Bab 7 - PENGANTIN LELAKI PENGGANTI

1
0
Deskripsi

Tinggal seatap bersama orang asing yang tiba-tiba menjadi suami itu hal yang terasa aneh dan membingungkan. Segalanya masih serba canggung. Terlebih karakternya yang lebih banyak diam ketimbang mengobrol membuat suasana masih saja sama. Kami bak orang asing. Menghabiskan waktu dengan saling berdiam.

 

“Bang, aku mau tidur, ya!”

 

Aku beranjak dari depan televisi. Sedari tadi hanya suara dari dalam sana yang membuat suasana rumah ini sedikit hidup.

 

“Iya,” ucapnya sambil melirik sekilas ke arahku. Lalu...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 8 - PENGANTIN LELAKI PENGGANTI
1
0
Berulang kali aku mencoba menghubungi nomornya. Berharap dia masih memaafkan aku. Berharap aku masih ada tempat untuk kembali ke sisinya. Berharap dia dan laki-laki itu akan segera berpisah. Aku menyukai Alma bukan hanya karena paras cantiknya. Namun dirinya memiliki pesona yang tidak dimiliki wanita lain pada umumnya. “Kenapa kamu tidak mau mengangkat teleponku? Alma … aku harus menjelaskan semuanya padamu!” Kuacak rambutku frustasi. Betapa pahit perjalanan cinta ini. Karir yang cemerlang ternyata tidak mudah membuatku jatuh cinta meski banyak wanita yang datang untuk menyatakan perasaannya. Salah satunya---Miranti. Namun aku sudah mencoba menjelaskan padanya. Aku sudah memilih Alma dan akan menikah. Akhirnya dia mengerti. Kami akan menjadi saudara sepupu dan dia menerimanya. Alma tidak pernah tahu akan hal ini, dan tidak perlu tahu. Miranti bukan apa-apa bagiku. “Mira, bisa ketemu!” Akhirnya terpaksa kuhubungi dia lagi. Tidak ada lagi orang yang bisa membantuku mencari tahu keberadaan Alma saat ini. Sekaligus aku ingin mendekatinya untuk menyelidiki siapa dalang dibalik kejadian hari itu. Kejadian yang menyebabkan batalnya pernikahanku. “Oke! Di café mawar, ya! Kapan?” ujarnya.   “Ok! Sekarang bisa?” ucapku. Aku langsung menyanggupinya. “Ok,” jawabnya. Akhirnya kami bertemu. Duduk pada sudut yang agak sepi. Dia mengaduk minumannya. Hari ini aku memutuskan untuk tidak minum apapun. Aku masih trauma. Kini aku hanya ingin mencari tahu keberadaan Alma. Akhirnya aku meminta dia untuk menelponnya. “Hallo, Alma … ini Mbak!” Meski enggan, akhirnya dia menuruti apa yang kuminta. “Ya, Mbak! Ada apa, ya? Tumben nelepon malem-malem!” tanya suara seseorang yang kurindukan. “Iya, maaf … gak lagi nanggung ‘kan?” Miranti seolah sengaja. “Nanggung apaan? Aku udah mau tidur ini!” Terdengar suaranya sedikit serak. Mungkin iya, dia sudah tidur. “Ya, kan manten baru! Takutnya lagi ehem-ehem!” Miranti memang menyebalkan. Sepertinya sengaja menggoda dianseperti itu di depanku. Membayangkannya disentuh lelaki lain, tiba-tiba hatiku mendidih. “Enggak lah, Mbak! Bang Arya juga sudah tidur! Ada apa, Mbak?” tanyanya. Hatiku sedikit lega mendengar penuturannya. “Mbak cuma mau tanya, kamu sekarang masih tinggal di rumah ‘kan bareng Om Alka sama Tante Madina?” tanyanya. “Enggak, Mbak! Aku sudah pindah ke rumah Bang Arya! Ada apa emangnya?” tanyanya. Aku masih mematung mendengarkan percakapan mereka. Sesekali melempar pandang ke luar. Menembus dinding kaca yang terpasang. “Mbak pengen nganterin sesuatu. Minta alamatnya dong!” ucap Miranti. “Oh, ya udah! Nanti aku kirim by WA saja, ya, Mbak!” tukasnya. “Oke! Udah dulu, ya! Takut ganggu!” ujar Miranti sambil menutup panggilan. “Boleh kirimkan alamatnya ke aku, Mir?” tanyaku setelah dia mematikan telepon. “Iya, nanti kalau dia udah kirim aku forward, ya!” ujarnya sambil tersenyum. “Thanks, Ya, Mir!” Aku mengangguk tanda ucapan terima kasih. “Sama-sama, buat teman apa sih, yang enggak?” ujarnya sambil mengulas senyum. Aku mengobrol ringan sebentar. Sambil menunggu alamat yang akan Alma kirimkan. Setengah jam kemudian, Miranti baru memberikannya padaku. Setelah itu, akupun berpamitan. Selama obrolan kami, Miranti selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menyinggung kejadian malam itu. Hal ini semakin membuatku curiga. Kuantar dia, karena beralasan tidak bawa kendaraan. Baiklah, tak apa. Sebagai ucapan terima kasih juga, karena dialah kini aku punya kesempatan untuk menemukan Almaku lagi.***Malam berjalan lambat. Tak sabar menunggu pagi untuk menemuinya. Apapun yang kudengar nanti, aku sudah siap. Dia bertahan dengan pernikahannya atau memilih kembali padaku. Itu akan kukembalikan pada keputusannya setelah ku jelaskan nanti. Dering alarm pada ponsel terdengar nyaring. Aku mengerjap. Sial, hari sudah siang. Gara-gara malam tadi mata susah terpejam, akhirnya aku malah kesiangan. Bergegas mandi dan berganti pakaian. Kulewati meja makan di mana ada sarapan yang sudah terhidang. “Mas Rangga, sarapan dulu!” Bi Esih ART-ku menawari. “Saya buru-buru, Bi! Nanti saja!” ucapku sambil menyambar kunci mobil dan segera melaju. Aku memasang map pada ponselku. Alamat Alma ini cukup jauh juga ternyata. Namun masih satu wilayah. Perumahan yang dulu kutaksir dan ingin membeli rumah juga di sana. Sebagai manager muda di perusahaan ternama Adireja Grup. Aku hampir bisa dengan mudah mendapatkan segalanya kecuali jodoh. Ya, jodohku kini menghilang. Mobil yang kutumpangi sudah mulai memasuki kawasan perumahan. Debar di dada semakin tak karuan. Rasanya timbul tenggelam, nano-nano lah. Rumah di sini tergolong elit. Berarti lelaki itu bukan orang sembarangan, hingga dia mampu membeli rumah di kawasan ini. Namun aku pun tidak mengenalnya, rasanya ketika di pernikahannya kemarin wajahnya memang asing hanya saja mirip dengan seseorang, tapi entah siapa. Aku masih mencoba-coba mencocokan sketsa wajahnya dengan memori di ingatanku.  Mobil berhenti tepat di depan nomor rumah yang disebutkan oleh Miranti. Aku menepikan mobil dan berjalan turun. Kupijit bell di pintu gerbang. Berdiri sambil mengedarkan padangan. Kedua tanganku dimasukkan ke dalam saku celana panjang, menghalau gugup yang tiba-tiba menyerang. Tampak dari dalam tergopoh seorang perempuan setengah baya.Mungkin itu mertuanya atau pembantunya Alma. “Maaf, Mas nyari siapa, ya?” tanyanya sopan.  “Saya temannya, Alma! Apakah Almanya ada?” tanyaku langsung dengan hati yang berdebar kencang. “Oh, Neng Alma istrinya Tuan Kecil, eh maksud Bibi istrinya Tuan Arya?” Dia memastikan. Aku mengangguk sambil tetap memasang senyuman. Dia memanggilnya suaminya Alma 'Tuan'? Apakah lelaki itu memang orang terpandang?  “Iya, Bi … apakah ada?” tanyaku lagi.  “Maaf, Mas! Tuan Kecil sama Neng Alma sudah berangkat dari setelah shubuh tadi! Ada tugas ke luar kota katanya!” ucapnya. Hatiku seketika mencelos. Sirna sudah harapan untuk bertemu dengannya. Ke mana mereka pergi? Haruskah aku menyusulnya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan