AYAH SAMBUNG (1)

27
3
Deskripsi

Hari pertama purnacandra, banyak awan tipis berarakan di atas cakrawala Kampung Redan. Angin malam pun berhembus jauh lebih dingin. Meski begitu, langit tak menumpahkan air matanya, seperti beberapa hari lalu di desa yang memiliki penduduk tidak lebih dari 100 orang kepala keluarga.

Malam ini berbeda, awan KumuloNimbus enggan menghalangi purnama memamerkan keindahan.

Waktu menunjukkan pukul 01.37 dini hari. Danau Redan sedikit berangin. Semilir yang berhembus menghantarkan beku menusuk kulit menerobos masuk melalui kaca jendela mobil CRV yang dibiarkan terbuka.

Seorang pria masih betah termangu. Menatap lurus pintu rumah di depannya dengan nelangsa.

Dari caranya menarik napas panjang nan penuh beban, nampak sekali pria itu sedang dilanda gundah gulana.

Cukup lama ia merenung. Hingga lelaki itu tiba di titik melakukan hal bodoh. Mengetuk-ngetukkan kening di atas setir mobil berulang kali.

"Sayhan! Kamu gegabah!" Pria itu menggeram. Menyebut nama diri sendiri. "Bodoh! Bodoh! Bodoh!" lanjutnya frustrasi.

'Tidak! Kamu hebat. Kamu pahlawan berhati suci. Kamu menolong anak kecil yang merindukan sosok ayah. Tenang, Sayhan. Kamu melakukan hal mulia. Jangan takut.' Kepala Sayhan mengangguk-angguk paham atas penghiburan hatinya yang berusaha menolong jiwa gentayangannya yang mencari pembenaran atas tindakan impulsif tadi siang.

Namun hanya selang beberapa saat kelegaan itu menduduki tahta. Agak-agaknya, sisi jahat hati tak terima kata-kata pelipur lara. Jadi ia kembali mencela raganya sendiri 'bodoh'. Juga mengusik dengan gambaran tak bahagianya pernikahan tanpa cinta.

Pemuda bernama Sayhan seketika kembali resah. Dadanya kini berdentam-dentam ketakutan.

Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban menyesaki otak.

Bagaimana jika pernikahannya gagal?

Bagaimana seumpama biduk yang membawa dirinya beserta istri dan tiga anak sambungnya karam tanpa sempat berlayar?

Dia bahkan belum bertemu dengan pengantinnya sejak terakhir mereka bertemu siang tadi. Dia tak tahu macam apa rupa asli istrinya, sebab menatap pun hanya sekilas.

Tanpa sadar Sayhan menjambak kepala dengan keras. Dia mengabaikan kemungkinan kulit tempurung otaknya yang akan terluka.

Lagi pula, apalah arti lecet sedikit, dibandingkan hidupnya yang kini seolah berjalan di titian Shiratal Mustaqim dunia.

Tadi setelah tamu-tamu sudah pulang. Salah satu dari empat orang iparnya menghampiri, memintanya istirahat di kamar. Katanya istrinya telah menunggu.

Namun, Sayhan adalah Sayhan. Dia pria cerdas. Lulusan terbaik kampusnya dahulu. Sayhan bisa membaca situasi dengan cepat. Bahkan lebih cepat dari dugaan ipar-iparnya itu.

Jika wanita yang menjadi istrinya tak menampakkan wajah untuk mempersilahkan dia masuk ke kamar pengantin. Kesimpulannya hanya satu.

Wanita itu menolaknya!

Bukan Sayhan kecewa. Tidak sama sekali. Tunggalnya Keluarga Broto sangat paham reaksi sang istri dan itu tak masalah.

Hanya saja, berangkat dari sana, Sayhan tahu, sesuram apa rumah tangga yang akan ia jalani di masa depan.

Berbagai alasan Sayhan utarakan untuk menunda bertemu Tera istrinya.

Salah satunya dengan mengatakan bahwa ia perlu membeli pakaian untuk berganti.

