
BAGIAN 4. AYO KABUR
Hallo teman2 Bang Ucuf🤭 selamat membaca semoga suka😍 yang belum punya dana lebih buat beli koin. Boleg baget nunggu di Wattpad, di sana bakal tetep aku UP sampe tamat😘
Oyah teman2.
Teman² kalau mau beli koin melalui karyakarsa web aja kalau mau dapat harga normal, karena di aplikasi sedikit lebih mahal sebab ada pajak dari play store atau app store.
Metode pembayaran seperti sebelum ada pembaharuan atau versi lama ( shopeepay, ovo, gopay, dana, dan lain²) masih bisa teman...

Baru saja aku membaringkan diri di kamar bujangku setelah mengobrol bersama keluarga inti tentang proses acara lusa ketika telepon dari nomor sahabat istriku masuk.
Suara riang lengkap dengan rengekan menyambut telinga. "Bang, aku pinjam HP Ramlah. Aku rindu Abang, bagaimana ini?" Manja suara di seberang sana. "Coba punya sayap, aku mau terbang datangin Abang. Ciumin Abang sampai Abang sesak napas."
"Baru 2 jam kita pisah, Dek." Aku batal memejamkan mata.
Hari ini tumpukan pikiranku berada dipuncaknya. Ternyata bukan hanya korban perasaan, aku juga rupanya harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk pesta besok.
Mey suku bugis, jujurannya tidak sedikit. Uang yang sengaja aku tabung untuk membangun rumah untuk kutempati bersama Aling dan anak kami habis sudah, bahkan kurang. Dan karena hal tersebut Indo serta Ambo terpaksa ikut mengeluarkan tabungan haji mereka untuk mencukupi permintaan pihak Mey.
Jika perasaan bersalah dalam hatiku dapat di lukiskan. Entah gambar macam apa yang bakalan tertuang dalam kanvas untuk mengilustrasikan ketidak berdayaan ini.
"Tapi sudah rindu! Abang kapan pulang?" Dadaku semakin sesak. Pertanyaan istriku meninju jantung. Menghantarkan ngilu merembes hingga sumsum tulang belakang. Aku menarik napas panjang berharap ada sedikit kekuatan kudapatkan.
Belum pernah sebelumnya pria ini dibutuhkan seorang wanita seperti Aling membutuhkanku. Lalu aku si pecundang tak tahu diri, bukannya berterima kasih atas penghormatan maha tinggi yang kudapatkan dari istriku, malahan tega hati mengkhianati dia diam-diam.
Ternyata dosa masa laluku sungguh mengerikan, banyak sekali orang yang terseret dampak sialnya. Aling yang cinta mati padaku kuduakan. Indo dan Ambo kukeruk tabungannya untuk menomboki kekurangan biaya pesta. Belum lagi bapak mertua kutumbalkan sebagai jaminan pada Pak Kades agar menutup mulut-mulut orang yang gemar menggunjing pada saat pesta berlangsung nanti.
"Satu hari bahkan belum habis, Dek." Kerongkonganku sakit saat mengatakannya. Baru beberapa ratus menit dan istri cerewetku sudah menelepon karena kangen. Bukankah aku terlampau beruntung menikahi dia?
Dia yang perhatian, manja, selalu membutuhkanku, dan tak bisa jauh dariku.
Dia yang cerewet dan mencintai aku tanpa berkurang sedikitpun meski ratusan hari telah kami habiskan bersama.
Pedih sekali rasanya jiwa ini jikalau mengenang sang Rambut Gelombang nan jauh di desa sebelah.
Aku ingin menangis tapi takut ketahuan Aling.
Ingin menghajar sesuatu tapi aku sudah diwanti-wanti agar jangan melukai diri sendiri.
Jadi untuk segala gundah gulana, cemas dan ketidakberdayaan, aku hanya bisa menaruh lengan kiri menutupi kedua mata, menghalau rasa sedih yang memaksa ingin eksis dengan menumpahkan bulir bening sederas air terjun.
Sejujurnya aku merasa kebingungan dengan sikapku sendiri. Satu sisi aku ingin bertanggung jawab terhadap Mey. Desir aneh saat berada di dekatnya bebebapa hari lalu kutafsirkan sebagai sisa cinta lama yang masih tertinggal.
Kemudian, jika ada secuil bagian ingin bersama Mey. Maka ada juga bagian di mana aku sangat ingin mempertahankan Aling sebagai satu-satunya ratu yang bertahta di hidupku.
Porsi ini tentu lebih besar. Selain karena istriku sebentar lagi memberikanku penerus, aku juga merasa cinta sedikit demi sedikit mulai tumbuh untuknya.
"Tapi rasanya kayak sudah 1 bulan. Rindu sekali aku, Banggg." Istriku sengaja memanja-manjakan nadanya. "Tadi aku lupa, minta Abang gigit bibirku. Kan aku jadi tidak punya luka gigitan sayang dari Abang sebagai kenang-kenangan."
"Lingg...." Aku menggeram. "Jangan sampai Abang berlari pulang, tak tahan rengekanmu."
Aling cekikikan mendengar eranganku. Terlebih bahagia bisa menggodaku dari jauh.
"Nanti kalau makan ingat Aling yah, Banggg. Mau tidur juga banyangin Aling. Abis shalat juga doakan Aling dan bayi. Pokoknya kemana saja, ngapain saja, selalu ingat Aling. Biar impas, kan tidak adil kalau cuma Aling yang terbayang-bayang Abang terus. Aling merasa kepergiann Abang menurunkan berat badan Aling. Kalau kirim foto lewat pesan tidak mahal dan tidak buat Ramlah mencak-mencak, Aling pasti kirimin Abang. Biar suami tampanku lihat betapa kurusnya istrinya sekarang gara-gara terlampau menahan rindu."
Tak sadar tawaku lolos. Begitulah Alingku, terlalu menggemaskan. Seberat apapun beban hidup ini, jika bertukar kata dengannya selalu ada tawa yang hadir. Seperti hari ini, katanya dia rindu hingga badannya mengurus. Ayolah, kami baru berpisah kurang dari 180 menit, manalah mungkin seseorang bisa kerempeng dalam waktu sesingkat itu.
"Ya Istriku jangan kurus dong. Kasian si Gundul dalam perutmu."
"Bagaimana ceritanya tidak ceking? Sementara tidak ada Abang, selera makan pun ikutan pergi. Padahal tadi lauknya enak, tumis pakis dan ikan bakar jelawat. Mamak sudah bantuin lepasin durinya, tapi tangan Mamak tidak semanis tangan Abang. Tidak senikmat suapan Abang. Bagaimana ini, Bang. Bagaimana Abang mengatasi rinduku yang mulai tumpah-tumpah?"
Ya ampun istriku, pandai nian melambungkan hati suaminya. Tidak hanya dia, aku pun rasanya ingin terbang menghampirinya dan menyeret ke kamar sempit nan lembab kami.
"Iya, sabar ya, nanti kalau sudah pulang, aku yang lepasin duri ikannya. Sebanyak apapun," jawabku sambil menahan gejolak hasrat yang tiba-tiba hadir.
"Sabar tidak mengurangi rindu dan menambah selera makan. Apalagi rindu dan laper yang lain, Bang...."
Aku berdehem semakin salah tingkah. Badanku seketika menjadi gerah. Istriku memang gadis desa. Aku mendapatkannya pun dalam keadaan mahkota terjaga. Aku yang pertama, aku yang membuatnya menjadi wanita. Namun anehnya, urusan berbicara kotor dan memancing 'kakak pertama anak' kami menggeliat, Alingku jagonya.
Sekarang posisi tidurku berubah. Tidak lagi terlentang seperti tadi. Ada yang harus kutenangkan di bawah sana karena sempat terpancing pawangnya.
"Banggg, jangan mata keranjang ya jauh dari aku. Ingat dosa! Tanamkan di benak Abang, aku satu-satunya wanita tercantik yang tersisa di dunia ini yang cintai Abang sebesar semesta, dan sedalam inti bumi... Ih, apa sih, Ram? Biasa aja kali, tidak perlu pasang muka mual begitu! Suami istri harus saling memuji tahu, biar makin lengket, makin cinta, makin sayang, jadi tak ada orang ketiga." Fokus Aling terpecah, antara berbicara denganku dan menanggapi Ramlah di sampingnya yang mungkin sedang mencibir tingkah lakunya.
"Banggg, didekatku ada manusia sirik. Ngeri banget, Bang ternyata rasa iri itu, bikin muka jadi asem." Istriku menggoda Ramlah yang bisa jadi tidak jauh darinya. "Bang, nanti kalau pulang bawain aku cinta yang banyak yah. Yang tumpah ruah seperti banjir bandang."
"Hm...." Tak bisa lagi aku berkata. Makin Aling mengumbar cinta, makin ngilu seluruh sendiku oleh rasa dosa khianat.
"Kok lemas begitu? Abang cape? Mau sudahan?"
"Linggg... haruskah kita pergi saja? Yang jauh dan sulit ditemukan?" Kepalaku miring kanan. Sementara badan tetap tengkurap. Ponsel menempel di kuping tanpa kupegang.
"Mau, Bang. Aku mau. Jalan-jalan ke tempat yang Abang pernah pergi sewaktu kunjungan industri semasa kuliah, sepertinya bagus. Kapan? Selepas Abang training? Mau habisin sisa cuti yah? Mau... mau... mau...."
Alih-alih bertanya mengapa aku ingin mengajaknya pergi jauh, dia malah tanpa berpikir meng-iya-kan ajakanku.
Istriku memang sespontan itu. Aku memijat kepala, denyut di bagian pelipis semakin menjadi-jadi.
"Ling, kalau Abang jujur padamu, akankah kamu menerima penjelasan Abang?" Kupikir kesempatanku untuk jujur hanya detik ini. Karena mungkin beberapa menit kemudian aku sudah ketakutan dengan ancaman Pak Kades pada mertuaku.
"Apa yang tidak buat Abang. Jujur apa, Bang?" Aling membuyarkan lamunanku.
"Ayo kita kabur...."
"Kabur? Banggg, betul-betul, Bang, kalau bicara. Mau kabur kemana? Hmm Abang mau gombal kan? Mau bilang 'Kabur kehatimu' aiih, tertebak, Bang."
"Abang serius, Dek. Ayo kita tinggalkan Desa Redan."
"Abang berantem sama teman kerja atau bagaimana? Kok tiba-tiba ajak Aling pergi? Abang buat masalah?"
"Tidak."
"Lalu, kenapa melantur kaya tadi?"
"Jawab saja, Adek mau tidak kalau aku ajak pergi yang jauh?"
"Kemana dulu? Kalau jalan-jalan, yah ayo, Bang. Aling mau."
"Bukan jalan-jalan, tapi menetap di daerah lain."
"Lama?"
"Iya."
"Orang tua kita?"
"Di sini."
"Kapan?"
"Kalau Adek mau, malam nanti Abang jemput."
"Aling mau saja sih, Bang. Tapi kan tidak bisa tiba-tiba begini. Aling tanya Bapak dulu, yah? Meskipun kata Bapak, surganya Aling sudah pindah di Abang, dan apapun keputusan Abang harus Aling ikuti dan kerjakan, tetap saja Aling harus minta pendapat orang tua Aling, Bang, kalau urusan pergi-pergi ninggalin Kampung Redan."
Aku bangkit. Membawa tubuhku duduk di pinggir ranjang. Sepertinya suaminya Aling ini perlu mengisap sebatang dua batang rokok.
Mendengar istriku menyebut bapaknya barusan, serta-merta membawa semakin banyak denyut di kepala. Ingatan tentang surat perjanjian bertanda tangan mertuaku itu seketika menaikkan asam lambungku.
"Lupakan, Dek, omongan Abang tadi."
"Loh, kenapa?"
"Tidak apa-apa. Hanya lupakan saja."
"Ya sudah kalau begitu, Abang istirahat saja. Kedengarannya Abang lagi cape, dari tadi ngomongnya tidak bertenaga. Nanti kalau ada waktu keluar, tolong belikan Ramlah pulsa yah. Aling tidak enak sudah minjem, telponannya lama sekali lagi."
"Iya, Istriku. Baik-baik di sana ya. Apapun yang nanti kamu dengar tentang Abang. Tolong percaya sama Abang dan tunggu penjelasan Abang. Sebagaimana yang selalu Abang katakan, hati Abang hanya satu, maka hanya satu pula yang akan bertahta di sana. Sampai rambut memutih dan malaikat maut mengambil satu di antara kita."
"Ahay, gombalnya... sudahi, Bang. Kususul beneran, bukan training, malah bulan madu kita, Bang!" Aling tertawa geli di seberang telepon. "Dadah, Abang! Sampai ketemu secepatnya. Muacchh... muaccch... muacchh.... sayang Abang, cinta Abang. Assalamualaikum." Lalu telepon pun terputus.
Hah, Alingku, bagaimana bisa dia tertawa sebahagia itu?
Akankah tetap begitu, jika dia tahu bahwa suaminya di sini sedang dalam masa pingit?
Aku menarik guling di bawah kaki. Membawanya dalam pelukanku dan mendekap erat.
Berharap kantuk mau sebentar saja mampir dan memejamkan mataku. Jika tidak, aku bisa gila didera rasa bersalah dan gamang.
Wahai pemilik semesta, tidurkan hamba-Mu dan bagunkan aku di masa sebelum mengenal Mey.
Aku ... ingin mengubah takdirku....
****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
