
Renata, gadis cantik yang sedang mecari cinta sejatinya. Banyak pria mendekat tetapi hatinya tertambat pada satu lelaki yang mengacuhkannya. Ajakan mendadak menikah diterima Renata tiba-tiba. Keputusannya hanya ada pada Renata
Renata, gadis cantik yang sedang mecari cinta sejatinya. Banyak pria mendekat tetapi hatinya tertambat pada satu lelaki yang mengacuhkannya. Ajakan mendadak menikah diterima Renata tiba-tiba. Keputusannya hanya ada pada Renata
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Asmara Renata
0
0
Asmara Renata (Bab 11 sampai 20) Bab 11. Permintaan Maaf Saat jam makan siang Renata dan Lintang berboncengan ke Kafe Specta. Dalam hati Renata masih deg-degan mengingat biasanya Arka bersikap dingin dan pertemuan terakhir mereka yang sangat tidak mengenakkan. Sesampai di Kafe Specta Lintang mengedarkan pandangan mencari Arka dan Riko, Renata meraih ponselnya yang bergetar. Tampak Riko memanggil. “Iya, Mas. Aku baru sampai ini, sama Lintang. Mas di mana?”“Aku lihat kamu, Ren. Langsung sini aja, ya. Arah jam tiga dari tempatmu berdiri.” Renata mengarahkan pandangan ke kanannya, tampak Riko melambaikan tangan dan tersenyum.“Tang, tuh Mas Riko di sana.” Renata meraih tangan Lintang di sebelahnya.“Wah, dari tadi aku cari-cari enggak ketemu ternyata di sana, rame banget, Ren.”“Iya, lah. Jam makan siang, gini. Emang kita, Tang, bawa bekal terus.” Renata berbisik lirih, Lintang cekikikan mendengarnya.“Sudah lama Mas, nunggunya?” sapa Renata ketika sampai di meja tempat Riko dan Arka.“Enggak, kok. Baru aja. Untung dapat tempat, kalau makan siang disini sering penuh. Duduk Tang, Ren.” “Pesan apa, ini menunya. Kita tadi sudah pesan.” Arka memberikan daftar menu, untuk pertama kalinya Renata merasakan meramahan Arka.“Tang, kamu pilih menunya, nih. Aku soto daging sama lemon tea.” Renata mengarahkan buku menu kepada Lintang. Setelah makanan yang diinginkan diperoleh Lintang melambaikan tangan kepada pelayan kafe dan memberikan pesanannya.“Ren, saya minta maaf atas kejadian kemarin. Bu Andini baru kasih kabar tadi kalau kemarin mau minta toleransi waktu tapi kelupaan.” Arka menatap Renata yang duduk di hadapannya, Renata melirik sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke ponsel.“Iya, Mas. Kemarin Bu Andini memang hectic, seharian enggak ngantor, jadi mungkin lupa kasih kabar. Enggak apa-apa, kok. Tapi data yang sudah saya berikan masih bermanfaat, kan? Maaf ya kalau memperlambat kerjaan, Mas.”“Enggak, Ren. Kemarin masih bisa ngejar deadline, kok. Terima kasih ya sudah membantu kami.” Renata mengangguk mendengar penjelasan Arka.“Kok, dari tadi enggak lihatin Arka, Ren. Dia baik, kok. Enggak bakal ganggu kamu.” Riko menggoda Renata yang selalu mengalihkan pandangannya dari Arka. Renata sering berinteraksi dengan lelaki, tetapi entah kenapa ketika bersama Arka dia tidak memiliki kekuatan menatap sorot tajam Arka.“Kalau ganggu jangan, lah, Mas. Kalau ngajak nikah Renata boleh, lah. Masih jomblo ini yang di sebelah saya.” Lintang melirik Renata dengan tatapan menggoda.“Lintang apaan, sih.” Renata melotot menatap Lintang.“Wah, sama dong dengan Mas Riko, Ren. Masih jomblo juga.” Riko tersenyum penuh arti, Renata hanya menundukkan pandangannya.“Tapi benar kan, Rena sudah memaafkan saya? Saya enggak tenang, nih.” Arka menatap lembut Renata, nada suaranya pun melunak.“Iya, Mas. Rena sudah maafin, kok. Jangan dipikirkan lagi, semuanya sudah selesai.” Renata mengangkat wajahnya menatap Arka, terkesiap melihat senyuman manis di hadapannya. Wajah Renata bersemu membalas senyuman Arka. Bab 12. Piknik Bersama Pekan ini kantor mengadakan family gathering di Yogyakarta, menginap di salah satu hotel di utara kota. Agenda hari pertama menjelajahi lereng Merapi dan hari kedua wisata di Gua Pindul. Untuk yang belum berkeluarga dua orang karyawan ditempatkan pada satu kamar, sedangkan yang sudah berkeluarga mendapatkan satu kamar. Renata mendapat jatah kamar berdua dengan Lintang. Dari Semarang rombongan berangkat menggunakan bus pariwisata, sedangkan yang sudah berkeluarga ada yang memilih membawa kendaraan sendiri.“Gathering tahun depan bisa-bisa kita enggak barengan dalam satu bus kayak gini, Ren,” celoteh Lintang sambil tidak berhenti mengunyah snack. Dari awal perjalanan Lintang tidak berhenti makan dengan alasan salah satu cara mencegah mabuk selama naik bus adalah dengan makan, dan Lintang telah membekali diri dengan satu plastik besar cemilan. “Kenapa bisa gitu? Tang, katanya mau langsing, kenapa dari tadi ngunyah melulu, kemarin siapa yang ngeluh berat badan naik tiga kilo?”“Bisa aja, kamunya sudah nikah terus gatheringnya sama suami.” Lintang mengangsurkan seplastik keripik kentang. Renata menggeleng, sudah terlalu banyak makan cemilan dan sekarang dia mengantuk.“Ngaco, ah. Nikah sama siapa?”“Sama Mas Riko, tuh dari tadi cari perhatian kamu terus. Kesal kali dia sama aku enggak mau geser kasih dia kesempatan duduk sama kamu.”“Hush, gosip aja. Biarin aja enggak usah diladeni.” Mereka cekikikan berdua sambil melirik Riko yang berada dua baris di hadapan. Sedari keberangkatan Riko sudah sibuk menawari berbagai bantuan kepada Renata, ketika dalam perjalananpun terkadang Riko berdiri di dekat Renata bersama teman-temannya yang memandu games. “Daripada sama Mas Riko mending sama Mas Arka lah, Ren. Lebih menantang, sudah gitu lelaki idaman, soleh, ganteng, karir oke, bukan playboy.”“Tambah ngawur, mana mungkin aku masuk kriteria Mas Arka. Orang biasanya mabuk kalau kebanyakan minum alkohol, lah kamu kebanyakan kuaci sama keripik jadi enggak jelas gini.” Renata meletakkan headseat ponsel di telinganya dan mulai memejamkan mata, dia sudah tidak ingin mendengarkan ocehan Lintang. Bab 13. Gala Dinner Setelah menjelajahi lereng Merapi menjelang sore rombongan tiba di hotel. Masing-masing menuju kamar yang telah disediakan panitia. Renata dan Lintang mendapat kamar di lantai sembilan dengan view menghadap kolam renang. Dua tempat tidur single bed sungguh menggoda mengingat aktifitas mereka seharian yang cukup menguras tenaga.“Ren, sepertinya nanti malam gala dinner kita di situ deh, itu lagi pada persiapan.” Lintang berada di sisi jendela, mengamati para petugas hotel yang sibuk mempersiapkan makan malam outdoor di sisi kolam renang. Ada panggung kecil dan beberapa gubug makanan. Renata membaringkan tubuh di tempat tidur sembari memencet remote televisi mencari tayangan yang diinginkan.“Jam tujuh kan acaranya, Tang? Badanku masih pegal, pingin berendam pakai air hangat. Aku atau kamu dulu nih yang mandi,” tanya Renata.