Yusuf, suami mantan kekasihnya menawarkan menggunakan kemeja miliknya. Akan tetapi Sayhan menolak. Mencandai pria itu bahwa, ia butuh dalaman dan belum berniat menggunakan pakaian dalam bekas orang lain.

Pada akhirnya semua orang membiarkan dia pergi. Mungkin mereka tahu, bukan hanya Tera, dia pun perlu waktu untuk menelaah pernikahan tiba-tiba ini.

Setelah berbelanja dari Mini Market yang ada di simpang Sanggata-Bontang, Sayhan tak langsung pulang. Ia melanjukan kendaraanya menembus keramaian malam minggu, Kota Taman. Menghabiskan banyak waktu di salah satu cafe pinggir laut. Hingga malam merajai dan dirinya sahaja yang tersisa.

Saat mematikan mesin roda empat di halaman rumah mertua, diam-diam hatinya berdoa, semoga ketika ia masuk kamar nanti, pengantinnya sudah tertidur. Jadi mereka tak perlu saling menyapa.

Sekali lagi, Sayhan dengan bodoh menjambak kepala. Tak ketinggalan ia menghantupkan bagian belakang kepalanya pada kursi kemudi.

Dia tidak mungkin berdiam selamanya di mobil. Akan tetapi mau menyingkap pintu di depannya pun tak mungkin sanggup ia lakukan. Ia amat sangat gugup.

'Aku! Aku mau jadi bapaknya. Aku akan menikahi kamu.'

Dia pasti sudah gila!

Mengambil tanggung jawab untuk menjadi ayah sambung bagi tiga orang putri?

Ibunya pasti akan serangan jantung begitu tahu.

Sayhan mengeluarkan satu bungkus rokok di kantung mobil. Berniat menghilangkan grogi dari kandungan nikotin tembakau.

Pria 34 tahun itu merokok sambil berjongkok di samping kendaraan roda empat miliknya. Satu batang rokok habis. Tapi hati Sayhan tak kunjung membaik. Malah semakin gusar.

Dia kembali meraih kotak sigaret, mengeluarkan satu batang lagi, membakar dan lagi-lagi mengisap panjang cerutu tersebut.

"Kukira kamu tidak merokok." Suara pria mengejutkan Sayhan. Ia mencari asal suara. Tidak jauh darinya, tepatnya di teras rumah, Yusuf berdiri dengan sarung yang melilit di pinggang.

"Masih terjaga? Selarut ini?"

Yusuf tertawa. "Nanti kamu akan paham," tangannya memberi kode.

Pupil Sayhan melebar. "Astaghfirullah Al Adzim. Dia hamil besar. Jangan menyiksanya, Suf!"

Yusuf terbahak. "Masuklah. Di luar dingin."

"Dia sudah tidur?"

"Siapa? Istriku? Tentu, aku baru saja selesai memanjakannya," jawab Yusuf seraya mengerak-gerakkan gulungan kecil sarungnya di pinggang, bermaksud menggoda sang anggota keluarga baru di rumah Mak Pessa.

Sayhan berdecak. "Ck, tak perlu memanasiku. Aku sudah tak ada rasa pada istrimu. Tera, apa kira-kira dia sudah tidur? Menurutmu? Sudah, 'kan? Iya, 'kan?"

"Bagaimana kalau kamu masuk dan memastikannya sendiri. Bagaimanapun Tera hanya ipar. Kakaknya Alingku yang terkasih sedunia sejagad raya. Haram hukumnya membuka kamar istri orang lain."

Sayhan menatap jijik, Yusuf. Pikirnya, kalau secinta itu pada Aling, kenapa dulu tega menyakitinya dengan memadu. "Kamu kekanak-kanakan."

Yusuf kembali terkekeh. "Cepat masuk sebelum kukuncikan pintu."

Pengantin pria itu membuka pintu belakang mobilnya. Menatap empat kantung belanjaan, berisi berbagai macam makanan ringan. Dia menimbang dalam hati, apakah cemilan tersebut dia bawa bersamanya atau besok pagi saja. Akhirnya ia memutuskan membawanya.

"Banyak sekali. Sogokan?"

"Mereka ... hm, maksudku, anak-anak itu boleh 'kan makan beginian? Aku takut keliru. Dan berakhir tak disukai."

"Tera, baik. Dia tidak galak macam Istriku. Tenanglah. Kamu nampak sekali sedang gugup."

Bulan tidak lagi memarkan benderangnya, kini ia tertutup awan yang mengandung hujan. Sepertinya malam ini pun akan menyusul malam kemarin. Bumi menangis, tumbuhan bersuka cita. Tuhan memberi berkah melalui air hujan.

Ayah anak kecil bernama Langit sudah tak tahan dengan gigitan nyamuk yang semakin banyak. Ia bergegas menghampiri sang pengantin baru dan membantu Sayhan membawa barang belanjaan. Ringan, karena memang isinya hanya cemilan.

Setelah meletakkan kantung-kantung belanja di dapur. Yusuf menunjukkan kamar mandi rumah mereka.

"Ini pakailah. Baru, belum kukenakan sekalipun. Aku tahu, tadi kamu cuma melarikan diri, bukan benar-benar membeli pakaian." Yusuf kembali dari arah ruang tengah. Dia membawa satu lembar baju dan sarung motif kotak-kotak berwarna coklat.

Sayhan tidak tahu harus mengucapkan terimakasih atau memukul kepala pria beranak dua itu. Bisa-bisanya Yusuf memberi sarung bukan celana. Apa suami mantan pacarnya itu ingin ia kelihatan mesum di depan Tera?

"Sarung?"

Yusuf menaikkan sebelah alis. "Iya. Kamu bisa menggunakannya, kan? Masukkan, lalu gulung memutar bagian atasnya di pinggangmu." Yusuf mempraktekan cara memakai sarung di pinggang.

"Kurasa, ini akan melorot. Terimakasih, tapi aku bisa menggunakan celana tadi siang." Sayhan menolak.

"Ayolah, ini semacam tradisi, rumah ini. Pria yang baru masuk wajib hanya memakai sarung selama 1 minggu. Kamu tidak bermaksud mengabaikan kebiasaan yang mereka pelihara turun temurun, 'kan?"

Sayhan mengalah, ia menerima sarung juga baju kaus warna putih dari tangan Yusuf dan membawa masuk kamar mandi.

"Begini?"

Yusuf yang sedang duduk menungguinya di dekat meja makan lesehan menoleh. Menatap sebentar kemudian seperti menahan tawa.

"Kenapa? Buruk, sekali ya?" tanya Sayhan kembali.

Yusuf menggeleng bersama ekspresi yakinnya. "Tidak! Sip. Kamu yang terbaik," katanya memberi dua jempol sungguh-sungguh.

Suara anak kecil menangis membuat Sayhan tak jadi menanggapi omongan Yusuf. Dia menatap ayah dua anak itu dan bertanya dengan dagunya.

"Rukayah. Biasa, haus, mau susu. Ayo tidur, aku ngantuk berat. Besok subuh-subuh harus kerja. Kamar kalian, kamar nomor satu dari depan. Ketuk saja." Yusuf memberi arahan pada Sayhan sambil berjalan mendekati palang pemisah dapur dan ruang tengah.

Sayhan menahan lengan Yusuf.

Suami Aling berbalik, melihat tangannya yang dipegang dan wajah Sayhan bergantian.

"Dia sedang menyusui. Kalau aku masuk sekarang, dia akan canggung."

"Ketuk pintu tiga kali. Itu sudah cukup sebagai tanda kamu meminta izin untuk masuk. Dia pasti sudah berbenah."

Sayhan mengangguk paham.

Waktu menunjukkan pukul 03.02 Wita. Udara kian kurang ajar mengigit. Sayhan berdiri di depan pintu kamar pengantinnya sambil mengusap-usap lengan agar tetap hangat. Berada di dalam rumah nyatanya tak menjamin, suhu menjadi lebih bersahabat.

Sayhan masih bertahan dalam posisinya. Berdiri, menghadap pintu, dan menekan dadanya yang mulai ribut. Sudah tiga kali dia mengetuk pintu. Tapi sayang, tak ada tanggapan dari dalam ruangan.

"Aku masuk ...." Akhirnya Sayhan bersuara. Lima jari tangannya mulai memutar handel pintu.

Kamar terkuak. Menampilkan pemandangan isi bilik.

Namun tidak banyak yang bisa Sayhan tangkap, selain cat ruangan itu berwarna hijau daun.

Anak Bu Broto segera menundukkan pandangan setelah tak sengaja melihat istrinya yang duduk tegang di pinggir ranjang sambil menatap lekat tembok di hadapannya tanpa mau menoleh melihat Sayhan.

1 menit ....

6 menit ....

11 menit ....

Tak ada suara selain dengkur dan igauan gadis-gadis kecil.

Sayhan diam-diam mencuri lirik springbed besar yang diletakkan di sisi kanan ranjang istrinya. Di atas pembaringan itu, dua anak sambungnya sedang tertidur pulas sembari memeluk boneka.

Sayhan mencari cela, di mana kira-kira dia akan mengistirahatkan raga malam ini. Di ranjang atas kah? Atau Springbed bawah.

Di mana pun tempatnya, tetap saja dini hari ini, dia pasti tidak bisa mencapai alam mimpi.

Kaki Sayhan mulai keram, sudah lama dia berdiri dan belum dipersilahkan mendekat. Dia mulai menggerak-gerakkan pergelangan kakinya. Rasa kesemutan mulai datang menyerang. Bagaimana tidak, jika dihitung barang tentu sudah lebih 60 menit dia berdiri.

Sayhan tak tahan lagi. Rasa kesemutan memanjat sampai pangkal pahanya. Pria itu akhirnya membuang malu. Ia duduk berjongkok seraya memukuli pelan betis.

Sebenarnya Sayhan malu, tapi bagaimana lagi, rasa sungkan tak bakal menolongnya mengatasi keram.

Tera masih mematung. Masih menatap temboknya. Seolah kalau dia berpaling sejenak, dinding itu akan runtuh menimpah semua umat.

Sayhan merasa kasihan pada dirinya sendiri. Walau dia telah memberi kode pada Tera bahwa ia lelah, dengan menepuk semakin keras betisnya, nyatanya wanita itu tak peduli.

Sayhan tak tahan lagi. Kakinya kian keram. "Bo-boleh aku ikut istirahat di sini?" Sayhan benar-benar membuka bibirnya. "Jika tak boleh, aku bisa tidur di sofa luar."

Tera memutar leher. Amat sangat pelan. Andaikata ditarung dengan siput, jelas si hewan melata tersebut yang menang.

Wanita berbergo maroon itu menatap sang suami dengan pandangan kosong. Tidak ada kata yang terburai, diam, hening dan bibirnya terkunci.

"Baiklah. Aku tidur di luar." Susah payah Sayhan bangkit dari jongkoknya.

Melihat suami barunya bergerak, Tera tersadar dari lamun. "Tunggu!"

Langkah pincang Sayhan terhenti. Dia berbalik. Melihat istrinya membenahi ranjang pengantin mereka.

"Aku turunkan Ruka terlebih dahulu, kamu bisa tidur di atas," sambung wanita itu.

Bibir Sayhan tertarik tipis. Hatinya seketika di aliri darah. Dia lega, reaksi istrinya tak seperti film yang pernah dia tonton.

Beban berat di kepalanya menghilang.

Dia bersyukur, karena masih melihat ada sedikit masa depan di pernikahan spontannya.

****
 


 

๐Ÿก Sendawar, 25 Mei 2022

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Ayah Sambung
Selanjutnya AYAH SAMBUNG (2 & 3 )
9
3
Selamat baca semoga suka  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan