ANYELIR KUNING ~Part 19-23

3
0
Deskripsi

post-image-663c599c581e5.jpeg

Berlahan jiwaku kembali.
Tak lagi menjilati luka.
Sudah kulupa kamu.

Lalu,

Lagu pilu itu datang mengulang....
Kamu, tandai aku dengan egois.

_____________πŸƒ____________

Drama, itu yang aku pikirkan saat melihat putra Yusuf menangis tersedu-sedu dalam dekap ayahnya. Sejak satu jam yang lalu air matanya itu deras berjatuhan.

"Jadi tidak?" Aku jengah melihat mereka.

"Sabar, Ling. Langit ditenangin dulu." Kak Alfi yang menyahut.

"Lama!" dengusku masih dalam posisi berdiri bersedekap menatap mereka.

"Ling! Langit itu juga anakmu. Seharusnya kamu yang menenangkannya, bukan Yusuf." Mamak berjalan dari arah dapur.

Enak aja!

Aku menoleh cepat, menetap tak suka pada mamak atas ucapannya.

"Kenapa?" Mamak bertanya ketika menyadari aku menengang.

"Anakku... " suaraku bergetar, "Cuma satu, dan aku belum lupa, kalian menguburnya di halaman samping." Dengan berani aku menghujam manik mamak.

Mata tua itu sedikit terkejut. Seketika ruang tamu menjadi hening.

"Sepuluh menit lagi! jika drama kalian belum selesai, aku pergi sendiri!" ancamku menarik kasar koper silver yang dipinjamkan kak Tera.

Yusuf menoleh. Tidak lama, tapi masih sempat aku lihat mata kesalnya.

"Tunggu di depan ya, Dek." Kak Alfi mensejajari langkahku. "Mulai saat ini kamu harus belajar mengenal Langit." Kak Alfi mengambil alih koper dalam tanganku.

"Kenapa? harus aku yang berusaha mengenal dia?" cekalan tanganku menghentikan langkah kak Alfi.

".... Dia masih kecil, Dek."

"Hanya karena dia masih kecil, dan aku tua? Kalian tega merongrong perasaanku?"

"Bukan begitu, Dek...."

"Sudahlah, Kak! aku pikir satu-satunya yang berada dipihakku hanya kakak. Rupanya sama saja! Langit! Yusuf! Langit! Yusuf! Mereka, mereka dan mereka. Aku muak!" Mungkin aku harus mengurangi komsumsi danging dan seafood. Tekanan darahku akhir-akhir ini sangat mudah naik. Walau aku tahu, obatnya hanya satu. Tak melihat sepasang ayah dan anak yang sedang sinetron di dalam sana.

"Langit itu...."

"Sudah Kak, aku mual."

"Kamu hamil, Dek?"

Lancangnya tanganku, karena detik berikutnya sudah bersarang di kepala kak Alfi.

"Auh... sakit, Dek!"

"Mulut. Di rem sedikit!"

"Mana tahu, Ling. Toh, kamu punya suami dan mengingat intimnya kalian tadi pagi," cengirnya. Dan sungguh, itu menjengkelkan.

Mungkin bagi kak Alfi candaan tadi, biasa. Namun tidak bagiku. Hal kecil seperti itu sangat mempengaruhi emosi. Dan hasilnya sudah pasti, aku semakin membenci mantan suamiku yang sekarang menjadi suamiku lagi.

"Dek, nanti di sana, Yusuf di hormati ya."

"Harus?"

"Bisakah kita melupakan masa lalu, Dek? Tidak hanya kamu, dia pun sama menderitanya."

Tanganku mengepal. "Kurang pengorbananku?"

"Kami melakukan ini semata bukan hanya untuk Yusuf ataupun Langit. Demimu juga, Dek."

"Demi melihatku kembali gila? Itu maksudnya?"

"Kamu cuma sedang kecewa merasa tak terbela, Dek. Tenangkan perasaanmu. Kakak akan memanasi mobil yang akan kalian gunakan." Ia berjalan meninggalkanku.

Aku mendengus.

Delapan belas menit berlalu. Yusuf dan putranya muncul di balik pintu. Mata bocah itu bengkak dan merah, setengah mati aku mengatupkan mulut agar tak mencibir ketika melihatnya.

Terlalu berlebihan untuk anak berumur hampir tiga belas tahun menangisi ayahnya yang akan bepergian hanya beberapa hari. Cengeng! Pasti seperti ibunya.

"Sudah siap?"

"Bertanya?" Sengaja kunaikan alis. "Dari tadi! Sempat lihat sinetron lagi." Benar-benar mulutku ini, lancangnya.

"Ling. Langit sedih, dia bukannya berpura-pura. Bisakah bibirmu tidak menyakiti?" Mukanya mengeras dengan kedua tangan menutup telinga putranya.

"Santai. Tak perlu nge'gas," acuhku menghampiri rak sepatu yang terbuat dari plastik.

"Aku suamimu, Ling. Biasakan menatap mataku ketika berbicara?"

"Suami?" Aku mengerutkan kening. "Suami yang dipaksakan, ya 'kan? Masih tidak malu untuk minta di hormati?"

"Kuberi kamu kesempatan menolaknya. Tapi kamu menyodorkan diri. Lalu kenapa sekarang begini?"

Kali ini aku benar-benar muak. Tanganku yang akan mengikat tali sepatu kets warna kuning terhenti. Menatap matanya dengan berani. "Tanya sekutumu! Jangan aku."

"Melihat istrimu begini, apa kamu masih meragu dengan saranku?" Kak Syahrin bersandar pada bingkai pintu dengan tangan bersedekap.

Sejak kapan dia di sana? Habislah aku, lihat saja, sebentar lagi mulut setajam siletnya itu akan mengiris-iris perasaanku.

"Syah... tolong." Yusuf menggeleng.

Ia mendengus sebelum kembali bersuara. "Baik-baik pada Yusuf, Ling. Surgamu di dia. Neraka itu panas. Nabi yang suci saja menangis ketika di perlihatkan. Apalagi kita, terutama kamu. Yang sudah durhaka, meninggalkan suami bertahun lamanya."

"Syah! Sudah. Kami akan melakukan perjalanan jauh. Tak baik jika di awali dengan berdebat. Lagipula... aku tak apa, dia sudah bersama kita. Itu sudah cukup."

"Dia itu harus diingatkan, Suf! Kabur bertahun aja dia berani. Apalagi cuma menginjak-injak harga dirimu."

Ah, dia itu kenapa sih, aku seperti musuh besarnya saja. Selalu saja mencari cela untuk menyerangku. Sejak aku kembali tak pernah kulihat ada senangnya.

Dulu, dia yang paling sayang padaku. Entah apa yang merubahnya sehingga berbalik paling membenciku.

Aku hanya melirik, tak berniat menjawab. Kesal hatiku makin menjadi.

"Nanti mampir di Samarinda saja, kalau sekiranya tak mungkin melanjutkan perjalanan." Kak Syahrin kembali bersuara.

"Sepertinya memang begitu, ini sudah terlalu siang. Memaksakan diri terlalu berbahaya. Dengar-dengar jalan menuju ke sana banyak perbaikan dan terkadang supir taksi gelap ugal-ugalan membawa kendaraan saat malam." Yusuf menimpali.

Kulirik jam tangan berwarna gold pemberian mas Sayhan. Jarumnya menunjukan angka satu dan kami masih di sini. Padahal menuju kota yang dijuluki kota beradat minimalnya sebelas jam perjalanan darat.

Yusuf berlutut dihadapan anaknya. "Jangan nakal, ayah tidak akan lama. Jagoannya ayah mau ole-ole apa?"

Ada yang meremas hati. Netraku seketika menatap gundukan kecil di bawah pohon kelapa samping rumah. Di sana tubuh mungil anakku yang tak pernah tersentuh tanganku tertanam. Bumi, kata kak Tera itu namanya yang diberikan Yusuf.

Hatiku kembali meringis. Anakku diberinya nama Bumi, sedang anaknya bersama wanita itu ia namai Langit. Siapapun tahu bahwa dibandingkan Bumi, Langit jauh lebih unggul. Untuk hal sepele ini, Ingin sekali aku menangisinya.

Aku tak berani memejamkan mata takut bening yang menggenang tumpah.

Putraku... apa dia tidak iri melihat kedekatan Yusuf dan anaknya?

Tanpa sadar tanganku meremas dada, menahan nyeri yang berselimut di dalamnya. "Kenapa?" Yusuf bertanya. Alisnya saling menaut menandakan dia khawatir.

Meliriknya sejenak, lalu membuang muka. Tak mau pria itu mengasihani piluku.

"Ling... kenapa?" Ia kembali bertanya sambil memegang lenganku.

"Berisik!" Kusentakkan tangannya.

Ia melirik tangannya kemudian menggeleng. Setelahnya berjalan menghampiri anaknya lagi. "Ayo, jagoan ayah salim mamah."

Mataku memejam, menahan gejolak emosi yang tersulur.

"Kita sudah sepakat!"

"Apa?" tolehnya.

"Jangan memanggilku dengan panggilan itu."

"Apa aku setuju waktu itu? Kurasa tidak. Ayo jagoan, salim mamah." Yusuf menabuh genderang perang.

Pria kecil itu berlari pelan mendekat. "Mamah, salim." Ia menyodorkan tangan. Aku membuang muka, tak menyambut tangannya.

"Ling! Anakmu mau salim." Kak Syahrin, Mamak, saudaraku yang lainnya beserta ipar-iparku muncul di balik pintu. Tapi yang tadi berbicara itu kak Syahrin.

Ditatapi berpasang-pasang mata menciutkan nyaliku. Jadi, dari pada ditebas oleh tajamnya lidah kak Syahrin, lebih baik aku mengalah.

"Mamah peluk." Tuh 'kan ngelunjak.

Yusuf berdehem, sambil memberiku kode agar mengabulkan pinta anaknya.

Baiklah, kali ini saja, aku mengalah sedikit.

Aku menunduk. Bocah itu merentangkan tangan. Ya, aku memeluknya! Jadi, begini rasanya mendekap anak musuhmu.

Tapi...

Sebentar!

Perasaan apa ini?

Seperti menemukan rumah saat tersesat.

Lega.

Damai dan....

Ada hangat yang merembes sampai ke hati.
Β 

post-image-663c5a0315d0e.jpeg

"Kheem...." itu deheman Yusuf.

Walaupun bergeming di tempatku, aku tahu ia sedang memperhatikan di balik kemudi.

"Luar biasa, ternyata kota menyerap habis sisi cerewetmu," kekehnya geli, membagi pokus antara melirikku dan jalan menurun di depan.

Pria itu sedang mencoba menyalakan bara abadi dalam dada yang setengah mati aku tidurkan sejak beberapa menit lalu. Tidak bisakah dia menghargai usahaku?

"Kamu cantik. Tapi...." ia menoleh, "galak," sambungnya dengan pipi berkedut menahan tawa.

Lihatlah dia, menjadi sangat pendiam di depan keluargaku. Dan berubah menyebalkan saat hanya kami berdua.

Karena sedang meraba hatiku untuk rasa damai yang Langit berikan lewat pelukannya beberpa saat lalu, aku memilih tak menggubris pria di sampingku ini.

"Kamu, oke?" tanyany mengelus pucuk kepalaku yang berlapis jilbab coklat polos. "Terlihat tak bersemangat."

Cih, memangnya kapan aku bersemangat di dekatmu!

"Lepas!"

"Tanganku?" tanyanya pura-pura tak paham.

"Lepas, atau kugigit!" Delikku marah.

"Gigit." Tantangnya.

Seseorang, tolong lempar aku ke kutub mana saja yang paling dingin. Panas. Aku hampir terbakar menahan geram. Yusuf sialan....

"Tolong... aku lelah. Bisa nanti saja membuatku semakin membencimu?" kataku tanpa repot menoleh padanya.

Ia tak bersuara, tapi tarikan napas dalamnya sudah menjawab pintaku. Kemudian hening menguasai.

Kami belum lama meninggalkan Redan.Kendaraan milik Yusuf merayap di atas ketinggian berkelok. Membawa dua manusia yang saling mengunci bibir.

Di kejauhan, samar kilang minyak PT. Badak LNG terlihat di balik bukit-bukit kecil. Hamparan perkebunan dan juga hijau hutan hampir seluruhnya membungkus kulit gunung. Paling ujung tangkapan netraku, birunya laut ikut membingkai. Ini indah, jika saja di nikmati oleh dua orang yang tak pernah dijeda kelam.

Mengenai kelam. Aku tidak yakin Yusuf merasakanya. Lihat saja bagaimana ia hangat diterima dalam keluargaku. Hidupnya berlanjut. Mungkin bahagia. Putranya saja tumbuh dengan sehat juga pria itu masih bisa tersenyum dan tertawa.

Sedang aku? Bersahabat dengan pekat. Tak ubahnya seperti kerbau dan kubangannya. Tidak terpisahkan, miris!

"Ling," lirihnya setelah lama membungkam diri.

Aku hanya melirik.

"Bukan maksud mencurangi kepercayaanmu dulu."

"Aku haus, bisa mampir saat menemukan warung?" Dibanding mendengar dia mengulik luka setengah keringku, lebih baik mengalihkannya.

"Aku tahu kamu belum mau membahasnya. Tapi sampai kapan kamu menghindari topik ini?"

"Sampai mati aku tak akan pernah sudi membahasnya!" Acuhku melempar pandang pada rimbun perkebunan karet di kiri kanan jalan.

"Di kota... apa kamu memiliki kekasih?" tanyanya ragu.

"Tentu."

"Aku setia padamu, tidak membagi rasa pada lainnya."

Cih, ingin aku tertawa terbahak-bahak. "Oyah?" ejekku melihat ke arahnya.

"Humm."

Baiklah, aku tak tahan. Aku tertawa. Sangat nyaring. Akan tetapi siapapun tahu itu tawa cemohan.

Ipar tersayang kak Syahrin itu cuma tersenyum melihat tingkahku. Setelah aku selesai dengan tawaku, Yusuf kembali membuka mulut. "Ceritakan tentang kekasihmu itu."

"Jalannya menurun. Fokuskan saja matamu."

"Kamu mencintainya? Hmm... maksudku sebesar cintamu dulu padaku?"

Aku mendelik tajam. "Tentu. Bahkan lebih."

"Tapi kamu sekarang istriku." Ia menegaskan.

"Kata siapa? Katamu? Apa keluargaku?"

"Kita sudah mengulang janji, ingat?"

"Kamu, kan? Bukan aku!" kesalku.

"Ling...."

"Apa lagi? Diamlah! Aku muak pada penghianat sepertimu dan juga anak haram kalian." Apa persamaan aku dan kak Syahrin? Sama-sama memiliki lidah tajam nan menyakiti.

Tapi, kali ini bukan salahku. Yusuf yang sedari tadi berusaha memercikkan api dalam dadaku.

Hatiku memang sedang diliputi rasa sedih, marah dan juga kosong setelah Langit melepas dekapannya.

Sedih, mengingat putraku mungkin seumuran anak Yusuf bersama Meylina itu jika ia masih hidup.

Marah, karena justru bukan benci menggunung yang kuperoleh setelah berbagi peluk dengan Langit, melainkan rasa nyaman.

Dan kosong, sebab mas Sayhan tak juga memberi kabar. Aku seperti tidak dirindukan olehnya.

Decit nyaring ban mobil, menandakan sang pengemudi menginjak dalam pedal rem. "Jaga ucapanmu, Ling!" Iris hitamnya dipenuhi amarah.

Aku yang tidak siap dan lupa memasang seatbelt terhuyung ke depan menabrak dashboard. Brengsek Yusuf. Keningku mungkin setelah ini akan benjol. "Kamu ingin membunuh kita?" teriakku marah.

"Kamu... berhenti menghina Langit!"

"Aku tak menghinanya."

"Kamu merendahkannya!" Netranya itu seakan ingin menebasku.

"Aku tak merendahkannya." Aku bersikeras.

"KAMU MERENDAHKANNYA! MENGHINANYA! MENGHINA ANAKKU!" teriak Yusuf meninju dashbor mobil berkali-kali dan hal itu sukses mengusir hilang keberanianku.

Lututku rasa tak bertulang. Aku ingin keluar dari sini, tapi mobil terkunci. Jadi, kulindungi diri dengan memeluk tas ransel hitam kecil yang kubawa.

"Beruntungnya, Bumi. Tak perlu menerima caci makimu."

Luar biasa palu yang dihantamkan Yusuf. Nyeri

Apa katanya? Dia bersyukur Bumiku tak hidup? Itukan maksudnya?

Ditengah ketakutanku, mulut ini ternyata masih bisa membeo. "Jangan melibatkan anakku!" geramku.

"Langit juga anakmu!"

"Bukan! dia putramu dan wanita itu. Jangan memaksaku mengakui dia putraku, karena aku tak berkenan!" desisku.

"Ternyata... di antara banyak kesialan yang di dapat oleh Langitku. Dia masih beruntung karena Meylina bundanya tak pernah mencelanya."

Aku memejam mata sesaat, "Kalau kamu begitu mencintai istri dan anakmu itu. Kenapa kamu masih mengemis kembali padaku?"

Bising truk trailer pengangkut alat berat bermerek cat yang lewat, bergerak lambat mengisi hening yang tercipta dari tanyaku. "Karena rasa bersalah?" Aku menoleh lelah padanya. "Pergilah, aku memaafkanmu. Bersama kita hanya saling menyakiti."

Lama ia memandangku dengan sorot tak terbaca. "Sudah?" tanyanya

Aku membuang muka ke samping jendela mobil. Pohon karet berjejer lebih menarik dari pada melihat penghakiman netra Yusuf.

"Kamu pikir hanya kamu yang sakit selama ini, hah? Iya, Ling?" Nadanya putus asa. "Keji, kamu Ling. Meninggalkan aku selama itu tanpa kabar. Kamu sangat tahu bagaimana dalamnya rasaku, cintaku, sayangku padamu. Caramu membalasku luar biasa sakitnya. Aku akui, kamu berhasil menghukumku. Kamu berhasil... selamat," lirihnya menyembunyikan muka dengan kedua tangan memeluk setir.

Mendapati sikap Yusuf yang demikian sungguh membuatku takut. Kami berada di daerah karetan yang sepi. Bagaimana kalau sangking kesalnya atas sikapku selama ini, Yusuf nekat menyakitiku. Membunuhku misalnya, lalu membuang mayatku di tengah kebun karet tak berujung ini. Astagfirullah Aladzim. Aku menggidik membayangkannya.

"Aku tidak akan menyakitimu. Tak usah takut dan memikirkan yang tidak-tidak!" Seolah dia dapat membaca pikiranku. "Sebentar, kubelikan minum." Ia mengangkat kepalanya. "Dingin?" Bertanya sambil menarik satu tisu dan mengusapkan pada wajahnya.

Aku menatapnya terkejut, lalu menganggukan kepala takut-takut.

Dia sudah tak marah?

***

Sebelas jam telah kami tempuh. Awalnya aku kira kami akan menginap di Samarinda atau Tenggarong.

Ternyata tidak. Aku tertidur begitu melewati bandara APT Pranoto di sungai Siring. Dan terbangun ketika Yusuf mampir membeli jagung rebus yang banyak dijual di daerah Jonggon Jahab.

Aku yang terlalu malas bertanya pada pria di sampingku memilih diam. Bahkan saat Yusuf menghentikan mobil untuk mengisi perut kami di Amang Ulis, salah satu warung makan yang ada disepanjang jalan poros Tenggarong-Melak, bibirku tetap bungkam.

Satu-satunya hiburan selama perjalanan adalah jejeran bukit dan hamparan hutan tak berujung yang kami lewati.

Aku tidak memungkiri beberapa kali memaki dalam hati kala menemui titik jalan rusak. Kesal karena Yusuf mengemudi seperti orang yang baru mendapat sim A. Tak peduli pada jalan berlobang atau rusak, ia tetap memacu dengan kecepatan tinggi. Mungkin lupa ia sedang membawa istrinya yang semempesona Aphrodite. Biarkan saja, toh jika wanita ini muntah, dia yang akan membersihkannya.

Lalu, di sinilah aku sekarang. Duduk sendiri di dalam mobil menunggu Yusuf memesan kamar untuk kami.

"Kata Syahrin sebaiknya kita tidur di hotel. Rumah Salim mungkin telah ramai mengingat besok adalah acara inti. Kamu bisa 'kan?"

"Hm." Aku masih malas bertukar kata dengannya.

"Masalanya, hotel di sekitar sini hanya ini. Dan, sialnya kamarnya tersisa satu. Aku ragu kamu sudi satu kamar denganku."

Ketidak beruntungan apa lagi ini!

"Jadi, bagaimana?" tanyanya.

"Apanya?" kesalku.

"Kamarnya tersisa satu."

"Ya, mau bagaimana lagi!"

"Jadi, kami mau?" ujarnya tak yakin.

"Hm."

"Oke, bentar. Aku check in dulu." Binar senang dari iris hitamnya, kemudian ia berlalu.

Setelah hampir sepuluh menit menunggu. Pria yang hari ini menggunakan t-shirt putih dipadu jaket kulit coklat dengan celana jeans hitam panjang itu mendekat.

"Ayo," katanya membukakanku pintu. "Tunggu sebentar. Aku angkat barang-barang kita."

Tak menggubris aku berjalan menjauh. "Kamar kita nomor lima lantai dua!" Serunya dari jauh yang sibuk mengeluarkan koperku dari bagasi.

Karena ini sudah larut, agak sulit untuk memindai sekeliling hotel. Aku hanya melihat sebuah masjid besar berdiri megah di depan hotel tempat kami akan menginap. Sebaris tulisan berbunyi Islamic Center tertangkap setelah kutajamkan indra penglihatan.

Aku menyusuri lorong menuju kamar yang disebutkan Yusuf tadi. Ternyata tidak terlalu jauh dari tangga. Berdiri di depan pintu menunggu pria tersebut aku memutuskan memeriksa ponsel.

Jika kuhitung sejak terakhir berkomunikasi dengan mas Sayhan, ini adalah hari kedua ia tak ada kabar. Jangan tanya rinduku sebesar apa.

Namun, saat kubuka aplikasi berwarna hijau gambar telpon itu, lagi aku menelan kecewa. Tak satupun pesan darinya. Bahkan terakhir ia membuka aplikasi itu ketika menjanjikan akan mendatangiku.

[ Assalamualaikum. ]
[ Melupakanku.....????? ]

Itu pesan yang kukirim. Jujur saja aku tak sabar mendengar penjelasannya.

Dua hari tak mendengar suaraku, kukira ia akan sakit kepala. Nyata, tidak. Ia justru balik tak memberi kabar.

Untuk pesanku barusan, jangankan dibalas. Di baca saja tidak. Itu terbukti dari centang dua yang tidak berubah warna menjadi biru.

"Ayo, masuk. Aku akan memesan makan untuk kita setelah menyusun ini." Yusuf muncul mengagetkan. Ia membuka pintu kamar dan meletakan koper kami di sudut ruangan dekat kamar mandi. "Lapar?"

Hebatnya aku, walau lelah, ternyata keras kepala dan harga diriku masih berdiri paling depan. "Tidak. Lagian lebih banyak mendapatkan bantuanmu hanya akan menyulitkanku di kemudian hari karena berhutang budi."

Ayo beri aku dua jempol untuk kalimatku barusan.

"Kamu kenapa? Pacarmu... oh, salah. Maksudku selingkuhanmu, tak memberi kabar?" sindirnya.

"Jangan kurang ajar!" Aku yakin ia mengintip pesanku tadi.

"Aku lelah. Nanti saja memuaskan dahaga bertengkarmu itu!" Ia akan berlalu meninggalkan aku. "Di atas meja ada air putih kalau-kalau kamu tak sabar." Kemudian ia menyeret langkahnya menjauh. Dan bantal yang menghantam pintu kamar adalah hadiah dariku untuk kalimatnya.

Setelah yakin Ayah Langit tidak akan muncul lagi, aku bergegas menuju kamar mandi. Kata bapak, mandi malam itu tidak sehat. Pori-pori kulit akan terbuka. Dan hal tersebut akan memudahkan penyakit datang. Tapi, abaikan pesan bapak untuk malam ini. Badanku terlalu lengket.

Lagi pula, mana mungkin aku percaya diri satu kamar dengan Yusuf tanpa mandi.

Jelas sekali alasanku menyetujui pernikahan terpaksa ini adalah untuk membuatnya mabuk kepayang dengan pahat maha karya sempurna pencipta di wajahku.

Rencananya, nanti aku akan menendang pergi dari hidupku saat pria itu telah terjerat pesonaku.

Aku paham, rencana ini sangat kejam. Namun, tak apa. Agar ia tahu bahwa dahulu dia pernah melakukan hal yang sama pada gadis yang seluruh darah dalam tubuhnya memuja suami penghianatnya.

Anggap saja aku sedang menuliskan karma buruk untuk Yusuf.

Mungkin jika ada yang tahu niatku ini, mereka akan menganggapku medusa di dunia nyata. Aku sih, tak masalah kalau itu yang orang pikirkan dengan rencana balas dendamku.

Tapi, dibandingkan medusa, agaknya kak Syahrin lebih senang mengataiku istri durhaka.

Dan entah mengapa, dua kata tersebut akhir-akhir ini menganggu pikiranku. Kejam memang kakakku Syahrin, membuat kepikiran saja.

Yusuf belum kembali padahal sudah setengah jam pergi membeli makan. Perutku sedari tadi nyeri minta di'isi. Untuk mengganjalnya sengaja kuteguk habis air mineral yang Yusuf letakkan di atas meja kecil sebelah ranjang.

Saat ia kembali nanti, semoga aku tak lupa untuk mencecar menantu kesayangan mamak karena membiarkan istri durhakanya kelaparan.

Nah, kan. Aku latah ikutan kak Syahrin. Mengatai diri dengan sebutan istri durhaka.

Detik berputar, menit berganti. Aku tidak begitu yakin pukul berapa Yusuf datang. Mataku benar-benar tak bisa diajak bekerjasama saat derit pintu terbuka.

Selanjutnya, derap langkah kaki mendekat, pintu yang menutup, bunyi kresek yang diletakkan, pintu yang kembali terbuka, kemudian kembali menutup, sungguh semua itu mengisi gendang telingaku. Anehnya mataku tetap saja tak bisa terbuka.

Lama... sampai kemudian wangi sabun mandi hotel terhidu indraku menyusul ranjang di sisi kiri bergerak menandakan seseorang membaringkan diri di sana.

Yusuf di sampingku, aku yakin itu. Namun... mataku amat sulit terbuka.

"Ini salah...aku tahu." Kurasakan sapuan jemari di kedua alisku. "Maaf aku menandaimu." Suara Yusuf melagu ditelingaku sebelum mimpi benar-benar membuai.

****
Β 

post-image-663c5a03158c4.jpeg

Kupelihara lukaku, agar aku tetap waras.
Bahwa....
Pernah mencintai kamu
Seberdarah ini.
_______________________

Drttttt...drttttt...drttttt....

Aku tersentak kala suara getaran dan nada dering HP yang sangat familar merambat di telinga.

Karena masih mengingat di mana semalam menaruhnya, tanganku dengan sigap terjulur menarik benda persegi panjang produksi negeri gingseng itu.

Hal pertama yang kutemui setelah menatap layar lima inci tersebut adalah gambarku bersama mas Sayhan ketika acara Family Gathering tahun lalu diadakan oleh perusahaan kami.

Pada permukaan layar berlapis tempered glass itu, telihat gambar mukaku yang tengah memejam mata dengan senyum lebar nan centil memamerkan gigi. Tak lupa menempelkan dua jari membentuk peace di pipi kiri. Sekitar lima meter di belakang mas Sayhan muncul memposisikan diri seolah sedang mencium pipi kananku.

Setahuku waktu itu, aku foto seorang diri, sehingga ketika kemudian mataku terbuka dan mendapati tangkapan camera, seketika aku mendelik kesal pada pria yang tebahak-bahak berlari menjauh.

Namun, alih-alih menghapusnya, aku justru menjadikannya wallpaper. Berita baiknya, mas Sayhan pun tak sungkan untuk menjadikan profil WA.

Hal kecil seperti inilah yang akhirnya membuat beku di hati pelan-pelan bisa menerima kehadirannya. Aku seperti dianggap dan diakui setelah sekian lama terkurung dalam cangkang kesendirian.

Hanya melihat gambar kami, dan tahu-tahu pipiku sudah menghangat karena efeknya. Aku merindukan pria itu, sungguh.

Saat mengedarkan pandangan, lalu menemukan suasana kamar berbeda dengan yang aku tempati beberpa hari belakangan ini. Aku seperti disiram bertandon-tandon air dingin. Mataku terbelalak dan refleks memeriksa seluruh tubuh. Tak puas dengan hasilnya, netraku kembali memindai keberadaan pria yang paling ingin kusingkirkan dari muka bumi.

Dalam temaram cahaya lampu, kudapati sosoknya sedang meringkuk beralaskan tilam kecil tepat di bawah ranjang. Spontan bibirku berdecak kala melihat ia masih menggunakan baju kemarin. Dasar, jorok!

Baiklah, aku masih berbaju. Dia juga sama. Aku di atas dan dia di bawah. Kami tidur di tempat berbeda, meski dalam ruangan yang sama. Maka, kusimpulkan semalam tak terjadi apapun. Kutarik napas lega juga ngeri, mimpi semalam terasa nyata.

"Auuuh..." Aku membanting tubuh bersembunyi di balik selimut kala pekik kesakitan Yusuf pecah di telinga.

Sambil mengintip dari dalam selimut, aku menahan napas tatkala sosoknya sempoyongan terduduk menatapku.

Sial, sewaktu terangun tadi daerah di bawah perutku sedikit nyeri. Kemungkinan tamu bulananku sebentar lagi akan datang. Karena nyeri itulah, aku terhuyung dan menginjak jari Yusuf.

"Jangan sembunyi. Aku mengenali kaki besarmu."

Kubuka selimut dengan kasar hingga dada, lalu memiringkan kepala menatap nyalang padanya.

"Apa? Minta morning kiss?" Tantangnya.

"Jangan kurang ajar!"

"Dulu kamu suka."

Aku mendengus tak ingin meladeninya. Masih terlalu pagi dan mood-ku akan buruk seharian jika terlanjur tersulut. Hari ini pernikahan keponakan mamak, aku tak ingin sepanjang hari memasang tampang masam di acara sakral tersebut.

"Kamu ingin salat?" Yusuf bertanya sewaktu melihatku membuka koper dan mengeluarkan mukenah.

"Hem." Kujawab sambil mengeluarkan sikat gigi dan pasta gigi yang katanya memiliki kandungan Mikro Kalsium aktif dan fluoride yang membantu agar gigi lebih kuat dan nafas lebih segar.

"Ling... itu, emm... anu..." Ia salah tingkah, mengusap belakang lehernya.

Aku menghentikan kegiatanku memilih baju yang akan aku pakai. Melirik malas ke arahnya, "Apa? Jangan kaya orang abis ketelan koin! Ngomong yang jelas."

Ia tak lagi mengusap lehernya tapi berganti menggaruk kepalanya. "Kamu... jangan lupa mandi wajib, yah."

Tanganku baru akan memilih celana dalam dari underwear pouch ketika kalimatnya terlempar. Kelopak mataku menyatu, untuk beberapa saat kubiarkan mata ini terpejam. Aku sedang berusaha mengolah emosiku yang sudah akan menyembur menjilat seseorang.

Setelah kurasa bisa mengendalikan hawa panas dalam dada, tajam netraku menghunus tepat pada titik tatapnya. " Sinting!"

"Kasar, Ling."

"Makhluk semacammu memang pantas dikasari!" Lalu tungkaiku bangkit dan berjalan menghentak-hentak lantai pualam.

"Ling! Aku serius dengan kataku. Semalam... aku mendengarmu menyebut nama seseorang dengan penuh hasrat." Ia tersenyum canggung dan dipaksakan. "Mungkin saja, kamu sedang bermimpi melakukan sesuatu, karena suaramu seperti dulu saat kita...." Demi apapun, aku tak mau mendengar kalimat Yusuf lagi. Jadi, kulangkahkan telapak kaki penuh percaya diri memasuki kamar mandi.

Setelah aku yakin pintu berwarna coklat dan bergagang putih yang aku masuki barusan benar-benar telah tertutup rapat dan terkunci. Tubuhku luruh bersama kedua telapak tangan menutupi wajah. Seakan darah berkumpul di mukaku, hanya panas yang terasa. Sumpah, aku sangat malu.

Aku mengingat-ingat lagi mimpi semalam. Anehnya, tak sepotong ingatan tentang mas Sayhan kudapati di sana. Nahasnya, justru pria yang baru saja melumuri seluruh mukaku dengan malu yang ketemukan menyeringai dalam ingatan.

Mungkinkah dia, yang namanya kusebut? Sekali lagi kuingat-ingat mimpiku. Dan umpatan paling kasar lolos dari bibir ini. Ingin rasanya aku tak hidup lagi.

Bagaimana mungkin aku bermimpi erotis dengan musuh bebuyutanku? Astaga, hendak kuhantamkan saja kepalaku pada bak mandi agar segera lupa ingatan. Mungkin lebih baik, agar aku masih punya muka untuk bertemu pandang dengan Yusuf nantinya.

Dan sekali lagi, iblis-iblis jahanam bersorai menang sambil tetawa terpingkal, kala kusibak gamisku dan mendapati cairan lengket di sana. Jantungku benar-benar berhenti berdetak untuk beberapa saat.

Mas Sayhan harus segera di desak agar secepatnya menikahiku. Lihatlah, lama tak tersentuh, iblis betina mesum yang membayangiku mulai mengepakkan sayapnya.

***

Isak tangis masih terdengar kala tante Dhuha istri dari saudara laki-laki tertua mamak mengelus sayang pundakku.

Sejak melihatku bersama Yusuf melangkah menaiki pelaminan tadi, ia lalu menghambur memelukku dan tangis kami pecah.

Detik berikutnya disinilah kami. Tante Dhuha menyeretku meninggalkan acara anaknya yang berada di samping rumah dan mengurungku di dalam kamar yang bersebelahan kamar pengantin. Lalu apalagi, tentu sudah pasti ia meminta penjelasan atas menghilangnya aku bertahun lamanya.

Aku menceritakan semua perjalanan hidupku, mulai dari pertama kali meninggalkan Redan hingga detik ini. Sambil mendengar kisahku wanita berusia lima puluh tahun itu tak hentinya tersedu sembari mengucap syukur karena aku telah kembali.

"Kami mencarimu, Sayang. Tapi rupanya kamu terlalu pandai bersembunyi." Aku berbaring meringkuk di pangkuannya dengan tangannya menepuk pelan kepalaku.

Aku mengiginkan perlakuan yang sama dari mamak. Sayangnya putra Yusuf telah merebut seluruh kasih sayang mamak untuk dirinya sendiri. Huh, dia itu kecil, tapi serakah seperti ibunya.

Walaupun tante Dhuha hanya istri dari om-ku, namun ia menyayangi kami anak-anak mamak dengan begitu besar. Mungkin, karena dia hanya memiliki satu anak, yaitu Salim sepupuku.

"Maaf tidak memberi kabar, tante."

"Seharusnya, saat kamu terluka dahulu. Kamu bisa ke sini. Ada kami keluargamu. Kamu pergi, lalu menghilang. Betapa merasa bersalah Om Taremang-mu sebagai adik laki-laki almarhum Bapakmu yang di titipi untuk menjaga kalian."

"Maaf." Hanya itu yang mampu bibir ucapkan.

"Sudahlah, toh kamu sudah kembali. Jangan pergi-pergi lagi."

Aku mengangguk dalam dia. Terlalu banyak menangis membuat kepalaku pusing. Belum lagi nyeri karena haid yang mungkin beberapq hari lagi akan datang.

Tepukan dan usapan lembut dari tante Dhuha hampir mengantarku ke alam mimpi jika saja pintu kamar tak keburu terbuka. Di ambang pintu, om yang paling aku segani berdiri menjulang.

Seketika tante Dhuha menghentikan tepukannya dan aku segera mengangkat tubuh untuk duduk. Tajam pria paruh baya itu menghujamku.

"Tinggalkan kami berdua!" Lebih dari kak Syahrin. Aku menjuluki kakak mamak yang satu ini dengan sebutan Sang Jendral. Ia adalah pria yang kata atau perintahnya haram disanggah, dipotong, apalagi ditolak.

Dengan berdirinya sang jendral tepat di depanku, maka sudah jelas ketukan palu hakim yang menyatakan aku bersalah dan pantas dihukum mati akan segera terdengar.

"Naik apa tadi?" Om sudirman menarik kursi berwarna putih berbentuk segi empat dari bawah meja rias. Bahkan, menyebut namanya dalam hati saja mengkelukan lidahku.

"Mobil, Om..." lirihku menunduk.

"Dengan Suamimu?" Mataku memejam. Aku benci Yusuf disebut suamiku.

"Dengan Suami, mu?" Sekali lagi om Sudi bertanya. Aku mengangguk pelan. Dari ekor mataku jelas kulihat ia tersenyum.

Huh, pakai pelet apa Yusuf, hingga semua orang menyukainya.

"Baik-baik padanya. Kalau bukan karena Suamimu itu, kita tidak akan melihat Mamakmu lagi." Pelan saja suara om Sudi. Akan tetapi efeknya bagiku, bagai cambukan petir menggelegar di telinga. Aku pias, yang tadinya tertunduk, kini tegak memandang om Sudi meminta penjelasan.

Beberapa menit, hening menjadi penengah kami.

"Om. Apa yang terjadi pada Mamak?" Tak tahan menunggunya bercerita, jadi kutanyakan saja.

Om Sudi menarik napas dalam dan menghembuskannya berlahan. Ia seperti tidak ingin mengingat kejadian itu. Dan aku, yang degub dadanya tak lagi normal setelah mendengar kalimat om Sudi tadi, masih setia menunggu ia memulai kata.

"Pessa adik perempuanku sungguh malang. Selama hidupnya ia bersahabat dengan kemiskinan. Di tinggal mati oleh suaminya. Lalu, salah satu anak perempuannya menghilang. Entah, ia pernah berbuat jahat apa selagi mudanya. Hingga tuhan memberinya hukuman teramat berat."

Sampai sini, aku tak bisa menahan isak. Tidak perduli lagi dengan gamis brokat berwarna toska pemberian mas Sayhan yang aku kenakan. Karena detik berikutnya sengaja kusapukan kain tersebut pada cairan bening yang keluar dari bagian hidung.

"Setahun kepergian suami dan anaknya, cobaan kembali mendera adikku itu." Sudut mata om Sudi tampak berair. "Tengah malam Min menghubungiku meminjam telepon tetangga. Katanya Pessa mengeluh sakit perut dan mereka membawanya ke rumah sakit. Dua hari dirawat tak ada perubahan. Lalu hari kelima kami seperti tertampar ribuan empedu saat dokter memberitahukan penyakit adikku itu... Gagal ginjal."

Demi apapun di dunia ini, aku memekik membekap mulut. Nyawaku seperti dicabut paksa tatkala satu kenyataan meninju ulu hati.

"Waktu itu, usahaku tak selancar sekarang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa seseorang membantu kami." Kembali om Sudi menarik napas dalam dan aku masih setia dengan tangis.

"Sawah warisan Bapak kalian baru saja gagal panen. Sedangkan kebun yang baru ditanami kelapa sawit tak menarik minat pembeli tanah. Kami putus asa, satu-satunya cara untuk menyelamatkan mamakmu hanya dengan cangkok ginjal. Hanya sebelah memang, tapi itu saja kami tak punya banyak uang." Akhirnya bulir bening dari sudut om Sudi jatuh. Cepat ia hapus dengan jempolnya.

"Om... a-aku mi... mi... min..ta... ma.." aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena isakan selalu saja menjeda.

"Aku belum selesai, Ling!" Serak suara om sudi memotong. "Ditengah kalutnya kami, seorang pria yang ditinggal pergi oleh istrinya datang memberi kami harapan. Ia mendonorkan sebelah ginjalnya dan membayar sisa biaya operasi yang tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah. Hatiku teriris, Ling. Pria yang tak punya hubungan apapun lagi dengan kami, karena istrinya pergi tak berkabar rela mengorbankan separuh hidupnya dan seluruh harta warisannya demi mertua yang anaknya saja meninggalkannya."

Baiklah, sepertinya om Sudi ingin aku menghabiskan air mataku di tanah beradat ini.

"Pessa bahkan meminta tak perlu di obati sangking malunya ia pada mantan menantunya itu." Om Sudi menarik napas berat. "Ling! Kamu, Aku, Mamakmu dan saudara-saudaramu berutang budi dan nyawa padanya." Setelah menyelesaikan kalimatnya om Sudi memilih membisu.

Lima belas menit berlalu dan hening menjadi pihak ketiga diantara kami. Walau pesta sangat meriah di luar sana, akan tetapi bisingnya tak sampai ke kamar ini. Mungkin ruangan ini kedap suara.

Kedatangan tante Dhuha yang memberitahukan bahwa salah satu pejabat daerah datang menghadiri pernikahan membuat om Sudi beranjak dari kursinya.

"Baik-baiklah pada suamimu. Pengorbanannya jauh lebih besar dari sakit yang dia toreh dulu." Om sudi dan tante Dhuha berlalu, menyisakan aku seorang diri.

Air mataku sepenuhnya kering. Hanya saja, nyeri di bagian rahim yang kurasa tadi pagi kini menyebar hingga buku-buku jari tangan dan kaki kala mengingat cerita om Sudi barusan.

Apa yang sudah aku lewatkan?

post-image-663c5a0318e9f.jpeg

Hingar bingar musik tak terdengar lagi, berganti lantunan murottal quran menggema di segala penjuru kota saling bersahutan.

Hari hampir senja dan sejak empat jam lalu mempelai telah meninggalkan pelaminan, menyisahkan tarub pengantin tak berpenghuni.

Meja dan kursi berlapis kain putih campuran coklat tempat bercengkrama serta menyantap sajian dari tuan rumah siang tadi belum berubah, tetap berjajar rapi, hanya saja tak ditemui lagi wajah-wajah turut berbahagia tamu undangan.

Pesta benar- benar telah usai, walau satu dua orang masih terlihat lalu lalang mengangkut wadah-wadah prasmanan yang sudah kosong.

Karena pagi tadi tante Dhuha mewanti agar kami tidak terburu-buru untuk kembali ke Redan, maka aku beserta menantu berlian mamak masih berada di kota yang memiliki icon macan dahan dan menempati salah satu kamar di rumahnya.

Aku tidak menolak, hanya saja berbeda dengan Yusuf. Dia memang tak mengatakan keberatannya, namun dari tangannya yang langsung menggaruk kepala ketika tante Dhuha mengutarakan permintaannya, aku tahu dia terpaksa menyetujui ide tersebut.

Alasannya tentu saja karena Langit tidak terbiasa berpisah lama dengannya. Aku bukan tidak tahu, tapi memang tidak ingin perduli. Malah aku senang karena Yusuf terlihat frustasi, sungguh sebuah hiburan bagiku.

Bukan bermaksud memupuk dendam dan menolak berhenti membenci Yusuf setelah om Sudi menceritakan perihal kejadian beberapa tahun lalu. Aku tidak menyangkal bahwa ada bagian dariku yang terharu mengetahui fakta bahwa setelah kepergianku, Yusuf tetap sudi membantu mamak.

Hanya saja, ini tidak sesederhana menangkap ludahan permintaan maafan lalu menelannya. Siapapun tahu bahwasanya mengepel bersih pekat yang sempat berkarat di dalam hati sangatlah sulit. Sebab, saat ini kita sedang berbicara tentang hati yang terluka sedemikian parah dan belum siap memaafkan.

Sekarang aku tahu kenapa kak Syahrin begitu membenci adik yang menjadi kesayangannya dahulu. Rupanya, aku berkepala batu ini telah berhasil menjadi anak durhaka dengan menendang mamak pada kehilangan demi kehilangan.

Tak cukup sampai di situ aku juga memberi tropi kerapuhan sebagai pelengkapnya dengan pergi dan menyembunyikan diri sekian tahun.

Disaat aku sedang menyia-nyiakan air mata meratapi nasib yang kukira mencurangi takdirku dengan sadisnya. Disaat yang sama kakak dan keluargaku dicambuk kalut perihal penyakit mamak yang singgah tak mengenal miskin dan kasihan.

Benar kata kak Syahrin, aku egois. Menamai diriku sendiri dengan derita, larut di dalamnya, kemudian meneguk rakus tiap tetes darah dari kesakitanku. Tak pernah ingin menoleh sebab merasa menjadi paling sial dipermainkan suratan pencipta.

Padahal, jauh di pelosok desa sana, ada wanita tua yang lebih menyedihkan. Mamak.

Kukira, lebam torehan Yusuf lah yang membuatku terhisab pusaran derita kesakitan. Nyatanya, tidak. Mamak segalaku setelah bapak. Jadi, mendengarnya terbaring lemah dan hampir berlari menyusul bapak dipangkuan-Nya membuatku dirajam perih mengiris jiwa. Demi langit dan bumi, aku sukses menjadi anak tak berguna lagi durjana.

Setelah fakta ini, aku berjanji tidak akan pernah mendebat kak Syahrin jika ia memprovokasiku.

Telah banyak warna lebam membiru yang kuwarnai di hari-hari lalu kakak-kakakku. Maka, kali ini tak masalah menjadi adik yang sedikit mengalah. Lagian, usiaku tak lagi remaja untuk memperjuangkan ego.

Sepeninggalan om Sudi dan tante Dhuha pagi tadi, aku kembali menangis. Sangat lama. Saking lamanya, kukira akan kehabisan air mata.

"Hey. Kamu kenapa?" Tepukan di pipi membuatku terbangun. Rupanya, setelah lelah menghambur-hamburkan air mata aku tertidur.

Aku mengerjap, menyesuaikan pendar lampu pada pupilku. Pria yang duduk menyamping pada pinggiran ranjang tersenyum tipis melihat tingkahku.

"Matamu bengkak."

"Kenapa tidak cerita?"

Ia mengernyit, "Om Sudi mengatakan sesuatu?"

Aku mengangguk.

"Tentang Langit?"

Aku menggeleng.

"Meylina?"

Aku kembali menggeleng.

Yusuf terlihat berpikir. "Mamak?"

Aku mengangguk.

Tarikan napasnya dalam. "Bukan apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Kejadiannya, sudah lama." katanya memberanikan diri mengelus pipiku.

"Kenapa menyembunyikan dariku?"

"Lalu, kamu akan memaafkanku setelah mengetahuinya?" Ia tersenyum, "tidak 'kan?" Masih mengelus pipiku.

"Aku bisa mengucapkan terimakasih." Jemariku bergerak menghentikan sapuan jarinya.

"Hm."

"Kenapa hanya 'hm'?" Aku tak suka reaksinya.

"Aku ingin maafmu, bukan ucapan terimakasih. Tapi, pria ini tahu diri. Khilafku dahulu masih bertagar. Kamu tidak akan mudah memaafkanku," senyumnya getir.

"Kalau begitu terima saja ucapan terimakasihku dan aku akan mengganti seluruh biaya yang pernah kamu keluarkan untuk Mamak."

Lama ia menatap. Menjauhkan jemarinya dari pipiku. Menggeleng sejenak, lantas senyum memaksa. "Aku tidak bisa...."

"Kalau begitu,izinkan aku menganti ginjalmu dengan ginjalku!" Aku rasa perlu mengutarakan hal itu. Yusuf memberikan satu ginjalnya pada mamak, sebagai anak aku jelas telah berhutang padanya. Ia tidak menginginkan uangku, berarti ia mau ginjalku.

Pusat atensinya menajam seketika. Rahangnya mengencang. "Angkuh! Keras kepala!"

"Aku hanya tak ingin kami berhutang padamu."

Yusuf mendengus tak suka, "Alingku yang dulu tidak sesombong kamu."

"Waktu sudah membunuhnya. Izinkan aku membayar kerugian yang kamu alami. Karena dengan cara itu aku tak akan dikejar budi balas padamu."

"Terserah padamu." Bertumpu pada kedua lutut Ia bangkit akan meninggalkanku.

Kutangkap lengannya sehingga ia sedikit terhuyung. "Jangan pergi, aku belum selesai."

"Apa lagi, Ling? Kamu tidak lelah bertengkar?" Ia melepas cekalan sambil menatap sinis.

"Siapa yang ingin bertengkar?" Kutarik ujung baju kausnya untuk menahan langkahnya. "Duduk. Kita perlu bicara." Aku bersila, menepuk sisi ruang kosong dihadapanku.

"Kalau kamu ingin bertengkar. Maaf kamu harus kecewa, aku tidak akan meladenimu!" Cekalan tanganku pada bajunya terlepas karena ia kembali melangkah.

"Keluar. Dan aku tak akan kembali ke Redan!" Ia bergeming. Hitungan detik Yusuf memutar tubuhnya.

"Apa maumu?"

"Bicara," ucapku enteng. Cerita om Sudi, membuatku tidak bersemangat lagi melanjutkan dendam yang telah kususun beberapa hari lalu.

Hanya ingin segera bebas dari ikatan pernikahan bersama Yusuf adalah tujuanku. Selagi kak Syahrin tak ada untuk mengintervensi keputusan kami. Aku jelas sangat perlu membicarakan nasib rumah tangga kami yang berlandasakan keterpaksaan dan alat balas dendam ini.

Enggan ia kembali mendekat dan menjatuhkan diri dihadapanku. Mengikutiku pria itu juga bersila. Sorotnya tajam namun bibirnya terkunci.

Kubenahi fasmina satin gold yang sedikit melorot sebelum kembali berbicara. Walau aku membencinya entah kenapa ditatap sedemikian tajam membuatku sedikit gugup. "Di kota aku memiliki kekasi...."

"Aku tahu. Kamu mengatakannya kemarin!" Potongnya cepat.

"Aku lupa!" Sial, sejak mengetahui fakta tentang mamak, aku mulai bingung harus bersikap bagaimana pada Yusuf. Satu sisi aku masih sangat membencinya, tak berkurang, masih sama seperti saat om Sudi belum bercerita. Namun, aku juga tak bisa menutup mata, bahwa dialah penolong yang dikirim tuhan untuk menjadi alasan mamak masih bernapas hingga detik ini.

"Sebenarnya aku kembali ke Redan karena ingin meminta restu Mamak, Kak Min, Kak Alfi, Kak Syahrin dan Kak Tera. Hanya saja kesalahapaham Kak Syahrin mengikat kita berdua. Tapi kita sama-sama tahu, ini tidak benar. Diantara kita rasa telah lama pergi. Pusat bahagiaku bukan kamu lagi, begitupun sebaliknya."

"Restu? Untuk?" Keningnya berkerut. Diantara banyak kata yang terhambur, sepertinya kata itu yang paling menarik perhatian.

"Menikah."

"Dengan? PIL-mu yang tak menghiraukanmu itu?" Alis Yusuf menukik sebelah. Air mukanya sangat menyebalkan. Ia seperti mengolok.

Sekarang aku yakin dia memang sempat melihat chat yang kukirim pada mas Sayhan kemarin di depan kamar hotel.

"PIL? Maksudnya?"

"Pria idaman lain! Apalagi?" Ia melirik sepersekian detik sebelum melempar pandang pada cermin yang memantulkan refleksi kami berdua.

"Namanya Mas Sayhan. Dia bukan pria idaman lain!" Aku tak suka penyebutannya kepada kekasihku.

Air mukanya datar. "Oh. Jadi namanya Sayhan? Bagus." Ia meronggoh HP dalam kantung celana dan berpura-pura sibuk mengetik sesuatu. "Tapi, kasihan dia." Segaris senyum kering tercetak di muka ayah Langit.

"Kasihan?" Giliran keningku mengkerut.

"Pacarnya sudah menjadi istri dan ibu dari orang lain." Datar saja suaranya. Tak ada nada mengejek, tak pula terkesan merendahkan, tapi yang sampai di telinga dan hatiku adalah ia seolah menampar dan mengkulitiku. Aku pias. Dadaku bergemuruh ingin marah.

"K-kamu jangan kurang ajar! Aku mencintainya dan akan menikah dengannya!" hardikku terbata. Dasar telunjukku tidak pernah diruqyah jadi tak tau besarnya dosa menunjuk suami.

"Kurang ajar bagaimana? Mau menikah bagaimana? Kamu sudah menikah! Kamu istriku? Kami tidak bisa menikah dengannya. Sejak ijab kabul aku ucapkan beberapa hari lalu, kamu bukan lagi menjadi kekasihnya tapi istriku! Lupakan dia, Ling. Aku tidak ridho kamu memikirkan pria lain! Sudah cukup kamu menduakan aku selama ini! Tidak lagi dan jangan lagi!" Yusuf menggenggam telunjukku kemudian membawa pada bibirnya. Aku tahu, hal itu ia lakukan untuk meredam emosi yang sempat berkobar di matanya.

Ada panas menjalari tubuh saat pria yang berstatus suamiku mengecupnya begitu dalam. Datar saja, seolah tak terpengaruh oleh kata-kataku yang menyulut cemburu sebagai suami. Justru aku yang terpental kenyataan dan nyeri hati saat kalimatnya selesai.

Aku mencintai mas Sayhan dan justru masih sangat membenci Yusuf terlepas ia telah membantu mamak.

Hanya saja, saat ini aku sedikit didera sedikit khawatir. Takut dengan perkataan orang-orang, yang mengatakan bahwa sekat antara cinta dan benci itu sangat tipis. Demi apapun, aku takut jika ternyata rasa benci tak terlukis yang tumbuh subur di hatiku rupanya hanya kamuflase dari rasa cinta besarku yang kukira telah mati.

"Lepas!" Sentakku

Ia mendegus, "Biarkan seperti, Ling! Senangkan suamimu sedikit saja."

"Asal tahu saja, aku berniat bercerai denganmu setelah beberapa bulan." Ya, aku sudah memikirkannya beberapa hari lalu. Niatku untuk bersama mas Sayhan tak bisa dihalangi. Dengan atau tanpa restu mamak dan saudara-saudaraku.

Aku masih berusaha melepas genggaman Yusuf kala suaranya kembali terdengar, "Kamu itu dewiku." Yusuf menautkan jari-jarinya di sela-sela ditelapakku. "Mendiami seluruh tempat di dalam sini, tidak pernah tergeser orang lain. Jangan berniat menjauh lagi dariku. Itu sangat menyakitiku" sorot terluka dan tepukan lembut di dada kananya ingin menyakinkan. Hah! Jika tidak kujunjung sepuncak himalaya sopan santun dan etikaku, maka sudah pasti diri ini meludah mendengar perkataannya.

"Apa kabar Meylina?" Perlu menyadarkan dia dari amnesia akutnya, jadi kutanyakan saja berita wanita itu. Omong kosong tentang uangkapan cintanya. Dulu saja, jelas-jelas seluruh hatiku tumpah padanya. Tapi dengan tega ia membendung dan meneteskan tuba di atasnya.

Pria dihadapanku tersenyum sambil mengurai jalinan jemari kami. "Dia sehat. Sebentar lagi anak ketiga akan dilahirkannya." Matanya berbinar. "Hm... nanti kamu mau 'kan menemaniku menungguinya?"

Apa tadi katanya?

Anak ketiga?

Anak ketiga siapa?

Dia dan wanita itu? Itukah maksudnya?

Oh, astaga! Sumpah mati aku terkejut. Mataku membola. Hampir saja memekik seandainya tak cepat telapakku membekap mulut. Refleks tanganku mendorongnya menjauh.

Selamat Aling. Kamu berhasil menjadi pelakor bagi pelakor yang merebut suamimu dahulu.

Tuhanku! Takdir apa ini?

***

Sudah tiga hari kami berada di kota yang memiliki rumah adat lamin. Walau aku masih mendiamkan Yusuf tapi aku tidak bisa menolak ajakan om Sudi untuk mengunjungi tempat wisata kota ini.

Jadi selama mengikuti tur dadakan keluarga itu bibirku tetap terkunci. Hanya berbicara banyak pada tante Dhuha. Sedang pada Yusuf? Ih, amit-amit.

Dan dari banyak tempat yang kami datangi, aku paling menyukai air terjun yang oleh warga setempat di namakan jantur inar. Air terjunnya lumayan tinggi dengan dikelilingi bebatuan cadas juga hijau hutan. Sangat indah.

Nanti setelah menikah, kurekomendasikan saja kutai barat sebagai tempat bulan madu kepada mas SΓ yhan. Segalanya di sini masih asri. Adat budaya dijunjung tinggi. Menghargai alam melebihi penduduk wilayah lain menghargai tanahnya. Hutan lebat hijau dan seluas mata memandang. Seperti menemukan obat mata setelah sekian lama berkecimpung dengan padat pemukiman kota samarinda.

Hari ini kami memutuskan untuk meninggalkan kabupaten berjulakan purai ngariman . Sedari tadi aku sudah berkemas, tinggal menunggu Yusuf selesai membersihkan diri.

"Siap?" Yusuf muncul dari balik pintu kamar mandi ruang tamu. Sambil bersiul-siul kecil ia menghampiri lemari kaca, di mana pakaian kami disusun oleh asisten rumah tangga om Sudi atas perintah tante Dhuha.

"Pakai bajumu sebelum keluar ruangan!" Aku mendelik kesal padanya. Ia tidak menjawab, hanya bahu yang menggendik tanda tak perduli.

"Kubilang, lain kali pakai pakaianmu sebelum keluar ruangan!" Perlu aku menegaskan hal itu. Mengingat iblis betina mesum dalam diriku masih belum puas menggoda. Bayangkan, sudah tiga hari aku tidur satu ruangan bersama Yusuf dan tiga hari pula aku memimpikan hal yang tidak-tidak dengannya. Dan kesalnya setiap pagi kutemui jejak dari mimpi erotis itu.

"Kenapa, tubuhku mempengaruhimu?" Pria itu menjawab tanpa repot menoleh padaku. Ia sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk putih kecil.

"Berharap, heh?" Sinisku. Maaf saja, tubuh liatnya itu sama sekali bukan tipeku. Mas Sayhan walaupun tidak berpenampilan sejantan dia tapi aku suka.

Pria kantoran lebih menarik bagiku dibandingkan pria dengan keseharian bergelut bersama oli dan toolbox alat berat.

Lehernya mengarahku. Cukup lama, lalu tersenyum sinis tak menanghapiku. Sumpah mati, aku benci melihat senyumnya itu. Semakin jijik dan dongkol setelah tahu bahwa statusku kini sebagi istri keduanya. Seumur hidup tidak pernah ada dalam bayanganku sedikitpun akan menjadi madu bagi wanita yang dahulu merusak rumah tanggaku.

"Terkutuk kamu Yusuf!" Tak tanggung-tanggung aku melempar botol hand and body lotion ke arah kepalanya. Kurang ajar sekali dia, bisa-bisanya melepaskan handuk yang terlilit di pinggangnya tepat di depan mataku.

"Apa sih, Ling! Sakit kepalaku ini." Ia memicing padaku.

"Tata kramamu. Ke mana?" Sengitku tak mau kalah mendelik padanya lalu meninggalkan dia yang tertawa nyaring sendirian. Menjauh darinya pilihan tepat untuk tetap waras.

Setelah sarapan dan bincang sejenak kami berpamitan. Derai air mata dariku dan tante Dhuha menjadi drama pagi ini. Aku sedih karena tidak tahu kapan lagi akan bertemu dengannya. Mengingat nanti aku akan meminta cerai dari Yusuf, jelas, setelah itu aku tak punya nyali untuk menghadapi om Sudi.

Setelah berpamitan Yusuf melarikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Sengaja kuminum tablet anti mabuk agar sepanjang perjalanan aku hanya tertidur.

Aku sangat kesal memikirkan tentang statusku sebagai istri kedua Yusuf. Astaga, bodohnya aku, godaan balas dendam yang kuat membuat pikiran dan otak mati. Bisa-bisanya aku tak memikirkan kemungkinan bahwa Yusuf tak mungkin berpisah dengan Meylina mengingat bagaimana dia mempertahankan wanita itu dan memilih mengorbankan aku dan rumah tangga kami.

Dan pemikiran-pemikiran itu menjadi pengantar tidurku dalam perjalanan kali ini. Aku sangat pulas.

Guncangan mobil manakala memasuki desa Redan menyadarkan aku dari efek obat mabuk. Kulirik jam di pergelangan, sudah pukul setengah sebelas malam. Satu belokan lagi dan kami akan sampai di rumah mamak.

Lalu, saat mobil yang dikendarai Yusuf memasuki halaman rumah. Napasku seperti habis dan detak jantungku berhenti. Aku ingin waktu berhenti beberapa menit saja, agar siap menghadapi ini. Pias, kata paling tepat untuk penggambaran mukaku saat ini.

Gemetar tangan membuka handle mobil. Karena seperti tak bertenaga pintunya tak kunjung terbuka.

"Ling? Kenapa? Sini kubantu." Yusuf mencondongkan tubuhnya membantuku.

Bibirku kelu hanya sekedar untuk menolak. Jadi kubiarkan saja.

Terbata kaki kuseret mendekati teras dengan Yusuf menyusul di belakang.

Lalu....

Suara itu....

"Assalamualaikum, Prim rose-ku. Aku rindu." Ia melangkah menyambutku.

"M-Mas Sayhan?"

post-image-663c5a0316d2b.jpeg

Beberapa dari kita tidak terkecuali aku, berpikir tuhan itu maha baik dari segala yang maha baik. Jadi, ketika menginginkan sesuatu, angkat saja tanganmu lalu panjatkan doa, maka pintamu akan terwujud tidak peduli senista apa tujuanmu. Namun ada hal yang kita atau aku lupa, adalah bahwa tuhan hanya mengabulkan doa hati yang tulus, doa hati yang baik dan doa yang mengandung kebaikan.

Aku tidak mengatakan jika doa yang aku luncurkan kelangit minggu lalu adalah doa yang buruk. Demi tuhan itu harapan penuh kebaikan. Aku sungguh ingin ia ada di sini meminta restu mamak dan kakak-kakakku. Hanya saja, aku salah memaknai sebuah pengharapan, karena keinginanku agar mas Sayhan muncul rupanya adalah niat jahat terselubung untuk meginjak harga diri Yusuf.

Sungguh tuhan maha penggabul. Lihat saja, asa burukku bahkan terwujud, walau tak tepat waktu. Dan inilah harinya di mana yang seharusnya terjadi minggu lalu justru kejadian malam ini. Mas-ku itu melangkah percaya diri bersama senyum mautnya menyongsongku.

"Hai prim rose-ku." Berdiri dua langkah dariku. Menundukkan kepala menyamakan tinggi badan kami. "Tetap cantik." Senyum itu, Allah. Demi apa, pipiku memerah. Setengah hidup aku menahan buncah bahagia di sanubari. Tanpa sadar setetes bening lolos dari mataku.

"Hei...hei... jangan nangis." Mas Sayhan mendekat lalu mengusap cairan bening di mataku. "Maaf, baru datang. Memaafkanku?" Aku mengangguk. Ia lagi-lagi tersenyum. "Kenapa Alingku kurusan?" Netranya memindai tubuhku dari kepala hingga kaki.

"Ajak temanmu masuk, Ling!" Kak Syahrin bersuara saat melihat mas Sayhan akan mengelus kepalaku.

Demi Zeus yang menelan Metis istrinya sendiri, kilat mata kak Syahrin ketika menatapku sudah setajam trident, senjata milik Poseidon.

Mengikuti perintah kak Syahrin aku mempersilahkan mas Sayhan masuk kedalam rumah. Ia duduk bersama kak Syahrin yang malam ini menggunakan atasan kaus putih dengan bawahan sarung gajah duduk selagi aku ke dapur membuat teh.

Rumah telah sepi, mungkin karena ini sudah hampir jam sebelas. Diruang keluarga hanya kutemui kak Tera yang masih menonton TV. Melihatku datang ia langsung menarik untuk duduk di dekatnya.

"Apa sih, Kak? Aku mau buat minum ini," delikku kesal. Entahlah, mengetahui ia juga berada di kubu Yusuf membuatku hilang sungkan.

"Siapa?" Dagunya terangkat mengarah ruang tamu.

"Teman."

"Spesial?" Ia memilin ujung bantal di pangkuannya.

"Hm."

"Lalu Yusuf?" Tanyanya sarat ketidaksukaan. Halah, Yusuf lagi, Yusuf lagi! Mataku memutar bosan.

"Kalau aku bosan. Kukembalikan ia pada istrinya!" Bangkit menjauhi kakakku dengan mulut terbukanya karena kaget.

"Ling, jangan aneh-aneh!" Ia setengah berteriak.

"Terserah!"

Masih sempat kudengar panggilan frustasi kakakku itu, tapi segaja kutulikan telinga. Lihatlah, betapa jahat aku, benciku pada Yusuf merembet pada kakak-kakakku. Parahnya setelah melihat mas Sayhan, seakan lupa pada jasa Yusuf yang kini berginjal satu demi mamak, aku malah terpikir untuk membalas lakunya dahulu.

Aku membuat tiga gelas teh dalam gelas cangkir polos berwarna putih. Untukku, untuk mas Sayhan dan untuk kak Syahrin. Tapi, aku akan sangat bersyukur jika kakak laki-lakiku itu sudi hati meninggalkan kami berdua. Mas Sayhan butuh menjelaskan banyak hal dan aku tak ingin kehadiran kak Syahrin diantara kami.

"Panggil Yusuf menemanimu berbincang dengan temanmu." Tajam tatap kak Syahrin memerintah. Aku sampai jengah dibuatnya. Mas Sayhan yang akan memyesap teh di cangkirnya sampai mengerutkan kening melihat ekspresiku.

"Tak perlu, Kak. Kami hanya akan mengobrol sebentar. Ya kan, Mas?" Pupilku lurus menatap kelopak sendu penggenggam hatiku berharap ia mengangguk. Tapi, aku keliru, pria ini terlalu lurus, mana mau ia di cap pria tak sopan oleh calon keluarganya.

"Jangan. Biarkan ada yang menemani kita," senyumnya menatap kak Syahrin.

Aku tidak tahu apa yang mereka obrolkan setelah diriku meninggalkan mereka berdua tadi. Yang aku dapati setelah dari dapur adalah ekspresi tidak suka kak Syahrin.

Jelas saja, dia adalah mak comblang aku dan Yusuf, mana mungkin dia rela kandidatnya memiliki saingan.

Bertumpu pada bahu sofa kakak ketigaku bangkit dari duduk. Membenarkan gulungan sarungnya di pinggang ia berkata, " Kamu di sini. Biar aku yang panggil Yusuf." Lalu ia berlalu.

Alunan gemericik air dari selokan di depan rumah terperangkap indra pendengar. Juga, sedari tadi lambang kekuatan Gundala putra petir menyambar penjuru bumi. Mungkin sebentar lagi hujan akan mengguyur Redan.

Sudah lima menit berlalu kali terakhir kak Syahrin mengangkat kaki, akan tetapi antara aku dan mas Sayhan masih saja saling melipat bibir, mengigit kalimat agar tak menggema. Setiap kata yang sebelumnya terakit panjang dan akan aku amukkan pada atasanku di kantor itu, kini lenyap di bawa kilat kala pendarnya menerangi halaman rumah. Aku kikuk di bawah tatap tajam nan sendu milik mas Sayhan.

Cukup saling berpandang, kami seakan menumpahkan rindu. Sekarang aku percaya pada penyair dengan mengatakan bahwa 'jarak adalah pujangga yang paling merindu dan sua adalah puisi yang paling dinanti'. Karena faktanya, aku sangat merindukan si mata sendu ini setelah sekian hari temu menjauhi kami.

Lumayan lama aku dan pria berperawakan kurus tinggi itu saling memuja melalui mata, sampai salah satu dari kami memutus kontak. Bukan aku, melainkan mas Sayhan.

Kini, netra mas Sayhan tak lagi fokus padaku, melainkan berkeliling menjelajah suluruh ruangan dengan cangkir teh menggantung di tangan. Lalu pusat atensinya jatuh pada bingkai besar di atas kepalaku.

Aku mengigit bibir bawah kala melihat bibir mas Sayhan menyentuh permukaan gelas dengan lembut, menyesap isinya lalu jakunnya bergerak naik turun, seolah memanggilku untuk membelainya. Astagfirullah, apa mungkin jin betina mesum yang selalu menggodaku di kutai barat kemarin ikut terbawa pulang?

"Mas Sayhan," panggilku. Ada letupan-letupan kecil dalam dada sewaktu aku menyebut namanya.

"Hm," ia menoleh sebentar menaikkan kedua alis sebelum kembali khidmat pada piguran yang menampilkan foto keluarga tanpa diriku. Sedikit kecewa ketika dia lebih memilih menatap potret keluargaku dibandingkan diriku yang masih saja merindu, walau raganya kini dapat kudekap.

"Kenapa Mas tidak mengabariku?" Aku berusaha menarik perhatiannya dengan mendegus kesal.

Ia tersenyum, "Kejutan." Hanya itu, dan kembali fokus dengan benda di atas kepalaku.

"Empat pria dan wanita dewasa di sana hampir mirip denganmu. Tapi pria yang memangku anak lelaki yang mirip dengannya, tak mirip denganmu?" Ia menunjuk Yusuf dan Langit.

Pipiku serasa ditampar ruyi jingu bang, tongkat sakti milik Song Go Kong, pias. Apa yang harus aku katakan pada mas Sayhan. 'Itu mantan suamiku', begitu? Aduh, maaf saja, seluruh tetes darahku tak mengizinkan untaian kata itu muntah dari rongga mulutku.

"Itu tidak penting. Sekarang, Mas jelaskan kenapa baru muncul?" Kupasang wajah kesal, agar ia tahu aku merana menunggunya.

Dia tersenyum jenaka, atensinya kembali fokus padaku. "Kangen, yah?" Godanya. "Ternyata jalan menuju ke sini lumayan jauh yah, Ling. Apalagi jalan masuk ke kampung ini, Subhanallah, bikin nyebut berulang kali. Untung aja, prim rose-ku yang punya kampung," kekehnya pecah di akhir kata.

"Aku melewatinya setiap hari, bahkan bisa berkali-kali. Tapi, aku selalu memuja kampung ini. Terlepas dari betapa indahannya desa Redan, ada wanita yang teramat kucinta lahir dan besar di sini." Ayah Langit tiba-tiba muncul dan mengambil posisi duduk di sebelahku.

Tuhan, bisa tidak Yusuf engkau hilangkan saja. Dia penghancur mood paling sukses manakala aku sedang bahagia.

Lagian, apa katanya tadi? Wanita yang paling dicintai? Hampir saja teh yang kuseruput menyembur di wajah tampan mas Sayhan. Aku geli, pipiku berkedut menahan tawa. Dia benar-benar pendusta yang hebat. Mana ada pria mencintai wanitanya tapi di pertengahan jalan malah mencurangi dengan begitu keji. Astaga, mungkin cuma Yusuf orangnya.

"Hai, Mas. Kenalin, saya Sayhan. Teman dekat prim... maaf, Aling maksud saya," Mas Sayhan mengulurkan tangan lengkap dengan senyum manisnya. Ah, priaku itu, dia pikir dengan menghadiahkan suami Meylina senyum, pria itu bakal luluh menerimanya sebagai adik ipar. Mas Sayhan tak tahu saja, kalau pria yang kini mengeraskan rahang itu bukan kakak dari kekasihnya, melainkan suami. Jika tahu, bisa saja seluruh merah dalam nadinya berlari meninggalkan jasad.

"Yusuf!" Singkat, padat, jelas dan terlihat kurang ajar. Uluran tangan mas Sayhan tak di jabatnya, ia malah bersedekap memandang sangat tajam pria di hadapannya. Gatal sekali aku ingin menggaruk muka itu dengan garu. Biar rata sekalian muka menyebalkannya.

"Maaf, Mas Yusuf, saya mengganggu waktu tidur, Masnya. Ada yang ingin saya jelaskan pada Aling. Dan sepertinya dia tidak sabar menanti hingga esok hari." Luar biasanya pria ini, sempat-sempatnya ia meminta maaf pada Yusuf.

"Yusuf. Hilangkan 'Mas-nya'. Dan silahkan berbicara. Aku akan pura-pura tak mendengar." Hah, maunya aku tertawa terpingkal atas idenya. Pura-pura tak mendengar? Emangnya dia tuli apa. Pergi ajalah kalau bisa, cuma merusak suasana romantis kami, sungutku dalam hati.

Sekali lagi bibir mas Sayhan tertarik membentuk bulan sabit di atas belukar tipis pada dagunya. Dan hal tersebut berhasil merudupkan bara berkilat dalam dadaku melihat tingkah Yusuf barusan. "Prim rose-ku, kamu siap mendengarku?" Aku belum mengangguk ketika Yusuf pura-pura terbatuk dan aku benci karena dia seolah menertawakan panggilan mas Sayhan padaku.

Sebagai bentuk ketidaksukaanku akan reaksinya maka kuberikan saja dia lirikan nafsu membunuh. Kemudian ayah Langit itu, dengan tampang yang sengaja dibuat blo'on bertanya melalui kerut keningnya ' aku salah apa?' Allahuakbar, panjangkan sabarku.

Mas Sayhan tidak terlalu memperdulikan Yusuf yang notabene dikira kakakku. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana coklat muda yang ia kenakan. Mengusap layar kemudian menekan permukaan layar untuk memasukan sandi.

"Nenek meninggal, Ling." Ia memperlihatkan gambar kuburan baru. Mendung bergelayut di wajahnya. "Hari di mana aku harus menemuimu," senyumnya getir. Aku memajukan badan menggapai jemari mas Sayhan. Berharap genggamanku memberitahunya bahwa aku ikut berduka.

"Kenapa tidak memberitahuku?" Kueratkan remasan pada punggung tangannya.

"Ingin. Tapi hari itu aku langsung menuju Long Apari setelah menumpang pesawat dari Samarinda ke Sendawar. Kamu tahukan perjalanan tidak hanya sampai di situ. Setelah sampai di bandara Melalan aku harus menumpang travel menuju pelabuhan tering kemudian menggunakan speedboat untuk sampai di kampung nenek. Dan sangat larut malam waktu itu. Tidak beruntungnya aku, karena lupa mengabarimu ketika menemukan jaringan. Aku baru ingat ketika telah di rumah nenek dan tidak ada jaringan samasekali." Kelopakku melebar kala mendengar penjelasan mas Sayhan. Memang jika belum berjodoh, satu tempat pun keberadaan, tetap tak akan bertemu. Jika waktu itu mas Sayhan menghubungiku, maka jelas aku dengan senang hati akan menemaninya. "Jadi kamu sudah tahukan alasan ketidakdatanganku? Tolong maafkan aku, yah." Ia balik menggenggam tanganku.

"Aku senang Mas sekarang ada di sini," kataku menatap netranya.

Mas Sayhan mengangkat tanganya untuk mengusap kepalaku di balik jilbab. "Mas juga."

"Khm... Sudah larut, besok saja kalian lanjutkan dramanya. Tunjukkan kamar tamu untuk temanmu." Tanpa menunggu balasanku Yusuf berlalu. Astaga, kami lupa keberadaanya. dia cemburu, aku tahu itu. Sedari awal rahang menantu mamak mengeras, juga tajam matanya menusuk jalinan tangan antara aku dan mas Sayhan.

Bukan salahku, siapa suruh nekat menunggui pasangan yang sedang melepas rindu.

****

Sejak satu jam lalu angin bertiup kencang. Gesekan pelepah kelapa di atas rumah, riuh di tengah hening. Sesekali guntur menggeleggar tak tinggal diam. Rintik langit satu persatu mulai terdengar pelan. Saat bibirku terbuka untuk membom bordir sosok yang sedang berbaring santai memainkan benda persegi empat di hadapan wajahnya. Saat itu juga jutaan titik air memukul keras asbes di atas kepalaku.

Beberapa kali aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan segala perasaan tertekan.

Bagaimana bisa dia memilih kamar yang sama denganku untuk menghabiskan malam ini. Di mana otaknya.

Belum lagi kesalku semakin bertambah saat mengingat kejadian sewaktu kami memasuki teras rumah. Di tengah tegang menghadapi kemunculan mas Sayhan yang tiba-tiba. Pria itu membisikkan kata nan syahdu, namun berhasil membakar telinga hingga wajahku.

"Andai tidak lelah, sudah tentu aku menemani istriku menjamu kekasihnya. Satu hal... jangan memberinya besar harapan. Lambat laun, dia akan tahu status kita. Aku takut hatinya berdarah-darah." Begitu bisikan Yusuf padaku kala langkah lelaki masa depanku kian mendekat.

Ratusan kali sudah kuucap kalimat istighfar. Ah, mungkin tak hanya ratusan kali, bisa jadi ribuan kali, mengingat tiap tarikan napas untuk menangkap oksigen selalu terselip kalimat permohonan ampun pada Rabb-ku. Namun rupanya membunuh rasa terbakar dalam dada tidaklah mudah, apalagi saat mengingat betapa antusiasnya mas Sayhan mengulurkan tangan memperkenalkan diri pada ayah Langit, tapi dia dengan congkak berlalu tanpa melirik sedikitpun pada priaku. Astaga, semoga kak Syahrin tidak semakin membenciku sebab debu ditiup angin hormatku bagi ipar tersayangnya.

"Jangan menatapku begitu. Aku takut badanku terbelah dua." Ia mengalihkan pandangan dari ponsel. Hanya sekilas.

"Siapa yang mengizinkanmu tidur di sini!" Kedua kelopakku menutup berusaha meredam dentam amarah yang sedari tadi memukul-mukul.

Tangan kekar dengan urat-urat sedikit menonjol itu berhenti bergerak di atas benda bercahaya dalam genggamannya. Terlihat berpikir, lalu tersenyum sangat manis. " Ok, aku akan tidur bersama kekasihmu." Ia bergerak bangkit. "Jangan salahkan bibirku. Seminggu menghabiskan waktu bersama di kamar yang sama. sedikit banyak tertular bisa jahat lidahmu. Hanya sedikit khawatir kalau racun pada ujung indra pengecap akhirnya menceritakan tentang pernikahanku minggu lalu." Ia sudah memegang handle pintu. "Pernikahanku bersama wanita keras kepala yang telah kembali dari pelarian konyolnya, mungkin." Ada getar marah dalam nadanya.

"Brengsek! Kamu mengancamku, iya? Apa maumu!" Mataku hampir melompat dari tempatnya karena geram. Tidak kuhiraukan daun jendela yang berdebum menghantam kusen berwarna merah marun akibat tiupan angin. Aku lupa menguncinya tadi.

"Ssttt...jangan berteriak. Kamu tidak ingin dia jantungan karena tahu kita tidur sekamar, kan?" Ayah dari bocah bernama Langit tersebut menempelkan telunjuk pada bibirku. Kemudian menggeleng. "Jangan ulangi lagi. Memanggilku brengsek. Demi Allah dosanya besar, Ling."

Hawa dingin merambat masuk dalam kamar karena kali ini jendela benar-benar terbuka lebar. Anehnya, dinginnya menjalar sampai hatiku. Kesal yang tadinya menyala sampai ubun-ubun seketika padam. Berganti malu bak tertampar keras di bagian wajah.

Apa iya, aku berdosa padanya?

***

Aku bergerak pelan, sebisa mungkin jangan menarik perhatian pria di samping yang memunggunggiku. Dia seolah merajuk dan aku tak tahu apa salahku. Teruskan saja merapatkan bibir agar tidak perlu mendengar suaranya, kalau bisa sampai aku meninggalkan desa ini bersama mas Sayhan.

"Ling." Yusuf tiba-tiba berbalik menghadapku. Membuat kaget saja.

"Hm."

"Apa yang membuatmu tetap tinggal di sini?" Ia bangun duduk bersila.

"Tidak ada!" Aku membenarkan kuncup jilbabku yang terlalu ke depan. Sejujurnya aku gerah memakai jilbab saat di dalam kamar, tapi mau bagaimana lagi, Yusuf mengancamku jika tak mengizinkan tidur di sini.

Kilat matanya terluka. "Kalau aku mengatakan satu kebenaran?"

"Aku tetap tak akan tinggal!"

"Walau yang aku katakan beberapa hari lalu adalah benar?"

Keningku berkerut mencoba mengingat hal penting apa saja yang pernah dia katakan. "Semua yang keluar dari mulutmu adalah kebohongan!" ketusku.

"Bagaimana kalau memang benar, dalam tubuh seseorang mengalir darah kita berdua?"

"Aku tidak akan percaya."

"Langit anak kita!"

"Anakmu. Bukan anakku! Berhenti membuat omong kosong untuk menahanku. Lusa aku akan pergi bersama mas Sayhan."

Cekalan tangannya sakit dipergelangan tanganku. "Demi Allah, Ling. Demi Muhammad Rasulku. Demi Al-Qur'an kitabku. Langit anak kita. Anak yang lahir dari rahimmu. Kumohon, kumohon, kumohon... deminya, jangan tinggalkan kami lagi."

Hah, aku benci guntur, terlebih malam ini. Kenapa ia menyambar sampai ke hatiku?

Yusuf pasti bohong, iya'kan?

Β 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Anyelir Kuning
Selanjutnya ANYELIR KUNING ~Part 24-28
3
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan