
Sadewa dipaksa ibunya untuk menikahi Gemi Nastiti, gadis desa yang bertampang biasa dan sederhana. Sementara di ibu kota, lelaki itu sudah memiliki seorang kekasih nan cantik jelita bernama Devita.
Ternyata, Sadewa sudah menikah siri dengan Devita. Gemi hanya dianggap sebagai ART di rumah suaminya. Karena ingin menjadi istri yang berbakti dan perasaan cintanya, ia sanggup bertahan meski sering merasa cemburu dan sakit hati diabaikan suaminya.
Mampukah Gemi bersaing dengan Devita untuk merebut cinta dan perhatian dari suaminya?
Istri Pilihan Ibu Bab 1-10 gratis
Bab 1 Permintaan Terakhir Ibu
"Dewa, Ibu mohon menikahlah dengan Gemi!"
Sadewa terperangah tak percaya mendengar permintaan ibunya. "Aku tidak mau, Bu!" Sadewa menolak dengan tegas.
Wajah kekasih hati yang berada di ibu kota melintas dalam benaknya.
Ia tak ingin mengkhianati gadis kota nan cantik jelita yang sudah menjadi tambatan hatinya.
"Umur Ibu tidak lama lagi, Nak. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir Ibu," bujuk sang Ibu dengan tatapan memohon kepada putra tunggalnya.
Sadewa memandangi perempuan paruh baya yang tengah berbaring lemah. Ia menghela napas. "Kenapa harus Gemi, Bu?"
Sadewa protes. Bayangan seorang gadis bertubuh pendek dan gemuk dengan wajah kusam penuh jerawat melintas dalam pikirannya. Ia pun menggeleng.
Pria tampan itu merasa keberatan. Ia sama sekali tidak tertarik dengan gadis desa pilihan sang Ibu. Karena sepotong hatinya sudah dimiliki gadis kota yang sangat dicintainya saat ini.
Devita Faradiba memiliki postur tubuh proporsional, tinggi semampai dan langsing. Kulit wajahnya putih bersih dan glowing. Paras cantiknya membuat banyak lelaki tergila-gila kepadanya.
Lelaki mana yang tidak berhasrat ingin memiliki gadis semenarik itu? Tak terkecuali Sadewa, yang hanya seorang pemuda dari desa yang merantau ke Jakarta itu merasa paling beruntung bisa memiliki Devita.
Sementara Gemi Nastiti, wanita pilihan sang Ibu penampilannya sangat jauh berbeda dengan Devita, bagaikan bumi dan langit. Kulit Gemi sawo kematangan cenderung gelap. Maklum dari kecil gadis lugu itu sering ikut neneknya menanam padi di sawah. Jadi sering terpanggang sinar matahari.
Gemi memiliki tubuh pendek dan gemuk. Hingga saat bersekolah ia kerap di-bully dan dipanggil dengan julukan "buntelan".
Bukan hanya postur tubuhnya saja yang membuat Gemi merasa rendah diri. Raut mukanya pun biasa saja, tidak bisa dibanggakan. Kulit wajahnya cokelat tua cenderung gelap dan juga tampak kusam. Noda hitam bekas jerawat memenuhi pipi kiri dan kanannya membuatnya makin insecure, tidak percaya diri.
"Meski secara fisik tak semenarik kekasihmu yang di kota. Ibu bisa jamin Gemi memiliki kecantikan dari hati. Ibu yakin gadis itu akan selalu berbakti kepadamu dan bisa membuatmu bahagia." Bu Gayatri masih berusaha meyakinkan putra tunggalnya.
Sebelum pergi menghadap Ilahi, perempuan paruh baya itu ingin memastikan putranya tidak salah dalam memilih istri. Saat berkunjung ke ibu kota, ia merasa tidak sreg dengan gadis kota yang diperkenalkan sebagai kekasih putranya itu.
Sadewa dilanda dilema. Ia bimbang antara menuruti permintaan sang Ibu atau mempertahankan kesetiaanya kepada sang kekasih hati. Tim medis sudah memberitahunya bahwa umur ibunya tidak akan lama lagi. Bisa hanya tinggal hitungan bulan atau minggu. Bisa juga hanya bertahan beberapa hari saja.
"Baik, Bu," jawab Sadewa pasrah. Ia tidak tega untuk menolak permintaan perempuan yang sudah menghadirkannya ke dunia. Toh nanti ia bisa menceraikan Gemi setelah ibunya tiada. Kekasihnya juga tidak akan tahu ia menikahi gadis desa tetangga sebelah rumahnya. Pikir Sadewa.
Bisa jadi ini adalah permintaan terakhir ibunya sebelum pergi menghadap Sang Pencipta. Tentunya sebagai anak yang berbakti ia ingin melihat ibunya pergi dengan tenang. Ia pun tidak ingin didera penyesalan di kemudian hari bila tidak patuh kepada ibunya.
Mengingat sakit ibunya yang kian parah juga pekerjaannya di ibukota yang tidak bisa ditinggal lama-lama, pernikahan Sadewa dan Gemi dilakukan secepatnya dan secara sederhana. Tidak ada pesta. Hanya acara ijab kabul saja. Yang terpenting keduanya telah sah sebagai suami istri di mata hukum agama dan negara.
"Sadewa, Ibu titip Gemi. Jaga dia baik-baik dan jangan pernah kau sia-siakan istrimu," ucap Bu Gayatri setelah acara ijab kabul baru saja usai. Sadewa hanya mengangguk.
Setelah resmi menjadi istri Sadewa, Gemi memasuki kamar suaminya. Gadis lugu dan polos itu sudah sangat hafal seluk beluk kamar ini. Selama belasan tahun bekerja sebagai ART Bu Gayatri, hampir setiap hari ia selalu bertugas membersihkan kamar ini meski pemiliknya jarang ada di rumah.
Setelah menamatkan SMA-nya di desa, Sadewa melanjutkan kuliah dan bekerja di ibu kota. Sekarang Gemi memasuki kamar ini bukan sebagai ART, tetapi sebagai istri dari Sadewa dan menantu Bu Gayatri.
Gemi duduk di tepian ranjang yang bertabur bunga mawar merah sembari menitikkan air mata bahagia. Ia tidak pernah menyangka dan menduga impian semasa remajanya yaitu bersanding di pelaminan dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu terwujud dengan mudah dan cepat.
Terdengar suara pintu dibuka diikuti suara langkah kaki berjalan mendekat. Jantung Gemi berdegup kencang. Dadanya pun berdebar-debar tak karuan. Meski dari kecil sudah mengenal Sadewa, tetapi ia sangat jarang sekali mengobrol dengan putra tunggal majikannya itu.
Usia Sadewa yang lima tahun lebih tua membuat Gemi sungkan dengan pria tampan itu. Lagi pula lelaki itu adalah anak majikannya. Ditambah karakter Sadewa yang dingin, cuek, dan irit berbicara.
"Tidurlah, Gemi! Aku tidak akan menyentuhmu. Perlu kamu ketahui, aku menikahimu hanya karena berbakti kepada Ibu. Jangan berharap lebih," tegas Sadewa berkata terus terang di malam pertama mereka.
Baru beberapa detik yang lalu, Gemi merasa menjadi perempuan yang paling bahagia di dunia. Namun, baru saja ucapan suaminya membuatnya syok. Ia seperti dilambungkan di ketinggian lalu dilemparkan ke dasar jurang.
Perkataan Sadewa yang terdengar sarkastis itu mampu menggoyak hati Gemi Nastiti yang lembut. Gadis itu memegangi dadanya yang sakit.
