
Renata, gadis cantik yang sedang mecari cinta sejatinya. Banyak pria mendekat tetapi hatinya tertambat pada satu lelaki yang mengacuhkannya. Ajakan mendadak menikah diterima Renata tiba-tiba. Keputusannya hanya ada pada Renata
Asmara Renata (Bab 1 sampai 10)
Bab 1. Suasana Baru
Hari pertama Shera Tama Renata bekerja, semuanya harus tampak sempurna. Sambil melihat di cermin Rena memperhatikan lagi penampilannya, tunik berwarna dusty pink, pasmina berwarna senada, celana model pensil putih yang tidak terlalu ketat, disempurnakan dengan kalung etnik. Sepatu hak warna hitam mengkilat dan tote bag akan melengkapi penampilannya. Riasan minimalis menambah kecantikan alami Rena, gadis yang beberapa bulan yang lalu baru saja melepas masa kuliahnya dan saat ini menjadi karyawati di sebuah perusahaan swasta.
“Duh, cantik banget anak Mama. Jadi terlihat dewasa ini Ren,” puji Bu Ajeng, ketika bertemu di ruang makan. Setiap pagi sarapan bersama menjadi ritual mereka bertiga, Rena yang merupakan anak tunggal Bu Ajeng Maulida dan pak Radika Prayoga.
“Iya dong, Ma. Sudah bukan mahasiswi lagi sekarang,” goda Pak Radika sambil menarik kursi, duduk di sebelah Rena.
“Pa, ada yang kurang nggak?” Rena memutar duduknya menghadap Pak Radika, memaksa sang papa menilai penampilan dirinya.
“Sempurna, cantik. Nanti berangkat sendiri atau diantar jemput Pak Mardi?” tanya Pak Radika, Pak Mardi adalah supir keluarga mereka.
“Bingung, Yah. Enaknya bagaimana, ya? Rena kan karyawan baru, kalau bawa mobil sendiri enggak enak," tanya Rena sambil mulai menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri.
“Sepertinya lebih baik diantar jemput saja, nanti ngomong dengan Pak Mardi jam berapa jemputnya,” usul Pak Radika.
“Ya sudah, sarapan dulu, hari pertama kerja nggak boleh terlambat kan.” Bu Ajeng menyela lalu memberikan piring berisi makanan kepada Pak Radika. Merekapun sarapan bersama-sama sebelum memulai aktiftas masing-masing. Pak Radika dan Rena yang akan berangkat bekerja dan Bu Ajeng yang merupakan ibu rumah tangga.
***
Dan di sinilah sekarang Rena berada, di depan sebuah gedung perusahaan properti. Melangkahkan kakinya dan membaca doa Rena memasuki area gedung tanpa ragu, berharap diberi kelancaran untuk hari pertamanya bekerja.
“Karyawan baru, Mbak?” sapa seorang pria.
Rena mengangguk, “Iya, Mas.”
“Siapa namanya?”, tanya lelaki dengan ramah, mengangsurkan tangannya.
“Rena, Mas siapa? Di divisi apa?” Rena menjabat tangan lelaki itu.
“Riko, Manajemen Proyek. Rena diterima dimana?” Mereka berjalan beriringan memasuki kantor.
“Keuangan, Mas.” Dalam hati Rena bersyukur bertemu dengan senior yang baik, setidaknya Rena merasa diterima di perusahaan ini.
“Ohh, nanti aku antarkan ke tempat karyawan baru. Sepertinya ada beberapa temanmu,” tawar Riko sambil tersenyum.
Mereka memasuki kantor, disambut dengan senyum dan sapaan ramah Customer Service yang tampaknya sedang bersiap-siap. Riko mengantarkan Rena ke sebuah ruangan lumayan besar, ada beberapa orang yang sepertinya karyawan baru sedang menunggu.
“Ren, aku tinggal dulu ya, absensi. Tapi boleh dong minta nomormu? Nanti aku miscall ya, kalau ada apa-apa atau mungkin perlu sesuatu boleh deh Rena hubungi aku,” pinta Riko.
Mereka lalu bertukar nomor. Setelah berpamitan Riko meninggalkan Rena. Rena melangkahkan kakinya mendekati teman-teman barunya, semoga hari ini berjalan lancar.
Bab 2. Pertemuan Pertama
Di dalam ruangan ada dua puluh karyawan baru seperti Renata, dua belas wanita dan sisanya pria. Renata bergabung dengan beberapa wanita yang berkumpul, tersenyum ramah kepada teman-teman barunya.
“Hai, namaku Rena.” Renata mengangsurkan tangannya.
“Hai Rena, aku Desty, ini Farah, Adiba dan Lintang.” Desty menyambut tangan Renata dan memperkenalkan pada teman-teman di sampingnya. “Nanti kita kenalan sama yang lain”.
“Ada yang di keuangan sama dengan aku?” tanya Renata pada teman-teman barunya.
“Wah, kamu keuangan, Ren? Sama dengan aku dan Adiba, dong.” Lintang antusias menjawab pertanyaan Renata.
“Hai, Renata ya? Ikut kenalan ya, aku Aldo.” Tiba-tiba di sebelah Renata berdiri seorang pemuda yang disambut godaan teman-teman lelakinya.
“Cie, cie ... Aldo, gercep ya, Do,” seru beberapa temannya, Aldo tersenyum manis pada Renata.
“Nggak usah didengerkan mereka, Ren. Nggak bisa lihat orang senang,” cetus Aldo yang disambut toyoran di kepalanya oleh Desty.
“Yang nggak usah didengarkan itu, kamu, Do. Ren ... Aldo emang begini, enggak bisa lihat yang bening-bening seperti kamu.” Desty mengarahkan dagu ke Aldo yang menyugar kepalanya. Renata tertawa melihat kelakuan keduanya.
“Kalian sepertinya sudah akrab sekali, sudah saling kenal sebelumnya?” Renata melihat keakraban diantara Aldo dan Desty.
“Kami dulu sekampus, sama-sama mendaftar lowongan kerja perusahaan ini waktu ada job fair di kampus, Ren.” Desty menoleh pada Aldo yang mengangguk-angguk membenarkan.
“Wah senang dong bisa ketemu lagi di sini.”
“Dia yang senang, Ren. Aku mah ogah, dia lagi ... dia lagi.” Desty bersungut-sungut yang disambut gelak tawa Aldo. Renata, Farah, Adiba dan Lintang tertawa melihat tingkah laku mereka.
“Eh, ada yang datang, tuh.” Farah membuyarkan canda tawa mereka, tampak seorang ibu-ibu dengan blazer abu-abu memasuki ruangan.
“Pagi...teman-teman,”
“Pagi, Bu.” Sahut Renata dan teman-temannya,.
“Saya Sinta, dari HRD. Selamat datang dan bergabung dengan Artha Karya Properti. Senang sekali hari perrtama kerja tidak ada yang terlambat. Saya harap teman-teman dapat memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan.” Bu Sinta menatap seluruh karyawan baru yang berada di ruangan.
“Mari ikut saya ke ruang meeting, nanti di sana akan bertemu dengan manajer HRD.” Bu Sinta melangkahkan kaki ke luar ruangan diikuti para karyawan baru menuju sebuah ruangan di pojok, lebih kecil daripada ruangan sebelumnya. Terdapat satu meja panjang dengan kursi yang mengelilingi. Terdapat dua baris kursi pada masing-masing sisi meja dan ujungnya. Renata duduk berdampingan dengan Desty, Farah, Adiba, dan Lintang.
“Kalian tunggu saja di sini, ya. Pak Saka, manajer HRD kita sedang meeting dengan manajemen.” Bu Sinta merapikan kursi yang akan diduduki Pak Saka. Setelah memastikan semua telah menduduki posisinya dengan rapi lalu Bu Sinta melangkah meninggalkan ruangan.
Renata meletakkan pulpen dan agenda kerja di hadapannya, beberapa teman terlibat percakapan kecil namun tidak terlalu membuat suasana gaduh. Sambil menunggu kedatangan manajer HRD Renata membuka-buka ponsel, ada beberapa pesan dari Bu Ajeng dan Pak Radika yang memberikan semangat kerja di hari pertama. Beberapa berita di grup dari teman kuliah yang sudah mendapatkan kerja seperti dirinya ataupun masih berjuang melamar pekerjaan, ada juga yang berwirausaha.
Lima belas menit berlalu, pintu ruangan terbuka dan terlihat seorang lelaki berusia empat puluhan memasuki ruangan diikuti oleh Bu Sinta yang membawa beberapa berkas.
“Selamat pagi semuanya, saya Saka, Manajer HRD. Selamat bergabung dengan kami di Artha Karya Properti dan memberikan kontribusi terbaik. Selama setahun pertama kalian terhitung sebagai karyawan kontrak yang akan dinilai kinerjanya. Yang kinerjanya bagus berhak mengikuti tes pengangkatan pegawai tetap.” Pak Saka menoleh pada Bu Sinta yang berdiri di sebelahnya, meminta berkas karyawan baru.
“Di sini saya lihat ada beberapa bagian yang terisi. Alhamdulillah semua yang kami butuhkan telah terpenuhi. Jam kantor dari jam delapan sampai dengan jam lima sore. Ishoma antara jam dua belas sampai dengan jam satu siang. Di lantai satu ada mushola, harap menjaga kebersihan mushola kantor demi kenyamanan bersama. Kantin ada di belakang kantor, kadang-kadang ada beberapa karyawan yang membawa bekal dari rumah, terutama yang sudah berkeluarga. Kalau saya ini jomblo lokal, jadi tidak pernah dapat jatah bekal.” Pak Saka memasang wajah sedih yang diikuti gelak tawa di seluruh ruangan. “Ada pertanyaan yang masih mengganjal?” Pak Saka mengedarkan pandangan.
“Saya, Pak.” Aldo mengangkat tangan kanannya.
“Iya, silahkan. Sebutkan namanya!”
“Boleh tidak, Pak, menikahi teman sekantor?” tanya Aldo diiikuti senyuman teman-temannya.
“Baik saya tegaskan ya bahwa dilarang menikah teman sekantor ... kebanyakan kalau sekantor, cukup seorang teman saja,” ujar Pak Saka yang kali ini disambut dengan gelak tawa satu ruangan, suasana menjadi sedikit gaduh.
“Ada pertanyaan lagi?” Pak Saka mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Suasana perlahan kembali tenang.
“Baik karena tidak ada pertanyaan lagi saya serahkan kembali kepada Bu Sinta. Sebelum kalian ke kursi kerja masing-masing sepertinya Bu Sinta akan membagikan name tag.” Pak Saka menoleh pada Bu Sinta yang mengangguk membenarkan.
“Oke, terima kasih atas waktu dan perhatiannya, saya akan kembali ke ruangan. Selamat bekerja dan berkarya di sini.” Pak Saka mengembalikan berkas di tangannya kepada Bu Sinta dan beranjak meninggalkan ruangan.
“Teman-teman, sebelum ke meja kerja kalian saya bagikan dulu name tag masing-masing. Langsung dipasang ya.” Bu Sinta menyerahkan name tag di tangannya dan dibagikan kepada seluruh karyawan baru.
Dengan diantar Bu Sinta dan beberapa rekan kerjanya merekapun akhirnya menempati meja kerja masing-masing. Ruang kerja Renata terdiri dari empat orang staf dan satu supervisor. Meja kerja Renata bersebelahan dengan Lintang dan berhadapan dengan Adiba. Dari informasi Bu Sinta satu orang karyawan sebelumnya mengundurkan diri karena hamil dan kehamilannya bermasalah, sedangkan satu orang lainnya dipromosikan keluar kota.
Supervisor mereka bernama Bu Andin, masih cukup muda, sekitar 35 tahun. Teman satu ruangan lainnya adalah Lita, sangat ramah dan menyambut mereka dengan antusias.
“Wah, akhirnya saya punya teman Bu Andin,” celetuk Lita.
“Senang ya, Lit. Kita nggak duet maut lagi,” cetus Bu Andin disambut senyum anak buahnya.
“Guys, setelah ini saya ada keperluan di luar kantor dengan Pak Manajer. Rena, Lintang dan Adiba kalian pelajari dulu berkas-berkas yang ada, akrabkan diri dulu dengan apa yang ada di laptop kalian. Jika ada pertanyaan diskusikan dengan Lita. Lita tolong dibantu teman-temannya, ya.” Bu Andini menoleh pada Lita yang disambut dengan anggukan.
Renata dan teman-temannya menyibukkan diri di meja masing-masing hingga waktu istirahat tiba. Mereka memutuskan salat terlebih dahulu karena bunyi adzan telah terdengar.
“Kalian bawa mukena?” tanya Lita.
“Aku bawa, Lintang...Adiba, kalian bawa juga, kan?” tanya Renata disambut anggukan Lintang dan Adiba.
Mereka menuju lantai satu, setelah berwudhu dan akan memasuki mushola seseorang memanggil Renata dengan antusias. “Ren, ketemu lagi.”
Renata menoleh, terlihat Riko di belakangnya tersenyum hangat. Di sebelahnya seorang lelaki berwajah datar tanpa ekspresi, tampak tetesan sisa air wudhu di keningnya. Renata membalas senyum Riko dan mencoba bersikap ramah pada temannya, tersenyum simpul. Namun lelaki itu berlalu dari mereka tanpa merubah ekspresinya, menyisakan kekesalan di hati Renata.
Bab 3. Para Pengagum
Kesal masih dirasakan Renata sepeninggal lelaki itu, Riko yang melihat raut wajah Renata tertawa kecil, “Enggak usah dipikirkan Arka, Ren, dia memang seperti itu orangnya. Kalau sama perempuan dingin, kaku. Yuk masuk, mau salat, kan? Sepertinya baru mau dimulai,” ajak Riko. Renata ikut melangkahkan kakinya ke jamaah wanita, di sana tampak Lita, Lintang dan Adiba sedang bersiap-siap salat. Bergegas Renata mendekati mereka yang telah menyiapkan tempat di samping Lita.
Setelah salat Dzuhur di musala kantor mereka menuju kantin untuk makan siang. Lita membawa bekal dari rumah dan memesan minum di kantin, Renata memesan gado-gado – makanan kesukaannya.
“Wah, tahu aja kamu Ren kalau gado-gado di sini top, sudah pernah makan sebelumnya di sini?” tanya Lita melihat pesanan Renata.
“Enggak, Mbak Lita. Ini barusan mau nyoba. Mmmm .... iya beneran enak, bumbu kacangnya pas.” Renata mencecap sesendok gado-gado ke suapannya. Tampak Lintang dan Adiba mendatangi meja mereka dengan membawa pesanan makanan dan minuman.
Mereka menikmati makanan dengan lahap, sesekali mengobrol dan bercanda. Lita telah dua tahun bekerja di Artha Karya Property dan menjadi pegawai tetap. Rencananya akhir tahun Lita akan melepas masa lajang.
“Wahhh, boleh dong nanti kita-kita jadi bridesmaid, Mbak,” cetus Adiba yang disambut senyuman teman-temannya.
“Bisa...bisa nanti dipertimbangkan,” Lita mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan. Pandangannya tertuju pada seseorang di belakang Adiba. “Ada apa, Ko? Data yang kamu minta sudah kuemail, kan?” tanya Lita, Renata yang sedang menunduk menikmati makanan di samping Lita mengangkat kepalanya melihat siapa yang mendatangi mereka.
“Jam istirahat enggak usah ngomongin kerjaan, Bu.” Jawab Riko sambil melirik Renata yang menjadi salah tingkah.
“Pantesan cantik, doyan sayur ternyata rahasianya. Ren, pulang nanti bareng, yuk. Aku anter.” Riko berdiri di sebelah Renata, menoleh pada Lintang dan Adiba yang tersenyum hormat padanya.
“Terima kasih, Mas. Tapi Rena sudah dijemput,” tolak Renata halus.
“Gercep banget, Ko. Baru juga sehari Rena kerja sudah nyosor aja, rayuan pulau kelapa bertebaran, mentang-mentang baru putus. Cepat banget move on nya,” sindir Lita.
“Oh harus itu Lit, harus cepat move on supaya enggak jalan di tempat.” Riko terkekeh sambil mencomot kerupuk di piring Renata. “Next time ya, Ren. Kalau yang jemput berhalangan Mas Riko siap sedia,” bujuk Riko yang disambut senyuman Renata.
Riko melangkah menjauhi meja Renata dan memesan makanan. Dari sudut matanya Renata melihat seseorang mendekati Riko sambil membawa segelas jus yang tampaknya baru dipesan, Lelaki itu adalah Arka. Diam-diam Renata memperhatikan Arka yang meninggalkan Riko menuju meja di pojokan, tampak ada sekotak bekal makanan di atas meja itu. Sesekali Arka bertegur sapa dengan beberapa karyawan lelaki yang melintas. Terlihat wajahnya ramah, tidak dingin seperti saat bertemu dengannya.
“Ren, belum selesai, perlu bantuan, nih?” tegur Adiba membuyarkan lamunan.
“Iya, nih. Yuk bantuin, porsinya porsi jumbo, tapi enak kok, beneran.” Renata menyorongkan piringnya pada Adiba yang menyambut dengan antusias.
“Riko itu buaya darat, Ren.” Lita membersihkan mulutnya dengan tisu setelah mengakhiri makan siang. “Cepet banget gonta-ganti pacar, cakep sih emang, gampang buat perempuan klepek-klepek. Nah dia dekat dengan Arka, mereka dekat karena dari awal bareng-bareng diterima di sini di bagian yang sama. Tapi karirnya Arka cepat, setengah tahun yang lalu jadi supervisor. Jadi secara posisi Arka atasan Riko, tapi mereka masih sahabatan seperti biasa. Nah kalau Arka ini beda banget, sama-sama cakep tapi kalau yang ini versi kulkas berjalan. Kalau sama cowok sih biasa-biasa aja ya, tapi sama cewek ampunnnn dah dinginnya. Kadang ketus gitu. Tuh mereka lagi makan bareng. Arka selalu bawa bekal seperti aku, belum nikah sih. Sepertinya bekal dari mamanya,” dengan dagunya Lita menunjuk meja dimana Arka dan Riko makan.
“Anak mama ya, Mbak,” cetus Adiba yang disambut tawa kecil teman-temannya.
“Anak mama yang galak,” imbuh Lita. “Yuk, ke ruangan. Sudah pada selesai kan makannya,” ajak Lita. Merekapun membereskan sisa makanan dan meja mereka, lalu beranjak kembali ke ruangan.
***
Jam kerja telah selesai, Renata merapikan berkas-berkas di meja, mematikan laptop, memasukkan peralatan pribadi di tote bagnya. Bu Andini belum kembali dari luar kantor, tampaknya pekerjaan di luar belum selesai. Lintang, Adiba dan Lita juga telah selesai berkemas-kemas.
“Yuk, absensi pulang, dulu,” ajak Lita beranjak keluar ruangan menuju tempat absensi, diikuti teman-temannya. Beberapa karyawan juga sudah mulai meninggalkan meja kerja, hanya ada beberapa yang tertinggal karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Lita dan Adiba menuju parkir karena membawa kendaraan sendiri, Lintang dan Renata duduk di depan kantor, di samping pos satpam terdapat kursi panjang yang tampaknya sering dipergunakan karyawan saat menunggu jemputan. Tidak berapa lama kekasih Lintang datang menjemput, tinggal Renata sendiri yang menunggu jemputan Pak Mardi.
“Ren, nunggu siapa? Nanti kesorean. Aku antar, yuk.” Aldo melintas dengan motor gede.
“Dijemput, kok, Do. Terima kasih. Ini sudah di perjalanan, bentar lagi juga sampai,” tolak Renata.
“Ya sudah kalau gitu aku temenin, deh.” Aldo mematikan mesin motor, melepas helm lalu duduk di sebelah Renata. Renata menghela napas panjang, pasrah dengan kelakuan Aldo.
Bab 4. Lelaki Itu
Tidak terasa sudah sebulan Renata bekerja, kemarin adalah hari pertama dia menerima gaji. Hari ini libur dan dia ingin menghabiskan hari dengan Bu Ajeng, Rena ingin membelikan sesuatu yang spesial dari gaji pertamanya. Rena dan Bu Ajeng pergi berdua ke Mall, sementara Pak Radika tidak ikut serta karena bermain golf dengan teman-temannya.
“Ren, mau beli apa sih, ke toko emas segala?” tanya Bu Ajeng.
“Rena ingin belikan cincin buat Mama dari gaji pertama Rena, jangan dilihat dari nominalnya ya, Ma. Rena ingin jadi kenang-kenangan buat Mama,” pinta Renata sambil menggandeng Bu Ajeng ke etalase, mengajaknya memilih-milih cincin. Hati Bu Ajeng sangat terharu, bisa saja dengan uang yang dimiliki ia membeli cincin berbagai ukuran dan model, bahkan cincin berlian. Namun karena ingin menyenangkan hati Renata maka Bu Ajengpun memilih cincin dengan model yang sesuai seleranya dan dengan harga yang dirasakan tidak terlalu memberatkan Renata dengan gaji pertamanya.
“Yang ini bagus enggak, Ren?” tanya Bu Ajeng yang sedang mencoba sebuah cincin di jarinya, sebuah cincin emas rose gold yang sangat elegan, pas di jari manisnya.
“Bagus, Ma. Pas ya di jari Mama?” tanya Renata disambut anggukan Bu Ajeng.
“Rena bayar dulu ya, Ma.” Renata menerima cincin dari Bu Ajeng dan menyerahkan kepada kasir. Setelah transaksi pembayaran dilakukan lalu Renata menyerahkan cincin itu kepada Bu Ajeng dengan sumringah, bangga bisa membelikan Mamanya cincin dari gaji pertama.
***
“Terima kasih ya, Ren. Cantik sekali, Mama suka, Papa juga pasti suka.” Setelah mendapatkan cincin yang diinginkan mereka menikmati makan siang di restoran masakan Korea.
“Mama jangan godain Rena, Mama pasti bisa beli yang lebih mahal daripada ini. Apalagi Papa, cincin ini enggak ada artinya apa-apa.” Renata tersipu malu.
“Jangan gitu, Ren. Mama suka banget, ini pilihan Mama sendiri loh.” Bu Ajeng mengelus-elus cincin di jarinya. Renata melihatnya dengan perasaan haru.
“Terima kasih, Ma. Rena jadi senang,” ucap Renata lirih.
“Gimana di kantor, Ren? Ada yang bisa dijadikan calon mantu?” goda Bu Ajeng.
“Cowok-cowok pada centil, Ma. Lagian juga Rena kan baru aja kerja.”
“Mama Papa enggak apa-apa loh kalau Rena cepat nikah, atau mau kerja dulu juga enggak apa-apa. Senyamannya Rena aja, asal jangan lupa kodrat Rena sebagai wanita.”
Renata mengunyah makanan di hadapannya perlahan, teringat sesosok laki-laki dingin yang tidak pernah berusaha mendekatinya seperti laki-laki lain di kantor, tapi laki-laki itu yang sering membayangi pikirannya.
Bab 5. Aku Inginkan Dia
Awal bulan banyak pekerjaan yang harus ditangani Renata. Sedari pagi Renata dan teman-temannya tidak beranjak dari meja kerja mereka, canda tawa tidak terlalu banyak dilontarkan, masing-masing sibuk dengan tanggungjawab pekerjaan. Pekerjaan dan deadline membuat divisi mereka harus lembur.
“Ren, ayo istirahat, mau salat dulu atau makan?” tanya Lintang. Renata melirik jam di tangannya, sudah waktunya istirahat dan salat Magrib. Ruangannya telah sepi, teman-teman dan Bu Andini sudah tidak tampak.
“Yuk, aku mau salat dulu aja, kamu gimana, Tang?” Renata mengambil mukena kecil di tasnya lalu melangkah keluar ruangan diiringi Lintang.
“Bareng aja, deh, Ren.”
Berdua Renata dan Lintang melangkah menuju mushola kantor. Tidak terlalu ramai, mungkin masih banyak yang berada di kantin atau keluar sejenak mencari makan malam karena azan baru saja berkumandang. Hanya ada Renata dan Lintang di kamar mandi. Renata berolahraga ringan di kamar mandi, melakukan perenggangan otot yang terasa kaku karena sedari pagi duduk di meja kerja.
“Ren, ikut senam enggak?”
“Dulu belum kerja sih rutin, sekarang malas. Kalau weekend pinginnya istirahat atau main, Tang.”
“Ih, kamu yaaaa...kok sama seperti aku sih.” Mereka pun tergelak bersama.
“Besok Minggu ke CFD, yuk,” ajak Lintang.
“Car Free Day?. Boleh, deh. Ajak teman-teman lain ya biar seru,” jawab Renata.
“Deal, ya. Hari Minggu besok?”
“Sip. Semangat menyongsong body goals, ya,” kelakar Renata, mereka terbahak-bahak berdua.
Setelah menyelesaikan wudhu Renata dan Lintang masuk ke musala. Hanya mereka yang menjadi jamaah wanita. Renata bergegas mengenakan mukena karena iqomah telah dikumandangkan. Tidak berapa lama salat Magrib dimulai, ayat demi ayat dibacakan imam dengan fasih dan irama yang lembut, mendamaikan hati makmum yang mengikuti. Di akhir salat Renata mendoakan bisa mendapatkan suami yang bacaan salatnya seperti imam saat ini, sungguh-sungguh menyejukkan hati.
“Siapa imamnya, ya, Ren? Bacanya bikin adem,” bisik Lintang sembari melipat mukena.
“Adem mana sama ubin musala?” tanya Renata dengan bisikan pula, mereka cekikikan berdua.
“Ren, ngintip bentar, yuk, siapa imamnya, penasaran, aku tuh,” ajak Lintang bersemangat.
“Ogah, kamu aja, Tang.” Renata menggeleng mendengar ajakan Lintang yang cemberut setelahnya.
Selesai melipat mukena mereka bergegas keluar, bertemu dengan Riko dan Arka yang sedang bersantai di teras musala.
“Eh, ketemu Mas imam di sini. Permisi ya, Mas, numpang lewat,” sapa Lintang pada Riko dan Arka.
“Eh, Mbak makmum, tadi yang jadi imam Arka, saya cukup jadi makmum dulu,” jawab Riko sambil melirik Renata. “Lembur juga, Ren?”
“Iya, Mas. Permisi, kami duluan.” Bergegas Renata menarik tangan Lintang meninggalkan Riko dan Arka. Riko terus menatap kepergian Renata sebelum Arka menegurnya dan mengajaknya beranjak.
Bab 6. Menangis Karenanya
Pagi yang cerah setelah semalam diguyur hujan. Renata lebih pagi berangkat hari ini karena Bu Andini memintanya menyelesaikan data yang diminta dari Manajemen Proyek. Seharusnya yang mengerjakan adalah Lita, namun semalam Lita memberitahu kalau hari ini tidak bisa masuk kerja karena gejala typus dan harus istirahat. Bu Andini melimpahkan tanggung jawab pekerjaan Lita kepada Renata.
“Pagi, Mbak Rena. Rajin banget, Mbak. Pertama yang masuk kantor, loh,” sapa Pak Gimin, OB kantor.
“Enggak, ah. Lebih duluan Pak Gimin yang masuk kerja,” jawab Renata disambut gelak tawa keduanya.
“Sudah sarapan, Mbak? Mau Pak Gimin belikan sarapan di depan atau buatkan minuman hangat?” Pak Gimin menawarkan bantuan. Selain bertanggung jawab atas kebersihan ruangan terkadang para karyawan meminta bantuan Pak Gimin membelikan makanan.
“Terima kasih, Pak. Sudah sarapan di rumah, ini juga sudah bawa coklat panas sama makan siang.” Renata mengacungkan kotak bekal yang ada di genggaman tangannya.
Renata masuk ruang kerjanya, masih sepi, ruangan telah bersih dan pendingin udara telah dinyalakan. Dinyalakan laptopnya dan diambil beberapa berkas dari meja Lia sesuai instruksi Bu Andini, setelah mempelajari beberapa saat Renata mulai mengerjakan pekerjaan. Seharusnya jam 9 data yang diminta harus sudah ada di meja Arka, tetapi karena Lia berhalangan Bu Andini mengatakan akan meminta kelonggaran sedikit waktu pada Arka.
“Gercep, Ren. Banyak ya yang masih harus dikerjakan?” sapa Adiba yang baru saja datang dan meletakkan tasnya di meja.
“Lumayan, Dib. Sebenarnya tinggal melanjutkan, cuma karena dari awal bukan aku yang pegang jadi kan harus kupelajari dulu.”
“Sayang aku lagi ada deadline, kalau enggak kan kubantu,” sesal Adiba.
“Enggak apa-apa, Dib. Kebetulan kan juga aku enggak ada deadline hari ini, jadi diminta Bu Sinta meneruskan punya Mbak Lia.”
Tidak berapa lama datanglah Lintang, masing-masing langsung berkutat di mejanya masing-masing.
“Kok Bu Andini belum datang, ya, guys?” tanya Lintang memecah keheningan.
“Iya, sudah jam segini. Coba cek group dulu.” Adiba meraih gawainya dan mengecek grup divisi mereka. “Ohh, Bu Adiba ternyata enggak ke kantor, guys, langsung ke klien sama Pak Bos.”
“Pantas. Ren, data yang diminta Mas Arka belum selesai? Harusnya jam 9, kan? Kemarin Mbak Lia sempat cerita.” Lintang mengingatkan Renata.
“Iya, tapi Bu Andini japri aku katanya mau minta kelonggaran waktu sama Mas Arka. Sudah jam 10, ya. Bentar lagi selesai terus aku cetak bawa ke ruangan Mas Arka.” Renata masih menekuni laptop di hadapannya.
Tidak berapa lama selesai juga pekerjaan Renata, setelah dicetak lalu ditempatkan di map dan mempersiapkan diri ke ruangan Arka.
“Mau antar berkas, Ren? Sudah siap ketemu Mas imam solih?” goda Lintang.
“Ish, kamu ini Tang. Aku tinggal sebentar, ya.” bergegas Renata meninggalkan ruangannya.
Setelah naik satu lantai sampailah Renata di ruangan Arka. Setelah mengetuk pintu dan mendengar sapaan dari dalam Renata membuka pintu, tampak ada lima orang di ruangan itu, ada Riko, Daffa, Fathan dan Yusran, sementara Arka menempati meja yang berbeda dan lebih besar.
“Permisi, Mas. Saya mau menyerahkan data yang diminta, maaf telat.” Renata meletakkan berkas yang dibawa ke meja Arka.
“Lihat sekarang jam berapa? Kemarin saya minta data ini jam 8, kamu nego minta jam 9. Sekarang sudah jam 10.30, berapa jam keterlambatanmu?” Arka menatap tajam, membuat hati Renata menciut.
“Maaf, Mas. Saya hanya menggantikan Mbak Lia.”
“Biarpun menggantikan seharusnya tidak terlambat seperti ini, kamu harus bisa menyelesaikan tepat waktu. Kalau seperti ini pekerjaan saya jadi terhambat.”
“Iya, maaf, Mas.” Sekuat tenaga Renata menahan air matanya, ia tidak ingin menangis saat ini.
“Sudah terlanjur, oke saya maafkan. Lain kali jangan diulangin. Sebagai team work seharusnya kita saling mendukung.” Arka merendahkan intonasi suaranya, kemarahannya mulai mereda.
“Baik, Mas. Saya permisi dulu.” Renata bangkit dari kursinya lalu beranjak meninggalkan ruangan, sekilas dia melihat Riko menatapnya penuh keprihatinan.
Di luar ruangan Renata langsung menuju toilet, air mata sudah tidak tertahan lagi. Dibentak seseorang sungguh bukan hal yang menyenangkan baginya. Dadanya sesak, air mata terus mengalir, hatinya sakit menerima kesalahan yang sepenuhnya bukan dari dirinya.
Bab 7. Dia Yang Berusaha Menenangkan Hati
Bentakan Arka masih terngiang-ngiang di telinganya, banyak tisu yang ia habiskan untuk menghapus air mata. Untunglah toilet sepi tidak ada pengunjung sehingga Renata tidak merasa canggung, setelah puas menuntaskan isak tangis Renata merapikan diri di cermin, dibasuhnya sisa-sisa air mata. Masih tampak sembab, tapi setidaknya wajahnya sudah tidak berantakan lagi.
Perlahan Renata membuka pintu toilet dan terkejut melihat ada Riko berdiri menunggunya.
“Jangan sedih, Ren. Arka tadi agak panik karena dikejar deadline¸ jangan dianggap serius, ya.” Riko menyorongkan sekotak tisu.
“Enggak apa-apa, Mas. Memang aku yang telat menyerahkan tugasku. Mas Riko dari tadi nunggu di sini?”
“Enggak, baru aja ke sini. Kamu lama juga di kamar mandi, Ren. Stok air matanya banyak, ya?” goda Riko.
“Aku emang cengeng, Mas, baper. Kok Mas Riko bisa tahu aku ada di sini?” Renata celingukan melihat sekelilingnya, dia tidak enak kalau ada yang melihatnya berdua-duaan dengan Riko di pojokan seperti ini.
“Tadi aku khawatir sama kamu, waktu keluar dari ruanganku kelihatan banget ada air mata yang siap tumpah. Tapi maaf ya, aku enggak bisa nyusul kamu, enggak enak sama Arka, tadi juga masih nanggung sama kerjaan. Aku WA enggak kamu baca, jadinya aku ruanganmu, kata anak-anak kamu belum kembali. Jadi kupikir kamu pasti ke toilet, enggak mungkin kan sedih trus ke kantin?” Riko mengedipkan air matanya menggoda Renata.
“Mas Riko, ih.” Renata memukul pelan bahu Riko. “Terima kasih ya, Mas. Aku sudah enggak apa-apa, yang penting tadi sudah nangis jadi plong.”
“Bener nih, sudah oke? Memang kalau ingin menangis harus dikeluarkan supaya beban berkurang”
“Iya, Mas. Aku kembali ke ruangan dulu, ya. Enggak enak sama anak-anak.”
“Kalau ada apa-apa kabari aku, Ren.”
“Iya, Mas, terima kasih.” Renata segera berlalu dari hadapan Riko, tidak enak rasanya berlama-lama dengan Riko. Renata tahu kalau sebenarnya Riko memendam rasa padanya, tapi saat ini Renata tidak memiliki perasaan khusus pada Riko.
Bab 8. Jangan Terlalu Berharap
“Ren, kamu dari mana? Tadi Mas Riko ke sini cari kamu,” tanya Adiba sesaat ketika Renata masuk ruangan.
“Eh, iya. Tadi ke toilet sebentar, sudah ketemu Mas Riko, kok. Bu Andini belum datang?”
“Belum, mungkin sore. Atau mungkin enggak ngantor kalau acaranya belum selesai. Are you okay, honey? Mata kamu sembab gitu.” Lintang mendekat ke meja Renata.
“Enggak apa-apa. Aku mau ngerjain tugasku dulu, ya. Sebentar lagi waktu istirahat.” Renata menyibukkan diri dengan berkas-berkas di hadapannya. Adiba mengedipkan mata memberi tanda kepada Lintang untuk memberikan waktu bagi Renata sendirian.
Waktu istirahat tiba, Adiba dan Lintang bergegas membereskan meja dan membawa peralatan salat.
“Salat terus makan siang, yu, Ren,” ajak Lintang.
“Aku absen ya, lagi libur salat, tadi juga dibawakan Mama bekal, aku makan di sini aja, deh. Lagi malas keluar.” Suasana hati Renata belum sepenuhnya membaik, dia masih ingin menyendiri.
“Oke, deh. Mau nitip apa gitu?” tanya Lintang, Renata hanya menggelengkan kepala.
“Kalau mendadak mau nitip kabari aja, ya, Ren!” Adiba mengacungkan ponselnya sembari berjalan ke pintu.
Sembari mengerjakan tugasnya Renata menyantap bekal yang dibawakan Bu Ajeng. Hari ini Renata ingin pulang cepat dan melupakan masalahnya.
***
Waktu pulang telah tiba, Renata bergegas membereskan peralatan kerja dan bersiap-siap pulang. Pak Mardi sudah menunggu karena Renata memintanya menjemput lebih cepat.
“Buru-buru amat, Ren. Ada janji?” tanya Lintang.
“Sudah ditunggu Pak Mardi, tadi kan masuknya pagi-pagi banget, pingin pulang cepat, mau istirahat di rumah. Duluan ya, Tang, Diba.” Renata melambaikan tangan pada keduanya dan bergegas pulang.
Di tempat absensi Renata melihat Riko yang bercanda dengan beberapa teman, langsung melambai melihat kedatangan Renata.
“Ren, aku antar pulang, ya,” pinta Riko.
“Maaf, Mas. Sudah dijemput di luar, ini Renata buru-buru pulang.”
“Ohhh, kapan-kapan bisa dong Ren pulang bareng,” pinta Riko penuh harap. Renata hanya tersenyum kecil dan berlalu, dia tidak ingin memberikan harapan pada Riko.
Bab 9. Bukan Salahku
“Ren, aku antar pulang, ya,” pinta Riko.
“Maaf, Mas. Sudah dijemput di luar, ini Renata buru-buru pulang.”
“Ohhh, kapan-kapan bisa dong Ren pulang bareng,” pinta Riko penuh harap. Renata hanya tersenyum kecil dan berlalu, dia tidak ingin memberikan harapan pada Riko.
Sebelum keluar kantor Renata mampir ke toilet, merapikan make up dan memastikan matanya tidak sembab lagi, ia tidak ingin membuat Bu Ajeng dan Pak Radika bertanya-tanya. Di luar kantor Pak Mardi telah bersiap membukakan pintu untuk Renata. Renata masuk mobil dan memasang seatbealt.
“Langsung pulang, Mbak Rena,” tanya Pak Mardi sembari fokus menyetir.
“Iya, Pak. Pingin istirahat.”
“Siap, Mbak.”
Sepanjang perjalanan Renata memejamkan mata, menikmati musik yang dinyalakan, ia ingin sampai di rumah tanpa memberikan kesan adanya kesedihan.
Di rumah terlihat Bu Ajeng sedang merapikan tanaman anggreknya di halaman, beberapa sudah ada yang berbunga, cantik sekali.
“Assalamualaikum, Ma,” sapa Renata mendekat dan mencium tangan Bu Ajeng.
“Sudah beres kerjaan tadi pagi, Ren?” tanya Bu Ajeng.
“Sudah, Ma. Untung tadi berangkat lebih pagi jadi bisa selesai. Rena ke kamar dulu ya, Ma. Capek, mau beres-beres.”
“Tadi Mama buat puding buah, Ren. Segar tuh buat cemilan sore.”
“Iya, Ma. Nanti Renata makan, pasti enak buatan Mama.” Renata mengacungkan jempol dan berlalu ke kamarnya.
Di kamar Renata bergegas mandi dan berganti baju, dibaringkan tubuhnya di sofa sembari memencet remote TV. Tubuh dan hatinya sangat lelah, ingin beristirahat.
***
“Pagi, anak-anak. Apa kabar hari ini?” sapa Bu Andini ketika memasuki ruangan kerja.
“Pagi, Bu. Mbak Lia masih belum masuk,” jawab Renata.
“Oh, iya, biarin dulu lah Lia biar benar-benar fit baru masuk. Gimana Ren kemarin? Sudah diberikan data yang diminta Arka?” tanya Bu Andini.
“Sudah Bu, tapi Mas Arka agak marah karena saya memberikannya lebih dari jam sembilan,” lirih Renata mengingat kejadian kemarin
“Ya, ampun. Saya kemarin hectic banget sampai lupa minta toleransi waktu ke Arka. Arka marah sama kamu, Ren? Maaf ya saya benar-benar lupa.” Wajah Bu Andini menyiratkan penyesalan.
“Iya, bu, enggak apa-apa.”
“Saya hubungi Arka dulu deh, tapi jam-jam segini dia biasanya ada meeting pagi, saya WA saja.” Bu Andini memencet-mencet ponsel mengirimkan pesan pada Arka. Renata terduduk lega, ternyata kejadian kemarin sepenuhnya bukan kesalahannya.
Bab 10. Ajakan Makan Siang
Suasana hening terasa di dalam ruangan, masing-masing sibuk dengan laptop dan berkas. Merasa jenuh Renata sejenak menghentikan aktifitasnya dan mengecek chat WA.
“Ren, nanti siang makan bareng, yuk. Ada kesalahpahaman ini sepertinya, Arka baru dikabari Bu Andini. Dia memintaku menemaninya minta maaf padamu.” Rena membaca WA dari Riko.
“Alhamdulillah kalau sudah paham, Mas. Sampaikan ke Mas Arka enggak masalah, aku sudah memaafkannya, kok,” balas Renata.
“Minta waktumu sebentar aja dong, Ren. Arka tampaknya merasa bersalah banget. Kemarin dia memarahimu seperti itu di hadapan kami, tim kerjanya.”
“Mmmm, boleh deh. Nanti siang ya, Mas? Kita bertiga?”
“Iya, di Kafe Specta seberang kantor ya, Ren. Arka bawa mobil, nanti kita bertiga kesana barengan, ya.”
“Aku ajak teman aja, Mas Riko. Nanti kita ketemuan di sana aja pas jam makan siang bisa?”
“Ohhh, gitu. Ya sudah ketemu di Kafe Specta. Sampai ketemu nanti, Ren.” Riko menutup chat mereka. Renata mengetukkan jarinya di meja, berfikir siapakah yang akan diajaknya ke Kafe Specta.
Melihat Lintang berpamitan akan ke toilet membuat Renata langsung mengikutinya. “Tang, bareng, ya,” pinta Renata.
“Eh, kebelet juga, Ren,” tanya Lintang. Renata mengangguk dan menggandeng tangan Lintang ke toilet. Sesampainya di toilet Renata celingukan memastikan hanya ada mereka berdua.
“Ren, kamu kenapa, sih?” Lintang heran melihat tingkah laku Renata.
“Tang, nanti siang temani aku ke Kafe Specta, ya, please.” Renata menangkupkan kedua tangannya memohon pada Lintang.
“Eh, tumben. Ada yang nraktir gitu?” Raut muka Lintang berubah sumringah.
“Ingat enggak, Tang, kemarin mataku sembab setelah dari ruangan Mas Arka.”
“Iya, ditanyain kamu diam aja, Ren. Ada apa, sih? Kepo nih.”
“Kemarin kan aku telat mengumpulkan data yang diminta Mas Arka, dia marah banget sama aku. Di hadapan timnya aku dimarahi, gimana aku enggak nangis, Tang. Aku kan cuma melanjutkan tugas Mbak Lita dan sejujurnya itu perlu waktu karena enggak kupegang dari awal. Eh ternyata baru tahu pagi ini kalau Bu Andini lupa kasih kabar Mas Arka kalau pengerjaannya bakalan telat.”
“What? Jadi karena Bu Andini?” Lintang membelalakkan matanya.
“Ssttt, jangan kencang-kencang, Non.” Renata menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. “Kemarin sepertinya Bu Andini juga hectic deh, makanya lupa gitu. Udah enggak usah dipermasalahkan salahnya dimana, yang penting kan semuanya sudah jelas.”
“Trus hubungannya sama ke Kafe Specta apaan?”
“Kata Mas Riko sih Mas Arka mau minta maaf, kamu temani aku, ya. Kita nanti langsung ke sana aja, Mas Riko dan Mas Arka biar nunggu di sana aja.”
“Siap, enggak bakal nolak deh kalau yang ngajak makan babang ganteng, siapa tahu berkelanjutan ke kencan-kencan selanjutnya.” Lintang memejamkan mata dan menangkupkan kedua tangannya di dada, Renata menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan absurb temannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
