
Awal obsesi Felix mulai muncul
Dor!
Tembakan demi tembakan mengisi langit malam di Cali—Kolombia, atas sabotase pengiriman narkoba dan senjata. Mereka saling mengadu kekuatan untuk menunjukkan siapa yang berhak atas barang yang sudah ada di dalam peti kemas.
Dua belah pihak saling menyerang dengan pasukan terbaik, tanpa peduli akan adanya nyawa melayang dalam insiden ini. Mereka hanya menginginkan barang jutaan dollar itu dan saling menyingkirkan, juga membalas luka tembakan.
“Bunuh mereka!” perintahnya.
Pria bernama Felix Roberto yang berusia 28 tahun, menjadi pemimpin setelah ayahnya Mike Roberto menyerahkan segala kekuasaan kepadanya. Bergelut di dalam dunia hitam sejak usianya menginjak 18 tahun, Felix menjadi pria yang tumbuh dengan pribadi mengerikan. Namun, dia juga di gilai banyak wanita yang rela melemparkan tubuh dengan cuma-cuma ke ranjangnya.
Para wanita akan selalu berlomba-lomba memenangkan hati Felix agar mau menjadikan salah satu wanita itu pendampingnya. Siapa yang tak mau menjadi wanita Felix—pria berkuasa dalam segala bidang.
“Tuan, arah jam 3,” kata asisten—Vito Fernand.
Dor!
Felix menembaki musuhnya secara langsung, karna hari ini ia ikut dalam pengawasan transaksi. Bila biasanya Felix cuma duduk tenang di mansion sambil mengawasi lewat layar tablet, maka berbeda dengan hari ini kala musuh datang saat ia sedang marah.
“Sekarang Vito!” tegas Felix membuat asistennya itu segera melemparkan granat ke arah kumpulan musuh. “Pastikan tikus itu tak merangkak pergi selain menuju kematian.”
“Baik Tuan,” ucap serempak anggota terlatihnya.
Bom!
Ledakan besar dari lemparan granat itu membuat musuh langsung tewas dengan keadaan hancur. Tapi dimata Felix itu sama sekali tidak berarti dan hanya permulaan saja dari salah satu keinginannya. Dia memang sangat haus darah bila sudah terjun ke medang perang.
Penampilan Felix semakin menyeramkan saat kemejanya sudah terciprat darah musuh yang dihabisinya. Banyak nyawa yang sudah Felix kirim ke neraka, sampai terkadang tak ada kelompok berani menyinggungnya. Tapi hari ini, pihak berbeda mengusik ketenangannya sampai ia menunjukkan jati diri yang sebenarnya.
Begitu lama perlawanan dilakukan hingga kemenangan menjadi milik Felix sepenuhnya, dan barang-barang itu tidak sampai di sabotase. Felix menyalakan sebatang rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara, kedua matanya menatap lurus pada anggota yang kini membakar semua jasad musuh.
“Kembali ke Medellin," katanya setelah puas menatap kobaran api membumbung tinggi. “Sediakan gudang baru disini.”
“Baik Tuan.”
Felix beserta seluruh anggotanya, meninggalkan kota Cali—Kolombia yang menjadi pusat kedua pengiriman narkoba. Kembali cepat ke Medellin ia lakukan karna sang ibu terus menghubunginya meminta untuk segera pulang tanpa banyak alasan.
Dalam perjalanan menuju ke landasan, mobil yang dikendarai Vito menabrak seseorang hingga ia pun menginjak rem dengab mendadak. Felix yang sempat memejamkan mata kini menatap kecerobohan Vito dari kaca spion belakang.
“Saya akan melihatnya lebih dulu, Tuan.”
Vito cepat turun, dan ia terkejut melihat wanita yang terluka berada tepat di depan mobil. Namun seperti memiliki luka lain, sebelum terjadi insiden dengannya. Ia pun berjongkok dan mengecek napas di hidung, tapi tangannya segera di pegang sampai ia mulai mendengar rintihan lemah.
“Tolong aku, Tuan. To-long selamatkan aku dari mereka. Bawa aku pergi sejauh mungkin…ku mohon.”
Vito mengamati sekilas pakaian wanita itu yang seperti di robek paksa bahkan wajahnya sedikit memar, dan sudut bibirnya berdarah. Mengetuk pintu kaca belakang, Vito memberitahukan hal itu pada Felix yang kemudian melirik sekilas.
“Bawa dia masuk!”
Vito membawa wanita itu dan mendudukkannya di kursi belakang bersama Felix yang sama sekali tak membuka suara. Namun wanita itu berulang kali mengucapkan rasa terimakasih sudah berbaik hati untuk membawanya sedikit menjauh dari pengejaran seseorang.
“Saya akan membalas bantuan anda suatu hari nanti,” katanya terdengar lembut juga lemah tak berdaya. “Bisakah saya tahu nama anda?”
Tak ada jawaban sama sekali membuatnya terkaku dengan suasana dingin namun juga mencekik baginya. Sedikit melirik, ia mengamati wajah tampan Felix yang terdapat percikan darah namun itu tak membuatnya takut. Tapi dia segera menelan saliva saat Felix membalas tatapannya yang sekilas dengan rasa penuh penasaran.
Sheren Davis—wanita yang hampir saja mendapat pelecehan itu kini tak tahu harus meminta diberhentikan dimana, saat orang yang menginginkannya menyebar seluruh anak buah terbaiknya. Sebenarnya ia sangatlah cantik di usia yang menginjak 20 tahun, bahkan aroma tubuhnya sempat menggelitik indera penciuman Felix.
Mobil berhenti, dan itu membuat Sheren ketakutan untuk turun. Felix serta Vito keluar dan ia akhirnya turut mengikuti para pria itu sampai matanya mengamati sekitar. Banyak para pengawal menunduk hormat menyambut Felix yang berjalan santai menuju pesawat pribadinya.
“Tu-tunggu…” teriak Sheren namun segera dihalangi anggota lain. “Bisakah aku ikut denganmu, Tuan? Mereka pasti akan menemukan ku lagi disini jika…”
“Pergilah dan jangan mengganggu. Tuanku sangat sibuk untuk mengurusimu,” potong salah satu anggota.
“Tapi aku…”
“Biarkan dia!”
Satu perintah itu akan membuat Sheren akhirnya terlibat dalam kegilaan Felix suatu hari nanti saat keduanya kembali bertemu dalam situasi berbeda. Sheren berpisah dengan Felix sejak menginjakkan kaki di Medellin tanpa tahu mau kemana dan ia pun memohon pekerjaan di salah satu toko bunga.
***
Sudah satu minggu sejak kejadian, Sheren bekerja dengan baik sampai sepasang suami-istri paruh baya menjadikannya seorang anak. Mereka tak memiliki keturunan, dan merasa kasihan ketika Sheren menceritakan kepiluan hidupnya yang di jual oleh sang paman pada salah satu mucikari rumah bordil.
Malam ini sesudah mengantar pesanan ke salah satu rumah, Sheren dikejutkan oleh seorang pria yang tergeletak lemah dengan luka di perutnya. Ia pun lantas segera membantu tanpa berpikir jika saja itu penjahat yang mungkin malah menyakitinya.
“Astaga…Tuan, kau masih bisa mendengarku?” tanya Sheren meringis melihat darah membasahi kemeja berwarna putih. “Tuan…”
Sheren menepuk pelan wajah itu, sampai ia mendapat tatapan dingin dari sepasang iris tajam begitu menenggelamkan. Pria itu meringis sehingga Sheren tanpa basa-basi merobek rok bagian bawah untuk membelitkan pada area terluka. Ia dengan cekatan membantu menekannya agar darah yang keluar tak semakin banyak.
“Ayo, aku bantu…”
Sheren memapah pria itu dengan sedikit kesulitan karna terasa begitu berat. Dia membawanya ke rumah, disaat orang tua angkatnya sedang pergi ke kota lain untuk mengunjungi makam seseorang. Sheren mendudukkannya di sofa, dan ia segera mencari kotak obat agar lukanya tak terjadi infeksi lebih dalam.
“Maaf, tapi aku harus membukanya,” lirih Sheren ragu-ragu ketika jarinya mulai membuka satu persatu kancing kemeja. “Ya Tuhan, ini…”
Luka tusukan itu mengejutkan Sheren, dan ia sampai meringis saat membersihkannya dengan cairan. Begitu pelan Sheren menekannya dan ia membelitkan perban lagi lalu menghubungi dokter yang tinggal di sebelah rumahnya. Tak lama dokter itu datang dan menjahit luka pria yang ditolongnya, sambil mengatakan beberapa hal pada Sheren.
“Kenapa kau membawa orang yang terluka seperti itu ke rumahmu, Sheren? Bagaimana jika dia orang jahat? Kau tak melihat kemejanya?”
Sheren menoleh ke dalam lalu menggeleng pelan. “Tidak. Dia terluka parah, dan mana mungkin aku membiarkannya.”
“Astaga, kau ini…” dokter bernama Stevy tak bisa berkata lagi. “Cepat suruh dia menghubungi kenalannya agar segera dibawa pergi. Jangan sampai dengan kau menampungnya disini malah menimbulkan kekacauan.”
“Baik, aku mengerti dokter Stevy.”
Pintu tertutup, Sheren mendekat pada pria yang memejamkan mata di sofa miliknya dengan deru napas teratur. Kening Sheren sedikit mengerut halus, ia merasa pernah melihat wajah itu tapi entah dimana dirinya tidak ingat.
“Kau tidurlah sejenak sambil menunggu penjemputmu datang.”
Mata itu terbuka memberi hentakan kuat dalam diri Sheren apalagi suara beratnya sungguh menggetarkan jiwa. Menurut Sheren dia bagai predator buas yang siap berburu mangsa, lalu mencabiknya dengan tak aturan.
“Siapa nama mu?” tanyanya rendah mengamati penampilan Sheren yang cantik.
“Oh…namaku Sheren. Dan kau siapa?" sayangnya Sheren tak mendapat sahutan dan ia pun cuma diam lalu pergi ke dapur mengambil air minum.
Tapi saat kembali, pria itu sudah tak ada di rumahnya sampai ia mengecek keluar rumah. Sheren menjadi merinding, apalagi ia teringat akan ucapan dokter Stevy kepadanya tadi. Namun, tanpa ia sadari di sudut tergelap ada seulas senyum penuh arti dengan sesuatu berbeda bergelut di dalam sorotnya.
“Sheren. Nama mu sangat indah Baby,” gumamnya. “Kita akan bertemu lagi. Ya, Sheren-ku.”
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
