BAB 1-5 - DINIKAHI KONGLOMERAT

3
0
Deskripsi

[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa, hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!] 

Aku menghela napas panjang. Sehari setelah aku menerima lamaran Tuan Muda Ashraf, aku selalu mendapatkan terror dari nomor yang tidak dikenal. Pikiranku yang sedang kacau oleh hal itu, bertambah runyam oleh omelan yang keluar dari mulut cabenya Teh Selvi. 

“Kalau semua ayam yang kamu goreng gosong?...

BAB 1 – Babu Itu Cinderella

“Ta, ungkep ayamnya udah matang! Cepetan angkat dan goreng!” seru Wa Imah---kakak kandung ibu. 

“Iya, Wa … bentar tanggung lagi marut kelapa sedikit lagi!” tukasku. Keringat sudah membanjiri pipi. 

“Eh, Ta … tolongin buatin kopi dong buat akang-akang kamu! Udah pada datang! Masaknya belum kelar juga?” teriak Selvi---kakak sepupu pertamaku. 

“Sinta belum kelar, Teh! Teteh buatin aja atuh sendiri! Airnya udah aku rebus juga dalam termos! Di dispenser dalam rumah juga ada!” ucapku.

“Eh, dasar ya! Kalau diperintah sama yang lebih tua itu jangan banyak tingkah, tinggal bikin kopi aja susahnya apa sih?” tukasnya dengan mata memutar jengah. 

“Siapa, Teh yang banyak tingkah?” Kudengar Rema, kakak sepupuku yang lainnya menyahut dari dalam rumah. 

“Itu Si Babu!” 

Meskipun benar pekerjaanku hanya sebagai pembantu rumah tangga, tapi entah kenapa ketika mendengar sendiri ucapan itu disebutkan dengan kasar dan nada melecehkan hatiku sakit, ya?

“Oh, Sinta! Biasalah orang yang gak berpendidikan ‘kan sukanya banyak tingkah dan gak punya etika!” ucap Kak Rima lagi. 

“Iya, baru jadi babu aja udah belagu!” sambung Rena, Kakak sepupuku yang lainnya. 

Mereka memang benar jika mengatakan pendidikanku rendah. Aku hanyalah lulusan SMA tidak seperti mereka yang bisa kuliah dan kini memiliki karir bagus. Memang nasib baik tidak berpihak pada keluargaku. Ibuku yang merupakan anak bontot menikah dengan seorang lelaki yang hanya buruh serabutan. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lain. Mereka beruntung mendapati suami yang memiliki pekerjaan yang lebih baik.

Entah dari mana Kakekku yang sudah tua renta itu datang. Meskipun usianya sudah mencapai lima puluh delapan tahun tapi dia masih saja bugar. 

“Sinta, kamu jangan gitu kalau diperintah sama Kakak-kakakmu, gak baik menentang yang lebih tua!” ucap Kakek dengan sekilas melirik ke arahku. Lelaki tua itu berjalan melewatiku begitu saja. 

“Biar saya saja Bah, yang buatin!”Ibuku sepertinya tidak tega melihatku. Dia segera berdiri meninggalkan pekerjaannya yang sedang mengulek bumbu. 

“Gak usah, Bu! Sinta aja!” tukasku sambil bergegas meninggalkan pekerjaan memarut yang sebetulnya hanya tinggal sedikit lagi.

Aku segera menyiapkan kopi untuk mereka. Kudengar riuh sepupu-sepupuku menyambut kedatangan kakek ke ruang tengah.

“Kakek!” Kudengar teriakan ketiga sepupuku di dalam rumah. Mereka selalu dimanjakan oleh lelaki tua itu. 

“Eh, cucu-cucu kesayangan kakek!” Dan mereka terdengar mengobrol dengan hangat. 

Bagaimana pun Kakek selalu membanggakan Kakak-kakak dari Ibu yang memiliki kehidupan  lebih baik. Dan keempat cucunya yang kini sudah menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi. Cucu yang selalu dia bangga-banggakan. Bukan sepertiku yang selalu dibedakan dan dikucilkan. 

Tidak hanya para kakak sepupu itu yang merendahkanku. Ibu mereka pun sama memandang rendah pada ibuku yang merupakan adik termudanya. Hanya Wa Imah saja, yang merupakan kakak ketiga dari ibu yang memang hidupnya sama juga serba susah. Ketika sedang ada acara keluarga seperti ini maka yang akan jadi tumbal adalah ibuku dan Wa Imah. 

Aku berjalan ke depan dengan membawa nampan berisi kopi. Untuk suami Rena dan Rima. Sementara Kak Selvi meskipun usianya sudah memasuki kepala tiga. Dia masih belum menemukan jodohnya juga hingga saat ini. Dia sedang menggelendot di pangkuan kakek. 

“Silakan, Kang!” Aku menawari kopi tersebut pada Kang Bahri dan Kang Sarif. 

“Eh, makasih Ta! Oh iya mana suami kamu? Kami minta maaf gak bisa hadir waktu nikahan kamu!” ucap Kang Bahri.

“Gak apa-apa, Kang!” ucapku sebetulnya dengan hati pedih. 

Mengingat kejadian seminggu lalu di mana tidak ada seorangpun dari keluarga yang menghadiri pernikahanku. Hanya kedua orang tuaku.. 

“Iya, soalnya kita kemarin lagi persiapan menghadiri acara di perusahaan Kang Bahri sama Kang Sarif. Soalnya bos mereka ‘kan nikah juga. Biar kita tampil maksimal, secara kan acaranya sebentar lagi akan dilangsungkan di seluruh perusahaan cabang Adireja grup,” ucapnya. 

“Eh, kho tanggal nikahnya Tuan muda adireja grup bisa samaan dengan tanggal pernikahan kamu, Ta?” tukas Teh Selvi. Dia masih berbaring di pangkuan Kakek yang sedang menyesap teh manis yang kubuatkan tadi pagi. 

“Iya, bisa sama ya? Cuma gak mungkin ‘kan menantu misterius kaluarga konglomerat yang katanya dari kalangan biasa itu, kamu?” cibir Teh Rena.

“Mana ada lah, Tuan Ashraf suka wanita model kayak dia, sekolah aja cuma lulusan SMA, pekerjaan babu, mana mau dia! Meski cantik kalau tidak berbobot buat apa?” timpal Teh Rema. 

“Lagian kamu kerja cuma ngurus nenek tua yang sakit-sakitan kan katanya, ya?” tanya Teh Selvi lagi. 

Tiba-tiba notifikasi pesan masuk ke dalam gawaiku. Ponsel murahan yang kubeli dari hasil kerja kerasku. Aku mengabaikan mereka dan berjalan kembali ke dapur. 

[Sayang! Gimana acara keluarganya? Maaf, ya … malah bentrok sama jadwal berobat Mama ke Singapura!] tulis suamiku.

[Iya, gak apa-apa, Mas! Gimana Mama? Baikan sekarang?] balasku. 

[Alhamdulilah! Semenjak kamu merawat dia di rumah dengan telaten, perkembangan kesehatannya berkembang pesat! Aku tidak salah memilih istri sebaik kamu! Makasih, ya, Sayang!] tulisnya. 

Aku menitikkan air mata. Hatiku terasa dilambungkan tinggi ke nirwana. Entah perbuatan baik apa yang kulakukan dulu? Atau mungkin kebaikan yang ditanamkan kedua orang tuaku?

Tiba-tiba anak majikan dari tempatku bekerja melamarku. Dengan satu alasan, katanya dia terpesona dengan lantunan ayat Al-qurán yang selalu dia curi dengar setiap shubuh. Ah, biarlah kebahagiaan ini kugenggam sendiri dulu. Bahkan dalam pernikahan sederhana itu, ayah dan ibu menyangka jika yang kunikahi adalah supir dari majikan tempatku bekerja. 

Dasar ayah yang kolot, padahal ketika ikrar dengan jelas dan lantang p1ak penghulu menyebutkan nama lengkap suamiku. Ahsraf Adireja Putra, tapi tetap saja ayahku tidak mengerti siapa sebetulnya kini menantunya. Maklum dia juga jarang menonton televisi, mana dia tahu tentang pengusaha-pengusaha kaya yang ada di negeri ini. 

Ayah dan ibu yang kolot hanya tahu panas terik dan wangi lumpur sawah. Bergelut mencari rejeki di sana demi sesuap nasi untuk menyambung kehidupan kami.

“Ah, lihat itu Tuan Ashraf … wah ganteng banget ya! Itu lihat beritanya … putra dari konglomerat Adireja grup dengan santun memperlakukan ibunya ketika hendak naik pesawat!” Teh Selvi berteriak ketika melihat berita ti TV. Kulirik sekilas, ada senyum mengembang di wajahku. 

“Eh, kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Ta? Jangan ngarep ya, punya suami kayak Tuan Ashraf … lihat saja, nanti pas acara perayaan di kantor, akan kupepet … gak apa-apa deh jadi yang kedua!” ucap Teh Selvi denga wajah jutek dia melirik ke arahku.

“Iya, babu mah jangan mimpi ketinggian! Nanti sakit!” ujar Rema. 

“Iya, Teh … kita nanti pake baju apa, ya! Aku pengen photo sama Tuan Ashraf!” 

Mereka tidak mempedulikanku dan terus mengobrol. Membicarakan tentang pesta yang akan di adakan suamiku di setiap kantor cabangnya.

“Gimana reaksi mereka, jika nanti aku datang dengan gaun Cinderella dan di gandeng sang pangeran?” 

