Asmara Renata

0
0
Deskripsi

Renata, gadis cantik yang sedang mecari cinta sejatinya. Banyak pria mendekat tetapi hatinya tertambat pada satu lelaki yang mengacuhkannya. Ajakan mendadak menikah diterima Renata tiba-tiba. Keputusannya hanya ada pada Renata

Asmara Renata (Bab 1 sampai 10)

 

 

Bab 1. Suasana Baru 



 

Hari pertama Shera Tama Renata bekerja, semuanya harus tampak sempurna. Sambil melihat di cermin Rena memperhatikan lagi penampilannya, tunik berwarna dusty pink, pasmina berwarna senada, celana model pensil putih yang tidak terlalu ketat, disempurnakan dengan kalung etnik. Sepatu hak warna hitam mengkilat dan tote bag akan melengkapi penampilannya. Riasan minimalis menambah kecantikan alami Rena, gadis yang beberapa bulan yang lalu baru saja melepas masa kuliahnya dan saat ini menjadi karyawati di sebuah perusahaan swasta.

 

“Duh, cantik banget anak Mama. Jadi terlihat dewasa ini Ren,” puji Bu Ajeng, ketika bertemu di ruang makan. Setiap pagi sarapan bersama menjadi ritual mereka bertiga, Rena yang merupakan anak tunggal Bu Ajeng Maulida dan pak Radika Prayoga.

 

“Iya dong, Ma. Sudah bukan mahasiswi lagi sekarang,” goda Pak Radika sambil menarik kursi, duduk di sebelah Rena. 

 

“Pa, ada yang kurang nggak?” Rena memutar duduknya menghadap Pak Radika, memaksa sang papa menilai penampilan dirinya.


“Sempurna, cantik. Nanti berangkat sendiri atau diantar jemput Pak Mardi?” tanya Pak Radika, Pak Mardi adalah supir keluarga mereka.


“Bingung, Yah. Enaknya bagaimana, ya? Rena kan karyawan baru, kalau bawa mobil sendiri enggak enak," tanya Rena sambil mulai menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri.

 

“Sepertinya lebih baik diantar jemput saja, nanti ngomong dengan Pak Mardi jam berapa jemputnya,” usul Pak Radika.


“Ya sudah, sarapan dulu, hari pertama kerja nggak boleh terlambat kan.” Bu Ajeng menyela lalu memberikan piring berisi makanan kepada Pak Radika. Merekapun sarapan bersama-sama sebelum memulai aktiftas masing-masing. Pak Radika dan Rena yang akan berangkat bekerja dan Bu Ajeng yang merupakan ibu rumah tangga. 


***

Dan di sinilah sekarang Rena berada, di depan sebuah gedung perusahaan properti. Melangkahkan kakinya dan membaca doa Rena memasuki area gedung tanpa ragu, berharap diberi kelancaran untuk hari pertamanya bekerja.

 

“Karyawan baru, Mbak?” sapa seorang pria.


Rena mengangguk, “Iya, Mas.”


“Siapa namanya?”, tanya lelaki dengan ramah, mengangsurkan tangannya.

“Rena, Mas siapa? Di divisi apa?” Rena menjabat tangan lelaki itu.


“Riko, Manajemen Proyek. Rena diterima dimana?” Mereka berjalan beriringan memasuki kantor.


“Keuangan, Mas.” Dalam hati Rena bersyukur bertemu dengan senior yang baik, setidaknya Rena merasa diterima di perusahaan ini.


“Ohh, nanti aku antarkan ke tempat karyawan baru. Sepertinya ada beberapa temanmu,” tawar Riko sambil tersenyum. 


Mereka memasuki kantor, disambut dengan senyum dan sapaan ramah Customer Service yang tampaknya sedang bersiap-siap. Riko mengantarkan Rena ke sebuah ruangan lumayan besar, ada beberapa orang yang sepertinya karyawan baru sedang menunggu.


“Ren, aku tinggal dulu ya, absensi. Tapi boleh dong minta nomormu? Nanti aku miscall ya, kalau ada apa-apa atau mungkin perlu sesuatu boleh deh Rena hubungi aku,” pinta Riko.

 

Mereka lalu bertukar nomor. Setelah berpamitan Riko meninggalkan Rena. Rena melangkahkan kakinya mendekati teman-teman barunya, semoga hari ini berjalan lancar.



 

Bab 2. Pertemuan Pertama 

 

Di dalam ruangan ada dua puluh karyawan baru seperti Renata, dua belas wanita dan sisanya pria. Renata bergabung dengan beberapa wanita yang berkumpul, tersenyum ramah kepada teman-teman barunya.

“Hai, namaku Rena.” Renata mengangsurkan tangannya.

“Hai Rena, aku Desty, ini Farah, Adiba dan Lintang.” Desty menyambut tangan Renata dan memperkenalkan pada teman-teman di sampingnya. “Nanti kita kenalan sama yang lain”.

“Ada yang di keuangan sama dengan aku?” tanya Renata pada teman-teman barunya.

“Wah, kamu keuangan, Ren? Sama dengan aku dan Adiba, dong.” Lintang antusias menjawab pertanyaan Renata.

“Hai, Renata ya? Ikut kenalan ya, aku Aldo.” Tiba-tiba di sebelah Renata berdiri seorang pemuda yang disambut godaan teman-teman lelakinya.

“Cie, cie ... Aldo, gercep ya, Do,” seru beberapa temannya, Aldo tersenyum manis pada Renata.

“Nggak usah didengerkan mereka, Ren. Nggak bisa lihat orang senang,” cetus Aldo yang disambut toyoran di kepalanya oleh Desty.

“Yang nggak usah didengarkan itu, kamu, Do. Ren ... Aldo emang begini, enggak bisa lihat yang bening-bening seperti kamu.” Desty mengarahkan dagu ke Aldo yang menyugar kepalanya. Renata tertawa melihat kelakuan keduanya.

“Kalian sepertinya sudah akrab sekali, sudah saling kenal sebelumnya?” Renata melihat keakraban diantara Aldo dan Desty.

“Kami dulu sekampus, sama-sama mendaftar lowongan kerja perusahaan ini waktu ada job fair di kampus, Ren.” Desty menoleh pada Aldo yang mengangguk-angguk membenarkan. 

“Wah senang dong bisa ketemu lagi di sini.” 

“Dia yang senang, Ren. Aku mah ogah, dia lagi ... dia lagi.” Desty bersungut-sungut yang disambut gelak tawa Aldo. Renata, Farah, Adiba dan Lintang tertawa melihat tingkah laku mereka.

“Eh, ada yang datang, tuh.” Farah membuyarkan canda tawa mereka, tampak seorang ibu-ibu dengan blazer abu-abu memasuki ruangan.

“Pagi...teman-teman,” 

“Pagi, Bu.” Sahut Renata dan teman-temannya,.

“Saya Sinta, dari HRD. Selamat datang dan bergabung dengan Artha Karya Properti. Senang sekali hari perrtama kerja tidak ada yang terlambat. Saya harap teman-teman dapat memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan.” Bu Sinta menatap seluruh karyawan baru yang berada di ruangan. 

“Mari ikut saya ke ruang meeting, nanti di sana akan bertemu dengan manajer HRD.” Bu Sinta melangkahkan kaki ke luar ruangan diikuti para karyawan baru menuju sebuah ruangan di pojok, lebih kecil daripada ruangan sebelumnya. Terdapat satu meja panjang dengan kursi yang mengelilingi. Terdapat dua baris kursi pada masing-masing sisi meja dan ujungnya. Renata duduk berdampingan dengan Desty, Farah, Adiba, dan Lintang.

“Kalian tunggu saja di sini, ya. Pak Saka, manajer HRD kita sedang meeting dengan manajemen.” Bu Sinta merapikan kursi yang akan diduduki Pak Saka. Setelah memastikan semua telah menduduki posisinya dengan rapi lalu Bu Sinta melangkah meninggalkan ruangan. 

Renata meletakkan pulpen dan agenda kerja di hadapannya, beberapa teman terlibat percakapan kecil namun tidak terlalu membuat suasana gaduh. Sambil menunggu kedatangan manajer HRD Renata membuka-buka ponsel, ada beberapa pesan dari Bu Ajeng dan Pak Radika yang memberikan semangat kerja di hari pertama. Beberapa berita di grup dari teman kuliah yang sudah mendapatkan kerja seperti dirinya ataupun masih berjuang melamar pekerjaan, ada juga yang berwirausaha. 

Lima belas menit berlalu, pintu ruangan terbuka dan terlihat seorang lelaki berusia empat puluhan memasuki ruangan diikuti oleh Bu Sinta yang membawa beberapa berkas. 

“Selamat pagi semuanya, saya Saka, Manajer HRD. Selamat bergabung dengan kami di Artha Karya Properti dan memberikan kontribusi terbaik. Selama setahun pertama kalian terhitung sebagai karyawan kontrak yang akan dinilai kinerjanya. Yang kinerjanya bagus berhak mengikuti tes pengangkatan pegawai tetap.” Pak Saka menoleh pada Bu Sinta yang berdiri di sebelahnya, meminta berkas karyawan baru.

“Di sini saya lihat ada beberapa bagian yang terisi. Alhamdulillah semua yang kami butuhkan telah terpenuhi. Jam kantor dari jam delapan sampai dengan jam  lima sore. Ishoma antara jam dua belas sampai dengan jam satu siang. Di lantai satu ada mushola, harap menjaga kebersihan mushola kantor demi kenyamanan bersama. Kantin ada di belakang kantor, kadang-kadang ada beberapa karyawan yang membawa bekal dari rumah, terutama yang sudah berkeluarga. Kalau saya ini jomblo lokal, jadi tidak pernah dapat jatah bekal.” Pak Saka memasang wajah sedih yang diikuti gelak tawa di seluruh ruangan. “Ada pertanyaan yang masih mengganjal?” Pak Saka mengedarkan pandangan.

“Saya, Pak.” Aldo mengangkat tangan kanannya.

 

“Iya, silahkan. Sebutkan namanya!”

“Boleh tidak, Pak, menikahi teman sekantor?” tanya Aldo diiikuti senyuman teman-temannya.

“Baik saya tegaskan ya bahwa dilarang menikah teman sekantor ... kebanyakan kalau sekantor, cukup seorang teman saja,” ujar  Pak Saka yang kali ini disambut dengan gelak tawa satu ruangan, suasana menjadi sedikit gaduh. 

“Ada pertanyaan lagi?” Pak Saka mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Suasana perlahan kembali tenang.

“Baik karena tidak ada pertanyaan lagi saya serahkan kembali kepada Bu Sinta. Sebelum kalian ke kursi kerja masing-masing sepertinya Bu Sinta akan membagikan name tag.” Pak Saka menoleh pada Bu Sinta yang mengangguk membenarkan.

“Oke, terima kasih atas waktu dan perhatiannya, saya akan kembali ke ruangan. Selamat bekerja dan berkarya di sini.” Pak Saka mengembalikan berkas di tangannya kepada Bu Sinta dan beranjak meninggalkan ruangan.

“Teman-teman, sebelum ke meja  kerja kalian saya bagikan dulu name tag masing-masing. Langsung dipasang ya.” Bu Sinta menyerahkan name tag  di tangannya dan dibagikan kepada seluruh karyawan baru.

Dengan diantar Bu Sinta dan beberapa rekan kerjanya merekapun akhirnya menempati meja kerja masing-masing. Ruang kerja Renata terdiri dari empat orang staf dan satu supervisor. Meja kerja Renata bersebelahan dengan Lintang dan berhadapan dengan Adiba. Dari informasi Bu Sinta satu orang karyawan sebelumnya mengundurkan diri karena hamil dan kehamilannya bermasalah, sedangkan satu orang lainnya dipromosikan keluar kota.

Supervisor mereka bernama Bu Andin, masih cukup muda, sekitar 35 tahun. Teman satu ruangan lainnya adalah Lita, sangat ramah dan menyambut mereka dengan antusias.

“Wah, akhirnya saya punya teman Bu Andin,” celetuk Lita.

“Senang ya, Lit. Kita nggak duet maut lagi,” cetus Bu Andin disambut senyum anak buahnya.

“Guys, setelah ini saya ada keperluan di luar kantor dengan Pak Manajer. Rena, Lintang dan Adiba kalian pelajari dulu berkas-berkas yang ada, akrabkan diri dulu dengan apa yang ada di laptop kalian. Jika ada pertanyaan diskusikan dengan Lita. Lita tolong dibantu teman-temannya, ya.” Bu Andini menoleh pada Lita yang disambut dengan anggukan.

Renata dan teman-temannya menyibukkan diri di meja masing-masing hingga waktu istirahat tiba. Mereka memutuskan salat terlebih dahulu karena bunyi adzan telah terdengar.

“Kalian bawa mukena?” tanya Lita.

“Aku bawa, Lintang...Adiba, kalian bawa juga, kan?” tanya Renata disambut anggukan Lintang dan Adiba.     

Mereka menuju lantai satu, setelah berwudhu dan akan memasuki mushola seseorang memanggil Renata dengan antusias. “Ren, ketemu lagi.”

Renata menoleh, terlihat Riko di belakangnya tersenyum hangat. Di sebelahnya seorang lelaki berwajah datar tanpa ekspresi, tampak tetesan sisa air wudhu di keningnya. Renata membalas senyum Riko dan mencoba bersikap ramah pada temannya, tersenyum simpul. Namun lelaki itu berlalu dari mereka tanpa merubah ekspresinya, menyisakan kekesalan di hati Renata. 

 

 

Bab 3. Para Pengagum

 

Kesal masih dirasakan Renata sepeninggal lelaki itu, Riko yang melihat raut wajah Renata tertawa kecil, “Enggak usah dipikirkan Arka, Ren, dia memang seperti itu orangnya. Kalau sama perempuan dingin, kaku. Yuk masuk, mau salat, kan? Sepertinya baru mau dimulai,” ajak Riko. Renata ikut melangkahkan kakinya ke jamaah wanita, di sana tampak Lita, Lintang dan Adiba sedang bersiap-siap salat. Bergegas Renata mendekati mereka yang telah menyiapkan tempat di samping Lita.

Setelah salat Dzuhur di musala kantor mereka menuju kantin untuk makan siang. Lita membawa bekal dari rumah dan memesan minum di kantin, Renata memesan gado-gado – makanan kesukaannya.

“Wah, tahu aja kamu Ren kalau gado-gado di sini top, sudah pernah makan sebelumnya di sini?” tanya Lita melihat pesanan Renata.

“Enggak, Mbak Lita. Ini barusan mau nyoba. Mmmm .... iya beneran enak, bumbu kacangnya pas.” Renata mencecap sesendok gado-gado ke suapannya. Tampak Lintang dan Adiba mendatangi meja mereka dengan membawa pesanan makanan dan minuman.

Mereka menikmati makanan dengan lahap, sesekali mengobrol dan bercanda. Lita telah dua tahun bekerja di Artha Karya Property dan menjadi pegawai tetap. Rencananya akhir tahun Lita akan melepas masa lajang. 

“Wahhh, boleh dong nanti kita-kita jadi bridesmaid, Mbak,” cetus Adiba yang disambut senyuman teman-temannya.

“Bisa...bisa nanti dipertimbangkan,” Lita mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan. Pandangannya tertuju pada seseorang di belakang Adiba. “Ada apa, Ko? Data yang kamu minta sudah kuemail, kan?” tanya Lita, Renata yang sedang menunduk menikmati makanan di samping Lita mengangkat kepalanya melihat  siapa yang mendatangi mereka.

“Jam istirahat enggak usah ngomongin kerjaan, Bu.” Jawab Riko sambil melirik Renata yang menjadi salah tingkah. 

“Pantesan cantik, doyan sayur ternyata rahasianya. Ren, pulang nanti bareng, yuk. Aku anter.” Riko berdiri di sebelah Renata, menoleh pada Lintang dan Adiba yang tersenyum hormat padanya.

“Terima kasih, Mas. Tapi Rena sudah dijemput,” tolak Renata halus. 

“Gercep banget, Ko. Baru juga sehari Rena kerja sudah nyosor aja, rayuan pulau kelapa bertebaran, mentang-mentang baru putus. Cepat banget move on nya,” sindir Lita.

“Oh harus itu Lit, harus cepat move on supaya enggak jalan di tempat.” Riko terkekeh sambil mencomot kerupuk di piring Renata. “Next time ya, Ren. Kalau yang jemput berhalangan Mas Riko siap sedia,”  bujuk Riko yang disambut senyuman Renata.

Riko melangkah menjauhi meja Renata dan memesan makanan. Dari sudut matanya Renata melihat seseorang mendekati Riko sambil membawa segelas jus yang tampaknya baru dipesan, Lelaki itu adalah Arka. Diam-diam Renata memperhatikan Arka yang meninggalkan Riko menuju meja di pojokan, tampak ada sekotak bekal makanan di atas meja itu. Sesekali Arka bertegur sapa dengan beberapa karyawan lelaki yang melintas. Terlihat wajahnya ramah, tidak dingin seperti saat bertemu dengannya.

“Ren, belum selesai, perlu bantuan, nih?” tegur Adiba membuyarkan lamunan.

“Iya, nih. Yuk bantuin, porsinya porsi jumbo, tapi enak kok, beneran.” Renata menyorongkan piringnya pada Adiba yang menyambut dengan antusias. 

“Riko itu buaya darat, Ren.” Lita membersihkan mulutnya dengan tisu setelah mengakhiri makan siang. “Cepet banget gonta-ganti pacar, cakep sih emang, gampang buat perempuan klepek-klepek. Nah dia dekat dengan Arka, mereka dekat karena dari awal bareng-bareng diterima di sini di bagian yang sama. Tapi karirnya Arka cepat, setengah tahun yang lalu jadi supervisor. Jadi secara posisi Arka atasan Riko, tapi mereka masih sahabatan seperti biasa. Nah kalau Arka ini beda banget, sama-sama cakep tapi kalau yang ini versi kulkas berjalan. Kalau sama cowok sih biasa-biasa aja ya, tapi sama cewek ampunnnn dah dinginnya. Kadang ketus gitu. Tuh mereka lagi makan bareng. Arka selalu bawa bekal seperti aku, belum nikah sih. Sepertinya bekal dari mamanya,” dengan dagunya Lita menunjuk meja dimana Arka dan Riko makan.

“Anak mama ya, Mbak,” cetus Adiba yang disambut tawa kecil teman-temannya.

“Anak mama yang galak,” imbuh Lita. “Yuk, ke ruangan. Sudah pada selesai kan makannya,” ajak Lita. Merekapun membereskan sisa makanan dan meja mereka, lalu beranjak kembali ke ruangan. 

***

Jam kerja telah selesai, Renata merapikan berkas-berkas di meja, mematikan laptop, memasukkan peralatan pribadi di tote bagnya. Bu Andini belum kembali dari luar kantor, tampaknya pekerjaan di luar belum selesai. Lintang, Adiba dan Lita juga telah selesai berkemas-kemas. 

“Yuk, absensi pulang, dulu,” ajak Lita beranjak keluar ruangan menuju tempat absensi, diikuti teman-temannya. Beberapa karyawan juga sudah mulai meninggalkan meja kerja, hanya ada beberapa yang tertinggal karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Lita dan Adiba menuju parkir karena membawa kendaraan sendiri, Lintang dan Renata duduk di depan kantor, di samping pos satpam terdapat kursi panjang yang tampaknya sering dipergunakan karyawan saat menunggu jemputan. Tidak berapa lama kekasih Lintang datang menjemput, tinggal Renata sendiri yang menunggu jemputan Pak Mardi. 

“Ren, nunggu siapa? Nanti kesorean. Aku antar, yuk.” Aldo melintas dengan motor gede.

“Dijemput, kok, Do. Terima kasih. Ini sudah di perjalanan, bentar lagi juga sampai,” tolak Renata.

“Ya sudah kalau gitu aku temenin, deh.” Aldo mematikan mesin motor, melepas helm lalu duduk di sebelah Renata. Renata menghela napas panjang, pasrah dengan kelakuan Aldo.

 

Bab 4. Lelaki Itu 

 

Tidak terasa sudah sebulan Renata bekerja, kemarin adalah hari pertama dia menerima gaji. Hari ini libur dan dia ingin menghabiskan hari dengan Bu Ajeng, Rena ingin membelikan sesuatu yang spesial dari gaji pertamanya. Rena dan Bu Ajeng pergi berdua ke Mall, sementara Pak Radika tidak ikut serta karena bermain golf dengan teman-temannya. 

“Ren, mau beli apa sih, ke toko emas segala?” tanya Bu Ajeng.

“Rena ingin belikan cincin buat Mama dari gaji pertama Rena, jangan dilihat dari nominalnya ya, Ma. Rena ingin jadi kenang-kenangan buat Mama,” pinta Renata sambil menggandeng Bu Ajeng ke etalase, mengajaknya memilih-milih cincin. Hati Bu Ajeng sangat terharu, bisa saja dengan uang yang dimiliki ia membeli cincin berbagai ukuran dan model, bahkan cincin berlian. Namun karena ingin menyenangkan hati Renata maka Bu Ajengpun memilih cincin dengan model yang sesuai seleranya dan dengan harga yang dirasakan tidak terlalu memberatkan Renata dengan gaji pertamanya. 

“Yang ini bagus enggak, Ren?” tanya Bu Ajeng yang sedang mencoba sebuah cincin di jarinya, sebuah cincin emas rose gold yang sangat elegan, pas di jari manisnya. 

“Bagus, Ma. Pas ya di jari Mama?” tanya Renata disambut anggukan Bu Ajeng.

“Rena bayar dulu ya, Ma.” Renata menerima cincin dari Bu Ajeng dan menyerahkan kepada kasir. Setelah transaksi pembayaran dilakukan lalu Renata menyerahkan cincin itu kepada Bu Ajeng dengan sumringah, bangga bisa membelikan Mamanya cincin dari gaji pertama.

***

“Terima kasih ya, Ren. Cantik sekali, Mama suka, Papa juga pasti suka.” Setelah mendapatkan cincin yang diinginkan mereka menikmati makan siang di restoran masakan Korea.

“Mama jangan godain Rena, Mama pasti bisa beli yang lebih mahal daripada ini. Apalagi Papa, cincin ini enggak ada artinya apa-apa.” Renata tersipu malu.

“Jangan gitu, Ren. Mama suka banget, ini pilihan Mama sendiri loh.” Bu Ajeng mengelus-elus cincin di jarinya. Renata melihatnya dengan perasaan haru.

“Terima kasih, Ma. Rena jadi senang,” ucap Renata lirih.

“Gimana di kantor, Ren? Ada yang bisa dijadikan calon mantu?” goda Bu Ajeng.

“Cowok-cowok pada centil, Ma. Lagian juga Rena kan baru aja kerja.”

“Mama Papa enggak apa-apa loh kalau Rena cepat nikah, atau mau kerja dulu juga enggak apa-apa. Senyamannya Rena aja, asal jangan lupa kodrat Rena sebagai wanita.”

Renata mengunyah makanan di hadapannya perlahan, teringat sesosok laki-laki dingin yang tidak pernah berusaha mendekatinya seperti laki-laki lain di kantor, tapi laki-laki itu yang sering membayangi pikirannya.

 

Bab 5. Aku Inginkan Dia 

 

Awal bulan banyak pekerjaan yang harus ditangani Renata. Sedari pagi Renata dan teman-temannya tidak beranjak dari meja kerja mereka, canda tawa tidak terlalu banyak dilontarkan, masing-masing sibuk dengan tanggungjawab pekerjaan. Pekerjaan dan deadline membuat divisi mereka harus lembur.         

“Ren, ayo istirahat, mau salat dulu atau makan?” tanya Lintang. Renata melirik jam di tangannya, sudah waktunya istirahat dan salat Magrib. Ruangannya telah sepi, teman-teman dan Bu Andini sudah tidak tampak.

“Yuk, aku mau salat dulu aja, kamu gimana, Tang?” Renata mengambil mukena kecil di tasnya lalu melangkah keluar ruangan diiringi Lintang.

“Bareng aja, deh, Ren.”

Berdua Renata dan Lintang melangkah menuju mushola kantor. Tidak terlalu ramai, mungkin masih banyak yang berada di kantin atau keluar sejenak mencari makan malam karena azan baru saja berkumandang. Hanya ada Renata dan Lintang di kamar mandi. Renata berolahraga ringan di kamar mandi, melakukan perenggangan otot yang terasa kaku karena sedari pagi duduk di meja kerja.

“Ren, ikut senam enggak?”

“Dulu belum kerja sih rutin, sekarang malas. Kalau weekend pinginnya istirahat atau main, Tang.”

“Ih, kamu yaaaa...kok sama seperti aku sih.” Mereka pun tergelak bersama.

“Besok Minggu ke CFD, yuk,” ajak Lintang.

Car Free Day?. Boleh, deh. Ajak teman-teman lain ya biar seru,” jawab Renata.

Deal, ya. Hari Minggu besok?”

“Sip. Semangat menyongsong body goals, ya,” kelakar Renata, mereka terbahak-bahak berdua.

Setelah menyelesaikan wudhu Renata dan Lintang masuk ke musala. Hanya mereka yang menjadi jamaah wanita. Renata bergegas mengenakan mukena karena iqomah telah dikumandangkan. Tidak berapa lama salat Magrib dimulai, ayat demi ayat dibacakan imam dengan fasih dan irama yang lembut, mendamaikan hati makmum yang mengikuti. Di akhir salat Renata mendoakan bisa mendapatkan suami yang bacaan salatnya seperti imam saat ini, sungguh-sungguh menyejukkan hati.           

“Siapa imamnya, ya, Ren? Bacanya bikin adem,” bisik Lintang sembari melipat mukena.

“Adem mana sama ubin musala?” tanya Renata dengan bisikan pula, mereka cekikikan berdua.

“Ren, ngintip bentar, yuk, siapa imamnya, penasaran, aku tuh,” ajak Lintang bersemangat.

“Ogah, kamu aja, Tang.” Renata menggeleng mendengar ajakan Lintang yang cemberut setelahnya.

Selesai melipat mukena mereka bergegas keluar, bertemu dengan Riko dan Arka yang sedang bersantai di teras musala.

“Eh, ketemu Mas imam di sini. Permisi ya, Mas, numpang lewat,” sapa Lintang pada Riko dan Arka.

“Eh, Mbak makmum, tadi yang jadi imam Arka, saya cukup jadi makmum dulu,” jawab Riko sambil melirik Renata. “Lembur juga, Ren?”

“Iya, Mas. Permisi, kami duluan.” Bergegas Renata menarik tangan Lintang meninggalkan Riko dan Arka. Riko terus menatap kepergian Renata sebelum Arka menegurnya dan mengajaknya beranjak.

 

Bab 6. Menangis Karenanya 

 

Pagi yang cerah setelah semalam diguyur hujan. Renata lebih pagi berangkat hari ini karena Bu Andini memintanya menyelesaikan data yang diminta dari Manajemen Proyek. Seharusnya yang mengerjakan adalah Lita, namun semalam Lita memberitahu kalau hari ini tidak bisa masuk kerja karena gejala typus dan harus istirahat. Bu Andini melimpahkan tanggung jawab pekerjaan Lita kepada Renata.

“Pagi, Mbak Rena. Rajin banget, Mbak. Pertama yang masuk kantor, loh,” sapa Pak Gimin, OB kantor.

“Enggak, ah. Lebih duluan Pak Gimin yang masuk kerja,” jawab Renata disambut gelak tawa keduanya.

“Sudah sarapan, Mbak? Mau Pak Gimin belikan sarapan di depan atau buatkan minuman hangat?” Pak Gimin menawarkan bantuan. Selain bertanggung jawab atas kebersihan ruangan terkadang para karyawan meminta bantuan Pak Gimin membelikan makanan.

“Terima kasih, Pak. Sudah sarapan di rumah, ini juga sudah bawa coklat panas sama makan siang.” Renata mengacungkan kotak bekal yang ada di genggaman tangannya.

Renata masuk ruang kerjanya, masih sepi, ruangan telah bersih dan pendingin udara telah dinyalakan. Dinyalakan laptopnya dan diambil beberapa berkas dari meja Lia sesuai instruksi Bu Andini, setelah mempelajari beberapa saat Renata mulai mengerjakan pekerjaan. Seharusnya jam 9 data yang diminta harus sudah ada di meja Arka, tetapi karena Lia berhalangan Bu Andini mengatakan akan meminta kelonggaran sedikit waktu pada Arka.

“Gercep, Ren. Banyak ya yang masih harus dikerjakan?” sapa Adiba yang baru saja datang dan meletakkan tasnya di meja.

“Lumayan, Dib. Sebenarnya tinggal melanjutkan, cuma karena dari awal bukan aku yang pegang jadi kan harus kupelajari dulu.”

“Sayang aku lagi ada deadline, kalau enggak kan kubantu,” sesal Adiba.

“Enggak apa-apa, Dib. Kebetulan kan juga aku enggak ada deadline hari ini, jadi diminta Bu Sinta meneruskan punya Mbak Lia.”

Tidak berapa lama datanglah Lintang, masing-masing langsung berkutat di mejanya masing-masing.

“Kok Bu Andini belum datang, ya, guys?” tanya Lintang memecah keheningan.

“Iya, sudah jam segini. Coba cek group dulu.” Adiba meraih gawainya dan mengecek grup divisi mereka. “Ohh, Bu Adiba ternyata enggak ke kantor, guys, langsung ke klien sama Pak Bos.”

“Pantas. Ren, data yang diminta Mas Arka belum selesai? Harusnya jam 9, kan? Kemarin Mbak Lia sempat cerita.” Lintang mengingatkan Renata.

“Iya, tapi Bu Andini japri aku katanya mau minta kelonggaran waktu sama Mas Arka. Sudah jam 10, ya. Bentar lagi selesai terus aku cetak bawa ke ruangan Mas Arka.” Renata masih menekuni laptop di hadapannya.

Tidak berapa lama selesai juga pekerjaan Renata, setelah dicetak lalu ditempatkan di map dan mempersiapkan diri ke ruangan Arka.

“Mau antar berkas, Ren? Sudah siap ketemu Mas imam solih?” goda Lintang.

“Ish, kamu ini Tang. Aku tinggal sebentar, ya.” bergegas Renata meninggalkan ruangannya.

Setelah naik satu lantai sampailah Renata di ruangan Arka. Setelah mengetuk pintu dan mendengar sapaan dari dalam Renata membuka pintu, tampak ada lima orang di ruangan itu, ada Riko, Daffa, Fathan dan Yusran, sementara Arka menempati meja yang berbeda dan lebih besar.

“Permisi, Mas. Saya mau menyerahkan data yang diminta, maaf telat.” Renata meletakkan berkas yang dibawa ke meja Arka.

“Lihat sekarang jam berapa? Kemarin saya minta data ini jam 8, kamu nego minta jam 9. Sekarang sudah jam 10.30, berapa jam keterlambatanmu?” Arka menatap tajam, membuat hati Renata menciut.

“Maaf, Mas. Saya hanya menggantikan Mbak Lia.”

“Biarpun menggantikan seharusnya tidak terlambat seperti ini, kamu harus bisa menyelesaikan tepat waktu. Kalau seperti ini pekerjaan saya jadi terhambat.”

“Iya, maaf, Mas.” Sekuat tenaga Renata menahan air matanya, ia tidak ingin menangis saat ini.

“Sudah terlanjur, oke saya maafkan. Lain kali jangan diulangin. Sebagai team work seharusnya kita saling mendukung.” Arka merendahkan intonasi suaranya, kemarahannya mulai mereda. 

“Baik, Mas. Saya permisi dulu.” Renata bangkit dari kursinya lalu beranjak meninggalkan ruangan, sekilas dia melihat Riko menatapnya penuh keprihatinan.

Di luar ruangan Renata langsung menuju toilet, air mata sudah tidak tertahan lagi. Dibentak seseorang sungguh bukan hal yang menyenangkan baginya. Dadanya sesak, air mata terus mengalir, hatinya sakit menerima kesalahan yang sepenuhnya bukan dari dirinya.

 

Bab 7. Dia Yang Berusaha Menenangkan Hati 

 

Bentakan Arka masih terngiang-ngiang di telinganya, banyak tisu yang ia habiskan untuk menghapus air mata. Untunglah toilet sepi tidak ada pengunjung sehingga Renata tidak merasa canggung, setelah puas menuntaskan isak tangis Renata merapikan diri di cermin, dibasuhnya sisa-sisa air mata. Masih tampak sembab, tapi setidaknya wajahnya sudah tidak berantakan lagi.

Perlahan Renata membuka pintu toilet dan terkejut melihat ada Riko berdiri menunggunya.

“Jangan sedih, Ren. Arka tadi agak panik karena dikejar deadline¸ jangan dianggap serius, ya.” Riko menyorongkan sekotak tisu.

“Enggak apa-apa, Mas. Memang aku yang telat menyerahkan tugasku. Mas Riko dari tadi nunggu di sini?”

“Enggak, baru aja ke sini. Kamu lama juga di kamar mandi, Ren. Stok air matanya banyak, ya?” goda Riko.

“Aku emang cengeng, Mas, baper. Kok Mas Riko bisa tahu aku ada di sini?” Renata celingukan melihat sekelilingnya, dia tidak enak kalau ada yang melihatnya berdua-duaan dengan Riko di pojokan seperti ini.

“Tadi aku khawatir sama kamu, waktu keluar dari ruanganku kelihatan banget ada air mata yang siap tumpah. Tapi maaf ya, aku enggak bisa nyusul kamu, enggak enak sama Arka, tadi juga masih nanggung sama kerjaan. Aku WA enggak kamu baca, jadinya aku  ruanganmu, kata anak-anak kamu belum kembali. Jadi kupikir kamu pasti ke toilet, enggak mungkin kan sedih trus ke kantin?” Riko mengedipkan air matanya menggoda Renata. 

“Mas Riko, ih.” Renata memukul pelan bahu Riko. “Terima kasih ya, Mas. Aku sudah enggak apa-apa, yang penting tadi sudah nangis jadi plong.”

“Bener nih, sudah oke? Memang kalau ingin menangis harus dikeluarkan supaya beban berkurang”

“Iya, Mas. Aku kembali ke ruangan dulu, ya. Enggak enak sama anak-anak.”

“Kalau ada apa-apa kabari aku, Ren.”

“Iya, Mas, terima kasih.” Renata segera berlalu dari hadapan Riko, tidak enak rasanya berlama-lama dengan Riko. Renata tahu kalau sebenarnya Riko memendam rasa padanya, tapi saat ini Renata tidak memiliki perasaan khusus pada Riko.

 

 

 

Bab 8. Jangan Terlalu Berharap 

 



 

“Ren, kamu dari mana? Tadi Mas Riko ke sini cari kamu,” tanya Adiba sesaat ketika Renata masuk ruangan.

 

“Eh, iya. Tadi ke toilet sebentar, sudah ketemu Mas Riko, kok. Bu Andini belum datang?”


“Belum, mungkin sore. Atau mungkin enggak ngantor kalau acaranya belum selesai. Are you okay, honey? Mata kamu sembab gitu.” Lintang mendekat ke meja Renata.


“Enggak apa-apa. Aku mau ngerjain tugasku dulu, ya. Sebentar lagi waktu istirahat.” Renata menyibukkan diri dengan berkas-berkas di hadapannya. Adiba mengedipkan mata memberi tanda kepada Lintang untuk memberikan waktu bagi Renata sendirian. 


Waktu istirahat tiba, Adiba dan Lintang bergegas membereskan meja dan membawa peralatan salat.


“Salat terus makan siang, yu, Ren,” ajak Lintang.


“Aku absen ya, lagi libur salat, tadi juga dibawakan Mama bekal, aku makan di sini aja, deh. Lagi malas keluar.” Suasana hati Renata belum sepenuhnya membaik, dia masih ingin menyendiri.


“Oke, deh. Mau nitip apa gitu?” tanya Lintang, Renata hanya menggelengkan kepala.


“Kalau mendadak mau nitip kabari aja, ya, Ren!” Adiba mengacungkan ponselnya sembari berjalan ke pintu.


Sembari mengerjakan tugasnya Renata menyantap bekal yang dibawakan Bu Ajeng. Hari ini Renata ingin pulang cepat dan melupakan masalahnya.


***

 

Waktu pulang telah tiba, Renata bergegas membereskan peralatan kerja dan bersiap-siap pulang. Pak Mardi sudah menunggu karena Renata memintanya menjemput lebih cepat.


“Buru-buru amat, Ren. Ada janji?” tanya Lintang.

 

“Sudah ditunggu Pak Mardi, tadi kan masuknya pagi-pagi banget, pingin pulang cepat, mau istirahat di rumah. Duluan ya, Tang, Diba.” Renata melambaikan tangan pada keduanya dan bergegas pulang.


Di tempat absensi Renata melihat Riko yang bercanda dengan beberapa teman, langsung melambai melihat kedatangan Renata.


“Ren, aku antar pulang, ya,” pinta Riko.


“Maaf, Mas. Sudah dijemput di luar, ini Renata buru-buru pulang.”


“Ohhh, kapan-kapan bisa dong Ren pulang bareng,” pinta Riko penuh harap. Renata hanya tersenyum kecil dan berlalu, dia tidak ingin memberikan harapan pada Riko.



 

 

Bab 9. Bukan Salahku 



 

“Ren, aku antar pulang, ya,” pinta Riko.


“Maaf, Mas. Sudah dijemput di luar, ini Renata buru-buru pulang.”


“Ohhh, kapan-kapan bisa dong Ren pulang bareng,” pinta Riko penuh harap. Renata hanya tersenyum kecil dan berlalu, dia tidak ingin memberikan harapan pada Riko.


Sebelum keluar kantor Renata mampir ke toilet, merapikan make up dan memastikan matanya tidak sembab lagi, ia tidak ingin membuat Bu Ajeng dan Pak Radika bertanya-tanya. Di luar kantor Pak Mardi telah bersiap membukakan pintu untuk Renata. Renata masuk mobil dan memasang seatbealt

“Langsung pulang, Mbak Rena,” tanya Pak Mardi sembari fokus menyetir.


“Iya, Pak. Pingin istirahat.”


“Siap, Mbak.”


Sepanjang perjalanan Renata memejamkan mata, menikmati musik yang dinyalakan, ia ingin sampai di rumah tanpa memberikan kesan adanya kesedihan.


Di rumah terlihat Bu Ajeng sedang merapikan tanaman anggreknya di halaman, beberapa sudah ada yang berbunga, cantik sekali.


“Assalamualaikum, Ma,” sapa Renata mendekat dan mencium tangan Bu Ajeng.


“Sudah beres kerjaan tadi pagi, Ren?” tanya Bu Ajeng.


“Sudah, Ma. Untung tadi berangkat lebih pagi jadi bisa selesai. Rena ke kamar dulu ya, Ma. Capek, mau beres-beres.”


“Tadi Mama buat puding buah, Ren. Segar tuh buat cemilan sore.”


“Iya, Ma. Nanti Renata makan, pasti enak buatan Mama.” Renata mengacungkan jempol dan berlalu ke kamarnya.


Di kamar Renata bergegas mandi dan berganti baju, dibaringkan tubuhnya di sofa sembari memencet remote TV. Tubuh dan hatinya sangat lelah, ingin beristirahat.


***

“Pagi, anak-anak. Apa kabar hari ini?” sapa Bu Andini ketika memasuki ruangan kerja.


“Pagi, Bu. Mbak Lia masih belum masuk,” jawab Renata.


“Oh, iya, biarin dulu lah Lia biar benar-benar fit baru masuk. Gimana Ren kemarin? Sudah diberikan data yang diminta Arka?” tanya Bu Andini.


“Sudah Bu, tapi Mas Arka agak marah karena saya memberikannya lebih dari jam sembilan,” lirih Renata mengingat kejadian kemarin


“Ya, ampun. Saya kemarin hectic banget sampai lupa minta toleransi waktu ke Arka. Arka marah sama kamu, Ren? Maaf ya saya benar-benar lupa.” Wajah Bu Andini menyiratkan penyesalan.


“Iya, bu, enggak apa-apa.”


“Saya hubungi Arka dulu deh, tapi jam-jam segini dia biasanya ada meeting pagi, saya WA saja.” Bu Andini memencet-mencet ponsel mengirimkan pesan pada Arka. Renata terduduk lega, ternyata kejadian kemarin sepenuhnya bukan kesalahannya.

 

 

 

 

Bab 10. Ajakan Makan Siang 

 

Suasana hening terasa di dalam ruangan, masing-masing sibuk dengan laptop dan berkas. Merasa jenuh Renata sejenak menghentikan aktifitasnya dan mengecek chat WA.

“Ren, nanti siang makan bareng, yuk. Ada kesalahpahaman ini sepertinya, Arka baru dikabari Bu Andini. Dia memintaku menemaninya minta maaf padamu.” Rena membaca WA dari Riko.

“Alhamdulillah kalau sudah paham, Mas. Sampaikan ke Mas Arka enggak masalah, aku sudah memaafkannya, kok,” balas Renata.

“Minta waktumu sebentar aja dong, Ren. Arka tampaknya merasa bersalah banget. Kemarin dia memarahimu seperti itu di hadapan kami, tim kerjanya.”

“Mmmm, boleh deh. Nanti siang ya, Mas? Kita bertiga?”

“Iya, di Kafe Specta seberang kantor ya, Ren. Arka bawa mobil, nanti kita bertiga kesana barengan, ya.”

“Aku ajak teman aja, Mas Riko. Nanti kita ketemuan di sana aja pas jam makan siang bisa?”

“Ohhh, gitu. Ya sudah ketemu di Kafe Specta. Sampai ketemu nanti, Ren.” Riko menutup chat mereka. Renata mengetukkan jarinya di meja, berfikir siapakah yang akan diajaknya ke Kafe Specta.

Melihat Lintang berpamitan akan ke toilet membuat Renata langsung mengikutinya. “Tang, bareng, ya,” pinta Renata.

“Eh, kebelet juga, Ren,” tanya Lintang. Renata mengangguk dan menggandeng tangan Lintang ke toilet. Sesampainya di toilet Renata celingukan memastikan hanya ada mereka berdua.

“Ren, kamu kenapa, sih?” Lintang heran melihat tingkah laku Renata.

 

“Tang, nanti siang temani aku ke Kafe Specta, ya, please.” Renata menangkupkan kedua tangannya memohon pada Lintang. 

“Eh, tumben. Ada yang nraktir gitu?” Raut muka Lintang berubah sumringah.

“Ingat enggak, Tang, kemarin mataku sembab setelah dari ruangan Mas Arka.”

“Iya, ditanyain kamu diam aja, Ren. Ada apa, sih? Kepo nih.”

“Kemarin kan aku telat mengumpulkan data yang diminta Mas Arka, dia marah banget sama aku. Di hadapan timnya aku dimarahi, gimana aku enggak nangis, Tang. Aku kan cuma melanjutkan tugas Mbak Lita dan sejujurnya itu perlu waktu karena enggak kupegang dari awal. Eh ternyata baru tahu pagi ini kalau Bu Andini lupa kasih kabar Mas Arka kalau pengerjaannya bakalan telat.”

What? Jadi karena Bu Andini?” Lintang membelalakkan matanya. 

“Ssttt, jangan kencang-kencang, Non.” Renata menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. “Kemarin sepertinya Bu Andini juga hectic deh, makanya lupa gitu. Udah enggak usah dipermasalahkan salahnya dimana, yang penting kan semuanya sudah jelas.”

“Trus hubungannya sama ke Kafe Specta apaan?”

“Kata Mas Riko sih Mas Arka mau minta maaf, kamu temani aku, ya. Kita nanti langsung ke sana aja, Mas Riko dan Mas Arka biar nunggu di sana aja.”

“Siap, enggak bakal nolak deh kalau yang ngajak makan babang ganteng, siapa tahu berkelanjutan ke kencan-kencan selanjutnya.” Lintang memejamkan mata dan menangkupkan kedua tangannya di dada, Renata menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan absurb temannya.

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Asmara Renata
0
0
Asmara Renata (Bab 11 sampai 20) Bab 11. Permintaan Maaf Saat jam makan siang Renata dan Lintang berboncengan ke Kafe Specta. Dalam hati Renata masih deg-degan mengingat biasanya Arka bersikap dingin dan pertemuan terakhir mereka yang sangat tidak mengenakkan. Sesampai di Kafe Specta Lintang mengedarkan pandangan mencari Arka dan Riko, Renata meraih ponselnya yang bergetar. Tampak Riko memanggil.   “Iya, Mas. Aku baru sampai ini, sama Lintang. Mas di mana?”“Aku lihat kamu, Ren. Langsung sini aja, ya. Arah jam tiga dari tempatmu berdiri.” Renata mengarahkan pandangan ke kanannya, tampak Riko melambaikan tangan dan tersenyum.“Tang, tuh Mas Riko di sana.” Renata meraih tangan Lintang di sebelahnya.“Wah, dari tadi aku cari-cari enggak ketemu ternyata di sana, rame banget, Ren.”“Iya, lah. Jam makan siang, gini. Emang kita, Tang, bawa bekal terus.” Renata berbisik lirih, Lintang cekikikan mendengarnya.“Sudah lama Mas, nunggunya?” sapa Renata ketika sampai di meja tempat Riko dan Arka.“Enggak, kok. Baru aja. Untung dapat tempat, kalau makan siang disini sering penuh. Duduk Tang, Ren.” “Pesan apa, ini menunya. Kita tadi sudah pesan.” Arka memberikan daftar menu, untuk pertama kalinya Renata merasakan meramahan Arka.“Tang, kamu pilih menunya, nih. Aku soto daging sama lemon tea.” Renata mengarahkan buku menu kepada Lintang. Setelah makanan yang diinginkan diperoleh Lintang melambaikan tangan kepada pelayan kafe dan memberikan pesanannya.“Ren, saya minta maaf atas kejadian kemarin. Bu Andini baru kasih kabar tadi kalau kemarin mau minta toleransi waktu tapi kelupaan.” Arka menatap Renata yang duduk di hadapannya, Renata melirik sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke ponsel.“Iya, Mas. Kemarin Bu Andini memang hectic, seharian enggak ngantor, jadi mungkin lupa kasih kabar. Enggak apa-apa, kok. Tapi data yang sudah saya berikan masih bermanfaat, kan? Maaf ya kalau memperlambat kerjaan, Mas.”“Enggak, Ren. Kemarin masih bisa ngejar deadline, kok. Terima kasih ya sudah membantu kami.” Renata mengangguk mendengar penjelasan Arka.“Kok, dari tadi enggak lihatin Arka, Ren. Dia baik, kok. Enggak bakal ganggu kamu.” Riko menggoda Renata yang selalu mengalihkan pandangannya dari Arka. Renata sering berinteraksi dengan lelaki, tetapi entah kenapa ketika bersama Arka dia tidak memiliki kekuatan menatap sorot tajam Arka.“Kalau ganggu jangan, lah, Mas. Kalau ngajak nikah Renata boleh, lah. Masih jomblo ini yang di sebelah saya.” Lintang melirik Renata dengan tatapan menggoda.“Lintang apaan, sih.” Renata melotot menatap Lintang.“Wah, sama dong dengan Mas Riko, Ren. Masih jomblo juga.” Riko tersenyum penuh arti, Renata hanya menundukkan pandangannya.“Tapi benar kan, Rena sudah memaafkan saya? Saya enggak tenang, nih.” Arka menatap lembut Renata, nada suaranya pun melunak.“Iya, Mas. Rena sudah maafin, kok. Jangan dipikirkan lagi, semuanya sudah selesai.” Renata mengangkat wajahnya menatap Arka, terkesiap melihat senyuman manis di hadapannya. Wajah Renata bersemu membalas senyuman Arka.   Bab 12. Piknik Bersama Pekan ini kantor mengadakan family gathering di Yogyakarta, menginap di salah satu hotel di utara kota. Agenda hari pertama menjelajahi lereng Merapi dan hari kedua wisata di Gua Pindul. Untuk yang belum berkeluarga dua orang karyawan ditempatkan pada satu kamar, sedangkan yang sudah berkeluarga mendapatkan satu kamar. Renata mendapat jatah kamar berdua dengan Lintang. Dari Semarang rombongan berangkat menggunakan bus pariwisata, sedangkan yang sudah berkeluarga ada yang memilih membawa kendaraan sendiri.“Gathering tahun depan bisa-bisa kita enggak barengan dalam satu bus kayak gini, Ren,” celoteh Lintang sambil tidak berhenti mengunyah snack. Dari awal perjalanan Lintang tidak berhenti makan dengan alasan salah satu cara mencegah mabuk selama naik bus adalah dengan makan, dan Lintang telah membekali diri dengan satu plastik besar cemilan. “Kenapa bisa gitu? Tang, katanya mau langsing, kenapa dari tadi ngunyah melulu, kemarin siapa yang ngeluh berat badan naik tiga kilo?”“Bisa aja, kamunya sudah nikah terus gatheringnya sama suami.” Lintang mengangsurkan seplastik keripik kentang. Renata menggeleng, sudah terlalu banyak makan cemilan dan sekarang dia mengantuk.“Ngaco, ah. Nikah sama siapa?”“Sama Mas Riko, tuh dari tadi cari perhatian kamu terus. Kesal kali dia sama aku enggak mau geser kasih dia kesempatan duduk sama kamu.”“Hush, gosip aja. Biarin aja enggak usah diladeni.” Mereka cekikikan berdua sambil melirik Riko yang berada dua baris di hadapan. Sedari keberangkatan Riko sudah sibuk menawari berbagai bantuan kepada Renata, ketika dalam perjalananpun terkadang Riko berdiri di dekat Renata bersama teman-temannya yang memandu games. “Daripada sama Mas Riko mending sama Mas Arka lah, Ren. Lebih menantang, sudah gitu lelaki idaman, soleh, ganteng, karir oke, bukan playboy.”“Tambah ngawur, mana mungkin aku masuk kriteria Mas Arka. Orang biasanya mabuk kalau kebanyakan minum alkohol, lah kamu kebanyakan kuaci sama keripik jadi enggak jelas gini.” Renata meletakkan headseat ponsel di telinganya dan mulai memejamkan mata, dia sudah tidak ingin mendengarkan ocehan Lintang.    Bab 13.  Gala Dinner Setelah menjelajahi lereng Merapi menjelang sore rombongan tiba di hotel. Masing-masing menuju kamar yang telah disediakan panitia. Renata dan Lintang mendapat kamar di lantai sembilan dengan view menghadap kolam renang. Dua tempat tidur single bed sungguh menggoda mengingat aktifitas mereka seharian yang cukup menguras tenaga.“Ren, sepertinya nanti malam gala dinner kita di situ deh, itu lagi pada persiapan.” Lintang berada di sisi jendela, mengamati para petugas hotel yang sibuk mempersiapkan makan malam outdoor di sisi kolam renang. Ada panggung kecil dan beberapa gubug makanan. Renata membaringkan tubuh di tempat tidur sembari memencet remote televisi mencari tayangan yang diinginkan.“Jam tujuh kan acaranya, Tang? Badanku masih pegal, pingin berendam pakai air hangat. Aku atau kamu dulu nih yang mandi,” tanya Renata.“Kamu dulu aja deh, Ren. Aku juga pingin berendam, nanti habis mandi ‘kan waktunya pas untuk persiapan dinner.” Lintang masih asik mengamati aktifitas para pekerja hotel.Renata beranjak dari tempat tidur dan mempersiapkan diri ke kamar mandi. Tubuhnya yang pegal menjadi rileks saat merendamkan tubuhnya di air hangat bathup. Saat berwisata di lereng merapi Renata bersama Lintang, Riko dan Daffa menaiki satu mobil jip yang sama, nampaknya Riko telah melobi panitia agar bisa bersamaan dengan Renata. Namun selama perjalanan Lintang tampaknya juga tidak ingin memberikan kesempatan Riko berdua dengan Renata, karena dia tahu dengan pasti bahwa Renata tidak menyukai Riko dan Lintang tampaknya tidak setuju jika Riko mendapatkan sahabatnya.***Renata dan Lintang sudah bersiap-siap di depan cermin. Dresscode malam ini adalah warna biru. Renata mengenakan gamis perpaduan brokat dan batik, dipadukan dengan high heel dan clutch yang senada.“Nanti kita mejanya barengan, kan Tang?” tanya Renata.“Iya, ini Adiba dan Mbak Lita sudah nunggu kita di meja.” Lintang mengacungkan ponselnya setelah berbalas pesan dengan Adiba.“Alhamdulillah sudah dapat tempat duduk, aku takut kalau barengan sama Mas Riko.”“Mode panik gitu, Ren. Tenang, nanti dirimu bakal diselamatkan Mas Arka.”“Apaan, sih. Kamu yang ngefans kok aku yang jadi korban.”“Beneran korban? Bukannya saling suka? Aku sudah tahu kok Ren kamu sama Mas Arka saling suka, tinggal tunggu tanggal mainnya.” Lintang mengedipkan matanya membuat Renata menggeleng-gelengkan kepala dengan kelakuan sahabatnya.   Bab 14. Tidak Biasa “Beneran korban? Bukannya saling suka? Aku sudah tahu kok Ren kamu sama Mas Arka saling suka, tinggal tunggu tanggal mainnya.” Lintang mengedipkan matanya membuat Renata menggeleng-gelengkan kepala dengan kelakuan sahabatnya. Sesampainya di tempat gala dinner Adiba dan dan Lita telah menunggu mereka. Acara belum dimulai, masih ada beberapa meja yang kosong. Di panggung pemain band sedang menghibur para undangan. “Dari tadi Mbak Lita?” sapa Renata pada Lita yang sedang asik berswafoto dengan Adiba.“Baru aja, Ren, Tang. Kalian tepar enggak tadi habis dari Merapi. Aku tadi langsung minta dikerok Adiba.”“Beneran, Mbak? Untung ya bajunya tertutup jadi enggak keliatan jejak kerokannya.” Mereka tergelak bersama.“Tapi memang tadi capek banget sih, Mbak. Cuacanya juga dingin.” Renata meletakkan tubuhnya di samping Lita.“Dingin-dingin buat lapar, entah berapa potong jadah tempe yang tadi aku makan.” Lintang memasang ekspresi kekenyangan.“Lit, Lit...urusanmu makan melulu. Tapi badan ya segini-gini aja.” Lita mengelus-elus punggung Lita, diantara mereka berempat hanya Lita yang bertubuh agak subur.“Iya tuh, Mbak. Dari berangkat tadi ngunyah melulu, ini dinner kita lihat apa aja yang ada di piringnya Lintang.” Renata menyikut lengan Lintang yang cuek mengunyah permen karet.Setelah rombongan manajemen datang acara dimulai. MC memandu acara, sambutan dari pihak manajemen, dan acara ramah tamah. Acara bebaspun dimulai, beberapa ada yang menikmati sajian, ada pula yang menikmati games. Renata ikut games dengan beberapa temannya. Satu kelompok terdiri dari tiga putra dan  tiga putri berdasarkan undian. Entah kenapa malam ini Renata satu kelompok dengan Arka. Games malam itu adalah “permainan improvisasi”. Panitia telah menyediakan berbagai barang sederhana, kelompok yang sudah dibagi diminta berbaris serapi mungkin. Barang yang sudah disiapkan diberikan kepada peserta terdepan dan diminta untuk melakukan improvisasi dengan barang tersebut. Peserta yang gagal akan mendapatkan hukuman tersendiri. Gelak tawa riuh sepanjang acara, dari kejauhan sesekali Riko yang berbeda kelompok tersenyum pada Renata.Masih dengan nafas yang terengah-engah selepas bermain games, Renata duduk menyelonjorkan kaki, menonton teman-teman kantor yang masih heboh melakukan games  lainnya. Canda tawa memeriahkan malam itu. “Enggak ikutan lagi, Ren?” suara bariton mengagetkan Renata. Tampak Arka duduk di sebelahnya dengan senyum canggung, tidak terlalu dekat dengannya. “Boleh duduk di sini, Ren?”“Boleh, lah, Mas. Enggak ikut lagi, ah. Capek, lihat mereka main aja sudah seru. Mas Arka enggak ikutan?” tanya Renata dengan raut wajah heran. Tidak menyangka Arka yang biasanya dingin malam ini mengajaknya ngobrol.“Di sini aja lihat mereka main. Ren, saya benar-benar minta maaf atas kejadian di kantor waktu itu, ya. seharusnya pada saat itu saya bisa berfikir jernih.” “Rena sudah memaafkan dan melupakannya, kok, Mas. Sudah enggak usah difikirkan lagi.” Renata menoleh pada Arka yang duduk di sebelahnya dan menatap teman-teman mereka yang masih sibuk mengikuti acara. Arka ikut menoleh, pandangan mereka bertemu dan Renata menunduk dengan wajah memerah, ada pesona dari tatapan mata Arka yang sulit untuk dijelaskan.  Bab 15. Pertanyaan Yang Membingungkan Seminggu berlalu dari gathering kantor, Renata baru saja kembali dari ruangan admin, ada beberapa pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke sana. Ruangan yang berbeda lantai memerlukan Renata menggunakan lift. Dan di sinilah dia sekarang, sendirian berada di lift tanpa teman. Tiba-tiba pintu terbuka dan tampaklah Arka yang masuk ke lift. Hening terasa, posisi Arka berdiri di ujung, menjauhi Renata yang merasakan kikuk hanya berdua. Pintu lift terbuka dan Arka menahannya, dengan dagunya dan tanpa bertatapan mempersilahkan Renata duluan. Renata melangkah mendahului Arka dengan perasaan bingung. Mengabaikan pikiran di hatinya Renata bergegas menuju ruangan tempatnya bekerja.“Hai, non. Lama amat ke admin, macet?” celoteh Lintang melihat kedatangan Renata.“Ish, apaan, sih. Banyak urusannya lah jadi lama.” Renata menghempaskan tubuh di kursi, mengecek beberapa berkas di meja yang harus dikerjakan. Banyak deadline yang harus dikerjakan membuat ruangan agak sepi dengan obrolan Renata dan teman-teman. Sedang asik berkutat dengan pekerjaan tiba-tiba ada pesan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya.[Sibuk Ren?] tanya nomor asing itu.[Siapa ya?] Renata tidak suka melayani nomor-nomor asing yang tidak ada kepentingannya. [Arka, maaf mengganggu] Renata terbelalak mengetahui siapa pengirim pesan itu. Baru saja mereka bertemu di lift tanpa obrolan dan suasana yang kaku, sekarang Arka menghubungi dan Renata tidak tahu siapa yang memberi nomornya pada Arka.[Enggak apa-apa, Mas. Ada yang bisa Rena bantu?] tanya Rena berbasa basi.[Ada yang mau aku tanyakan][Ohhh, silahkan, Mas] Renata menduga ada masalah pekerjaan yang ingin ditanyakan Arka langsung padanya tanpa melibatkan Bu Andini.[Rena sudah ada yang melamar?] Pertanyaan tanpa basa basi sungguh-sungguh mengagetkan Renata. Dengan bingung Renata berkali-kali membaca pesan dari Arka. Jawaban tak kunjung ia berikan.[Gimana, Ren? Sudah ada rencana menikah, ya?] Terkirim lagi pesan dari Arka yang menuntut jawaban dari Renata.[Belum, Mas] Akhirnya Renata menjawab pertanyaan Arka, setelahnya tidak ada pesan lagi dari Arka, dan semuanya sungguh-sungguh membingungkan.    Bab 16. Dia Ingin Datang Dua hari berlalu dari pertanyaan tiba-tiba Arka, Renata berusaha untuk melupakan walau terasa aneh baginya. Siang ini Renata makan siang bersama Lintang, Adiba dan Lita. Bu Ajeng selalu membekalinya dan siang ini Renata menambah makan siangnya dengan jus alpukat. Kantin sangat ramai, hampir semua meja penuh.“Mbak Lita nanti setelah nikah rencananya tetap kerja atau resign?” tanya Lintang sambil menggigit ayam goreng.“Rencana sih tetap kerja, Tang. Calon suami mendukung, lagipula dia kan PNS non departemen, kalaupun mutasi juga masih dalam kota. Aku juga tipenya lebih suka jadi karyawan gini, kurang menikmati kalau harus usaha sendiri.” Lita mulai membuka kotak bekal setelah sebelumnya menikmati buah potong.“Iya, yang penting kita nyaman, Mbak,” jawab Lintang.“Kalian sendiri gimana? Ada rencana menikah dalam waktu dekat?  Tapi kalian juga baru berapa bulan bekerja, dinikmati dulu lah punya penghasilan sendiri.”“Aku sih sudah punya calon, Mbak. Tapi sekarang aku masih fokus kerja, calonku juga masih sibuk pendidikan spesialis. Kurang tau nih nona cantik di sebelahku, banyak yang ngincar tapi belum ada yang dipilih, curiga enggak pacaran tahu-tahu nikah,” goda Lintang pada Renata yang menjadi tersedak karenanya, ingatannya kembali pada pertanyaan Arka yang membingungkan.“Waduh sampai tersedak, gini. Minum dulu, Ren. Jangan digodain terus dong Tang.” Adiba mengangsurkan gelas air putih pada Renata yang duduk di hadapannya.“Enggak tahu ini Lintang emang kok ya...orang lagi enak-enak makan malah digodain.” Renata mendelik kesal pada Lintang yang tertawa terbaha-bahak melihatnya. Pandangan Renata mengarah pada sosok yang baru ia pikirkan, sedang duduk di pojok ruangan dengan teman-teman pria, sedang asik menikmati makanan yang ada di hadapan. Tatapan Renata bertemu dengan Riko yang duduk di sebelah Arka, senyum manis teruntai di bibirnya. Renata mengalihkan pandangan dari Riko, makanannya sudah habis dan teman-temannya masih berbincang-bincang sembari menghabiskan makanan. Sementara menunggu Renata meraih ponsel yang dari tadi diletakkan di meja. Beberapa pesan masuk dan ada yang dikirim oleh Arka.[Assalamualaikum, Ren. Maaf kalau mengganggu dan pertanyaan saya membuatmu kurang berkenan. Boleh saya sekeluarga datang ke rumah Rena?]  Bab 17. Adakah Kesempatan Untukku  [Assalamualaikum, Ren. Maaf kalau mengganggu dan pertanyaan saya membuatmu kurang berkenan. Boleh saya sekeluarga datang ke rumah Rena?] Renata terpaku pada layar ponsel di tangan, matanya beralih pada Arka yang sedang asik dengan teman-temannya. Dan ketika mata mereka bersirobok Arka tersenyum tipis, Renata mengalihkan pandang pada ponsel, Arka melihatnya.“Sudah selesai semua kan makannya, ke ruangan, yuk, ngadem.” Lita berdiri diikuti Adiba dan Lintang, Renata masih bergeming.“Ren, bengong aja. Ikut pulang atau masih di sini? Nunggu Mas Riko? Enggak bosan apa digombalin terus?” celoteh Lintang disambut kekehan Adiba dan Lita.“Lintang, ih. Enggak enak kalau kedengaran orangnya, tuh ada Mas Riko lagi makan.”Renata mengarahkan dagu pada tempat dimana Riko dan Arka berada.“Yuk ah keburu Mas Riko datang.” Lintang menarik tangan Renata, terburu-buru Renata mengikuti langkah Lintang.......Rumah tampak sepi ketika Renata pulang. Bu Ajeng dan Pak Radika belum pulang karena selepas kerja Pak Radika langsung menjemput Bu Ajeng untuk menengok keluarga mereka yang baru saja pindah rumah. Bu Ajeng telah memberi pesan pada Renata jika mereka pulang agak malam. Suasana rumah yang sepi menjadikan Renata hanya ingin berdiam di kamar. Televisi dinyalakan dengan acara yang dipilih secara acak, hanya supaya kamar tidak sunyi namun Renata tidak berniat untuk menonton. Ponselnya bergetar, tampak ada pesan dari Arka.[Assalamualaikum, Ren. Maaf kalau tadi permintaanku mengganggu pikiranmu. Are you okay?][Waalaikum salam. Iya, Mas. Terus terang Renata kaget, serba mendadak, enggak ada kata pengantar dulu ini]. Emoji smiley terkirim di pesan Renata.[Wah, jadi enggak enak ini. Tapi kamu enggak apa-apa, kan? Maksud, Mas, kamu sehat-sehat aja?][Rena sehat, Mas. Cuma ingin sendiri dulu.][Alhamdulillah. Sekali lagi Mas minta maaf kalau permintaan Mas mengganggumu. Mas hanya tidak ingin bermain-main di saat secara lahir batin sudah siap untuk pernikahan.][Iya, Mas. Rena perlu bicara dulu dengan Mama Papa.][Kalau Rena sendiri bagaimana? Kira-kira ada kesempatan buat Mas enggak di hati Rena?]Pertanyaan yang begitu to the point, membuat Renata bingung menjawab. Ada rasa malu di hati yang membuatnya sulit memberikan jawaban.[Mmmm, nanti saja ya, Mas, jawabannya.]          [Ohh, ya sudah. Mas tunggu kabar dari Rena, semoga kabar baik.][Siap, Mas, selamat malam. Assalamualaikum.] Renata menutup percakapan mereka.[Waalaikum salam. Selamat beristirahat juga, jangan lupa baca doa kalau mau tidur.] Renata meletakkan ponsel di nakas. Hatinya berbunga-bunga dengan pernyataan Arka, lelaki yang serius dalam ucapan dan tindakan, tidak mengumbar janji dan akan menunjukkan keseriusan kepada wanita yang sudah dipilih. Sepertinya Bu Ajeng dan Pak Radika akan menyukai Arka. Renata hanya perlu memikirkan bagaimana cara menyampaikan rencana yang begitu mendadak ini.  Bab 18. Papa Ingin Bertemu Renata meletakkan ponsel di nakas. Hatinya berbunga-bunga dengan pernyataan Arka, lelaki yang serius dalam ucapan dan tindakan, tidak mengumbar janji dan akan menunjukkan keseriusan kepada wanita yang sudah dipilih. Sepertinya Bu Ajeng dan Pak Radika akan menyukai Arka. Renata hanya perlu memikirkan bagaimana cara menyampaikan rencana yang begitu mendadak ini........Sarapan bersama pagi ini dilalui Renata dengan berdebar-debar karena ingin menceritakan permintaan Arka pada kedua orang tuanya. Pak Radika duduk tepat di hadapan Renata, Bu Ajeng hilir mudik mempersiapkan sarapan untuk suaminya.“Pa, Ma...sebenarnya ada yang mau Rena ceritakan.” Renata memandang serius Pak Radika dan Bu Ajeng.“Kenapa, Ren? Sepertinya serius banget ini,” tanya Pak Radika, Renata mengatur duduknya lebih santai, menarik nafas panjang sebelum memulai pembicaraan tentang Arka.“Papa Mama tahu kan selama ini Rena belum punya pacar. Karena...ya memang enggak sreg aja, enggak pingin pacaran. Di kantor sih banyak laki-laki yang mendekati Rena, cuma Rena enggak gitu meladeni, Pa.”“Iya, terakhir juga pacar Rena waktu kuliah itu kan? Yang malam Minggu ngapel ke rumah. Sudah berapa tahun itu.”“Di kantor ada senior Rena Pa, beda bagian, namanya Mas Arka. Selama ini Rena jarang komunikasi, orangnya dingin banget kalau sama perempuan. Malah seringnya ngobrol sama Mas Riko, anak buahnya Mas Arka. Kemarin enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba Mas Arka minta kirim WA ke Rena, tanya Rena sudah ada yang melamar belum, terus tanya boleh enggak Mas Arka sekeluarga datang ke rumah.”“Loh...loh, Ren. Sebentar, kamu dilamar? Kamu sudah diapain sama Arka? Kamu sudah enggak perawan? Rena hamil?” tanya Bu Ajeng panik.“Mamaaaa...Rena enggak ngapa-ngapain, masih perawan, lah. Ngobrol sama Mas Arka aja jarang, baru-baru aja Mas Arka menghubungi Rena. Habis itu ngajak nikah, Rena juga bingung.”“Terus kenapa tiba-tiba Arka ngajak nikah, Ren?” tanya Bu Ajeng dengan panik. “Ya, lebih baik diajak nikah daripada diajak pacaran, Ma. Rena sudah dewasa, Arka pun juga sudah bekerja. Kalau mereka siap untuk berumah tangga ya kita dukung saja. Papa melihat keseriusan Arka.”“Tapi kita kan belum kenal Arka dengan baik, Yah. Bagaimana sifatnya, keadaan ekonominya. Bukannya Mama materialistis, tapi kan Mama inginkan menantu yang bertanggung jawab.”“Menurut Rena sendiri bagaimana?” Pak Radika menoleh pada Renata.“Alim Pa, kalau sama laki-laki biasa aja...akrab, kalau sama perempuan membatasi diri, bicara seperlunya. Karirnya lumayan bagus, sudah jadi supervisor, Mas Riko yang seangkatan masuk kerjanya sekarang jadi stafnya. Keluarganya ada di Semarang sini.”“Katakan pada Arka, sebelum pertemuan dua keluarga besar Papa ingin bertemu dengannya,” perintah Pak Radika.  Bab 19. Mulai Mencair “Katakan pada Arka, sebelum pertemuan dua keluarga besar Papa ingin bertemu dengannya,” perintah Pak Radika.“Papa bisanya kapan?”“Secepatnya saja. Malam ini setelah Isya bisa.”“Nanti Rena sampaikan, Pa.”“Ya, sudah, jam berapa ini nanti pada terlambat kerja.” Bu Ajeng menengahi pembicaraan suami dan anaknya.“Iya, Ma...Pa, Rena sudah selesai kok sarapannya.”“Iya, Ren, hati-hati ya, Nduk.” Bu Ajeng mencium kening Renata yang mendekat kepada Papa Mamanya.***“Assalamualaikum, Mas Arka.” Memberanikan diri Renata menghubungi Arka terlebih dahulu, permintaan Pak Radika harus ia sampaikan. Renata sudah sampai di kantor dan ruangannya masih sepi, baru ada Lintang yang saat ini pamit ke toilet.“Waalaikum salam, sudah sampai kantor, Ren?” balas Arka“Sudah, Mas. Mas Arka masih di rumah? Tadi Rena sudah bicara sama Papa Mama.” Renata melirik jam di dinding, masih ada waktu lima belas menit sebelum jam masuk kantor.“Oh ya? Terus bagaimana jawaban beliau berdua? Mas baru aja sampai di ruangan.” Arka meletakkan tas kerja di meja, sejak dulu Arka terbiasa masuk pagi-pagi, bahkan di saat anak buahnya belum ada yang datang.“Mmmm...kata Papa sebelum pertemuan dua keluarga besar Papa ingin bertemu Mas Arka dulu. Bisa, Mas?”“Boleh...Papamu bisanya kapan, Ren?”“Kata Papa secepatnya, Mas. Malam saja, selepas Isya.”“Besok bagaimana? Kebetulan Mas malam ini ada keperluan.”“Nanti Rena tanyakan dulu, ya, Mas. Sepertinya sih bisa.”“Kabari Mas lagi, Ren. Sudah dulu ya, Ren. Selamat bekerja.”“Iya, Mas, harus fokus ini, supaya deadline enggak terlambat. Kalau terlambat nanti dimarahi lagi seperti dulu,” goda Renata pada Arka, mengingatkan peristiwa ketika Arka memarahi Renata di depan anak buahnya.“Eh, sudah berani godain gitu, ya. Awas aja nanti ada balasannya,” balas  Arka disambut kekehan Renata. Panggilan berakhir, Renata mengusap dadanya dengan senyum lebar. Perlahan-lahan kekakuan di antara mereka mencair. Lintang yang baru masuk ruangan memicingkan mata melihat Renata tersenyum dengan tangan masih menggenggam ponsel.“Habis telepon siapa, Ren? Ceria amat,” tanya Lintang penuh curiga.“Mau tahu...atau mau tahu banget?” “Ih, gitu, ya, sudah berani main rahasia sama aku.” Lintang duduk dengan bibir cemberut, Renata terbahak-bahak melihatnya.***Hari ini Renata pulang agak malam, ada pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga dia harus lembur. Sampai di rumah Pak Radika dan Bu Ajeng sedang menikmati makan malam.“Sampai jam segini, Ren. Tadi Mama sudah ngomong sama Papa kalau Rena lembur, jadi Mama ngajak makan Papa duluan. Rena mau makan sekarang atau mandi dulu?” sapa Bu Ajeng sembari menyerahkan secangkir teh hangat. “Rena belum begitu lapar, Ma. Tadi banyak cemilan di kantor. Rena mandi dulu aja habis itu makan malam, ya.” Rena menerima teh dan meneguknya hingga tandas, teh buatan Bu Ajeng memang beda, selalu jadi idola Pak Radika dan Renata.“Gimana dengan Arka, Ren?” tanya Pak Radika. “Pa, kalau malam ini Mas Arka enggak bisa? Besok bagaimana? Mas Arka ingin ke rumah,” tanya Renata menatap Pak Radika.“Oh, besok malam? Boleh, Papa tunggu.”   Bab 20. Tamu Yang Diundang Azan Isya berkumandang, Renata menjalankan salat Isya berjamaah berdua dengan Bu Ajeng, Pak Radika sudah sedari tadi pergi ke masjid. Menjelang kedatangan Arka hati Renata semakin berdebar-debar.“Assalamualaikum,” sapa Pak Radika dari ruang tamu.“Waalaikum salam,” jawab Renata dan Bu Ajeng bersamaan. Mereka sedang menyiapkan makan malam. Renata memicingkan mata, tampaknya Pak Radika sedang berbincang dengan seseorang di ruang tamu.“Papa sama siapa ya, Ren?” tanya Bu Ajeng.“Kurang tahu, Ma. Ada tamu mungkin, ya.”“Mama lihat dulu, ya, Ren. Nanti Mama buatkan minum untuk tamunya, Rena beresin piring-piringnya, ya.” Bu Ajeng bergegas menuju ruang tamu. Tidak berapa lama keriuhan semakin terdengar dari ruang tamu. Renata yang merasa bosan menunggu duduk di kursi makan dan bermain ponsel.“Ren, sudah siap makannya? Piring sama gelasnya nambah, Arka makan sama kita,” celoteh Bu Ajeng yang tiba-tiba sudah kembali ke ruang makan, di belakangnya ada Pak Radika dan Arka. Renata terkesiap, ponsel di tangannya nyaris terjatuh, Arka tersenyum tipis memandangnya.“Ada yang gugup, Ma. Tadi Papa ketemu Arka di Masjid waktu salat Isya, Arka menyapa duluan, padahal kita kan enggak pernah ketemu, ya. Ternyata tahu wajah Papa dari profil WA nya Renata. Nanti kalau sudah menikah profil WA masih Papa Mama atau berdua suami, Ren?” goda Pak Radika.“Papa, apaan sih,” wajah Renata bersemu merah.“Silahkan duduk, Arka. Makan seadanya, ya. Ini masakan Tante semua, Renata bisa masak, kok, hobi malahan. Cuma kalau pas hari kerja ya jarang-jarang ke dapur.” Bu Ajeng menarik kursi untuk Arka.“Terima kasih Tante, saya sukanya makan masakan rumahan kok.”Renata bergegas ke dapur kembali untuk mengambil peralatan makan, malam ini terasa lebih ramai. Arka yang pendiam dan jarang berbicara bisa menarik perhatian Bu Ajeng dan Pak Radika. Mereka membicarakan banyak hal, pekerjaan, keluarga Renata dan Arka, bahkan hal-hal tetek bengek lainnya. Suasana menjadi lebih hangat dan menyenangkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan