AYAH SAMBUNG (2 & 3 )

9
3
Deskripsi
Selamat baca semoga suka

"Menikahlah lagi. Indo, redha. Indo, ikhlas. Zaenab, Kulsum, juga Rukayah butuh bapak. Kamu juga butuh pendamping. Perjalanan kalian masih panjang dan kamu perlu teman untuk membantu mendidik juga menjaga cucu-cucu, Indo. Hati Indo sakit harus mengatakan ini, seperti menghianati Finus. Tetapi ini tidak seberapa dengan harus melihatmu di tengah sawah menyiangi rumput. Itu bukan keahlianmu, harit terlalu asing bagi jarimu. Lihat 'lah, tangan yang semestinya hanya mengurus cucu-cucuku, sekarang kapalan karena terlalu banyak mencabut rumput liar di pematang. Nak, Finus akan marah pada Indo dari kejauhan sana kalau keras kepala menahanmu tetap sebagai menantu Indo. Memberi kesempatan untuk laki-laki lain menggantikan posisi anak Indo dan Ambo tidak begitu buruk. Tidak juga mengugurkan posisimu sebagai menantu perempuan kami. Jadi, Nak... bukalah hatimu untuk pria lain. Berbaik hatilah sedikit pada dirimu. Bahagia 'lah lagi, tertawa 'lah kembali. Tentang Finus, relakan dia, ikhlaskan dia, simpan ia di sudut terjauh hatimu. Cukup ingat dirinya dalam doa, mulai 'lah berjalan tanpa dia."

Tera mengingat pesan mertuanya bulan lalu saat ia membawa anak-anaknya mengunjungi nenek dari ayah mereka.

Melupakan Finus?

Bisakah?

Mungkinkah mertuanya tak tahu, sebesar apa cinta Tera pada suaminya?

Andai bisa diukur, andai bisa dihitung, andai bisa dilihat. Barangkali bumi akan iri sebab kalah besar.

Adakah wanita yang rela lagi ikhlas menjalin hubungan jarak jauh selama bertahun-tahun seperti dirinya? Berpisah provinsi, negara, bahkan benua dengan suami terkasih.

Kalau bukan cinta mati, lalu apa namanya?

Haruskah ia memanjat bukit belakang rumahnya kemudian meneriakkan nama Finus di sana?

Mestikah ia siarkan pada setiap orang bahwa cintanya pada Finus bukan lagi perkara dunia, melainkan perihal mengejar Firdaus setelah kematian?

Tera menggelang kencang. Tidak peduli seepik apa perasaan melankolis menguasai pikirannya, dia tidak boleh larut dan tenggelam di sana.

Untuk apa mengikuti perasaan sia-sia itu, sementara di rumah mamaknya ada tiga perut anak-anaknya yang harus ia carikan nafkah. Yang terpenting sekarang adalah dirinya sehat, tenaganya kuat, dan punggungnya masih kokoh.

Di luar pondok matahari kian terik, angin tak banyak berhembus, hari menjadi gerah dan tubuh memproduksi keringat berlebihan.

Tera beristirahat sejenak melepas penat setelah berjam-jam bergumul bersama gulma-gulma sawah.

Peluh mengalir di leher wanita itu, memanjang hingga dada dan meresap di sela-sela bra yang ia gunakan.

Baru akan merebahkan sejenak punggungnya di atas papan sabitan, suara orang bercakap-cakap dari belakang pondoknya terdengar.

Tera tak jadi berbaring, dia membenarkan posisi jilbab yang tadinya sengaja di melorotkan panjang ke depan agar menutupi mata dari cahaya saat tertidur nanti.

Suara itu semakin dekat, Tera mendengar namanya disebut. Rupanya mereka membicarakannya. Mamaknya Rukayah segera mencari kesibukan, agar tak kentara sengaja menguping.

"Nah, kebetulang sekali, naik mi Dek Terra dari sawana, Daeng. Adami sudah di pondok'na. Mampir'ki dulu bernaung. Panas betul ini hari." Salah satu dari orang yang bertutur-tutur tadi muncul dari samping gubuknya, menyapa Tera dengan menggunakan Bahasa Indonesia dicampur logat Konjo—Bahasa Daerah Bulukumba.

"Habis lihat padi, Daeng?" Tera menyapa, seraya memberi senyum. Memperbaiki posisi duduknya agak masuk ke dalam agar gubuk kecilnya bisa menampung dua orang yang baru datang tadi.

"Tidak, Terra. Dari'ka temani Daeng Ammang lihat kebun'na Pak Kannu. Mau bilang'na na'jual."

Ekor mata Tera melirik orang yang disebut Daeng Ammang. Beliau adalah pemilik toko pupuk dan obat hama di kampung sebelah. Orangnya tinggi besar, dan memiliki kumis hitam lebat yang dipotog rapi.

Tera pernah mendengar desas desus mengatakan bahwa toko pupuk yang Daeng Ammang miliki hanyalah kamuflase dari bisnis haram beliau. Sebab konon katanya, pria yang sedang menatap Tera dengan begitu tajam itu, adalah pemilik tiga wisma pelacuran yang hanya berjarak 4 Km dari Kampung Redan.

"Jadi Pak Kannu jual sawahnya, Daeng?" Tera kembali bertanya pada bapak baju abu-abu lusuh yang memposisikan duduk berjongkok di bedengan sambil merokok. Angin bertiup, asap rokok meliuk-liuk sebelum akhirnya hilang.

Tepat di sebelah kiri pondok Tera ada pematang sawah yang di fungsikan sebagai akses lalu lintas bagi petani yang memiliki sawah dekat hutan nipah. Di situlah si baju abu-abu berpijak.

"Kalau harga'na pas. Pastilah dia jual. Apalagi Deng Ammang berani bayar kes. Tidak pas sebenar'na di situ jadi sawah. Bagusnya memang itu dirubah saja jadi empang. Bagaimana, Daeng? Aman 'kah sudah uang'na ini untuk biking empang?"

Pria yang dipanggil Daeng Ammang melempar puntung rokoknya ke dalam petak sawah yang padinya mulai menampakkan biji-biji hijau keputih-putihan, lalu berkata, "aman saja, Deng Kamaa. Biar tambah lagi 7 hektar, cukup ji' saja uangnya. Na' cukup juga, seandainya mau'ka menikah lagi," katanya melirik Tera.

"Mau'ki tambah istri, Daeng? Na dua'mi istri'ta."

"Ada perempuan kusuka. Janda mati suaminya. Lama'mi kuincar. Tapi belum'pi ada kesempatang untuk datangka ke rumahnya." Daeng Ammang meirik Tera. Sudut bibirnya berkedut misterius.

Tera meremang.

"Tidak 'kah marah istri-istri'ta kalau tau, mauki lagi tambah anggota?"

"Ndak bisa marah itu perempuan kalau dikasih terus tangannya uang. Senang malah istri-istriku, ada yang bantu-bantu jagakan anak-anak sama senangkan suaminya. Tapi ini, Deng Kamaa, yang kuincar ini memang udasnya—Bahasa Banjar, artinya; andalan— tidak ji masalah banyak anaknya. Yang penting bisa kudapat itu perempuan, pasti kubikinkan pesta 3 hari 2 malam. Bagaimana, kira-kira, Daeng?" Daeng Ammang kembali melirik Tera di ujung kalimatnya. Kesombongan nampak sekali di binar mata pria besar itu.

"Beh, jagonya memang Daeng Ammang ini." Daeng Kamaa mengambung jiwa angkuh lawan bicaranya.

"Satu lagi, Deng Kamaa. Kalau mau itu perempuan menikah sama saya. Sawah di belakang itu yang mau kubeli, nanti kujadikan maharnya. Sama kukasih lagi 1 hektar kebun karet di daerah Silkar. Kalau itu belum cukup. Bisa ji saja di bicarakan, kutambahkan lagi setengah hektar gunung batuku." Sekarang bukan lagi seringai sombong dari bibir Daeng Ammang yang Tera temukan, melainkan senyum yang memperlihatkan gigi kuning akibat terlalu banyak mengisap tembakau dan nikotin.

Anak perempuan kedua Mak Pessa mulai tak nyaman. Ia memainkan tangannya gelisah. Mau pergi dia tak enak, tetap tinggal dia semakin takut. Entah kenapa, Tera merasa wanita yang dimaksud Daeng Ammang merujuk pada dirinya.

"Bagaimana sudah canti'na itu perempuan sampai banyak betul mau kita kasikan mahar. Lebih cantik mungkin dari Terra. Ndak ji kamu iri Terra dengar itu?" Daeng Kamaa bercanda pada Tera.

Ibu Rukayah hanya meringis. Enggan menanggapi. Apalagi saat ini, mata Daeng Ammang menatap penuh minat pada jari-jari kaki Tera.

"Ndak mi terlalu panas, Deng Ammang. Ayo pulang kita. Lapar mi perutku," sambung Daeng Kamaa seraya berdiri dan membersihkan pantatnya dari rumput kering yang menempel. "Terra, duluan ka' saya. Jangan ko terlalu keras pada dirimu. Ndak usah sampai sore betul di sawah. Rejeki sudah Puang Allah Ta'ala atur. Asal percaya'ko pasti ada bantuan-Nya turun dari langit. Luas ini Bumi-nya Allah, Kalau tidak di tanah rejekimu, mungkin di langit. Kalau tidak di langit, bisa jadi dari arah depan, belakang, samping, kiri, kanan, dari segala pejuru. Yang penting yakin ko, maka datang bantuanNya. Mengerti'ko?"

"Mengerti, Daeng."

"Permisi ma' palenya—kalau begitu aku permisi. Besok kalau datang pupuk pembagian, datang ko ambil di gudang ya. Assalamualikum."

"Iya, Daeng. Waalaikumsalam." Tera sangat terharu akan wejangan Daeng Kamaa. Orang-orang bahkan tahu betapa keras dia pada dirinya demi mencarikan nafkah untuk anak-anaknya. Namun ada hal yang luput dari perhatian mereka, bahwa selain sebagai usahanya mendapatkan penghasilan, menjadi sibuk sebenarnya juga adalah cara Tera melupakan sejenak kekasih halalnya yang kini terkubur di lautan lepas.

"Saya juga pergi, Tera." Tera terkesiap, dia lupa, selain ada Daeng Kamaa, juga ada Daeng Ammang.

"Silahkan, Daeng." Tera mempersilahkan.

Saat akan melewati Tera, Daeng Ammang berhenti, dia menatap mamaknya Rukayah dengan intens. Lalu... satu telapak besar menyentuh roknya. Bertenggar di atas pahanya, kemudian mengelus sedikit sebelum akhirnya meremas dengan kuat. Laki-laki tak beradab itu bermain mata sebelum akhirnya berlalu dengan seringai menjijikkannya.

Tera terguncang. Sekujur tubuhnya bergetar. Bahkan hatinya ikut mengigil.

Oh, rupanya hanya ini pandangan sebagian orang terhadap dirinya. Terhadap statusnya!

Janda ditinggal mati.

Janda kesepian.

Janda haus belaian.

Wahai Finus, sang kekasih hati... mengapa tega kau sandangkan status tak terpikul ini?
 

***


 

"Mak! Tunggu!" Gadis kecil berseragam putih merah berlari menghampiri Tera yang berjalan menunduk. Anak berjilab putih itu baru saja turun dari mobil antar jemput anak sekolah—mobil sumbangan untuk Desa Redan, pemberian salah satu perusahaan tambang batu bara di daerah itu. 

"Maaak! Tunggu!!" teriaknya lagi jauh lebih nyaring, mengira mamaknya tak mendengar.

Tera abai pada panggilan anak tertuanya. Jiwa wanita beranak tiga tersebut belum sepenuhnya kembali setelah dillecehan oleh Daeng Ammang tadi.

"Maaak!" Tangan kecil gadis itu menarik baju sawah mamaknya.

"Kenapa, Nab?" Tera bertanya tak semangat. Dia juga tak berhenti, terus berjalan dengan diikuti anaknya dari belakang.

"Zaenab minta bapak!"

Langkah kaki Tera berhenti sejenak. Kemudian kembali berjalan dengan napas yang semakin berat. Tera merasa bebannya hari ini bertambah berkali-kali lipat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tera ingin segera sampai rumah. Membersihkan diri, menyusui bayinya, lalu berbaring hingga puas.

Jika bisa, ia mau tertidur dan terbangun 4 hari kemudian. Saat perasaan nista tak lagi merongrong jiwa nestapanya, dan ketika hari telah menghapus memori menjijikan beberapa menit lalu di sawah.

Kenapa selalu ada manusia hina seperti Daeng Ammang?

Kenapa dia tidak diberikan jiwa pemberontak seperti adiknya Kalling?

Kenapa ada orang yang menganggap dia lemah dan pantas untuk dilecehkan?

Tera marah. Sangat marah. Pelecehan yang Daeng Ammang perbuat meludahi norma-norma yang ia teladani dan ketahui.

Namun sayang seribu sayang, 'tuna diincar, pancing saja tiada'. Begitulah sekiranya pepatah diperuntukkan untuk perempuan malang itu.

Tera terlalu bersih hati, ia bahkan tak tahu bagaimana cara melampiaskan amarah. Jadi jangan sedikit pun berharap mantan istri Finus bakal membiarkan orang lain menonton dirinya menghambur-hamburkan sumpah serapah untuk si juragan batu gunung. Demi laut yang airnya masih asin, demi angin yang tak bisa digenggam, Tera tidak akan pernah melakukan itu. Sekalipun langit jatuh di kepalanya.

Demikianlah keberhasilan Finus mendidiknya. Suaminya dahulu hanya mengajari Tera kiat-kiat menjadi wanita penghuni surga, wanita solehah yang lemah lembut serta menjaga ucapannya. Patuh suami dan orang tua. Menjaga anak-anak dan harta suaminya. Menghargai nilai-nilai kesantunan dan tenggang rasa.

Haruskah Tera menggugat suaminya kelak di hadapan penciptaNya?

Menuntut penjelasan kenapa pria itu tak mengajari dan mempersiapkan dirinya menghadapi dunia dan segelintir orang-orang macam Daeng Ammang di dalamya?

"Maaak! Minta bapak! Minta bapak! Minta bapak! Zae mau bapak!" Rengekan dan gesekan sepatu di aspal mulai memasuki indra dengar Tera. "Tadi di mobil jemputan, anak-anak lainnya ejekin Zae. Kemarin juga begitu, kemarinnya lagi juga iya. Katanya, Zae tidak punya bapak. Kalau Mamak kurang uang, nanti Zae dijual ke orang kaya. Katanya juga, Zae bakal di suruh minta-minta di jalan rusak, terus diculik sama pemotong kepala untuk jadi tumbal jembatan!" Bukan rengekan lagi, melainkan tangisan Zainab mendengung hingga kesabaran Tera yang ia tambal sedikit demi sedikit mulai jebol sana-sini.

Tapi ini Tera, bukan orang lain, bukan juga adiknya, si Aling pemilik jiwa pemberontak macam perompak. Sekali lagi, ini Tera, wanita yang mungkin memenangkan tropy makhluk Tuhan terlapang dada tahun ini. Jika pada orang lain saja ia menjunjung tinggi nilai tata krama dan sopan santun, maka sudahlah tentu pada anaknya pun demikian.

Menimpali omongan Zainab hanya akan merobohkan tanggul kesabarannya. Tera memilih tetap diam. Ia terus berjalan hingga gerbang rumah Mak Pessa terlihat. Ada mobil CR-V merah parkir di sana.

"Mamak! Tidak kasian anaknya, kah?" tanya Zainab di sela tangisnya. "Kepala anaknya Mamak mau dijadikan tumbal kerangka jembatan. Tidak kasian, kah?"

"Tidak ada hal seperti itu, Nab. Di banding kepala Zaenab, beton jauh lebih kuat." Tera akhirnya menjawab. Ia tidak mau anaknya ketakutan oleh cerita omong kosong yang dibuat oleh orang-orang terdahulu untuk menakuti anak-anak. Dan anak-anak mereka sekarang gantian menakuti Zainab anaknya.

"Ada, Mak! Uncu yang bilang! Orang yang tidak punya bapak darahnya amis, jadi pemotong kepala bisa tau. Nanti teman-temannya bisa kena sial juga katanya, nanti bisa diincar sama pemotong kepala juga. Mereka tidak ada yang mau teman Zae, Mak!!! Zae tidak mau kalau tidak punya teman. Zae tidak mau diculik pemotong kepala. Zae tidak mau jadi peminta-minta di jalan rusak. Pokoknya Mamak cari bapak untuk Zae!!!" Anak perempuan itu menjerit. Ia ketakutan dengan cerita bohong teman-temannya.

Tera letih. Raganya, jiwanya dan sekarang pikirannya. Telinganya makin berdengung mendengar sang anak tertua bertingkah.

Melihat Mamaknya abai saja, Zainab meradang, ia jatuh ke tanah melolong dengan tangisan.

Hatinya sedih, sangat sedih. Padahal Mamaknya adalah orang yang melahirkannya. Mengalirkan darahnya pada Zainab, mengatakan dia yang paling betarti di dunia ini. Namun mengapa mamaknya tak mengerti hatinya?

Mana kata mamaknya yang bilang mencintainya, menyayanginya melebihi semua sayang yang orang-orang berikan padanya, bahkan mengalahkan sayang bapaknya. Mengatakan jangankan Zainab minta baju baru, bintang pun akan mamaknya berikan jika ia meminta. Tapi mengapa kali ini mamak seolah menjadi orang lain?

Jangankan untuk mendengar keluh kesahnya, bahkan mamaknya tak repot-repot menoleh padanya.

Apakah tadi pagi ia melakukan kesalahan?

Apakah permintaannya sangat berat?

Ia ingin bapak, hanya seorang bapak. Bukan minta lainnya.

Beberapa bulan ini dia sudah berusaha jadi anak baik untuk mamaknya. Membantu mamaknya mengurus adik-adik. Tak banyak menuntut seperti kala bapaknya masih hidup. Baju saja tak ada yang baru jika bukan om Yusuf-nya yang belikan. Ia tak pernah meminta pada mamaknya sekalipun kaus kaki bagian tumit sudah bolong. Ia mendahulukan adik-adik kecilnya yang tidak mengerti kondisi mamaknya.

Zainab tahu, keadaan mereka tak lagi sama semenjak sang bapak pergi menghadap Tuhan. Karena itu sebagai anak tertua, ia banyak menekan keinginannya, banyak mengalah. Tapi tidak hari ini. Menjadi bahan olokan dan dijauhi teman-teman sekolah membuat Zainab tak bisa lagi bersabar. Tak bisa lagi memahami keadaan menyedihkan mamaknya. Tak bisa lagi menahan perasaan tertekannya demi wanita yang melahirkannya. Karena ia juga perlu dikasihani oleh mamaknya. Demi Tuhan, Zainab tak mau kehilangan teman-temannya.

"Mamak mana tahu rasanya diolok tak punya bapak!" Zainab hari ini benar-benar berubah menjadi pemberontak kecil. Mamaknya harus mencarikannya bapak, jika ingin melihat dia terus sekolah. Jika tidak, Zainab akan mogok mendatangi tempat menuntut pendidikan itu. Begitu kira-kira rencana dalam kepala anak umur 8 tahun itu.

Tera terus berjalan, tak terprovokasi sedikitpun. Anaknya berkata 'Tera tidak tahu rasanya diolok tak punya bapak'. Hah, Zainab, bersyukurlah Tera sedang tak punya tenaga untuk berdebat. Andai tidak, sudah pasti ia akan meneriaki anaknya, memberitahu bagaimana rasanya kehilangan bapak dalam sekejap mata, padahal beberapa jam sebelumnya masih bersendau gurau. Terlebih orang itu pergi karena kesalahan orang lain. Umpama Tera tak lihat adiknya Aling berlari menghampiri mereka, mungkin kata-kata kejam itu akan benar-benar terlontar. Tapi tidak, Yusuf baik, Aling juga sepertinya sudah melupakan kejadian beberapa tahun lalu. Tera tak mungkin membuat mereka semua kembali terlempar pada kejadian silam hanya perkara pemberontak kecil sedang menuntut diberikan seorang bapak.

"Mamak memang tidak peduli perasaanku." Zainab berteriak sekencang mungkin.

Mak Pessa—Mamaknya Tera dan Aling yang sudah mendekat berhenti melangkah saat mendengar jeritan Zainab. "Zae padahal tidak peduli siapa pun orangnya. Bahkan kalau mamak memungutnya di jalan, Zae tidak peduli. Zae hanya mau seorang bapak. Dia hidup bersama kita atau pun tidak seperti bapak dulu, Zae tidak peduli. Zae hanya mau bapak."

Tera yakin tadi itu suara anaknya, darah dagingnya, buah cinta pertamanya bersama Finus. Meski sangat pelan dan terputus-putus di antara isak tangis, Tera masih bisa mendengar kalimat yang membuat kaki sulit bergerak dan paru-parunya memompa udara dengan begitu menyakitkan.

Tera menoleh kebelakang, ingin melihat bagaimana tampang anaknya saat mengucapkan perkataan jahat itu. Tera ingin menghampiri dan memberi pelajaran mulut gadis itu andai Mak Pesaa tak tergepoh-gepoh berlari memeluk sang cucu.

"Mamak jahat! Mamak jahat! Jahattttt!!" Merasa mendapat perlindungan neneknya, Zainab makin menjadi-jadi.

Sudah cukup! Tera tak tahan lagi. Dia hanya ingin istirahat. Melepas penat hati dan raganya hari ini.

Tetapi kenapa Zainab tak memperbolehkannya? Terus menahan dengan drama minta bapak. Mengeluarkan kata-kata yang tak pernah ia dan Finus ajarkan.

Lancang sekali, pikir Tera. Dia tidak boleh diam lagi. Anak itu harus diberi sedikit shock terapi.

Ibu tiga anak itu berbalik. Rahangnya mengetat. Ia menghempaskan topi sawah yang sedari awal melindungi kepalanya dari matahari.

"Terus kamu mau apa, hah?! Kamu mau, aku menyelami laut mencari ayahmu yang sudah habis di makan ikan itu? Iya? Kamu mau itu?!" Tera mengamuk, mencengkram lengan Zainab. "Kamu kira aku tidak sedih? Kenapa kamu hanyak memikirkan perasaanmu saja? Kamu kehilangan bapakmu, kamu pikir aku tidak kehilangan suamiku? Hah? Kamu minta bapak? Kamu pikir mendapatkan bapak semudah membuang ingus?"

Drama benar-benar terjadi siang ini. Tera meradang. Ia seperti mengeluarkan semua isi hati yang ia pendam selama beberapa bulan.

Bahkan permohonan Mak Pessa dan Aling adiknya tak ia hiraukan. Ia mencengkram lengan Zainab dengan kencang. Seolah menghantarkan semua amarahnya di sana.

Zainab yang semula keras hati, kini meringkuk ketakutan dalam dekapan sang nenek.

Syukurnya rumah mereka berjauhan dari kediaman tetangga lainnya. Sehingga pertengkaran hari ini tak harus menjadi pertunjukan gratis buat orang yang memiliki jiwa ingin tahu.

"Kak, sudah, Kak. Zaina hanya anak kecil. Dia belum mengerti." Aling adik perempuan Tera memeluk, berusaha meredam amarah kakaknya.

Tera sedang dalam mode tidak bisa ditaklukan dengan pelukan. Dia menghempaskan tangan anaknya kesal. "Lalu kapan dia mengerti, Ling? Kapan? Kapan dia berhenti menanyakan bapakknya dan meminta bapak? Kapan?! Di mana aku harus mencarikan dia bapak kalau dia kembali meminta? Di mana? Memangnya ada yang mau jadi bapaknya? Memangnya ada yang mau menikahi wanita tua banyak anak, ini?!" Napas Tera memburu dikuasai emosi. Sakit hatinya dengan permintaan Zainab. Pedih jantungnya karena sampai kapanpun keinginan anaknya itutak akan tercapai. Janda miskin banyak anak seperti dirinya siapa sih yang mau pungut?

"Aku! Aku mau jadi bapaknya. Aku akan menikahi kamu."

Awalnya Tera pikir itu suara salah satu saudara lelakinya yang ingin menggodanya agar menghentikan pertunjukan epik menjelang dzuhur. Karena itu dia tetap acuh dan tak mencari asal ucapan tersebut.

Malahan dia menatap anaknya tajam-tajam. Memperingati dengan matanya. Sampai kemudian adiknya memecah suasanan hening yang tercipta beberapa saat lalu.

"Sayhan...." Suara Aling adiknya mencicit serak seperti tenggorokannya terjepit sesuatu.

Tera menoleh. Di teras depan rumah mamaknya berdiri laki-laki yang amat dia kenal sedang menggendong Rukayah anak terakhirnya.

Tera menyeringai dengan mata paling sinis. Dia merasa dunia benar-benar ingin mempermainkannya hari ini. Bagaimana tidak, pria yang pernah menggilai adiknya hingga tak segan-segan menjatuhkan air mata untuk istri Yusuf berkata ingin menjadi bapak bagi Zainab, ingin menikahi dirinya.

Ibu tiga anak itu rasanya ingin maju dan meninju muka si Sayhan.

Pria itu ingin memanfaatkan permintaan Zainab dan keadaan tak berdayanya sebagai jalan kembali dekat dengan Aling adiknya.

Licik!

Misalkan dia bukan Sayhan bekas kekasih Aling adiknya. Mungkin Tera akan tersenyum berterimakasih karena telah menenangkan Zainab. Tapi ini dia Sayhan, laki-laki yang sampai datang jauh-jauh hanya untuk melihat kembali Aling adiknya yang telah berbahagia.

Tera maju mendekat. Mungkin hanya lima langkah dari Sayhan jika benar-benar ada yang ingin mengukurnya. Kemudian mata coklat yang dalamnya menggambarkan keletihan itu menatap tanpa emosi sebelum berkata, "Selamat, Nab! Akhirnya kamu dapat bapak tanpa repot-repot Mamak carikan. Bahkan dia datang sendiri. Di rumah kita! Kamu bisa memungutnya sekarang!"

Dan pria yang barusan menawarkan diri terlihat shock mendengar kalimat sang calon istri.

****



























 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ayah Sambung
Selanjutnya YUSUF 2
12
2
Kritik saran sangat aku harapin teman2. Jadi mohon tinggalin komentar.😚**~ Kegiatanku terjeda sebentar. Tidak nyaman atau nyaman sekali? tanyaku sambil tersenyum menggoda.Pelan atau sudahan? Istriku balik mengancam.Baik, Istriku. Suamimu ini akan berlahan.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan