
Repost kemarin sempat unpublish.
Jangan lupa swipe buat Part 6-10 ya
Blurb
"Jadi milik siapa testpack ini?"
Suara Rania yang penuh dengan kekecewaan terdengar menusuk di ruang tamu keluarga Aryaatmaja, di hadapan Rania dan Saka, dua putri mereka, Harsa dan Nadira tengah duduk bersisian, seperti biasa Harsa yang memang hidupnya sudah terlatih untuk tenang karena tuntutan pekerjaannya sebagai seorang Intel di Kepolisian hanya mendesah lelah menatap Ibunya seolah apa yang ibunya ributkan bukanlah hal yang penting.
"Yang jelas bukan punya Acha, Mi. Kalau Acha hamil, nggak mungkin Acha naruh barang itu sembarangan, nggak mungkin juga Acha buangnya di tempat sampah rumah. Acha masih sayang nyawa Acha."
Jawaban Harsa yang bahkan begitu acuh membuat Saka menghela nafas panjang, putri kecilnya yang manis dan menggemaskan benar-benar sudah tumbuh menjadi seorang wanita yang tangguh dan keras, penuh dengan kalimat sarkas yang membuat Saka gemas ingin menjitak kepalanya yang berambut kuncir kuda, tapi mengalihkan perhatiannya dari putrinya sendiri, Saka dan Rania kini menatap ke arah Nadira, putri asuh mereka yang sudah tinggal bersama dengan mereka selama 20 tahun kini menunduk.
Rasanya sulit untuk Rania percaya jika testpack ini milik Nadira, anak kecil yang Rania rawat sejak berusia 4 tahun saat ditemukan berjalan dalam keadaan menangis karena ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya tersebut anak yang tidak pernah macam-macam. Nadira adalah anak yang manis, adik dan saudara yang baik untuk Harsa. Tidak mungkin rasanya jika Nadira sekarnag hamil.
Rania dan Saka mengharapkan kata tidak yahg tegas seperti yang diucapkan Acha tapi sekarnag Nadira justru menunduk, tidak berani menatap mereka bertiga. Gadis kecil yang kini tumbuh menjadi sosok manis seorang influencer mode yang cukup terkenal tersebut memilin tangannya dengan gelisah, terlebih saat Nadira menyadari jika semua tatapan terarah kepadanya.
Meskipun bukan anak kandung, atau anak angkat, status anak asuh yang dimiliki Nadhira membuatnya diperlakukan sama seperti putri Aryaatmaja, Rania dan Saka berharap banyak pada Nadira, setidaknya dia harus menjaga nama baik keluarga mereka, tapi sepertinya harapan yang diberikan Rania dan Saka terlalu tinggi.
"Nadira, ini bukan punya kamu, kan? Dirumah ini hanya ada kamu dan Harsa yang mungkin menggunakan testpack ini, tidak mungkin Mbok Sum masih bisa hamil! Apalagi Pak Parto!"
Nadira mendongak, menatap ke arah Ibu sambungnya yang kini menatapnya tajam, menuntut sebuah jawaban, tapi sekeras apapun Nadira berusaha, dia tidak sanggup menjawabnya.
"Bu....." rengek Nadira pelan, dan itu sudah cukup sebagai jawaban, wajah Rania pias, pucat dan tidak menyangka. Ada banyak hal buruk di dunia ini, namun Rania tidak menyangka jika putri yang diasuhnya bisa begitu mengecewakannya, melemparkan kotoran tepat ke wajahnya.
Selama ini Rania selalu mendidik Nadira dengan baik, tidak ada bedanya sama sekali dengan Harsa,'pakaian sama bagusnya, pendidikan mereka bersekolah ditempat yang sama, lantas inikah yang di dapatkan Rania sebagai balasan?
Air mata Rania merebak dia nyaris ambruk jika saja Saka dan Harsa tidak sigap menahan Ibunya. "Mami, tenang Mami!"
"Mi, Ya Tuhan! Tenang!" Bagaimana Rania bisa tenang jika kondisinya seperti ini, Rania merasa gagal menjadi seornag Ibu. Tidak peduli dengan Suaminya yang menenangkan, khawatir jika Rania terkena serangan jantung atau semacamnya, tangan Rania teracung, terangkat kepada Nadira yang juga panik, Rania ingin berbicara secara lembut seperti yang selalu dia lakukan tapi nyatanya Rania tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memaki Nadira.
"KATAKAN! DENGAN SIAPA KAMU HAMIL, HAH? KAMU SAYA BESARKAN BAIK-BAIK, DAN INI BALASANMU, HAH? PERLIHATKAN KEPADA SAYA PRIA MANA YANG SUDAH MEMBUATMU TEGA MENGKHIANATI SAYA, NADIRA!"
Bukan hanya Rania yang ingin tahu, Harsa dan juga Saka pun penasaran siapa pria tidak bertanggungjawab atas semua hal memalukan yang sudah dilakukan oleh Nadira, tapi bukannya menjawab, Nadira justru menangis.
"Bu, Maafin Nadira, Bu. Maafin Nadira, Dira salah Bu! Dira sudah ngecewain Ibu sama Bapak!" Nadira melemparkan dirinya ke kaki Rania memohon ampunan, tapi Rania sama sekali tidak peduli.
"KATAKAN, RA! KATAKAN SIAPA PRIA YANG BERTANGGUNGJAWAB ATAS JANIN HARAM..."
Dan kalian tahu apa jawabannya? Tidak tahan dengan kalimat haram yang diucapkan oleh Rania membuat Nadira berteriak dengan histeris.
"BANG NAREN, BU. BANG NAREN AYAH JANIN INI."
Dan saat itulah puncak komedi dalam kehidupan keluarga Aryaatmaja yang dermawan, putri asuhnya memiliki hubungan terlarang dengan calon suami Harsa, sungguh ingin rasanya Rania dan Saka membalik bumi yang penuh drama memuakkan ini.
...................
Part 1
"Jadi dijemput atau nggak, Nad?"
Suara merdu nan tegas diujung sana membuatku harus menghentikan usapan kuas dari sang makeup artist yang tengah mengerjakan wajahku untuk photoshoot sebuah endorse pakaian dari brand ternama asal Jepang.
"Aku baru makeup, Cha. Kayaknya masih dua jam-an lagi deh."
Aku melirik jam tanganku, photoshootnya cepat, yang lama itu makeup, hair do dan teman-temannya. Kudengar Acha sibuk berbicara dengan seorang entah siapa, wanita yang tidak lain adalah anak tunggal dari keluarga yang mengasuhku tersebut tidak memiliki pekerjaan tetap, dia selalu mengatakan kepada semua orang Freelance, sementara seharusnya dia menjadi seorang pewaris untuk usaha-usaha dua keluarga, keluarga Aryaatmaja dan juga keluarga Tanaka, sungguh bagiku Harsa adalah anak manja yang tidak memiliki tanggung jawab yang hobinya keluyuran, lama aku menunggunya berbicara sampai akhirnya aku mendengar tanggapannya.
"Ya sudah nggak apa-apa, aku samperin nanti. Aku juga mau mampir ke tempat Bang Naren dulu, lihat dia ada kerjaan apa."
Meskipun Acha tidak melihatnya namun aku tetap mengangguk, sama sekali tidak mengomentari tentang dia yang akan menghampiri Narendra meskipun secuil hatiku tercubit mendengar nama pria yang 8 tahun lebih tua dariku tersebut.
"Oke, Cha. Salam buat Bang Naren juga." Ujarku sembari mengakhiri percakapan, namun diujung sana aku masih mendapatkan tanggapan darinya.
"Salamin sendiri, orang nanti dia mau aku ajakin jemput kamu sekalian. Aku mau ngajak Bang Naren makan, dilihat-lihat tiap videocall dia kayaknya makin kurus kayak kamu. Kurang makan kebanyakan kerjaan."
Tanpa menanggapi apapun aku mematikan panggilan telepon, tanpa sadari aku mencibir perhatian yang diberikan oleh Harsa kepada Naren, alih-alih merasa manis atas sikapnya, aku merasa ya pantas dan wajar orang kurang kerjaan sepertinya memperhatikan hal-hal sepele tentang kurang makan, bagi orang yang bekerja sepertiku, bukan pewaris sepertinya yang tinggal ngeluyur ngabisin duit orangtua, makan bukan prioritas utama apalagi saat ada kerjaan sedang bertumpuk-tumpuk, aku merasa Bang Naren yang berada di unit kriminal khusus juga pasti berpikiran yang sama seperti cara berpikirku.
"Siapa yang nelepon, Nad?"
Marlena, MUA yang meriasku bertanya, diluar konteks pekerjaan yang tengah kami kerjakan kami memang berteman, background tentang kami yang dipungut oleh keluarga kaya menjadikan kami sangat dekat, aku merasa satu-satunya orang yang mengerti perasaanku mungkin Marleen ini.
"Si anak manja, ya?!" Tanyanya lagi dan aku mengangguk sembari melemparkan ponselku dengan malas.
"Iya, dia mau jemput gue!" Jawabku acuh.
"Ada ya anak majikan jemput anak pungut! Cuma lo doang nih yang bisa, kalau gue yang ada malah dibabuin sampai mampus sama mereka!" Marleen turut mencebik, wajahnya menunjukkan iri yang sangat kentara tanpa disembunyikan sama sekali.
Mendengar keluhan dari Marleen aku tertawa, merasa lucu dengan perlakuan yang kami dapatkan yang sangat jauh berbeda.
"Tapi tetap saja gue judulnya juga anak pungut, Leen. Sama saja kayak lo, ya wajarlah si Acha jemput gue, kerjaan dia cuma ngeluyur, pergi nggak jelas, balik-balik bisa sebulanan. Tinggal manis-manisnya aja kita di depan mereka padahal mah gue empet banget sama dia. Sebel banget gue sama dia, mentang-mentang anak tunggal dia nggak mau kerja. Bapak Ibu nggak masalahin lagi, lah gue, lihat seminggu dirumah aja udah ditanyain apa gue sepi job. Sebaik-baiknya mereka tetap saja nganggap gue benalu."
Di depan Marleen ak.a Marlina aku tidak perlu menggunakan topeng manisku, aku bisa menjadi diriku sendiri yang normal, yang terkadang merasa sangat sebal terhadap dunia. Aku bekerja begitu keras agar dunia tidak mencemoohku sebagai anak pungut tapi tetap saja bahkan di posisiku sekarnag semua mengatakan jika aku berhasil karena dukungan Aryaatmaja.
Sangat menyebalkan.
"Lo memang ratunya munafik, Nad."
Mendengar cemoohan Marleen aku terkekeh geli sama sekali tidak tersinggung karena memang benar adanya. "Ya gimana lagi, gue kadang capek juga kayak gini."
Siapa yang menyangka, dari keluhanku barusan, Marleen justru mengusulkan ide yang memupuk subur rasa iriku.
"Ya sudah, rebut saja itu tunangan si Harsa. Lo pernah cerita ke gue kalau lo suka itu Polisi, kan? Gue lihat-lihat dia juga care sama lo, nggak susah lah buat jebak dia, tinggal lo pinter-pinter manfaatin kesempatan. Kalau lo nggak bisa jadi Tuan putri Aryaatmaja, seenggaknya lo jadi Bini orang kaya, pasti ajib kalau lo bisa dapatin tunangan si Harsa. Hidup lo bakal nyaman, Nad."
Sungguh ide Marleen sangat menggodaku, tidak bisa aku pungkiri jika aku sangat menginginkan kehidupan Acha, aku juga sangat menginginkan Narendra, wajah hangat berwibawa tersebut sukses membuatku jatuh cinta. Sayangnya Crush-ku tersebut sialnya justru di jodohkan dengan si Manja Harsa.
Sebuah sentuhan aku dapatkan di bahuku dari Marleen. Dia memintaku untuk menatap ke arah cermin dimana wajah cantikku terlihat.
"Lo harus manfaatin wajah cantik lo ini, Nad. Buat Narendra jatuh cinta sama lo. Gue dukung lo buat bergerak ngerubah nasib."
...............
Part 2
Ya sudah, rebut saja itu tunangan si Harsa. Lo pernah cerita ke gue kalau lo suka itu Polisi, kan? Gue lihat-lihat dia juga care sama lo, nggak susah lah buat jebak dia, tinggal lo pinter-pinter manfaatin kesempatan. Kalau lo nggak bisa jadi Tuan putri Aryaatmaja, seenggaknya lo jadi Bini orang kaya, pasti ajib kalau lo bisa dapatin tunangan si Harsa. Hidup lo bakal nyaman, Nad."
".............."
"Lo harus manfaatin wajah cantik lo ini, Nad. Buat Narendra jatuh cinta sama lo. Gue dukung lo buat bergerak ngerubah nasib."
Kalimat Marleen terngiang-ngiang dibenakku, selama ini aku mati-matian menahan perasaan iriku terhadap Harsa karena aku berusaha sadar karena keluarga Harsa penolongku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka, namun sejujurnya aku pun tidak sanggup berada dibawah bayang-bayang Harsa terus menerus.
Disaat seharusnya statusku menjadi anak angkat keluarga Aryaatmaja, dimana aku bisa dengan resmi menjadi keluarga mereka, keluarga Aryaatmaja hanya menjadikanku anak asuh. Benar aku tinggal bersama dengan mereka, memakai pakaian dari merk yang sama dengan Harsa, dan bersekolah ditempat yang sama, tapi disaat bersamaan ada dinding pembatas tak kasat mata yang seolah menegaskan jika aku ada disini hanya sekedar menjadi teman bermain Harsa karena Bapak Saka Aryaatmaja tidak mau Ibu Rania mengandung lagi.
Disaat itu aku merasa sudah sepantasnya aku mendapatkan semua kenyamanan ini karena hidupku harus aku habiskan menjadi pelayanan Harsa, teman bermainnya, dan menjadi bayang-bayangnya. Seluruh dunia tertuju pada Harsa, mereka memuji Harsa sebagai sosok cantik, baik hati, dan sangat ramah, apalagi saat Harsa mengajakku bersamanya, makin-makinlah pujian itu semakin menjadi.
Hanya Harsa yang menjadi sorotan, para perempuan berlomba-lomba menjadikan dia teman, para lelaki yang aku suka selalu menjadikannya idaman. Mungkin itulah awal rasa iriku, semua orang baik kepadaku hanya karena Harsa bersamaku, dan puncaknya adalah saat aku yang mulai puber tertarik dengan dua bersaudara Cakraningrat yang seringkali datang ke rumah.
Narendra dan Dwijendra, kakak beradik yang berjarak 3 tahun tersebut mengenal keluarga Aryaatmaja sejak mereka kecil hingga mereka dewasa, tidak peduli dinas Bapak Saka berpindah-pindah setiap kali liburan dua laki-laki tersebut selalu datang. Berbeda dengan Jendra yang sangat dingin, bahkan kepada Harsa sekalipun, Narendra adalah pribadi yang hangat, sosok kakak yang pengertian.
Tidak seperti kebanyakan orang yang memandangku sebelah mata, Narendra memperlakukanku sama seperti Harsa, dia selalu melibatkanku dalam obrolan tidak sekedar menganggapku bayangan atau dayang Harsa, Narendra selalu menghargaiku, dan itulah awal mula aku jatuh cinta dengannya. Dia adalah cinta pertamaku, sosok yang jadikan tolak ukur harus bagaimana seorang pria yang aku inginkan. Sayangnya cinta itu harus aku kubur dalam-dalam saat Bapak dan Ibu menerima lamaran orangtua Narendra, Narendra sendiri mengaku jika dia mencintai Harsa sejak Narendra bertemu Harsa kecil.
Aku sempat berharap Harsa akan menolak lamaran Bang Naren mengingat Harsa tidak pernah membicarakan laki-laki dalam kapasitas romantis, tapi kenyataannya Harsa menerima Narendra, dan menjalani pertunangan yang sudah berjalan 3 tahun ini dan hanya tinggal waktu untuk mereka menikah. Sungguh aku benar-benar muak melihat Harsa bersikap sok manis dan sok perhatian kepada Narendra.
Dibandingkan bersama Harsa yang hanya menuruti keinginan orangtuanya, seharusnya Bang Naren bersamaku. Aku lebih bisa membahagiakan Bang Naren daripada Harsa yang hanya bisa membebani. Lulusan STIN tapi hobinya ngeluyur, aku bisa menebak jika Harsa akan menjadi Ibu Bhayangkari yang buruk.
Serangkaian rencana tersusun dibenakku, aku benar-benar mempertimbangkan ide yang diusulkan oleh Marleen, aku muak menjadi bayang-bayang Harsa, aku ingin menjadi dirinya. Ditengah otakku yang berkecamuk, suara klakson mobil terdengar tepat di depanku, mobil besar yang merupakan milik Harsa berhenti tepat di depanku, kaca depan belakang terbuka, memperlihatkan sosok pria yang aku cintai di kursi depan, menyetir, sementara wanita manja hobi ngeluyur tersebut duduk dibelakang seperti Princess Passenger.
Lihatkan betapa dia sangat tidak menghargai calon suaminya, Harsa memperlakukan Bang Naren seperti sopir.
"Malah bengong, ayo naik."
Meskipun aku sangat tidak suka dengan Harsa, enggan sekali untuk bersamanya, tetap saja aku mengulas senyum saat duduk di kursi belakang bersamanya. Seperti biasa aku menciumnya kanan kiri sebagai salam, aku benar-benar memainkan peran adik yang baik untuk Harsa. Jika ada yang bisa aku banggakan mungkin itu kemampuan sandiwaraku.
"Sorry ya bikin nunggu lama, Cha."
Harsa tidak pernah mau aku panggil Kakak meski dia dua tahun lebih tua dariku, sungguh jangan memujinya dengan sebutan humble atau apapun karena sikapnya ini karena kerendahan hatinya ini membuatku sering disebut anak pungut yang tidak menghargai majikannya. Dengan semua hal yang terjadi kalian paham kan kenapa aku begitu muak dengan keluarga Aryaatmaja ini, aku merasa aku dimanfaatkan untuk membangun image dermawan mereka.
Bukan Harsa yang menjawab, melainkan Bang Naren yang ada di depan yang menyahut.
"Nggak apa-apa, Nad. Kalau kerjaan kamu nggak molor, mungkin Acha nggak punya waktu buat makan siang sama aku."
Bang, kenapa sih kamu bisa cinta sama perempuan yang bahkan nggak bisa luangin waktunya buat kamu?
Part 3
"Nggak apa-apa, Nad. Kalau kerjaan kamu nggak molor, mungkin Acha nggak punya waktu buat makan siang sama aku."
Bang, kenapa sih kamu bisa cinta sama perempuan yang bahkan nggak bisa luangin waktunya buat kamu?
Mendengar apa yang dikatakan Bang Naren, meskipun dia mengatakannya sembari tertawa, tetap saja membuatku miris, menanggapinya, menyembunyikan rasa tidak sukaku yang semakin membuncah terhadap Harsa, aku tersenyum turut menganggap kalimatnya sebagai hal yang lucu.
"Acha mah diam-diam pengangguran sibuk ya, Cha." Sindirku secara halus, dan seolah memang wanita manja ini mati rasa dia justru menyibakkan rambut panjangnya dengan penuh gaya. Sungguh sikapnya itu membuatku muak.
"Sibuk dong, nganggur-nganggur gini, keluyuran kayak gini tuh diem-diem aku kerja tahu...." Sangkalnya tidak terima, kali ini aku sama sekali tidak menyembunyikan dengkusanku yang meremehkannya.
"Really?" Kerja apa coba maksudnya? Kerja ngabisin duit keliling-keliling, travelling, keluyuran nggak jelas ngabisin duit warisan? Jika itu termasuk kerja ya memang benar dia sangat sibuk!
Namun berbeda denganku yang meremehkannya, menganggap apa yang dikatakan Harsa tidak lebih dari kalimat konyol, Narendra yang keduanya sudah ditutup oleh cinta justru mengulurkan tangannya ke belakang yang langsung diraih Harsa dengan penuh kegembiraan, sungguh aku sangat benci melihat Harsa yang memamerkan kemesraannya di depan mataku, aku benci melihat bagaimana tangan Bang Naren menggenggam tangan Harsa begitu posesif meskipun kondisinya tidak memungkinkan.
Sungguh, seharusnya aku yang yang ada di posisi Harsa. Aku bisa lebih menghargai Bang Naren daripada Harsa, aku lebih sempurna daripada Harsa yang hanya bisa merengek manja, menumpang nama Putri tunggal keluarga Aryaatmaja.
"Hati-hati kerjanya, Sayang. Aku tahu kok belakangan ini kamu sibuk banget sama kerjaanmu!"
Untuk kedua kalinya aku mendengkus, bisa-bisanya Bang Naren yang keburu bucin ikut-ikutan sinting kayak Harsa. Apanya yang mesti di hati-hatiin coba? Dan sibuk? Ayolah, kenapa berpasangan dengan orang sinting jadi nular sintingnya? Jika sebelumnya Harsa sama sekali tidak memperhatikanku yang meremehkannya kali ini dia tanggap, tanpa melepaskan tangannya yang di genggam Bang Naren dia melihatku.
"Kayaknya suntuk banget, Nad! Asem bener tuh muka...."
Iya, gue asem lihat tingkah lo. Tapi mana mungkin aku berkata demikian kepada anak orang yang memungutku.
"Kecapekan kali si Nadira, Babe. Atau justru eneg lihat kita? Bolehlah Nad cari pacar juga biar nggak begitu sebel lihat kita."
Bang Naren menyelamatkanku dari situasi tidak menyenangkan karena ulah Harsa, memang hanya Bang Naren yang mengertiku, dengan senyuman yang tersungging di wajahku, aku mencoba menyingkirkan rasa tidak sukaku. Ketidaksukaan ini harus aku pendam dalam-dalam tidak boleh ada yang mengetahuinya.
"Kalau gitu kenalin dong Bang ke cowok yang pengertian kayak Abang. Kalau cowoknya kayak Abang kan Nad nggak perlu khawatir bakal disakitin." Selorohku kepada Bang Naren yang membuat pria di hadapanku ini tertawa, dari samping postur wajahnya yang sempurna mempesonaku, hidung yang mancung, rahang yang tegas, sekilas kumis tipis menghiasi wajahnya dan itu membuat kesan manly yang semakin menggiurkan. Sungguh aku penasaran bagaimana rasanya menyentuh wajah Bang Naren dengan telapak tanganku.
"Kalau yang kayak Abang ya nggak ada, Nad. Abang ini limited edition cuma buat Harsa doang. Maaf ya ngecewain." Balasnya menyambut godaanku dengan candaan, tawa masih mewarnai kami, dan aku yang terpesona dengan tawa manly tersebut sampai lupa jika Harsa tidak ikut tertawa, wanita yang ada di sampingku tersebut menatapku lekat penuh penilaian, baru saat tawa Bang Naren terhenti aku menyadari tatapan Harsa yang sangat tidak bersahabat.
Deg, jantungku serasa berhenti berdetak. Tatapan yang dilayangkan Harsa sangat tidak biasa, sekeras mungkin aku berusaha menyembunyikan perasaanku kepada Bang Naren, ada beberapa kesempatan seperti sekarang ini dimana aku tidak bisa menahan wajahku untuk mengagumi tunangannya.
"Really Nadira, kamu ngomong kayak gini ke tunangan aku? Menurutmu itu pantas? Atau diam-diam selama ini kamu memang menyukai Bang Naren sampai kamu bisa bertanya kayak gini bahkan tepat di depan wajahku tanpa sungkan."
Damn! Kadang aku lupa semanjanya Harsa, dia adalah orang yang jauh lebih pintar dariku di akademis.
Part 4
"Bukan kayak gitu, Cha....."
Berusaha tenang menghadapi Harsa yang mulai menaikkan nada suaranya, aku mengemukakan alasanku. Wajah cantik yang selalu membuatku iri tersebut menatapku tajam, dan sungguh sebenarnya aku sedikit takut dengannya. Aku terbiasa mendapati Harsa yang membagi segalanya denganku, dia akan selalu membelaku, tapi sekarang tatapan tidak suka itu terarah kepadaku karena kalimat bodohku yang aku lontarkan untuk menarik perhatian Bang Naren.
Selama ini Harsa nyaris tidak pernah memperlihatkan kecemburuannya meskipun Bang Naren juga dekat denganku, Harsa menjalani hubungannya dengan Bang Naren bukan karena Harsa mencintai Bang Naren tapi karena perjodohan mereka sudah diatur dan karena Harsa tidak ingin mengecewakan orangtuanya, itu sebabnya sangat aneh melihatnya cemburu seperti sekarnag. Harsa nyaris tidak pernah marah kepadaku.
"Cha, Nadira cuma bercanda! Itu cuma kiasan, Cha! Nggak bener-bener pengen kayak aku, kayak tunanganmu bagus saja sampai orang lain pengen."
Kembali untuk kesekian kalinya Bang Naren menyelamatkanku, sikap dewasanya menengahi suasana panas yang dipancarkan oleh tunangannya yang manja ini. Bibir berpoles lipstik pucat tersebut berdecak melemparkan pandangan merendahkan kepadaku.
"Lain kali nggak usah bercanda soal kayak gitu. Nggak pantas di dengar, orang ngiranya kamu pengen tunanganku."
Aku memang menginginkan tunanganmu, Sialan.
Tidak ingin membuat Harsa semakin marah, aku meraih tangannya, senyuman penuh permohonan tersungging di wajahku agar dia luluh, "Maafin aku, Cha. Aku sama sekali nggak maksud gimana-gimana. Bener-bener cuma bercanda, nggak mungkin aku pengen tunanganmu. Aku sadar diri sama sadar posisi. Ya, Maafin aku, ya."
Aku mengguncang tangannya, aku sama sekali tidak akan segan untuk memohon kepadanya, segalanya akan aku lakukan agar posisi nyamanku tidak hilang, dengan memohon dan memelas ini, aku tidak hanya menempatkan Harsa di posisi keras yang tega kepadaku, tapi aku juga akan mendapatkan perhatian dari Bang Naren.
Dengan kesal Harsa menepis tanganku, sepertinya kali ini dia benar-benar kesal kepadaku, tapi tetap saja dia memaafkanku. "Lain kali jangan lakukan itu, Nad. Nggak pantas kamu ngomong kayak gitu. Aku berbagi segalanya denganmu, tidak seharusnya kamu berkata kamu menginginkan sesuatu yang jelas-jelas menjadi milikku."
Kalimat Harsa barusan memang dikatakan dengan suara ringan dan datar, tapi tetap saja itu seperti tamparan yang menjatuhkanku, Harsa seolah menegaskan bagaimana aku hidup selama ini berasal dari pemberian keluarganya, dan yang paling menyakitkan dari sikap Harsa adalah saat akhirnya mobil kami sampai di rumah, dia meninggalkanku begitu saja.
Suara benturan pintu mobil yang ditutup dengan keras membuatku semakin tidak nyaman.
"Nggak usah diambil hati sikap Acha, Nad. Dia sedang capek masalah pekerjaannya."
Aku menelan ludah kelu, sungguh tidak adil orang sebaik Bang Naren harus bersama dengan orang seperti Acha, bahkan dialah yang meminta maaf atas sikap Acha yang seenaknya, bahkan memberikan alasan yang tidak masuk akal. Aku bisa melihat Bang Naren tersenyum ke arahku sebelum dia ikut turun mengejar Harsa, meninggalkanku di mobil begitu saja.
Sungguh, dengan semua perlakukan baik Bang Naren kepadaku, yang memanusiakanku disaat aku diperlakukan tidak baik oleh Harsa, bagaimana aku tidak jatuh cinta dengannya? Aku berusaha memendam semua perasaanku kepada Bang Naren karena aku menghargai keluarga yang sudah menolongku, tapi sikap Harsa yang semakin lama semakin terasa buruk untukku pada akhirnya membuatku kehabisan kesabaran.
Kalimat-kalimat dari Marleen terngiang-ngiang dibenakku, ya, buat apa aku terus-menerus memendam perasaanku. Aku muak menjadi bayang-bayang Harsa yang dia perlakukan seperti sampah, setiap sikap baiknya selalu diungkit seolah menegaskan bagaimana aku berhutang budi kepada mereka.
Lagipula, aku lebih baik darinya. Aku bisa lebih mencintai Bang Naren daripada dia. Dadaku menggelegak dengan perasaan marah, dan aku bertekad aku tidak akan diam lagi. Bagaimanapun caranya aku akan merebut Bang Naren. Hal yang aku rasa tidak akan sulit mengingat bagaimana Bang Naren juga peduli kepadaku.
Berbagai rencana berkeliaran dibenakku, dan aku yakin aku akan berhasil, soal cinta itu hal yang mudah, cinta akan datang dengan terbiasa. Dengan segala perhatian yang aku berikan, aku yakin Bang Naren akan luluh. Semua harapan tersebut membuncah di dadaku, membuatku yang sebelumnya merasa sesak kini bisa tersenyum kembali. Sampai saat dimana aku bisa menjerat seorang Narendra Cakraningrat, aku harus terus memainkan peran Nadira yang manis di hadapan dunia.
Yah, pertama-tama aku harus meyakinkan Harsa untuk benar-benar memaafkanku. Cara terbaik untuk menjebak Bang Naren adalah tetap disisi Tunangannya.
"Acha, aku benar-benar minta maaf soal tadi, Cha. Jangan ngambek lagi."
Part 5
"Acha, aku benar-benar minta maaf soal tadi, Cha. Jangan ngambek lagi."
Berlari aku mengejar Harsa, melewati Bapak dan Ibu yang keheranan dengan kami yang saling berkejaran. Bapak bahkan mengalihkan perhatian beliau dari dua orang tentara yang sedang berkonsultasi dengan beliau hanya untuk melihatku yang mengejar putri kesayangannya.
"Kenapa sama Acha?" Tanya Bapak dan Ibu bersamaan. Satu hal yang menyebalkan dari pasangan suami istri yang egois hanya memiliki satu anak ini adalah mereka berlebihan jika menyangkut anak perempuan mereka tersebut. Tatapan Bapak begitu tajam, belum apa-apa beliau menyorotku seolah akulah yang sudah membuat anaknya kesal.
Sungguh tidak adil bukan? Mereka mengatakan aku anak asuh mereka namun tetap saja ada batas tak terlihat yang membuatku harus sadar diri jika aku bukan bagian dari keluarga Aryaatmaja. Berusaha bersikap seolah aku adalah Nadira yang polos dan manis, aku memaksakan mataku hingga berkaca-kaca saat melihat Bapak dan Ibu yang menunggu jawabanku.
"Nad tadi bercanda sama Bang Naren, tapi kayaknya bercandaan Nad keterlaluan Bu, sekarang Acha marah sama Nad."
Tidak, aku tidak akan berkelit dari kesalahanku, orang-orang naif macam orangtua asuhku ini lebih menghargai seornag yang mengakui kesalahan mereka secara langsung dibandingkan membela diri, bertahun-tahun hidup dengan orang-orang yang pola pikirnya berseberangan membuatku banyak belajar bagaimana caranya melindungi diriku sendiri.
"Ya sudah, kejar gih si Acha. Minta maaf yang bener, kalau tahu Acha nggak suka kamu bercanda kayak gitu, jangan diulangin lagi."
Rania Aryaatmaja, beliau dan sikap sok bijaksananya sudah lama membuatku muak. Menurut perintah beliau aku bergegas untuk pergi, mengejar Acha yang kini ada di halaman belakang, saat aku mengatakan hidup Harsa seperti tuan putri itu memang nyata adanya.
Rumah keluarga Aryaatmaja ini sangat besar, dengan halaman yang luas. Masa pensiun Bapak yang hanya tinggal satu tahun lagi membuat beliau membangun rumah ini super nyaman untuk masa tua beliau. Tidak hanya ada kolam renang, ada kandang burung besar tempat Bapak mengoleksi burung-burung eksotis dan ada juga kebun mini tempat Ibu menanam tanaman pangan seperti cabai, terong, tomat, dan juga kemangi, sangat tidak elite bukan? Tapi bukan ditempat-tempat itu aku menemukan Acha, melainkan disudut paling luas tempat terjauh dimana Bapak dan ajudannya sering berlatih menembak.
Dan yang menyebalkan, Harsa ada disana, bergaya dengan peralatan menembaknya. Ciiihhh, aku diam ditempatku, menahan rasa sebal yang membumbung tinggi melihat perempuan manja itu berulah. Gegayaan megang pistol, pakai kacamata dan headphone segala, sok bisa saja itu pengangguran.
"Halah, caper aja bisanya sama Bang Naren!" Cibirku dalam hati saat mendekatinya yang kini bersisian dengan Bang Naren yang juga memegang pistol-nya, bersiap untuk membidik sasaran. Kalau Bang Naren tidak perlu diragukan lagi, secara dia kan Polisi, sudah pasti dia menguasai hal-hal seperti ini.
Sayangnya cibiranku berganti dengan kengerian karena saat Harsa menarik pelatuknya, sasaran itu melesat tepat ke titik fokus yang ada di ujung sana. Sungguh apa yang dilakukan Harsa diluar dugaanku. Aku sempat berpikir itu hanya sebuah kebetulan tapi saat Harsa beralih ke fokus selanjutnya, tembakannya tetap tepat sasaran. Satu lagi hal yang membuatku semakin iri kepada Harsa, terlebih saat Bang Naren mengacak rambut Harsa penuh rasa bangga, sungguh itu membuat hatiku tercubit. Aku ingin aku yang ada di posisi Harsa, statusnya sebagai putri tunggal keluarga konglomerat dan berpengaruh di dunia militer membuatnya bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa aku lakukan.
"Udah ya keselnya, jangan marah lagi."
Bisa aku dengar Bang Naren membujuk Harsa, dibandingkan pasangan Bang Naren lebih mirip seperti pengasuh Harsa, sama seperti posisiku selama ini untuknya.
"Aku stress masalah kerjaan, Bang. Rasanya ada nggak tega ngeliat target bener-bener baper, ya masalahnya kalau cuma targetnya sih bodo amat, tapi waktu ketemu sama orangtuanya, aku ngerasa berdosa."
"Nggak apa-apa, Cha. Itu resiko kerjaan, pelan-pelan kamu pasti terbiasa. Kalau sampai kamu bisa ditahap bertemu orangtuanya, berarti pekerjaan kamu benar-benar sukses."
Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa menerkanya. Soal pekerjaan? Lucu sekali mendengar Acha yang pengangguran berbicara tentang dia yang stress soal pekerjaan. Namun mengabaikan semua hal itu aku mendekatinya, kubuat wajahku semenyesal mungkin dan kali ini Harsa sudah tidak seganas sebelumnya.
"Acha...."
Belum sempat aku membuka mulutku untuk meminta maaf lagi, saat mata kami bertemu, Harsa sudah memelukku terlebih dahulu yang membuatku membeku.
"Maafin aku ya, Nad. Sorry udah lampiasin kemarahanku ke kamu. Aku benar-benar sedang stress, Nad. Sampai-sampai aku mikir yang nggak-nggak soal kamu."
Mendapati permintaan maaf Acha yang sangat terduga ini aku mengangguk pelan, dari punggung Acha, aku melihat Bang Naren tersenyum ke arahku sembari mengangguk seolah memintaku untuk memaafkan tunangannya. Hatiku melambung, penuh dengan debaran yang menyenangkan mendapati senyuman mempesona itu diperuntukkan untukku.
"Nggak apa-apa, Cha." Balasku seadanya. Perlahan Harsa melepaskan pelukannya, menatapku sejenak sebelum dia memelukku kembali.
"Bodoh banget aku mikir kamu suka sama Bang Naren. Kita sudah kayak saudara, aku percaya kamu, dan mustahil saudara makan daging saudara lainnya."
Sayangnya, aku memang berencana merebut tunanganmu, Harsa Anindya. Aku tidak ingin dagingmu, tapi aku ingin memiliki kehidupan yang kamu miliki sekarang ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
