
"Bagaimana jadinya jika engkau diwariskan sesuatu yang justru mengancam keluarga dan juga nyawamu sendiri?"
Waktu menunjukkan pukul 01.30 ketika aku terbangun dari tidurku. Kulihat ke samping dan menyadari ketiadaan Mas Ranto yang memang selama beberapa malam terakhir ini selalu mengeluh tak bisa tidur. Sekilas aku melihat kearah Ganang, dan aku pun beranjak setelah memastikan ia benar-benar terlelap setelah kenyang menyusu. Tak lupa kuperiksa juga tempat tidur Samudra dan merasa cukup lega karena anak pertamaku itu juga lelap seperti adiknya. Setelah itu, aku mencari Mas Ranto yang kuduga ada diteras depan rumah. Benar saja, baru beberapa saat aku melangkah, sudah kulihat sosoknya dari jendela rumah kami.
"Nggak bisa tidur lagi, Mas?" tanyaku setelah membuka pintu dengan perlahan.
Mas Ranto yang menyadari keberadaanku hanya menoleh sedikit kemudian melamun lagi.
"Yang ikhlas, Mas. Insya Allah Bapak sudah tenang. Kali aja sekarang lagi mesra-mesraan sama Ibu diatas sana, iya kan?" ucapku mencoba menghibur karena aku menduga Mas Ranto masih sedih karena ayahnya baru saja meninggal seminggu yang lalu. Namun tanpa diduga, Mas Ranto tiba-tiba bersimpuh dikakiku dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti karena ia terus terisak ketika mencoba berbicara.
"Kenapa mas? Yang tenang dulu, ada apa?" tanyaku menenangkan.
"Maafkan aku Nimas, maafkan aku", ucap Mas Ranto berulang-ulang.
"Apa yang perlu dimaafkan mas? Mas gak salah apa-apa", tanyaku lagi.
"Aku telah menerima apa yang sudah jadi perjanjian leluhurku, Nimas. Aku sudah membahayakan keluarga kita!" jawab Mas Ranto membingungkan.
"Maksud mas apa? Tenang dulu mas, ceritakan pelan-pelan", pintaku pada Mas Ranto.
Aku membantu Mas Ranto untuk bangkit dan mendudukkannya ke kursi. Aku menenangkannya dan memintanya bercerita perlahan-lahan tentang apa yang terjadi. Ia pun mulai bercerita. Ia bercerita, tentang sesuatu yang akhirnya menghancurkan keluargaku. Sesuatu yang mengubah pandanganku terhadap keluarganya selama ini. Sesuatu yang memaksaku untuk lari, meninggalkan suami tercintaku selama-lamanya.
"Ada satu rahasia tentang keluargaku yang baru saja kuketahui. Rahasia yang kelam, alasan mengapa anak pertama di keluargaku tidak ada yang selamat. Jadi 3 hari setelah kematian Bapak, ia menemuiku", Mas Ranto mulai menjelaskan.
"Bapak menemui Mas? Di mimpi?" tanyaku mencoba memperjelas.
"Tidak, Nimas. Bapak menemuiku secara langsung, disini, tengah malam begini saat aku tidak bisa tidur", jawab Mas Ranto.
"Mas gak takut?" tanyaku lagi.
"Tidak, karena aku memang mengharapkan kemunculannya. Kamu ingat, beberapa malam sebelum Bapak meninggal, aku cerita ke kamu tentang hal aneh yang aku rasakan. Bayanganku di cermin yang berubah menjadi sosok Bapak, perasaan kesetrum saat menyentuh tangannya, juga bayangan hitam yang sering mengikutiku kemana-mana. Aku takut Nimas. Aku merasa ini bukanlah gangguan biasa. Setelah Bapak meninggal, gangguan ini makin menjadi. Aku melihat sosok Senopati berpakaian kerajaan melambaikan tangannya padaku di dekat sumur belakang itu. Aku mendekatinya, tanpa rasa takut sedikitpun. Sosok Senopati ini terlihat berjongkok sambil memegang sebilah keris dengan pegangan berbentuk kepala naga. Setelah cukup dekat, aku ikut berjongkok disebelahnya. Kamu tau apa yang terjadi selanjutnya, Nimas? Ia mengambil seekor ayam cemani yang ada didepannya, kemudian menyembelihnya didepanku. Setelah itu, ia mengambil satu lagi ayam cemani yang masih tersisa dan menyerahkannya padaku, juga keris naga yang tadi digunakannya. Aku seperti mengerti apa yang harus kulakukan, jadi kusembelih ayam cemani itu. Sebelum kusembelih ayam cemani itu, ia mengajarkanku sebuah mantra:
Dalem masrahake jiwa lan raga kagem Ndoro Senopati Bhirawa
Dalem nglampahi sarat kagem nampi kamulyan
Sinten mawon ingkang kepincut bakal tumut
Sinten mawon ingkang tumut bakal katut
Setelah mengucapkan mantra itu, tanpa aku ragu aku menyembelih ayam cemani itu, dan kamu tahu? Setelah semua itu terjadi, ayam cemani itu berubah menjadi Samudra. Napasnya tersengal-sengal karena lehernya telah putus oleh keris yang kugoreskan. Darah mengucur kemana-mana, dan air matanya mengalir dari matanya yang menatapku tajam. Kau pasti mengira ini semua hanya mimpi, tapi setelah itu aku berlari ke kamar dan mendapati Samudra sedang tidur disisimu, bersebelahan dengan Ganang yang masih menyusu. Aku menangis semalaman, tapi semua itu bukan mimpi", ucap Mas Ranto panjang lebar sambil menahan tangis.
Mataku terbelalak mendengar itu semua, sampai tak bisa berkata-kata. Perlahan-lahan aku mencoba memahami informasi demi informasi yang telah dipaparkan Mas Ranto, tapi otakku seperti melambat.
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Mas?" bisikku lirih.
"Bapak datang menjelaskan semuanya. Ia bilang, keluargaku terikat perjanjian dengan Senopati Mataram sejak ratusan tahun yang lalu. Perjanjian ini tidak boleh putus sampai 7 keturunan", kata Mas Ranto.
"Perjanjian apa?" tanyaku lagi.
"Trah Pati Geni. Penumbalan turun-temurun. Setiap kami yang hidup harus menumbalkan anak pertama, dan kami akan mendapatkan kemuliaan sebagai gantinya. Kesaktian, kekayaan, kekuasaan, apapun yang diminta akan terwujud. Kakek menumbalkan Paman, Bapak menumbalkan kakak, dan aku harus menumbalkan Samudra", jelas Mas Ranto sambil menerawang.
"Tidak! Ngomong apa kamu, Mas? Aku tidak akan membiarkan!" tolakku lantang.
"Kau kira aku suka dengan perjanjian ini, Nimas? Tidak! Aku lebih baik mati daripada menumbalkan Samudra dan melanjutkan perjanjian bodoh ini! Tapi Bapak bilang, jika aku menolak, maka semua keluargaku yang akan jadi korban. Bukan cuma Samudra, tapi juga kamu dan Ganang. Satu per satu akan diambil, dan orang yang tersisa akan menderita seumur hidup. Kekayaan, kesehatan, keluarga, semua akan diambil tanpa sisa. Orang yang menolak meneruskan perjanjian ini akan berakhir tak punya apa-apa, tak punya siapa-siapa", jawab Mas Ranto sambil mengusap tangisnya yang tak lagi bisa terbendung.
"Lalu apa yang harus kita lakukan Mas?" tanyaku meminta solusi.
"Pergi. Kamu harus bawa Ganang dan Samudra lalu pergi dari sini. Aku akan mencoba mencari cara agar kalian tidak menjadi korban. Tapi ingat, bersembunyilah dariku. Jangan sampai aku menemukan kalian", jawab Mas Ranto.
"Baik, Mas. Kalau itu memang yang terbaik, aku setuju", ucapku kemudian.
"Satu lagi, Nimas. Kau harus mengerti, setelah malam ini, mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi", kata Mas Ranto menambahkan.
Aku mengangguk kecil, kemudian memeluknya dengan sangat erat. Tangis kami menjadi satu. Aku tak pernah menyangka akan berpisah dengan lelaki yang kucintai ini, apalagi dengan cara seperti ini. Aku menciumi tubuh Mas Ranto dan berusaha menyimpan aromanya. Setelah itu kami langsung bersiap-siap. Aku hanya membawa bekal seadanya, namun aku tidak khawatir karena Mas Ranto memberiku uang yang sangat banyak. Perjanjian belum terucap dari mulutnya jadi masih aman bila dia memberiku uang.
Sebelum subuh aku berangkat ke luar kota. Sebuah kota yang tak pernah kukunjungi. Dikota ini aku tidak mempunyai saudara, teman ataupun kenalan. Aku menyewa rumah yang pertama kali kutemukan, tak jauh dari stasiun kereta. Aku juga langsung membeli perabotan dengan uang yang diberikan Mas Ranto. Beruntung Ganang dan Samudra tidak rewel saat aku harus mengurus ini semua.
Hari demi hari kulewati ditempat ini. Aku masih belum bekerja dan kami hanya hidup dari uang yang diberikan Mas Ranto. Entah sampai kapan uang ini bertahan. Tapi aku percaya, Mas Ranto akan menemukan jalan untuk melewati ini semua.
Sekitar 1 minggu setelah kami menempati tempat ini, aku mulai merasakan gangguan yang menakutkan. Entah suara-suara aneh, penampakan pocong dan genderuwo, sampai tingkah Samudra yang tak masuk di akal. Suatu malam, Samudra tiba-tiba menangis dengan kencang. Aku mencoba menenangkannya namun tangisannya tak kunjung berhenti. Ganang yang terganggu dengan tangisan kakaknya pun akhirnya ikut menangis, namun aku mencoba fokus pada Samudra terlebih dahulu. Aku menggendongnya dan merasakan tubuhnya tiba-tiba menjadi sangat panas. Samudra memelukku erat seperti tak mau lepas sama sekali. Beberapa saat kemudian, tangisannya pun mereda. Aku berniat untuk ganti menenangkan Ganang tapi Samudra tak mau melepas pelukannya, dan tiba-tiba ia berbisik dengan lirih, "Ibu, aku mau mati, boleh ya."
Perasaanku tak karuan karena aku yakin ini ada kaitannya dengan apa yang diceritakan Mas Ranto. Benar saja, dua hari kemudian terjadi sesuatu yang lebih mengerikan. Saat itu matahari baru saja terbenam, Samudra sedang bermain sambil menjaga adiknya karena aku perlu mandi. Selesai mandi, kulihat Samudra berdiri membelakangi sumur dan menatap ke arahku. Ia tersenyum-senyum sambil menyembunyikan tangannya dibelakang.
"Samudra, kamu ngapain disitu nak?" tanyaku khawatir.
"Dadah Ibu, aku pergi dulu ya", ucapnya tiba-tiba kemudian berbalik dan melompat ke dalam sumur. Aku pun panik dan berlari mengejarnya. Aku melongok kedalam sumur namun bukan Samudra yang kudapati, melainkan sosok hitam dengan wajah penuh sisik. Kepalanya bertanduk dan lidahnya panjang bercabang dua. Matanya besar dan merah. Sosok itu langsung mencekik leherku dengan kedua tangannya yang berbonggol. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri dari cekikan makhluk itu, tapi tenaganya terlalu kuat untuk kulawan. Napasku sudah tersengal hampir putus. Pandanganku juga sudah pudar. Aku merasa ajal didepan mata. Terbayang Samudra dan Ganang yang akan hidup tanpa Ibu, entah bagaimana nasibnya. Kesadaranku makin menipis seiring cekikan yang makin kuat kurasakan. Sampai akhirnya, tiba-tiba aku bisa bernapas lagi. Aku memeriksa leherku dan tidak apapun disana, walaupun rasa sakit bekas cekikan itu masih terasa. Aku menoleh kekanan dan kekiri dan tidak kulihat makhluk itu dimanapun. Aku pun segera berlari ke dalam dan betapa lega hatiku karena Samudra dan Ganang masih berada disana, utuh dan tidak terluka sedikitpun. Akupun memeluk mereka dan menumpahkan tangisku.
Entah karena tenagaku habis atau ada kekuatan lain yang membelenggu, aku tiba-tiba tertidur. Tangisan Ganang yang membangunkan ku. Entah berapa lama aku tidur. Kulihat Ganang menangis sambil memukul-mukul pintu belakang. Kuhampiri dia lalu kugendong, dan baru kusadari bahwa Samudra tidak nampak batang hidungnya. Aku mencarinya sambil memanggil-manggil namanya, namun tetap saja tidak kutemukan walau seisi rumah sudah kudatangi. Keringat dingin sudah bercucuran didahiku dan kurasakan jantungku berdetak dengan sangat cepat. Ganang tak henti-henti menunjuk pintu belakang dan ini membuatku tersadar. Aku pun langsung berlari ke belakang rumah. Kubuka pintu belakang dan mencari ke sekitar dengan panik. Sampai akhirnya, kulihat siluet seorang lelaki sedang berjongkok dibawah pohon randu. Sosok lelaki yang sangat kukenal. Begitu menyadari keberadaanku, ia pun berbalik dan terlihat air mata sudah membasahi wajahnya. Tangannya berlumuran darah, matanya merah. Ia terus menangis sesenggukan. Dibelakangnya, kulihat Samudra terbaring tak bernyawa dengan leher berlumuran darah. Anak pertamaku, mati dibunuh ayahnya sendiri.
~Bersambung~
Part 3 - Duka
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