“Kamu dulu aja deh, Ren. Aku juga pingin berendam, nanti habis mandi ‘kan waktunya pas untuk persiapan dinner.” Lintang masih asik mengamati aktifitas para pekerja hotel.Renata beranjak dari tempat tidur dan mempersiapkan diri ke kamar mandi. Tubuhnya yang pegal menjadi rileks saat merendamkan tubuhnya di air hangat bathup. Saat berwisata di lereng merapi Renata bersama Lintang, Riko dan Daffa menaiki satu mobil jip yang sama, nampaknya Riko telah melobi panitia agar bisa bersamaan dengan Renata. Namun selama perjalanan Lintang tampaknya juga tidak ingin memberikan kesempatan Riko berdua dengan Renata, karena dia tahu dengan pasti bahwa Renata tidak menyukai Riko dan Lintang tampaknya tidak setuju jika Riko mendapatkan sahabatnya.***Renata dan Lintang sudah bersiap-siap di depan cermin. Dresscode malam ini adalah warna biru. Renata mengenakan gamis perpaduan brokat dan batik, dipadukan dengan high heel dan clutch yang senada.“Nanti kita mejanya barengan, kan Tang?” tanya Renata.“Iya, ini Adiba dan Mbak Lita sudah nunggu kita di meja.” Lintang mengacungkan ponselnya setelah berbalas pesan dengan Adiba.“Alhamdulillah sudah dapat tempat duduk, aku takut kalau barengan sama Mas Riko.”“Mode panik gitu, Ren. Tenang, nanti dirimu bakal diselamatkan Mas Arka.”“Apaan, sih. Kamu yang ngefans kok aku yang jadi korban.”“Beneran korban? Bukannya saling suka? Aku sudah tahu kok Ren kamu sama Mas Arka saling suka, tinggal tunggu tanggal mainnya.” Lintang mengedipkan matanya membuat Renata menggeleng-gelengkan kepala dengan kelakuan sahabatnya. Bab 14. Tidak Biasa “Beneran korban? Bukannya saling suka? Aku sudah tahu kok Ren kamu sama Mas Arka saling suka, tinggal tunggu tanggal mainnya.” Lintang mengedipkan matanya membuat Renata menggeleng-gelengkan kepala dengan kelakuan sahabatnya. Sesampainya di tempat gala dinner Adiba dan dan Lita telah menunggu mereka. Acara belum dimulai, masih ada beberapa meja yang kosong. Di panggung pemain band sedang menghibur para undangan. “Dari tadi Mbak Lita?” sapa Renata pada Lita yang sedang asik berswafoto dengan Adiba.“Baru aja, Ren, Tang. Kalian tepar enggak tadi habis dari Merapi. Aku tadi langsung minta dikerok Adiba.”“Beneran, Mbak? Untung ya bajunya tertutup jadi enggak keliatan jejak kerokannya.” Mereka tergelak bersama.“Tapi memang tadi capek banget sih, Mbak. Cuacanya juga dingin.” Renata meletakkan tubuhnya di samping Lita.“Dingin-dingin buat lapar, entah berapa potong jadah tempe yang tadi aku makan.” Lintang memasang ekspresi kekenyangan.“Lit, Lit...urusanmu makan melulu. Tapi badan ya segini-gini aja.” Lita mengelus-elus punggung Lita, diantara mereka berempat hanya Lita yang bertubuh agak subur.“Iya tuh, Mbak. Dari berangkat tadi ngunyah melulu, ini dinner kita lihat apa aja yang ada di piringnya Lintang.” Renata menyikut lengan Lintang yang cuek mengunyah permen karet.Setelah rombongan manajemen datang acara dimulai. MC memandu acara, sambutan dari pihak manajemen, dan acara ramah tamah. Acara bebaspun dimulai, beberapa ada yang menikmati sajian, ada pula yang menikmati games. Renata ikut games dengan beberapa temannya. Satu kelompok terdiri dari tiga putra dan tiga putri berdasarkan undian. Entah kenapa malam ini Renata satu kelompok dengan Arka. Games malam itu adalah “permainan improvisasi”. Panitia telah menyediakan berbagai barang sederhana, kelompok yang sudah dibagi diminta berbaris serapi mungkin. Barang yang sudah disiapkan diberikan kepada peserta terdepan dan diminta untuk melakukan improvisasi dengan barang tersebut. Peserta yang gagal akan mendapatkan hukuman tersendiri. Gelak tawa riuh sepanjang acara, dari kejauhan sesekali Riko yang berbeda kelompok tersenyum pada Renata.Masih dengan nafas yang terengah-engah selepas bermain games, Renata duduk menyelonjorkan kaki, menonton teman-teman kantor yang masih heboh melakukan games lainnya. Canda tawa memeriahkan malam itu. “Enggak ikutan lagi, Ren?” suara bariton mengagetkan Renata. Tampak Arka duduk di sebelahnya dengan senyum canggung, tidak terlalu dekat dengannya. “Boleh duduk di sini, Ren?”“Boleh, lah, Mas. Enggak ikut lagi, ah. Capek, lihat mereka main aja sudah seru. Mas Arka enggak ikutan?” tanya Renata dengan raut wajah heran. Tidak menyangka Arka yang biasanya dingin malam ini mengajaknya ngobrol.“Di sini aja lihat mereka main. Ren, saya benar-benar minta maaf atas kejadian di kantor waktu itu, ya. seharusnya pada saat itu saya bisa berfikir jernih.” “Rena sudah memaafkan dan melupakannya, kok, Mas. Sudah enggak usah difikirkan lagi.” Renata menoleh pada Arka yang duduk di sebelahnya dan menatap teman-teman mereka yang masih sibuk mengikuti acara. Arka ikut menoleh, pandangan mereka bertemu dan Renata menunduk dengan wajah memerah, ada pesona dari tatapan mata Arka yang sulit untuk dijelaskan. Bab 15. Pertanyaan Yang Membingungkan Seminggu berlalu dari gathering kantor, Renata baru saja kembali dari ruangan admin, ada beberapa pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke sana. Ruangan yang berbeda lantai memerlukan Renata menggunakan lift. Dan di sinilah dia sekarang, sendirian berada di lift tanpa teman. Tiba-tiba pintu terbuka dan tampaklah Arka yang masuk ke lift. Hening terasa, posisi Arka berdiri di ujung, menjauhi Renata yang merasakan kikuk hanya berdua. Pintu lift terbuka dan Arka menahannya, dengan dagunya dan tanpa bertatapan mempersilahkan Renata duluan. Renata melangkah mendahului Arka dengan perasaan bingung. Mengabaikan pikiran di hatinya Renata bergegas menuju ruangan tempatnya bekerja.“Hai, non. Lama amat ke admin, macet?” celoteh Lintang melihat kedatangan Renata.“Ish, apaan, sih. Banyak urusannya lah jadi lama.” Renata menghempaskan tubuh di kursi, mengecek beberapa berkas di meja yang harus dikerjakan. Banyak deadline yang harus dikerjakan membuat ruangan agak sepi dengan obrolan Renata dan teman-teman. Sedang asik berkutat dengan pekerjaan tiba-tiba ada pesan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya.[Sibuk Ren?] tanya nomor asing itu.[Siapa ya?] Renata tidak suka melayani nomor-nomor asing yang tidak ada kepentingannya. [Arka, maaf mengganggu] Renata terbelalak mengetahui siapa pengirim pesan itu. Baru saja mereka bertemu di lift tanpa obrolan dan suasana yang kaku, sekarang Arka menghubungi dan Renata tidak tahu siapa yang memberi nomornya pada Arka.[Enggak apa-apa, Mas. Ada yang bisa Rena bantu?] tanya Rena berbasa basi.[Ada yang mau aku tanyakan][Ohhh, silahkan, Mas] Renata menduga ada masalah pekerjaan yang ingin ditanyakan Arka langsung padanya tanpa melibatkan Bu Andini.[Rena sudah ada yang melamar?] Pertanyaan tanpa basa basi sungguh-sungguh mengagetkan Renata. Dengan bingung Renata berkali-kali membaca pesan dari Arka. Jawaban tak kunjung ia berikan.[Gimana, Ren? Sudah ada rencana menikah, ya?] Terkirim lagi pesan dari Arka yang menuntut jawaban dari Renata.[Belum, Mas] Akhirnya Renata menjawab pertanyaan Arka, setelahnya tidak ada pesan lagi dari Arka, dan semuanya sungguh-sungguh membingungkan. Bab 16. Dia Ingin Datang Dua hari berlalu dari pertanyaan tiba-tiba Arka, Renata berusaha untuk melupakan walau terasa aneh baginya. Siang ini Renata makan siang bersama Lintang, Adiba dan Lita. Bu Ajeng selalu membekalinya dan siang ini Renata menambah makan siangnya dengan jus alpukat. Kantin sangat ramai, hampir semua meja penuh.“Mbak Lita nanti setelah nikah rencananya tetap kerja atau resign?” tanya Lintang sambil menggigit ayam goreng.“Rencana sih tetap kerja, Tang. Calon suami mendukung, lagipula dia kan PNS non departemen, kalaupun mutasi juga masih dalam kota. Aku juga tipenya lebih suka jadi karyawan gini, kurang menikmati kalau harus usaha sendiri.” Lita mulai membuka kotak bekal setelah sebelumnya menikmati buah potong.“Iya, yang penting kita nyaman, Mbak,” jawab Lintang.“Kalian sendiri gimana? Ada rencana menikah dalam waktu dekat? Tapi kalian juga baru berapa bulan bekerja, dinikmati dulu lah punya penghasilan sendiri.”“Aku sih sudah punya calon, Mbak. Tapi sekarang aku masih fokus kerja, calonku juga masih sibuk pendidikan spesialis. Kurang tau nih nona cantik di sebelahku, banyak yang ngincar tapi belum ada yang dipilih, curiga enggak pacaran tahu-tahu nikah,” goda Lintang pada Renata yang menjadi tersedak karenanya, ingatannya kembali pada pertanyaan Arka yang membingungkan.“Waduh sampai tersedak, gini. Minum dulu, Ren. Jangan digodain terus dong Tang.” Adiba mengangsurkan gelas air putih pada Renata yang duduk di hadapannya.“Enggak tahu ini Lintang emang kok ya...orang lagi enak-enak makan malah digodain.” Renata mendelik kesal pada Lintang yang tertawa terbaha-bahak melihatnya. Pandangan Renata mengarah pada sosok yang baru ia pikirkan, sedang duduk di pojok ruangan dengan teman-teman pria, sedang asik menikmati makanan yang ada di hadapan. Tatapan Renata bertemu dengan Riko yang duduk di sebelah Arka, senyum manis teruntai di bibirnya. Renata mengalihkan pandangan dari Riko, makanannya sudah habis dan teman-temannya masih berbincang-bincang sembari menghabiskan makanan. Sementara menunggu Renata meraih ponsel yang dari tadi diletakkan di meja. Beberapa pesan masuk dan ada yang dikirim oleh Arka.[Assalamualaikum, Ren. Maaf kalau mengganggu dan pertanyaan saya membuatmu kurang berkenan. Boleh saya sekeluarga datang ke rumah Rena?] Bab 17. Adakah Kesempatan Untukku [Assalamualaikum, Ren. Maaf kalau mengganggu dan pertanyaan saya membuatmu kurang berkenan. Boleh saya sekeluarga datang ke rumah Rena?] Renata terpaku pada layar ponsel di tangan, matanya beralih pada Arka yang sedang asik dengan teman-temannya. Dan ketika mata mereka bersirobok Arka tersenyum tipis, Renata mengalihkan pandang pada ponsel, Arka melihatnya.“Sudah selesai semua kan makannya, ke ruangan, yuk, ngadem.” Lita berdiri diikuti Adiba dan Lintang, Renata masih bergeming.“Ren, bengong aja. Ikut pulang atau masih di sini? Nunggu Mas Riko? Enggak bosan apa digombalin terus?” celoteh Lintang disambut kekehan Adiba dan Lita.“Lintang, ih. Enggak enak kalau kedengaran orangnya, tuh ada Mas Riko lagi makan.”Renata mengarahkan dagu pada tempat dimana Riko dan Arka berada.“Yuk ah keburu Mas Riko datang.” Lintang menarik tangan Renata, terburu-buru Renata mengikuti langkah Lintang.......Rumah tampak sepi ketika Renata pulang. Bu Ajeng dan Pak Radika belum pulang karena selepas kerja Pak Radika langsung menjemput Bu Ajeng untuk menengok keluarga mereka yang baru saja pindah rumah. Bu Ajeng telah memberi pesan pada Renata jika mereka pulang agak malam. Suasana rumah yang sepi menjadikan Renata hanya ingin berdiam di kamar. Televisi dinyalakan dengan acara yang dipilih secara acak, hanya supaya kamar tidak sunyi namun Renata tidak berniat untuk menonton. Ponselnya bergetar, tampak ada pesan dari Arka.[Assalamualaikum, Ren. Maaf kalau tadi permintaanku mengganggu pikiranmu. Are you okay?][Waalaikum salam. Iya, Mas. Terus terang Renata kaget, serba mendadak, enggak ada kata pengantar dulu ini]. Emoji smiley terkirim di pesan Renata.[Wah, jadi enggak enak ini. Tapi kamu enggak apa-apa, kan? Maksud, Mas, kamu sehat-sehat aja?][Rena sehat, Mas. Cuma ingin sendiri dulu.][Alhamdulillah. Sekali lagi Mas minta maaf kalau permintaan Mas mengganggumu. Mas hanya tidak ingin bermain-main di saat secara lahir batin sudah siap untuk pernikahan.][Iya, Mas. Rena perlu bicara dulu dengan Mama Papa.][Kalau Rena sendiri bagaimana? Kira-kira ada kesempatan buat Mas enggak di hati Rena?]Pertanyaan yang begitu to the point, membuat Renata bingung menjawab. Ada rasa malu di hati yang membuatnya sulit memberikan jawaban.[Mmmm, nanti saja ya, Mas, jawabannya.] [Ohh, ya sudah. Mas tunggu kabar dari Rena, semoga kabar baik.][Siap, Mas, selamat malam. Assalamualaikum.] Renata menutup percakapan mereka.[Waalaikum salam. Selamat beristirahat juga, jangan lupa baca doa kalau mau tidur.] Renata meletakkan ponsel di nakas. Hatinya berbunga-bunga dengan pernyataan Arka, lelaki yang serius dalam ucapan dan tindakan, tidak mengumbar janji dan akan menunjukkan keseriusan kepada wanita yang sudah dipilih. Sepertinya Bu Ajeng dan Pak Radika akan menyukai Arka. Renata hanya perlu memikirkan bagaimana cara menyampaikan rencana yang begitu mendadak ini. Bab 18. Papa Ingin Bertemu Renata meletakkan ponsel di nakas. Hatinya berbunga-bunga dengan pernyataan Arka, lelaki yang serius dalam ucapan dan tindakan, tidak mengumbar janji dan akan menunjukkan keseriusan kepada wanita yang sudah dipilih. Sepertinya Bu Ajeng dan Pak Radika akan menyukai Arka. Renata hanya perlu memikirkan bagaimana cara menyampaikan rencana yang begitu mendadak ini........Sarapan bersama pagi ini dilalui Renata dengan berdebar-debar karena ingin menceritakan permintaan Arka pada kedua orang tuanya. Pak Radika duduk tepat di hadapan Renata, Bu Ajeng hilir mudik mempersiapkan sarapan untuk suaminya.“Pa, Ma...sebenarnya ada yang mau Rena ceritakan.” Renata memandang serius Pak Radika dan Bu Ajeng.“Kenapa, Ren? Sepertinya serius banget ini,” tanya Pak Radika, Renata mengatur duduknya lebih santai, menarik nafas panjang sebelum memulai pembicaraan tentang Arka.“Papa Mama tahu kan selama ini Rena belum punya pacar. Karena...ya memang enggak sreg aja, enggak pingin pacaran. Di kantor sih banyak laki-laki yang mendekati Rena, cuma Rena enggak gitu meladeni, Pa.”“Iya, terakhir juga pacar Rena waktu kuliah itu kan? Yang malam Minggu ngapel ke rumah. Sudah berapa tahun itu.”“Di kantor ada senior Rena Pa, beda bagian, namanya Mas Arka. Selama ini Rena jarang komunikasi, orangnya dingin banget kalau sama perempuan. Malah seringnya ngobrol sama Mas Riko, anak buahnya Mas Arka. Kemarin enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba Mas Arka minta kirim WA ke Rena, tanya Rena sudah ada yang melamar belum, terus tanya boleh enggak Mas Arka sekeluarga datang ke rumah.”“Loh...loh, Ren. Sebentar, kamu dilamar? Kamu sudah diapain sama Arka? Kamu sudah enggak perawan? Rena hamil?” tanya Bu Ajeng panik.“Mamaaaa...Rena enggak ngapa-ngapain, masih perawan, lah. Ngobrol sama Mas Arka aja jarang, baru-baru aja Mas Arka menghubungi Rena. Habis itu ngajak nikah, Rena juga bingung.”“Terus kenapa tiba-tiba Arka ngajak nikah, Ren?” tanya Bu Ajeng dengan panik. “Ya, lebih baik diajak nikah daripada diajak pacaran, Ma. Rena sudah dewasa, Arka pun juga sudah bekerja. Kalau mereka siap untuk berumah tangga ya kita dukung saja. Papa melihat keseriusan Arka.”“Tapi kita kan belum kenal Arka dengan baik, Yah. Bagaimana sifatnya, keadaan ekonominya. Bukannya Mama materialistis, tapi kan Mama inginkan menantu yang bertanggung jawab.”“Menurut Rena sendiri bagaimana?” Pak Radika menoleh pada Renata.“Alim Pa, kalau sama laki-laki biasa aja...akrab, kalau sama perempuan membatasi diri, bicara seperlunya. Karirnya lumayan bagus, sudah jadi supervisor, Mas Riko yang seangkatan masuk kerjanya sekarang jadi stafnya. Keluarganya ada di Semarang sini.”“Katakan pada Arka, sebelum pertemuan dua keluarga besar Papa ingin bertemu dengannya,” perintah Pak Radika. Bab 19. Mulai Mencair “Katakan pada Arka, sebelum pertemuan dua keluarga besar Papa ingin bertemu dengannya,” perintah Pak Radika.“Papa bisanya kapan?”“Secepatnya saja. Malam ini setelah Isya bisa.”“Nanti Rena sampaikan, Pa.”“Ya, sudah, jam berapa ini nanti pada terlambat kerja.” Bu Ajeng menengahi pembicaraan suami dan anaknya.“Iya, Ma...Pa, Rena sudah selesai kok sarapannya.”“Iya, Ren, hati-hati ya, Nduk.” Bu Ajeng mencium kening Renata yang mendekat kepada Papa Mamanya.***“Assalamualaikum, Mas Arka.” Memberanikan diri Renata menghubungi Arka terlebih dahulu, permintaan Pak Radika harus ia sampaikan. Renata sudah sampai di kantor dan ruangannya masih sepi, baru ada Lintang yang saat ini pamit ke toilet.“Waalaikum salam, sudah sampai kantor, Ren?” balas Arka“Sudah, Mas. Mas Arka masih di rumah? Tadi Rena sudah bicara sama Papa Mama.” Renata melirik jam di dinding, masih ada waktu lima belas menit sebelum jam masuk kantor.“Oh ya? Terus bagaimana jawaban beliau berdua? Mas baru aja sampai di ruangan.” Arka meletakkan tas kerja di meja, sejak dulu Arka terbiasa masuk pagi-pagi, bahkan di saat anak buahnya belum ada yang datang.“Mmmm...kata Papa sebelum pertemuan dua keluarga besar Papa ingin bertemu Mas Arka dulu. Bisa, Mas?”“Boleh...Papamu bisanya kapan, Ren?”“Kata Papa secepatnya, Mas. Malam saja, selepas Isya.”“Besok bagaimana? Kebetulan Mas malam ini ada keperluan.”“Nanti Rena tanyakan dulu, ya, Mas. Sepertinya sih bisa.”“Kabari Mas lagi, Ren. Sudah dulu ya, Ren. Selamat bekerja.”“Iya, Mas, harus fokus ini, supaya deadline enggak terlambat. Kalau terlambat nanti dimarahi lagi seperti dulu,” goda Renata pada Arka, mengingatkan peristiwa ketika Arka memarahi Renata di depan anak buahnya.“Eh, sudah berani godain gitu, ya. Awas aja nanti ada balasannya,” balas Arka disambut kekehan Renata. Panggilan berakhir, Renata mengusap dadanya dengan senyum lebar. Perlahan-lahan kekakuan di antara mereka mencair. Lintang yang baru masuk ruangan memicingkan mata melihat Renata tersenyum dengan tangan masih menggenggam ponsel.“Habis telepon siapa, Ren? Ceria amat,” tanya Lintang penuh curiga.“Mau tahu...atau mau tahu banget?” “Ih, gitu, ya, sudah berani main rahasia sama aku.” Lintang duduk dengan bibir cemberut, Renata terbahak-bahak melihatnya.***Hari ini Renata pulang agak malam, ada pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga dia harus lembur. Sampai di rumah Pak Radika dan Bu Ajeng sedang menikmati makan malam.“Sampai jam segini, Ren. Tadi Mama sudah ngomong sama Papa kalau Rena lembur, jadi Mama ngajak makan Papa duluan. Rena mau makan sekarang atau mandi dulu?” sapa Bu Ajeng sembari menyerahkan secangkir teh hangat. “Rena belum begitu lapar, Ma. Tadi banyak cemilan di kantor. Rena mandi dulu aja habis itu makan malam, ya.” Rena menerima teh dan meneguknya hingga tandas, teh buatan Bu Ajeng memang beda, selalu jadi idola Pak Radika dan Renata.“Gimana dengan Arka, Ren?” tanya Pak Radika. “Pa, kalau malam ini Mas Arka enggak bisa? Besok bagaimana? Mas Arka ingin ke rumah,” tanya Renata menatap Pak Radika.“Oh, besok malam? Boleh, Papa tunggu.” Bab 20. Tamu Yang Diundang Azan Isya berkumandang, Renata menjalankan salat Isya berjamaah berdua dengan Bu Ajeng, Pak Radika sudah sedari tadi pergi ke masjid. Menjelang kedatangan Arka hati Renata semakin berdebar-debar.“Assalamualaikum,” sapa Pak Radika dari ruang tamu.“Waalaikum salam,” jawab Renata dan Bu Ajeng bersamaan. Mereka sedang menyiapkan makan malam. Renata memicingkan mata, tampaknya Pak Radika sedang berbincang dengan seseorang di ruang tamu.“Papa sama siapa ya, Ren?” tanya Bu Ajeng.“Kurang tahu, Ma. Ada tamu mungkin, ya.”“Mama lihat dulu, ya, Ren. Nanti Mama buatkan minum untuk tamunya, Rena beresin piring-piringnya, ya.” Bu Ajeng bergegas menuju ruang tamu. Tidak berapa lama keriuhan semakin terdengar dari ruang tamu. Renata yang merasa bosan menunggu duduk di kursi makan dan bermain ponsel.“Ren, sudah siap makannya? Piring sama gelasnya nambah, Arka makan sama kita,” celoteh Bu Ajeng yang tiba-tiba sudah kembali ke ruang makan, di belakangnya ada Pak Radika dan Arka. Renata terkesiap, ponsel di tangannya nyaris terjatuh, Arka tersenyum tipis memandangnya.“Ada yang gugup, Ma. Tadi Papa ketemu Arka di Masjid waktu salat Isya, Arka menyapa duluan, padahal kita kan enggak pernah ketemu, ya. Ternyata tahu wajah Papa dari profil WA nya Renata. Nanti kalau sudah menikah profil WA masih Papa Mama atau berdua suami, Ren?” goda Pak Radika.“Papa, apaan sih,” wajah Renata bersemu merah.“Silahkan duduk, Arka. Makan seadanya, ya. Ini masakan Tante semua, Renata bisa masak, kok, hobi malahan. Cuma kalau pas hari kerja ya jarang-jarang ke dapur.” Bu Ajeng menarik kursi untuk Arka.“Terima kasih Tante, saya sukanya makan masakan rumahan kok.”Renata bergegas ke dapur kembali untuk mengambil peralatan makan, malam ini terasa lebih ramai. Arka yang pendiam dan jarang berbicara bisa menarik perhatian Bu Ajeng dan Pak Radika. Mereka membicarakan banyak hal, pekerjaan, keluarga Renata dan Arka, bahkan hal-hal tetek bengek lainnya. Suasana menjadi lebih hangat dan menyenangkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan