
"Bagaimana jadinya jika engkau diwariskan sesuatu yang justru mengancam keluarga dan juga nyawamu sendiri?"
Tiba-tiba dari jenazah Bapak keluar bayangan hitam dengan wajah penuh sisik. Kepalanya bertanduk dan ia memegang cemeti dengan pegangan berbentuk kepala naga. Sosok itu melayang dengan cepat dan menghantam kearah Ibu. Kaca-kaca dirumah ini sampai pecah ketika itu terjadi dan Ibu seketika menggelepar dilantai sambil memegangi lehernya.
"Ibu!" teriakku panik dan menghampiri Ibu yang sudah setengah tak sadarkan diri.
"Ini sebenarnya ada apa to, Mas?" tanya Pak Mahdi yang sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang tak biasa dalam keluarga kami.
"Saya jelaskan nanti Pak, tolong Ibu saya dulu!" pintaku padanya.
Ibu masih menggelepar dilantai sambil memegangi lehernya, bola matanya melotot dan ia seperti merasakan kesakitan yang amat sangat. Aku membaca doa sebisaku sambil memegangi kepala Ibu dan meletakkannya di pangkuanku. Kulihat Pratiwi juga sibuk berkomat-kamit sambil menenangkan Raras yang menangis ketakutan. Semula Pratiwi hendak mengamankan Raras ke tempat lain tapi aku memberinya isyarat agar tetap disini, karena aku tak tahu apakah diluar sana benar-benar aman atau justru lebih berbahaya. Sejak Ibu menceritakan rahasia kelam ini, rasanya aku tak mau melepaskan pengawasanku pada 2 orang yang kusayangi itu.
"Terus pegangi Ibumu dulu, Mas Ganang! Saya sebentar lagi kembali!" teriak Pak Mahdi kemudian melesat entah kemana.
Aku hanya bisa menurut dengan terus memegangi Ibu sambil membaca dzikir dan segala doa yang aku tahu. Tak lama kemudian, aku mendengar suara Ibu entah dari mana. Suara Ibu bergaung memekakkan telinga padahal kulihat mulut Ibu terkatup rapat.
"Ganang! Tolong Ibu Ganang! Ibu gak mau mati! Arghhhh sakittttt!!"
Hatiku seperti diremas mendengar Ibu meraung seperti itu, ditambah lagi kulihat wajahnya sudah pucat dengan keringat dingin yang bercucuran dari wajahnya. Matanya terus melotot dan tubuhnya sering mengejang, pertanda bahwa memang ada sesuatu yang sedang menyiksanya.
"Mas Ganang! Coba dudukkan Ibumu, lalu kunci tangannya dibelakang, pegangi sekuat mungkin! Saya akan berusaha semampu saya untuk mengeluarkan Iblis ini!" kata Pak Mahdi yang ternyata sudah kembali dengan membawa sebaskom air yang bercampur dengan 7 lembar daun kelor, dan sepotong bambu kuning yang berbentuk seperti seruling.
Aku menuruti perkataan Pak Mahdi dan segera mendudukkan Ibu dan mengunci kedua tangannya ke belakang. Pak Mahdi terlihat membaca doa yang lumayan panjang lalu membasuhkan air itu ke bambu kuning yang dibawanya. Ia juga mengusap wajah Ibu dengan air itu. Kemudian, Pak Mahdi menekan kening Ibu dengan keras lalu menariknya keatas sampai ubun-ubun. Hal ini dilakukan tiga kali. Ibu terlihat menggeram dan memberontak saat menerima semua ritual itu. Akhirnya, Pak Mahdi menggenggam bambu kuning tadi dan meniupnya seperti meniup seruling. Benar saja, dari benda itu keluar suara magis yang membuat seluruh bulu kudukku merinding. Suaranya konstan dan hanya 1 nada, namun entah mengapa aku merasakan energi besar yang terkandung didalam suara itu. Setelah Pak Mahdi meniup bambu kuning yang menyerupai seruling itu, dari ubun-ubun Ibu keluar lah makhluk menyeramkan yang tadi. Sosok itu seperti ditarik paksa oleh energi besar yang tak mampu ia lawan. Kulihat tanduknya yang hitam pekat. Tanduk itu melengkung ke depan, ujungnya bertemu dengan matanya yang berwarna merah sepenuhnya. Wajahnya penuh sisik dan juga bonggol-bonggol yang menonjol di beberapa bagian. Telinganya memanjang seperti kelelawar. Pratiwi yang melihat sosok itu akhirnya lari ketakutan. Aku mencoba memanggilnya tapi ia tetap berlari sambil menggendong Raras.
"Siapa kamu? Jangan ikut campur! Trah ini sudah terikat perjanjian denganku!" Raung sosok itu yang tiba-tiba berbalik menghadap Pak Mahdi.
"Saya bukan siapa-siapa, tapi tak akan kubiarkan kau mencelakai manusia!" balas Pak Mahdi tanpa rasa gentar.
"Mereka sudah dijanjikan untukku! Kamu tidak akan bisa ikut campur!"
Tiba-tiba terdengar suara geraman dari mana-mana. Jenazah Bapak yang sedari tadi diam kini bergetar lagi, lalu bangkit perlahan. Posisinya yang semula berbaring menjadi duduk, lalu berdiri dan menatap tajam kearah kami. Tubuhnya yang sudah dibungkus kain kafan terlihat begitu menyeramkan, apalagi wajahnya yang semakin lama semakin pucat dengan bola mata yang sepenuhnya berwarna putih. Mulutnya masih menganga lebar. Kemudian, terjadi sesuatu yang semakin mengerikan karena di sekitar pocong Bapak itu tiba-tiba bermunculan pocong-pocong lain yang tak kalah menyeramkan. Diruangan ini tiba-tiba penuh dengan pocong-pocong yang tak bisa kuhitung jumlahnya. Ada yang berwajah hitam seperti terbakar, ada yang matanya bolong, ada yang wajahnya hancur, ada yang dihinggapi belatung dimulut dan matanya, bahkan ada yang kulit dan dagingnya sudah mengelupas menyisakan tengkorak dengan bola mata yang sudah busuk. Semua pocong itu menatap tajam kearah kami seolah bersiap melakukan serangan.
Pak Mahdi yang menyadari kehadiran pocong-pocong itu segera berdiri dan berbalik menghadapinya. Ia mengangkat tangannya 45° sambil membaca doa yang tidak aku mengerti. Kemudian dari kedua telapak tangannya itu keluar gelombang energi yang membuat pocong-pocong itu meraung-raung kepanasan. Pak Mahdi terus melakukan itu tapi pocong-pocong itu hanya bergeming walaupun terlihat sebenarnya mereka sangat kepanasan. Disaat aku melihat Pak Mahdi melawan pocong-pocong itu, sosok bertanduk tadi kembali menolehkan wajahnya padaku. Ia nampak menyeringai memunculkan sosoknya sepenuhnya. Tangan kirinya memegang cemeti dengan pegangan berbentuk kepala naga, dan bagian bawah tubuhnya ternyata memang menyambung ke tubuh ular yang sangat besar dan panjang. Tubuh ular itu kemudian melilit tubuhku dan tubuh Ibu. Aku merasakan tulang rusukku seperti remuk sehingga aku pun menjerit kesakitan. Sosok itu semakin mendekatkan diri padaku lalu mengangkat tangan kanannya yang juga berbonggol. Tangan itu disentuhkan ke keningku dan pandanganku seketika gelap setelah menjerit untuk yang terakhir kalinya.
*****
Aku berada di tengah hutan yang lebat dan gelap. Sinar matahari seperti tak bisa menembus pohon-pohon yang begitu rapat dengan daun-daunnya yang lebat. Aku berlari ke segala arah tapi hanya menemukan pohon-pohon besar yang menjulang. Tak ada apa-apa disini. Sunyi, sampai aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri.
"Tolong! Arghhh ampun! Tolong!"
Kudengar jeritan Ibu yang memilukan. Aku segera berlari menuju sumber suara dan akhirnya kulihat pemandangan yang begitu menyesakkan. Kulihat Ibu berlutut dengan kedua tangan membentang, terikat oleh rantai besi yang dipancangkan ke tiang yang menancap di kanan-kiri Ibu. Tubuhnya babak belur dan terlihat darah mengalir dari wajah dan beberapa bagian tubuhnya. Aku ingin segera berlari menolongnya tapi kami dipisahkan oleh lautan api yang berkobar. Berulang-ulang terdengar suara lecutan cemeti disusul jeritan Ibu yang sangat memilukan.
"Ibu!" teriakku memanggil.
"Ganang! Tolong Ibu Ganang!" sahut ibu yang menyadari keberadaanku.
"Bagaimana caranya, Bu?" tanyaku meminta petunjuk.
"Berikan apa yang sudah dijanjikan! Cuma itu caranya!" jawab Ibu.
"Tapi aku tidak akan memberikan Raras!" tolakku seketika.
"Kalau kamu tidak memberikan Raras, Ibu pasti mati! Lalu Pratiwi akan bernasib sama, juga bayi yang dikandungnya!" teriak Ibu lagi.
"Tapi Bu..."
"Apa kau sudah tidak menyayangi Ibu?"
*****
Aku terbangun dengan tubuh yang lemah dan merasakan sakit disekujur badan. Kulihat Pratiwi sedang bertadarus didepanku.
"Pratiwi", panggilku lemah.
"Alhamdulilah, kamu sudah sadar mas?" tanyanya sumringah.
"Dimana Ibu?" tanyaku langsung teringat Ibu.
"Di ruang depan, Mas. Masih belum sadar. Pak Dadyo yang jagain. Pak Mahdi juga bolak-balik ngecek keadaanmu dan Ibu", jawab Pratiwi.
"Jenazah Bapak?" lanjutku bertanya.
"Alhamdulilah sudah bisa dimakamkan, Mas. Pak Mahdi juga yang ngurus semuanya. Keesokan harinya setelah serangan itu, Pak Mahdi ngajak warga buat makamin Bapak. Banyak warga yang takut jadi Pak Mahdi cuma berhasil ngajak beberapa orang saja", jawab Pratiwi lagi.
"Memangnya sudah berapa lama aku pingsan?" tanyaku penasaran.
"Hampir 3 hari, Mas."
Tiga hari? Aku benar-benar tak menyangka ternyata sudah selama itu aku pingsan. Pantas saja tubuhku benar-benar terasa lemah sekarang.
"Makan dulu ya, Mas. Kamu belum makan apa-apa selama pingsan", kata Pratiwi menawarkan.
Aku hanya mengangguk karena merasa tubuhku benar-benar butuh nutrisi sekarang ini. Setelah makan, aku memeriksa kondisi Ibu. Ia seperti tertidur dengan napas yang cukup stabil. Tak terasa air mataku mengalir ketika teringat apa yang dialami Ibu sekarang ini. Setelah merasa tubuhku sudah ada tenaga, aku pun pamit untuk menemui Pak Mahdi dirumahnya. Aku berharap Pak Mahdi bisa membantuku menghadapi situasi yang begitu pelik ini. Apalagi mengingat kemampuannya yang ternyata tidak sembarangan.
"Assalamualaikum", ucapku setelah sampai didepan rumahnya.
"Wa'alaikumsalam", terdengar suara Pak Mahdi menjawab salamku dari dalam.
"Alhamdulilah, Mas Ganang sudah sadar? Silakan masuk mas, kita ngobrol-ngobrol didalam", kata Pak Mahdi setelah mengetahui bahwa aku yang bertamu.
Aku pun masuk kedalam rumahnya dan melihat anak kecil berusia kira-kira 9 tahun sedang bermain didalam.
"Anaknya pak?" tanyaku mencoba berbasa-basi.
"Iya, Mas. Yang nomor 3. Yang nomor 2 sudah SMP", jawab Pak Mahdi.
"Yang sulung pak?" tanyaku lagi.
"Kalau masih hidup kira-kira SMA, Mas", jawab Pak Mahdi singkat.
"Oh, maaf pak saya gak tahu", kataku canggung.
"Tidak apa-apa, Mas. Sudah lama juga", jawab Pak Mahdi mengerti.
"Saya mau berterimakasih pak atas semua bantuan Bapak. Saya tidak tahu bagaimana jadinya kalau gak ada Bapak kemarin. Saya juga gak menyangka, ternyata Bapak punya kemampuan seperti itu", lanjutku memulai inti pembicaraan.
"Sama-sama, Mas. Halah kemampuan apa lho. Saya cuma orang biasa, Mas. Kebetulan saja dititipi sedikit kelebihan sama Gusti Allah. Saya malah mau nanya, sebenarnya di keluarga Mas Ganang itu ada apa to?" tanya Pak Mahdi kemudian.
Aku pun menceritakan semuanya yang kudengar dari Ibu tanpa ada yang kututupi sedikitpun. Aku berharap setelah mendengar semuanya, Pak Mahdi bisa membantuku melewati bencana ini.
"Tidak saya sangka ternyata hal mengerikan seperti itu masih ada di jaman sekarang ini", kata Pak Mahdi setelah mendengarkan ceritaku.
"Kira-kira apa yang harus saya lakukan, Pak? Saya tidak mau ada anggota keluarga yang jadi korban. Lebih baik saya yang mati", ucapku menambahkan.
"Saya coba mencari petunjuk dulu ya, Mas. Secepatnya akan saya kabari kalau sudah dapat petunjuk. Sementara jaga Bu Nimas dulu baik-baik. Saya sudah bilang ke Pak Dadyo untuk meminumkan air doa dari saya secara berkala. Saya juga sudah bilang ke istri sampeyan kalau sampai hari ini Bu Nimas dan sampeyan belum sadar juga, lebih baik dipasang infus jadi tetap ada nutrisi yang masuk. Pokoknya sampeyan perbanyak ibadah, sering-sering baca ayat kursi. Banyakin dzikir juga. Pokoknya minta perlindungan ke Yang Maha Kuasa", kata Pak Mahdi menasihati.
Setelah mendengar itu aku pun pulang dan melakukan apa yang disuruh Pak Mahdi. Aku menghubungi perawat yang kukenal dan memintanya untuk memasang infus ke tubuh Ibu. Setelahnya kami hanya menjaga Ibu sambil sering-sering bertadarus dan membaca dzikir bersama-bersama.
Malam harinya, kami bertiga tidur di ruang depan. Pak Dadyo aku suruh pulang setelah tiga hari tiga malam menjaga Ibu.
Aku masih belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Pratiwi. Ia juga tak banyak bertanya. Ia hanya menggenggam tanganku dan berkata bahwa kami pasti bisa melalui apapun yang sedang terjadi. Setelahnya, ia berpamitan untuk menidurkan Raras sementara aku masih melanjutkan tadarus. Cukup lama aku bertadarus sampai mataku mengantuk dan memutuskan untuk tidur disebelah Pratiwi dan Raras. Aku menatap anak sulungku yang sedang tidur itu dan mengusap kepalanya. Aku cium keningnya dan tak terasa air mataku mengalir lagi, menetes mengenai wajah Raras yang lelap tertidur. Entah karena merasakan wajahnya yang terkena air mataku atau karena hal lain, Raras pun terbangun dan mendapatiku sedang menatapnya dalam.
"Bapak kok nangis?" tanya Raras melihat air mataku.
"Bapak gak nangis, Nduk. Bapak habis wudhu jadi airnya masih netes", jawabku berbohong.
"Bapak mau sholat subuh ke masjid ya? Raras mau ikut", ucapnya merengek.
"Enggak, ini masih malam, subuh masih lama. Kamu bobok lagi dulu ya, nanti Bapak bangunin kalau sudah subuh", jawabku.
"Raras mau pipis, Pak. Anterin ke belakang ya pak, Raras takut ada hantu serem kayak kemarin", pinta Raras.
"Yaudah ayo Bapak anter", jawabku menyanggupi.
Aku pun mengantar Raras untuk buang air kecil dikamar mandi belakang. Di perjalanan, Raras kembali menanyakan sesuatu.
"Bapak udah gak sakit? Raras takut waktu kemarin Bapak gak bangun-bangun kayak nenek. Kata ibu, bapak sakit. Nenek juga sakit. Bapak udah gak sakit kan?"
"Enggak, Nduk. Bapak udah gak sakit lagi. Udah sana pipis dulu, Bapak nunggu didepan sini ya", jawabku lagi.
Raras pun masuk dan mulai buang air kecil. Saat menunggu Raras menuntaskan hajatnya, aku seperti mendengar ada suara yang berbisik memanggilku.
"Ganang...ganang..."
Aku mencari asal suara itu namun tak kutemukan sumbernya. Kulihat sekeliling tapi tak ada siapa-siapa, malah kulihat sesuatu yang mencurigakan di dekat pintu belakang. Setelah kudekati, ternyata benda itu adalah 2 ekor ayam cemani yang terikat kakinya. Ayam cemani itu diletakkan diatas anyaman bambu yang sering digunakan untuk membawa burung dara. Disebelah ayam cemani itu, kulihat anyaman bambu ketiga berisi kembang tujuh rupa dengan belati kecil yang diletakkan diatasnya. Aku berjongkok untuk melihat lebih jelas. Belati kecil itu mempunyai pegangan berbentuk kepala naga. Aku meraihnya dan merasakan genggaman yang pas ditanganku.
"Bapak, Raras udah selesai."
"Bapak!"
"Bapak dimana sih? Raras takut jangan ditinggal"
"Bapak ngapain disitu?"
Kudengar suara langkah kaki Raras mendekat. Aku berbalik dan menatap wajahnya lekat-lekat. Perasaanku berkecamuk tak karuan. Jauh dibelakang Raras, tiba-tiba kulihat sosok Ibu muncul dengan wajah berlumuran darah. Ia menangis dan terus-menerus berbisik meminta tolong. Terdengar juga suara lecutan cemeti yang menggelegar. Suaranya menggelegar menutup suara tangis Ibu yang makin memilukan.
"Raras, maafin Bapak ya Nduk, maafin Bapak"
~Bersambung~
Part 5 - Menyelamatkan Ibu
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
