
Bab 7
MAHAR DUA RATUS JUTA (7)
Selamat Membaca!
Klik subscribe, ya! Biar kalau update gak ketinggalan.
“Nagita! Jawab dong kalau orang tua bicara!” hardiknya.
Aku mendelik. Mulutku dilakban sama temen-temen Ayah, eh dia marah suruh jawab. Dia pikir, bisa ngomong pake telinga.
“Maaf, Pak. Saya sumpal mulutnya! Berisik tadi jerit-jerit terus!”
“Gila kamu, Jum! Dia itu anak saya, bukan tawanan! Lepas!” Ayah membentak lelaki itu. Tapi aku sudah terlanjur benci, gak ada sedikit pun lagi rasa simpatik pada lelaki yang harusnya melindungi dan menjaga kami itu. Salahkah kalau aku merasa jika ayahku sebetulnya sudah mati?
“Duh … lu, Sih!” Ajum menoyor kepala Eman.
“Kok, gue?” Eman mendelik tak terima.
“Lah, terus siapa? Gue?!” Nada suara Ajum naik satu oktaf.
“Diam!” bentak Ayah, membuat dua orang yang berisik di samping kanan dan kiriku bungkam.
“Nagita anak saya! Bukan tawanan! Cepat buka!” Ayah membentak lagi.
Gak nunggu lama, salah satu dari mereka suruh aku geser agak ke depan, agar bisa bukain ikatan tangan yang di belakang. Aku menurut saja, tanpa ba bi bu. Pegal juga tangan diikat ke belakang.
Dug!
“Awww!”
Seperti suara benturan, lalu mereka memekik sama-wama. Kedua orang itu beg* apa gimana, entahlah. Dua-duanya nunduk barengan, sepertinya dua kepala botaknya saling benturan. Aku hanya mendengus, risih juga ketika mereka malah bertengkar di belakangku. Setelah Ayah membentak lagi, barulah terasa ikatan pada tangan ini dilepaskannya. Perih rasanya pergelangan tangan terkena tali rapia. Duh, penculik amatiran memang. Kubuka sendiri lakban uang menutup bibirku.
“Gita, kamu paham ‘kan?” Ayah kembali bertanya setelah melihatku dari kaca penumpang.
Aku diam. Otakku sedang berputar. Gimana caranya biar aku bisa lepas dari Ayah dan bisa pulang kembali ke rumah. Percuma menjerit-jerit, ngabisin tenaga doang. Mau lompat dari jendela juga pasti ditangkap lagi.
“Gita?!” Suara Ayah kembali terdengar.
“Iya, Gita paham, Yah! Tapi … tapi Gita punya alasan kenapa Gita mau nolak perjodohan ini. Gita gak mau buat Ayah sama Mama Ratri malu, Yah.” Aku pura-pura sedih dan memikirkan mereka. Semoga saja Ayah bisa kena rencanaku ini dan membebaskanku.
“Kami gak akan malu, Gita. Kamu itu cantik, mirip sekali sama Ayah. Pasti Pak Burhan bakal suka banget sama kamu.” Ayah berujar meyakinkan.
“Bukan gitu, Yah. Sebetulnya … sebetulnya … aku sedang hamil.”
Ciiiit!
Ayah mendadak menginjak rem, tanpa aba-aba mobil pun berhenti. Beruntung jalanan sepi. Decitannya bahkan sampai membuat gigi ini ngilu dan linu.
“A—Apa, kamu hamil?” hardiknya. Dia langsung menoleh dengan mata melotot.
“Iy—Iya, Yah.”
Aku menunduk. Bukan takut dia marah. Hanya saja takut kalau aktingku ketahuan.
“Ck! Kacau! Bikin malu saja kamu!” bentaknya lagi.
“Maaf, Yah … makanya batalin saja perjodohan itu, Yah. Dari pada habis nikah enam bulan, aku lahiran. Ayah juga nanti yang malu sama keluarga kenalan Ayah.”
“Ck! Si Ningsih emang gak bec*s! Jaga anak saja gak bec*s!”
Dia tak menjawab, hanya decakan dan umpatan pada Ibu yang kudengar. Lalu tak berapa lama, dia melajukan kembali mobilnya. Kini di dalam mobil hening. Dia tak lagi banyak bicara.
Tak butuh waktu lama, mobil akhirnya masuk ke sebuah pekarangan rumah. Ada tiga rumah berjajar besar-besar dan pekarangannya dipagar disatukan. Bukan perumahan, tetapi rumah yang berdiri di tanah keluarga, sepertinya. Pada masing-masing garasi rumah ada satu mobil.
Ayah memarkirkan mobil di rumah yang paling pinggir. Lalu dia turun, dua lelaki dengan kepala botak juga ikutan turun. Aku masih duduk, ingin rasanya kabur saja tapi percuma juga, Ayah pasti akan menangkapku lagi.
“Turun!” Wajahnya terlihat kesal ketika membukakan pintu mobil untukku.
Aku turun perlahan. Ayah menatapku dari atas sampai bawah, lalu berhenti di bagian perut.
“Sudah berapa bulan?” tanyanya.
“Jalan tiga bulan, Yah.”
Semoga gak dicurigai karena perutku masih rata. Rasanya kemarin lihat Bi Inang yang katanya lagi hamil tiga bulan, tapi perutnya masih rata. Jadi harusnya kebohongan ini masih masuk akal.
“Ck! Ayo masuk!” tukasnya lagi. Dia berjalan duluan. Aku mematung, malas sekali harus ikut sekarang. Tapi aku juga gak bisa lari karena percuma.
Perempuan yang tak lain adalah Ratri alias istri barunya Ayah yang waktu itu datang ke rumah tampak tersenyum menyambut kami. Dia merangkul lengan Ayah dan menghampiriku. Wajahnya tampak penuh senyum dan ramah sekali.
“Wah, alhamdulilah kalau Gita bisa ikut. Ayo masuk, Sayang!” Istri barunya Ayah langsung berhambur dan merangkulku.
“Mah, Papa mau bicara dulu.” Ayah tampak menatap perempuan yang tengah mendekat ke arahku itu.
“Nanti saja bicaranya, Yah. Biar Mama ajak Gita masuk dulu. Sudah siapin juga makanan yang enak-enak! Ayo, Gita!” Dia menarik lenganku.
Aku mematung. Hanya saja, dia terus mengajakku. Akhirnya aku ikut saja ke dalam rumah.
Ada yang perih di dalam hati. Rumah yang ditempati Ayah dan istri barunya ini tampak sekali kokoh, kamarnya ada banyak, ruangannya luas, perabotannya bagus-bagus.
“Mandi dulu, gih! Anggap ini rumah kamu sendiri, ya! Ini baju ganti kamu!” tukasnya seraya mengambil satu set pakaian dari dalam kamar. Lalu dia menarik lenganku menuju ke arah dapur. Setelah melewati tiga kamar, kami tiba di dapur yang cukup luas. Lalu aku diarahkan ke kamar mandi.
“Mah, Papa mau bicara dulu.” Kudengar Ayah memanggil lagi perempuan itu.
“Ih, apa, sih, Yah! Biar Nagita mandi sama makan dulu, baru kita bicara.”
“Ahm, enggak, Mah. Gita mau pulang. Anterin Gita pulang!” Aku menatap wajahnya yang dari tadi bersikap manis.
“Sudah kamu mandi dulu, nanti habis mandi baru kita bicara lagi.” Dia memaksaku.
“Mah, ikut Ayah sebentar!” Ayah menarik paksa lengan perempuan yang masih bicara denganku itu.
“Mandi, ya! Mama tinggal bentar!” Dia meletakkan baju yang dibawanya itu ke telapak tanganku. Lantas ikut dengan Ayah ke ruang tengah.
Aku tak mau mandi. Kusimpan baju itu ke atas rak piring dan berjalan mendekat ke ruang tengah lagi.
“Apa?! Nagita Hamil?!”
Aku bisa mendengar dan melihat jelas kalau istri barunya Ayah terkejut.
“Iya, Ratri. Dia bilang sudah tiga bulan.” Ayah terlihat menyugar rambut dan tampak frustasi.
“Duh, gimana ini? Apa kita bohongi saja si Pak Burhannya?” Istri barunya Ayah tampak berpikir. Kulihat alisnya saling bertaut dan dahinya berkerut.
“Pak Burhan sudah pengalaman, Ratri! Istrinya saja sudah empat. Dia pasti bisa bedakan yang perawan sama yang enggak. Gimana kalau pas dia udah nidurin Gita, tetap saja nyita rumah ini dan kita harus tetap lunasin utang-utang kita?” Ayah terlihat gusar dan panik.
Nyesss!
Ada yang nyelekit. Rupanya benar yang Ibu bilang. Ayah hanya mencariku dan ingin memanfaatkan. Tega-teganya dia menjadikanku gadis untuk membayar utang. Itu ‘kan utangnya dengan istri barunya, kenapa aku yang harus membayar?
BAB 8
MAHAR DUA RATUS JUTA (8)
Selamat Membaca!
“Pak Burhan sudah pengalaman, Ratri! Istrinya saja sudah empat. Dia pasti bisa bedakan yang perawan sama yang enggak. Gimana kalau pas dia udah nidurin Gita, tetap saja nyita rumah ini dan kita harus tetap lunasin utang-utang kita?” Ayah terlihat gusar dan panik.
Nyesss!
Ada yang nyelekit. Rupanya benar yang Ibu bilang. Ayah hanya mencariku dan ingin memanfaatkan. Tega-teganya dia menjadikanku gadis untuk membayar utang. Itu ‘kan utangnya dengan istri barunya, kenapa aku yang harus membayar?
“Hmmm … tapi coba kita buat alasan saja kalau Nagita jatuh dari sepeda. Masalah kehamilannya biar aku yang tangani, Mas.” Istri baru ayah tampak tetap bersikeras.
“Apa gak terlalu berisiko, Ratri? Gimana kalau Pak Burhan malah marah nanti?” Ayah tampak bingung.
“Lebih berisiko lagi kalau perjodohannya batal. Apa Mas mau kita semua jadi gelandangan?!” Suara istri barunya ayah, meninggi.
“Ck, kamu juga, sih! Sok ikut-ikutan investasi-investasi segala!” keluh Ayah. Dia tampak memijit dua pangkal alisnya.
“Kamu juga jadi suami hobinya nyalahin istri. Ingat, Mas. Kalau sampai rumah kita semua kena gusuran. Mau gak mau kamu harus jual juga rumah kecil itu. Aku gak mau kita jadi gelandangan!” pekiknya tak kalah sengit.
Sepertinya pertengkaran mereka masih lama. Aku bisa melarikan diri diam-diam dan kembali pulang. Setidaknya kalau di rumah, aku bisa hubungi Bu Ajeng. Dia kan sudah berjanji akan menolongku dari masalah ini.
Gegas aku ke arah dapur, rumah ini bukan perumahan. Harusnya ada pintu samping. Benar saja, ada pintu. Aku tersenyum dan segera mendekat ke arah pintu itu. Namun rupanya dikunci.
Ck! Belum pernah juga belajar bobol kunci. Nyesel dulu diajakin sama Dento waktu SMA gak mau ikutan.
Di dapur memang ada jendela juga, tapi ada tralisnya. Aku coba cari-cari cara, sepertinya ada pisau di rak piring. Aku ambil saja dan segera mendekat lagi ke arah pintu.
“Eh, kok bajunya belum ganti, sih? Mama sudah siapin makan buat kamu juga.” Suara Bu Ratri muncul. Aku yang sedang pegang pisau jadinya melongo. Bingung kalau kepergok seperti ini. Kirain bertengkarnya masih lama.
“Gak usah, ganti, Mah. Gak enak saja, bajunya mahal.” Aku melirik pada baju yang masih rapi dalam lipatannya.
“Oh ya sudah kalau gitu. Simpen saja buat besok, ya! Malam ini kamu istirahat saja biar pas bangun pagi besok, sudah segar.” Bu Ratri tersenyum, lalu mendekat ke arahku. Namun, dia sedikit mundur lagi ketika melihat pisau di tanganku.
“K—Kamu ambil pisau?” Wajahnya sedikit pias.
Tiba-tiba ide gila lagi muncul di benakku.
“Aku pengen pulang, Ma. Kalau aku gak dianterin pulang. Aku bunuh diri saja di sini.” Aku mulai memasang wajah sedih.
“Duh, jangan gitu, Sayang. Orang bunuh diri itu nanti masuknya ke neraka. Kamu jangan gitu. Istighfar, Gita! Istighfar!” Bu Ratri tampak ketakutan. Aku mendekatkan pisau ini ke urat nadi. Mana berani sebetulnya, hanya untuk menakut-nakuti. Omongannya pake bawa-bawa neraka, kayak orang suci saja.
“Anterin aku pulang! Aku sedang hamil, Mah! Aku gak mau dijodohkan!” Aku memelas.
“Ayah! Ayah! Nagita, Yah!” Bu Ratri tampak panik. Dia tak berani mendekat juga.
Aku sudah tersenyum melihat wajahnya yang ketakutan. Namun, tiba-tiba ada yang menangkapku dari belakang. Direbutnya pisau dari tanganku. Aku yang gak siap-siap, gak bisa melawan juga. Rupanya dua lelaki yang tadi ikut sama Ayah muncul mendadak dari pintu samping.
“Ck! Kecil-kecil bikin ulah mulu!” omel salah satu orang tersebut.
“Mang Eman, jangan galak-galak! Nagita itu putri saya!” Eh Bu Ratri membentak. Aktingnya benar-benar bagus. Andai aku tak mendengar apa yang mereka obrolkan di ruang tengah. Mungkin aku pun akan percaya.
Lelaki botak itu menarikku dan membawaku masuk ke kamar. Bu Ratri mendudukkanku di sebuah tempat tidur yang cukup lebar dengan Kasur empuknya. Enak banget hidup mereka, ya! Tempat tidurnya saja luas dan empuk.
“Nagita … jangan seperti tadi, ya! Mama gak mau kamu kenapa-kenapa. Kalau ada masalah sama ayah bayi yang kamu kandung. Bisa cerita sama Mama. Kalau dia gak mau tanggung jawab gak usah takut. Ada kami di sini, Nak.”
Akting yang sempurna. Wajahnya tampak dibuat seramah dan suaranya lembut banget. Aku hanya diam menunduk. Benci banget.
“Ya, Ma. Kalau gitu, Gita gak takut lagi. Boleh pinjem ponsel, Ma?” Aku menatap wajahnya. Dah males lanjutin obrolan sama dia juga.
“Ponsel, untuk?” Dia menatap curiga.
“Aku mau nelepon Ibu. Takutnya dia cemas. Aku mau bilang, kalau di sini Mama baik dan aku gak diapa-apain.” Aku berusaha bicara senetral mungkin.
“Oh biar Mama ambilkan sebentar, ya!” Dia bangkit, lalu pergi. Keluar kamar dan gak lama balik lagi membawa ponsel.
“Makasih, Ma.” Senyum kubuat-buat.
Dia pun keluar lagi. Aku mengingat-ingat nomor Bu Ajeng, tapi aku beneran gak hapal. Akhirnya aku masuk ke internet dan masuk ke akun sosial media. Masih ingat akun sosmed butik yang biasa aku pegang. Akun tersebut berteman dengan Bu Ajeng dan juga Pak Adrian.
[Bu, ini Nagita. HP-ku jatuh di rumah. Aku dibawa paksa Ayah ke rumah istri barunya. Bu tolong aku. Aku gak mau dijodohkan sama orang pilihan Ayah. Aku Cuma mau dijadikan penebus utang. Tolong aku. Sekarang aku lagi pura-pura hamil untuk mengulur waktu. Ini alamat Ayah!]
[Pak Adrian, tolong bilang sama Ibu, check DM IG sama FB nya.]
Aku segera mengirim alamat rumah ini.
[Kampung Gasing, Rumahnya jejer tiga, nomor rumahnya 73. Nama Ayahku Setiadi.]
Segera aku logout ketika Bu Ratri muncul lagi dari ambang pintu. Dan aku coba hubungi nomorku, aku mau ngabarin Ibu. Sayangnya gak aktif. Mungkin lowbat.
Cukup banyak makanan yang dia bawa. Ada dua gelas jus nanas bareng makanan berat di atas nampan, juga ada nanas potong dalam piring besar.
“Diminum, ya! Kebetulan Mama baru panen nanas di belakang rumah.” Dia meletakkan semua yang dibawanya itu dan menatapku dengan lembut.
“Makasih, Ma.” Aku mengembalikan ponselnya sekalian.
“Sudah?” tanyanya.
“Sudah.” Aku menjawab singkat.
“Makanlah! Maaf ya, Mama kunci kamarnya dari luar. Mama takut kamu nekat lagi kayak tadi.” Dia membelai rambutku lantas pergi.
Makanku yang tadi belum selesai membuatku berat untuk menolak makanan ini. Apalagi ada sate, pindang telor juga oseng-oseng kangkung pake udang. Wangi terasinya tercium sampai ke hidung.
“Dih diracun gak, ya?” Aku menimbang-nimbang sebentar.
Kalau dilihat dari kasusnya, sepertinya mereka gak akan racunin aku. Hanya mungkin saja mau meracuni anak dalam kandunganku. Apalagi ini sampe dua gelas gini jus nanas, di piring juga.
“Bismillah, deh. Makan saja. Moga gak kenapa-kenapa.” Aku berjalan dulu ke arah pintu, lalu kupasang slotnya dari dalam.
Setidaknya kalau pun ada obat tidur, aku masih aman. Dia gak bakal bisa ngapa-ngapain. Lantas aku makan dengan lahap. Aku harus sehat dan kuat biar besok bisa mikir lagi cara keluar dari sini. Moga-moga Bu Ajeng sudah baca pesanku di sosial media. Duh, parahnya aku gak hapal nomornya.
Bab 9
MAHAR DUA RATUS JUTA (9)
Selamat Membaca!
Tok Tok Tok!
Aku menggeliat ketika pintu kudengar diketuk. Rupanya sudah siang. Kulihat jam doraemon yang nempel di dinding, jarumnya sudah menunjukkan puk*l setengah tujuh.
“Gita! Nagita! Ini Mama, Nak!” Suara Bu Ratri pastinya.
Aku bangun, rasanya badan sudah agak segar sekarang. Aku mau mandi setelah ini.
“Gita, kamu baik-baik saja ‘kan, Nak?” Suara itu terdengar cemas.
Ck, akting saja terus. Aku lantas bangkit dan mendekat ke pintu. Mau kubuka, tapi gerakan tanganku berhenti ketika kudengar suara Ayah dari luar.
“Kamu sih, Ratri. Pake kasih jus nanas banyak-banyak. Nanas tiga kamu kasih dia semua! Gimana kalau Nagita kenapa-kenapa?” Suara Ayah terdengar panik.
“Alaaah, kamu itu, Mas. Kemarin setuju ngasih jus nanas. Bukannya kamu juga mau kalau kandungan Nagita keguguran. Kalau ini terjadi, satu masalah ‘kan sudah selesai.” Omelannya kudengar panjang lebar.
Aku diam dulu di belakang pintu. Membiarkan mereka berdebat. Siapa tahu ada informasi lainnya yang bisa kudengar. Namun, lama-lama aku sebal sendiri. Dua orang egois yang saling menyalahkan terdengar gak ada guna sama sekali. Obrolannya kosong.
Ceklek!
Seketika obrolan yang tengah sengit-sengitnya itu terhenti. Wajah Bu Ratri memang ajaib. Tadi suaranya lagi penuh amarah pada Ayah. Namun, pas pintu kubuka. Itu tangannya yang sudah ngeloyor ke arah muka Ayah mungkin mau nunjuk gitu, berubah jadi membelai. Dih, dasar orang muka dua.
“Gita, kamu baik-baik saja ‘kan, Sayang?” Bu Ratri memburuku. Aku menggeser tubuh dan membiarkan dia masuk.
Sekilas aku lirik, dia tersenyum. Mungkin senang karena semua nanas yang dia buat itu sudah habis kumakan. Piringnya masih berserakan juga, semalam sengaja tak aku bereskan.
“Baik kok, Ma.” Aku menjawab singkat.
“Kalau gitu, lekas mandi. Pakaian yang kemarin saja buat ganti. Sebentar lagi, dari keluarga calon suami kamu akan datang!”
“Ma, aku lagi hamil. Apa Mama tega tetap mau jodohkan aku? Gimana nasib janin yang ada dalam kandunganku, Ma?” Aku memasang wajah memelas.
“Tenang saja, Sayang … anak dari lelaki yang gak bertanggung jawab itu, gak akan tinggal lebih lama lagi di dalam perut kamu. Jus nanas yang semalam pasti bisa gugurin kandungan kamu itu, kok. Jadi janin itu gak akan lagi jadi penghalang perjodohan ini.” Dia tersenyum lebar dan menaikkan satu alisnya ke atas.
Huh, licik banget ternyata. Terus gimana lagi caranya biar perjodohan ini batal. Bu Ajeng yang mau nolong pun entah baca atau belum pesan dariku. Kini hanya aku sendiri yang harus berusaha menyelamatkan diriku sendiri.
“Kenapa malah diam? Kamu gak usah takut, Tuan Burhan itu baik banget kok orangnya. Hidup kamu pasti akan bahagia. Kamu mau apa saja pasti dia belikan asalkan bisa nyenengin dia di atas ranjang.” Bu Ratri menarik tanganku agar ikut ke kamar mandi.
Badanku pun memang gak enak juga ternyata dari kemarin belum mandi. Ya sudah, deh. Aku mandi saja dulu.
Usai mandi, lekas aku mengganti pakaian dengan yang sudah disiapkan Bu Ratri. Gatel juga pakai pakaian kemarin dan belum dicuci.
“Ini anaknya, Mbak. Tolong didandanin yang cantik, ya!” Bu Ratri membawa seorang wanita paruh baya yang membawa alat-alat make up. `
Aku melongo ketika pintu kamar ditutup kembali dan sepertinya dikunci dari luar.
“Ibu siapa?” Aku tatap dia, menilai apakah dia orang baik atau jahat.
“Kenalin, saya Bu Salma, Neng! Ternyata Bu Ratri punya putri sambung yang cantik banget. Ibunya juga pasti cantik, ya?” Dia membuka peralatan make up nya. Lalu meletakkannya di atas meja rias.
“Ahm, Bu … saya gak mau dijodohkan! Apa bisa make up in saya biar jelek saja?” Aku memelas menatapnya.
Dia termenung, lalu menggaruk kepala.
“Aduh, kalau itu Ibu gak berani, Neng. Nanti Ibu gak dibayar. Ibu lagi butuh uang buat berobat suami Ibu. Dia lagi sakit.”
Aku merengut. Rupanya harus cari cara lain. Setidaknya buat ngulur waktu sampai Bu Ajeng datang. Semoga saja dia datang.
“Minta izin Ibu bersihkan mukanya ya, Neng!” Bu Salma mengambil kapas yang dibubuhi entah apa, lalu membersihkan wajahku. Setelah itu, dia polesi lagi dengan entah apa, aku sudah tak lagi memperhatikan.
Bu Salma sibuk memoles wajahku, sedangkan aku sibuk mencari cara agar bisa mengulur waktu hingga Bu Ajeng datang.
Pintu sudah dibuka, ketika Bu Salma baru selesai menyapu wajahku dengan entah berapa lapis bedak. Ayah yang muncul lalu datang menghampiri.
“Gita! Nanti tolong bersikap baik di depan Tuan Burhan, ya! Jangan permalukan Ayah!” Suaranya lembut. Dia memegang punggung tanganku tapi aku menepisnya.
“Ck!” Aku hanya berdecak. Malas sekali melihat lelaki yang gak punya hati itu. Di mana-mana, sosok ayah itu melindungi. Jadi sandaran keluarga. Jadi tulang punggung dan tempat bernaung. Ini apa-apaan? Saat kami susah, dia pergi dengan perempuan lain dan milih hidup senang. Giliran dia susah nyari cara buat tetap senang dengan nyusahin orang.
“Ayah jamin … hidup kamu akan berkecukupan. Kamu akan bisa juga nyenengin Ibu kamu dan adik kamu kalau nikah sama Tuan Burhan. Dia memang tua, tapi dia itu royal sekali. Jadi anak yang nurut, ya! Ayah buat kayak gini tuh karena sayang sama kamu. Ayah gak mau hidup kamu susah terus.”
Aku diam saja. Pura-pura gak dengar. Capek nimpalin. Percuma, kuping mata dan hatinya sudah ketutup sama yang namanya uang.
“Ingat, ya, Gita! Kalau sampai perjodohan ini batal! Jangan bilang Ayah kejam kalau kamu, ibu dan adik kamu harus kehilangan tempat tinggal! Kamu gak mau ‘kan lihat adik sama Ibu kamu tidur di emperan toko atau bawah jembatan?! jadi jangan sekali-kali bikin ulah yang bisa buat perjodohan ini batal! Ayah juga gak akan segan buat jual adik kamu, kalau sampai Tuan Burhan gak suka sama kamu dan gak jadi nikahin kamu! Jadilah anak yang baik demi adik dan Ibu kamu!”
Dia terus bicara sampai aku selesai di make up dan benar-benar buat aku kesal. Andai aku boleh milih, aku lebih milih gak punya ayah dari pada dikasih Ayah tapi seperti dia.
“Tolong! Kalau gak mau aku buat rusuh! Kamu pergi dari sini! Aku pusing dengerin ocehan kamu!” Kelewat kesal, tak lagi aku menyebut Ayah.
“Jangan songong kamu, Gita! Panggil kamu, kamu! Aku ini ayahmu!”
Aku melengos membuang muka. Kudengar dia berdecak. Namun pada akhirnya keluar juga.
Seperginya dia kutangkup wajah dan menangis. Gak tahan. Bu Salma melongo saja dan mengusap-usap pundakku. Tanganku mengepal erat. Kesal, sakit hati dan luka. Benar-benar paket komplit yang sudah dibuatnya.
“Maafin Ibu gak bisa bantuin, Neng Gita.” Bu Salma terdengar mengasihaniku.
Usai nangis, Bu Salam memoles lagi wajahku, memasang eyeliner, maskara, shadow, alis dan entah apa lagi. Kubiarkan saja. Aku juga gak jawab omongannya. Gak ada yang kenal aku di rumah ini, jadi mau minta tolong pun percuma.
“Gita! Ayo, Sayang! Keluarga Pak Burhan sudah datang!” Bu Ratri masuk dan tampak sudah cantik juga dengan balutan dress batik. Rambutnya digerai. Senyumnya manis mengembang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