 

Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

 

BAB 2 – Pesan Teror

Aku kembali berjalan menuju dapur dan meneruskan memarut kelapa. Pekerjaan yang tadi kutinggalkan. Setelah selesai memarut, kuremas hasil parutannya dan kubuat santan. Kemudian kuserahkan pada Wa Imah untuk melengkapi masakan rendangnya. 

Sementara itu aku menyalakan kompor dan mulai menggoreng ayam ungkep ayam yang sudah Wa Imah tiriskan. 

Ponselku kembali bergetar. Beberapa notifikasi pesan masuk. 

“Nomor baru lagi?” Aku menghela napas melihat nomor baru pada layar ponselku. Segera kuusap layar dan kubuka pesan yang masuk.

[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!

[Saya peringatkan lagi! Saya tidak main-main dengan ancaman saya! Jika kamu masih tidak mau mundur dan bercerai dari Ashraf! Jangan salahkan saya kalau kamu akan mati atau saya buat cacat seumur hidup!!!]

Aku menghela napas panjang. Sehari setelah aku menerima lamaran Tuan Muda Ashraf, aku selalu mendapatkan terror dari nomor yang tidak dikenal. Awalnya aku mengabaikannya, tetapi tidak hanya satu kali aku mendapatkan terror serupa. Hampir setiap hari.

Sudah kublokir, tapi pasti dia akan muncul lagi dengan nomor yang lainnya. Setiap kutelepon, nomor itu sudah tidak aktif. 

Terkadang tengah malam dia mengirimkan gambar-gambar yang mengerikan. Gambar orang yang dibunuh, atau ditabrak terkadang mengirimkan gambar orang memegang pistol dengan disertai ancaman-ancaman serupa. Dia mengancam akan membunuhku atau membuatku cacat seumur hidup jika tidak meninggalkan Tuan Muda Ashraf yang kini telah resmi menjadi suamiku. 

Hal ini juga sebetulnya yang membuatku meminta pada suamiku untuk membuat acara pernikahan dengan tertutup. Hanya beberapa keluarga yang hadir. Aku pun memintanya menunda acara resepsi pernikahan kami. Namun aku belum memberitahukan alasan yang sebenarnya. 

Sebuah pernikahan dadakan yang tidak kutahu dengan pasti penyebabnya. Terkadang aku berpikir apakah Tuan Muda Ashraf sakit hati dengan seorang wanita dan menjadikanku pelarian saja? Namun melihat perlakuannya, aku kembali menepis prasangka itu. Dia sangat baik memperlakukanku.

Selama hampir dua minggu usia pernikahan kami, selama itu pula pesan-pesan terror dan ancaman selalu kuterima. Aku belum menceritakannya pada siapapun termasuk pada suamiku sendiri.

Bagaimanapun aku masih terlalu sungkan dengannya. Kami menikah tanpa proses pacaran, langsung proses lamaran, kemudian menikah.

Karenanya aku membiarkan saja ketika ayahku mengira jika suamiku hanya seorang supir di keluarga Adireja. Aku masih teringat Ketika ayah bicara.

“Ta, kalau orang kaya nyari supir aja udah kayak artis ya? Ganteng dan keren! Kalau supirnya sekeren ini, gimana dengan majikannya, ya?” ucapnya Ketika pertama kali bertemu dengan Tuan Muda Ashraf. Aku hanya tersenyum.

Tuan muda Ashraf hanya datang ke rumahku sekali untuk memintaku pada ayah. Keluargaku mengira calon suamiku hanya seorang pembantu juga di sana. Tidak ada satupun keluarga yang hadir pada waktu itu, baik itu kakak-kakak dari ibuku, saudara sepupuku maupun kakekku sendiri. Kasta mereka terlalu tinggi. Mereka berkelas dan kami rendahan. 

Beberapa tetangga ada yang datang membantu menyiapkan hidangan sebetulnya, tapi mereka pun tidak tahu pastinya siapa calon suamiku. Terlebih ayahku yang sudah berkoar-koar tentang profesi calon suamiku yang katanya adalah supir.

Tuan Muda Ashraf hanya datang ditemani ajudannya waktu itu. Karena memang aku meminta jangan membawa banyak orang. Bagaimanapun aku takut dia akan malu pada keluarganya yang lain ketika melihat kondisi gubuk reyotku.

“Ta! Becus kerja gak sih?!” 

Suara Teh Selvi membuatku terperanjat. 

“Astagfirulloh!” pekikku sambil mematikan kompor. Ayam yang kugoreng ternyata sudah gosong dan berasap.

“Udah dua tahun jadi babu di kota, tetep aja gak becus kerja! Untung majikanmu gak pecat kamu! Kelas rendahan kayak kamu ‘kan bertebaran, tinggal menjentikan jari ganti deh! Babu rendahan!” cibirnya lagi. 

Aku menarik napas panjang. Pikiranku saja sedang kacau sekarang dengan pesan-pesan terror itu. Ditambah omelan dari mulut cabenya Teh Selvi. 

“Kalau semua ayam yang kamu goreng gosong? Kamu pergi lagi ke pasar beli ayam lagi pake duit kamu sendiri, punya gak?” cibirnya sambil menuang air ke dalam gelas dan berjalan menghampiriku yang sedang mengangkat ayam yang gosong.

“Udahlah Teh, gaji babu cuma berapa, beda sama Teteh yang kerja kantoran! Kasian kalau suruh ganti! Lagian emang Teh Selvi mau makan ayam yang dibeli dari hasil kuli rendahan kayak gitu,” cibir Teh Rema yang baru saja datang. Dia meletakkan semua piring dan gelas kotor begitu saja kemudian pergi.

“Ta, cuciin semua! Tangan kami takut rusak nanti! Tuh kamu kan lihat kuku cantik kami, kemarin kami habis perawatan,” ucap Teh Rema lagi sambil memamerkan kuku-kukunya yang penuh dengan kutek. 

“Kami ‘kan mau menghadiri acara besar, harus tampil cantik maksimal iya, gak?”Teh Rema melirik Teh Selvi.

Mereka tertawa meledek sambil berlalu. Aku tidak ingat jika di pojok dapur ada wanita berhati lembut itu. Ketika kumenoleh,ibu tengah menyeka air matanya. Aku menghampirinya. 

“Ibu kenapa?” Dia memelukku.

“Maafin ibu sama ayah kamu, Ta! Kalau saja kami punya uang dan menyekolahkan kamu tinggi, mungkin kakak-kakak sepupumu tidak akan merendahkanmu seperti ini?” isaknya. Wa Imah hanya sesekali melirik ke arahku dan ibu.

“Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan, Allah tidak hanya melihat dari pendidikannya. Apakah ibu pernah mendengar jika Nabi Muhammad kuliah S1 atau S2, enggak ‘kan Bu? Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau kan jika Allah memilihku dan meninggikan derajat kita suatu hari nanti?”

 

BAB 3 – Ketulusan Hati Sinta

“Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan hanya dari pendidikannya. Apakah Ibu pernah mendengar jika Nabi Muhammad kuliah S1 atau S2, enggak ‘kan, Bu? Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau ‘kan jika Allah memilihku dan meninggikan derajat kita suatu hari nanti?” 

Wanita itu makin terisak. Aku memeluknya erat untuk meredam kesedihannya. Karena ibu dan bapak-lah aku memutuskan menerima pinangan Tuan Muda Ashraf. Meskipun hati kecilku belum yakin, tapi dalam istikharohku itu yang Allah tunjukkan. Terlebih aku sudah lelah melihat kedua orang tuaku di anak tirikan oleh orang tuanya sendiri. 

“Eh, di suruh masak malah pada nangis!”

Kumenoleh pada asal suara. Wa Ikah datang dari dalam. Rupanya kakak pertama dari ibuku baru saja sampai. Memang betul dia yang membiayai semua acara satu tahun meninggalnya almarhumah nenek. Namun aku merasa miris dan sedih ketika melihat ibuku diperlakukan demikian olehnya. 

“Sih, itu tadi teteh bawa kue-kue masih di mobil! Tolong ambilin! Tadi ada yang sedikit rusak, jatuh doang sih, tapi gak kotor! Itu buat kamu aja sama suami kamu, masih bagus kho! Yang dalam plastik putih, ya!” ucapnya dengan nada memerintah pada ibuku. 

Wanita yang tengah kupeluk itu melepaskan tanganku. Dia beringsut berdiri dan berjalan keluar mengikuti perintah kakak pertamanya. 

Ya Allah, sakitnya hatiku! Izinkan aku memuliakan kedua orang tuaku ya Allah! Memberinya kebahagiaan dan kesejahteraan. Hatiku terasa tercabik-cabik melihat mereka selalu disuruh-suruh dan direndahkan.

“Suami kamu mana, Ta? Katanya supir, ya? Nanti kalau di sana dipecat, bisa suruh nyupirin truk Uwa aja, yang satu kemarin supirnya berhenti,” ucap Wa Ikah sambil melirik ke arahku. 

“Gak ikut, Wa! Masih ada kerjaan!” jawabku. Uwa itu adalah panggilan Bahasa daerahku untuk kakak dari bapak atau ibu. 

“Kamu harus bersyukur, Ta! Masih ada yang mau sama kamu! Kalau Selvi, dia masih milih-milih secara dia ‘kan punya karir dan pendidikan bagus, jadi gak boleh sembarangan milih suami! Apalagi kerjaannya cuma supir, gak sebanding!” ucap Wa Ikah ibunya Teh Selvi sambil berjalan kembali ke dalam. 

Aku menarik napas panjang. Selalu saja seperti ini ketika berkumpul keluarga. Kalau bukan karena cara almarhumah nenek, aku lebih baik ikut berobat ibu mertuaku ke singapura. Passport padahal sudah dibuatkan juga kemarin. 

Ibuku datang dari pintu sambil membawa beberapa kerdus kue. Yang paling atas dibungkus plastik, berarti itu yang kue jatuh tadi. Aku memburunya ke pintu samping dan membantunya menurunkan semua barang. 

“Bu, biar Sinta yang urus!” Aku segera memindahkan berdus-dus kue itu ke balai-balai. 

“Eh, itu yang di plastik sini, Ta!” ucap ibu.

“Bu, ini kan kue yang jatuh! Buang aja!” kataku sambil hendak melempar kue itu ke tempat sampah.

“Ih, jangan mubazir! Itu yang rusak bungkusnya aja! Dalemnya masih bagus!” ucapnya sambil merebut kue yang mikanya terlihat kotor itu. 

“Teh, kita potong dua, ya! Buat akang juga di rumah!” Ibuku menghampiri Wa Imah---Kakak ketiganya. 

Dia membersihkan kotoran pada mika. Kemudian memotong kue tersebut dibagi dua dengan Wa Imah. Mereka istirahat sebentar dan menikmati kue tersebut. 

Air mataku merembes tidak terasa. Ya Allah, suatu saat nanti akan kubelikan ribuan kue yang harganya jauh lebih baik dari itu. Kue yang sengaja kubeli dengan harga terbaik untuknya. Bukan kue yang diberikan karena rusak dan sudah pecah seperti itu. 

Ah, entah aku yang terlalu cengeng. Aku menangis dalam diam menyaksikan ibuku dan Wa Imah memakan kue rusak itu. Sambil memotong-motong kue yang masih bagus dan memasukannya ke dalam bingkisan. Air mataku merembes tak berhenti. Sakit sekali Ya Allah, hati ini. 

Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Menjadi pembantu di rumah besar keluarga Adireja membuatku semakin terlatih mengerjakan pekerjaan dapur. Sebetulnya tugas utamaku hanyalah mengurus nyonya Adireja yang kini menjadi ibu mertuaku. Dia sudah lama menderita sakit semenjak ditinggal wafat oleh suaminya dalam kecelakaan pesawat. 

Tapi aku tidak tinggal diam juga di sana. Ketika pekerjaanku senggang, aku biasanya membantu Rani seorang ART bagian dapur yang juga sebayaku. Di sana kami bertiga, ada aku Rani dan Sindi yang bagian mengurus taman dan kebersihan rumah. Dari kami bertiga, memang pekerjaankulah yang terlihat paling ringan. 

Namun semenjak aku menikah, sikap keduanya mulai berubah padaku. Terlebih melihat aku diperlakukan sangat baik oleh suami dan mertuaku. 

Aku jadi teringat pengirim pesan misterius itu. Soalnya setelah aku ganti nomor baru hanya mereka berdua yang tahu , selain keluargaku. Namun apakah mungkin mereka yang menerorku? Atau salah satu dari mereka yang membocorkan nomorku pada orang yang tidak suka dengan pernikahan ini? 

Aku teringat jika Sindi begitu mengagumi Nona Elisa, yang katanya calon tunangan Tuan Muda Ashraf. Namun semenjak aku kerja di sana, aku tidak pernah meilhatnya. Kata Rani dan Sindi dulu wanita itu sering datang berkunjung menemui Nyonya Adireja. 

Ah, pikiranku kembali ngalor ngidul tidak karuan. Bercabang memikirkan semuanya. Tiba-tiba Bapak muncul dari pintu samping rumah kakek.

“Ta, tadi Bapak lewat warung terus beli rokok!” ucapnya. 

“Terus kenapa Pak?” Aku menoleh padanya kemudian mengambil cangkir untuk membuatkannya kopi. Bergegas berjalan mengambil termos air dan menuangnya pada kopi hitam kesukaan bapak. Aromanya merebak ketika kuaduk dengan sendok. 

“Pak, ini kue buat Bapak!” Ibuku memanggilnya. Dia dan Wa Imah masih sedang menikmati kue rusak dari Wa Ikah. 

“Wah, kue mahal ini!” Bapak tergopoh-gopoh dan ikut bergabung bersama mereka. 

“Eh, itu Ta! Tadi waktu bapak di warung, pas lihat tivi kho ada yang mirip sama suami kamu, ya? Tapi dia di bandara mau naik pesawat!” katanya sambil menatapku.

 

BAB 4 – Pak, Bapak sedang apa?

Aku menoleh pada bapak kemudian menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi kesukaannya.

“Kalau Sinta bilang itu memang suami Sinta, memang Bapak percaya?” tanyaku sambil meletakkan kopi untuknya. Bapak dengan lahapnya mamasukan tiap potongan kue rusak itu ke mulutnya.

“Duh, kamu tuh sukanya bercanda aja, Ta! Memang hidup kita serba kekurangan, tapi jangan gitu juga, Ta! Gimana perasaan suami kamu kalau mendengar kamu malah mengaku-ngaku orang lain jadi suamimu! Bapak tidak pernah mengajari kamu untuk memandang orang dari hartanya!” ucapnya panjang lebar. Aku memutar mata jengah sambil berjalan kembali ke tempat di mana aku sedang menyiapkan kue-kue untuk bingkisan.

“Ya udah, kalau Bapak masih gak percaya, nanti Sinta ajak Bapak sama Ibu liburan naik pesawat, ya biar percaya!” ucapku menatap wajah Bapak yang sedang serius menceramahiku.

“Udah ah, kamu malah makin ngelantur! Nih ya, Bapak kasih tahu, kaya dan miskin di hadapan Tuhan itu sama! Yang membedakan hanya yang di sini!” ucap Bapak sambil menunjuk ke dalam dadanya.

“Iman dan takwa … kamu jangan pernah membandingkan suamimu dengan yang lain! Alhamdulilah dapat supir orang kaya tiap hari bisa naik mobil mewah, gaji banyak! Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan! Bapak gak pernah mengajari anak gadis Bapak buat matre dan serakah! Hormati suamimu apapun pekerjaannya, selama dia bertanggung jawab!” ujarnya lagi dengan wajah serius.

“Bapak kenapa jadi ceramah? ‘Kan tadi Bapak yang nanya Sinta duluan?” Ibu memecah obrolan yang memanjang dan malah memojokkanku.

“Pak, Bu, Sinta berjanji jika suatu saat nanti, Sinta akan mengajak Bapak dan Ibu naik pesawat! Bapak dan Ibu orang baik dan selalu menjalankan perintah Allah! Sinta ingin mengajak Bapak dan Ibu berkunjung ke Baitulloh, doakan Sinta ya, Pak! Bu!” ucapku sambil menatap mereka sambil tersenyum.

Aku masih harus mencari tahu siapa orang yang selalu menerorku sebelum perayaan pernikahanku. Aku khawatir jika si peneror ini memang tidak main-main. Bisa saja dia mencari kelemahanku agar aku meninggalkan Tuan Muda Ashraf suamiku. Aku tidak ingin terjadi apapun pada bapak dan ibu. Aku menyayangi mereka.

Dan satu lagi yang membuatku masih butuh waktu untuk membuka dengan gamblang semua ini. Aku sendiri belum sepenuhnya yakin, apakah Tuan Muda Ashraf betul-betul mencintaku? Sementara aku pun sering sekali melihat berita gossip di televisi jika banyak sekali wanita cantik dan muda yang mengaku sedang dekat dengannya. Meskipun dia sudah bersumpah jika tidak ada satupun dari wanita itu yang memiliki hubungan special dengannya.

Dengan cara apakah aku bisa menguji ketulusan cintanya? Bahkan aku tidak berani hanya untuk sekedar mengecheck pesan dalam whatsappnya. Dia bagiku masih terlalu asing meski statusnya sudah jadi suami. Aku masih sangat khawatir jika dia sudah memperkenalkanku pada dunia kemudian dia mencampakanku, betapa hal itu akan lebih melukai perasaan bapak dan ibu.

“Warman! Itu tolong cuciin mobil teteh, ya! Nanti kamu minta rokok saja  ke akang buat upahnya!” ucap Wa Ikah yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. 

Suami Wa’ Ikah memang merupakan seorang manager di salah satu cabang perusahaan Adireja Grup. Karenanya juga Teh Selvi bisa dengan leluasa masuk karena memang memiliki referensi orang dalam di sana. Begitu pun dengan suami Teh Rena dan Teh Rema bisa bekerja sebagai staff juga di sana. Mereka lulusan kuliahan tidak sepertiku yang hanya lulusan SMA. 

Bapak menghentikan menyeruput kopinya. Dia tinggalkan kopi yang baru diminum seperempatnya. Kulihat wajah bapak penuh kebahagiaan, bagaimanapun bapak berfikir bisa mendapat keuntungan meski hanya sebungkus rokok. Aku menunduk, tidak kuasa melihat punggung bapak yang berjalan membawa ember dan lap menuju luar. 

Ibu dan Wa’ Imah terlihat sudah kembali meneruskan pekerjaan yang tertunda. Kami bertiga bahu membahu menyelesaikan semuanya tepat waktu. Acaranya akan di laksanakan selepas Ashar, sekitar jam empat sore. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi. 

Aku melupakan semua kemelut di pikiranku. Kini fokusku pada penggorengan. Mengejar waktu menyelesaikan semua masakan. 

Sesekali kumendengar celotehan dan tawa bahagia dari kakak-kakak sepupuku dari dalam. Mereka mana mau membantu. 

Akhirnya semua bingkisan sudah siap. Termasuk hidangan mewah untuk ukuran acara rumahan seperti ini. Semua biaya ini pastinya dibiayai oleh Wa’ Ikah dan keluarganya. 

Beberapa warga sudah mulai datang. Selepas sholat ashar aku kembali disibukkan dengan menyiapkan teras rumah kakek yang lumayan luas. Menggelar tikar dan menyiapkan kopi untuk para warga. 

Acara satu tahunan ini hanya dihadiri oleh bapak-bapak. Semua sudah rapi dan berjajar duduk melingkar hanya tinggal menunggu Pak Ustadz. Entah sudah berapa gelas kopi yang kubuatkan untuk mereka. Ibu dan Wa’ Imah tampak sudah rapi dan berganti pakaian. Pekerjaan dapur memang sudah selesai. 

Aku mencari-cari keberadaan bapak. Mana mungkin mencuci mobil sampai menghabiskan dua jam. Lagian mobilnya juga terlihat sudah bersih dan terparkir di halaman rumah. Aku masih berdiri di sudut ruangan dengan mata mencari-cari sosok lelaki ringkih itu.

“Terima kasih Bapak-bapak sudah hadir! Alhamdulilah, saya sebagai anak tertua dari keluarga Wardiman sepenuhnya bisa membiayai acara ini. Semoga hidangan yang sengaja kami sajikan ini bisa diterima dengan baik. Meskipun menghabiskan dana lebih dari lima juta, tapi saya dan keluarga ikhlas mengingat dari semua adik-adik saya, hanya saya yang paling mampu! Saya sih, memaklumi mereka!” Kudengar Wa’ Ikah mulai memberikan sambutan. 

Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari Bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak. 

Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.

“Pak, Bapak sedang apa?”

 

BAB 5 – Siapa ini? 

Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak. 

Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.

“Pak, Bapak sedang apa?”

Kepalanya menyembul dari rumpun dan menatapku. 

“Nyari rokok, Ta! Tadi habis disuruh ngambil kelapa sama Wa’ Ikah, rokoknya lupa masih bapak kantongin, pas tadi turun kho gak ada!” ucapnya sambil kembali membungkuk.

“Pak, udahlah ‘kan rokok Bapak masih ada! Nanti Sinta beliin lagi pas pulang! Yang lain udah pada kumpul, tinggal Bapak sendiri yang belum di sana!” ucapku menatapnya.

“Sayang, Ta! Udah capek-capek bapak nyuciin mobil, eh rokoknya malah ilang!” ucapnya lagi. 

“Ya ampuuun, Pak! Udah sih ayo!” Aku menarik lengan bapak dari rumpun itu. Dengan langkah malas dia mengikutiku. 

“Eh, bentar!” Bapak menepis tarikan lenganku. Dia menunduk dan mengangkat kakinya.

“Alhamdulilah, ternyata ini! Ketutup daun, Ta!” Wajahnya sumringah menatap bungkus rokok yang terinjaknya. Dia mengambilnya sambil tersenyum seolah menemukan harta karun. 

Aku berjalan mendahului bapak Ketika melihat Wa’ Imah melambaikan tangan ke arahku. Namun baru saja aku sampai di halaman. Sebuah suara berat memanggilku.

“Assalamu’alaikum, Ta!” 

Aku menoleh pada asal suara, tampak seorang lelaki bersarung dengan peci hitam dan koko putihnya sedang berdiri tidak jauh dariku. 

“Wa’alaikumsalam, Kang!” jawabku sambil menunduk. Tidak terasa tanganku memainkan ujung kerudung yang menjuntai karena gugup. 

“Kamu apa kabar, Ta? Aku dengar, udah nikah, ya?” tanyanya. Entah dia menatapku atau tidak. Aku tidak berani mengangkat kepala.

“Alhamdulilah, Kang! Kang Hafiz sendiri gimana, baik? Udah selesai kuliahnya?” tanyaku masih menunduk. 

“Aku baik! Belum selesai, masih dua tahun lagi! Kamu kenapa gak nunggu aku?” tanyanya tanpa basa-basi. 

DEG 

Ada sesuatu yang menghantam ulu hatiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung suara Wa’ Imah kembali memanggilku.

“Ta! Cepetan bantu Uwa” teriaknya dari teras. 

“Permisi, Kang! Dipanggil Uwa’ … assalamu’alaikum!” Aku bergegas meninggalkan lelaki berparas teduh yang sedang menatapku. 

Bagaimanapun aku kini adalah wanita bersuami. Jawaban apapun yang akan kuucapkan untuknya sudah tidak akan berpengaruh lagi. Andai Kang Hafiz tahu alasanku memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di kota yang jauh dari sini. 

Masih teringat jelas Ketika aku mendengar dengan telingaku sendiri ucapan dari ibunya Kang Hafiz. 

“Wah, Bu Syifa sebentar lagi mantu, ya! Katanya Hafiz sedang dekat dengan Sinta?” celoteh seorang pedagang sayur yang berhenti di depan warung Bi Iyem. 

“Ah, saya sudah suruh Hafiz kuliah ke Bandung biar gak deket-deket anak itu lagi. Lagian saya gak setuju sama pilihannya. Rumahnya aja reyot kayak gitu, keluarganya serba kekurangan. Nanti yang ada malah anak saya diporotin. Tadinya mau saya jodohin sama Selvi, kakak sepupunya! Hafiznya nolak, jadi cari cara halus aja biar mereka pisah dulu!” dengan gamblang pernyataan itu menusuk hatiku. 

“Oh, gitu ya Bu! Saya kira ibu sudah setuju, soalnya saya dengar dari anak saya, Hafiz mau melamarnya segera!” ucap seorang ibu lainnya yang entah siapa.

“Kalau anak itu maksa, biar saya suruh milih aja! Mau memilih saya atau gadis itu? Lagian pastinya tuh si Sinta yang keganjenan, deketin anak saya. Pastinya keluarganya tuh nyuruh cari orang kaya biar mereka bisa numpang hidup, dih amit-amit deh besanan sama mereka! Amit-amit tujuh turunan kalau bisa,” ucapnya lagi semakin mengiris. Aku yang sedang berbelanja di warung Bi Iyem sampai menahan napas. Bahkan tidak berani pergi sebelum kedua orang yang sedang belanja sayur itu berlalu.

Terasa sakit sekali waktu itu. Padahal awalnya aku sudah mau melamar di pabrik dekat sini. Meskipun kampung kami di pinggiran tapi ke Kawasan industri Cuma tiga puluh menitan. Tapi mendengar semua fakta itu membuatku akhirnya memutuskan untuk mengubur semua mimpi indah yang sempat terbayang. Aku pergi dengan membawa hati yang patah sebelum berkembang. Aku tidak lagi percaya tentang janji dan harapan yang sempat lelaki itu ikrarkan.

Aku terus berjalan ke dapur tanpa menoleh lagi ke arahnya. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari masa laluku. Dan selamanya akan begitu. 

Acara pengajian dimulai. Aku duduk didekat jendela sambil menghitung jumlah yang datang. Hal ini biasa dilakukan untuk memastikan jika bingkisan yang kami buat adalah cukup untuk mereka. Tiba-tiba tatapan mataku berhenti pada pemuda yang ternyata sedang memandang ke arah sini. 

Aku beringsut menggeser duduk. Kemudian berjalan ke belakang. Aku sudah memiliki masa depan, tidak ada lagi tempat untuk lelaki lain di hati ini. 

Setelah acara selesai. Aku, ibu dan Wa’ Imah sibuk membereskan semuanya. Aku mengangkut gelas-gelas kotor bekas ngopi. Sementara Wa Imah menyapu teras. Ibu membereskan dapur. 

Wa’ Ikah tengah bercanda dan tertawa-tawa menyambut adik kesayangannya yang baru datang. Selama ini, yang dekat dengan Wa’ Ikah adalah Wa’ Inah adik keduanya. Mereka mengobrol sambil tertawa-tawa di luar. 

“Ta, mana suamimu? Uwa’ pengen lihat! Katanya ganteng kayak artis, ya?” ucap Wa’ Inah yang baru saja mendaratkan pantatnya.

“Gak ikut, Wa’ … lagi ada kerjaan!” ucapku sambil mengangkut gelas kotor yang ke sekian kalinya.

“Itu, kalau mau tau muka suaminya Sinta, Teh Inah lihat berita di tivi saja. Suaminya ganteng kayak itu tuan muda yang suka muncul di tivi!” ujar bapak membanggakan menantunya.

“Percuma juga ganteng, Mang kalau kere!” ucapan pedas Teh Selvi menimpali. 

“Nih, nanti lihat Selvi … pasti bisa dapetin tuan muda beneran! Dia ‘kan CEO di perusahaan tempat Selvi dan ayah bekerja, Mang!” sambung Teh Selvi lagi. 

“Bukannya udah nikah dia mah, Vi?” Kudengar Wa’ Inah bertanya.

“’Kan lelaki boleh punya istri lebih dari satu, Bi!” ucapnya dengan percaya diri.

Aku bergegas pergi ke dapur. Malas mendengarkan obrolan unfaedah mereka. 

Baru saja aku meletakkan semua gelas kotor di dalam bak. Ponselku yang kuletakkan tidak jauh dari sana bergetar. Sebuah pesan masuk, dari nomor baru lagi. Apakah peneror itu lagi? Dengan gemetar tapi tetap kubuka karena penasaran.

[Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?

[Siapa ini?

[Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DINIKAHI KONGLOMERAT (Bab 11&12)
2
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan