
Aku melirik smart watch yang melingkar di tangan kiriku. Sudah sepuluh menit sejak orderanku diterima, tapi sopir taksi online itu tak kunjung datang. Aku duduk di teras yang sepi. Hujan baru saja mengguyur kota ini beberapa menit yang lalu, menyisakan jalanan yang basah dan beberapa sudut kota yang tergenang.
Sejak awal aku datang ke kota ini, banjir sudah jadi kawan dekatku. Bahkan awal-awal pertama aku tinggal di salah satu tempat kostsan pinggiran, setiap hujan, kamarku pasti kemasukan...
Rembulan Dan Segalanya #UnlockNow
2
1
2
Berlanjut
Dari sekian banyak kemungkinan untuk jatuh cinta, kenapa aku harus jatuh cinta padanya?Seorang lelaki pemilik tatapan sendu dan senyum menawan, yang sejak pertama kali bertemu sudah membuatku penasaran. Kalau pada akhirnya aku tahu cinta ini tidak pernah menyatu, harusnya sejak awal aku tidak perlu berharap lebih kepada lelaki itu.Namun apa kenyataannya? Semua telah terjadi. Rasa itu tumbuh subur persis jamur di musim hujan, dan aku terdiam membiarkan tenggelam dalam perasaan yang tak dapat aku kendalikan.Aku jatuh hati pada pria yang mustahil untuk aku miliki. Bukan karena benteng pembatas di antara kami terlampau tinggi tapi pagar pelindungnya yang teramat tebal hingga untaian doa ini tak mungkin menembusnya.Aku tahu, jarak di antara kami hanya setipis cairan air yang membeku. Namun, setipis apapun itu, itu tetap jarak bukan? Jarak yang membuatku patah sepatah-patahnya. Kenapa harus ada jarak setipis itu yang memisahkan kami berdua?Aku terlanjur jatuh hati padanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Bab 2 - Tahun 2003, Setahun kemudian (Rembulan dan Segalanya) #UnlockNow
1
0
Aku menatap ke luar jendela, ke arah sepasang lelaki dan perempuan tadi. Aku memandangi gerak gerik keduanya, bahkan sampai ketika sepeda motor yang mereka gunakan hilang di gerbang masjid dan berbelok kiri. Aku tersadar dari lamunan waktu si sopir taksi tiba-tiba membuka pintu mobil dan masuk terburu-buru. “Maaf, Mbak. Lama ya?” tanyanya sambil memasangkan kembali sabuk pengaman. “Tidak apa-apa, Pak. Santai saja.” “Alhamdulillah, saya pikir tadi kelamaan. Biasanya saya tidak mengambil orderan kalau sudah jelang waktu sholat, tapi tadi diluar prediksi saya. Jalanan banjir dan macet membuat lama perjalanan. Kita langsung ke pelabuhan ya, Mbak? Atau mbak ada yang mau dibeli dulu?” pria itu bertanya ramah, mungkin hendak menebus kesalahannya karena membuatku menunggu dia yang sedang sholat? Aku merasa tidak ada masalah apapun dengan orang-orang yang sedang sholat. Diminta menunggu selama apapun itu, aku tidak akan terganggu. Mungkin pria itu berpikir aku akan mengomelinya hingga dia meminta maaf seperti itu? Entahlah. Aku pernah menunggu lebih lama dari ini dan aku bahkan tidak punya alasan untuk marah. Beberapa jamaah ada yang baru melangkah keluar dari masjid. Seorang anak kecil, usianya mungkin 12 tahun, berlari pelan menuruni anak tangga yang basah. Pria di sampingnya dengan cekatan menangkap agar anak itu tidak terpeleset. Aku menarik napas panjang. Waktu ternyata begitu cepat berlalu, dan kita tidak pernah menyadarinya. Sama seperti beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan tinggal di desa dengan berbagai akses yang sangat terbatas. Tahun itu, tahun 2003, kabarnya provinsi ini baru saja merdeka menjadi provinsi mandiri. Aku tahu itu dari cerita beberapa keluarga atau orang dewasa yang merantau ke kota ini. Saat itu, di tahun 2003, jelang setahun sejak pertemuanku pertama dengan Fajar di tepi sungai sore itu. Satu tahun pertama dan semuanya tampak baik-baik saja. Fajar ternyata tak perlu waktu lama untuk membaur bersama aku dan teman-teman. Dia memang pendiam tapi bukan berarti tak pandai bergaul. Anaknya cerdas hingga kami menjadikan dia tempat bertanya setiap kali ada pekerjaan rumah dari sekolah. “Kita tanya sepupumu saja, Lan. Dia kan pintar?!” cetus Widya saat kami sudah kebingungan mengerjaan Pe – Er yang diberikan oleh Pak Mutakin di sekolah. “Betul. Betul. Kita tanya Fajar, aku yakin dia bisa mengerjakan pekerjaan ini. Kalau kita bisa benar semua, wah, hebat sekali. Kita bisa dipuji sama guru-guru terutama sama pak Mutakin. Jujur saja, Bulan. Aku bodoh soal matematika ini. Kenapa juga harus ada pelajaran matematika di muka bumi? Memangnya kalau mau beli pisang di pasar harus pakai rumus?” Iksan menimpal dengan ciri khasnya yang senang sekali menggerutu. Aku hanya diam. Memang sejak kedatangan Fajar, kami bertiga seperti kedatangan malaikat penolong. Jika ada Pe-Er yang tidak kami pahami, maka tinggal minta Fajar untuk mengerjakannya, dan tugas itu selesai dalam waktu singkat. Kamipun akan mendapatkan nilai yang tingi dari pak mutakin. Tapi, bukankah itu curang ya? “Tidak, Ulan. Itu tidak curang. Fajar bahkan bisa dapat pahala karena telah membantu kita. Bagaimana? Sebelum dia lulus dan pindah ke SMP, loh.” Iksan melanjutkan kalimatnya. Benar. Tidak lama lagi fajar akan memasuki bangku SMP, dan itu artinya, kami bertiga akan segera naik ke kelas enam sekolah dasar. Tidak terasa waktu begitu cepat. Aku akan segera naik kelas enam dan setahun kemudian aku akan mengganti seragam jadi putih biru. Aku tidak sabar meski baru sebatas membayangkannya. “Nanti aku coba minta tolong Fajar, deh. Tapi janji ini yang terakhir kali, ya? Besok besok kita harus minta diajarkan, biar kita paham, dan kita bisa mengerjakan Pe Er sendiri tanpa perlu minta bantuan Fajar lagi.” Begitu yang aku katakan pada Iksan dan Widya yang langsung disambut senyum bahagia di wajah keduanya. Malam harinya aku menemui fajar yang sedang belajar di meja kecil di dekat dapur. Dengan cahaya penerangan seadanya dari lampu minyak, dia tampak sangat serius mengerjakan soal-soal di hadapannya. Aku sudah pusing duluan kalau harus menjawab soal ditemani api yang menari-nari macam itu. “Matamu tidak sakit, Jar?” tanyaku sambil duduk persis di hadapannya. Sekarang jam sembilan malam, listrik sudah mati. Sesuai jadwal, listrik hanya menyala dari jam empat sore sampai jam delapan malam. Setelah itu, seisi desa ini akan gelap gulita. Rumah rumah akan menyalakan lampu minyak atau lampu petromax sebagai alat pencahayaan, kecuali rumah Ci Len, pemilik toko kelontong di ujung jalan yang menggunakan mesin genset. “Tidak.” “Kenapa tidak belajar sebelum mati lampu?” aku masih berbasa – basi. “Sudah.” “Terus? Kenapa masih belajar?” “Belajar itu tidak kenal waktu, Bul. Mau mati lampu atau menyala, kita tetap harus belajar. Apalagi sebentar lagi mau ujian kelulusan, aku harus belajar lebih giat lagi. Aku harus lulus supaya bisa lanjut ke SMP. Kamu tidak belajar?” begitu Fajar menaikkan pandangannya, aku langsung teringat tatapan pak mutakin, sorot mata mereka sama-sama mengintimidasi. “Eh? Belajar? Ini... ini loh, aku mau belajar. Kebetulan sekali, aku dapat tugas dari pak mutakin...” kalimatku terpotong saat sadar Fajar sedang menatap tajam lurus ke arahku. Aku langsung nyengir karena sudah tertangkap basah. “Tidak mau. Bukannya aku sudah pernah bilang? Kamu dan teman-temanmu itu harus belajar biar bisa mengerjakan soal – soal itu sendiri tanpa meminta bantuan padaku. Bukannya aku tidak mau membantu, tapi itu tugas kalian. Bukan tugasku. Kalau pak takin tahu bagaimana? Aku juga bisa kena marah.” “Pak guru tidak akan tahu, kok. Tolonglah, Jar. Tolong kami ini.” “Aku akan mengajarkan bukan menjawab soal – soal itu. Kalau tidak mau, ya sudah. Kamu boleh pergi tidur saja.” Fajar langsung mengabaikanku. “Fajar? Ayolah. Masa sama sepupu sendiri tidak mau membantu?” “Kalau aku terus membantu, nanti kamu dan teman-temanmu jadi manja. Apa-apa dikerjakan olehku, kan? Kalau begitu terus, kapan kalian bisa paham? Kerjakan saja sendiri. Soal-soal itu gampang, kok. Kamu hanya perlu belajar, bukan asyik bermain dan berenang di sungai setiap hari.” “Tolong kami, Jar. Aku janji, ini yang terakhir. Sumpah. Demi Allah!” “Tidak. Kamu harus mengerjakannya sendiri, setelah itu biar aku periksa dan koreksi kalau ada yang salah. Aku tidak mau mengerjakannya lagi seperti yang sudah - sudah. Kamu pilih mengerjakan soal itu atau aku laporkan pada Pak takin?” fajar tiba-tiba mengancam. “Loh? Jangan, dong! Kalau kamu melapor, kamu juga pasti kena marah sama pak takin. Atau begini saja, aku janji, ini yang terakhir kalinya. Setelah itu aku akan kerjakan semuanya sendiri. Kamu juga sudah mau masuk SMP beberapa bulan lagi, to? Aku janji, ini yang terakhir. Bagaimana? Nanti hari sabtu ada layar tancap di kantor desa seberang, kalau kamu mau, aku boncengin deh buat nonton layar tancap. Bagaimana? Katanya ada film keren.” Layar tancap adalah hiburan berharga untuk kami. Di desa yang bahkan pemilik televisi bisa dihitung pakai jari tangan, tentu saja menonton di layar besar adalah kebahagiaan yang tak terkira termasuk untuk Fajar. Meski dia berasal dari kota kabupaten, tapi setelah tinggal lama di desa ini, dia mulai terbiasa dengan gaya hidup kami di desa. “Kamu tidak berbohong, kan?” “Tidak. Tadi orang dari kantor desa...” “Bukan filmnya, Bul. Tapi janjimu tadi kalau ini yang terakhir kalinya aku mengerjakan tugasmu. Setelah itu, aku tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah itu apapun alasanmu.” Aku langsung tersenyum lebar dan mengangkat kelingking, “Janji.” Itu menjadi janji yang pertama aku ucapkan sebelum janji demi janji berikutnya. Fajar langsung mengerjakan soal-soal itu dengan cepat dan tampak sangat mudah. Aku sampai termenung dibuatnya kala itu. Dan aku pikir, janji itu hanya akan menguap begitu saja sampai sabtu sore, ketika aku, Iksan dan Widya sedang berenang di sungai seperti biasa, tiba-tiba Fajar muncul di tepi sungai dengan pakaian yang sudah rapi. Hari ini kami tidak ada jadwal mengaji jadi kami bisa lebih puas bermain-main. “Fajar? Ayo! Kita berenang. Hari ini pak ustad lagi libur!” teriak Iksan dari atas pohon ketapang yang sudah roboh itu. Dia bersiap untuk meloncat ke sungai dengan arus sedang. Fajar tidak menghiraukan ajakan itu. Dia menatap lurus ke arahku yang antri di belakang Widya, bersiap untuk menyusul Iksan yang sudah berenang mengikuti arus sungai. “Fajar? Kamu mau kemana sudah rapi begitu?” tanya Iksan yang tiba di dekatnya. “Mau ke kantor desa seberang. Katanya ada layar tancap,” jawab Fajar. “Layar tancap? Kantor desa seberang? Kata siapa?” Iksan bertanya lagi. “Bulan. Katanya sabtu malam ada layar tancap di kantor desa seberang. Ini aku sudah siap-siap untuk pergi nonton, harus pergi dari sore, biar kebagian tempat paling depan. Nanti sholat magribnya di masjid dekat kantor desa itu saja. Kalian tidak mau ikut?” tanya Fajar pada Iksan dan juga Widya yang juga tiba di dekat Iksan. Keduanya malah saling pandang seperti orang kebingungan. Memangnya ada layar tancap? Kata siapa? Iksan adalah orang pertama yang akan selalu tahu kalau ada info soal layar tancap atau pasar malam. Iksan adalah orang pertama yang akan selalu tahu kalau ada pertandingan sepakbola di lapangan kecamatan atau pertandingan volly di dekat gudang tua di depan masjid desa. Namun untuk urusan yang satu ini, dia malah tidak tahu apa-apa. “Tidak ada layar tancap, Fajar. Lebih baik kamu berenang dengan kami saja, bagaimana? Siapa yang bilang ada layar tancap di desa seberang? Berarti kamu sudah kena tipu sama dia. Dia sudah bohong padamu, Jar.” Widya mengangguk seolah menyepakati apa yang dikatakan Iksan. “Benar. Iksan ini selalu udpate soal info-info seperti itu. Dia yang akan mengabari kita kalau ada acara musik, layar tancap, pertandingan bola atau pasar malam. Kalau Iksan tidak tahu, berarti memang tidak ada apa-apa.” Aku baru saja tiba di dekat ketiganya, memunculkan kepala dari dalam air. “Kamu mau kemana Fajar?” tanyaku, seolah tidak tahu apa yang baru saja terjadi. “Kamu berbohong soal layar tancap. Kamu berbohong padahal aku sudah membantumu mengerjakan tugas matematika itu. Aku bikin salah apa sampai kamu tega berbohong begitu, Bulan? Aku tidak menyangka, kamu ternyata tukang bohong.” Aku termenung dengan sekujur tubuh basah kuyup saat melihat Fajar berlari pulang ke rumah. Aku berbohong? Soal layar tancap itu? Aku hanya sembarang bicara malam itu, karena Fajar tidak mau menolong kami. Aku pikir dia tidak akan marah seperti itu tapi dugaanku salah besar. Dia malah marah dan pergi begitu saja. Bahkan beberapa hari setelah itu, Fajar tidak mau bicara sama sekali denganku. “Fajar?” Aku menghampirinya dia di teras belakang rumah sore itu, beberapa hari kemudian. Namun Fajar malah langsung berdiri dan pergi dari sana. Aku seketika dibungkus rasa bersalah. Dia tidak marah tapi kecewa. Aku tidak tahu kenapa dia bisa sekecewa itu padahal aku tidak bikin kesalahan yang besar. Aku hanya membohonginya soal layar tancap itu saja, kan? Kenapa dia tampak sangat kesal ya? Bahkan sejak saat itu, dia tidak mau lagi berangkat bersamaku dan yang lain ke sekolah maupun ke masjid untuk mengaji ataupun untuk pergi sholat. Fajar sekarang selalu bersama teman-teman sekelasnya, termasuk Hendra, anak kepala desa itu. “Bisa minta tolong fajar saja?” tanya Widya. “Minta tolong fajar untuk mengerjakan soal itu? Hah! Tidak mungkin, Wid. Kalau saja Bulan tidak berbohong soal layar tancap waktu itu, pasti dia masih mau membantu kita. Sekarang tidak ada yang bisa menolong kita lagi.” Iksan mengeluh menatap ke arahku yang hanya diam. Kenapa semuanya jadi salahku, ya? Kalau mereka berdua tidak mendesakku untuk minta tolong fajar, ini semua tentu saja tidak akan pernah terjadi. Kalau saja aku tidak meminta Fajar mengerjakan pekerjaan rumah matematika itu, aku tidak mungkin berbohong soal layar tancap itu padanya. Aku mengembuskan napas berat. Terlambat. Semua sudah terjadi dan tidak ada gunanya saling menyalahkan. Ujung-ujungnya semua akan menyalahkanku karena aku yang berbohong pada Fajar. Kalau tidak diajak bicara, atau tidak berada di dekat orangtuaku, Fajar tentu tidak akan menjawab semua pertanyaan dariku. “Pak Ustad? Apa hukumnya kalau kita berbohong?” tanya Fajar saat pak ustad Arman sedang memberikan sedikit tausiyah pada kami sebelum pulang. Kelas mengaji sudah selesai. “Dosa. Berbohong itu dosa, ya? Jadi jangan sesekali berkata bohong. Apapun alasannya kita harus tetap bicara jujur apa adanya.” Aku menatap ke arah Fajar yang duduk di barisan depan, lalu melirik Widya dan Iksan yang duduk di sampingku. Aku jadi merasa bersalah dan sangat berdosa. Maka sepulang mengaji, aku langsung menghampiri Fajar, menahan ujung baju kokoh yang dia gunakan sore itu. Bahkan bajunya itu hampir sobek karena adegan tarik menarik di antara kami berdua. “Aku mau minta maaf soal malam itu, Fajar. Iya, aku berbohong. Soalnya aku bingung, kalau tidak begitu, kamu tidak akan menolongku. Aku tidak tahu harus berbuat apa jadi terpaksa aku bicara sembarang saja malam itu. Aku minta maaf. Aku janji tidak akan mengulangi perbuatanku itu lagi. Sumpah. Demi Allah!” ucapku. Fajar hanya diam, menarik keras ujung baju kokohnya, lalu pergi meninggalkanku. Itu adalah janji kedua yang aku ucapkan pada Fajar, sebelum janji demi janji berikutnya. Aku pikir Fajar tidak akan memaaafkanku. Aku pikir dia masih akan terus marah dan kesal padaku. Aku pikir kami tidak akan pernah berteman lagi sejak itu. Namun aku keliru. Sungguh aku telah keliru berpikir Fajar akan membenciku karena permasalahan layar tancap itu. Aku keliru sebab Fajar tidak pernah membenciku.Tidak. Fajar tidak akan pernah membenciku. Apapun yang aku lakukan, Fajar tidak akan pernah benci kepadaku. Sungguh, meski aku berulang kali mengecewakannya, dia tidak pernah membenciku sama sekali.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan