
"Bagaimana jadinya jika engkau diwariskan sesuatu yang justru mengancam keluarga dan juga nyawamu sendiri?"
"Jadi itu alasan kenapa Bapak tidak pernah menafkahi kita?" tanyaku pada Ibu setelah mendengarkan cerita lengkapnya.
"Iya. Sinten kemawon ingkang kepincut bakal tumut. Sinten kemawon ingkang tumut bakal katut", jawab Ibu.
"Siapapun yang menikmati akan ikut, dan siapapun yang ikut akan terseret", ucapku menerjemahkan.
"Kamu harus hati-hati, Ganang. 7 hari setelah kematian Bapakmu nanti, ia akan berusaha masuk ke dalam dirimu. Itu adalah awal mula ia mengambil semuanya. Gerbang awal perjanjian ini diperbarui. Kemudian, saat-saat pertaruhan akan ditentukan karena ia hanya punya waktu 40 hari sejak kematian Bapakmu. Selama rentang waktu 40 hari itu, ia akan melakukan apa saja untuk membuatmu menyepakati perjanjian ini, karena semua hal tentang perjanjian ini adalah tentang kesadaran. Jika kau menyepakati perjanjian ini, akan ada konsekuensi yang harus kau tanggung bersama seluruh keluarga dan keturunanmu. Jika kau tidak menyepakatinya, akan ada konsekuensi lain yang pasti kau terima", jelas Ibu mewanti-wanti.
"Berarti Bapak dalam kondisi sadar ketika menggorok leher Mas Samudra?" tanyaku memperjelas.
"Aku tahu itu pilihan yang sangat berat untuk Bapakmu, tapi itu juga yang membuat Ibu sampai sekarang tidak bisa memaafkannya", kata Ibu berat.
Aku termenung memikirkan semua peristiwa ini, dan terguncang ketika membayangkan pilihan yang harus kuambil antara menggorok leher Raras atau kehilangan seluruh keluarga dan juga hidupku.
"Ibu tadi bilang, 7 hari setelah kematian Bapak ia akan mencoba masuk kedalam diriku?" tanyaku tiba-tiba teringat.
"Iya, dan kalau itu terjadi, kau harus menolaknya. Jangan pernah biarkan dia masuk", jawab Ibu.
"Terlambat, Bu. Dia sudah masuk", kataku lagi.
"Apa maksudmu? Jadi Bapakmu sudah meninggal?" tanya Ibu terkejut.
"Belum, Bu. Itu juga membuat Bapak terkejut saat tahu. Bapak bilang harusnya dia gak datang secepat ini, Bapak bilang seharusnya aku masih punya waktu", jawabku.
"Tapi Bapakmu bilang dia sudah pergi?" tanya Ibu lagi.
"Iya. Hari ini tepat 7 hari kepergiannya", jawabku.
"Astaga Ganang! Itu artinya hari ini Bapakmu akan meninggal!" ucap Ibu menyimpulkan.
"Apa maksudnya, Bu?" tanyaku tak menyangka.
"Iblis itu membersamai si pemilik perjanjian selama seumur hidup. Nyawa manusia memiliki energi hidup di keningnya. 7 hari sebelum meninggal, energi itu padam. Itu adalah pertanda untuk dia pergi dan mempersiapkan kepindahannya ke keturunan yang dijanjikan. Tapi bagaimana mungkin dia sudah masuk kedalam dirimu padahal Bapakmu masih hidup?" jawab Ibu dan mengakhirinya dengan pertanyaan yang tak aku ketahui jawabannya.
"Aku tak tahu, Bu. Lagipula, apa yang terjadi kalau aku tak memperbarui perjanjian ini?" tanyaku memastikan.
"Tidak ada yang tahu jawabannya, Ganang. Aku juga tak tahu sudah berapa generasi perjanjian ini diteruskan. Tapi bisa kau lihat, secara turun-temurun trah Bapakmu selalu dilimpahi kejayaan. Ini menandakan bahwa selama ini tak ada yang mampu menolak perjanjian itu. Semuanya dengan pola yang sama. Anak pertama meninggal, anak kedua meneruskan. Tak pernah ada anak ketiga. Tapi sebentar, kau baru punya 1 anak, jadi mungkin saja ini akan berbeda", jawab Ibu melanjutkan.
Aku terdiam sejenak karena sebenarnya ada satu fakta yang belum diketahui Ibu, sesuatu yang tadinya ingin kukabarkan dengan penuh kebahagiaan.
"Sebelum berangkat ke rumah Bapak kemarin, aku memang merencanakan mampir kesini, Bu. Aku mau mengabarkan, Pratiwi hamil. Seminggu yang lalu ia mual-mual, dan saat kami periksakan, ternyata usia kandungannya sudah 1 bulan", jawabku mengabarkan.
Mata Ibu terbelalak mendengar kabar ini. Di situasi sekarang ini, aku tak tahu apakah itu adalah kabar yang membahagiakan atau justru sesuatu yang mengkhawatirkan. Ia hanya menghela napas dan terhenyak sambil memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, Ibu membuka matanya dan berkata lagi.
"Kita harus berangkat sekarang, Ganang. Bapakmu membutuhkan kita".
"Baik, Bu. Sepertinya sudah tak ada yang mau kutanyakan lagi juga. Aku cuma mau minta tolong, Ibu bantu aku melewati semua ini", pintaku pada Ibu.
"Ibu sudah bantu kamu sejak Bapakmu menumbalkan Samudra, Nang. Selama imanmu teguh, insya Allah kamu akan mampu melewatinya. Jangan lupa, kamu punya kekuatan terbesar yang selalu jaga kamu. Yang penting tetep rajin ibadah", jawab Ibu menasihati.
Setelah bersiap-siap, aku membonceng Ibu dan kembali ke rumah Bapak. Matahari sudah naik setengah saat kami sampai. Pak Dadyo, orang kepercayaan Bapak, sudah menunggu kami di teras depan.
"Bapak sudah menunggu, Bu. Keadaannya sudah mengkhawatirkan. Sejak pagi tadi beliau selalu menanyakan apa Ibu sudah datang", ucap Pak Dadyo menyambut kami.
"Iya pak, saya mau kedalam dulu", jawab Ibu terburu-buru.
Ibu mengajakku masuk kedalam. Tanpa berlama-lama, kami segera masuk ke kamar dimana Bapak berbaring. Kami melihat Bapak dan betapa terkejutnya aku karena melihat kondisi Bapak sudah sangat berbeda dibanding saat kutinggalkan tadi pagi. Kulit dan wajahnya memucat tanpa warna, seperti mayat yang sudah terhampar berhari-hari. Wajahnya juga menjadi tirus sampai kerangkanya terlihat jelas. Dibagian matanya nampak ruam hitam melingkari kedua matanya yang terus-menerus melotot seperti hendak melompat keluar. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari raganya yang sedang meregang nyawa itu. Hanya napasnya yang tersengal yang masih menandakan kalau Bapak masih ada. Ibu mengambil tempat duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan Bapak. Kulihat air matanya berlinang dan membisikkan sesuatu dengan perlahan.
"Aku sudah datang, Mas. Kupenuhi janjiku untuk membersamaimu disaat yang terakhir. Insya Allah aku jaga Ganang. Hati-hati dijalan ya, Mas. Jangan sampai berbelok atau tergelincir. Mas tunggu aku disana ya, nanti aku nyusul. Insya Allah besok kita sama-sama lagi".
Mendengar kalimat itu, napas Bapak malah menderu dan keringat dingin tampak membasahi wajahnya. Ia seperti gelisah dan tidak tenang. Ibu terus menggenggam tangannya dan mengusap keningnya, tapi napas Bapak malah semakin menderu. Sesekali Bapak juga mengeluarkan suara seperti menggeram. Ibu menatapku seperti meminta saran tapi aku juga tak tahu harus melakukan apa.
"Istighfar, Mas. Astaghfirullahaladziim.. astaghfirullahaladziim...", ucap Ibu mencoba menuntun Bapak.
"Sepertinya Bapak perlu mendengar kalau Ibu sudah memaafkan", kataku menerka.
Mendengar itu Ibu justru menundukkan kepala dan menangis sesenggukan. Bahunya sampai berguncang dan tangannya bergetar hebat. Aku mencoba menenangkannya dengan mengelus punggungnya. Kudengar suara geraman Bapak juga semakin meningkat. Sampai akhirnya, perlahan-lahan Ibu bisa mengontrol emosinya, lalu dengan suara yang berat ia berkata, "Aku sudah ikhlas, Mas. Aku maafkan semua yang terjadi di masa lalu. Samudra anak yang baik. Ia pasti juga sudah memaafkan kamu. Sampaikan salamku padanya ya mas. Bilang ke dia, aku kangen".
Napas Bapak sudah tak lagi menderu setelah Ibu mengucapkan kalimat itu. Ia juga sudah tak lagi menggeram. Justru air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Setelahnya, Ibu menuntun Bapak untuk mengucapkan 2 kalimat syahadat tanpa terputus. Aku mengambil tempat duduk di karpet kemudian membaca surat Yaasiin karena Ibu sama sekali tidak mau diajak gantian. Aku bahkan sempat tertidur setelah bacaan Yaasiin dan semua dzikir tahlilku selesai. Ibu juga menolak ajakan makanku dan memilih tetap berada disamping Bapak sambil menuntunnya untuk mengucapkan 2 kalimat syahadat. Kulihat Bapak masih sama seperti tadi. Bibirnya menganga, matanya melotot seperti mau keluar, dan napasnya sering tersengal. Kemudian saat menjelang maghrib tiba, Bapak seperti tersentak dan menarik napas panjang. Napas terakhir yang tak pernah ia hembuskan lagi.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun", ucap Ibu sambil memelukku dan mengusap kepalaku. Tangisku pun pecah setelahnya.
*****
Pratiwi dan Raras segera datang setelah kukabarkan bahwa Bapak sudah meninggal. Pratiwi menenangkanku sementara Raras bermanja-manja di pangkuan neneknya. Aku mendekap Pratiwi dan melampiaskan tangisku. Ia terus-menerus memintaku ikhlas atas kepergian Bapak. Ia tak tahu beban apa yang kupanggul sampai membuatku menangis seperti ini.
Beberapa saat kemudian, tetangga mulai berdatangan dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pemakaman Bapak. Aku dan Ibu sepakat untuk tidak menunggu esok hari untuk memakamkan Bapak, toh tidak ada keluarga yang kami tunggu. Lebih cepat lebih baik, kata Ibu. Dengan cepat para tetangga memandikan dan mengkafani jenazah Bapak sehingga siap untuk disholatkan. Sholat jenazah pun dimulai. Aku meminta tolong Pak Mahdi, imam masjid setempat untuk mengimami sholat jenazah itu. Sholat jenazah pun dilaksanakan dengan cepat dan khusyuk. Setelah salam, doa pun dipanjatkan. Kemudian kami bersiap untuk memindahkan jenazah Bapak ke peti mati untuk selanjutnya diangkat menuju Tempat Pemakaman Umum yang ada di desa ini.
Dok! Dok! Dok!
Ggrrrr! Grrrrrr!!!!
"Suara apa itu?" tanya salah seorang warga.
"Astaghfirullah, sepertinya suaranya berasal dari peti mati ini", jawab Pak Mahdi menebak.
"Jangan nakut-nakutin Pak Mahdi, masa orang mati bisa bikin suara kayak gitu!" sahut warga yang lain.
Aku dan Ibu hanya berpandang-pandangan mendengar suara itu. Pikiran kami seperti bertemu pada satu keyakinan; Ini pasti ulah iblis itu.
Dok! Dok! Dok!
Grrrrr! Grrrr!!!!!
"Suaranya tambah keras Pak Mahdi! Bagaimana ini?" tanya warga mulai panik.
"Apa kita bongkar dulu saja peti matinya? Mungkin ada yang salah sama jenazah Pak Ranto", usul warga yang lain.
"Sembarangan kamu! Kalau ternyata Pak Ranto jadi vampir gimana? Bisa disedot darahmu sampe lemes!" ujar warga yang tadi.
"Hus! Gak baik bicara begitu pak! Gak enak sama Mas Ganang dan Bu Nimas!" kata Pak Mahdi memperingatkan.
Dok! Dok! Dok! Dok!
Grrrr! Grrrr! Grrrr!
Kali ini bukan cuma suara aneh yang kami dengar, tapi peti mati Bapak tiba-tiba bergetar kekanan dan kekiri dengan sangat cepat. Sontak hal itu membuat warga ketakutan dan kebanyakan dari mereka langsung lari tunggang langgang.
"Astaghfirullah! Bener kan apa yang kubilang? Pak Ranto jadi vampir! Pak Ranto jadi vampir!" teriak warga panik dan melarikan diri ke rumah masing-masing. Hanya ada beberapa warga yang masih bertahan dan menyaksikan sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Peti mati Bapak tiba-tiba meledak sehingga jenazah Bapak yang sudah dikafani itu terlihat kembali. Kami berusaha melindungi diri dari pecahan kayu yang terbang ke segala arah. Kemudian, tiba-tiba jenazah Bapak bangkit dan terduduk. Warga yang tersisa lari ketakutan melihat itu sehingga yang masih ada dirumah ini tinggal aku, Ibu, Pratiwi, Raras dan Pak Mahdi. Raras sudah menangis sejak tadi. Pak Mahdi segera membacakan ayat suci Alquran dan mencoba melindungi kami dari serangan ghaib yang mungkin terjadi. Kemudian, jenazah Bapak yang sudah menyerupai pocong itu menolehkan kepalanya dengan sangat perlahan. Terlihat wajahnya lebih pucat dibanding sebelum meninggal. Matanya yang melotot berubah menjadi hijau tanpa bola mata sama sekali. Tidak ada warna hitam dikedua matanya. Mulutnya menganga lebar dan hidungnya masih tersumpal kapas. Ia menoleh ke arahku dan kudengar suara yang entah dari mana karena tak kulihat jenazah Bapak menggerakkan bibirnya. Mulutnya hanya menganga tak bergerak sama sekali.
"Durhaka kau Ganang! Berani-beraninya kau menguburku tanpa meneruskan apa yang sudah kutinggalkan terlebih dahulu?"
"Jangan dengarkan Ganang! Ia mencoba mempengaruhimu!" kata Ibu memperingatkan.
"Kalau kau tidak meneruskan perjanjian ini, satu per satu keluargamu akan mati! Dimulai dari Ibumu!"
Tiba-tiba dari jenazah Bapak keluar bayangan hitam dengan wajah penuh sisik. Kepalanya bertanduk dan ia memegang cemeti dengan pegangan berbentuk kepala naga. Sosok itu melayang dengan cepat dan menghantam kearah Ibu. Kaca-kaca dirumah ini sampai pecah ketika itu terjadi dan Ibu seketika menggelepar dilantai sambil memegangi lehernya.
"Ibu!" teriakku panik dan menghampiri Ibu yang sudah setengah tak sadarkan diri.
~Bersambung~
Part 4 - Raras
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
