
Lelah dengan aksi-aksi heroik Emir, Adrie bersikeras untuk menjadi mandiri agar tidak selalu “diselamatkan” oleh Emir. Puncaknya, Emir benar-benar membuat Adri meluapkan kekesalannya selama ini tanpa ampun.
____________________________________________________________________________________________________________________
DISCLAIMER:
Cerita ini adalah repost dari naskah sebelumnya yang sudah pernah diterbitkan di Wattpad (2015) dan Storial (2019) dengan sedikit revisi. Tujuan draft...
Chapter 7 : Barry dan Emir
Barry dan Emir itu bagaikan anak kembar yang berbeda orang tua. Karena di mana ada Barry, di situ ada Emir. Entah kebetulan atau memang rekayasa orang tua mereka, sejak SD sampai SMA mereka selalu satu sekolah. Sampai kuliah pun mereka satu kampus. Walaupun Barry lebih memilih masuk Teknik Sipil dan Emir di Teknik Kimia.
Barry nampak seperti male lead pada film-film. Keren dan untouchable. Sementara Emir lebih cocok menjadi sidekick si tokoh utama. Karena kalau secara tampang, Emir masih kalah dengan Barry yang terlihat lebih ganteng karena mendapat nilai plus dari cambang panjangnya dan struktur wajah yang maskulin dengan sorot mata yang tajam, dada yang bidang dengan bahu kokoh. Barry memang lebih atletis karena ia lebih rajin work out dan aktif mengikuti klub rugby. Sedangkan Emir bertubuh sedang saja, tidak kurus, tidak gemuk, tidak berotot, tidak memiliki struktur wajah semaskulin Barry. Tetapi mata besarnya dinaungi alis yang hitam yang rapi untuk ukuran laki-laki yang tidak pernah merapikan alis, potongan rambut yang selalu berakhir lebih tebal di sisi atas itu jarang disisir sehingga seringkali nampak bergelombang dan berantakan. Tapi menurut Laras, garis senyum Emir nampak manis dan terlihat menenangkan. Walau Adrie lebih sering merasa senyum itu tampak menyeramkan.
Tentu saja Barry termasuk dalam anak-anak tongkrongan depan minimarket Adrie. Adrie memang tidak menyadari keeksisan Barry sampai ketika Marsha selalu membahas tentangnya. Adrie akui, memang Barry ganteng, tetapi tentu saja Adrie bukan tipe cewek untuk cowok ganteng seperti itu. Namun, ada cowok ganteng yang sering nongkrong di depan rumah itu merupakan hal yang diam-diam menyenangkan untuk sekadar cuci mata.
Pernah sekali ketika Marsha, Laras, Talitha, dan Mira main ke rumah Adrie, pas sekali waktu itu ada Barry, Kiki dan Ucup yang sedang nongkrong di minimarket. Entah di mana Emir. Adrie melihat mata Marsha langsung menyala-nyala ketika melihat Barry di depan rumahnya. Adrie tahu, semua pun tahu, Marsha pasti ingin sekali menyapanya, tetapi malu.
"Drie, kenapa nggak bilang Barry mainnya sampai ke daerah sini?" tanya Marsha dengan penuh semangat ketika mereka sudah sampai di kamar Adrie.
"Yaa ... nggak nyadar juga sih Barry yang dimaksud dia."
"Kalo mereka lagi main, bisa kali ajak-ajak! Hehehe."
"Yeuuu ... Centil!" Talitha menggeplak kepala Marsha dengan kertas.
***
Barry, sebagai sahabat Emir, tentu tahu bagaimana sahabatnya itu mengejar-ngejar Adrie. Sampai suatu ketika, Adrie yang baru pulang kuliah berjalan ke arah stasiun. Seperti biasa, Adrie melakukan ritual 'cek punggung'. Memastikan bahwa Emir tidak membuntutinya. Saking seriusnya sesekali menoleh ke belakang, ketika ia memalingkan wajahnya ke depan, nyaris saja ia menabrak seorang cowok. Cowok itu memakai kaus berwarna biru tua. Hidung Adrie hampir saja bertubrukan dengan dada seseorang, yang terlihat di matanya hanya dada bidang cowok tersebut. Bukan Emir, bukan! Perlahan ia mendongakkan kepalanya ke atas. Dilihatnya cowok itu ternyata Barry.
"Nggak capek berusaha kabur terus dari Emir?" ujar cowok itu dengan matanya yang bak burung elang menatap tajam pada Adrie. Adrie yang tingginya hanya sebahu cowok itu lantas langsung merasa ciut.
"Mau sampai kapan lo kabur-kaburan terus dari Emir?" kata Barry dengan sedikit senyum kecil menggoda Adrie.
Apa yang dikatakan Barry ada benarnya. Adrie tidak pernah mengonfrontasi Emir terang-terangan untuk tidak mengganggunya. Yang ia lakukan sering kali hanya kabur sejauh mungkin agar Emir tidak menangkapnya, sekalipun itu hanya bayangannya. Tetapi namanya Emir, si kepala batu dan muka badak, mau Adrie bilang nggak juga pasti tetap dilakonin sama dia! Cowok itu memang sarap!
"Ng ... Nggak kabur dari siapa-siapa, kok!"
"Cepetan kalo mau balik sekarang, satu menit lagi Emir keluar kelas. Ini gue janjian sama dia." Barry sok melihat jam tangannya seolah ia menghitung waktu.
"He-he …. Duluan ya! Bye!" Adrie langsung memelesat melewati Barry dan menghilang di antara kerumunan orang yang akan ke stasiun.
****
_______________________________________________________________________________________________________________________
Chapter 8 : Perhaps...
"Hai, Adrianna, Path aku di-accept dong!" Goda Emir sambil cengengesan ketika anak-anak tongkrongan sedang berkumpul di depan minimarket keluarga Adrie dan Adrie baru saja pulang sehabis nonton ke bioskop bersama teman-teman SMA-nya. Adrie yang merasa terganggu menundukkan wajahnya dan memelesat ke dalam rumah. Disusul dengan tawa teman-teman Emir.
"Usaha teruuus!" ledek Kiki.
"Tapi nggak dapet-dapet!" timpal Ucup.
"Punya pacar kali, Mir," ujar Barry yang nampak berusaha agak lebih bijak dibanding teman-teman brengseknya.
"Malem minggu nggak ke mana-mana, nggak diapelin. Berarti nggak punya. Padahal niat gue baik loh mau ngapelin dia, tapi dianya malah kabur," jawab Emir asal.
Semua itu terdengar dari kamar Adrie yang sengaja dibuka pintu ke arah balkonnya. Diintipnya dari atas, ibu Adrie membawa pisang goreng yang tadi siang dibawanya sepulang dari acara arisan dan menyajikannya untuk cowok-cowok itu.
"Nih, habiskan ya! Sayang di rumah nggak ada yang makan," ujarnya ramah pada cowok-cowok itu.
"Aduh, Bu, belum jadi menantu aja udah ngerepotin," kata Emir bercanda.
"Deuuuu modus!!!" Disusul dengan ledekan teman-temannya.
"Ngarep!!!!"
"Nggak dapet anaknya, coba masuk dari ibunya dulu!"
Ibu hanya tersenyum. Adrie kesal mendengus kesal, kemudian menutup pintu balkonnya rapat-rapat. Apaan sih?! Emir norak banget! Super duper norak! Jijik! Nyebelin! Kemudian Adrie mengambil handuk untuk mandi. Seolah melihat dan mendengar Emir saja harus disucikan oleh air bersih untuk menghilangkan ingatannya akan cowok norak itu.
Selesai mandi, Adrie mencari makanan sisa di kulkasnya. Tidak ada apa-apa. Teringat pisang goreng sudah ludes oleh cowok-cowok itu. Dengan kesal ia merengut pada ibunya, "Ibu, nggak ada makanan apa-apa nih?!"
"Loh, kamu lapar? Ibu kira kamu tadi udah makan. Makanya ibu kasih tadi sisa pisang goreng ke anak-anak di depan tadi."
Emir lagi, Emir lagi! Pikirnya kesal. "Ibu sih, ngapain sih baik-baikin mereka?!"
"Abis daripada mubazir nggak kemakan. Ibu pulang kamu udah nggak ada. Ya ibu pikir kamu makan di luar, jadi ibu kasih aja ke mereka."
Ibu nggak salah sih memang, Ibu kan nggak tau kalau Adrie akan lapar jam segini. Yang salah Emir! Pokoknya masalah apa pun kalau ada sangkut pautnya dengan Emir, yang salah Emir! Saking capeknya kesal dengan cowok itu Adrie sampai lapar.
"Nggak baik sebel sama orang sampai segitunya. Dia anak baik kok. Kalau waktu itu dia nggak ada, Ayah asam uratnya kambuh gimana coba? Lumayan rumah ini jadi selalu ramai kalau malam," ujar ibunya lembut.
Kenapa Ibu belain Emir sih?
"Ya males aja aku, norak banget kelakuan dia."
"Ya udah nggak usah marah-marah terus. Dia kayaknya naksir kamu tuh, makanya cari perhatian terus. Kalo kamu nggak suka, ya bilang aja terus terang.”
Adrie sebal banget dengar Ibu ngomong gitu. Malah godain dia! Itu Ibu sendiri tahu kalau Emir cari perhatian, kenapa Ibu nggak bisa mengerti kalau anaknya ini nggak nyaman dan membela anaknya di depan Emir? Bilang? Nggak segampang itu ngomong sama orang berkepala batu!
Karena Adrie hanya membalas omongan Ibu dengan wajah cemberutnya, maka Ibu langsung berkata lagi, “Minum susu aja sana, terus ambil makanan di toko, jangan lupa dicatat. Kalau nggak, tunggu aja nasi goreng yang lewat," kemudian Ibu menghilang ke kamarnya meninggalkan anaknya yang masih cemberut.
***
Pernah suatu siang di kantin kampus, Adrie sedang makan bakso dengan Talitha. Bakso masih panas, eh tiba-tiba datang Emir, Barry, dan kawanannya. Adrie yang sudah melihat dari jauh, segera menurunkan tas dari atas meja ke bawah. Berharap Emir tidak melihat tasnya. Ia juga langsung menundukkan kepala supaya Emir tidak menyadari keberadaannya. Talitha tidak menyadari kesibukan Adrie yang sedang berharap bisa mempunyai kekuatan invisible saat ini karena gadis itu sibuk makan sambil mencorat-coret kertas folio mengerjakan tugas Kalkulus.
Nampak Emir melipir ke tempat nasi kuning untuk membelinya terlebih dahulu. Sialan, bangku depan Adrie kosong pula! Please, tiba-tiba diisi orang dong biar Emir nggak duduk di situ! Batin Adrie.
Bruk! Sebuah tas ransel biru tua ditaruh di meja kosong di depan Adrie. Bukan ransel Emir, dia hendak menghela napas lega. Sampai ketika matanya melirik ke arah seseorang yang menempati bangku di depan Talitha.
Barry. Oh, nooo! Cowok itu menyendokkan ketupat ketoprak sambil senyam-senyum ke arah Adrie. Seperti meledek Adrie, “Mau kabur ke mana sekarang?” Wajah Adrie pucat, bakso belum habis sampai setengah tetapi rasanya seperti hambar.
Mata Emir menelusuri seluruh kantin untuk menemukan di mana teman-temannya duduk. Betapa sumringah wajahnya kala melihat sahabatnya sudah mendapatkan tempat duduk di depan Adriannanya. Dengan semangat Emir menghampiri dan menaruh piring nasi kuning di meja yang sudah ditempatkan oleh Barry. Tepat di depan Adrie.
“Hai, Adrianna. Makan apa?” sapanya sambil senyam-senyum jahil.
“Bakso.”
Barry cengengesan melihat respon Adrie. Talitha yang sedari tadi sibuk mengerjakan tugas dan menunda-nunda suapannya, baru tersadar kalau yang duduk di depannya adalah Barry dan Emir.
“Udah selesai kelas?” tanya Emir lagi.
“Belum," jawab Adrie tanpa penjelasan tambahan. Adrie memang ada kelas Kalkulus setelah ini, makanya dia dan Talitha melipir dulu ke kantin untuk Talitha mengerjakan tugas.
“Kalkulus?” tanya Barry yang melirik ke kertas yang dikerjakan Talitha dan dijawab oleh anggukan Talitha. “Lo udah ngerjain Drie? Kalo kesusahan ngejar Kalkulus, Emir masih inget kayaknya sama Kalkulus I," goda Barry.
Adrie diam saja. Menunduk dan berusaha memotong baksonya dengan cepat, tetapi dia sulit melakukannya karena tangannya itu gemetar. Emir memperhatikan tangan Adrie yang sedikit gemetar sebagai tanda bahwa gadis itu setakut atau setidak nyaman itu berada di dekat dia dan Barry. Kemudian dia menyenggol pelan lengan Barry.
Yang Adrie sadari setelah itu adalah keheningan. Emir dan Barry tidak berusaha mengajak ngobrol mereka sama sekali. Talitha berusaha keras menyelesaikan tugas agar mereka bisa cepat pergi dari situ.
Ya, Emir seolah mengisyaratkan Barry untuk berhenti menggoda Adrie. Maka ia fokus menyelesaikan makanannya agar dapat selesai lebih cepat dan pergi lebih dulu dari situ.
“Bar, buru, makannya. Gue mau ke perpus nyari wifi buat nugas," ujar Emir.
“Iya, iya, dikit lagi. Sabar!”
Selesai makan, mereka langsung berpamitan ke Adrie dan Talitha. Adrie menghela napas lega sambil berpikir, apakah mungkin kalau Emir sadar dia tidak nyaman di situ? Kenapa kadang itu orang berkelakuan benar, kadang kayak nggak waras sih? Kenapa dia nggak seperti ini aja setiap hari, setiap saat mereka bertemu?
***
Hari ini adalah hari yang paling sial sedunia buat Adrie. Pulang dari kampus jam 10 malam demi menyelesaikan tugas stupa yang nggak ada habisnya. Yang paling sial, jadwal kereta malam itu berantakan karena katanya ada gangguan sinyal dan sampai ke stasiun dekat kompleks rumahnya pukul 12:30 malam. Ponselnya mati total sejak satu jam yang lalu dan hujan besar di luar, tidak ada taksi yang lewat apalagi ojek yang mangkal karena hujan dan sudah lewat tengah malam.
Adrie berdiri di pinggir jalan gerbang stasiun menunggu taksi lewat. Dua meter dari tempat ia berdiri ada sekumpulan anak punk yang merokok di sebuah warung kecil. Mereka mulai menggoda-goda dan memanggil Adrie. Meski kehujanan, Adrie bersikeras tidak akan berteduh di bawah warung itu. Lebih baik ia kehujanan dan langsung masuk ke taksi atau naik ojek dan kabur secepat mungkin daripada harus diganggu mereka tengah malam seperti ini. Tubuh dan kepalanya yang hanya ditutupi jaket parka mulai menggigil. Selain karena sekujur tubuhnya yang kuyup karena hujan, tetapi juga disebabkan oleh ketakutan yang menyelimuti dirinya. Tanpa disadari tiba-tiba air matanya menggenang di pelupuk matanya. Ia takut sekali.
Sebuah motor skuter matic menghampiri warung tersebut. Pengemudinya menggunakan helm lengkap dengan jas hujan. Ia mampir sebentar membeli sesuatu di warung itu. Air mata Adrie semakin deras ketika salah satu anak punk berjalan menghampirinya. Pengemudi motor tersebut menghampiri Adrie dan berhenti tepat di depannya.
"Adrianna?" Ujarnya. Kemudian ia menatap tajam ke anak punk yang berjalan ke arah Adrie. Tatapannya bak macan yang hendak menerkam mangsa. Anak punk itu menurungkan niatnya dan kembali ke warung.
Adrie tidak melihat jelas siapa orang itu. Mungkin malaikat yang di kirim Tuhan. Tetapi ia mengenal suara tersebut. Siapa lagi yang memanggil dia Adrianna selain dosen-dosen di kampus dan... Hanandio Emir.
"Emir?" ucapnya lirih.
Ia melepaskan helmnya dan memberikannya ke Adrie. "Cepat naik dan pakai ini supaya kepalanya nggak kehujanan lagi dan masuk ke dalam jas hujan."
Adrie menurutinya segera. Kemudian motor tersebut langsung memelesat ke arah rumahnya. Sepanjang jalan mereka hanya diam. Karena tidak ada hal yang bisa dibicarakan dan suara mereka tentu akan kalah dengan suara mesin motor dan hujan. Hanya suara hujan yang deras sekali yang terdengar di telinga keduanya. Deraaasss sekali. Adrie memeluk tas di depannya dengan erat seolah menyerahkan nyawanya pada sebuah benda mati saking enggannya ia berpegangan dengan Emir.
Sesampainya di rumah, hujan sudah tidak terlalu deras. Adrie segera turun dan melihat lampu rumahnya masih terang benderang. Ibu dan Ayah pasti sangat mengkhawatirkannya.
"Terima kasih yaa, Emir..." Kalo nggak ada lo, gue nggak tau jadi apa sekarang... "Kok lo bisa ada di jalan?" tapi yangkeluar dari mulut Adrie malah pertanyaan bodoh seperti itu.
"Nyokap ngeluh sakit kepala dan nggak bisa tidur, nggak ada yang masih buka jam segini. Tadi ke apotek deket stasiun ternyata udah tutup. Untung di warung tadi ada obat sakit kepala. Yaa paling nggak mudah-mudahan bisa bertahan sampai pagi."
Ya Tuhaaan ... Adrie sungguh-sungguh merepotkan dia!
"Emir ... Maaf yaa ..." Mendengar namanya disebut lirih oleh Adrie, tubuh Emir terasa panas. Gadis ini sungguh terlihat tidak berdaya kalau sedang dalam kondisi seperti ini. Bukan Adrie yang lincah seperti biasanya, yang mampu kabur, lari secepat mungkin menghindar darinya. Kalau saja ia tidak mampu menahan diri, rasanya ingin memeluknya! Ya, Emir tetaplah Emir dengan pikiran psycho-nya.
"Udah, nggak papa. Cepat masuk ke dalam. Ibu dan Ayah kamu pasti nungguin dan khawatir."
Adrie tersenyum kecil seperti mengucapkan terima kasih yang paling tulus. Kemudian ia mengetuk pintu rumahnya. Ibunya membuka pintu dengan hati menclos melihat Adrie yang kuyup, lalu meraih kepalanya basah. Emir beranjak dari rumah Adrie ketika ia melihat pintu rumahnya telah tertutup rapat.
***
Bisa ditebak, keesokan harinya baik Adrie maupun Emir sama-sama terserang flu. Mereka pun terkapar di rumah masing-masing. Adrie post sebuah status di Path yang berisi emoticon sick dan postingan tersebut ke share di Facebook juga. Ia melihat notifikasi Facebook-nya, sebuah comment dari Emir:
Sama ya kita, emang kalo udah sehati gitu :P
Sejujurnya, dia cukup kesal. Ya iyalah sama! Orang ujan-ujanannya berdua! Apalagi mengingat kenyataan semalam dia berduaan hujan-hujanan bareng Emir. Semakin kesal lah dia! Semalam sudah sedikit melunak karena merasa nggak enak, taunya Emir tetap aja mengganggu dia! Hanya karena sudah terkapar seperti ini, dia tidak mampu mengumbar kekesalannya terhadap Emir si cowok freak. Kalau saja Emir tidak se-freak dan senorak itu, mungkin ia akan jatuh hati pada cowok itu. Mungkin.
Ketika ia turun ke bawah, ia melihat ada sup ayam di meja makan. Ibu bilang tadi asisten rumah tangga keluarga Emir mengirimkannya untuk Adrie. Kalau saja Emir tidak mengganggu, Adrie pasti senang sekali mendapat perhatian seperti ini. Tetapi ini yang ada Adrie mendengus jijik, dan bersikeras tidak mau memakan sup itu. Nggak mau lah! Gila apa! Kalau ternyata di dalam sup itu ada jampi-jampi yang bikin Adrie hilang akal dan tergila-gila sama cowok itu gimana? No, thank you!
***
_______________________________________________________________________________________________________________________
Chapter 9 : Miss Independent
"Yah, aku mau belajar nyetir!" Seru Adrie di hari Minggu pagi ketika ayahnya sedang membaca koran pagi. "Mobil... Ataupun motor. Whatever, pokoknya bawa kendaraan sendiri. Aku akan sering ngerjain tugas sampai malam dan bawa tugas-tugas arsi di semester-semester depan. Ayah kan udah nggak awas matanya untuk nyetir malam dan antar jemput aku, jadi sepertinya udah saatnya aku belajar nyetir supaya aku bisa lebih mandiri." Dan supaya ia tidak perlu diselamatkan terus oleh Emir! Sebenarnya, itulah tujuan utamanya. Masih lekat diingatannya ketika ia pulang malam hujan-hujanan dengan Emir waktu itu. Dan memang, sejak sebuah kecelakaan yang menimpa ayahnya sewaktu Adrie kecil, mata ayahnya menjadi kurang awas jika berada di tempat yang sedikit cahaya. Itulah mengapa risikonya sangat tinggi jika ayahnya harus menyetir malam-malam dan lebih memilih menggunakan kereta atau bus untuk transportasi sehari-hari ke kantor.
Sejak itu, Adrie mulai mengikuti kursus menyetir mobil dan memberanikan diri membawa mobil. Adrie juga belajar mengendarai motor menggunakan motor Bang Mus, yang kerja di toko keluarganya sebagai kurir pengantar beras, aqua galon, gas, dan sebagainya. Meski orang tuanya takut jika Adrie kenapa-kenapa, tetapi satu-satunya cara untuk membuat Adrie lancar menyetir (dan berani tentunya!) adalah dengan mengizinkan dan mengikhlaskan mobil sedan satu-satunya milik mereka dipinjam oleh Adrie dan 'dihadiahi' beberapa goresan. Semua dilakukannya demi terlepas dari adegan-adegan heroik Emir yang terasa sangat menyebalkan dan menganggu.
Mulai pertengahan semester tiga, Adrie mulai terbiasa menyetir sendirian. Walaupun Adrie masih memilih menggunakan kereta sebagai opsi pertama, karena ia akan lebih cepat sampai dan tidak terlalu capek. Sepanjang akhir semester satu dan awal semester dua, Emir juga masih rajin mengekorinya, berusaha keras memberinya tumpangan. Naik motor atau mobil, atau bahkan dia niat naik kereta juga supaya berbarengan dengan Adrie. Emir sepertinya cukup paham pola kuliah Adrie waktu akhir semester satu. Ia tahu setiap hari Kamis Adrie akan pulang tepat waktu yaitu pukul tiga sore. Pas sekali setiap hari Kamis, kelas Emir hanya sampai jam satu siang. Ia akan menunggu sampai kuliah Adrie selesai, dan ia akan naik kereta ke kampus.
Hari itu matahari bersinar sangat terik. Siapa pun yang berada di luar rasanya akan meleleh jika terus berdiri hanya berpayung langit. Hawa panas juga membuat Adrie mengantuk. Ia pun duduk tertidur di kereta. Ketika sudah hampir sampai, Adrie terbangun dari tidurnya. Dilihatnya Emir berdiri dua meter dari tempat ia duduk, kegep sedang memperhatikan dia. Jadi sedari tadi ia tertidur, Emir di situ, memperhatikannya?! Emir tersenyum kaku karena habis kepergok, kemudian membuang wajahnya ke jendela. Wajah Adrie memerah karena malu. Rasanya darah semua naik ke ubun-ubunnya. Sesampainya di stasiun tujuan, Adrie berjalan cepat setengah berlari, ia tidak ingin bertemu dengan Emir. Sejak saat itu setiap hari ia lebih memilih untuk berdesak-desakan di gerbong khusus wanita, dan bersaing dengan wanita-wanita yang luar biasa garangnya daripada ia harus satu gerbong dengan Emir. Ia ingin semester satu segera berakhir.
Sesampainya di rumah, Adrie merengek-rengek pada orang tuanya agar dibelikan motor untuk transportasi sehari-harinya ke kampus dengan alasan dia malas berdesak-desakan di kereta. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa sebenarnya ia trauma dengan kejadian menyeramkan yang baru dialaminya, Emir menguntit dan memperhatikannya tidur di kereta! Sungguh cowok itu seperti serangga yang menganggu dan ada di mana-mana! Tapi mana mungkin orang tuanya menanggapi alasan seperti itu? Bagi mereka alasan seperti itu tidak masuk akal.
Tentu saja permohonan itu tidak dikabulkan oleh ayahnya. Adrie anak satu-satunya, perempuan pula, membayangkan korban-korban kecelakaan motor di jalanan, ayahnya menjadi paranoid sendiri.
Demi membuat anak gadisnya nyaman, ayah yang tadinya ke kantor menggunakan kendaraan umum, mencoba membawa mobil ke kantor agar dapat mengantar anak gadisnya kuliah pagi. Tapi lama kelamaan Adrie jadi merasa tidak enak, karena kalau ayahnya ke kantor dengan membawa kendaraan pribadi, ia harus berangkat lebih pagi agar dapat pulang lebih cepat karena mata ayahnya kurang awas kalau menyetir di malam hari.
Sejak itu Adrie bertekad untuk terus berusaha melancarkan kemampuan menyetirnya agar orang tuanya memberikan kepercayaan padanya untuk membawa mobil ke kampus. Semua itu demi terlepas dari gangguan Emir!
***
Emir berdiri di antara rak-rak buku setinggi dua meter. Matanya berusaha mengintip-intip dari sela-sela tumpukan buku. Ia berusaha menangkap wujud seorang perempuan yang sedari tadi berkutat di depan laptop dan buku-buku tebal. Ia berusaha memberi celah kecil di antara buku-buku itu agar posisinya tepat untuk melihat perempuan itu.
"Woy! Ngapain lo?" Barry menepuk Emir dari belakang. Ia kaget setengah mati seperti habis kepergok melakukan tindakan asusila. Dengan ceroboh, Emir menarik tangannya yang sedari tadi menahan buku-buku untuk memberinya celah mengintip, tetapi gerakan ceroboh itu menyebabkan sikunya kepentok ujung rak buku dan menimbulkan suara gaduh. Membuat beberapa mata menoleh ke arahnya.
Adrie yang sedang berkutat dengan tugas kuliahnya di depan laptop terganggu dengan kegaduhan di seberang kanan mejanya. Ia mengangkat wajah mungilnya dari laptop dan melihat ke celah-celah di antara buku-buku yang berjajar di rak. Kemudian ia menemukan cowok paling menyebalkan dari hidupnya sedang merintih kesakitan sambil mengelus-elus sikutnya. Melihatnya, Adrie jadi melipat wajah karena kesal. Ngapain lagi sih dia di sini? Kenapa dia selalu bertemu cowok menyebalkan itu? Kemudian dengan muka jutek ia kembali menekuk kepalanya ke depan laptop, seolah ia tidak peduli dengan kejadian itu meskipun hampir semua mata masih ke terpaku ke arah cowok itu.
Adrie mematikan laptop dan bergegas membereskan buku-bukunya untuk segera pulang. Di luar gedung perpustakaan ada seseorang yang memanggilnya, ia pun menoleh.
"Hai, sorry ... Sepertinya lo lupa mengambil buku ini dari dalam textbook deh!" ujar cowok yang memanggilnya tadi. Cowok itu bermata kecil yang ditutupi oleh kacamata tebal dengan list frame tebal berwarna hitam. Rambutnya sangat rapi. Kalau dilihat-lihat ia terlihat seperti cowok-cowok di dalam komik manga.
Cowok itu memberikan buku gambar A4 tipis yang biasa Adrie pakai untuk corat-coret. "Terima kasih, ya!" ujar Adrie tulus sambil tersenyum.
"Sama-sama. Tadi waktu gue ngembaliin buku, buku gambar lo tergeletak aja di meja petugas perpus. Pas gue tanya punya siapa, katanya sepertinya punya lo, soalnya gue pas banget tadi antre setelah lo."
Adrie hanya mengangguk dan tersenyum.
"Adrianna bukan ya? Yang dulu ketua kelompok pas ospek?" Cowok itu mengulurkan tangan.
"Iya ... Lo Rindra kan?" Adrie membalas uluran tangannya. Saat mereka bersalaman, saat itu juga Emir dan Barry keluar dari gedung perpustakaan. Adrie melihat Emir, dan Emir juga melihatnya. Kemudian Adrie memalingkan matanya dari Emir dan kembali mengobrol dengan Rindra. Emir pun tidak menggubrisnya, ia ngeloyor pergi dengan Barry.
"Suka treehouse ya?" tanya Rindra. Cowok itu pasti sudah membolak balik buku gambar Adrie.
"Iya, suka banget."
"Gambarnya bagus-bagus! Lo pasti banyak terinspirasi dari Alice in Wonderland. Beberapa sketsa treehouse keliatan seperti yang ada di Wonderland," puji Rindra tulus. Adrie hanya tersenyum malu.
"Wow, kok lo tahu sih? Iya memang banyak terinspirasi dari dunia Wonderland. Nggak tahu ya, seperti alam mimpi, penuh fantasi tapi dark," seru Adrie penuh semangat. Ia senang sekali menemukan seorang teman yang mengerti seleranya.
"Nggak ikut ArchFest?" tanyanya. ArchFest adalah sebuah festival kecil-kecilan yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa jurusan Arsitektur.
"Hmm.. Belum kepikiran sih. Mungkin tahun depan."
"Kenapa? Mumpung belom overload tugasnya. Lumayan buat portfolio loh!"
"Lo ikut?"
"Lagi cari partner. Tapi belum nemu yang cocok."
"Tahun ini temanya apa?" Tiba-tiba saja Adrie jadi tertarik.
"Bird nest… something gitu lah. Intinya sih kandang atau sarang, cuma sok artsy aja." Rindra berusaha bercanda dengannya dan disambut tawa kecil Adrie. Adrie bilang ia akan mempertimbangkannya. Kemudian ia berpamitan pulang.
Hari ini Adrie sedang membawa mobil. Karena bawaannya banyak sekali. Saat ia akan membuka pintu mobil, Emir menghampirinya.
"Pantesan sekarang udah jarang keliatan sendirian di jalan, Adrianna udah mandiri banget, ya?" ucapnya cengengesan. Apaan sih, Emirrrr? Emang dari kemaren kalo naik kereta nggak keitung mandiri apa?!
"Yah, lumayan kalo pas lagi bawa bawaan ribet dan pulang malem," jawabnya datar. "Ngapain lo di sini? Ngikutin gue mulu! Tadi di perpus, sekarang di sini. Lo kok kayak jurig sih di mana-mana ada?!" Hardik Adrie padanya.
"Yeee ... Orang mobil gue di sebelah mobil lo! Kali ini kebetulan, Mbak, emang kalo jodoh gitu. Ketemu mulu. Lagian, kalo pulang malem atau lagi ribet kan bisa telepon gue. Gue ikhlas kok kalo cuma bawa lo pulang." Ia menaikkan alis tebalnya dua kali sambil cengengesan. Kesal sekali Adrie melihatnya!
"Like you said, I'm trying to be independent now." Dan supaya gue nggak terjebak sama lo lagi! Huh! Gerutu Adrie dalam hati yang nggak mungkin ia ucapkan langsung kepada Emir.
Emir tertawa kecil. "Okay, okay, Miss Independent, drive safe!" ucapnya. Kemudian ia masuk ke dalam Ford Everest-nya. Pantas aja Adrie nggak ngeh ada mobil Emir. Karena biasanya mobil Emir yang sering dilihatnya adalah sedan Honda City keluaran tahun 2005. Bahkan Adrie hafal nomor plat mobilnya saking ia selalu berusaha menghindari mobil itu. Makanya Adrie tidak menyadari bahwa ia parkir di sebelahnya.
***
Malam Minggu, malam tempat anak-anak tongkrongan menghabiskan malam di depan minimarket rumah Adrie. Mereka nggak pada punya pacar yang diapelin apa? Pikir Adrie. Emir, sudah tentu, siapa yang mau dengan cowok aneh seperti dia. Barry? Oh, malam ini Barry sedang absen, Barry biasa menyusul setelah lewat pukul 9 malam. Kiki, Ucup, Hanief? Mereka setia sekali menemani Emir yang jomlo.
Malam itu Emir, seperti biasa, membawa gitarnya kesayangannya. Walaupun skill permainannya di tahap baik (tapi nggak keren-keren amat). Ia mencoba menirukan sepotong melodi lagu Deep Purple.
"Love, love, with you ... You know I love you, I always be true, so please ... Please ... Please ... Please ... Love me dooooo ...." Emir mengganti lagunya dengan lagu The Beatles, Love Me Do, ketika Adrie keluar untuk mengambil pesanan delivery fast food yang dipesannya 45 menit yang lalu. Adrie dengan muka merengut melengos saja melewati mereka. Kiki, Ucup, dan Hanief menahan tawa mereka. Menurut mereka lucu? Nggak ada lucu-lucunya sama sekali! Gerutu Adrie di dalam hati.
Padahal yang mereka tertawakan adalah tingkah Emir yang dibalas dengan kejutekan Adrie. Sudah lama mereka tahu bagaimana Emir berusaha membuat Adrie senyum, tetapi tidak pernah berhasil. Dan Adrie, menurut mereka, tetap jago sekali menahan raut mukanya yang selalu jutek pada Emir. Siapa yang tahan untuk tidak tertawa mendengar Emir yang pede abis nyanyi dan main gitar dengan suara pas-pasan? Cuma Adrie yang tahan. Sampai saat ini rekor itu masih dipegang oleh Adrie. Cewek yang bisa superdingin pada Emir. Padahal kalau di kampus, atau waktu SMA, semua cewek-cewek teman Emir bisa nyaman berteman dengannya. Emir tidak pernah gagal membuat mereka tersenyum, pembawaannya yang sangat easy going membuat cewek-cewek ataupun cowok-cowok senang berteman dengannya. Adrie adalah pengecualian.
Ketika Adrie kembali keluar untuk memberikan uang pada petugas delivery, Barry baru datang menghampiri mereka. Tak sengaja tatapan Adrie dan Barry bertemu. Keduanya teringat kejadian saat mereka berpapasan. Adrie merasa ciut setiap melihat Barry. Bukan hanya karena badan Barry yang jauh lebih tinggi dan besar, tetapi juga tatapannya yang too intimidating, serta caranya yang blak-blakan mengkonfrontasi Adrie. Berbeda dengan Emir yang lebih suka mengkonfrontasinya sambil bercanda dan lebih sering cengengesan. Berpapasan dengan Barry, yang bisa Adrie lakukan hanya menundukkan kepalanya dan kabur secepatnya.
"Siapa yang main lagu Deep Purple tadi?" tanya ayahnya ketika Adrie baru masuk ke rumah. Ayahnya sedang mengotak-atik mainan pesawatnya sambil sesekali matanya menonton tv yang daritadi memutar film Flags of Our Father di channel HBO Signature.
Adrie mendengus. Ia benci sekali jika harus menyebut nama orang itu. "Emir.” Kemudian ia bergegas ke ruang makan untuk makan malam.
_______________________________________________________________________________________________________________________
Chapter 10: Wonderland
Semenjak pertemuan mereka di perpustakaan, Adrie dan Rindra menjadi sangat akrab. Obrolan mereka sangat nyambung dan Rindra adalah tipe orang yang bisa mencairkan suasana. Ia apa adanya dan tidak penuh basa-basi. Rindra dan Adrie sama-sama menyukai film-film buatan sutradara Tim Burton, makanya obrolan mereka sangat cocok.
"Inget gambar treehouse lo yang letaknya di bagian bawah pohon, kayak rabbit hole yang di Alice in Wonderland?" tanya Rindra berapi-api seperti mendapatkan sebuah ide. Ia sedang di perpustakaan bersama Adrie melihat-lihat buku desain.
"Hmm ... Ya, kenapa?"
"Pakai itu aja untuk ArchFest! Jadi pohonnya dibikin pohon musim dingin yang nggak ada daunnya. Lalu di bawahnya baru kita bentuk semacam rabbit hole," seru Rindra penuh semangat seperti baru saja mendapatkan ide yang sangat cemerlang. Kemudian Rindra menggambarkan konsepnya di buku gambar Adrie. Berbeda dengan gambar-gambar goresan Adrie yang selalu lurus, rapi, dimensinya lebih ke arah perspektif, sedangkan gambar Rindra tidak selalu lurus dan persepektif. Rindra lebih bermain dengan volume garis dan shading seolah gambar tersebut berdimensi karena berpantulan dengan cahaya.
"Tapi ... Susah. .. Gue belum pernah coba sih bikin beneran dari kayu ataupun bahan apa pun."
"Bahan utamanya dari ranting pohon, sapu lidi, kawat, rotan, apa pun yang gampang ditemuin sehari-hari yang kita bikin seolah-olah pohon aja. Dan lo nggak ngerjain sendirian laah! Gue akan jadi partner lo, gimana?" Sebuah tawaran yang menarik menurut Adrie. Wajah Adrie berubah menjadi cerah, seolah Rindra memberi harapan besar padanya. "Tapi kita nggak punya studio nih," lanjut cowok berkacamata itu.
"Halaman rumah gue luas. Outdoor sih, tapi malah jadi nggak ragu kalo mau ngotorin, biar tinggal sapu nanti," usul Adrie dan keduanya pun menyetujuinya. Mereka melanjutkan menggambar kasar proyek rabbit hole mereka untuk ArchFest nanti.
***
Hari Sabtu, Rindra datang pukul sepuluh pagi ke rumah Adrie untuk memulai proyek mereka. Di rumah Adrie sudah disiapkan meja sederhana yang terbuat dari kayu tipis di halaman untuk digunakan sebagai alas. Mereka memulainya dari bagian batang pohonnya, kemudian rencananya selanjutnya adalah bagian akar dan lubang kelincinya, bagian terakhir adalah ranting-ranting pohon musim dingin. Mereka berdua tampak semangat sekali mengerjakan proyek ini.
Hari itu Rindra mampir hingga malam hari. Sekitar pukul tujuh lewat sepuluh, mereka benar-benar menghentikan pekerjaan mereka. Mereka duduk-duduk di teras rumah Adrie. Bukannya duduk di kursi rotan yang sudah disediakan, mereka duduk di lantai, berbicara tentang banyak hal, dari hal-hal yang sedang hits di dunia remaja atau social media, film-film Tim Burton, cerita-cerita Rindra tentang arsitektur di negeri Eropa dan Timur Tengah, sampai lagu-lagu John Mayer. Rindra adalah teman yang sangat menyenangkan untuk diajak ngobrol. Pengetahuannya cukup luas, dia berani berpendapat dan Adrie betah menghabiskan waktu dengannya.
***
Malam Minggu yang sama juga merupakan waktu berkumpul anak-anak tongkrongan. Hari itu ada Emir, Kiki, dan Ucup saja. Barry sedang sibuk dengan gebetan barunya, sedangkan Hanief belum waktunya pulang ke Jakarta. Emir selalu dengan misinya: lebih dekat dengan Adrie. Kiki dan Ucup, dua cowok jomlo yang cari tempat buat nongkrong.
Melihat ada Toyota Yaris terparkir manis di depan rumah Adrie, perasaannya mulai tidak enak. Jantungnya hampir berhenti berdetak melihat Adrie sedang duduk manis di teras dengan seorang cowok. Bukan Adrie yang jutek seperti yang biasa dilihatnya. Adrie yang ramah dan penuh semangat, tersenyum manis sesekali pada cowok itu.
"Yaaah kecolongan lu, Mir!" canda Kiki padanya.
Emir sok tidak memedulikan Kiki dan masuk ke dalam minimarket dan membeli sekaleng diet coke. Saat keluar dari minimarket, dilihatnya ayah Adrie sedang mencari sesuatu di sebuah ember dengan modelling pesawat yang setengah jadi. Hal ini terlihat menarik. Model pesawat tersebut adalah salah satu kesukaannya. Dengan penuh percaya diri ia menghampiri ayah Adrie, walaupun ia tahu Adrie pasti kesal melihatnya. Tapi ia tidak peduli. Sejujurnya, ia tidak peduli apa pun perkataan Adrie. Jika ia berusaha untuk mendekati Adrie, itu karena ia memang ingin dekat dengannya. Jika dia menggoda Adrie, itu karena memang ia ingin Adrie tertawa atau kesal. Tapi jika dia ingin melihat 'mainan' ayah Adrie, itu karena ia baru sekali bertemu dengan orang sesama penyuka airplane modelling selain ayahnya.
"Itu B-17G Flying Fortrees bukan, Om?" Emir menghampiri ayah Adrie.
"Iya, betul. Wah kamu tau-tauan aja," jawab ayah Adrie ramah. Heran, kedua orang tua Adrie ramah sekali. Juteknya Adrie ini turunan siapa sih?
"Ayahku hobi airplane modelling juga. B-17G waktu itu kami bikinnya pas saya kelas 6 SD."
"Oh ya? Wah seru sekali! Ini juga baru nemu di toko online gitu. Susah juga ternyata ya bikinnya!"
"Wah di online emang banyak banget, Om. Nih di web ini lumayan bagus-bagus, sering diskon juga," Emir mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah website. "Tapi ayah saya punya langganan, di daerah Depok. Kita bisa request, nanti dia yang cariin."
"Oh ya? Di mana tuh?" Ayah Adrie terdengar sangat tertarik.
"Nanti deh saya tanya Ayah dulu alamat tepatnya. Soalnya biasa udah tau jalannya doang hehehe," Emir tertawa canggung. Kemudian ia melanjutkan, "Bagian yang itu kalau nggak salah harusnya di sayap kanan deh," Emir menunjuk-nunjuk bagian yang dimaksudnya, kemudian ia diajak masuk ke dalam oleh ayah Adrie untuk membantunya mengutak-atik 'mainannya'.
***
Melihat Emir yang tiba-tiba menghampiri ayahnya, kemudian mereka mengobrol tentang airplane modelling seperti dua sahabat lama yang baru bertemu kembali, membuat Adrie langsung menggerutu dalam hati. Ngapain sih, Emir?! Sok akrab banget sama Ayah! Modus! Norak banget! Nyebelin!!! Ia tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaan dan rasa risihnya melihat cowok itu. Meski Rindra di depannya, raut muka Adrie berubah secara refleks ketika dilihatnya Ayah mengajak Emir masuk ke dalam. Memang tidak sejudes biasanya, paling tidak ia sempat mengerutkan dahinya sebagai tanda ketidaksukaannya.
Sampai Rindra pulang pun, Emir masih di ruang tamu bersama ayahnya, dan teman-temannya juga masih nongkrong di depan minimarket. Ketika Rindra berpamitan untuk pulang, dilihatnya mata Emir yang menatap Rindra. Wajahnya tanpa ekspresi, tidak terlihat sinis, tidak juga cengengesan seperti biasanya, lurus-lurus saja, seperti tidak ada apa-apa. Ketika Rindra berpamitan dengannya, ia hanya tersenyum kecil, tidak dingin, biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Adrie baru menyadari bahwa Emir memang tidak mudah ditebak kelakuannya. Dia bisa menjadi orang yang sangat ramah, lalu agresif, lalu normal-normal saja.
Setelah mengantarkan Rindra sampai depan rumah, Adrie membereskan barang-barang untuk ArchFest-nya ke gudang barang tokonya lalu masuk ke dalam rumah seolah Emir dan ayahnya tidak berada di ruang tamu. Emir juga tidak menghiraukannya, saat itu ia sedang sibuk dengan airplane modelling milik Ayah. Kemudian Adrie melewatkan sisa malamnya langsung tertidur lelap di kamarnya. Hari yang cukup melelahkan baginya.
***
Ayah Adrie dan Emir menjadi mulai akrab karena mereka memiliki hobi yang sama. Karena beberapa waktu lalu ayahnya mengajak Emir untuk pergi ke toko langganan Emir membeli airplane modelling yang berada di daerah Depok. Sejak itu mereka menjadi cukup akrab. Kadang untuk merakit pesawat mainan, kadang hanya untuk sekadar ngobrol. Sesekali kalau Emir sedang mampir untuk membeli sesuatu di minimarket atau duduk-duduk di depan minimarket dan Ayah kebetulan sedang di teras, beliau akan memanggil Emir untuk berbincang. Memang ayahnya tidak punya teman sehobi di sekitaran rumah, sepertinya hanya Emir. Terkadang yang dibicarakan juga bukan sekitar hobi airplane modelling, tetapi juga seputaran lagu-lagu jadul seperti lagu-lagu The Beatles atau Deep Purple.
Pemandangan Emir yang sering keluar masuk halaman rumah untuk berbincang dengan ayahnya membuat Adrie gerah. Memang sih, cowok itu tidak berusaha untuk mendekati Adrie jika sedang berbincang dengan Ayah soal hobi anehnya, tetapi tetap saja buat Emir ini adalah kesempatan. Seperti celah atau lubang dari tembok-tembok kokoh nan dingin yang sudah di bangun Adrie sedari dulu.
Kekesalan Adrie tidak pernah terlampiaskan. Masa sih ia harus marah-marah dengan ayahnya karena 'berteman' dengan cowok itu? Setiap melihat Emir yang sedang mengakrabkan diri dengan ayahnya, Adrie hanya menekuk wajah dan memasang muka jutek serta bertingkah seolah tidak ada Emir disekitarnya. Walaupun kadang cowok itu jelas-jelas nangkring di teras rumahnya atau bahkan terkadang di ruang tamu rumahnya. Kalau kebetulan Emir sedang nongkrong di rumah Adrie ketika Adrie sedang mengerjakan proyek ArchFest bersama Rindra, mood Adrie sedikit membaik. Setidaknya ia benar-benar merasa seperti tidak ada Emir di sana dan merasa berhasil menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kehadiran Emir di rumahnya. Dan ketika saat itu terjadi, entah kenapa ada kepuasan tersendiri dalam diri Adrie. Rasanya seperti ia berhasil menjaga dirinya dari pengawasan Emir.
Di suatu Malam Minggu, pukul delapan malam Rindra sudah pamit pulang setelah mengerjakan proyek ArchFest di rumah Adrie sejak siang sehabis adzan ashar. Ketika Adrie mengantar Rindra sampai mobilnya, pas sekali Emir dan segerombolan kawan-kawannya datang. Lengkap dengan gitarnya. Gitar keparat itu lagi. Tidak ada yang enak untuk di dengar dari permainan gitar Emir. Suaranya memang tidak sumbang, tetapi tetap saja mengganggu! Mengganggu siapa pun yang akan istirahat. Tetapi herannya ibu dan ayah Adrie tidak pernah mengeluh akan hal itu, sampai-sampai Adrie bingung, terbuat dari apakah telinga orang tuanya itu?
Adrie bergegas masuk ke dalam rumah dan melempar tubuhnya ke kasur. Lagi-lagi, terdengar suara permainan gitar tanpa suara vokal. Sejenak Adrie ingin menutup telinganya di bawah bantal, karena ia tahu itu pasti ulah Emir. Tetapi ia mengurungkan niatnya ketika mendengar petikan gitar yang sangat familiar di telinganya. Tidak ada nyanyian, hanya suara petikan gitar. Tanpa lirikpun Adrie sudah tau lagu apa itu. Lagu itu menempel di otaknya seperti perekat.
I know a girl, she puts the color inside of my world..
But she's just like a maze where all of the walls all continually change..
And I've done all I can, to stand on her steps with my heart in my hands..
Now I'm starting to see, maybe it's got nothing to do with me..
(Daughters by John Mayer)
Adrie bernyanyi dalam hati, matanya menerawang jauh. Emir menyebalkan! Ngerusak lagu John Mayer aja! Umpatnya dalam hati.
***
_______________________________________________________________________________________________________________________
Chapter 11: Until You Found The Love You've Missed
Ada beberapa hal yang membuat Emir menyukai Adrie. Mungkin itu ketertarikan pada pandangan pertama. Bukan cinta. Ia bahkan tidak mengerti kata itu, kalaupun ia mengerti, ia tidak yakin interpretasinya benar. Alasan pertamanya sederhana: Adrie adalah tipenya, mata yang berkelopak agak kecil dengan bola mata besar dan pupil mata yang hampir memenuhi matanya, hidung yang cukup mancung, bibir merah jambunya yang tipis, rambut panjang bergelombang, senyum manis, raut tipis yang berlipat di antara bibir dan dagunya ketika gadis itu tersenyum.
Ia melihatnya beberapa kali sejak keluarga itu pindah ke kompleks perumahan Pinewood Residence dan membuka tokonya. Kemudian hari itu, ia iseng memberanikan diri mengajak gadis itu mengobrol. Sebuah waktu yang tidak tepat. Percobaannya belum selesai sampai di situ, ia mencoba mendapatkan timing yang pas untuk membuat skenario seolah-olah mereka tidak sengaja bertemu. Tetapi selalu gagal karena Adrie orang yang sangat sensitif jika ada yang membuntutinya. Seperti ada radar pada punggungnya. Ketika ia tidak sedang berusaha membuntuti Adrie, justru selalu banyak kesempatan untuk mendekatinya.
Kemudian ia merubah pola pikirnya, ia akan selalu berusaha berada tidak jauh dari Adrie. Memilih tempat tongkrongan gengnya di toko rumah Adrie bukan pilihannya. Tidak ada yang ingat mengapa teman-temannya memilih tempat itu, mungkin karena rumah Adrie dekat dengan tanah lapang tempat mereka biasa bermain bola. Entahlah, ia tidak mengingatnya, yang jelas itu sebuah keuntungan baginya. Membawa gitar setiap ia nongkrong di tempat itu memang pilihannya, agar Adrie mendengarnya, mengakui keberadaannya.
Bukan Emir tidak pernah mendekati perempuan sebelumnya. Ia pernah pacaran sekali saat SMA. Kejadian singkat, ia sudah menyukai gadis itu sejak masa orientasi, karena lesung pipi kecil yang membuat gadis itu terlihat sangat manis jika tersenyum. Tidak susah mendapatkannya, saat itu semua remaja ingin mencoba berpacaran. Setelah beberapa bulan berpacaran, mereka pun putus. Menurut cewek itu, Emir tidak peka dan terlalu easy going dengan cewek-cewek. Adrie berbeda, cewek itu setengah mati membangun tembok tinggi nan kokoh di antara dirinya dan Emir. Semakin cewek itu mencoba menjauh darinya, semakin ia senang menggodanya, semakin ia ingin berteman dengannya.
Ketika ia tahu Adrie masuk fakultas yang sama dengannya, ia senang sekali mengetahui bahwa Adrie tidak akan terlalu jauh darinya. Lewat social media ia tahu kesukaan-kesukaan Adrie. Gambar-gambar Adrie, buku yang dibacanya, film yang ditontonnya. Gadis ini sangat menarik baginya. Tidak jarang ia memperhatikan Adrie jika gadis itu di perpustakaan kampus. Karena itu satu-satunya tempat yang aman untuk memperhatikan Adrie. Ia bisa bersembunyi di antara rak buku. Terakhir kalinya ia menguntit Adrie di perpustakaan kampus, akhirnya penyamarannya pun terbongkar akibat Barry sialan itu!
Melihat Adrie begitu tekun dan bersemangat mengerjakan proyek ArchFest, ia semakin jatuh hati. Pertama kalinya ia melihat seseorang yang begitu passionate akan suatu hal. Ditambah beberapa kali ia melihat Adrie di musholla Fakultas Teknik untuk sekadar menyempatkan waktunya sholat. Waktu itu, Emir baru selesai melaksanakan ibadah sholat dzuhur di musholla Fakultas Teknik. Ketika ia menuju tempat penyimpanan sepatu, matanya tidak sengaja menangkap sosok Adrie yang baru saja keluar dari tempat wudhu wanita. Rambutnya dikuncir kuda dan membawa tas kecil berisi mukena. Wajahnya dibasahi oleh air wudhu. Emir tertegun dan tidak dapat mengalihkan pandangannya, bahkan mengedipkan mata saja ia tidak sanggup, sampai sosok itu menghilang ke dalam musholla.
Setelah menjadi manusia super pelit beberapa bulan terakhir, kini berdirilah Emir di sebuah toko buku untuk mencari satu set alat tulis. Pensil, penggaris, jangka, penghapus, semua stationery yang dirancang khusus untuk seorang designer. Ya, dia tahu tanggal ulang tahun Adrie juga dari social media Adrie. Emir tidak peduli Adrie menyukainya atau tidak, membalasnya atau tidak, ia hanya senang melakukan hal (yang menurutnya) baik pada Adrie. Ia tidak peduli dengan respon Adrie, yang ia tahu ia hanya ingin Adrie mengetahui keberadaannya.
***
Acara ArchFest bukan hanya sekadar berisi pameran karya seni, tetapi juga ada acara hiburan kecil-kecilan yang diisi oleh beberapa mahasiswa. Adrie berkumpul dengan Mira, Talitha, Marsha, dan Laras. Tadinya ia bertemu dengan partnernya, Rindra, tapi cowok itu seperti social butterfly yang setiap satu jengkal langkahnya bertemu dengan temannya dan sekarang entah ke mana. Teman Adrie memang tidak terlalu banyak. Teman-teman lamanya hanya mengontaknya melalui social media, tetapi sudah jarang sekali bertemu. Setiap Rindra menyapa temannya, ia mengenalkan Adrie sebagai partnernya membuat the rabbit hole. Bukan Adrie tidak menyukai bersosialisasi, ia hanya lelah berkenalan dengan semua orang. Ia bahkan sudah tidak ingat nama teman-teman Rindra. Maka ketika matanya menangkap sosok Mira dan Laras yang sedang berputar-putar di venue, ia langsung berpamitan untuk menyapa mereka. Melihat Rindra yang sangat extrovert membuat Adrie tersadar betapa ia cukup kesepian selama ini, teman-teman mainnya hanya seputaran Mira, Laras, Talitha, dan Marsha.
"Ra!!! Abang lo tuh masa di atas panggung!" Seru Laras cukup histeris melihat Emir yang menyiapkan gitar di atas panggung. Mira terkejut, kemudian matanya mencoba fokus ke atas panggung. Tidak terkecuali Adrie yang juga kaget melihatnya. Adrie mengenal cewek yang ada di atas panggung bersamanya. Cewek itu senior Adrie di Arsitektur, Kak Fayza, ia juga membawa gitar.
"Aduh, aduh, nggak kenal gue! Bukan abang gue! Nggak kenal!" Ujar Mira malu. Ia sok menutup wajahnya ketika melihat kakaknya tampil di atas panggung.
Sejenak Adrie mencoba mengenali intro lagu yang dimainkan Emir. Seperti kenal, tetapi apa ya?
Fayza mulai bernyanyi bait pertama, "I thought I had it all together, but I was led astray the day you walked away... You were the clock that was ticking in my heart, changed my state of mind when love's so hard to find..." Suara Kak Fayza khas sekali, terdengar agak serak-serak basah. Ia membuat lagu Baby I'm Yours terdengar berbeda dengan warna suaranya yang unik. Oh, rupanya si old school Emir update lagu jaman sekarang juga?
"Listen, baby, your wish is my command.. Baby won't you understand, that your wish is my command.. What can I do to make my baby understand.." Penonton mulai menikmati beat musik Emir dan Fayza. Mereka mulai menghentakan kaki dan menganggukkan kepala, tidak jarang juga ikut bernyanyi di bagian chorus. Emir seringnya menundukkan kepalanya selama bermain, mungkin agar suara gitarnya tidak fals. Beberapa kali ia menoleh ke arah Fayza, mereka kemudian saling membalas senyum. Ada apa antara Emir dengan Fayza? Mengapa mereka bisa saling kenal? Pertanyaan itu menghampiri benak Adrie. Meski ia kemudian denial pernah berfikir seperti itu.
"Not bad lah, Ra.. Jangan malu," goda Marsha ke Mira cengengesan.
"Yah, lumayan," ujar Mira.
"Cieee... Adrie... Buat lo tau itu," Bisik Laras senyam-senyum kepada Adrie.
"Ish!" Adrie mendengus kesal.
Selesainya acara ArchFest, Mira mengajak Adrie pulang dengan ia dan Emir. Tetapi Adrie menolaknya dengan alasan ia sudah ada janji dengan Rindra untuk merayakan kesuksesan mereka. Kali ini bukan Adrie berusaha untuk menghindari Emir. Rencananya dengan Rindra bukan sekadar alasan.
***
Adrie berada di salah satu restoran di daerah Senopati bersama Rindra. Makan malam kali ini ceritanya adalah perayaan kesuksesan pameran mereka di acara ArchFest. Banyak hal yang dapat di diskusikan dengan Rindra. Dari teknik menggambar sampai hal-hal yang sedang happening. Tetapi hari ini Rindra lebih banyak bertanya soal keseharian Adrie dan keluarganya saja.
"Kalau anak-anak yang suka main ke rumah lo setiap Sabtu itu, tetangga ya?"
"Bukan main, tapi nongkrong," topik yang agak menyebalkan untuk Adrie tetapi moodnya hari itu sedang cukup bagus.
"Oh, kirain memang main bareng lo." Rindra berhenti sejenak. "Ada yang suka sama lo ya? Setiap gue dateng mereka nyindir lho."
Ternyata selama ini Rindra sadar! Adrie bingung untuk menjawabnya. Karena pada dasarnya ia tidak mau mengakui kalau Emir menyukainya. Toh, Emir tidak pernah bilang kalau suka padanya, ia hanya sadar dari tingkah laku dan bercandaan teman-teman Emir, bahkan Mira. Pernah memang Emir bercanda tentang lagu The More You Ignore Me The Closer I Get, tetapi itu kan hanya bercanda. Tapi Emir tidak pernah mengakui bahwa dia menyukai Adrie. Tidak secara harfiah. Lagi pula, memangnya Adrie perlu pengakuan itu? Mau Emir mengaku pun ia tetap tidak akan suka dengan cowok itu.
"Nggak, palingan itu hanya bercandaan," Adrie berusaha menjawabnya santai. "Eh, Ndra, lo lebih suka ke laut atau ke gunung?" Adrie berusaha mencari topik untuk mengalihkan arah pembicaraan.
"Hmm... Sulit ya pertanyaannya hahahaha.." Rindra sok berpikir kemudian menjawab, "Laut. Gue lebih suka laut. Karena gue suka snorkling, bahkan diving. Laut itu sangat relaxing buat gue. Kalau lo?"
"Sulit juga yah ternyata? Hahahahaha. Suka dua-duanya aja deh. Karena dua-duanya punya value masing-masing."
"Iya, betul. Tapi gue emang suka diving sih. Ini aja Agustus mau ke Banda Neira, Maluku, sama teman-teman. Ikut, yuk!" Ajak Rindra excited.
"Hehe nggak tau bisa atau nggak. Namanya juga anak tunggal, susah izinnya."
"Iya sih yaa... Kabari aja nanti kalau minat, gue bantu urusin deh nanti untuk cari tiket pesawat murahnya," Adrie pun tersenyum mengangguk.
"Kalau lo, lebih suka Harry Potter atau Star Wars?" Tanya Rindra pada Adrie.
"I'm the generation of Harry Potter," jawab Adrie bersemangat.
"Hey, me too! But I prefer Star Wars."
"Oh, please, gue masih terlalu kecil waktu Star Wars muncul di tahun 90-an."
Rindra tertawa kecil mendengar statement Adrie soal itu. Seperti secara tidak langsung Adrie meledek Rindra sebagai “old soul.” Mereka masih tenggelam dalam pembahasan Harry Potter VS Star Wars hingga malam dirasa telah larut.
***
_______________________________________________________________________________________________________________________
Chapter 12: Just, Please, Stop Trying!
Sudah pukul setengah sepuluh malam, Adrie masih berada di perpustakaan kampus untuk menyelesaikan tugas kelompok bersama beberapa teman sekelasnya. Mereka memang janjian untuk menyelesaikan tugas tersebut malam ini karena sudah mendekati deadline. Sekitar pukul 22:15 akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Ketika berjalan menuju parkiran, ia merasa ada yang mengikutinya. Ia sesekali menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya merinding, tetapi ia lebih takut dengan rampok bersenjata. Ia mempercepat jalannya, jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetaran, mulutnya komat-kamit berdoa. Ia yakin tadi ada bayangan orang lain di belakangnya. Sesampainya di mobilnya, ia mengecek suasana sekitar mobilnya. Kata orang itu adalah cara untuk waspada terhadap perampokan. Setelah memastikan tidak ada orang yang mengincar mobilnya, Adrie masuk ke dalam mobil dan cepat-cepat mengunci semua pintu sebelum ia menyalakan mesin.
Di sepanjang jalan, ia merasa ada satu mobil yang selalu di belakangnya. Jika Adrie melaju agak cepat, mobil tersebut akan berusaha menyalip mobil yang menghalanginya. Adrie takut ini adalah salah satu modus perampokan baru yang sering ia baca di internet. Ia memilih jalan yang tidak terlalu gelap dan tidak jauh dari rumah penduduk. Kakinya bergetar sepanjang jalan, tetapi ia tetap harus konsenterasi menyetir. Sambil sesekali bibirnya mengucap doa minta dilindungi Yang Maha Kuasa. Ia hampir menangis.
Sesampainya di jalan raya kompleks, ia baru sadar bahwa mobil yang daritadi membuntutinya adalah sebuah sedan Honda City hitam. Ia yakin sekali itu siapa, orang itu bukan rampok, setidaknya bukan ingin merampok harta bendanya. Ketegangannya perlahan melemah sehingga yang tersisa hanya lemas. Tetapi rasanya darahnya naik ke ubun-ubunnya, wajahnya panas, dadanya serasa ingin meledak. Ketika sudah berada di jalan kompleks yang agak sepi, ia menginjak rem secara mendadak dan memposisikan mobilnya di tengah jalan sehingga mobil tersebut terpaksa berhenti. Adrie langsung keluar dari mobil, membanting pintu mobilnya dan mengetuk kaca supir Honda City tersebut. Sudah Adrie duga siapa yang ada di dalam situ. Ia tidak kaget, tapi kesal setengah mati.
"Hai, Adrianna, maaf udah bikin takut," ujar Emir pelan setelah melihat wajah Adrie yang memerah karena marah.
"MAAF? LO TAU, GUE UDAH TAKUT LO ORANG JAHAT! SEPANJANG JALAN GUE GEMETARAN, MAU NANGIS TAU NGGAK?!" Adrie sudah tidak tahan lagi.
"Iya maaf, gue bisa jelasin," Emir keluar dari mobilnya.
Adrie menjauh satu sentimeter dari cowok itu, seperti melindungi dirinya dari sebuah serangan. "SETOP NGIKUTIN GUE! SETOP LIATIN GUE DI PERPUS! SETOP MERHATIIN GUE TIDUR DI KERETA! STOP BERUSAHA NGANTERIN GUE PULANG! SETOP NYANYI-NYANYI DI DEPAN RUMAH GUE! SETOP BERUSAHA TEMENAN SAMA GUE!" Serunya keras pada cowok itu. Ia sudah tidak tahan lagi, ia melontarkan semua kekesalannya selama ini yang tertahan pada Emir. Tanpa disadari matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Setop ... Berusaha berteman sama bokap gue, setop..." Ia menarik napas agar tidak menangis. "Stop... Sok jadi pahlawan..." Air matanya akhirnya jatuh perlahan. "Setop ... Berusaha ... Ngelindungin gue ..." Ia pun menangis. Matanya merah.
Adrie menarik ingusnya kemudian melanjutkan, "Setop. .. Berusaha deketin ... Gue ... Gue nggak suka sama lo, gue nggak suka dideketin lo, nggak suka!" Ia mengelap air matanya, napasnya memburu saking emosinya. Ia menatap mata Emir, dilihatnya Emir mematung, rahangnya mengeras, matanya juga tetap menatap Adrie. Cowok itu bahkan tidak menunduk ketika Adrie memakinya.
"Maafin gue ya, Adrianna." Hanya itu yang keluar dari bibirnya, meski Adrie tau apa yang ingin dikatakan Emir lebih banyak daripada sekadar kata maaf. Ia tampak malu juga kecewa. Tetapi Adrie tidak peduli. Ia mendengus kesal dan kembali ke mobilnya. Dan menginjak gas, melanjutkan perjalanannya sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah, ia membenamkan wajahnya ke bantal. Ibunya melihat matanya yang sembab, sebelum ibu sempat bertanya, tangannya sudah memberi kode agar ibu memberikannya waktu beberapa saat untuk sendiri. Untung ibunya mengerti.
Apakah tadi ia keterlaluan mengkonfrontasi Emir? Yang tersisa kini malah perasaan bersalah. Ia merasa tidak enak sudah membentak-bentak Emir seperti itu. Tetapi jika tidak seperti itu, Emir tidak akan pernah mengerti.
***
Sudah tiga bulan semenjak kejadian itu, Emir tidak pernah main ke rumah Adrie lagi. Bahkan teman-teman se-geng-nya juga jarang nongkrong di minimarket rumah Adrie. Hanya sekali-dua kali mereka berkumpul, itupun hanya ada Hanief dan Kiki. Dalam hati kecilnya Adrie merasa bersalah, tetapi ia cukup merasa tenang dengan absennya Emir di sekitarnya. Meski kadang ia merasa seperti ada yang kurang. Ia ingin bertanya kabar Emir pada Mira, tetapi pertanyaan itu selalu gagal untuk keluar dari bibirnya ketika ia bersama Mira. Di kampus juga Adrie jarang sekali melihat Emir, hanya beberapa kali ia melihat Emir di kantin Fakultas Teknik, terkadang ia juga melihat Emir di musholla. Tetapi tidak di perpustakaan, tempat Emir sering membuntutinya.
Rupanya cowok itu benar-benar menuruti kemauan Adrie. Terkadang jika melihat Emir dari jauh, ia mencoba memperhatikan tingkahnya, is he alright? Ya, cowok itu tampak baik-baik saja.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
