BAB 6-10 DINIKAHI KONGLOMERAT

1
0
Deskripsi

[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa, hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!] 

Aku menghela napas panjang. Sehari setelah aku menerima lamaran Tuan Muda Ashraf, aku selalu mendapatkan terror dari nomor yang tidak dikenal. Pikiranku yang sedang kacau oleh hal itu, bertambah runyam oleh omelan yang keluar dari mulut cabenya Teh Selvi. 

“Kalau semua ayam yang kamu goreng gosong?...

BAB 6 – Babu Kaya

[Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?] 

[Siapa ini?] 

[Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?] 

Aku tertegun. Entah harus menjawab apa. Kenapa dia harus datang kembali di saat seperti ini? 

Aku membiarkan dan tidak membalas pesannya. Semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke kota. 

Segera kucuci semua gelas kotor yang sudah kukumpulkan. Piring-piring bekas, panci dan wajan bekas memasak tadi kucuci semua. Ibu dan Wa’ Imah juga tengah sibuk berbenah. Menjelang maghrib semua pekerjaan ini sudah selsai. Rumah kakek sudah bersih kembali. 

Aku bergegas menunaikan ibadah sholat maghrib. Bersujud dan meminta petunjuk atas kehidupan masa depanku kelak. 

Dalam untaian doa selalu kusisipkan dua nama yang selalu menjadi sumber kekuatanku. Nama Bapak dan ibu. 

“Ya Allah … aku tidak pernah mengeluh dan menyalahkan keadaan terlahir dari keluarga miskin dan serba kekurangan … aku dengan sabar menerima semua takdir dan garisan nasib yang telah Engkau gariskan … aku tidak pernah mengeluh Ketika tidak bisa mengenyam Pendidikan tinggi dan kerja di kantoran seperti saudara-saudaraku yang lain … aku selalu mencoba ikhlas menerima semua ini Ya Allah … tapi kumohon Ya Allah … berikan jalan untukku memuliakan kedua orang tuaku, meninggikan derajatnya, membuatnya dihargai, dihormati dan dimuliakan … Aku sudah tidak kuat melihat kedua orang yang kusayangi direndahkan bahkan oleh keluarga sendiri hanya karena kami paling miskin di antara mereka … berikan padaku jalan untuk membungkam semua mulut yang selalu penuh hinaan, cibiran, cemoohan itu dengan kebahagiaan dan kesuksesanku di masa depan … Aku yakin dan percaya, Engkau Maha mengabulkan do’a … Kabulkanlah doaku Ya Allah!” 

Aku berzikir dengan khusyuk. Menghabiskan Sebagian waktuku untuk berduaan dengan Sang Pemilik Kehidupan. Perasaan tenang mengalir begitu saja. Setiap kali aku bersujud di atas sajadah ini selalu ada satu kedamaian yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. 

Aku menjadi memiliki kekuatan berkali lipat untuk menghadapi kehidupan. Setelah selesai zikir dan doa, aku mengambil ponselku di mana ada Al-qur’an digital di sana. Namun baru saja aku mengucapkanbasmallah. Terdengar suara keributan di ruang teras rumah. 

“Warman! Kamu tau ‘kan mobil Teteh itu mahal? Kenapa sampai banyak baretan kayak gini?!” teriaknya yang membuatku akhirnya berhenti pada ayat kedua. 

Aku melipat mukena dan menyimpannya di atas lemari. Segera kuberlari ke teras menghampiri suara keributan yang menjadi. 

“Maaf, Teh … tadi waktu saya cuci itu masih belum ada goresan-goresan seperti itu! Sumpah, Teh!” Kulihat wajah bapak pias karena mengetahui mobil mahal kakaknya tergores. 

Tanpa kukira Wa’ Ikah melemparkan sapu ijuk yang tergantung di dekat sana. Dia lempar ke muka bapak. 

“Nih, Warman! Teteh gak mau tau … mobil mahal Teteh harus mulus seperti sedia kala! Terserah kamu mau nyari uang ke mana? Kalau perlu jual saja gubuk reyot kamu itu, mungkin cukup jika kamu jual juga dengan tanahnya!” ucap Wa’ Ikah begitu tajam. 

“Bukan saya yang buat, Teh! Tadi semua masih bagus! Dari mana atuh Teh, jangan buat ganti benerin mobil! Buat makan saja saya masih numpang sama Sinta!” lirih bapak. 

“Oh, jadi mau coba lari dari tanggung jawab! Kalau kamu memang mau dimaafkan Kamu sujud di kaki teteh minta maaf! Kalau memang harga diri kamu jauh lebih rendah dari harga perbaikan mobil yang hanya sepuluh jutaan!” ucapnya sambil duduk menyilang kaki. 

Kulihat bapak mengusap sudut matanya. Dia beringsut menghampiri Wa’ Ikah dan hendak bersimpuh. Ya Tuhaaan! Hatiku sakit sekali melihat bapak menangis. Aku sudah tidak tahan dan langsung datang menghambur memeluk bapak. 

“Bapak! Berdiri Pak! Jangan rendahkan harga diri Bapak di hadapan mereka!” Aku menopang tubuh Bapak agar berdiri tegak kembali. 

“Eh, si Babu ikut-ikutan! Memangnya kamu punya uang buat ganti kerusakan mobilnya?” Kali ini Teh Selvi turut campur dan berteriak mentapku. 

“Ta, biar Bapak meminta ampunan saja sama Uwa’ mu. Dari mana Bapak bisa dapetin uang sebesar itu? Jual tanah dan rumah kita, nanti di mana kita tinggal?” 

“Sinta yang akan bayar, Pak! Uang segitu tidak sebanding dengan harga diri Bapak!” Akhirnya aku tidak lagi peduli dengan apapun yang akan terjadi nanti. Yang terpenting saat ini aku harus menyelamatkan harga diri Bapak.

“Eh, Babu! Emang kamu punya duit? Ini sepuluh juta … bukan sepuluh ribu! Jangan ngimpi kamu!” teriak Teh Selvi lagi. Aku mangabaikan teriakannya. Aku melirik ke arah Wa Ikah. 

“Wa’ mana nomor rekeningnya? Sinta gak bawa uang cash! Sinta transfer aja sekarang!” ucapku sambil menatap wajah sombong mereka. 

“Cih! Sok pahlawan! … Nih saya kirimkan kalau emang beneran punya duit!” Kini Teh Selvi yang menyalak. Dia mengambil ponselnya dan mengirim nomor rekening ke nomorku. 

Aku bergegas ke dalam setelah mendudukan bapak! Mengambil ponsel yang tadi aku letakkan di dekat mukena. 

Baru saja aku hendak keluar. Ibu menatapku cemas.

“Ta? Kamu memang punya uang sebanyak itu?” tanya ibu.

“Ibu tenang saja! Sinta punya banyak, bahkan lebih dari ini!” jawabku sambil membetulkan kerudung dan berlalu menuju teras. Semua orang sedang duduk menungguku. 

Mereka menatapku tajam Ketika aku mendaratkan pantat di kursi sebelah bapak. Segera kubuka aplikasi internet banking. Rekening yang khusus suamiku buatkan untuk transfer uang bulanan. Ini pertama kali kupakai, karena sebelumnya aku terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Terlebih di rumah besar itu semua kebutuhan tercukupi dengan baik. 

“Wa’ Sinta akan transfer sepuluh juta rupiah! Tapi jika nanti tidak terbukti jika Bapak yang membuat kerusakan mobil Wa Ikah! Sinta akan menuntut balik!” ucapku dengan pandangan mata tajam. Harga diriku benar-benar terluka karena perbuatan mereka. 

Tring 

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Wa’ Ikah. Aku menunjukkan di depan semua yang hadir di sana bukti transfer uang sepuluh juta rupiah. Semua mata memandang dengan mulut menganga tidak percaya. Mungkin mereka bertanya-tanya, dari mana si babu yang mereka hina ini dengan mudah mendapatkan uang sebanyak itu? 

 

BAB 7 – Mobil di depan rumah

Aku menoleh pada bapak. Kemudian aku menghampirinya. 

“Pak, ayo kita pulang nanti keburu malam!”

Aku kemudian melangkah ke dalam menghampiri Ibu dan Wa’ Imah yang menyaksikan dari dalam. Aku berpamitan pada Wa’ Imah dan mengajak ibu pulang. 

“Ayo, Bu kita pulang nanti keburu malam!” Ajakku kemudian aku berpaling pada Wa’ Imah. Kuraih tangannya dan menciumnya. Aku mengeluarkan uang dual embar seratus ribuan. 

“Wa’ alhamdulilah Sinta ada sedikit rejeki, bonus dari Allah! Semoga ini bisa buat berobat Mang Husen!”

Netra lesu itu berkaca-kaca menerima dua lembar uang pemberianku. Dia menyeka sudut matanya yang mengembun. 

“Memangnya kamu punya uang, Ta? Tadi aja 'kan pastinya uang simpenanmu yang dipakai buat bayarin ke Wa’ Ikah?” tanyanya menatapku. 

“Alhamdulilah … 'kan Sinta bilang dapat bonus dari Allah! Uwa’ jangan khawatir. Selama Sinta bergantung pada-Nya insya Allah semua akan baik-baik saja. Sinta sangat yakin meski seluruh dunia merendahakan Sinta maka tidak ada kesulitan sedikitpun jika Dia berkehendak lain. Maafin Sinta belum bisa buat Uwa’ bangga saat ini,” ucapku sambil tersenyum. 

Selama ini hanya Wa’ Imah yang memang sama-sama tak punya yang baik pada keluargaku. Terkadang kami berbagi beras untuk dimasak hari ini. Yang lain mana peduli. Hidup mereka enak, rejeki berlimpah tapi mereka lupa bahkan untuk bertanya apakah Saudaranya yang susah punya beras untuk makan?

Mereka tidak sadar jika roda kehidupan itu berputar. Bisa saja mereka bertinggi hati dan sombong karena sedang di atas. Namun jika kemudian putaran mereka terhenti di bawah, barulah mereka tahu siapa Saudara dan sahabat yang sesungguhnya. Seperti keluargaku yang hanya memiliki Wa’ Imah untuk saling tolongmmenolong.

Aku menggandeng lengan Ibu dan berjalan keluar. Malas rasanya berpamitan pada mereka yang sejak tadi terdengar sedang menggunjingku. 

“Ta, kamu jual diri di mana? Gak masuk akal seorang babu bisa punya simpanan duit segitu banyak!” nyinyir Teh Selvi sambil melirik ke arahku yang hendak berpamitan pada kakek. 

“Teteh jangan bicara sembarangan! Bicara tanpa bukti itu fitnah! Mungkin keluarga Teteh yang terpandang itu lebih faham daripada aku yang hanya babu jika fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan! Hati-hati, Teh … lidah memang tidak bertulang tapi setiap kalimat yang diucapkannya bisa melukai bahkan lebih menyayat dari pada pedang!” Aku melirik sekilas ke arah Teh Selvi yang sedang duduk ongkang-ongkang kaki.

“Kek, Sinta pamit pulang dulu!” Aku meraih tangan lelaki tua itu. Bagaimanapun dia adalah kakekku meskipun dia tidak pernah memperlakukanku seperti cucu lainnya hanya karena aku babu.

Lelaki tua mengabaikan tanganku yang kusodorkan untuk bersalaman. Dengan tatapan lurus tanpa memandangku dia berkata.

“Kamu sebagai Saudara yang paling muda tidak selayaknya berbicara tidak sopan seperti itu! Selvi, Rema dan Rena itu Kakak sepupumu. Sebagai adik kamu harus menghormati mereka! Kakek mau kamu minta maaf pada Selvi,” ucapnya. Seperti ada pedang terhunus ke dalam hatiku. Perih dan pedih yang terasa. 

Aku menarik napas panjang menahan diri. 

“Sinta tidak akan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah Sinta lakukan! Assalamu’alaikum!” Aku berjalan tergesa meninggalkan teras rumah besar itu. Rumah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter. Kakek merupakan keturunan orang kaya zaman dulu. Dia memiliki asset tanah yang luas, meski kini yang tersisa hanya di rumah yang dia tempati saja. Tanah kebun dan sawah sudah habis dijual oleh suami Wa’ Ikah dan Suami Wa’ Inah yang berasal dari kota dan mengerti bisnis. 

“Ta!” Kudengar ibu memanggilku. 

Aku menghentikan langkah dan menoleh padanya. Kulihat bapak dan ibu tergopoh-gopoh mengejarku. 

“Iya, Bu,” jawabku sambil menatap wajahnya yang terkena remang cahaya rembulan.

“Kamu gak apa-apa, 'kan?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Gak apa-apa, Bu! Sinta baik-baik saja! Ayo, Bu!” Aku menggandeng lengannya sambil mengajaknya berjalan beriringan. 

Semilir angin membuat jilbab yang kukenakan melambai-lambai. Hatiku yang tersakiti oleh mereka menjadi tidak apa-apa karena ada wanita yang menjadi alasan untukku bisa bertahan. Karena ibulah aku berani memiliki tujuan hidup yakni sebuah masa depan cerah. Aku hanya ingin melihat wanita yang selama ini selalu mengalah dan direndahkan dipandang dunia.

Kami berjalan menyusuri jalanan aspal yang rusak. Jarak rumahku dengan rumah kakek bisa ditempuh dengan waktu dua puluh menit berjalan kaki. Meski jarak hanya kurang dari dua kilometer tapi terasa jauh terhalang oleh perbedaan status. 

Rumahku terletak di pinggiran jalan kampung. Bangunan yang terdiri dari bata merah yang hanya setengah dan belum di plester. Rumah kami berlantai tanah. 

Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di rumah. Kami sebetulnya memiliki satu kendaraan sepeda motor tua, tetapi sejak kemarin masih di bengkel karena rusak. Bapak belum menebusnya di bengkel karena tidak punya uang. 

Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura? 

Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa? 

 

BAB 8 – Diikuti oleh mantan

Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura? 

Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa? 

“Assalamu’alaikum!” Tiba-tiba kudengar seseorang yang mengucap salam.

“Wa’alaikumsalam!” Aku, bapak dan ibu menjawab serempak.

Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi, berdiri dari teras rumah kami yang masih gelap. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali sosok lelaki itu.

“Maa Ta, aku berkunjung ke sini! Soalnya aku menunggu balasan pesan darimu tapi gak ada juga!” ucapnya sambil berjalan keluar dari teras menghampiri kami bertiga.

“Eh, Nak Hafiz si kasep ini teh!” Bapak rupanya mengenali sosok yang kini tengah berdiri beberapa langkah jaraknya dari kami. 

“Iya Pak, maaf mengganggu waktu Bapak dan Ibu! Saya ada perlu dengan Sinta!” ucapannya terdengar ramah dan sopan.

“Kang Hafiz ada perlu apa? Urusan kita sudah  selesai, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!” ucapku sambil berlindung dipunggung ibu sambil menunduk. 

“Aku hanya ingin mendengar jawaban atas pertanyaanku yang tadi! Urusan kita belum selesai dan tidak akan pernah selesai!” ucapan yang penuh penekanan membuatku merinding. Aku lebih merinding lagi karena takut ada yang melihat kejadian ini dan melapor pada keluarga suamiku. 

 

“Nak Hafiz ayo ngobrolnya di dalam aja!” Bapak menepuk bahu lelaki itu kemudian mendahului berjalan memasuki teras rumah. 

Bapak merogoh sakunya dan membuka pintu. Dia kemudian menyalakan lampu rumah, sehingga sosok lelaki berwajah teduh itu jelas berada di depanku. Aku menarik lengan ibu untuk duduk menemaniku di luar.

Aku memilih duduk di seberangnya sambil tetap menunduk. Sesekali wajahku berpaling ke area luar rumah karena merasa ada yang memperhatikan. Namun tidak ada siapapun yang berada di sana. Tidak mungkin juga para bodyguard yang suamiku bicarakan tempo hari itu benar-benar nyata. 

Sebelum aku pulang dia sempat membicarakan akan mengirim pengawal untuk menemani perjalananku serta mengawalku selama berada di rumah. Namun jelas-jelas kutolak ide gilanya yang bisa membuat heboh seluruh desa. 

Dia hanya mengangguk dan tidak hendak mengekangku. Akhirnya dia membiarkanku hanya pulang di antar oleh Bang Rudi, supir kepercayaannya. Namun orang itu pun sudah kusuruh pulang karena mana mungkin aku membiarkan seorang lelaki menginap di dalam rumahku yang sempit ini.

“Akang mau bicara apa? Cepetan aku gak enak sama warga, Kang! Aku wanita bersuami tidak baik menerima tamu lelaki lain ketika suamiku tidak ada!” Akhirnya aku memulai pembicaraan. Aku ingin semuanya segera selesai. 

“Ta! Aku cuma mau kejelasan, kenapa kamu mengingkari janji yang sudah kita ucapkan?” tanynya.

“Aku gak pernah berjanji, Kang! Aku hanya bilang urusan jodoh itu di tangan Tuhan! Jika nanti pada waktunya Kang Hafiz berjodoh dengan Sinta, maka Sinta tidak akan menolaknya! Namun kan kenyataan sekarang berkata lain, Kang! Aku sudah bersuami! Jadi mohon Akang juga bisa ikhlas menerima semua ini,” tukasku panjang lebar.

“Aku mengerti keadaan tidak bisa diputar lagi! Namun kenapa kamu tidak memilih untuk menungguku dan malah menerima lelaki lain sebagai suamimu?” tanyanya lagi. Aku menarik napas panjang. Ingin segera aku meninggalkannya di sini berdua dengan ibu. 

“Allah mengirimnya lebih cepat daripada niat Akang untuk menghalalkanku! Dan juga keluarganya mau menerimaku yang miskin dan tidak berpendidikan ini dengan tangan terbuka, tidak seperti-“ Ah, aku lupa untuk tetap menyimpan semua rahasia ini. 

“Tidak seperti apa, Ta?” tanyanya penasaran. 

“Sudahlah, Kang! Semua sudah selesai! Lebih baik Akang pulang karena hari sudah malam!” ucapku lagi. 

“Aku tidak akan pulang sebelum kamu menceritakan semuanya dengan gamblang!” Sungguh keras kepalanya tidak berubah. Aku kembali menghela napas.

“Keluarga Akang tidak akan setuju memiliki menantu seperti aku, Kang! Aku orang miskin dan berpendidikan! Itulah salah satu alasan untukku memutuskan pergi jauh dari kampung ini, agar memiliki kehidupan baru,” ucapku tegas.

“Dari mana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?” Dia kembali mencecarku dengan pertanyaan. Ibu mengusap-usap punggungku. Dia mengerti jika aku sudah tidak nyaman dengan obrolan ini.

“Sudahlah, Kang! Aku mau istirahat. Besok mau pulang! Akang tidak perlu tahu aku tahu dari mana, tapi kini semua sudah berubah! Kita tidak mungkin lagi untuk bersama!” jawabku sambil berdiri.

“Maafin aku, Kang kalau membuat Akang kecewa! Assalamu’alaikum!” Aku mengakhiri percakapan dengan sepihak dan berjalan ke dalam. Aku takt ahu lagi apakah dia pulang atau mengobrol bersama kedua orang tuaku. 

Aku berpapasan dengan bapak yang membawa dua cangkir kopi ke depan. 

Aku segera masuk ke kamar. Merebahkan sejenak badanku yang terasa lelah tidak karuan. Kulirik jam sudah menunjukkan waktu pukul delapan lewat sedikit. Aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di dapur. Mengambil wudhu untuk menjalankan salat Isya sebelum tidur. 

Selepas salat aku memeriksa ponselku. Ada dua notifikasi pesan masuk.

[Assalamu’alaikum Sayang! Gimana acaranya lancar?] pesan yang dikirim suamiku pada pukul tujuh lewat seperempat. Mungkin Ketika aku tengah berada di jalan.

[Met istirahat, ya! Selamat malam! Besok Bang Rudi akan sampai di sana pagi-pagi! Hati-hati di jalan!] tulisnya pada pukul delapan kurang sepuluh menit. 

Ya Tuhaaan! Semua kesibukan hari ini sampai aku melupakan suamiku. Bahkan aku tidak sempat berkabar dengannya. Segera kuketik pesan balasan. Dari luar kudengar deru mobil yang menjauh, sepertinya lelaki itu sudah pulang.

[Wa’alaikumsalam! Maaf baru bales, Mas! Acaranya sudah selesai alhamdulilah lancar! Maaf telat balesnya tadi lagi di jalan! Selamat malam!] tulisku tapi tidak ada jawaban. Biasanya setelah Isya suamiku berkutat kembali dengan laptopnya. Atau mungkin dia kelelahan dan di singapura juga waktunya lebih cepat satu jam dari pada di sini. Aku segera membaringkan tubuhku sebelum sebuah notifikasi pesan kembali masuk.

“Nomor tidak di kenal lagi?” Aku menarik napas panjang. Namun tetap kugeser layarnya karena penasaran. 

[Bagaimana apakah sudah dipikirkan matang-matang untuk melanjutkan pernikahan kamu? INGAT ANCAMANKU BUKAN OMONG KOSONG!] tulisannya kali ini bercampur dengan hurup besar. 

Besok sebelum pulang aku akan mencari kembali nomor baru di konter. Aku akan mencoba tidak memberitahukan pada kedua orang itu, Rani dan Sindi tersangka utama yang membocorkan nomorku.

*** 

Pagi menjelang, sebuah mobil SUV keluaran terbaru sudah terparkir di depan rumah. Aku sudah berpakaian rapi, bersiap kembali ke rumah utama yang tiga hari ini kutinggalkan.

Aku sudah memasukan ke dalam amplop uang tambahan untuk bapak dan ibu sebesar sepuluh juta rupiah. Aku tidak memberikannya sejak kemarin karena pastinya Bapak dan Ibu banyak pertanyaan. Mereka sendiri tidak percaya jika suamiku orang kaya.

“Pak, Bu! Sinta pamit dulu, ya!” 

“Iya, Ta! Hati-hati di jalan!” ucap Ibu sambil memelukku lama. 

Sementara bapak hanya duduk sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya. Aku menoleh ke arahnya dan menghampirinya.

“Pak, Sinta berangkat dulu, ya!” Lelaki itu mengusap pucuk kepalaku yang tertutup kerudung kemudian mengangguk. 

“Hati-hati di jalan!” ucapnya. Aku berpaling kembali pada ibu dan menggenggamkan amplop berisi uang itu ke tangannya. Beruntung ibu sedang terbagi fokusnya, dia tidak menyadari ketebalan amplop yang kuberikan lebih tebal dari biasanya.

“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil berjalan menuju Bang Rudi yang sejak tadi berdiri di sana menungguku. 

“Wa’alaikumsalam!” jawab bapak dan ibu serempak. 

Aku memasuki mobil dan membuka kacanya. Tatapan teduh kedua orang yang sangat kucintai itu membuatku selalu tegar jika hidup akan selalu menemukan takdir terbaiknya. Aku melambaikan tangan kepada mereka. Tidak terasa mataku mengembun. Bersamaan dengan wanita yang berdiri, tersenyum sambil menyeka sudut matanya. Ibu selalu mengiringi kepergianku dengan tangis dan menyambut kedatanganku dengan senyuman. 

Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat. 

Ya Allah itu 'kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi. 

 

BAB 9 – Selamat datang, Non!

Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat. 

Ya Allah itu 'kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi. 

Aku masih berusaha untuk tenang karena jalan yang kami lewati belum memiliki percabangan. Berharap nanti di depan dia berbelok dan tidak mengikutiku lagi. 

Aku masih berusaha bersikap biasa sampai akhirnya dia mengikuti kami masuk toll. Aku masih melirik spion sesekali berharap tangkapan mataku salah. Namun ternyata memang dia masih mengikutiku. Aku tidak hendak memberitahu Bang Rudi masalah ini. Biarlah kucari caraku sendiri agar terhindar dari penguntit itu. Sebenernya apa, sih maunya? 

“Bang, di depan ada mall di perempatan, bisa kita mampir sebentar! Saya ada yang mau dibeli!” ucapku mulai mengatur strategi. 

“Baik, Non!” Hanya itu jawaban dari Bang Rudi. Supir yang irit sekali perkataannya. 

Sudut mataku masih memperhatikan mobil Kang Hafiz yang mengikutiku. Sebenarnya mau apa dia? Namun percuma juga berdebat dengan orang keras kepala sepertinya. Apapun yang akan di anggap benar adalah hal yang diyakininya. 

Aku sudah memutuskan untuk mengganti kartu baru. Kulihat mobil Bang Hafiz ikut menepi tapi diluar mall. Aku yakin dia takut terlihat jika ikut berhenti di dalam. 

 

Sambil berjalan aku memikirkan cara agar Bang Rudi segera pergi tapi jangan pulang ke rumah. Ah, ide cerelang datang. AKu mengirimi Rani pesan, semoga di sedang berbelanja di pasar. 

[Ran, kamu di mana?] 

[Lagi belanja, Non! Kenapa?]

[Gak usah panggil non kali kalau gak di depan ibu mertuaku sama Mas Ashraf, panggil nama aja!] 

[Gak apa-apa, Non! Aku harus terbiasa,] tulisnya. 

Baiklah tidak usah membahas yang lain dulu. 

[Kamu lagi di pasar gak?] 

[Iya, kenapa? Mau ada yang dibeli, Non?] 

Lagi-lagi dia memanggilku non. Aku sebetulnya tidak nyaman dengan panggilan itu. Namun sepertinya aku memang harus membiasakan diri. 

[Enggak, aku akan menyuruh Bang Rudi jemput kamu, tunggu ya di tempat biasa nanti!] tulisku.

[Eh, bukannya Bang Rudi sedang jemput, Non ya?] tanyanya. 

[Udah, saya udah pulang! Jangan menolak, ya!] tulisku. 

[Ok baik, Non!] 

Setelah dealing dengan Rani. Aku segera menghubungi Bang Rudi untuk meninggalkanku di mall ini. Kumengintip dari balik kaca Ketika mobil yang dipakai menjemputku meninggalkan halaman parkir. Tepat, kulihat mobil Kang Hafiz juga bergerak dan mengikutii mobil yang dikendarai Bang Rudi. 

Aku bergegas membeli nomor baru. Setelah menghubungi suamiku dan mengabarkanku ganti nomor. Aku segera melepas sim card lama. 

Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkanmu menganggu hidupku, lagi!” batinku sambil tersenyum. Aku berjalan sambil memesan mobil online untuk menuju ke rumah utama. 

Setelah dipastikan tidak ada yang mengawasi, aku segera masuk ke mobil yang sudah kupesan. Supirnya ternyata seorang wanita paruh baya.

“Eh, kho di aplikasinya Pak Herman, tapi yang nariknya beda?” Aku menatapnya lekat.

“Maaf, Mbak! Herman itu suami saya, dia sedang sakit sekarang! Jadinya saya menggantikannya narik! Kalau tidak berkenan cancel saja, jangan laporkan di aplikasi ya, Mbak!” ucapnya memohon. 

“Oh, baik Bu, tidak apa-apa!” Aku kemudian duduk di kursi depan di sampingnya. 

“Mbak, ke alamat rumah konglomerat Adireja, ya?” tanyanya. Aku hanya mengangguk. 

“Wah, enak ya, bisa kerja di sana!” ucapnya.

“Alhamdulilah, Bu! Rejeki saya!” jawabku. 

“Eh, katanya Tuan Muda keluarga Adireja sudah menikah, ya? Namun istrinya belum dimunculkan ke publik. Mbak pernah lihat? Cantik pastinya ya, Mbak?” Rupanya sosok istri dari keluarga Adireja merupakan momok yang ditunggu publik.

“Saya baru sih, Bu! Belum pernah lihat!” jawabku untuk menghindari pancingan pertanyaan berikutnya.

“Pastinya dia masih mau menyembunyikannya, ya! Saya jadi penasaran cantikan mana sama Nona Elisa!” ucapnya sambil terus menyetir.

“Mbak, tahu Nona Elisa?” tanyanya lagi padaku.

Aku menggeleng. Sambil menyandarkan tubuhku di kursi mobil ini.

“Nona Elisa itu kekasih pertama Tuan Muda Ashraf. Cuma memang akhir-akhir ini dikabarkan renggang karena adanya pihak ketiga!” ucapannya akhirnya membuatku menegakkan dudukku kembali. Aku menatapnya penasaran.

 

“Orang ketiga?” tanyaku.

“Iya, Mbak! Masa kerja di sana tapi gak tahu! Nona Elisa ketahuan selingkuh, karena katanya Tuan Muda Ashraf memutuskan untuk menikah untuk membalas rasa sakit hatinya!” jelas pengemudi mobil online itu. 

Mendengar itu membuatku menghempaskan kembali punggungku ke sandaran jok mobil. Tubuhku terasa ringan serasa mendengar sebuah berita yang sangat menggemparkan. Pastinya sangat menggemparkan untuk diriku sendiri.

Jadi benar pradugaku selama ini? Dia menikahiku hanya sebagai pelarian dan pelampiasan sakit hatinya atas sebuah pengkhianatan? Tapi kenapa juga orang sepintar dan sekaya Tuan Muda Ashraf harus berbuat hal bodoh seperti itu?

“Identitas istrinya sampai hari ini msih ditutup rapat dari media! Mungkin untuk menjamin keamanannya kali ya, Mbak! Termasuk dari bullyan para wanita yang selama ini mengincarnya!” ucap Bu Herman. Aku sebut saja dia Bu Herman, karena di aplikasi mobil online yang tertulis nama suaminya yaitu Pak Herman.

Aku kembali ingat akan terror-terror yang menggangguku. Mungkinkah itu dari salah satu dari sekian wanita yang selama ini mengejarnya. Ternyata menjadi istri orang terpandang memiliki keunikannya sendiri. Tidak sebebas seperti menjadi Sinta yang hanya seorang rakyat jelata. Pantas saja Mas Ashraf waktu itu hendak memberiku pengawal. Apakah setelah resepsi pernikahan nanti dan semuanya gamblang, hidupku akan semakin berat atau menjadi menyenangkan, ya? 

Beragam pikiran berkeccamuk memenuhi rongga kepala. Hingga aku tak sadar jika Bu Herman ternyata masih mengajakku bicara.

“Mbak! Mbak!” Si Bu Herman pengemudi mobil online itu menepuk pundakku.

“Eh, apa, Bu?” tanyaku menatapnya.

“Eh, ngelamun! Saya tanya Mbaknya udah nikah belum?” katanya sambil terkekh melihat wajahku yang terlihat kaget. 

“S-saya sudah menikah, Bu!” ucapku.

“Ooo ….” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Entah maksudnya apa. Namun pikiranku sudah merasa tidak nyaman mendengar selentingan nyang membenarkan pradugaku selama ini.

Acara resepsi pernikahan dan go public akan di adakan sekitar satu bulan lagi. Apakah itu waktu yang cukup untukku mencari tahu seperti apa sesungguhnya perasaan suamiku. Aku jadi benar-benar takut jika setelah semua terbuka dan dia bosan. Tiba-tiba dia mencamapakanku. 

Aku masih bisa menanggung sakit hati untuk diriku sendiri. Namun jika itu benar-benar terjadi aku tidak akan rela melihat kedua orang tuaku yang akan terluka. Ibu dan Bapak.

Mobil yang kutumpangi akhirnya tiba di sebuah komplek perumahan mewah. Setelah melewat gate pemeriksaan di gerbang security mobil akhirnya bisa masuk. 

Rumah keluarga Adireja merupakan rumah dua lantai yang berdiri di atas tanah seluas dua ribu meter. Rani, dan Sindi adalah dua orang kepercayaan yang di izinkan tinggal di rumah utama. Sementara untuk beberapa pekerja harian hanya pulang pergi. Ada satu pekerja harian yang membantu Rani untuk urusan masak memasak. Dan ada sekitar seembilan pekerja harian yang dibawahi Sindi untuk mengurusi kebersihan rumah. Namun aku jarang sekali bertemu dengan mereka. Hanya sesekali saja. 

Aku turun dari mobil online dan memberikan uang cash. 

“Mbak, ini kelebihan!” ucapnya. 

“Gak apa-apa, Bu! Anggap saja itu rejeki dari Allah untuk berobat suami Ibu,” jawabku sambil tersenyum. Belum aku memijit bell untuk tamu. Dua orang penjaga pintu gerbang dengan sigap membukakan gerbang untukku.

“Selamat datang, Non!” 

Ucapnya sambil membungkuk menghormatiku. Aku melirik sekilas ke arah Bu Herman yang masih memegang uang beberapa lembar yang kuberikan. Aku melambaikan tangan padanya. Kulihat wajah wanita itu merah padam melihat perlakuan para penjaga rumah ini kepadaku. Apakah dia curiga siapa aku sebenarnya, entahlah?

 

BAB 10 – Tangga yang licin

“Selamat datang, Non!” ucapnya sambil membungkuk menghormatiku. Aku melirik sekilas ke arah Bu Herman yang masih memegang uang beberapa lembar yang kuberikan. Aku melambaikan tangan padanya. Kulihat wajah wanita itu merah padam melihat perlakuan para penjaga rumah ini kepadaku. Apakah dia curiga siapa aku sebenarnya, entahlah?

Aku bergegas masuk ke dalam rumah setelah menyapa para penjaga. Kulihat rumah masih sepi, mungkin para ART sedang beristirahat di taman belakang. Biasanya setiap pukul sepuluh pagi mereka akan istirahat dan menikmati camilan-camilan atau sekedar minum teh atau kopi yang memang sudah disediakan.

Aku langsung menuju kamar utama. Kamar yang terpisah sendiri dan memiliki balkon yang cukup luas. Aku bergegas ganti pakaian menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh ibu Mertuaku. Semenjak aku menikah dengan putranya, ibu mertuaku melarang aku memakai pakaian yang berkualitas rendah. Buka napa-apa katanya. Istri itu cerminan suaminya. 

Aku membaringkan tubuhku di Kasur empuk ukuran king size bed. Menyalakan AC dan menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhku. Bahkan aku lupa jika aku belum makan siang. Namun deringan telepon rumah membuatku terhaga seketika. 

Dengan mata yang masih menempel berat aku meraih gagang telepon. 

Hallo!” kudengar suara Sindi dari seberang telepon. Rumah utama ini memasang telepon Telkom dan di setiap kamar ada satu unit pesawat telepon yang bisa terhubung hanya dengan kode extention.

“Apa Sin?” Aku mengenali suaranya tanpa harus membuka mata. 

Ta, eh Non. Ada Nona Elisa mau ketemu Nyonya. Sudah saya bilang gak ada tapi dia memaksa naik ke atas!” ucapnya seperti ketakutan. 

“Oh, ya, udah biar saya yang temui dia!” ucapku sambil menutup gagang telepon.

Aku duduk di tepi tempat tidur. Sebenarnya hatiku merasa gentar bertemu dengan selebritis papan atas seperti Elisa. Bagaimanapun terkait kecantikan dan kemodisan aku jauh di bawahnya. Begitupun tinggiku yang tidak sampai seratus enam puluh senti. 

Namun aku pun penasaran menatap wajah aslinya. Apakah memang secantik tampilannya di layar kaca. Dia bukan hanya model majalah tapi juga termasuk dalam jajaran aktris terkenal Indonesia.

Aku mengambil pashmina instant. Berjalan dengan ragu menuju pintu. Sebetulnya hati berharap jika wanita itu sudah pergi dari sini. 

Suara derit pintu menyaksikan kegundahan hatiku. Kepalaku menyembul dari kamar utama. Tatapan mataku langsung menuju kamar ibu mertuakau yang berseberangan terhalang oleh satu ruang keluarga.

Ah, wanita itu benar ada. Untuk pertama kalinya aku melihatnya secara langsung. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya mulus dan putih. Rambutnya tergerai sebahu dengan model terbaru. Aku mengatur napas dan meredam degup jantung yang seolah berlarian. Ucapan supir pengemudi online kembali terngiang-ngiang.

“Nona Elisa itu kekasih pertama Tuan Muda Ashraf. Cuma memang akhir-akhir ini dikabarkan renggang karena adanya pihak ketiga!”

 

Wanita itu menoleh ke arahku. Kenapa aku menjadi berdebar seperti ini. Aku tidak merebut apapun. Hanya karena mendengar jika dia kekasih pertamanya suamiku dulu kenapa aku menjadi merasainsecure. Aku memantapkan hati untuk menyapanya.

“Nona, sedang apa di sana? Jika mencari Ibu Mertuaku, dia tidak ada!” ucapku akhirnya bisa berbicara dengan lantang. Padahal jari jemari ini sudah keringatan.

Wanita itu berjalan dengan anggun menghampiriku. Dia menatapku dari atas ke bawah dengan mata memicing kemudian tertawa. 

“Ya ampuuun! Ashraf … jangan sampai seluruh dunia menertawakanmu dengan memilih wanita seperti ini sebagai penggantiku! Kamu suka main-main rupanya!” ucapannya seolah ditujukan pada dirinya sendiri tetapi aku tahu dia sedang merendahkanku.

“Mbak! Kamu yakin bisa bertahan dari ejekan media dengan berani menikahi seorang konglomerat muda yang kaya raya dengan tampilanmu yang kampungan seperti ini?” Dia menyilangkan tangannya di dada. Satu sudut bibirnya tersenyum merendahkanku.

“Heyyy! Nona … awalnya aku sangat kagum pada setiap tampilan dan pemberitaanmu di media. Namun ternyata sangat berbeda jauh dengan aslinya,” ucapku. Rasa gugup yang tadi mendera perlahan bergeser oleh rasa kesal dengan kalimat hinaan yang terlontar dari bibir indahnya. 

“Nyalimu cukup besar ternyata! Tapi nyali besar saja tidak cukup … asal kamu tau, Ashraf hanya menjadikanmu pelarian! Jika aku menariknya kembali ke dalam pelukanku! Dengan gampangnya gadis sepertimu akan segera di singkirkan!” ucapnya. 

“Tidak akan, suamiku sangat mencintaiku! Apalagi kami telah melewati malam-malam yang indah bersama! Dia menginginkanku bukan dirimu!” ucapku dengan tangan yang turut berlipat di dada dan mata menantang ke arahnya. 

“Cih! Lihat saja nanti! Berapa lama Ashraf akan mempertahankanmu sebagai istri! Bisa jadi dia hanya ingin mencicipi rasa yang berbeda karena sudah terbiasa bermain denganku! Asal kamu tahu, kepiawan Ashraf di ranjang itu aku yang mengajarinya! ” ucapannya membuatku mual. 

“Kalau tidak ada lagi keperluan silakan meninggalkan rumah suamiku!” Akhirnya aku sudah tidak tahan dengan sikap tamu yang ternyata sangat kurang ajar itu.

Dengan wajah menahan amarah dia melenggang pergi. Wanita yang sebetulnya kembali menggoyahkan keyakinanku akan pernikahan ini. 

Aku kembali masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhku di atas dipan. Kedua telapak tanganku menutup wajahku. Aku mencoba menghapus bayang-bayang wanita menyebalkan itu. Aku hendak mencoba tidak peduli seperti aku tidak mempedulikan saudara-saudara sepupuku. 

Namun ini berbeda. Hatiku seolah terbakar setiap kali terngiang ucapannya. Apakah dulu suamiku pernah tidur seranjang dengannya? Kenapa hatiku sakit dan pedih sekali Ya Tuhaan! Seandainya dia bukan Tuan Muda Ashraf mungkin sekarang aku sudah menelpon dan mencecarnya dengan rentetan pertanyaan.

Panas dan sesaknya hati semakin menjadi. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Berharap bertemu Rani atau Sindi untuk sekedar mengobrol. Namun ketikaku berada di pertengahan anak tangga. Aku melihat siluet wanita itu baru keluar dari pintu depan dengan Sindi yang terlihat begitu manut kepadanya. 

Apakah tadi itu Sindi bekerja sama dengannya agar aku bertatap muka langsung dengan Elisa. Apakah mereka berdua yang bekerja sama untuk menerorku selama ini?

 

Aku sudah hendak memutar tubuhku kembali ke atas Ketika suara seseorang memanggilku. 

“Permisi, Nona!” 

Aku menoleh melihat sosok lelaki gemulai yang dulu merias wajahku Ketika hari pernikahan. Dia juga yang dipercaya suamiku untuk membuatkan gaun untuk acara resepsi nanti. 

“Ya, Mike! Kenapa datang sekarang? Suamiku baru pulang beberapa hari lagi!” ucapku sambil menatap alis tipisnya yang melengkung seperti cerulit untuk perang.

“Justru itu Sis! Ayo kita ukur dulu buat gaunmu! Nanti suamimu datang semua sudah dalam pengerjaan! Kamu tahu sendiri kan selera Ashraf yang haru perfecto!” ucapnya sambil melambaikan tangan ke arahku. 

Aku menapaki anak tangga satu persatu. Namun tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu yang licin dan membuatku hilang keseimbangan. 

“Awww!” 

“Sisy!” 

Mike berlari ke arahku. Beruntung aku bisa meraih pegangan tangga. Tuhan masih melindungiku. 

“Sisy, kamu gak apa-apa?” tanyanya. 

“Aku hanya sedikit terkilir!” jawabku sambil meringis melihat kakiku yang sedikit membengkak. 

“Ayo kubantu ke kamar!” Mike hendak membopongku.

“Tidak, Mike! Nanti jadi fitnah! Panggilkan saja Rani dan Sindi untuk memapahku!” ucapku. 

“Oke, kamu jangan kemana-mana! Tapi kamu tetap harus jadi ukur untuk pembuatan gaun! Aku tidak mau uang bonusku dipotong suamimu yang kejam itu!” ujar Mike sambil berlari memanggilkan Rani dan Sindi.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 39&40 - SUDAH TAK PERAWAN
0
0
Selamat Membaca! Makasih buat akak-akak yang sudah dukung aku, semoga Allah lancarkan rejekinya. Aamiin.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan