

Bagaimana rasanya jatuh cinta untuk kedua kali pada orang yang sama?
Apakah akan sepanas yang pertama atau 'kah akan berakhir seperti cinta Mughits pada Barirah yang bertepuk sebelah tangan?
Dicampakkan, ditinggalkan, dilupakan dan dibenci.
Yusuf merasakan semua rasa itu.
Jika ada cinta Mughits yang menyedihkan di zaman Rasulullah. Maka ada cinta Yusuf yang memprihatinkan di masa kini.
"Biar pun kamu menolak, kalau di Lauhul Mahfudz namaku dan namamu masih bersanding. Memangnya kamu bisa apa?
.
.
12 tahun...

Kata orang-orang terdekatku tak ada istilah 'curang' dalam perang dan cinta. Kupikir mereka keliru. Walau rasaku terhadap Kalling Saharuddin bukan lagi 'cinta memabukkan' melainkan obsesi mengerikan, tetap saja menjebak wanita itu agar terikat selamanya di sampingku menggunakan cara curang dan paling primitif adalah kejahatan menjijikkan.
Pernah ditinggalkan bertahun lamanya membuat aku haus untuk balas dendam. Terlebih aku membenci matanya yang memandangku muak.
Kemudian ide menghukumnya datang begitu saja. Aku membuatnya mengandung anakku. Gagasan jahat itu tidak murni datang dariku, kakak-kakak Aling sendiri lah perancangnya, tugasku hanya menjalankan misi.
Kurasa itu ganjaran yang cukup pantas untuk wanita keras kepala lagi pendendam macam Aling.
Lagi pula, setelah sekian tahun berlalu, rupanya hanya aku yang tak bergerak, menanti dirinya dengan penuh kesabaran meredakan amarah.
Lantas imbalan untuk penantian panjangku, untuk semua kerinduan pekatku, untuk banyak air mataku yang jatuh diam-diam di seperempat malam, dia justru kembali dengan memamerkan cinta barunya.
Bagaimana denganku?
Padahal aku adalah semua kebalikan dirinya. Aku menetap, aku menyesal, aku menunggu, aku membuang banyak cinta, aku setia dan aku ... ingin mematahkan lehernya karena berani menyombongkan diri membawa pulang hati yang lain.
Dengki memenuhi dadaku, bisikan busuk dalam kepala meminta agar aku mengikat wanita itu dengan ikatan sakral.
Bayangan betapa menyenangkannya menyaksikan Aling yang membenciku harus bertahan dalam pernikahan panjang yang tak dia inginkan teramat memuaskan egoku.
Terdengar kejam tetapi jika harus memasang tali kekang di lehernya agar dia terus bertahan di sampingku, aku akan melakukannya. Karena apa yang seharusnya menjadi milikku wajib menjadi milikku selamanya.
Apa lagi Aling semestinya sudah cukup dengan kebahagiaannya bersama sang kekasih hati. Memberiku kesempatan merasakan hal sama kukira bukan permintaan sulit. Dia tak perlu membalas rasaku, juga tak perlu melakukan apapun untuk menyenangkanku, dia cukup menjadi istriku dan ibu dari anakku.
Mudah bukan?
"Yusuf ... jangan ...." Orang normal akan berhenti saat mendengar permintaan memohon itu. Tetapi ini aku, Yusuf, pria yang dia tinggalkan 12 tahun lamanya, mengurus anak kami yang sedikit 'istimewa' seorang diri dan itu tidaklah mudah.
Sementara dia yang bergelar Ibu dan katanya pergi membawa sakit hati akibat khianatku dahulu malah asik menumbuhkan cinta baru di perantauan.
Demi apapun itu tidak adil.
Tanganku sampai mengigil ingin mencekiknya
"Yusufff ... sa-kit!" Aku mengusap kening wanita ini dengan lembut. Dua garis tipis muncul di dahinya menandakan dia menahan perih. Hatiku membuncah, aku menarik napas panjang agar dadaku tak meledak terlampau senang.
Ya, memang begini seharusnya. Hati ibu anakku ini boleh saja mendua, tetapi tubuhnya tak boleh. Dan malam ini, detik ini, aku tahu dia tidak memberikan tubuhnya untuk pria lain. Dia masih menjadi milikku dan kupastikan hanya akan jadi milikku selamanya.
"Sayang ... terimakasih." Aku mengecup bahu istriku yang tidur memunggungiku. Deru napasnya terdengar pulas. Aku menyusupkan tanganku memeluk pinggangnya. Sekali lagi kukecup bahu polos itu, tergelitik memberikan tanda merah di sana. Dia tak akan tahu karena letaknya yang sulit terjangkau mata. Kububuhkan banyak saksi kepemilikanku malam ini.
Semoga… Aling tidak membunuhku setelah mengetahui perbuatan hina ini. Aku harus berterima kasih pada Syahrin dan saudara-saudara lelaki Aling lainnya. Berkat ide mereka kerinduan dan dahaga panjang ini akhirnya terbayar lunas.
****

12 tahun silam, awal musim panen ….
"Kamu bilang dirimu pria? Mana tanggung jawabmu?!" Pria paruh baya yang aku kenal sebagai ayah dari bekas pujaan hatiku dan juga kepala desa di kampung kami menampar permukaan meja dengan keras. Permukaan kaca bergetar, empat gelas suguhan cair berwarna hitam pekat di atasnya menciprati taplak merah berbentuk bulat yang tidak menutupi semua muka meja. "Kamu merusak putri kami! Apa kamu memikirkan perasaan kami sebagai orang tuanya, Yusuf? ... Tidak! Aku yakin, tidak! Pasti tidak! Karena sekarang aku ada di sini!" Ayah Mey mantan jantung hatiku membuka lembar pertama daftar aib-aibku yang sengaja aku sembunyikan tiga tahun ini.
Aku menodai anak gadisnya, itu benar. Kemudian setelah puas kuteguk sarinya, kami memutuskan untuk berpisah, itu juga benar.
Jiwa muda, jiwa penasaran, jiwa ingin coba-coba, kemudian di sinilah aku sekarang di tampar kenyataan. Ayahnya menuntut tanggung jawab yang semestinya mereka buru tiga tahun lalu.
Sebenarnya aku dulu tidak pernah menganggap Mey spesial, itu terjadi begitu saja. Ayahnya menitipkannya padaku karena aku lebih dulu mengenal seluk-beluk pergaulan kota.
Dan sebagai pria bertanggung jawab aku menjaga Mey selama menuntut ilmu di Kota Tepian. Aku bahkan tidak tahu bahwa kami memiliki hubungan keluarga andai saja ayah Mey yang juga seorang kepala desa tidak sesumbar di depanku.
"Kakeknya Ambomu dan Kakeknya Amboku itu saudara, jadi kita ini sebenarnya bukan orang lain Yusuf. Jaga Mey, ya, seperti jaga adikmu sendiri." Kira-kira begitu katanya dulu.
Di tempat baru dan asing, Mey tentu saja mengandalkanku. Dia sering meminta tolong padaku dalam hal apapun; membeli makan, mengerjakan tugas, dan menemani wanita manja itu ke tempat-tempat baru yang ingin dia kunjungi.
Kemudian setelah kedekatan yang sangat-sangat dekat itu sampai pada gerbang dosa besar, pantaskah sang Kepala Desa melimpahkan seluruh kesalahan hanya padaku?
Padahal pintu zina itu dibuka oleh beliau. Beliau yang memintaku menginap di rumah kontrakan Mey ketika wanita itu sedang sakit. Jadi beliau 'lah alasan kenapa aku bisa memangsa anaknya.
Aku dan Mey hanya anak muda dengan bekal iman belum kuat. Selalu bersama setiap saat, setiap waktu, Setan tentu saja ada di antara kami. Berdua dalam rumah sewa yang tak besar, hujan di luar yang lebat, dan aku keluar masuk kamar wanita itu untuk mengecek suhu tubuhnya, bersentuhan kulit, saling menatap. Bukankah orientasi seksualku perlu dipertanyakan bila tak terperdaya tiup rayu iblis?
Aku tidak akan menyangkal, bahwa kami melakukannya lebih dari sekali di malam hujan berangin itu. Meski ketakutan pada awalnya, akan tetapi lama kelamaan kami menjadi berani, lalu ketagihan dan terus berlanjut melumuri diri dengan maksiat hingga aku mendapatkan gelarku sebagai diploma tiga Jurusan Alat Berat.
Tetapi kalau ayah Mey berkata aku memaksa anaknya, jadi aku perlu bertanggung jawab. Sejujurnya aku sedikit tidak bisa menerima tuduhan itu. Baiklah aku memang salah, bahkan sangat salah. Aku berdosa dan aku pantas dihukum, dikuliti serta dirajam. Namun sang kepala desa harus tahu, aku tidak pernah memaksa Mey. Justru kalau orang nomor satu di desaku itu mau tahu lebih banyak lagi, anak tercintanya 'lah yang terlebih dahulu mengecup bibirku.
Dan, kalaupun aku harus disalahkan itu karena aku tidak menghentikan Mey saat itu dan malah meminta izin untuk memetik manisnya dosa maksiat.
"Kemana larinya keimanan yang selalu kamu pamerkan dengan shalat rutinmu? Kukira aman menitipkan Mey padamu. Sekalinya kamu mangsa juga dia! Padahal kamu janji padaku menjaganya seperti adik kandung sendiri. Kamu kira laki-laki yang mengunyah anak perempuanku pantas hidup? Tidak Yusuf, tidak. Kamu harusnya mati, andai saja si perempuan tolol dalam rumahku itu tak mengancam bunuh diri jika aku menyakitmu."
Amarah sang Kades menyembur hingga kupikir aku akan terbakar hangus sebentar lagi.
"Maafkan Yusuf, Om...." Aku menunduk mengemis pengampunan karena hanya itu yang bisa aku lakukan di bawah tatapan menebas ayah Mey. Kepalaku berdenyut sakit, karena semalam aku dan Aling habis 'lembur', dan tadi pagi, subuh sekali aku sudah berangkat bekerja. Baru saja meletakkan kunci-kunci, aku sudah ditelepon disuruh ke rumah Indo. Aku sangat lelah, tetapi jangankan mengistirahatkan tubuh seraya memeluk guling dan bermanja-manja di samping perut istri cantikku, ayah Mey justru mengajakku adu jotos sebentar lagi.
Pak Kades mendekat, dia mendorong kepalaku dengan telunjuknya. "Kamu kira memaafkanmu, anakku bisa menjadi utuh?!" Pertemuan kaki meja dan papan yang ditendang dengan kesal menimbulkan bunyi derit panjang. Aku mengangkat kepala untuk melihat Pak Kades, mukanya memerah, sarat akan amarah. Kalau aku berani membuka mulut, aku yakin bapak Mey ini bakal memeras tubuhku hidup-hidup hingga kering.
Tetapi aku juga marah. Berani benar dia mentoyor kepalaku. Sungguh tidak sopan dan kurang ajar.
"Pak, tenang dulu. Kita tidak akan menemukan jalan keluar kalau, Pak Kades pakai emosi." Mertuaku akhirnya bersuara setelah lama terdiam. Beliau mengenggam tanganku saat merasa aku akan membalas perbuatan ayah Mey.
Memang sungguh keterlaluan ayah Mey ini, tidak cukup membeberkan aibku pada Indo dan Amboku, beliau juga melibatkan mertuaku.
Atmosfer dalam ruangan ini meningkat, Pak Kades menatap geram mertuaku. "Eh, Sahar! Diam mulutmu! Tak usahlah ikut campur! Bukan urusanmu! Memangnya anakmu yang di rusak bajingan ini? Kalau tak kujaga martabatku sebagai kepala desa, sudah kupatahkan leher anak menantumu!" sang Kades berdiri menjulang sambil berkacak pinggang, menantang semua orang dalam ruangan ini.
"Memang betul bukan Kalling yang kena musibah ini. Tapi, anak saya juga terkena dampak dari zina yang dilakukan oleh Mey dan Yusuf. Anak saya hamil tua, Bapak bisa bayangkan, bagaimana terkejutnya dia ketika mengetahui hal ini. Jadi tolonglah, Pak, mari kita cari jalan keluarnya, yang baik-baik, yang tidak merugikan kita semua. Kita sudah tua, tidak perlulah ribut-ribut begini." Nyeri dadaku mendengar kalimat panjang sang Mertua. Aku tidak berani menatap beliau, aku takut hatiku remuk gara-gara rasa bersalah.
Aku ingin bersikap sebagai laki-laki bertanggung jawab, berani berbuat, berani memanen azabnya. Namun saat melihat mata berkaca-kaca Indo, keberanianku pecah berhamburan, berganti malu dan perasaan bersalah teramat sangat. Aku tidak sanggup melihat mata rentah itu mengeluarkan air mata. Jadi di bandingkan bersikap sok jagoan yang siap di hajar habis-habisan, aku memilih menatap pinggiran gelas berisi kopi yang sempat Indo hidangkan untuk tamunya. Air pahit itu tidak lagi mengeluarkan uap panas, hanya hitam terpampang di sana, mungkin sepekat itu dosaku.
Ambo berdehem. Beliau tampak tegar, berusaha menyembunyikan rasa malu yang bergelayut di mata rabunnya. "Pak Kades ... selaku orang tua Yusuf, kami meminta kemurahan hati Bapak memaafkan kami, memaafkan anak kami. Yang terjadi sudah terjadi. Meski Bapak membunuh Yusuf tidak ada yang berubah pada anak Bapak. Jadi, Pak, mari kita temukan jalan yang paling baik buat anak Bapak dan Aling." Mendengar nama istriku disebut entah kenapa semacam ada beban berat menimpa dadaku.
Istriku ....
Sedang apa dia sekarang? Berbaring di dipan kah dengan perut besarnya? Atau kah sedang membantu mamak mertuaku memasak?
Harusnya tadi aku segera pulang saja, tak usah hirau dengan ajakan bertemu dari kepala desa. Aku ingin melihat wajah istriku, aku ingin meminta dukungannya, aku ingin dia mempercayaiku bahwa itu sudah menjadi masalalu.
"Nikahkan mereka!" Jalan keluar dari pak Kades seperti tebasan sabit Grim Reaper memetik jiwaku yang belum lagi ranum.
Spontanitas aku berdiri. Memandang Pak Kades dengan tajam. Aku memandang satu demi satu orang yang ada di sana, termasuk Indokku. Wanita paru baya itu tertunduk dengan pundak meluruh, sesekali isakannya tertangkap indra dengarku. Aku ingin berlari mencium kakinya dan meminta maaf. Tetapi tidak sekarang. Aku ingin menyelesaikan terlebih dahulu urusanku bersama ayah Mey. "Tidak bisa! Yusuf punya Istri!" Begitu kataku menolak usulannya.
"Selamat datang di penjara!" Tarikan bibir ayah Mey demi Tuhan penuh dengan cibiran. Sungguh kejam orang ini, menggunakan kekuasaannya menekanku.
"Waktu itu kami sepasang kekasih, Yusuf tidak memaksa Mey! Om bisa menanyakan pada, Mey! Yusuf tidak mau menikahi dia. Yusuf punya Aling!" Bagaimana bisa dia memenjarakanku kalau aku dan anaknya mengayuh sekoci dosa kami bersama-sama tanpa satu pihak pun yang dipaksa.
"Lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas noda yang kamu perbuat?"
Aku menatap si Kades tak percaya kemudian menggeleng. Ingin rasanya tertawa kencang hingga satu kampung mendengar. Dia sungguh lucu, hubungan antara aku dan anaknya telah berakhir 36 bulan lalu. Itupun Mey yang membuangku, bukan aku yang meninggalkan si mata sendu. Bukankah sangat terlambat mendatangiku sekarang? Kenapa tak dari dulu, sebelum aku bersama Kalling Saharuddin membentangkan lebar layar rumah tangga kami?
"Om ... Yusuf punya istri." Sekali lagi kutegaskan statusku. Bahkan jika dia membawa tukang pukulnya mencincang tubuhku, aku tetap saja keberatan dengan ide gilanya itu.
"Kita pria, Suf! Memiliki dua, tiga istri tak jadi masalah. Tak perlu khawatir tentang uang, nafkah atau apalah itu. Anakku memiliki aku yang tak kekurangan uang." Ayah Mey melirik mertuaku. Beliau bermaksud membandingkan dirinya dengan mertuaku yang kurang mampu itu. Sombongnya!
"Orang lain mungkin bisa. Tapi itu bukan Yusuf! Tidak mau," tegasku.
Ayah Mey menyandar pada punggung kursi jati, melipat tangan anggun, kakinya bertumpu pada salah satu kaki yang lain, beliau berlagak bos besar menghadapi anak buah yang bermasalah. "Kamu bisa," paksanya. "Kata anggotaku yang pernah merasakan dinginnya lantai penjara, di sana tidak enak, banyak nyamuk dan berdesakan." Kembali orang tua berpakaian rapi itu mengancam.
"Pak Kades!" Ambo-ku tak terima.
"Anakmu tidak mau bertanggung jawab, Haji Acong!" Pak Kades menoleh pada Ambo. Bapakku itu, memandang balik dengan tatapan bingung. "Nah, lihat! Kamu saja tidak dapat berkata-kata, kan. Pilihan yang anakmu punya cuma dua. Menikahi Mey atau kedinginan di penjara. Atau mungkin Haji Acong yang baik hati ini mau gantikan anaknya? Mati di penjara." Beliau sang Kades terhormat tertawa mendengar kalimatnya sendiri.
Dasar orang tua besar kepala, sombong, angkuh. Aku sontak berdiri di hadapannya. "Om tidak bisa memenjarakan Yusuf! Tidak ada yang memaksa, Mey! Dia yang menyentuhku lebih dulu! Anak Anda yang menggerayangiku! Salahkan Mey! Ini salah Mey!" Habis sabarku, lenyap maluku, terbang sungkanku. Aku membentak orang yang masih bersedekap tangan itu.
Kemudian yang aku dapati dari kalimatku barusan adalah, sang Kades terbang melewati meja pemisah aku dan dirinya. Lalu memberiku banyak pukulan dan sumpah serapah. "Bajingan! Ta* la*o!—Makian kasar yang sering diucapkan Suku Bugis ketika dikuasai emosi— Kamu rusak anakku lalu mau lepas tangan! Mati kamu di tanganku! Aku datang baik-baik, tidak bawa orang untuk bakar kamu hidup-hidup. Tapi begini sambutanmu?" Ayah Mey memukul membabi buta. Kepalaku kena hantaman tinjunya. Hidungku juga. Perutku beberapa kali terkena injakannya. Aku tidak melawan, bukan karena kalah kekuatan, aku hanya merasa pantas mendapatkannya atas apa yang aku perbuat pada anaknya. Hitung-hitung aku membayar utang, barangkali kapan-kapan beliau mau memaafkanku.
Indo histeris. Amboku berusaham melerai kami tapi kalah kekuatan oleh sang Kades, bahkan Amboku terhempas ke kursi terkena sikutan ayah Mey yang lagi kesurupan jin ngamuk.
"Sudah, Pak Kades! Sudah!! Yusuf bisa mati! Aku ... aku yang akan menikahkan mereka. Lepaskan dia." Aku mencari datangnya suara itu melalui cela mataku yang bengkak. Tidak jauh dariku, kudapati bapak mertuaku berlutut memegang dadanya sambil menatapku khawatir. Beliau seperti menahan kesakitan.
Ayah Mey menghentikan injakan kakinya di perutku saat mendengar kalimat yang memang ingin ia dengar dari tadi. "Aku hampir menginjak kepala menantumu, Sahar. Kamu yakin dengan perkatanmu barusan, Sahar?" tanyanya menatap mertuaku dengan tak yakin.
"Ya."
"Bagus, Sahar. Ini memang terbaik untuk kita. Kamu tahu kan, aku melakukan ini untuk melindungi anakku. Kalau begitu bagaimana kalau kita membuat sedikit kesepakatan di atas kertas?" Pak Kades berjalan ke kursinya, membuka tas dan mengeluarkan map merah, beliau menarik selembar kertas dari dalam map folio dan menyodorkannya. "Tanda tangan di sini." Beliau memberikan kertas pertama kali pada Amboku, kemudian pada Indo dan terakhir pada bapak mertuaku.
Tangan tua bapak dari istriku bergetar hebat menerima kertas putih dengan beberapa baris tulisan hitam di atasnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya beliau yang harus merelakan suami anaknya menikahi perempuan lain.
Calon mertua baruku belum puas. "Aku kasihan dengan putriku. Dia baru pertama kali menikah, tetapi justru menikahi suami orang. Aku tidak bisa membayangkan sekecang apa cemohan orang-orang tertuju padanya. Anakku akan dikira wanita perebut, perempuan perayu pasangan wanita lain. Adakah di sini yang bisa meredam omongan mereka? Memikirkannya saja membuat aku ingin mematahkan leher laki-laki pengecut di bawah sana," lirik Pak Kades padaku yang menghapus darah dari bibirku yang pecah dengan ibu jari.
"Saya akan hadir, Pak. Saya sendiri yang akan menjadi saksi dari pernikahan mereka." Siapa yang melumuri dadaku pasir Neraka? Kenapa rasanya aku ingin hangus seketika. Kenapa mertuaku berbesar hati melakukan hal menyakitkan itu?
"Bagus, Sahar... Bagus. Kamu memang orang tua sejati. Kalau begitu 1 bulan lagi kita ketemu di pesta pernikahan Yusuf dan Mey." Setelah kalimat terakhirnya, Sang Kades pergi tanpa menunggu tanggapan dari kami. Punggung lebar itu berjalan penuh wibawa dan rasa puas. Beliau meninggalkan kabut kesedihan di rumah Indo.
Hura-hara yang ditinggalkan Kades membuat rumah Indo menjadi hening. Semua orang berperang dengan pikirannya masing-masing. Indo terisak di sudut rumah dekat kamar utama. Ambo keluar pelataran untuk menghirup angin. Kelihatannya beliau merasa sesak dengan kejadian ini. Sementara Ambo Sahar mertuaku masih duduk di kursinya.
Aku merangkak susah payah menghampiri bapaknya istriku. Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga yang tersisa aku berusaha duduk di sampingnya, meski berulang kali hampir terjungkal karena masih pusing akibat hantaman Pak Kades yang aku terima di kepala.
Hatiku sakit, hatiku sedih. Bisa-bisanya mertuaku meminta aku mengkhianati anaknya. Istriku tersayang yang sedang mengandung anakku. "Pak, aku tidak bisa. Yusuf harus bilang apa pada Aling? Dia hamil besar, Pak. Bagaimana mungkin aku sejahat itu padanya?" Aku memegang lengan mertuaku yang tampak linglung.
"Sudah terjadi, Nak. Masalah pernikahanmu nanti, kita bisa menyembunyikannya dari Kalling, sampai dia siap mengetahui fakta hari ini." Sendu pandangan mertuaku membuat hatiku lagi-lagi seperti di remas Malaikat Izrail.
"Yusuf memang bajingan, Pak. Tapi Yusuf tidak kejam. Aling tidak pantas menerima ini." Aku menahan air mata.
Mertuaku mencengkram pundakku berusaha meyakinkan. "Aling sangat mencintaimu. Dia mungkin akan marah, tapi tidak akan lama. Percayalah."
"Tidak, Pak. Bapak jangan membuat Yusuf menjadi penjahat untuk Aling ...." Aku menggeleng. Air mataku mulai jatuh. Aling tidak pantas menanggung dosa maksiat yang pernah aku perbuat. Seharusnya aku bisa menyelesaikan ini dengan tenang tanpa terjadi keributan seperti beberapa menit lalu.
Bapak mertuaku bersimpuh dipangkuanku. Dia melepas harga dirinya demi memohon pada menantunya. "Tolong Bapak, Suf. Tolong selamatkan anak Bapak. Tolong selamatkan calon cucu, Bapak," katanya dengan suara bergetar dari balik pangkuanku.
Aku tidak bisa membuka mulut atau aku akan meraung seperti anak serigala ditinggal mati induknya. Aku menggigit bibirku agar isak tangisku tak keluar, hingga kurasa aku membuatnya berdarah dan bisa mengecap rasa anyir itu.
Tidak ada lagi percakapan di antara kami, sebaliknya kami sama-sama menumpahkan kesakitan dalam tangis tanpa suara.
Dosaku dan Mey rupanya menyeret semua orang dalam kekacauan. Kami yang meneguk Firdaus dunia, orang lain ikutan menuai bencana dari karma yang menimpa kami.
Bahkan karena kami, seorang ayah rela bersimpuh di pangkuan menantunya untuk menyelamatkan sang buah hati dari depresi hebat akibat dosa masa lalu suaminya.
***
Aku tidak pulang ke rumah yang sama dengan tempat istriku berada. Indo melarangku karena bisa membuat Aling khawatir dan membuatnya tak berhenti bertanya tentang keadaan mukaku yang menggenaskan; mata bengkak, hidung berdarah, dan bibir pecah.
Melalui bapak mertua aku titipkan secatik kertas berisi pesan pada istriku. Pesan yang berisi dusta perihal training yang tiba-tiba dan tak bisa ditolak.
Dear Aling sayangku.
Abang mendadak dikirim menggantikan teman pelatihan. Abang tak akan lama, 2 minggu sepertinya cukup.
Abang harap selama Abang tak di sini, Sayang tinggal di rumah Mamak dulu. Maafkan Abang karena tiba-tiba seperti ini.
Salam sayang
Suamimu yang merindukanmu.
Ya, seperti itulah aku memulai kebohongan pertamaku.
Sebelum meninggalkan rumah Indo, mertuaku meminta agar aku jangan menemui anaknya sampai luka-luka diwajahku memudar. Beliau juga memohon agar mempersiapkan pernikahan dengan diam-diam.
Demi Tuhan! Apa yang harus aku persiapkan kalau diriku saja tak menerima pernikahan itu? Kalau memang si Pak Kades mau membuat perhelatan besar, biarkan saja dia yang menyiapkan segalanya sendiri.
Aku tidak peduli, lagipula aku hanya akan hadir hari itu saja dan setelahnya akan kuminta pada Mey untuk kembali ke kehidupan kami seperti sebelum rahasia menjijikan kami terbongkar.
Pak Kades hanya membutuhkan status untuk anaknya, bukan? Maka dari itu akan kuberikan, tapi jangan coba-coba mengharap kami akan hidup selayaknya suami istri bahagia lagi saling mengasihi seperti aku dan Aling. Tidak! Tidak akan!
Sayangku untuk Mey sudah habis berbulan-bulan lalu. Telah kucurahkan pada wanita lain yang sebentar lagi akan menjadikanku seorang ayah.
Jika dipikir, aku memang bajingan. Belum seberapa lama berpisah dengan Mey, aku telah kembali jatuh cinta pada wanita lain.
Tetapi bukankah hidup memang begitu? Patah, tumbuh. Hilang, berganti. Dan aku mengganti Mey, kuberikan tempatnya pada Aling untuk menemani panjangnya hidupku yang diberikan Tuhan.
Setelah hampir 2 minggu tak bertemu istriku yang cantik. Akhirnya hari ini tiba. Memarku memudar dan aku juga sudah mempersiapkan alasan tentang ketidak hadiranku beberapa hari ini di ranjang kami. Aku akan sedkit berbohong, mengatakan kalau ditunjuk mendadak untuk mengikuti training menggantikan rekan kerja.
Aku juga akan mengatakan padanya bahwa kepulanganku tidak lama, hanya dua minggu karena aku harus kembali mengikuti pelatihan yang lainnya agar skill-ku bertambah. Sungguh kebohongan besar!
Lama aku terpaku di depan rumah yang menampung pemilik hatiku. Aku teramat rindu, tapi agak-agaknya nanti malah tak sanggup menatap wajahnya dengan segala siasat yang telah aku dan para orang tua rencanakan.
Aku meniti satu demi satu tangga rumah panggung Mak Pessa mertuaku. Memperhatikan anak-anak tangga yang sangat bersih itu, kelihatannya papan-papan itu baru disikat. Serat kayunya sampai-sampai terlihat.
Gamang hatiku saat mengucap salam. Pikiranku berkecamuk dipenuhi rasa cemas. Tidak terbiasa berbohong, jadi sangat takut jika Aling bisa mengetahui dusta yang coba aku mainkan.
Sekali lagi aku mengucap salam, lebih keras dari yang tadi. Tidak ada yang menjawab, hanya ada bau makanan yang terbawa angin masuk ke hidungku.
Tadi sebelum aku berdiri di depan palang pintu ini, aku sempat membayangkan seseorang akan berteriak kegirangan menyambut kedatanganku. Bergelayut di leherku dan membom bardir aku dengan banyak pertanyaan.
Tetapi itu tidak terjadi, tak seperti bayanganku.
Aku melangkah masuk, membuka pintu sederhana kamar kami. Di atas dipan kayu tempatku biasa tidur bersama istriku juga kosong. Aku berpindah ke bagian dapur, ada Mamak mertua sedang menumis sayur pakis—aku mengetahuinya karena ada sisa batang tumbuhan yang menjamur di musim hujan itu— dan menggoreng ikan asin sungai.
Wangi masakan mertuaku bertebaran satu rumah, menggugah selera siapapun yang menciumnya. Bau terasi dan bawang yang ditumis menusuk hidungku, memanggil kembali rasa lapar yang pergi sejak kedatangan ayah Mey.
"Assalamualaikum. Sehat, Mak?" Aku menyapa dan mencium tangan Mamak mertua. Beliau menjawab salam dan menanyakan keadaanku. Aku sedikit terkesiap, menduga-duga apa mungkin mertua laki-lakiku sudah menceritakan kejadian minggu lalu.
Namun tampaknya belum, dari cara beliau mengajakku mengobrol dan tidak ada raut sedih jelas tidak mengidentifikasi tersebarnya rahasia kami. Aku menarik napas lega setelah sekian detik menahannya. Sungguh kebohongan itu menyiksa, membuat hati selalu tak tenang dan was-was. Setelah hatiku cukup tenang barulah aku mengingat istriku. Kuedarkan pandangan mencari sosok berperut buncit itu. Tak ada. Ke manakah dia pergi?
"Aling sedang ke luar, Mak?" Mertuaku berhenti menambahkan gula dalam gelas kaleng berwarna hijau lumut. Beliau berdecak. Sepertinya selama kutinggalkan istriku membuat keributan.
"Telinganya Kalling perlu dibor. Setiap nasehat Mamak tidak pernah didengarkan." Mamak mertuaku menggerutu sembari mengecilkan api kompor minyak, beliau membuka gentong air bulat merah dekat rak piring sederhana yang terbuat dari sisa-sisa papan bangunan rumah—tekstur papannya kasar karena tidak tersentuh ketam dan dibuat sesahaja mungkin. Mak Pessa mendayung air dari dalam gentong air, memasukkan dalam ceret yang seluruh permukaannya sudah gosong dan menaikkan ke atas kompor minyak. "Bisa-bisanya dia cucian senja. Sudah Mamak kasitahu, 'Ling pamali, kamu sedang hamil. Naik rumah, ini waktunya setan keluar kandang' Eh, malah dia bilang omonganku mitos. Bingung Mamak kasitau bagaimana lagi."
Aku tersenyum mendengarkan keluhan Mamak. "Nanti Yusuf nasehatin, Mak."
"Harus itu, Nak. Suruh dia kalau kemana-mana bawa bawang merah yang ditusukkan bersama jeruk nipis. Hantu orang tidak berani mendekat sama yang begituan." Kembali Mertuaku memberi wejangan.
Meski memiliki pemikiran sama dengan Aling, tetapi aku tidak berani terang-terangan berkata bahwa itu semua 'mitos' belaka. Aku menghargai pemikiran beliau sebagai orang tua, kupikir tidak ada salahnya sebagai anak kita menenangkan perasaan mereka para orang tua yang masih memiliki pemikiran kolot. "Jadi, pergi ke mana Aling, Mak?"
"Main sabun di bawah pancuran," kata beliau.
Setelah mendapat petunjuk keberadaan Aling, aku pamit menyusul istriku itu di bawah pancuran belakang rumah. Aku tidak menyentuh ampayang kacang tanah gula merah yang mertuaku suguhkan saat aku baru datang tadi. Aku hanya menyerup satu kali teh panas sajian beliau yang airnya baru sekali dituang dari ceret.
Ketika aki membuka pintu seng dapur, di bawah sana, di antara sorot senja yang sedikit lagi menghilang ditelan barisan nipah dan rimbun bakau di arah barat rumah mertuaku istriku sedang berjuang dengan celana Levis kerjaku. Dia memeras dengan sudah payah di atas perut besarnya.
Seluruh bagian daster kuning motif bunga-bunga yang ia kenakan basah, rambut panjang diikat ala kadarnya itu sudah berantakan dan jatuh menutupi sebagian lehernya. Terlihat sexi sekaligus kasihan.
Aku tidak tahu mana yang lebih merepotkan dia. Apakah pakaianku, perut besarnya ataukah anak-anak rambutnya yang tertiup angin kencang senja ini. Aku merasa ia kewalahan dengan ketiganya.
Merasa diamati, sosok cantik di bawah sana menoleh. Matanya membesar senang, senyumnya rekah luas sekali, nampak semacam anak kecil mendapatkan permen kesukaan.
"Abang!" teriaknya, "Aling rindu ...," tuturnya memeras jantungku. "Sini, sini, sini ...."
Aku sengaja tak langsung mendatanginya. Kuedarkan pandang agar Alingku tak melihat kumpulan kesedihan di mataku yang semakin menebal.
Oh, istriku sayang, istriku malang. Kasihan benar nasibnya. Sebab dosa besar yang membekas di masalalu, esok akan kubohongi dirinya bahwa aku harus mengikuti pelatihan selama beberapa hari.
Padahal ....
Aku akan pergi untuk menggenggam tangan ayah yang lain, untuk membawakannya saudara madu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
