Berteduh di Rumah Kuburan

0
0
Deskripsi

“Nginep disini saja ya, tidak usah pulang”, kata nenek tua itu dengan mata yang menggantung keluar dari rongga matanya.

Kali ini aku mau membagikan cerita pendek terlebih dahulu, sembari nunggu series yang lagi aku tulis selesai dan insya Allah bisa mulai dibaca minggu depan.

Cerita ini aku dapatkan dari teman SMPku, dan dapat aku pastikan kebenarannya karena 3 dari 4 orang itu menceritakan hal yang sama di waktu yang berbeda. Jadi pertama kali aku mendengar cerita ini dari Tito, lalu beberapa bulan kemudian aku bertemu dengan Boni dan dikonfirmasi oleh Antok. Untuk 1 orang lagi aku tidak bisa mengkonfirmasi karena tidak kenal dengan dia.

Baiklah, langsung saja aku mulai cerita ini berdasarkan sudut pandang dari 3 orang itu yang aku susun menjadi 1.
*****

Sekitar tahun 2012, Antok, Boni, dan Tito janjian untuk pergi ke Pantai Nampu, Wonogiri. Saat itu Pantai Nampu masih belum dikenal oleh orang banyak jadi masih selalu sepi bila berkunjung kesana. Itu yang menjadikan pantai ini menjadi destinasi favorit untuk melepas penat terutama untuk pemuda seperti kami. Walaupun sudah tidak 1 sekolah karena memilih SMA dan perguruan tinggi yang berbeda, kami alumni SMP itu memang masih sering nongkrong dan ngetrip bareng. Namun saat itu hanya mereka bertiga yang berangkat. Karena rombongan yang berjumlah ganjil, Boni pun mengajak pacarnya yang bernama Siska untuk menemani perjalanan kali ini. Singkat cerita, mereka akhirnya berangkat ke Pantai Nampu. Mereka berangkat sekitar pukul 11 siang. Perjalanan mereka lalui sekitar 3 jam melalui jalan-jalan Wonogiri dengan pemandangan yang masih asri. Sesekali mereka juga melewati hutan dengan pepohonan yang lebat di kanan kiri. Sepanjang perjalanan, mereka tidak mengalami kejadian apapun dan sekitar jam 2 siang, mereka sudah sampai di Pantai Nampu. Hampir 4 jam mereka habiskan dengan bermain dan mengambil foto di pantai itu. Air terjun kecil yang ada di sebelah bukit karang juga semakin membuat mereka betah berlama-lama. Sampai akhirnya menjelang matahari terbenam, mereka bersiap-siap untuk pulang.

Rute perjalanan yang mereka pilih sama persis dengan rute saat berangkat. Antok dan Tito yang sudah sangat hafal dengan rute itu berada di depan, sementara Boni dan Siska mengekor di belakangnya. Sudah hampir setengah perjalanan mereka lalui saat tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.  Beruntung disitu ada rumah penduduk sehingga Antok spontan membelokkan motornya dan berteduh di rumah itu. Rumah itu berdiri sendirian tanpa ada rumah lain di kanan-kirinya. Rumah itu masih beralaskan tanah dan berdinding kayu. Pintu rumahnya hanya memiliki tinggi 1,5 meter jadi orang harus sedikit mendunduk jika hendak memasuki rumah itu.

"Ini kita neduh disini dulu tok?" Tanya Boni pada Antok.
"Lah mau gimana lagi? Tiba-tiba deres begini. Aku gak bawa mantol lagi. Udah ditunggu dulu aja, paling gak lama." Jawab Antok.
"Yawis kalau mau neduh berarti minta ijin dulu sama yang punya rumah." Sahut Tito menimpali pembicaraan mereka.

Setelah semua sepakat, Tito mulai mengetuk pintu rumah itu perlahan sambil mengucap salam. Agak lama tak terdengar jawaban dari dalam rumah. Bergantian mereka mengetuk pintu dan mengucap salam. Sampai akhirnya, seorang perempuan tua yang memakai kebaya lusuh membukakan pintu. Ia sedikit bongkok dan berjalan dengan lambat. Giginya ompong di beberapa bagian dan rambutnya sudah putih semua. Kerutan di kulitnya sangat jelas terlihat di wajah, leher, dan kedua tangannya.

"Ngapunten Mbah, kula kaliyan rencang-rencang ajeng nyuwun ijin nunut ngiyup napa angsal?
(Maaf Mbah, saya dan teman-teman mau ijin numpang berteduh apa boleh?)" Ucap Tito mencoba sopan.

"Iyo rapopo, kene mlebu. Nek neng njaba mengko tampu. (Iya tidak apa-apa, masuk sini. Kalau diluar nanti kena tampias.)" Kata nenek itu dengan ramah.

Mereka yang sudah mulai kedinginan pun akhirnya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah itu hanya terdapat seperangkat meja dan kursi yang sudah lapuk dan selembar tikar anyaman pandan yang sudah berlubang di beberapa bagian. Penghubung antar ruangan juga hanya ditutup oleh gorden tua yang sudah kumal dan agak menggantung sehingga terdapat celah yang membuat orang bisa melihat sesuatu yang ada di ruangan itu. Antok, Boni, Tito, dan Siska segera duduk di kursi yang ada sementara nenek tua itu malah memilih berdiri di depan mereka.
"Tak gaweke teh panas disik yo, ben ora podo kademen. (Aku bikinkan teh panas dulu ya, biar nggak pada kedinginan)" kata nenek tua itu.
"Ampun repot-repot Mbah, diparingi izin ngiyup mawon sampun matur suwun. ( jangan repot-repot mbah, diberi izin neduh saja sudah terima kasih)", ucap Siska.
"Ora apa-apa, ditunggu sedhela ya. (tidak apa-apa, ditunggu sebentar ya)", kata nenek tua itu lagi.

Nenek tua itu kemudian memasuki ruangan yang tersekat oleh gorden tua yang sudah kumal tadi, sementara mereka berempat saling mengobrol kecil agar tidak terlalu kedinginan. Seingat mereka, hujan belum sempat mengguyur tubuh mereka karena mereka langsung berteduh di rumah nenek tua itu. Namun anehnya, pakaian mereka sudah basah ketika mereka duduk di kursi milik si nenek tua dan tubuh mereka semakin lama semakin menggigil kedinginan. Tak begitu lama berselang, si nenek tua keluar dengan membawa 4 gelas teh panas yang kemudian Ia letakkan di meja yang ada di depan 4 orang temanku itu. Boni yang sudah merasa sangat kedinginan langsung mengambil teh panas itu dan langsung menyeruputnya. Namun karena teh itu masih sangat panas, ia hanya mampu menyeruput sedikit kemudian meletakkannya kembali sambil memonyongkan bibirnya pertanda kepanasan.
"Pelan-pelan Bon, ditiup dulu orang masih ngepul gitu." Kata Siska memperingatkan.
"Iyooo, aja nyosor wae, kuwi dudu siska." (Iya, jangan main nyosor, itu bukan Siska.) Timpal Tito menggoda.
"Cangkemmu, to." (Mulutmu itu, to.) Ucap Boni sewot.

Setelah itu si nenek tua kembali menawari singkong goreng untuk menemani mereka. Empat orang itu kembali menolak, tapi nenek tua itu tetap berpamitan lagi untuk menyiapkan singkong goreng di belakang. Empat orang itu lalu berbincang-bincang sembari bercanda agar tubuh mereka tidak terlalu kedinginan. Saat sedang berbincang-bincang, mereka kemudian menyadari bahwa semakin lama pakaian dan tubuh mereka semakin basah, terutama Antok yang memang duduk di kursi terluar dari keempatnya.

"Tok, kok awakmu malah tambah thili-thili ngono to? (Tok, kok kamu malah tambah basah kuyup begitu sih?) Tanya Boni mulai sadar.
"Loh, Iyo juga ya. Makane kok tambah adem ngene. Kalian ngrasa tambah adem juga apa ora?" (Loh, iya juga ya. Pantas saja kok tambah dingin. Kalian ngerasa makin kedinginan juga gak?) Antok bertanya balik.
"Kalau aku iya sih, ini rambutku juga tambah basah kok." Jawab Siska sambil menunjukkan rambut panjangnya.
"Padha, aku yo tambah kademen iki. Jaketku nganti isa diperes." (sama, aku juga makin kedinginan ini. Jaketku sampai bisa diperas.) Tambah Tito
"Aku ora i, makane ngombe teh panas iki lho ben anget." (Aku enggak kok, makanya minum teh panas ini biar kerasa hangat) bantah Boni sambil mengangkat gelas teh itu dan berniat kembali menyeruputnya.
"Aja diombe, Bon! Kayane enek sing ora beres iki! (Jangan diminum, Bon! Sepertinya ada yang beres ini!) Cegah Siska tiba-tiba.
"Ora beres pie to? Wong teh panase enak ngene kok" (Gak beres gimana sih? Orang teh panasnya enak gini kok) ucap Boni mendebat.
"Iyo, aku yo ngerasa aneh iki. Iki mau kan ijik alas karo kebon-kebon to, masa ujug-ujug enek omah nyempil dewean ngene?" (Iya, aku juga merasa aneh. Ini tadi kan masih hutan dan kebun-kebun, masa tiba-tiba ada rumah sendirian begini?) Tambah Antok.
"Yo kan omah neng daerah kene biasa ngene ki tok, adoh tangga." (Ya kan rumah di daerah sini biasa begini tok, jauh dari tetangga) Debat Boni lagi.
"Mending tak tiliki dhisik ya, genah ra beres iki. Masa neng njero omah isa thili-thili ngene, wong mau pas udan awake dhewe langsung ngiyup kok." (Mending aku periksa dulu, jelas ada yang tidak beres ini. Masa didalam rumah bisa basah kuyup begini, orang tadi begitu turun hujan kita langsung neduh kok.)

Setelah itu Tito langsung berdiri dan mendekat ke ruangan dalam yang disekat dengan gorden tua itu. Perlahan ia memanggil si nenek tua sambil mencoba mengintip dari celah gorden. Semakin lama ia mengintip, ekspresinya semakin berubah seperti ketakutan.
"Tok, reneo tok!" (Tok, kesini tok!) Panggil Tito.
"Enek apa to?" (Ada apa to?) Tanya Antok khawatir.
"Reneo sik cepet! (Kesini dulu cepat!) Perintah Tito lagi.

Antok pun hanya bisa menurut walaupun dengan ekspresi ketakutan. Ia sempat menoleh pada Boni dan Siska sebelum bangkit dan menghampiri Tito. Setelah mendekat, Tito menunjukkan sesuatu pada Antok dari celah gorden yang sedikit terbuka.
"Menurutmu kuwi apa?" (Menurutmu itu apa? Tanya Tito.
Antok yang mendapat pertanyaan itu pun langsung memfokuskan pandangannya pada sesuatu yang ditunjuk Tito.
"Heh, kuwi apa to? (Heh, itu apa to?) Tanya Antok dengan muka pucat.
"Dibuka wae pie? Ben jelas sisan." (Dibuka aja gimana? Biar jelas sekalian) Ajak Tito. 
"Aja! Ndredheg aku!" (Jangan! Gemeteran aku!) Cegah Antok ketakutan.
"Aja kurang ajar lho, ora sopan nyelonong neng omahe uwong!" (Jangan kurang ajar lho, gak sopan nyelonong di rumah orang!) Kata Boni memperingatkan.

Tanpa aba-aba, tiba-tiba Tito menyibak gorden tua itu dan betapa tercengangnya mereka karena yang sedari tadi mereka anggap ruangan dalam dari rumah itu ternyata adalah kuburan yang menghampar dengan nisan yang berderet-deret. Mereka berdua pun panik dan menghampiri Boni dan Siska dan mengajaknya untuk segera keluar dari situ. Belum sempat berdiskusi lebih lanjut, tiba-tiba terlihat kilat menyambar disertai suara guntur yang lumayan menggelegar, dan setelah kilat yang menyilaukan itu berhenti, tiba-tiba seluruh pandangan mereka berubah. Rumah tua yang sedari tadi mereka lihat hilang begitu saja dan berganti menjadi kuburan yang luas dengan banyak pohon besar. Ternyata sedari tadi mereka berada di bawah pohon besar dengan batang yang berlubang. Kursi yang mereka duduki ternyata adalah nisan besar dan agak tinggi yang terbuat dari batu. Siska yang melihat itu langsung berteriak dan menangis, sementara Antok dan Tito terlihat panik dan ketakutan. Hanya Boni yang tidak terpengaruh dengan perubahan itu. Dia justru keheranan dengan ketiga temannya yang tiba-tiba panik dan ketakutan.
"Kowe ki padha ngapa sih? Kok malah bengok-bengok neng omahe uwong!" (Kalian kenapa sih? Malah teriak-teriak dirumah orang!) Kata Boni sewot.
"Matamu po ra nyawang to Bon? Iki ki kuburan! (Matamu apa gak ngeliat Bon? Ini kuburan!) Ucap Antok keras.
"Ayo pulang Bon! Aku takut!" Kata Siska sambil menangis.
"Wong ijik udan ngene kok. Neng kene dhisik lah, kan simbahe mau lagi nyepakne blanggreng." (Orang masih hujan begini kok. Disini dulu aja, kan tadi si nenek lagi nyiapin singkong goreng.) Kata Boni tenang.
"Kowe ki pie to Bon? Simbahe kuwi genah-genah dudu menungsa!" (Kamu itu gimana sih Bon? Nenek-nenek itu jelas bukan manusia!) Sambar Antok emosi.
"Wis, nek kowe ijik pengen neng kene, kami wae sing mulih!" (Udah, kalau kamu masih pengen disini, biar kami aja yang pulang)
"Ayo Bon pulang! Sadar! Lihat sekeliling kamu!" Pinta Siska lagi sambil menangis.

"Padha arep nengndi? Iki blanggrenge wis mateng. Neng kene wae, rausah mulih." (Mau kemana kalian? Ini singkong gorengnya sudah matang. Disini saja, tidak usah pulang.) Tiba-tiba terdengar suara nenek itu entah dari mana. Siska yang mendengar itu tambah kencang menangis sambil memegang Tito kuat-kuat. Tak lama kemudian, terlihat nenek tua itu berjalan keluar dari balik pohon. Penampilannya tak jauh berbeda bila dibandingkan dengan yang tadi, namun setelah diperhatikan dengan lebih jelas, bola matanya yang sebelah kiri keluar menggantung sampai dagu. Rambutnya juga menjadi lebih berantakan dan kulit wajah dan lehernya menjadi jauh lebih berkerut sampai menggelambir ke bawah. Ia berjalan terbungkuk dengan benjolan besar dipunggung dan membawa sebuah nampan yang berisi bangkai tikus yang sudah terpotong-potong. Siska menjerit melihat itu sementara Antok langsung lari terbirit-birit. Tito yang dipegang erat oleh Siska hanya bisa menggumam tidak jelas sambil gemetaran.
Nenek itu berjalan perlahan mendekati Boni, namun anehnya, Boni tetap terlihat biasa saja dan tidak terlihat takut sama sekali.
"Bon, mlayu Bon! Reneo cepet!" (Bon, lari Bon! Kesini cepetan!) Teriak Tito.
"Padha ngapa to sakjane? Pekewuh Simbah iki lho bengi-bengi nggawekne blanggreng masa ora dipangan." (Pada ngapain sih? Gak enak sama Simbah lah malem-malem bikinin singkong goreng masa gak dimakan) jawab Boni santai.
"Jangan dimakan Bon! Itu bangkai tikus!" Teriak Siska tak kalah keras.
"Iki Siska tak gawa balik yen kowe ora gelem mulih! Tak inepke neng kosku!" (Ini Siska aku bawa pulang kalau kamu gak mau pulang! Aku suruh nginep di kosku!) Ancam Tito.
"Cangkemmu Kuwi! Nek ngomong sing bener kowe to!" (Mulutmu itu! Yang bener kalau ngomong!) Teriak Boni tak terima.
"Ra urusan! Meh tak keloni nek kowe ra gelem!" (Gak peduli! Aku kelonin kalau kamu gak mau!) Ancam Tito lagi.
"Heh to! Maksudmu apa sih?" Bisik Siska terkejut.
"Tenango sis, panasi wae si Boni." (Tenang aja sis, panasin aja si Boni.
"Bajingan! Tak kampleng ndasmu!" (Bajingan! Aku pukul kepalamu!) Teriak Boni penuh amarah sambil berlari ke arah Tito. Setelah mencapai Tito, Boni langsung bersiap memukulnya. Namun tanpa dugaan, Siska langsung menampar Boni kuat-kuat.
Plakkk!!!

"Sadar Bon! Sadar! Lihat sekeliling kamu!" Bentak Siska.

Boni yang tak menduga akan ditampar Siska mendadak mematung. Ekspresinya tak terbaca antara kaget, marah, dan bingung. Tito segera menghampirinya dan mengusap wajahnya dengan air hujan yang mengguyur tubuh mereka sejak tadi.
"Delok kae Bon! Apa sing mbok sawang saiki?" (Lihat itu Bon! Apa yang kamu lihat sekarang?) Tanya Tito.
Boni menurut dan mencoba memfokuskan pandangannya pada sesuatu yang ditunjuk Tito.
"Apa kuwi to?" Tanya Boni mulai sadar.
Ia melihat nenek tua tadi dengan wujud aslinya sedang melambaikan tangan sambil tersenyum menyeringai.
"Neng kene wae, le. Rausah nengndi-nengdi. Rausah mulih ya. Neng kene wae, tak gawekne ayam bakar." (Disini aja nak. Gak usah kemana-mana. Gak usah pulang. Disini aja, aku bikinin ayam bakar.)

Boni yang akhirnya melihat wujud asli si nenek tua langsung menjerit ketakutan. Kemudian tanpa berdebat lagi, mereka bertiga langsung lari menuju sepeda motor yang mereka parkirkan didepan "rumah" si nenek tua. Beberapa saat mereka berlari ke segala arah namun tak kunjung menemukan sepeda motor mereka. Antok yang kabur duluan juga tak nampak jejaknya sama sekali. Kuburan itu sangat luas dan gelap, hanya cahaya bulan yang sedikit menerangi. Beberapa kali terdengar suara guntur yang membuat suasana malam menjadi semakin mencekam. Setelah beberapa saat berlari, mereka berhenti sejenak untuk mengatur napas dan mencoba menenangkan diri. Mereka mencoba mengingat dimana jalan keluar menuju jalan raya, kemudian mulai berjalan lagi melewati nisan demi nisan dan beberapa pohon kamboja yang terdapat di kuburan itu. Tak lama kemudian, mereka menyadari sesuatu yang membuat jantung mereka berhenti karena ternyata mereka kembali ke nisan batu yang dinaungi dengan pohon besar dengan batang yang berlubang. Mereka gemetaran sambil menoleh kanan kiri ketakutan kalau-kalau nenek tua itu muncul lagi. Benar saja, tak lama setelah mereka tiba ditempat itu, terdengar suara si nenek tua yang berkata, "arep nengndi? Neng kene wae. Selawase yo kena." (Mau kemana? Disini wae. Selamanya juga boleh.)

Boni, Siska, dan Tito spontan menoleh ke sumber suara dan mereka melihat si nenek tua merayap keluar dari kuburan kecil yang ada tepat dibawah pohon besar yang berlubang. Sosok itu perlahan beranjak dan akhirnya berdiri sempurna namun dengan punggung yang melengkung. Punggungnya yang tadi bongkok dengan benjolan besar sekarang menjadi cekung kebawah. Ia melayang mendekat ke mereka bertiga sambil tersenyum lebar. Mata kirinya yang menggantung keluar mengayun-ayun ke kanan dan ke kiri. Mereka bertiga spontan berteriak dan berbalik untuk lari. Namun sial, Siska tersandung gundukan tanah dan jatuh terjerembab. Tito dan Boni segera membantunya berdiri namun mereka bertiga akhirnya hanya bisa meringkuk berpelukan sambil terkencing-kencing di celana karena si nenek tua terlihat terus mendekat dan bertanya lagi, "padha gelem to? Neng kene wae, ngancani aku." (Kalian mau kan? Disini saja, nemenin aku.)

"Kula mboten saget, Mbah! Kula sampun ditengga wong tua dikengken balik!" (Saya gak bisa Mbah! Saya sudah ditunggu orang tua disuruh balik!) Jawab Boni terbata-bata ketakutan.
"Yowis, sing penting mlebu apik-apik, metu yo kudu pamit apik-apik." (Yasudah, yang penting masuknya baik-baik, keluar juga harus pamit baik-baik.) Jawab si nenek tua.
"Nggih Mbah, Kula kaliyan rencang-rencang sedanten nyuwun pamit ajeng mantuk. Matur suwun sanget sampun diparingi ijin ngiyup wonten mriki." (Iya Mbah, saya dan teman-teman semua pamit mau pulang. Terimakasih sudah dibolehin numpang berteduh disini." Susul Tito mencoba sesopan mungkin walau sebenarnya ketakutan setengah mati.

Setelah itu, si nenek tua tiba-tiba menghilang entah kemana. Perlahan-lahan mereka melihat gerbang tua lapuk tak jauh dari situ. Boni, Siska dan Tito berdiri dengan kaki gemetar dan tubuh yang basah kuyup. Siska masih menangis sesenggukan. Boni memeluknya dan mengajaknya untuk berjalan menuju gerbang depan. Sesampainya di gerbang, terlihat Antok duduk meringkuk bersender di gerbang namun masih berada disisi dalam area kuburan. Ia memeluk lututnya sendiri sambil gemetaran hebat. Tito segera menghampiri Antok dan memastikan ia baik-baik saja. Antok sempat berteriak ketika melihat Tito tapi setelah memastikan ia benar-benar Tito dengan Boni dan Siska dibelakangnya, ia pun bisa tenang. Tito membantunya berdiri kemudian mereka keluar melalui gerbang itu dan betapa bersyukurnya mereka karena melihat sepeda motor mereka terparkir didepan gerbang. Mereka pun berpamitan sekali lagi menghadap gerbang sambil berterimakasih karena sudah diijinkan berteduh. Kemudian tanpa berlama-lama lagi, mereka pulang dengan bermacam perasaan yang berkecamuk didalam dada.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Di Ambang Kematian - Part 4 - Raras
3
4
Bagaimana jadinya jika engkau diwariskan sesuatu yang justru mengancam keluarga dan juga nyawamu sendiri?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan