Deskripsi

‼️ WARNING ‼️
Cerita ini ditujukan untuk pembaca dewasa (18+). 
Mengandung unsur seksual serta tema-tema seperti genderbender, crossdressing, transgender, dsb. 
Jika kamu merasa tidak nyaman dengan konten semacam ini, mohon untuk tidak lanjut membaca.

Sinopsis:
Rangga sudah lama menyimpan fantasi untuk merasakan langsung pengalaman panas bersama seorang shemale, seperti yang sering ia tonton diam-diam di video favoritnya.

Sayangnya, dua kali mencoba lewat aplikasi chat, dua kali pula ia kena zonk—penampakan...

Entah sejak kapan tepatnya aku mulai mengagumi sosok yang kerap disebut waria—atau shemale. Ada semacam magnet tak kasat mata yang selalu berhasil membuat dadaku berdebar setiap kali melihatnya, entah di layar laptop atau ponsel. Wajah mereka begitu memesona, bahkan tak jarang melebihi wanita sungguhan. Dan di balik penampilan anggun itu, tersembunyi satu ‘aksesori’ mengejutkan yang menggantung di antara kedua pahanya—eksotis, ganjil namun justru sangat menggoda.

Namaku Rangga. Usia dua puluh lima tahun, bekerja sebagai staf pemasaran di sebuah kantor penyedia jasa advertising. Jadi lebih banyak di jalan daripada di kantor. Hidupku biasa saja—pagi berangkat kerja, sore pulang menembus kemacetan, lalu malamnya dihabiskan di kamar kos sederhana dengan lampu temaram dan kopi sachet. Tidak banyak yang tahu tentang sisi lain dalam diriku. Aku pun tak pernah benar-benar berani mengakuinya, bahkan pada diri sendiri.

Ketertarikanku pada shemale bermula secara tidak sengaja. Suatu malam, saat iseng menjelajah situs dewasa, aku mengklik satu video dengan thumbnail yang membingungkan. Wajahnya cantik—kulit mulus, bibir tipis mengilat, tatapan menggoda. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Dan ketika aku menyadari bahwa perempuan cantik itu ternyata bukan “perempuan” seperti yang kupikir, bukan rasa jijik yang muncul… melainkan detak jantung yang makin tak karuan.

Sejak malam itu, aku tahu ada bagian dalam diriku yang diam-diam menyukai sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Aku mulai mencari tahu lebih banyak. Menonton lebih sering. Bahkan, aku sampai membuat akun alter di berbagai platform media sosial, khusus untuk mengikuti akun-akun para shemale, baik lokal maupun internasional. Aku juga bergabung dengan beberapa forum online yang membahas dunia perlendiran shemale, meski hanya sebatas menjadi pembaca. Makin lama, rasa penasaran itu bukan lagi sekadar fantasi.

Sebenarnya, aku sudah dua kali mencoba menyewa jasa shemale lewat aplikasi chat berlogo hijau yang punya fitur "people nearby". Tapi hasilnya… zonk. Tidak sesuai ekspektasi. Atau, lebih tepatnya, aku tertipu. Keduanya tidak seperti yang ada di foto—wajah beda jauh, tubuh pun tak semenarik yang dijanjikan. Aku memang tetap bertemu, tapi semuanya berakhir tanpa hubungan penuh. Hanya sebatas oral, sekadar pelepas penasaran sementara. Sisanya, penuh rasa kecewa.

Meski begitu, aku tidak kapok. Masih ada rasa ingin tahu yang belum terjawab. Bedanya, sekarang aku jauh lebih hati-hati. Aku belajar dari pengalaman—memastikan kualitas sebelum bertindak, mengamati dengan cermat, dan mencoba mengenali tanda-tanda kejanggalan dari cara mereka berbicara, mengetik, bahkan pose foto yang mereka kirim.

Di aplikasi yang sama, aku punya kebiasaan unik: setiap kali bepergian ke daerah baru, aku selalu membuka fitur “people nearby”, berharap ada kejutan manis yang terselip di antara profil-profil itu.

Dan benar saja, malam itu kejutan itu datang.

Sebuah akun bernama Amel_Shemale tiba-tiba mengirim chat lebih dulu.

“Hai kak, aku shemale. Open jasa pijat plus HJ BJ, only 250k. Tempat di kosanku di daerah *****, belakang mall ****.”

Pesannya singkat, to the point, seperti kebanyakan akun open BO. Tapi yang membuatku tak langsung mengabaikannya adalah foto-foto yang ia kirimkan sesaat kemudian.

post-image-6858b077666cc.jpg

Terlihat muda, seperti belum genap 20 tahun. Wajahnya manis, polos, dengan makeup tipis yang tidak berlebihan. Rambutnya hitam panjang, jelas itu wig, tapi ia menyematkan jepit rambut pink di sisi kanan, memberi kesan imut yang menggelitik. Bukan tipe “wah” yang glamour atau penuh editan. Justru karena sederhana, aku merasa dia… nyata.

Aku membalas chatnya dengan singkat:

Aku:

Real pict gak nih?

Tak butuh waktu lama, dia menjawab:

VC aja kak, mumpung aku lagi dandan. Ini nomor WA-ku 08*******

Aku terdiam sejenak. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Dengan sigap, aku membuka akun WA khusus yang memang biasa kupakai untuk urusan-urusan semacam ini. Aku mengenakan masker, lalu kupilih sudut yang agak gelap. Dengan lampu tidur sebagai sumber cahaya agar wajahku tidak terlihat jelas, hanya siluet samar—cukup aman.

Lalu aku tekan tombol video call ke nomor yang ia berikan.

Beberapa detik menunggu, lalu sambungan terangkat.

Tampilan pertama yang muncul adalah wajah manis dengan wig hitam dan jepit pink yang sama seperti di foto. Ia duduk di depan cermin, sambil memoles bibirnya dengan lip gloss bening. Matanya menatap layar sejenak, lalu tersenyum malu-malu.

"Real ya kak?" ucapnya pelan, suaranya lembut dan agak cempreng—tapi justru itu yang membuatnya terasa begitu autentik.

Aku hanya mengangguk kecil dan menggumam, “Iya…”

Dia memiringkan kepala sedikit, tersenyum lagi, kali ini sambil merapikan poni di bawah wig-nya. Sorot matanya tidak menantang, tidak genit berlebihan, tapi cukup untuk membuatku terasa sedikit tegang.

“Aku cuma pijat dan BJ aja ya kak, belum berani anal, masih baru soalnya,” katanya jujur, dengan nada yang terdengar ragu tapi tetap sopan. “Kalau kurang enak, maklumin juga ya kak…” Ia tersenyum centil, bibir mungilnya tampak berkilau oleh lip gloss yang baru saja ia poles.

Entah kenapa, senyumnya terasa lebih tulus dibanding banyak ‘penyedia jasa’ yang pernah kutemui. Ada sisi polos yang memikat, seperti seseorang yang benar-benar masih hijau di dunia ini—tapi justru itu yang membuatnya terasa berbeda.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengiyakan harga yang ditawarkannya. Dua ratus lima puluh ribu bukan angka yang besar jika dibandingkan dengan rasa penasaran yang sudah menumpuk di kepalaku selama ini. Lagipula, aku memang tidak ngotot harus ‘full service’. BJ saja rasanya sudah cukup… terlebih saat aku mulai benar-benar menyukai wajah manisnya.

***

Hari yang ditentukan pun tiba. Sore itu, setelah menyelesaikan urusan kerja lebih awal, aku langsung pulang ke kosan untuk mandi dan bersiap. Jantungku berdegup pelan tapi stabil, seolah tubuhku sudah terbiasa dengan rasa penasaran yang menggantung ini. Tapi malam ini berbeda—aku merasa akan benar-benar masuk ke dunia yang selama ini hanya bisa kubayangkan.

Aku berangkat dengan motorku, mengikuti rute yang dikirim Amel sebelumnya. Lokasinya berada di belakang sebuah mal yang cukup ramai di daerah ******. Jalan masuknya sempit, melewati deretan warung makan dan deretan kos-kosan tua yang tampak kumuh. Semakin mendekat, aku sempat berhenti sejenak di pinggir jalan, memastikan ulang alamat yang dikirimnya.

Saat sedang membuka ponsel, sebuah pesan masuk, dari Amel:

“Kak, kalo mau anal tambah 100k lagi boleh deh. Aku lagi BU soalnya, buat bayar kosan.”

Aku diam beberapa detik. Mataku belum beralih dari layar saat balasan kedua masuk:

“Tapi bawa kondom dan pelumas yaa, aku gk punya soalnya.”

Pesan itu membuat tenggorokanku terasa kering. Jari-jariku sedikit gemetar karena adrenalin mulai naik. Ini di luar rencana awal. Tapi bukan berarti aku tak menginginkannya.

Kupandangi layar ponsel beberapa saat sebelum akhirnya mengetik jawaban:

“Oke. Aku mampir minimarket dulu ya.”

***

Sesuai arahannya, aku memarkir motor di dalam garasi kecil di sisi rumah, lalu menaiki tangga sempit yang mengarah ke lantai dua. Langkahku pelan, agak gugup, seperti orang yang hendak bertamu ke dunia yang asing.

Sesampainya di atas, aku berdiri di sebuah balkon sempit. Di hadapanku berjajar pintu-pintu kamar kos yang hanya dipisahkan dinding tipis—terdengar samar suara televisi dari salah satu kamar, denting sendok dari dapur bersama di ujung lorong.

Aku kembali membuka ponsel dan mengirim pesan:

“Udah di atas nih.”

Tak sampai satu menit, dari balik salah satu jendela, muncul sosok yang sudah tak asing. Ia mengintip sebentar, lalu memberikan isyarat dengan tangan agar aku masuk. Aku berjalan mendekat. Pintu kamar terbuka, dan ia menyambutku dengan senyum tipis.

post-image-6858b09c2d80e.jpg

Pakaian yang ia kenakan pun tak berbeda dari saat video call. Crop top hitam tanpa lengan yang memperlihatkan bagian pusar dan perutnya yang ramping. Rok abu-abu sejengkal di atas lutut menempel di pinggulnya. Wig hitam panjang yang dikenakannya tampak sedikit kusut dan lepek, jelas bukan wig mahal, tapi ada jepit rambut pink berbentuk karakter kartun di sisi kiri, memberi kesan cute dan sedikit kekanak-kanakan.

Amel tampak mungil. Tubuhnya kecil, kulitnya terang dengan undertone kekuningan. Lengan kurusnya tak memiliki otot, lebih menyerupai lengan remaja perempuan daripada pria. Dadanya masih rata, alami—belum pernah disentuh hormon atau permak apapun. Makeup-nya tipis, hanya sentuhan bedak ringan dan blush samar di pipi, namun cukup membuat wajahnya tampak segar seperti anak SMA yang baru belajar dandan. Bibirnya pink glossy, terlihat basah dan mengilap, seolah baru saja dioles ulang sebelum aku datang.

Saat aku melangkah masuk ke kamarnya, aroma parfum manis langsung menyambutku—seperti wangi permen karet, manis dan segar, sedikit menggoda tapi tidak menyengat.

“Masuk aja, kak,” ucapnya lirih, sambil menutup pintu di belakangku.

Amel terlihat gugup. Sorot matanya gelisah, gerak-geriknya agak terburu-buru, seperti orang yang belum benar-benar terbiasa dengan situasi seperti ini.

“Langsung yuk, Kak…” katanya pelan, lalu menunjuk kasur lantai yang dilapisi sprei polos warna biru muda. “Buka aja baju dan celananya.”

Aku diam sejenak, menatap matanya sekilas—mencoba membaca niat di balik gesturnya—tapi ia hanya membalas dengan senyum kecil dan segera berbalik, seolah memberiku ruang.

Aku pun menuruti. Melepaskan kaus, lalu celana jeans yang kukenakan sejak sore. Kini hanya tersisa celana dalam di tubuhku. Udara kamar yang sedikit pengap membuat kulitku terasa cepat lembap.

Sementara itu, Amel mulai menyiapkan segala sesuatunya.

Ia mengambil ponsel dari bawah bantal, membuka aplikasi pemutar musik, lalu memutar lagu-lagu akustik pelan dengan lirik yang nyaris tak terdengar. Kemudian ia memutar saklar lampu utama, menggantinya dengan lampu tidur mungil di sudut ruangan—cahayanya redup kekuningan, cukup untuk melihat bayangan tubuh tapi menyembunyikan detail. Lalu dari dalam tas kecil, ia mengeluarkan botol lotion.

Tak lama kemudian, aku merasakan jemarinya menyentuh punggungku. Lembut. Ragu-ragu di awal, tapi perlahan semakin mantap.

“Bilang ya kalau terlalu keras…” ucapnya, hampir seperti bisikan.

Pijatannya terasa mengejutkan. Bukan asal tekan, tapi ada ritme. Jemarinya menyusuri pundakku, bahu, lalu turun ke tengah punggung. Tekanannya pas—tidak menyakitkan, tidak asal gosok. Aroma lotion bercampur dengan sentuhan hangatnya membuat otot-ototku perlahan mengendur.

Kalau saja ia tidak sesekali menyentuh bagian-bagian sensitifku secara tak sengaja—atau mungkin disengaja—mungkin aku sudah tertidur. Pijatannya benar-benar membuat rileks.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ada ketegangan yang mulai timbul, tapi juga kenyamanan yang aneh… seperti sedang dimanjakan oleh seseorang yang baru kukenal tapi terasa dekat.

“Dilepas aja ya, Kak… nanti kotor kena lotion,” ucapnya pelan.

Belum sempat aku menjawab, kurasakan jemarinya sudah menarik pelan celana dalamku ke bawah. Ia melakukannya dengan cepat tapi tetap hati-hati, seolah tak ingin membuatku kaget. Dalam hitungan detik, aku benar-benar telanjang, dalam posisi telungkup di atas kasur tipis yang hangat oleh suhu tubuhku sendiri.

Aku menahan napas sejenak, mencoba tetap tenang.

Pijatannya berlanjut. Kini ritmenya berubah sedikit—lebih pelan, lebih lembut, lebih… sensual. Jemarinya meluncur turun dari punggung ke pinggang, lalu ke area bokong. Ia tidak langsung menyentuh bagian paling pribadi, tapi cukup dekat untuk membuat detak jantungku terasa lebih keras dari sebelumnya.

Ia berlama-lama di sana. Mengusap-usap dengan gerakan kecil di kedua sisi bokongku, menyebar lotion dengan tekanan ringan. Lalu turun perlahan ke paha, menyusuri sisi luar, lalu berpindah ke bagian dalam pangkal paha. Sentuhannya nyaris menyentuh titik paling sensitif, tapi selalu berhenti setengah jengkal sebelum menyentuhnya.

Tubuhku mulai bereaksi. Benda di antara pahaku perlahan mengeras, tertekan oleh kasur, tak mendapat ruang gerak. Tapi aku tetap diam, tak ingin membuyarkan suasana yang entah kenapa terasa… hangat dan nyaman.

Amel tak berkata apa-apa. Tapi dari gerakan tangannya yang makin lembut, aku tahu dia sadar tubuhku mulai merespons.

Kipas angin kecil di pojok kamar terus berputar malas, mengeluarkan suara “krek… krek…” dari lehernya yang longgar. Tapi anginnya nyaris tak terasa. Udara di kamar itu terasa pekat dan lembap—hangat oleh tubuh, sempit oleh jarak yang nyaris tak ada. Keringat mulai merembes dari pelipisku, mengalir perlahan ke tengkuk. Tubuhku terasa panas, dan bukan hanya karena udara kamar yang pengap, tapi juga karena sentuhan tangan Amel yang semakin berani.

Dari balik punggungku, suaranya terdengar pelan, agak ragu.

“Kak… balik badan ya.”

Aku menelan ludah. Sejenak diam, lalu perlahan berbalik, berhadapan langsung dengannya.

Amel sempat terdiam. Matanya sedikit membesar, seolah mencoba mencerna apa yang ia lihat. Tapi hanya sebentar. Ia kemudian tersenyum kecil—manis, agak malu-malu, tapi jelas menggoda.

Kini aku terbaring telentang di bawah cahaya lampu tidur yang remang. Kulitku terasa hangat dan sedikit lengket oleh keringat. Amel duduk bersimpuh di sampingku, tubuhnya juga mulai terlihat berkeringat. Wig hitamnya menempel di sisi pipi, dan lehernya basah oleh peluh. Tapi entah kenapa, justru itu yang membuatnya tampak… nyata. Bukan sekadar fantasi, tapi sosok hidup yang kini berada hanya sejengkal dariku.

Tangannya bergerak pelan, kembali mengambil lotion. Tapi kali ini, gerakannya lebih lambat. Lebih sadar.

Ia mulai menyentuh lagi—mulai dari dada, lalu turun ke perut. Jemarinya menyebar lotion sambil sesekali menatapku, seolah mencari konfirmasi apakah yang ia lakukan terasa benar.

Aku tak berkata apa-apa. Tapi tubuhku sudah menjawab semuanya.

Sentuhannya semakin berani. Ia tak lagi sekadar memijat atau menyentuh seadanya—kini jemarinya menjelajah penuh rasa ingin tahu, menyapu permukaan dadaku dengan gerakan lembut namun menggoda.

Amel menunduk pelan. Bibirnya mengecup dada kiriku, lalu dengan ragu lidahnya bermain di area puting. Lembut… hangat… dan penuh kehati-hatian. Sentuhan itu membuat tubuhku refleks mengerut, sensasi aneh merambat dari kulit ke tulang belakang.

Tangannya yang satu lagi tak tinggal diam. Ia bergerak turun, menyentuh batangku yang sudah sejak tadi menegang penuh. Gerakannya tak terburu-buru, seolah menikmati setiap reaksi tubuhku—seolah ingin menghafalkan respons yang timbul dari setiap bagian yang ia sentuh.

“Kondom sama pelumasnya mana, Kak?” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar, tapi langsung menusuk ke dalam.

Aku menoleh ke arah tasku yang tergeletak di lantai dekat kasur, lalu menunjuknya dengan dagu. Ia bangkit sejenak, mengambil isi tas itu—gerakannya cepat tapi tetap teratur. Saat ia duduk kembali di sisiku, mata kami bertemu untuk sesaat. Ada rasa gugup yang belum hilang dari sorotnya… tapi juga keberanian yang tumbuh perlahan di balik senyumnya.

Dengan gerakan ragu-ragu dan sedikit gemetar, Amel menyarungkan pelindung karet ke bagian tubuhku yang sudah sangat tegang dan berdenyut. Kemudian mengoleskan pelumas ke bagian-bagian yang memerlukan. 

Ia duduk di atasku perlahan, setelah lebih dulu melepas celana dalamnya—warna ungu polos, merek minimarket yang ada di mana-mana. Ia tak melepas pakaiannya, mengangkat sedikit roknya di bagian belakang agar bisa bergerak bebas, sementara bagian depan sengaja dibiarkan menjuntai menutupi burung kecilnya. Gerakannya pelan, hati-hati. Kakinya menapak di sisi tubuhku, lalu ia mulai mencoba menyatukan tubuh kami.

Raut wajahnya langsung berubah. Samar dalam cahaya redup kamar kost itu, aku bisa melihat rautnya yang meringis, keningnya mengernyit menahan rasa sakit. Ia menggigit bibirnya, menumpahkan sedikit pelumas tambahan dengan tangan kirinya, berharap bisa memudahkan. Tapi nyatanya, tetap saja ia tak juga merasa nyaman.

Ia mulai bergerak perlahan ke atas-bawah, tapi tubuhnya tegang. Sorot matanya seperti sedang menahan sesuatu yang lebih dari sekadar nyeri fisik. Tangannya meraba dadaku, lalu menekan dengan kedua telapak, seolah mencoba menghentikanku agar tak ikut bergerak.

Aku bisa merasakan tubuhnya sedikit gemetar. Gerakannya seperti robot, tak menikmati. Ketika mataku menatap ke wajahnya, kulihat setitik air menggenang di ujung matanya.

“Baru pertama ya?” bisikku pelan, mencoba memahami situasi.

Amel tak langsung menjawab. Lalu dengan suara kecil ia berkata, “Enggak kok, waktu kecil aku pernah dilecehin.”

Ucapannya jatuh seperti batu yang dicemplungkan ke dalam sumur yang dalam. Suasana kamar yang tadi panas dan menggoda kini terasa sepi, sunyi—seolah kipas angin berhenti berputar, seolah semua suara di luar sana menghilang.

Dalam remang-remang, kulihat ia mengusap sudut matanya. Napasnya pendek dan terbata.

“Kenapa, Mel…?” tanyaku lagi, lembut kali ini, lebih seperti seorang kakak daripada pelanggan.

“Engg… nggak apa-apa, Kak,” jawabnya sambil memaksa tersenyum. Tapi senyumnya tak sampai ke matanya. Ia malah tersedak oleh isaknya sendiri.

Sial… suasana berubah begitu cepat. Dari panas menjadi sendu. Melihatnya menangis seperti itu, perasaan di dadaku langsung berubah. Gairahku yang sempat memuncak kini perlahan mereda. Sarung karet yang tadi begitu ketat kini terasa melonggar, nyaris terlepas dengan sendirinya. 

Amel buru-buru menyeka air matanya. Ia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan sisa isak di balik senyuman kecil yang dipaksakan. Wajahnya tampak kusut, tapi tetap berusaha tegar.

“Maaf ya, Kak…” ucapnya pelan, suaranya bergetar. “Sakit banget ternyata. Harusnya tadi nggak usah maksa anal.”

Aku hanya mengangguk kecil, mencoba menunjukkan bahwa aku mengerti. Aku bisa rasakan tekanan batin yang dia simpan, luka lama yang mungkin belum sepenuhnya sembuh… tapi tetap ia abaikan demi menyenangkan orang lain. Rasanya sedikit-sedikit aku mengerti kenapa ia jadi seperti ini. 

“Aku… aku sepongin aja ya kak,” lanjutnya dengan suara yang masih lirih, menatapku seolah meminta izin.

Aku mengangguk sekali lagi. “Iya, nggak apa-apa, Mel.”

Ia menunduk, lalu mulai melakukan tugasnya dengan pelan, penuh kehati-hatian. Dan meski sempat terhenti, Amel tetap menyelesaikan semuanya sampai akhir. Setidaknya, malam ini berakhir dengan sedikit kelegaan—walau di baliknya, aku tahu ada hati yang diam-diam sangat rapuh dan terluka.

"Jangan kapok ya, Kak. Next kalau RO aku pasti udah lebih siap." Katanya saat aku pamit. 

*SELESAI*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tetangga Apartemen - Bab 7 : Sebuah Keputusan
1
0
‼️ WARNING ‼️ Cerita ini ditujukan untuk pembaca dewasa (18+).  Mengandung tema seperti genderbender, crossdressing, transgender, dsb.  Jika kamu merasa tidak nyaman dengan konten semacam ini, mohon untuk tidak lanjut membaca.Sinopsis: Aku suka perhatian itu. Suka caranya bicara manis, seolah aku gadis yang benar-benar dia rindukan. Dan sungguh aku memang suka jadi gadis itu.Namun seiring waktu, rasa hangat itu berubah menjadi gumpalan yang menyesakkan dada. Aku mulai merasa bersalah. Bukan hanya karena harus terus berbohong pada Arga, tapi juga... karena merasa membohongi diriku sendiri.Setiap kali membaca pesannya yang penuh perhatian, aku merasa seperti orang jahat. Telah membuatnya tergila-gila pada sosok fiktif. Jessy, hanyalah sisi lain dari aku. Sisi yang selama ini kusembunyikan dari dunia nyata. Tapi justru sisi itu yang dicintai Arga. Dan itu, rasanya pasti menyakitkan. *** Jessy mulai merasa bersalah pada Arga. Ia tak bisa membiarkan semuanya terus berlanjut. Sebuah hubungan tak bisa terus-menerus bertumpu pada kebohongan. Jessy harus segera mengambil keputusan!Keputusan apakah yang akan diambil Jessy? Baca cerita dengan memberikan dukungan pada penulis. Setiap dukungan yang kalian berikan sangat berarti untuk kelanjutan karya ini, sekaligus jadi semangat untuk terus berkarya lebih jauh lagi. Lots of love and kisses to all of my amazing readers 💖💋
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan