“Apaan, sih, Pa. Bama kan sudah dua tahun, sudah lepas ASI, waktunya Mbak Jenar program anak kedua. Nanti nambah cucu Papa, ramai deh.”
“Dari Mbak Jenar nambah cucu, dari kamu nambah suami dan cucu, Rin. Biar tambah ramai.”
“Sudah, sudah...dari tadi ribut masalah cucu. Makan dulu, dihabisin ya Nak Radit, itu nambah lagi lauknya, Tante masak malam ini spesial buat Radit.” Bu Fida menuangkan air putih di gelas Raditya, Orin mencebik melihat perlakuan ibunya. Raditya melirik dan mengedipkan sebelah matanya membuat Orin melotot kesal.
Makan malam diakhiri dengan obrolan hangat di ruang keluarga, Orin yang terperangkap dalam keakraban kedua orang tuanya dan Raditya menyibukkan diri dengan membaca tabloid langganan Bu Fida.
“Sudah malam Tante, waktunya Om Tante istirahat, saya pulang dulu.”
“Wah iya, ngobrol sama Nak Radit sampai lupa waktu, sudah jam segini.” Pak Satya melirik jam dinding. “Rin, antarkan Radit ke depan, Papa lupa tadi janji sama nenek mau nelepon, sudah malam takutnya sebentar lagi nenek mau tidur.”
“Saya pamit dulu, Om, Tante. Terima kasih undangannya, masakan Tante memang top.” Raditya mengacungkan kedua jempolnya yang membuat Bu Fida tersipu.
“Nak Radit bisa aja, jangan kapok main ke sini lagi, ya. Pintu rumah kami selalu terbuka untuk Nak Radit.”
“Insya Allah, Tante.” Raditya meraih kedua tangan Pak Satya dan Bu Fida, menciumnya dengan takzim.
Dengan berat hati Orin mengikuti langkah Raditya ke luar rumah. Sikap Raditya yang santun dan memikat hati kedua orang tuanya membuat Orin bertambah sebal. Kenangan masa lalu masih membekas dalam ingatannya.
“Puas ya bisa memikat Papa Mama? Lagian ngapain sih Mas Radit sok akrab banget datang ke sini?”
“Siapa juga yang sok akrab, lagian Mama kamu ‘kan yang mengundang aku. Menyenangkan orang tua itu ibadah, loh, Rin.”
“Idih, apaan, sok bijak. Lagian Mama aja yang belum tahu aslinya Mas Radit gimana?”
“Aslinya gimana emang, Rin? Masih ingat? Enggak bisa lupa sama aku?” Raditya memiringkan kepalanya, menatap wajah Orin yang enggan melihatnya.
“Pura-pura lupa lagi. Siapa coba yang playboy? Hobi selingkuh, mainin cewek. Mama pasti bakal ilfil kalau tahu kelakuan Mas Radit.”
“Siapa yang selingkuh, Rin? Kamu aja yang dulu langsung kabur tanpa dengar penjelasan aku, terus minta putus. Belum juga aku ceritakan yang sebenarnya kamu langsung pindah tanpa kasih kesempatan.”
“Ohh...jadi semua salah aku, Mas? Mas Radit enggak salah? Enak banget, ya, jadi Mas Radit. Udah salah tapi maunya menang sendiri.”
“Aduhhh, jadi serba salah. Orinnnn...aku minta maaf, benar deh enggak ada niat buat selingkuh. Boleh aku jelasin sekarang? Sambil berdiri gini enggak apa-apa?” Raditya melirik ke mobilnya yang ada di samping mereka.
“Apa lagi sih, Mas, yang mau dijelaskan? Sudah jelas-jelas Mas Radit pacaran sama Mbak Lala, untung ketahuan waktu lagi kencan di kedai es krim. Kalau enggak bisa-bisa Mas Radit selingkuh di belakang, tragis banget nasibku.”
“Waktu itu aku sama Lala enggak kencan, Rin. Lala ke sana sama teman-temannya. Aku memang mampir ke sana karena mau beli es krim titipan Raya, adikku, buat dibawa pulang. Di sana ketemu Lala, itu cuma duduk sebentar say hello sambil nunggu pesanan. Pas teman-temannya ke toilet Lala maksa nyicip es krim yang dia beli, eh kamu datang.”
“Alasan aja. Sudah jelas kok kalau Mas Radit dekat sama Mbak Lala. Pas di toko buku itu juga terima telepon dari Mbak Lala lama banget, yang diobrolin juga sepertinya seru banget.”
“Ya gimana-gimana aku sama Lala memang dekat, Rin. Kami kan satu organisasi, banyak hal yang harus dibahas. Tapi selain urusan organisasi sama sekolah ya enggak ada.”
“Bodo amat, lah, siapa juga yang peduli.” Orin memainkan bola mata dengan kesal, perasaan cemburu bangkit kembali membuat emosinya naik setiap kali melihat wajah Raditya.
“Dari tadi marah-marah aja, Rin. Masih cemburu, ya? Masih sayang, ya?”
“Ehhh?”
Bab 6
Pacar Versus Mantan
“Bodo amat, lah, siapa juga yang peduli.” Orin memainkan bola mata dengan kesal, perasaan cemburu bangkit kembali membuat emosinya naik setiap kali melihat wajah Raditya.
“Dari tadi marah-marah aja, Rin. Masih cemburu, ya? Masih sayang, ya?”
“Ehhh?”
“Loh, benar ‘kan tebakanku. Kalau salah masa iya dari tadi ngegas melulu, perasaan aku enggak bikin salah apapun.”
“Mas Radit enggak ngerasa bikin salah? Yang ada Mas Radit bikin kesel, emang bener kok kata Icha kalau Mas Radit playboy.”
“Tuh, ‘kan, Icha dipercaya. Perempuan-perempuan itu aja yang pada cari perhatian, Rin. Toh aku enggak pernah melayani mereka dengan berlebihan.” Raditya bersandar di pintu mobilnya, mengeluarkan ponsel dari saku baju.
“Rin, minta nomor HPmu dong, boleh, ya.” Radit sudah bersiap-siap mengetikkan nomor HP Orin di ponselnya.
“Ogah, buat apa juga. Udah lah cukup hari ini pertemuan kita, Mas. Lupain yang sudah dulu-dulu.”
“Kalau mau menjalin silaturahmi juga enggak bisa, Rin?” Raditya mengerutkan keningnya menghadapi Orin yang keras kepala.
“Ya masih bisa juga sih, Mas. Tapi kan enggak perlu juga kali tukaran nomor HP, sudah ada nomor Mama ‘kan?” tanya Orin dengan sarkasme.
“Oh, iya, benar juga ada nomor Tante Fida. Enggak apa-apa, lah. Anaknya enggak didapat masih ada Mamanya.”
“Mas Radittttt.” Orin membelalakkan mata dengan kesal karena terjebak dengan omongannya sendiri. Radit tertawa lebar dengan puas, memutar badannya di depan mobil dan masuk ke dalam mobil.
“Sampaikan terima kasih untuk Om dan Tante ya, Rin. Pasti aku akan menghubungi Tante Fida kembali.” Raditya membuka jendela pintu mobilnya dan melambaikan tangan kepada Orin. Jejak tawa masih terlihat di wajahnya yang ceria. Orin cemberut melihat kepergian mobil sport berwarna putih dari halaman rumahnya.
.....
Hari ini ulang tahun Raditya, tidak ada perayaan spesial karena Raditya tidak terlalu memperhatikan ulang tahunnya. Namun, karena anak buahnya di pagi hari saat kedatangan Raditya ke rumah sakit telah menyiapkan kue ulang tahun dan kejutan untuknya maka di saat jam makan siang Raditya mengajak karyawan dan petugas kesehatan di rumah sakitnya yang tidak bertugas makan siang bersama. Makan siang akan dikirimkan ke rumah sakit bagi karyawan yang tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
Dengan beberapa mobil Raditya dan karyawannya menuju restoran langganan keluarga. Sebuah restoran yang menyediakan makanan seafood, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama untuk lesehan dan lantai kedua non lesehan, di depan restoran ada beraneka macam ikan dan seafood yang bisa dipilih pelanggan. Di lantai satu ada perpustakaan mini dan pojok bermain untuk anak-anak. Di lantai dua ada tempat tertutup yang bisa dijadikan tempat pertemuan sekaligus menikmati makanan, ada juga tempat outdoor yang bisa dijadikan pilihan.
Suasana restoran sangat ramai karena bertepatan dengan jam makan siang, beruntung karyawan Raditya telah memesan tempat di lantai dua di bagian outdoor. Suasana riuh dan canda tawa meliputi makan siang bersama, tidak ada sekat antara atasan dan bawahan, semua membaur dengan suka cita.
“Ulang tahun keberapa, Dok?” tanya dokter Anya, dokter umum yang lebih senior daripada Raditya dan telah berkeluarga dengan dua orang anak.
“27, Dok, sudah tua, ya, saya,” kekeh Raditya.
“Lebih tua saya, lah, Dok. Sudah waktunya menikah, tuh. Karir, usia sudah pas, tinggal calonnya,” goda Dokter Anya.
“Iya ini, Dok, belum ada calon. Mungkin dokter bisa membantu?” Raditya mengaduk-aduk es teler di hadapannya, beberapa hidangan masih belum lengkap, baru minuman dan cemilan saja.
“Bercanda Dokter Radit ini, yang ada banyak perempuan yang antri.”
“Ini buktinya masih sendiri, Dok, saya masih belum ada yang mendampingi.” Raditya tertawa kecil. “Saya sudah tidak berminat lagi dengan pacaran, Dok. Kalau ada yang cocok dan bisa diterima keluarga besar saya pastinya langsung menikah saja.”
“Iya, Dok, tidak baik lama-lama pacaran, tidak menjamin juga hubungan rumah tangga akan langgeng dari lamanya mengenal pada saat pacaran. Justru pacaran setelah menikah lebih menyenangkan untuk dijalani. Tapi saya salut loh dengan Dokter Radit, dibesarkan dari keluarga besar dengan latar belakang pengusaha tapi orang tua mendukung penuh Dokter Radit dalam dunia medis.” Dokter Anya telah bergabung di rumah sakit Kasih Bunda semenjak awal pendirian sehingga tahu dengan pasti sejarah awal berdirinya rumah sakit hingga sekarang, dari mulai pasien yang masih jarang hingga sekarang harus menambah kapasitas kamar.
“Orang tua kami membebaskan kami sesuai dengan minat dan bakat kami, Dok, tidak pernah ada pemaksaan. Kami sebagai anak-anak memilih dan menjalani apa yang kami inginkan, orang tua hanya mengarahkan. Saya dan adik nomor dua sudah menemukan passion kami, tinggal adik bungsu yan belum terlihat, masih asyik dengan kuliahnya, Dok.”
“Saya kagum dengan kedua orang tua dokter Radit, saya perlu banyak belajar dari beliau berdua dalam mendidik anak.”
“Ah ya, anak Dokter Anya dua putri semua ya, Dok. Papanya enggak ada saingan, nih,” canda Raditya. Beberapa pramusaji sibuk menghidangkan hidangan sehingga meja sudah penuh dengan beraneka macam makanan.
“Mari makan dulu, Dok, semuanya menggiurkan ini. Ayo teman-teman kita makan dulu.” Raditya mempersilahkan Dokter Anya dan teman-temannya menyantap hidangan yang telah tersedia.
Suasana yang semula riuh seketika dipenuhi dengan aktifitas makan bersama, sesekali masih ada canda tawa di antara mereka.
.....
Siang ini Gilang mengajak Orin makan siang bersama. Gilang yang bekerja sebagai manajer marketing di sebuah perusahaan swasta kebetulan ada janji dengan klien di dekat kantor Orin. Jadwal kerja yang padat menjadikan kesempatan makan siang bersama tidak mereka sia-siakan.
“Tadi sudah selesai ketemuan dengan kliennya, Lang?” tanya Orin pada Gilang yang duduk di hadapannya memilih-milih makanan.
“Sudah, tadi anak-anak aku suruh pulang sama driver, aku bawa mobil sendiri. Kamu buru-buru ke kantor, Rin?”
“Enggak, kok, Lang. Tadi pagi sudah ketemu sama nasabah, di kantor juga ada anak-anak. Hari ini sudah enggak ada janji, paling sore mau pulang ada meeting bentar sama anak-anak magang, enggak lama. Minggu depan jadi dinas ke Medan?”
“Jadi, ada proyek baru di sana, nanti-nanti sepertinya aku juga bakal sering dinas ke Medan. Minta oleh-oleh apa, Rin?” Gilang meraih tangan Orin yang ada di atas meja, cincin yang ia berikan tersemat di jari manis Orin, bukan cincin pertunangan, tetapi cincin yang diberikan Gilang sebagai hadiah ulang tahun Orin.
“Mmmm, apa, ya. Bolu Meranti aja kali ya, Lang. Mama juga suka buat cemilan. Berapa hari di sana? Berapa orang yang berangkat?” Orin mengaduk-aduk jus alpukat dan menyesapnya.
“Sekitar lima hari sepertinya, cuma berdua dengan Azka. Mama Papa apa kabar, Rin? Baik, kan?”
“Alhamdulillah baik. Kamu kapan gitu kalau jemput aku sekalian mampir ke rumah? Enggak cuma antar jemput aja.” Selama ini Gilang memang jarang bertamu dan mengobrol dengan kedua orang tua Orin.
“Aku takut kalau ngobrol sama Papamu buntut-buntutnya disuruh nikah, Rin.”
“Memang kenapa, Lang? Kita sudah sama-sama dewasa, sudah bekerja juga, berapa lama kita pacaran? Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal, Lang.”
“Jangan sekarang, lah, Rin kalau urusan pernikahan. Orientasiku sekarang bukan menikah. Aku ingin pada saat menikah dalam kondisi materi sudah benar-benar siap, rumah, mobil.”
“Ah, kamu, Lang. Dari dulu selalu itu alasannya.” Orin memalingkan wajah dan menarik tangannya yang ada di genggaman Gilang. Sesungguhnya dia tahu alasan Gilang menghindari pernikahan selain materi, Gilang masih belum bisa terikat dalam komitmen pernikahan, hidupnya masih diisi dengan bersenang-senang. Pernikahan menurut Gilang hanya akan menghambat hobi dan kesenangannya,
“Sayang, jangan marah gitu, dong. Kita pasti akan menikah oke, tapi please jangan paksa aku dalam waktu dekat, ya.” Gilang meraih kembali tangan Orin, memberikan senyum manisnya.
“Orin...” Suara bariton dari arah depannya mengagetkan Orin, dengan cepat diraih tangannya yang masih ada di genggaman Gilang.
“Mas Radit?” tampak Radit berjalan ke arahnya di antara rombongan orang yang tampak akrab. Teman-temannya melewatinya dan berpamitan pada Raditya yang masih berdiri di hadapan Orin.
“Makan siang di sini juga, Rin? Memang enak sih masakan di sini, recommended. Aku juga sering makan di sini. Oh ya, Masnya ini siapa, ya? Salam kenal, Mas.” Raditya mengulurkan tangan ke arah Gilang yang memicingkan mata melihat Raditya yang berusaha menunjukkan keakraban dan Orin yang tampak enggan menanggapi.
“Saya Gilang, Mas, pacarnya Orin.” Gilang menyambut tangan Raditya, berusaha menunjukkan keramahan yang dibaluti kepemilikan atas Orin. Bagaimanapun lelaki yang ada di hadapannya tidak bisa dianggap enteng, aura mendominasi sangat terasa saat berhadapan dengan Radtya.
“Ohh...pacarnya, perkenalkan saya Raditya, mantan pacarnya Orin.”
Bab 7
Ada Yang Protes
“Kamu berhubungan lagi sama mantanmu, Rin?” tanya Gilang dengan perasaan kesal saat mengantar Orin kembali ke kantor. Pertemuan yang sesaat dengan Raditya menimbulkan aura peperangan antara mereka berdua.
“Enggak, lah, Lang. Mantan waktu SMU, sudah lama banget, itupun jadian juga cuma sebentar, pacarannya anak ABG. Aku ‘kan juga baru aja pindah ke sini, kita benar-benar loss contact. Sekarang aja aku dan dia sama-sama enggak punya nomor WA.”
“Enggak tergabung dalam satu grup alumni WA gitu?”
“Aku sama Mas Radit kan beda sekolah, Lang. Aku satu SMU dengan Icha, sepupunya Mas Radit. Dulu kenal juga karena ketemu di rumah Icha pas belajar kelompok.”
“Aku pokoknya enggak suka kamu dekat-dekat dengan Radit.”
“Tadi juga kebetulan aja kok ketemunya, Lang. Jangan marah lagi, dong.” Orin membelai tangan Gilang yang masih ada di kemudi, mobil telah terparkir di halaman kantor Orin. “Terima kasih, ya, buat makan siangnya. Hati-hati kembali ke kantor, enggak usah ngebut.”
“Maaf, ya, aku marah-marah kayak gini.”
“Iya, tandanya kamu peduli dong sama aku.” Orin menatap lembut Gilang, laki-laki yang sudah dua tahun menemani hari-harinya. “Aku masuk kantor dulu ya,” pinta Orin disambut anggukan Gilang.
Orin membuka pintu mobil, menolehkan kepalanya sejenak dan tersenyum pada Gilang untuk berpamitan, lalu melangkahkan kaki menuju kantornya. Masih ada beberapa agenda yang harus dikerjakannya hari ini.
Gilang menghela nafas panjang, entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak saat bertemu dengan Raditya. Pertemuan pertama yang menimbulkan kesan tidak menyenangkan. Dengan perasaan segan Gilang melajukan mobilnya kembali ke kantor.
.....
“Rin, besok temani saya ya. Ada rumah sakit yang memerlukan pembiayaan untuk penambahan kamar rawat inap. Kita harus bisa mendapatkan nasabah ini, Rin. Nominalnya sangat besar, lumayan untuk pemenuhan target kita.” Saat ini Orin ada di ruangan Pak Hanung, kepala cabangnya. Orin sendiri menjabat sebagai manajer marketing di cabang bank tempatnya bekerja.
“Siap, Pak. Kita berdua saja atau saya ajak Rendi?” tanya Orin. Rendi adalah staf marketing, anak buahnya Orin.
“Kamu ajak anak marketing lainnya saja lah, Puspa juga bisa. Rendi ada deadline yang besok sudah harus diserahkan ke saya.”
“Baik, Pak, nanti saya ajak. Untuk penilaian anak-anak magang sudah saya selesaikan, Pak.” Orin menyerahkan berkas yang sedari tadi dipegang.
“Taruh saja di situ, Rin, nanti saya cek.”
“Iya, Pak, saya permisi dulu.” Orin meletakkan berkas di meja lalu beranjak keluar. Suasana di ruangan mulai sepi, beberapa karyawan sudah ada yang pulang, hanya beberapa yang masih menyelesaikan pekerjaan.
“Bu Orin mau lembur?” sapa Mang Ujang—OB kantor—yang sedang membersihkan ruangan.
“Iya, Mang, masih ada yang harus saya selesaikan. Tolong belikan nasi goreng depan kantor ya, Mang. Seperti biasa jangan terlalu pedas.” Orin mengambil uang dari dompet dan menyerahkan kepada Mang Ujang. Berkas-berkas yang diperlukan ia kumpulkan dan mulai mengetik di laptop.
Menjelang pukul sembilan malam pekerjaan Orin akhirnya selesai. Orin merenggangkan tubuh yang mulai terasa kaku. Mataya sangat mengantuk, ingin segera pulang dan merebahkan diri di tempat tidur. Namun, tubuhnya sangat lengkek dan menuntut untuk dibersihkan. Setelah berpamitan dengan beberapa rekan kerja Orin melangkahkan kaki keluar kantor menuju parkiran, nampak satpam yang sedang bertugas asik menonton tayangan bola di televisi.
“Baru pulang, Bu?” sapa Pak Dadang—satpam yang sedang bertugas.
“Iya, Pak, nanggung tadi masih ada kerjaan. Pulang dulu, Pak,” pamit Orin dan berlalu menuju mobilnya. Parkiran tampak sepi, hanya ada dua mobil dan beberapa motor yang tersisa, berbeda dengan kondisi pada siang hari yang terkadang susah untuk mencari parkir di kantor.
Mengusir sepi Orin menyalakan siaran radio dan menjalankan mobil dengan perlahan, jarak rumah dengan kantor jika tidak macet biasanya ditempuh dalam waktu lima belas menit, tidak terlalu jauh. Suatu keberuntungan saat ini Orin bekerja dekat dengan rumah dengan posisi yang lumayan, namun hal yang ditakutkan Bu Fida adalah jika Orin harus sering mutasi seperti Pak Satya—ayahnya, terlebih Orin adalah anak perempuan.
Aku masih di tempat ini
Masih dengan setia menunggu kabarmu
Masih ingin mendengar suaramu
Cinta membuatku kuat begini
Aku merindu
Kuyakin kau tahu
Tanpa batas waktu
Kuterpaku
Aku meminta
Walau tanpa kata
Cinta berupaya
Lantunan lagu “Tanpa Batas Waktu” dari Ade Govinda mengingatkan Orin pada Raditya, pada pertemuan terakhir mereka ketika Raditya dengan rasa percaya diri yang luar biasa memperkenalkan dirinya pada Gilang. Entah kenapa ada rasa puas di hati Orin saat mengenalkan Gilang pada Raditya. Namun, melihat reaksi Raditya yang biasa saja saat bertemu Gilang, tetapi gigih mencari perhatiannya dan Bu Fida, Orin merasa ada yang direncanakan Raditya.
Tidak berapa lama mobil memasuki halaman rumah Orin yang tampak sepi. Di ujung jalan tampak gerobak sate yang didorong penjualnya perlahan. Biasanya setiap malam setiap jam ada satpam perumahan yang berkeliling untuk berpatroli.
Tidak berapa lama pintu rumah terbuka, Bu Fida tidak akan pernah tidur selama Orin belum pulang. Semalam apapun Orin pulang pasti Bu Fida akan menunggunya, terkadang sambil terkantuk-kantuk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Berbeda dengan saat Pak Satya masih aktif bekerja, jika harus pulang malam maka Pak Satya akan meninggalkan pesan dan Bu Fida akan tidur duluan, urusan pintu rumah biasanya Pak Satya selalu membawa kunci cadangan.
“Sampai malam, Rin?” Bu Fida mendekati Orin dengan membawa secangkir teh panas, rasanya sangat nyaman minum minuman panas di saat badan terasa sangat lelah.
“Ada kerjaan yang harus Orin selesaikan, Ma. Papa sudah tidur?” Orin melirik ke arah ruang keluarga, tidak ada Pak Satya yang biasanya bercanda di situ bersama Bu Fida.
“Ada di kamar berganti baju, baru saja pulang dari blok sebelah, ada undangan syukuran rumah baru.” Bu Fida menerima cangkir kosong dari tangan Orin. “Sampai kapan kamu seperti ini, Rin? Pergi pagi pulang malam, biar bagaimanapun kamu perempuan.”
“Kan enggak setiap hari, Ma.”
“Iya, enggak setiap hari, tapi sering. Papa aja dulu enggak seperti ini, Rin. Dan sepulang kerja ada Mama. Kalau kamu nanti menikah pulang kerja malam-malam masih banyak yang harus dipikirkan di rumah.”
“Mama, itu terus yang dibahas.”
“Sudah, Ma, biarin Orin istirahat dulu, belum juga ganti baju sudah diomelin. Orin sana ke kamar, Mama juga sini ke kamar, temani Papa. Papa takut sendiri.” Tiba-tiba muncul Pak Satya menegur Bu Fida.
Bab 8
Bertemu Lagi
Hari ini agenda Orin bersama Pak Hanung dan Puspa berkunjung ke rumah sakit yang akan mereka tawarkan pembiayaan. Mereka berangkat bersama menggunakan satu mobil, Puspa duduk di samping supir sementara Orin dan Pak Hanung duduk bersama di baris kedua.
“Rin, saya harapkan kamu bisa memperjuangkan agar kita mendapatkan pembiayaan ini, nominalnya sangat besar, banyak bank lain yang juga berusaha untuk mendapatkan. Kita harus bisa memberikan nilai lebih dari bank-bank lain.”
“Sebelumnya rumah sakit ini pernah bekerja sama dengan kita, Pak? Atau dengan cabang lain?”
“Tidak, pemiliknya ini dari keluarga pengusaha, semua dari awal berasal dari modal sendiri. Baru saat ini mereka mencoba bekerja sama dengan pihak bank.”
“Untuk jaminannya di lokasi yang mau dibangun, Pak?”
“Iya, ada tambahan lagi satu unit rumah sepertinya. Nanti kamu minta penilaian agunan dari rekanan kita, ya, karena ini nominalnya besar. Minta proses taksasinya dipercepat, kita harus mengajukan pembiayaan ini ke kantor pusat, masih lama prosesnya. Jangan sampai nanti kita didahului bank pesaing. Kamu fokuskan dulu perhatianmu ke rumah sakit ini, kerjaan lainnya kamu hibahkan dulu sementara ke anak buahmu. Dampingi dan dukung Puspa dalam pengerjaannya, ya. Saya yakin kamu pasti bisa.
“Baik, Pak Hanung. Saya akan akan terus dampingi Puspa.”
Tidak berapa lama mereka telah sampai di Rumah Sakit Kasih Bunda. Karena telah membuat janji sebelumnya maka Pak Hanung, Orin, dan Puspa langsung diajak ke ruang meeting rumah sakit. Tidak menunggu berapa lama datanglah perwakilan rumah sakit. Dari pihak rumah sakit dihadiri Wakil Direktur Umum, Manajer Keuangan dan beberapa staf keuangan. Pak Hanung duduk di antara Orin dan Puspa, di hadapan mereka duduklah perwakilan dari rumah sakit.
“Mohon maaf Pak Hanung, direktur kami agak terlambat karena ada keperluan mendadak, tapi diusahakan untuk ikut pertemuan kali ini,” sapa Pak Erlan, Wakil Direktur Umum.
“Tidak apa-apa, Pak. Kami mengerti kesibukan beliau. Kami sudah sangat senang diberi kesempatan untuk membuka kerjasama. Kalau boleh tahu nantinya seperti apa kebutuhan pembiayaanya ya, Pak?” tanya Pak Hanung, Puspa yang merupakan staf Orin mulai mencatat beberapa hal yang diperlukan.
“Dari awal pembangunan bentuk fisik rumah sakit ini belum ada renovasi besar, Pak Hanung. Kalaupun ada hanya seputar sedikit penambahan dan perbaikan di taman, halaman ataupun parkir. Seiring berjalannya waktu kami membutuhkan penambahan kamar rawat,. Saat ini semua kamar baik kelas I sampai VIP masih dalam satu gedung,. Rencananya kamar kelas I, II, dan III semuanya di gedung yang lama, untuk kamar VIP, VVIP, dan Super VIP akan dijadikan satu di gedung baru dengan fasililitas pendukung. Nantinya gedung baru akan dilengkapi fasilitas ruang bermain anak, cafe dan minimarket. Untuk kamar VIP, VVIP dan Super VIP semua dilengkapi dengan fasilitas televisi, AC, kulkas, lemari, sofa dan kamar mandi dalam. Nanti rancangan bangunan bisa diperlihatkan Mbak Nandya, staf saya.” Pak Erlan megarahkan dagunya pada perempuan muda yang berdiri sederetan dengannya, Nandya menganggukkan kepala dan tersenyum manis.
“Oh, iya, Pak Erlan, selain rencana pembangunan rumah sakit kami juga memerlukan laporan keuangan. Untuk pasien selain melayani masyarakat umum dan BPJS juga ada kerjasama dengan perusahaan dan asuransi ya, Pak?” tanya Orin yang mulai menggali informasi.
“Sudah kami siapkan, Bu Orin. Ada di Mas Bian, staf keuangan. Berkas-berkasnya dibawa kan, Bian?” toleh Pak Erlan pada Bian yang duduk di sebelah Nandya.
“Sudah, Pak. Ini nanti semua bisa dibawa, kemarin Bu Puspa sudah menghubungi saya apa saja yang diminta pihak bank.”
“Kalau begitu diserahkan saja dulu ke Bu Puspa, biar dicek kalau ada yang kurang bisa langsung kita siapkan lagi. Nandya mungkin bisa langsung disajikan rancangan bangunannya!” perintah Pak Erlan pada Nandya.
Tidak berapa lama Nandya pun mengambil alih pembicaraan di ruangan, menerangkan banyak hal tentang rencana penambahan bangunan rumah sakit. Renovasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang meningkat seiring dengan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit yang mereka kelola.
Nyaris satu jam mereka berdiskusi mengenai rencana pembangunan rumah sakit ketika pintu ruang meeting dibuka dari luar. Orin yang membelakangi pintu dan serius mendengarkan pemaparan Nandya tidak menyadari ketika ada orang lain yang masuk ke ruangan dan langsung duduk di sebelah Pak Erlan.
“Wah, kebetulan Pak Direktur sudah datang, mari perkenalkan Pak Hanung, Bu Orin...direktur sekaligus pemilik rumah sakit Kasih Bunda.” Pak Erlan yang melihat kedatangan direktur rumah sakit langsung memperkenalkan kepada para tamunya. Orin memutar kursi melihat sosok yang dimaksud dan terperangah melihatnya.
“Mas Radit?”
Bab 9
Jaminan
“Wah, kebetulan Pak Direktur sudah datang, mari perkenalkan Pak Hanung, Bu Orin...direktur sekaligus pemilik rumah sakit Kasih Bunda.” Pak Erlan yang melihat kedatangan direktur rumah sakit langsung memperkenalkan kepada para tamunya. Orin memutar kursi melihat sosok yang dimaksud dan terperangah melihatnya.
“Mas Radit?” tanpa suara Orin menyebutkan nama Raditya menyadari siapa yang menjadi direktur Rumah Sakit Kasih Bunda.
“Maaf, saya terlambat. Tadinya saya sudah siap-siap bertemu dengan Pak Hanung, tapi mendadak tadi ada tamu. Maaf ya, Pak. Saya Raditya, Pak. Biasa dipanggil Radit” sapa Pak Hanung yang duduk di hadapannya.
“Tidak apa-apa, Dok. Kami paham dengan kesibukan, Dokter Radit. Masih muda tapi sudah punya tanggung jawab yang cukup besar. Kami sudah cukup mendapat pemaparan dari Pak Erlan, kami harap bisa bekerja sama dengan Rumah Sakit Kasih Bunda.”
“Saya harap juga begitu, Pak Hanung. Selain Bapak selama seminggu ini kami sudah beberapa kali bertemu dengan pihak bank, semoga saja kita berjodoh.” Dengan sengaja Raditya melirik Orin yang duduk di sebelah Pak Hanung.
“Aamiin, Dok. Saya pernah berobat di rumah sakit ini, anak-anak kantor juga, Pak. Apalagi yang masih muda-muda, yang biasanya berhubungan dengan kehamilan dan imunisasi bayi, kami puas dan suka dengan pelayanan rumah sakit ini, sangat ramah pada pasien.”
“Wahhh, jadi Bapak dan rekan-rekan juga sudah jadi pelanggan kami? Sangat senang jika bisa memberikan kepuasan, itu salah satu komitmen kami, Pak. Kami berusaha menjadi sahabat dan mitra bagi para pasien. Terus terang kami tidak pernah mengambil pembiayaan dalam pembangunan dan operasional rumah sakit ini, kalaupun ada renovasi rencana awal hanya renovasi kecil menyesuaikan dengan dana yang tersedia. Namun permintaan pasar dan kesempatan yang ada menuntut kami merenovasi secara besar-besaran sehingga memerlukan bantuan bank. Selain untuk pembangunan kami juga perlu untuk modal pengadaan fasilitas pendukung. Untuk pengadaan setiap kamar saja kami perlu banyak dana, belum ditambah dengan fasilitas-fasilitas lainnya.” Raditya menjelaskan secara luwes, entah kenapa terlihat mempesona di mata Orin. Raditya yang biasanya santai dan menyebalkan kali ini terlihat berbeda, aura kepemimpinan terlihat jelas.
“Benar, Dok. Selain investasi diperlukan juga modal kerja bagi rumah sakit sebesar ini. Nantinya akan kami sesuaikan pembiayaannya sesuai dengan kebutuhan.”
“Saya harapkan kami mendapatkan penawaran terbaik dengan harga bersaing, Pak. Untuk jangka waktu saya ingin yang secepat mungkin, saya tidak ingin berlama-lama punya tanggungan, tidak enak rasanya. Asalkan tidak mengganggu operasional perusahaan saya berkomitmen akan melaksanakan kewajiban terhadap pihak bank. Karena itu saya minta disesuaikan dengan kemampuan kami, Pak.”
“Akan kami lakukan dengan sebaik mungkin, Dok. Dan mohon maaf, karena nominalnya besar kami harus mengajukan ke kantor pusat. Prosesnya mungkin sedikit lebih lama daripada yang bisa dilakukan di kantor cabang kami.”
“Tidak mengapa, Pak. Saya paham. Oh iya, untuk jaminan ada dua tempat ya, Pak, Rumah sakit ini dan satu rumah pribadi. Untuk sertifikat sudah difotokopikan, Bian?” tanya Raditya pada Bian.
“Sudah, Dok.”
“Ini tadi pemaparan dari Nandya belum selesai, ya?”
“Sudah, Dok. Kebetulan sekali pas Dokter Radit datang,” jawab Pak Erlan.
“Ohhh, bagus kalau begitu. Mungkin ada lagi yang bisa kami bantu, Pak Hanung?”
“Kalau boleh kami ingin lihat lokasi pembangunan dan jaminan, Pak Radit. Untuk jaminan yang satunya lokasinya apakah cukup jauh?”
“Jaminan yang satu tidak terlalu jauh, kok, Pak. Kita bisa langsung ke sana. Nanti saya yang akan menemani. Dinikmati dulu Pak hidangan ala kadarnya ini sebelum kita melihat lokasi pembangunan, ada di belakang gedung ini.” Raditya meraih cangkir di hadapannya dan diikuti oleh lainnya, suasanapun lebih santai diselingi canda tawa. Orin yang biasanya luwes menghadapi nasabah kali ini mendadak menjadi lebih pendiam, hanya sesekali menimpali percakapan.
......
“Di sini rencana lokasi pembangunan gedung baru, Pak Hanung.” Saat ini setelah berkeliling rumah sakit dan melihat berbagai fasilitas yang dimiliki maka Pak Hanung, Orin, Puspa, Raditya, Nandya, dan Bian ada di belakang rumah sakit, di tanah lapang yang cukup luas. Pak Erlan berpamitan tidak bisa mengikuti karena ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan.
“Sangat luas tanahnya, Dok. Apalagi posisinya yang strategis begini.” Pak Hanung berdecak kagum melihat kemegahan rumah sakit dan rencana pembangunannya.
“Saya hanya mengelolanya, Pak. Ini adalah tanah peninggalan eyang. Karena saya berkecimpung di dunia medis maka orang tua mendirikan rumah sakit ini.”
“Orang tua yang benar-benar mendukung anak, ya, Dok.”
“Alhamdulillah, Pak. Saya sangat bersyukur.”
“Setelah ini kita langsung ke jaminan satunya, Dok?” tanya Pak Hanung. Puspa tampak sibuk mengambil foto.
“Boleh, Pak.”
Setelah dirasakan cukup mereka menuju parkir. Hanung dan Bian dalam satu mobil, sedangkan Pak Hanung, Orin dan Puspa dalam mobil operasional kantor yang tadi membawa mereka ke rumah sakit. Radit sebagai penunjuk jalan berada di depan, sepuluh menit berkendara akhirnya mereka sampai di tempat, sebuah perumahan elit yang didominasi bangunan besar. Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar berlantai dua bercat putih. Seorang wanita setengah baya tampak tergopoh-gopoh membuka pintu dan menyambut kedatangan mereka.
“Bi Rom, tolong buatkan minuman,” perintah Raditya pada wanita yang menghampiri mereka.
“Iya, Mas Radit.” Bi Rom beranjak ke dapur membuatkan minuman untuk Raditya dan tamunya.
“Mari, Pak Hanung. Kita langsung saja berkeliling rumah. Silahkan Mbak Puspa kalau ada yang mau difoto lagi.” Raditya mengajak Pak Hanung, Orin dan Puspa masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju lantai dua, tampak beberapa perabot yang masih baru dibeli.
“Rumahnya sangat menyenangkan, besar, lapang dan full perabot. Baru beli ya, Dok?” Pak Hanung mencermati setiap sudut rumah dengan penuh kekaguman.
“Iya, Pak. Baru saja ini dibelinya.”
Pak Hanung dan Puspa masih sibuk berkeliling rumah, Orin berdiri di balkon bersandarkan pagar, mengagumi dalam hati kemegahan rumah Raditya. Kolam renang yang ada di bawah sungguh. menggodanya.
“Kalau kamu yang menghuni rumah ini pasti bebas berenang setiap saat, Rin,” sapa Raditya yang tiba-tiba ada di sampingnya. Sudut mata Orin sibuk mencari Pak Hanung dan Puspa dan lega melihat mereka masih berdua sibuk dengan pengambilan foto jaminan.
“Huh, pamer,” cibir Orin.
“Pamer apaan? Kan memang diperlukan untuk pengajuan pinjaman bank. Apa masih kurang? Kalau kurang boleh deh diriku dijaminkan, tapi khusus buatmu, Rin.”
What????
Bab 10
Tamu
“Huh, pamer,” cibir Orin.
“Pamer apaan? Kan memang diperlukan untuk pengajuan pinjaman bank. Apa masih kurang? Kalau kurang boleh deh diriku dijaminkan, tapi khusus buatmu, Rin.”
“What????” Mulut Orin membulat, matanya membelalak.
“Perlu, kan, Rin? Supaya kamu enggak ragu sama keseriusanku.”
“Enggak gitu juga kali, Mas, konsepnya.” Orin merasa Raditya kembali pada diri yang sebenarnya dia kenal, seseorang yang sungguh menyebalkan.
“Terus gimana konsep yang kamu inginkan?” tanya Raditya, dagunya terangkat, matanya memicing menatap Orin, kedua tangan dilipat di depan dada. Orin akan membuka mulut untuk mendebat ketika sudut matanya melihat Pak Hanung dan Puspa yang mendekat.
“Kami sudah selesai mengambil foto rumah, Dok. Tampaknya sepi sekali, belum ada yang menempati?” Pak Hanung mengambil posisi berdiri di hadapan Raditya.”
“Sementara baru ditempati Bi Rom dan Mang Yana, Pal Hanung. Mereka pasangan suami istri, Bi Rom ART dan Mang Yana supir pribadi. Tapi sementara Mang Yana jadi tukang kebun dulu karena belum ada yang disupiri. Mereka sudah lama bekerja pada eyang, semenjak eyang meninggal saya minta menjaga rumah ini.”
“Supir nyonya rumah, Dok?” goda Pak Hanung.
“Maksudnya, sih, seperti itu, Pak Hanung. Tapi nyonyanya belum ada, sedang diperjuangkan,” kekeh Raditya.
“Wah, selamat berjuang, Dok. Sangat beruntung nanti yang menjadi Nyonya Raditya Arya Fathian, semuanya sudah dipersiapkan, rumah beserta isinya.”
“Doakan saya, Pak.”
“Saya doakan semoga usaha mencari jodohnya lancar, Dok. Jangan lupa undangan untuk saya nantinya.”
“Siap, Pak Hanung,” gelak tawa mewarnai candaan antara Raditya dan Pak Hanung.
Orin memalingkan wajah dengan sebal, berusaha menutupi pandangan matanya dari Pak Hanung dan Puspa agar mereka tidak melihat perubahan raut wajahnya.
“Dokter Radit dan Orin sebelumnya saling mengenal? Saya perhatikan dari tadi kok sepertinya ini bukan pertemuan pertama,” goda Pak Hanung, wajah Orin mendadak berubah memerah menahan malu. Sedari awal pertemuan di rumah sakit Orin menahan diri untuk sedikit berinteraksi dengan Raditya. Kalaupun diperlukan biasanya dia akan bertanya kepada Pak Erlan, tetapi rupanya Pak Hanung tetap menyadari perubahan sikapnya.
“Ohh, iya, Pak Hanung. Kami dulu pernah berteman saat masih SMU, bukan teman satu sekolah tapi saling mengenal. Cuma Bu Orin saat itu pindah ke kota lain.”
“Wah, senang dong bertemu teman lama. Sekarang Orin kembali ke kota ini, nanti kalau sudah sudah berhubungan dengan promosi dan kebutuhan pekerjaan bisa saja berpetualang ke kota lain, ya, Rin.” Pak Hanung menoleh pada Orin yang hanya tersenyum simpul mendengarnya.
“Tuntutan pekerjaan, ya, Pak?” tanya Raditya.
“Iya, Dok. Saya ini sudah beberapa kali pindah kota, untungnya keluarga selalu menemani kemanapun saya bertugas. Kalau Dokter Raditya ‘kan memiliki kebebasan waktu, pekerjaannya usaha sendiri.”
“Yah begitulah, Pak Hanung. Tetapi yang dipikirkan banyak, ya rumah sakit, ya karyawan.”
“Benar, Dok. Tapi saya percaya Dokter Raditya pasti bisa , muda dan berbakat.”
“Pak Hanung bisa saja, saya masih harus banyak belajar, Pak.” Obrolan mereka terhenti ketika Bi Rom datang membawakan minuman dan cemilan.
Karena dirasakan hari sudah sore dan data yang diperlukan sudah siap maka Pak Hanung mengajak Orin dan Puspa berpamitan. Raditya mengantarkan mereka hingga halaman rumahnya.
“Terima kasih sekali, Dok, atas hari ini. Kami langsung ditemani oleh Dokter Raditya,” ucap Pak Hanung ketika mereka sudah sampai di depan mobil, supir telah menunggu di dalamnya.
“Saya yang sangat berterima kasih karena Pak Hanung, Bu Puspa, dan Bu Orin sudah meluangkan waktunya untuk melayani permohonan dari rumah sakit. Ini kembali ke kantor dulu atau langsung pulang, Pak?”
“Ke kantor dulu, Dokter. Kami pamit, secepatnya kami kabari kelanjutan pembiayaan ini. Nantinya jika ada yang diperlukan lagi Bu Puspa yang akan menghubungi Bu Nandya ataupun Pak Bian.”
“Silahkan, Pak. Langsung ke saya atau Pak Erlan juga tidak apa-apa.” Raditya menjabat tangan Pak Hanung yang berpamitan, ketika Puspa berpamitan mereka sama-sama menangkupkan tangan di depan dada. Orin yang terakhir berpamitanpun menangkupkan tangan di depan dada dan berbasa-basi ala kadarnya.
Mobil perlahan meluncur meninggalkan rumah mewah Raditya kembali ke kantor. Perjalanan masih cukup lama, ditambah bertepatan jam pulang kantor sehingga jalan agak macet.
“High quality jomblo, tuh, Dokter Raditya, Rin. Enggak tertarik menjadi nyonyanya?” goda Pak Hanung di perjalanan.
“Apaan, sih, Pak. Kami cuma teman lama yang kebetulan bertemu kembali, Dokter Raditya itu sepupu teman sekolah saya, Pak. Saya juga baru tahu kalau direktur Rumah Sakit Kasih Bunda ternyata Dokter Raditya.”
“Siapa tahu jodoh, Rin. Bank kita berjodoh dengan Rumah Sakit Kasih Bunda, kamu berjodoh dengan Dokter Raditya.” Ucapan Pak Hanung seketika dipenuhi celotehan Puspa dan Pak Asim—supir yang mengantar mereka.
“Kalah saing dong, Mas Gilang, Mbak?” cetus Puspa. Teman-teman sekantor sudah mengetahui hubungan Orin yang cukup lama dengan Gilang.
“Ya ‘kan, beda, Puspa. Gilang itu pacar, Dokter Raditya itu calon suami,” jawab Pak Hanung yang langsung tertawa terbahak-bahak.
“Loh, Pak Hanung bisaaa aja, ya.” Orin menggeleng-gelengkan kepala dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pak Hanung, Puspa dan Pak Asim kompak tertawa bersama-sama.
.....
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 19.00, Orin berkemas-kemas pulang. Seharian di luar kantor membuat badannya terasa pegal. Besok adalah hari libur dan dia sudah membuat janji dengan tukang pijat langganan, waktunya memanjakan diri.
Orin mengemudikan mobil dengan santai, jalan tidak terlalu ramai. Salah satu keuntungan pulang tidak di jam pulang kantor adalah tidak merasakan kemacetan, tetapi selalu saat di rumah akan disambut dengan protes dari Bu Fida yang keberatan dengan jam kerja anaknya. Sampai di rumah ada mobil yang tampak asing telah terparkir. Orin tidak ada janji hari ini, mungkin tamu Bu Fida ataupun Pak Satya.
Pintu rumah telah terbuka lebar, tampak gelak tawa terdengar dari dalam ruang tamu. Suasananya cukup hangat, pasti yang bertamu adalah orang yang sudah sangat akrab. Orin masuk ke rumah, matanya terbelalak, tangan kiri menutup mulutnya seakan tidak percaya melihat seseorang yang saat ini bercengkrama dengan kedua orang tuanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