"I-ya, Mas, a-ku mengerti," jawab Gemi susah payah menelan ludah. Ia makin menunduk malu, merasa tidak berharga, ditolak suaminya di malam pertama yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin baru.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dadanya makin terasa sesak. Ia adalah istri yang tak dianggap. Gemi berusaha untuk tegar, menahan air mata yang sudah berdesakan ingin keluar.
"A-ku permisi ke kamar mandi sebentar, Mas," pamit Gemi melangkah cepat menuju kamar mandi. Ia tidak ingin Sadewa melihatnya menangis. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan sang suami.
"Satu lagi yang perlu kamu tahu, Gemi. Aku sudah mempunyai kekasih di kota."
Mendengar pengakuan Sadewa, hati Gemi makin luluh lantak. Awalnya ia berpikir akan sanggup bertahan dan akan berjuang untuk mendapatkan simpati dan hati suaminya. Ternyata sudah ada perempuan lain yang mengisi hati suaminya.
Gemi patah hati di malam yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin baru itu. Apa artinya bersanding di pelaminan, bila ia tidak memiliki hati suaminya. Perasaannya kini lebih pedih daripada perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Menjadi istri yang tak dianggap sungguh menyakitkan hatinya. Gemi tertidur dengan berselimutkan kesedihan.
Sebelum azan subuh berkumandang, Gemi sudah terbangun. Selama dua tahun terakhir--tepatnya saat Bu Gayatri mulai sakit-sakitan-- ia selalu menemani tidur di rumah majikannya itu.
Setiap bangun tidur, Gemi akan mengecek ke kamar majikannya itu. Saat ini statusnya sudah berubah. Bukan lagi sebagai pembantunya, tetapi sebagai menantunya.
Saat hendak membangunkan ibu mertuanya untuk sholat Subuh, ternyata wanita paruh baya itu sudah tidak bernapas. Denyut nadinya berhenti berdetak.
Gemi menjerit histeris saat menyadari ibu mertuanya telah pergi untuk selamanya. Ucapan Sadewa kembali terngiang-ngiang di telinganya.
"Aku akan menceraikanmu setelah Ibu pergi."
Bab 2 Istri yang Tak Dianggap
Hanya berselang tiga hari setelah ibunya dimakamkan, Sadewa berencana untuk kembali ke ibukota. Pekerjaannya telah menanti. Begitu pula sang kekasih pujaan hati telah menunggunya.
"Gemi, sore ini aku akan balik ke Jakarta. Kamu tetap tinggallah di sini!" perintah Sadewa ketus sembari memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
Sadewa menikahi Gemi karena terpaksa demi ibunya. Setelah sang Ibu tiada, ia merasa tidak membutuhkan lagi istri pilihan ibunya. Sadewa tidak tega menceraikan Gemi yang sudah tidak memiliki orang tua dari lahir.
"Mas Dewa, bolehkah aku ikut?" mohon Gemi dengan mengiba.
Gemi sudah tidak memiliki orang tua. Dari bayi baru lahir sang nenek yang merawatnya. Namun, setahun yang lalu Mbah Tum, neneknya meninggal.
Rumah sang nenek dijual oleh Paklik Man--pamannya--untuk membayar utang. Gemi tidak nyaman bila terus menumpang tinggal di rumah pakliknya yang memiliki banyak anak.
"Nduk, bersabarlah bila nanti Dewa belum bisa menerimamu. Witing tresno jalaran soko kulino. Kecantikan hatimu nantinya akan bisa membuatnya luluh," pesan Bu Gayatri sebelum meninggal makin memantapkan hati Gemi untuk mengikuti suaminya ke ibu kota.
"Kamu tahu 'kan? Aku menikahimu karena terpaksa. Jangan berharap lebih. Ibu sudah tidak ada. Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi. Bisa saja aku menceraikanmu saat ini juga bila kau mau. Aku telah memiliki kekasih di ibu kota." Sadewa menatap tajam ke arah Gemi. Kekasihnya di ibukota belum mengetahui bila ia telah menikah.
Batin Gemi perih diperlakukan begitu oleh suami yang dicintainya dengan tulus dan sepenuh hati. Mungkin bila tidak ada rasa cinta yang bersemayam dalam kalbunya, ia tak akan merasakan sesakit ini mendapatkan penolakan. Sayangnya cinta Gemi terhadap Sadewa terlalu dalam. Selama 10 tahun gadis desa itu telah menyimpan rasa cintanya.
Gemi tidak menyangka Sadewa yang dulu selalu berkata santun dan tidak sekalipun pernah meremehkannya, kini tega berbicara kasar seperti itu kepadanya.
Gemi menyadari siapa dirinya. Lelaki pujaan hatinya itu pastilah merasa malu untuk mengakuinya sebagai istri di depan banyak orang. Sudah fisiknya tidak menarik, bibit, bebet, dan bobotnya pun tidak sepadan.
Bibit atau garis keturunan Gemi pun tidak jelas. Sumirah--ibunya Gemi--dulu pernah bekerja di ibu kota sebagai ART dan diperkosa oleh majikannya hingga hamil.
Gemi tidak pernah tahu siapa ayah biologisnya karena sang Ibu meninggal saat melahirkannya. Gadis itu di asuh neneknya hingga berusia 23 tahun.
Bebet atau status sosial antara Sadewa dan Gemi pun tidaklah sederajat. Gemi hanyalah ART di rumah Sadewa sebelum diangkat jadi menantu.
Bobot pun berbeda. Sadewa lulusan sarjana universitas negeri terbaik di ibu kota. Sedangkan Gemi hanyalah lulusan SMA. Bu Gayatri yang membiayai pendidikan Gemi hingga tamat SMA.
Yang paling membuat Gemi merasa rendah diri adalah penampilan fisiknya yang tidak menarik. Mungkin itu salah satu alasan mendasar Sadewa tidak menginginkan dirinya sebagai istri. Sepertinya Sadewa mempunyai standar dan kriteria tinggi dalam memilih pasangan.
"Di Jakarta aku bisa menyucikan baju Mas Dewa dan menyiapkan makanan setiap hari. Bila Mas Dewa malu mengakuiku sebagai istri, nggak papa. Aku rela dianggap sebagai pembantu." Gemi Nastiti masih berusaha membujuk suaminya supaya diperbolehkan ikut.
Meski tak dianggap sebagai istri, tidak menyurutkan niat Gemi untuk tetap berbakti kepada suaminya.
Baginya ijab kabul adalah sebuah janji suci, bukan perkara main-main. Ia bertekad akan merebut hati suaminya agar bisa mencintai dirinya dengan tulus apa adanya. Sebuah harapan yang mampu membuatnya bertahan.
Teringat dengan pesan terakhir almarhum ibunya untuk menjaga Gemi dan tidak boleh menyia-nyiakan gadis desa itu, Sadewa tidak jadi mentalak istrinya. Akhirnya ia mengizinkan istrinya untuk ikut dengannya ke ibukota.
Saat langit menjadi semburat jingga, Gemi mengikuti Sadewa naik Kereta Api Senja Utama Solo dari Stasiun Solo Balapan.
Di sepanjang perjalanan Sadewa hanya diam saja. Enggan untuk bercakap-cakap. Sikapnya masih cuek terhadap Gemi. Pria tampan itu justru sibuk berbalas pesan dengan kekasihnya.
Tak dianggap sebagai istri, ternyata itu sungguh menyakitkan. Tak sedikit pun Sadewa mau menoleh kepada Gemi yang buruk rupa. Di depan suami tampannya, Gemi merasa tidak percaya diri dengan kekurangan fisiknya.
Sadewa masih saja sibuk berbalas pesan dan kadang bertelepon dengan kekasihnya di sepanjang perjalanan.
"Iya, Sayang, sekarang Mas sudah di dalam kereta ini."
"Mas juga kangen kamu."
"Tunggu ya, Sayang ...."
Gemi terbakar api cemburu dan sakit hati mendengar percakapan mesra antara suaminya dengan kekasihnya via telepon. Ternyata Sadewa bisa bersikap manis terhadap orang yang dicintainya.
Gemi mengedarkan pandangannya ke luar melalui kaca jendela. Warna langit telah berubah menjadi kemerahan. Ia jadi teringat kenangan sepuluh tahun yang lalu saat masih duduk di bangku SMP kelas satu.
Sepuluh tahun yang lalu ....
Siang hari bolong yang teriknya matahari serasa membakar kulit, Gemi seperti biasa mengayuh sepedanya sepulung dari sekolah. Sahabat dekatnya, Haris tidak masuk sekolah karena tengah sakit. Jadinya Gemi pulang sendirian.
Saat jalanan menanjak, tiba-tiba saja rantai sepedanya lepas. Gemi sudah berusaha untuk membetulkan hingga telapak tangannya belepotan oli, tetapi belum berhasil membetulkan rantai sepedanya ke posisi yang benar.
Gemi menyeka peluh yang bercucuran di wajah dengan punggung tangannya. Badannya sudah basah oleh keringat. Gemi menengadah menatap langit seraya berdoa, "Ya Allah, datangkanlah malaikat-Mu untuk menolongku."
Setelah berdoa, Gemi hanya memandangi sepedanya dengan tatapan nanar. Demi menghemat biaya ia memilih ke sekolah naik sepeda dibandingkan naik angkot desa.
Di tengah keputusasaan, sebuah sepeda motor berhenti. Pengendaranya seorang pemuda berseragam putih abu-abu. Pemuda itu membuka helm dan menegur Gemi, "Sepedanya kenapa?"
"Eh, Mas Dewa. Rantainya lepas, Mas," sahut Gemi dengan semringah mendapatkan bantuan. Anak majikannya itu menjadi malaikat penolongnya.
Sadewa memarkirkan sepeda motornya di pinggir jalan lalu membantu Gemi membetulkan rantai sepeda yang lepas hingga tangannya belepotan oli.
"Sudah bener, nih!"
"Makasih, Mas. Ini tisu buat membersihkan tangan Mas Dewa yang belepotan oli." Gemi mengangsurkan dua lembar tisu.
Gemi terkesima dengan Sadewa yang baik hati dan tidak sombong. Sejak saat itu ia menyukai pemuda berparas tampan itu dan menjadi cinta pertamanya.
Bapaknya Sadewa dulunya seorang kepala desa Sebagai orang terpandang dan tergolong priyayi, banyak warga desa sering mengantarkan makanan saat mengadakan hajatan. Entah itu acara pernikahan, selamatan orang meninggal, akikahan, dan juga syukuran kelahiran bayi.
Makanan yang berlimpah ruah di rumah Bu Gayatri itu sering diberikan kepada Gemi dan neneknya. Karena sering banyak makan, dari kecil Gemi sudah memiliki tubuh gendut. Teman sepermainan dan teman sekolahnya sering mengolok-olok dan memanggilnya dengan panggilan "Buntelan".
Haris, teman sepermainannya itu yang selalu membela dan membesarkan hati Gemi bila ada yang mengejeknya.
"Gapapa gendut ... yang penting sehat. Kalo nggak ada yang mau sama kamu. Aku akan menikahimu nanti saat dewasa," ucap Haris bercanda, membesarkan hati Gemi.
"Ogah, aku nggak mau nikah sama kamu. Aku nggak suka rambut keritingmu. Aku maunya nikah sama Mas Dewa," balas Gemi dengan percaya diri.
"Mimpi kamu ketinggian, Gemi! Mana mau Mas Dewa melirikmu. Mau kupinjamkan kaca?" ledek Haris, teman semasa kecil hingga mereka sama-sama beranjak dewasa.
Setelah lulus SMK, Haris merantau bekerja di kawasan industri di daerah Bekasi. Dua bulan sekali pemuda berkulit gelap dan berambut keriting itu selalu pulang kampung untuk mengunjungi simboknya dan juga menemui Gemi, sahabat masa kecilnya.
Sadewa yang waktu itu masih kelas tiga SMA menjadi cinta pertama bagi Gemi. Sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, tetapi Gemi masih memendam perasaan itu.
Ia berharap dan bermimpi kelak bisa bersanding dengan pujaan hatinya di pelaminan. Meski halunya ketinggian dan ia merasa tak pantas mendapatkan Sadewa yang seperti pangeran tampan dari negeri dongeng. Ia bagaikan pungguk merindukan bulan.
Saat mengingat kenangan masa kecilnya, Gemi tersenyum. Ia heran dengan dirinya sendiri yang dengan percaya diri menyukai Sadewa yang mustahil untuk digapainya. Namun, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini, bukan?
Gemi tak menyangka keinginannya untuk menikah dengan Sadewa terkabul. Mungkin saat bercanda itu ada malaikat yang turun ke bumi turut mengamini doanya.
Bunyi notifikasi pesan masuk dari ponselnya membuyarkan lamunan gadis itu akan kenangan masa kecilnya. Sebuah pesan masuk dari Haris.
[Hei, kata Simbok kamu nikah sama Mas Dewa, ya? Sombongnya nggak ngabarin aku. Apa persahabatan kita selama ini tidak berarti buat kamu, Gemi?]
[Sori, Ris, nikahnya saja dadakan kayak tahu bulet. Sekarang aku lagi di kereta, nih, otw Jakarta.]
[Wah, nanti kalo libur kerja aku main ya ke Jakarta. Share lock alamat suamimu, ya.]
Gemi dan Haris berteman dekat dari kecil. Bahkan mereka terlahir di bulan dan tahun yang sama. Dari masih bayi mereka sudah bersama. Setiap hari Mbah Tum sering menitipkan cucunya Gemi di rumah Mbok Nah, simboknya Haris.
Mbok Nah juga memberikan ASI-nya yang melimpah untuk bayi malang Gemi yang ditinggalkan ibunya sejak terlahir di muka bumi.
Setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam lebih tiga puluh menit, kereta api Senja Utama Solo tiba di Stasiun Jatinegara. Dengan taksi online, Sadewa membawa Gemi menuju ke kediamannya di bilangan Jakarta Timur. Lima belas menit kemudian, taksi online itu berhenti di sebuah rumah dua lantai di sebuah kompleks perumahan.
Seorang perempuan berwajah cantik jelita membukakan pintu rumah dan syok. Suaminya balik dari kampung dengan membawa seorang gadis berpenampilan udik.
"Siapa dia, Mas? Apa dia pembantu yang Mas Dewa bawa dari desa?"
Istri Pilihan Ibu
Bab 3 Istri Rasa Pembantu
"Siapa dia, Mas? Apa dia pembantu yang Mas Dewa bawa dari desa?"
Gemi Nastiti juga tak kalah syok saat mengetahui ada perempuan lain di dalam rumah suaminya.
Sementara Sadewa menggaruk tengkuknya bingung untuk memberikan jawaban. Ingin memperkenalkan Gemi sebagai ART rasanya ia tidak tega. Almarhumah ibunya selalu memuliakan ART dan menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga. Tidak pernah sekalipun meremehkan.
Dari kecil Gemi sudah membantu neneknya yang menjadi pembantu di rumah Sadewa. Kini suka tidak suka sekarang Gemi telah berstatus sebagai istrinya yang sah secara agama dan negara.
"Makasih ya, Mas dibawain pembantu dari desa," ucap perempuan bernama Devita itu dengan semringah. Ia senang mendapatkan ART baru. Sudah lima hari ART paruh waktu berhenti bekerja.
Perempuan berpostur tinggi semampai itu merasa senang mendapatkan ART baru yang akan bekerja full time.
"Iya, Bu, saya Gemi, pembantu baru yang akan bekerja di sini," ucap Gemi memperkenalkan diri karena Sadewa hanya diam.
Dadanya terasa sesak dan matanya mulai memanas. Baru menginjakkan kaki di rumah suaminya saja sudah disambut dengan sesuatu hal yang menyakitkan hati. Tidak seindah apa yang ia bayangkan.
"Perempuan cantik ini pasti kekasihnya Mas Dewa. Jadi Mas Dewa kumpul kebo dengan kekasihnya? Astagfirullah," batin Gemi bermonolog.
Menelisik kecantikan kekasih suaminya, Gemi makin minder. Ia tidak yakin bisa membuat suaminya berpaling padanya bila kekasihnya saja begitu cantik dan glowing.
Sadewa salah tingkah. Sebenarnya ia tidak tega dan tidak enak dengan pengakuan Gemi, tetapi ia juga tidak bisa mengakui gadis desa yang dibawanya sebagai istri sahnya di depan kekasihnya itu, khawatir timbul perang dunia. Ia pun sudah lelah berada di dalam kereta selama sembilan jam dan ingin segera beristirahat.
"Kamar kamu di belakang dekat dapur!" Devita menatap sinis Gemi lalu berpaling menatap intens lelaki tinggi tegap yang berdiri di hadapannya. "Maaas, aku kangen!" serunya sambil bergelayut manja di lengan Sadewa.
"Mas juga kangen kamu, Sayang." Sadewa membalas dengan merangkul pundak kekasihnya.
Keduanya melangkah memasuki kamar utama meninggalkan Gemi yang masih terpaku di tempat. Sadewa tidak memedulikan perasaan Gemi sebagai istri sahnya.
Melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya, Gemi menjadi muak dengan dua orang yang mempertontonkan kemesraan.
Gemi terbakar api cemburu. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan gemuruh di dadanya. Sakit hatinya melihat suami yang dicintainya bermesraan dengan wanita lain di depan matanya. Ini baru permulaan saja. Ia harus menegarkan diri untuk menerima apa pun yang akan terjadi di rumah ini. Mungkin awalnya sakit, lama-lama semua akan terbiasa.
Menjadi pembantu bagi Gemi itu sudah biasa. Ia sedih setiap ingat Sadewa tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan.
Gemi kecewa, Sadewa tidak peka, tidak menjaga perasaannya sebagai istri yang sah secara hukum dan agama. Suaminya dengan teganya mengumbar kemesraan di hadapannya. Gemi menyesal telah memaksa ikut suaminya ke ibukota. Bila saja dari awal ia mengetahui suaminya tinggal dengan sang kekasih, ia tidak akan memaksakan diri untuk ikut. Ia pikir suaminya tinggal sendirian di ibukota.
Gemi bergegas menuju kamar di dekat dapur. Batinnya perih. Sebagai istri sah yang hanya dianggap sebagai pembantu di rumah suaminya sendiri. Dan kini suaminya malah bermesraan dengan kekasihnya. Sekali lagi Gemi kecewa dengan Sadewa yang ia pikir kumpul kebo dengan kekasihnya, tinggal satu atap dengan seorang wanita tanpa ikatan perkawinan.
Seingatnya dulu Sadewa rajin mengaji saat masih tinggal di desa. Ia tidak menduga pergaulan ibu kota yang bebas bisa menjerumuskan pria itu hingga melanggar norma agama dan norma susila.
Setibanya di kamar pembantu. Air matanya berdesakan keluar tanpa sanggup ditahannya lagi.
"Aku harus bagaimana? Apa lebih baik aku meminta diceraikan saja. Rasanya aku tidak sanggup bila setiap hari melihat suamiku bermesraan dengan wanita lain," isaknya pilu.
Gemi tidak percaya diri untuk bisa bersaing dengan kekasih Sadewa yang memiliki kecantikan nyaris sempurna. Sementara ia hanyalah gadis buruk rupa. Ternyata selera Sadewa tinggi, pikirnya. Pantas saja suaminya enggan untuk menyentuhnya. Mungkin suaminya jijik melihatnya.
Gemi mulai berpikir untuk menurunkan berat badannya dan akan melakukan perawatan di wajahnya. Ia bertekad akan mengubah penampilannya.
Gemi sadar, ini dunia nyata, bukan negeri dongeng seperti kisah Cinderella. Ia harus berpikir realistis dan logis. Tidak terjebak dalam impian yang terlalu tinggi.
Setelah puas menangis, Gemi keluar kamar. Perutnya perih belum makan dari semalam. Saat Sadewa menawarinya makan malam di atas kereta api ia menolak. Sekarang ia baru merasakan kelaparan.
Gemi memandang tumpukan piring dan gelas kotor di kitchen sink. Lantai yang diinjeknya terasa ngeres dan agak lengket. Di atas meja makan juga berantakan. Bau tidak sedap menguar dari tempat sampah di pojok dapur. Devita jorok malas membersihkan rumah saat ART sudah mengundurkan diri. Gemi mulai membersihkan area dapur yang berantakan.
Ekor matanya menangkap bayangan Sadewa tengah membuka lemari es dan mengeluarkan sebotol air mineral dingin. Suaminya itu duduk di kursi yang mengelilingi meja makan lalu menenggak isi botol itu hingga tersisa setengahnya.
Gemi duduk di kursi yang berada diseberang meja makan. Ada yang ingin ditanyakannya kepada Sadewa.
"Mas Dewa kumpul kebo sama perempuan itu?" tanya Gemi dengan sorot mata kecewa dan terluka.
Pria berkaus oblong putih itu menatap Gemi dengan mata elangnya, "Aku masih paham agama, Gemi. Ibu tidak merestuiku untuk menikahi Devita. Karena takut dengan dosa zina pacaran kunikahi Devita secara siri. Aku sangat mencintainya. Jangan pernah berharap aku akan mencintaimu," tegas Sadewa berucap.
Ringan sekali Sadewa mengatakan itu. Ia tidak tahu hati Gemi berdarah-darah mendengar pengakuan lelaki yang dicintainya dengan sepenuh hati itu ternyata telah menikah secara siri dengan perempuan lain sebelum menikahinya. Fakta itu sungguh membuatnya terluka. Perempuan itu ternyata juga sudah berstatus sebagai istri siri Sadewa.
Semakin ia berharap, Gemi akan makin kecewa bila realita tak sesuai ekspektasinya. Namun, dengan harapan pula ia akan mampu bertahan melewati segala ujian dalam pernikahannya. Tidak ada yang tidak mungkin. Gemi masih saja berharap kelak Sadewa akan menerimanya apa adanya.
***
"Gemiii!" Teriakan Devita mengagetkan gadis desa itu yang tengah mencuci pakaian di belakang. Gadis bertubuh tambun itu melangkah cepat menuju sumber suara.
"Ada apa, Bu?" tanyanya.
"Bikinin saya kopi mochacino dan roti bakar cokelat!" perintah Devita yang tengah duduk di ruang makan sambil memainkan ponselnya.
"Baik, Bu," sahut Gemi lalu berlalu ke dapur menyiapkan pesanan istri siri suaminya itu. Ia sendiri yang mengaku sebagai pembantu. Mau tidak mau ia harus menganggap Devita sebagai majikannya. Ia tidak bisa menolak permintaan Devita.
Menjadi pembantu rumah tangga memang sudah menjadi takdir hidupnya. Neneknya, Mbah Tum dari dulu adalah rewang atau pembantu di keluarga Sadewa. Ibunya, Sumirah dari gadis juga merantau ke ibukota bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga kaya raya, lalu diperkosa majikannya hingga hamil. Gemi tidak tahu siapa bapaknya.
Sumirah meninggal saat bertaruh nyawa saat melahirkan Gemi. Sedari kecil Gemi sudah rajin membantu Mbah Tum yang renta menyapu halaman dan mencuci piring di rumah orang tua Sadewa. Jadi menjadi pembantu seperti sudah takdir hidupnya.
Bab 4 Sahabat Jadi Cinta
"Mbaknya pembantu baru di rumah Pak Dewa, ya?"
Seorang wanita muda berambut pendek sekuping, menelisik penampilan Gemi dari ujung jilbab hingga ujung kakinya yang beralaskan sandal jepit.
Gemi mengangguk. Tentu saja ia tak berani mengenalkan dirinya sebagai istri sah Sadewa. Semua tetangga tahunya Devita adalah istri dari suaminya. Ada perasaan kesal ketika diremehkan orang karena penampilannya.
Gemi memandangi penampilannya sendiri. Kaus lengan panjang warna navy yang dipakai warnanya sudah memudar. Rok bawahannya pun terlihat lusuh dan kerudung instan yang dipakainya juga model lama keluaran tahun jebot.
Tambahan lagi tampang Gemi pun terlihat kampungan. Tidak mengherankan bila banyak orang mengira ia hanyalah seorang pembantu. Benar kata pepatah Jawa yang mengatakan "ajining rogo soko busono", artinya orang dihargai karena penampilannya. Padahal penampilan luar seringkali menipu.
"Bu Dewa kok nggak pernah kelihatan keluar belanja sayur, ya," komentar salah satu ibu berdaster motif bunga-bunga tanpa lengan.
"Kata ART yang lama memang Bu Dewa nggak pernah masak, kok. Makannya selalu pesan gofud. Tumben Mbak kok belanja sayur?" imbuh yang lain.
"Saya memasak untuk makan sendiri," sahut Gemi.
"Aslinya dari mana, Mbak'e?" tanya seorang gadis remaja dengan logat Jawa yang kental. Gemi menaksir usia gadis belia itu masih sekitar 16 tahun.
"Klaten. Mbak dari mana?" Gemi balik bertanya.
"Masih tetangga, aku Sragen Mbak."
Di gerobak tukang sayur itu Gemi berkenalan dengan ART yang tinggal di depan rumahnya, namanya Siti Fathonah. Berasal dari wilayah yang berdekatan, keduanya cepat akrab dan bertukar nomor ponsel. Gemi senang, baru beberapa hari tinggal di ibu kota sudah mendapatkan seorang teman baru.
"Gemi, darimana saja kamu!" bentak Devita yang terlihat seperti baru bangun tidur.
Gemi masuk rumah lewat pintu garasi samping yang langsung menuju ke ruang makan. Devita duduk bertopang dagu di meja makan.
"Belanja sayur, Bu," sahut Gemi seraya menunjukkan kantong belanjaannya.
"Pasti kelamaan gosip, ya. Awas ya kamu. Jangan pernah ceritakan apa pun yang kamu lihat dan dengar di rumah ini keluar. Mengerti!" Devita menatap tajam Gemi. Gadis desa itu hanya mengangguk cepat. Diam lebih baik.
"Cepat bikinin teh!" perintah Devita selanjutnya.
"Baik, Bu."
Setiba di dapur, Gemi menghela napas kasar. Ia tidak suka dengan kepongahan Devita. Ia merasa lebih berhak menjadi nyonya rumah. Sadewa menikahinya secara resmi sah menurut agama dan negara.
Sementara Devita hanya dinikahi siri. Seharusnya kedudukannya di rumah sang suami lebih tinggi. Ia memilih mengalah malas membuat keributan.
Bisa-bisa Sadewa menyuruhnya pulang kampung bila membuat masalah.
Gemi segera menyeduh teh di dapur.
"Manis banget ini tehnya." Devita menyemburkan tehnya. "Kamu sengaja mau bikin saya diabetes, hah!"
"Maaf. Bu Devi nggak bilang mau seberapa gulanya," bela Gemi tidak terima disalahkan.
"Saya nggak suka ya kamu membantah omongan saya. Lain kali gulanya cukup setengah sendok."
"Baik, Bu." Gemi membalikkan badan melangkah ke dapur untuk menyiangi sayuran yang tadi baru saja dibelinya.
"Tunggu! Kamu buka aja tuh kerudungnya. Bajunya juga ganti yang lebih pendek. Jangan kedombrongan begitu. Saya gerah lihatnya."
"Maaf, Bu, saya tidak bisa." Gemi dengan tegas menolak kemauan Devita.
Baru beberapa hari tinggal di ibu kota, Gemi sudah tidak betah dengan sikap dan perilaku Devita yang bossy, suka memerintah dan merendahkan nya.
Karena dibutakan oleh cinta, Gemi menjadi wanita lemah yang tidak berdaya. Ia terlalu mencintai Sadewa. Cinta pertamanya. Meski cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ia rela menderita, dijadikan pembantu demi bisa melihat dan melayani kebutuhan suaminya setiap hari. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan.
Tinggal di ibu kota baginya lebih baik daripada tinggal menumpang di rumah Pak Lik-nya yang beranak banyak. Hidup menumpang tentu tidaklah enak.
Devita sama sekali enggan mengerjakan pekerjaan rumah. Semuanya dikerjakan oleh Gemi.
Setiap hari pekerjaan Devita hanya keluyuran pergi ke salon, nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Atau berbelanja di pusat perbelanjaan menghabiskan uang suaminya.
Sadewa masih seperti biasa. Cuek dan dingin, enggan menatap Gemi. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja di kantor pemasaran di sebuah penerbit buku besar berskala nasional. Jabatannya sebagai kepala bagian pemasaran khusus untuk buku sekolah.
Hari Sabtu pukul sembilan pagi, Sadewa mengajak Devita pergi menginap di Bandung. Ada undangan pernikahan rekan kerjanya di kota berjulukan Paris van Java itu.
"Gemi, saya mau menginap di Bandung dengan Devita. Jangan lupa kunci semua pintu dan gembok pintu pagar," pesan Sadewa melangkah menuju mobil.
"Baik, Mas," sahut Gemi yang tengah mengepel lantai teras.
"Gemi ... Berapa kali saya bilang panggil Pak Dewa. Sekali lagi saya dengar kamu manggil Mas, kamu saya pecat."
Devita meradang tidak terima dan tidak suka Gemi yang dianggap hanya ART memanggil Sadewa dengan "Mas".
"Yang, jangan galak-galak sama Gemi. Nanti kamu juga yang kerepotan kalo dia pulang kampung." Sadewa mengingatkan istri sirinya. Ia tidak suka Devita memarahi Gemi. Ibunya dulu tidak pernah sekalipun berkata kasar kepada ART-nya.
Sedari kecil hidup susah dan menderita hanya berdua dengan sang nenek, Gemi terbiasa untuk mengalah dan menahan diri. Gadis desa itu selalu menghindari berkonflik dengan siapa pun. Ia sering memendam perasaannya sendiri.
Setelah mobil yang dikendarai Sadewa menghilang dari pandangan, Gemi bernapas lega. Paling tidak untuk hari ini dan besok, ia bisa terbebas sejenak dari omelan Devita. Ia merasa senang di rumah sendirian. Lebih baik juga Sadewa dan Devita bermesraan di hotel saja daripada Gemi harus melihatnya di rumah, dadanya selalu terbakar cemburu.
Gemi melanjutkan pekerjaannya, menggosok pakaian kerja suaminya. Setelah selesai pekerjaannya ia berencana akan bersantai maraton menonton drakor.
Tingtong! Tingtong!
Bel rumah berbunyi pertanda ada tamu datang bertandang. Gemi mematikan setrikaan, bergegas melangkah menuju pintu untuk melihat siapa gerangan yang bertamu.
"Ris, datang kok nggak ngabarin dulu?" Bola mata Gemi membelalak, Haris sahabat masa kecilnya yang sekarang bekerja di Bekasi datang bertandang.
"Surprise .... Aku nggak disuruh masuk, nih?" tanya lelaki berkulit gelap dan berambut ikal. Wajah lelaki itu lumayan terlihat manis saat tersenyum. Seperti pantun, hitam-hitam kereta api, biar hitam banyak yang ngantri. Banyak gadis desa yang dulu berusaha mendekati Haris lewat Gemi. Menitip salam dan minta dicomblangi.
"Sori, Ris. Kita duduk di teras saja, ya. Mas Dewa lagi pergi ke Bandung. Kalo kamu masuk rumah takutnya akan timbul fitnah."
"Oh, kupikir ada Mas Dewa di dalam rumah." Haris duduk di kursi teras.
"Bentar ya, aku ambilin minum dulu," pamit Gemi.
"Keluarin semua camilan yang ada, Gemi!" canda Haris.
Tidak lama kemudian Gemi sudah kembali ke teras sambil membawa minuman dingin rasa jeruk dan dua toples kue berisi biskuit dan keripik kentang.
"Minum dulu, Ris!"
Haris segera meraih sebuah gelas kaki yang berisi cairan berwarna kuning lalu menenggak isinya sampai setengah. Di luar rumah matahari bersinar dengan garang. Sepanjang perjalanan ia sudah menahan rasa haus.
"Susah nggak tadi nyari alamatnya, Ris?" tanya Gemi berbasa-basi.
"Gampang. Oh, iya ini aku bawain kado sebagai hadiah pernikahanmu."
Haris menyerahkan sebuah benda berbentuk kotak yang terbungkus kertas kado bermotif batik.
"Makasih, Ris. Boleh kubuka sekarang?" tanya Gemi antusias, penasaran dengan isinya.
"Buka aja!"
Ternyata kado dari Haris berupa paket lightening series untuk perawatan kulit wajah.
"Gemi, supaya suamimu betah di rumah kamu harus mulai merawat wajahmu yang penuh jerawat itu. Kamu harus pandai merawat diri dan selalu tampil cantik di depan suami," ucap Haris menasehati.
"Males ah, aku kan nggak suka dandan," sanggah Gemi.
"Ini bukan make up, Gemi. Ini skincare, produk perawatan wajah lightening series agar wajahmu terlihat lebih cerah dan glowing," jelas Haris secara mendetail.
"Kamu kayak tim marketin skincare aja, paham banget."
"Soalnya leaderku di pabrik itu cantik banget setelah pake produk skincare ini. Recommended lah skincare ini, no abal-abal."
"Terima kasih banyak, Ris. Kamu selalu tahu apa yang kubutuhkan saat ini," ucap Gemi terharu.
"Karena kamu adalah prioritas dalam hidupku, Gemi," batin Haris nelangsa.
Bab 5 Tak Ada Istri Sempurna
"Dev, bangun! Sudah jam tujuh ini. Mas mau berangkat kerja!"
Sadewa menepuk-nepuk punggung Devita, istri sirinya. Tidak ada reaksi dan pergerakan dari wanita cantik yang masih meringkuk di bawah selimut.
Pria tampan itu lantas melangkah menuju jendela dan menyibak tirai gordennya. Cahaya matahari pagi langsung menerobos masuk melewati kaca jendela. Ruangan kamar berukuran 4x4 meter itu menjadi terang benderang.
"Mas ... silau! Tutup gordennya!" seru Devita sambil menutupi wajahnya dengan sebuah bantal.
Sadewa yang sudah berpakaian kerja rapi itu menghela napas kasar, mencoba bersabar menghadapi istrinya yang pemalas, selalu bangun kesiangan setiap harinya. Devita juga kerap kali melewatkan sholat Subuh.
Semenjak menikah secara siri tiga bulan yang lalu, Devita belum pernah sekalipun bangun pagi untuk menyiapkan semua keperluan suaminya sebelum berangkat kerja. Istrinya begitu pemalas, sering membuat Sadewa merasa kesal.
"Mas, uangku udah abis. Aku mau creambath ke salon nanti siang." Devita membalikkan badan ke arah suaminya, masih dalam posisi berbaring.
"Ya, nanti Mas transfer kalo dah sampai kantor."
Uang bulanan yang diberikan Sadewa untuk keperluan selama satu bulan sudah dihabiskan Devita untuk bersenang-senang. Sadewa sedang malas untuk berdebat dengan sang istri. Ia ingin segera berangkat ke kantor. Pekerjaannya menumpuk setelah ditinggal mudik satu minggu.
Devita tak pernah sekalipun menyiapkan sarapan untuk suaminya. Bahkan secangkir kopi pun tidak pernah terhidang di pagi hari. Sadewa menyeduh sendiri kopinya dan sarapan selalu di kantor menyuruh OB untuk membelikan nasi uduk atau lontong sayur. Namun, sejak kedatangan Gemi, istri sahnya itu selalu menyiapkan kopi dan membuatkan sarapan untuknya.
"Kopinya diminum dulu, Mas," ucap Gemi seraya meletakkan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap di atas meja makan. Bila tidak ada Devita, Gemi bebas memanggil suaminya.
"Terima kasih." Sadewa duduk lalu menyeruput cairan hitam pekat itu. Setelah menaruh cangkir kopinya, dilanjutkan memakan roti pizza buatan Gemi hasil ujicoba resep barunya.
Sadewa mengakui Gemi istri yang rajin. Rumahnya selalu bersih, rapi, dan wangi setiap hari. Pakaiannya juga dicuci dengan bersih dan disetrika licin. Masakan gadis desa itu pun cukup enak dan bervariasi. Gemi hobi mencoba resep baru.
Satu hal kekurangan Gemi di mata Sadewa yaitu gadis desa itu tidak pandai merawat diri. Tidak sedap di pandang mata, hingga tidak ada gairah bagi Sadewa untuk menjamahnya. Pria itu makhluk visual, suka melihat yang sedap dipandang mata.
"Mas Dewa ...!"
Panggilan Gemi membuyarkan lamunan Sadewa. "Eh ... iya."
"Pak Lik Man sudah tiga hari dirawat di rumah sakit karena penyakit paru-parunya kambuh. Tadi Bulik Nur nelpon aku minta dikirimin uang buat nebus obat. Bolehkah aku meminjam uang Mas Dewa satu juta," mohon Gemi.
"Kamu jadi orang jangan terlalu baik, Gemi. Kebaikanmu hanya akan dimanfaatkan orang. Almarhumah Ibu sering cerita, semua gajimu selalu diminta sama Pak Likmu. Kamu harus mikirin diri kamu juga." Sadewa berpikir Gemi yang lugu dan polos selalu tidak menyadari sudah diperalat oleh pamannya sendiri.
"Pak Lik Man satu-satunya saudara yang kupunya, Mas."
"Aku nggak ada uang sekarang. Tunggu tiga hari lagi baru gajian." Setelah menyelesaikan sarapan Sadewa langsung berangkat kerja.
Hati Gemi sakit. Ia sedang butuh uang, tetapi suaminya tidak mau membantu. Namun, saat Devita yang meminta uang untuk ke salon, Sadewa dengan mudah memberikannya. Gemi mendengar percakapan Devita dan Sadewa saat melewati kamar mereka.
Gemi akan meminjam uang kepada Haris saja. Sahabat dari masa kecilnya itu memang selalu peduli dan sering membantunya. Haris selalu bisa diandalkannya.
Dalam perjalanan ke kantor, Sadewa memikirkan Devita yang makin sulit diatur. Wanita cantik itu begitu keras kepala. Ia mulai kurang suka dengan perangai buruk istri sirinya itu. Ia baru menyadari alasan almarhumah ibunya tidak pernah setuju saat ia meminta restu akan menikahi Devita.
Ada rasa sesal telah menjadikan Devita istrinya. Sadewa terlalu buru-buru memutuskan hal yang penting. Ia lupa bahwa menikah itu bukan hanya untuk sehari, seminggu, atau sebulan. Namun, menikah itu untuk seumur hidup. Ia merasa sedikit beruntung, Devita hanya dinikahi dibawah tangan. Lebih mudah baginya untuk menceraikan.
Sadewa berpikir bisa merubah tabiat buruk Devita setelah menikah nantinya. Ternyata istrinya seorang yang berhati keras seperti batu, sulit untuk dilunakkan.
Sadewa memilih Devita menjadi pasangan hidupnya hanya atas berdasarkan pertimbangan fisik semata. Devita adalah perempuan yang cantik, sangat cantik malahan. Postur tubuhnya proporsional, tinggi semampai dan langsing. Kulit tubuhnya putih mulus bagai porselin. Paras wajahnya menawan dengan hidung mancung, bibir tipis, serta mata indah yang dinaungi bulu mata lentik. Sungguh sosoknya sepintas mirip boneka barbie. Lelaki mana yang tak terpikat dengan pesona kecantikannya.
Sadewa sangat bangga bisa mempersunting gadis yang level kecantikannya setara dengan para artis ibu kota. Padahal ia hanyalah seorang lelaki biasa dari kampung yang mengadu nasib di ibukota dan beruntung mendapatkan pekerjaan yang lumayan bergengsi dengan gaji bagus.
Bisa memperoleh istri yang kecantikannya sebelas dua belas dengan Natasha Wilona tentu saja sangat membanggakan dan ia menganggapnya sebagai sebuah prestasi.
Decak kagum dari teman-temannya terhadap kecantikan Devita, membuatnya bangga saat menghadiri berbagai pesta.
No body is perfect. Tidak ada manusia yang sempurna. Demikian pula dengan Devita. Kecantikan parasnya justru berbanding terbalik dengan perilakunya. Devita seorang yang egois, maunya menang sendiri, temperamental, sulit diatur, dan keras kepala. Apapun kemauaannya harus segera dituruti. Sementara ia enggan menuruti perintah Sadewa sebagai suaminya.
Sebagai kepala keluarga, Sadewa merasa tidak dihargai oleh istrinya. Devita sering membantah perintah suaminya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai kehidupan rumah tangga mereka akhir-akhir ini.
***
"Dev, kalo mau keluar rumah jangan pake baju seperti itu!" tegur Sadewa mengingatkan istrinya yang mengenakan celana jeans ketat dipadukan dengan kaus ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh indahnya.
"Memangnya kenapa, Mas? Dulu saat masih pacaran kenapa Mas diam saja aku pake baju model begini. Kenapa sekarang bawel," protes Devita tidak terima dan tidak mengindahkan larangan suaminya. Istrinya tetap saja melenggang pergi tanpa mengganti bajunya.
Sadewa ingin istrinya berhijab, menutup auratnya. Setidaknya berpakaian yang sopan, tidak terbuka dan ketat. Sebagai suaminya, ia tak rela kecantikan dan kemolekan tubuh sang istri dinikmati setiap lelaki yang memandangnya.
Sebagai suami Sadewa merasa telah gagal, tidak bisa membimbing istrinya ke jalan yang benar.
Devita sama sekali tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, Sadewa menambah pengeluaran bulanan untuk mengaji ART paruh waktu sebelum kedatangan Gemi.
Setiap hari istrinya sibuk ke salon untuk perawatan. Entah creambath, facial, luluran, atau sekedar mani pedi cure. Benar yang orang bilang, punya istri cantik itu butuh biaya perawatan yang tidak sedikit.
Setelah memanjakan diri di salon, biasanya istrinya lanjut shopping di mal. Ada saja yang dibeli. Kadang ia membeli pakaian, sepatu, tas, atau sekadar printilan aksesoris.
Devita sering nongkrong di kafe atau hangout dengan teman-temannya yang masih lajang.
Kelakuan istrinya sama saat masih gadis dulu. Mungkin Devita lupa sudah mempunyai suami yang harus diurus dan dilayani. Sadewa sungguh frustrasi menghadapi kelakuan istrinya yang masih childish, kekanak-kanakan. Bila dinasihati selalu merajuk dan marah serta membantah.
Bagi Sadewa, Devita hanya bisa memuaskannya di ranjang saja. Di luar urusan itu nol besar. Sama sekali tidak bisa diandalkan. Namun, ia begitu mencintai istri sirinya itu. Rasanya berat baginya untuk melepaskan.
Sadewa selalu berharap Devita bisa berubah. Bila Devita sudah berubah menjadi istri yang diharapkannya, ia berencana untuk menikahi perempuan itu secara resmi di KUA setelah menceraikan Gemi terlebih dulu. Sadewa hanya ingin memiliki satu istri saja sebenarnya.
Bab 6 Cantik Hati Saja Tak Cukup
Setelah Sadewa berangkat kerja, Gemi membereskan meja makan bekas sarapan suaminya. Gelas dan piring kotor dibawa ke dapur lalu segera dicucinya. Gadis bermata sendu itu masih sedih dan kecewa dengan penolakan dari lelaki yang baru sebulan menikahinya.
Gemi jadi teringat almarhumah Bu Gayatri--ibunya Sadewa--yang baik hati dan selalu siap menolong siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Ia heran, kenapa anak tunggalnya itu tidak menuruni sifat pemurah dari sang Ibu.
Gemi jadi teringat dengan Mbah Tum--neneknya--yang begitu perhatian dan menyayanginya. Dua orang baik itu cukup baginya sebagai pengganti ibunya yang tak pernah bisa dipeluknya sejak lahir.
Hingga saat ini Gemi masih penasaran ingin mengetahui siapa sosok bapaknya yang sebenarnya. Entah saat ini masih hidup atau sudah meninggal. Andai bertemu di jalan pun Gemi tak akan mengenali bapaknya. Di samping rasa kebencian karena merasa diabaikan dan ditelantarkan bapak kandungnya juga ia menyimpan sebentuk kerinduan.
Gemi mencuci piring sambil melamun, mengingat orang-orang yang disayanginya. Setelah selesai mencuci piring, perempuan itu masuk ke kamarnya yang berada di sudut dapur untuk mengambil ponselnya. Ia berencana akan meminjam uang kepada Haris saja. Ia sangat yakin sahabatnya itu pasti akan membantunya. Tidak seperti Sadewa yang tidak peduli kepadanya.
Saat hendak mencari nomor kontak Haris, ada sebuah notifikasi pesan masuk dari Sadewa. Meski masih kesal dengan Sadewa, Gemi segera membuka pesannya karena penasaran. Tidak biasanya suaminya itu mengirimkan sebuah pesan.
Ada kiriman bukti transfer e-banking ke rekeningnya sebesar lima ratus ribu.
[Maaf, uangku sisa segitu belum gajian.] Singkat, padat, dan jelas pesan yang dikirimkan Sadewa.
Gemi senang Sadewa ternyata masih peduli kepadanya. Ia menyesal sudah berprasangka buruk kepada suaminya. Dikasih setengah dari yang ia minta itu sudah disyukurinya. Ia paham mungkin uang Sadewa tinggal segitu di akhir bulan.
[Gapapa, makasih ya, Mas Dewa.] Balas Gemi lega.
Gemi urung meminjam uang kepada Haris. Uang transferan dari Sadewa hanya numpang lewat ke rekeningnya. Gadis desa itu segera mentransfer ke nomor rekening Pak Lik-nya.
Sebelum mulai beraktivitas, Gemi mengoleskan sunscreen ke wajahnya. Kini ia sudah menyadari bahwa kecantikan hati saja tidak cukup untuk memikat hati suaminya.
Baru kemarin Gemi membaca sebuah postingan yang lewat di beranda akun sosial medianya bahwa pria itu pada dasarnya adalah makhluk visual. Pertama kali yang dilihat oleh pria saat mencari pasangan kebanyakan adalah fisiknya dahulu. Makanya banyak pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mungkin Sadewa tipe pria seperti ini dalam memilih pasangan, mencari yang fisiknya enak dipandang. Sepertinya Sadewa jatuh cinta pada pandangan pertama saat pertama kali bertemu Devita yang cantik.
Seiring kematangan usia, pria akan menjadi bijaksana. Penilaiannya terhadap wanita pun turut bergeser, tidak akan lagi memandang seorang wanita dari sekadar fisiknya semata.
Berbeda halnya dengan kaum hawa yang tidak melulu memandang fisik dalam mencari pasangan. Kebanyakan wanita justru menyukai pria yang membuatnya merasa nyaman.
Gemi merasa perutnya perih. Dari semalam ia sengaja tidak makan nasi karena sudah memulai program diet. Ia ingin menurunkan berat badannya yang berlebih dengan tidak makan malam. Tujuannya agar berat badannya ideal, untuk menarik perhatian suaminya.
Bergegas Gemi ke dapur mengambil roti pizza yang sudah dibuatnya tadi pagi untuk sarapan Sadewa. Saat hendak mengigit roti, ia teringat dengan program dietnya. Diletakkan kembali roti itu tidak jadi di makan. Sarapan roti dianggapnya cukup berat. Di meja makan ada satu sisir pisang ambon yang dibelinya kemarin di tukang sayur.
Setelah menghabiskan dua buah pisang, perutnya yang sudah diisi tidak terasa sakit lagi. Gemi mulai melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian.
Setelah tiga hari berdiet ketat dengan tidak makan malam, hanya sarapan buah saja, dan hanya makan nasi satu kali sehari, dengan dada berdebar Gemi naik di alat timbangan.
"Hah! Cuma turun sekilo," gumamnya sembari menepuk jidatnya sendiri. Ternyata menurunkan berat badan terasa sulit baginya.
Setelah kecewa dengan hasil timbangan berat badan, Gemi beralih menatap wajahnya di cermin. Diperhatikannya wajahnya dengan saksama. Noda hitam bekas jerawatnya mulai tersamarkan. Wajahnya tampak sedikit lebih cerah.
"Alhamdulillah, ternyata skincare pemberian Haris ampuh juga khasiatnya. Baru memakai tiga hari saja, noda hitam di wajahku mulai tampak samar," batinnya puas.
Saat tengah meneliti wajahnya di cermin, ponsel Gemi berdering. Di layar ponselnya tertulis "Mas Dewa Calling".
Gemi segera meraih ponsel, menempelkan di telinga kirinya lalu mengucapkan salam. Gemi menautkan kedua alisnya, tidak biasanya suaminya menelepon.
"Gemi, tolong kamu antarkan berkas yang di ada di map biru!" perintah Sadewa tanpa basa-basi.
"Map birunya ada di mana, Mas?" tanya Gemi masih bingung dan tidak paham perintah Sadewa.
"Ada di meja kerja kamar saya. Tolong antarkan sekarang juga! Itu berkas laporan penjualan bulan ini. Saya butuh secepatnya. Ada rapat dadakan dengan manager."
Setelah berkata Sadewa main langsung menutup telponnya sebelum Gemi sempat menjawabnya. Begitulah Sadewa baik kepada Gemi hanya saat ada butuhnya saja. Gemi geleng-geleng kepala.
Gemi lantas bergegas ke kamar Sadewa dan Devita yang tidak dikunci. Baru sepuluh menit yang lalu, dia selesai membersihkan kamar setelah Devita pergi.
Setiap hari istri siri Sadewa itu selalu keluar rumah. Pulang sore hari, tetapi seringnya malam hari. Setiap hari Devita pulang dengan tentengan belanjaan di tangan kanan dan kirinya.
Setelah menemukan map biru yang dimaksud suaminya, Gemi segera memesan ojek online dari ponselnya sambil bersiap berganti dengan pakaian yang cukup pantas untuk ke kantor.
Tiga puluh menit kemudian, Gemi sudah tiba di gedung Buana Aksara, tempat kerja Sadewa. Gemi mendongak, memandang takjub gedung pencangkar langit yang ada di depannya.
"Pak, saya mau antar berkas untuk Pak Sadewa ruangannya ada di sebelah mana, ya?" tanya Gemi kepada petugas keamanan gedung.
"Oh, ada di lantai lima, Mbak,di kantor bagian pemasaran, ya," jawab seorang pria berseragam sekuriti dengan ramah.
"Makasih, Pak."
Dengan ragu Gemi melangkah memasuki gedung yang tampak mewah design interiornya. Setelah melewati lobi utama, gadis desa itu kembali kebingungan. Ia tidak menemukan ada tangga menuju ke lantai lima.
"Mas, saya mau ke lantai lima. Gimana caranya naik? Saya kok, nggak melihat ada tangga?" tanya Gemi dengan polosnya kepada seorang lelaki muda yang melintas di depannya.
Pria bertubuh tinggi tegap dan cukup tampan itu tersenyum manis. Ia merasa lucu dengan pertanyaan gadis yang terlihat lugu dan polos. "Ikuti saya juga mau ke lantai lima."
Gemi mengekor di belakangnya. Saat lelaki itu masuk lift, ia mengikuti masuk dan berdiri di sebelahnya.
"Bapak kenal Pak Sadewa?" tanya Gemi berbasa-basi ketika pintu lift tertutup dan mulai bergerak naik menuju lantai lima.
"Iya kenal. Kenapa memangnya, Mbak?" Pemuda itu menatap Gemi penuh selidik.
"Mas tahu ruangannya Pak Dewa di sebelah mana? Saya mau anter berkas ini. Katanya penting untuk rapat," ucap Gemi sambil menunjukkan map biru yang dipegangnya.
"Oh, kalo begitu Mbak kasihnya ke ruangan rapat saja. Saya juga mau ke sana. Rapatnya sendiri sudah lima belas menit yang lalu dimulai. Pasti Pak Dewa sudah ada di ruangan rapat."
"Oh, baik, Mas." Gemi merasa lega. Ia bisa mengikuti lelaki tampan itu masuk ke ruangan rapat.
Setelah keluar dari pintu lift, Gemi mengikuti langkah pria itu yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di ruangan yang bertuliskan "Meeting Room".
Pria yang bersama Gemi mengetuk pintu dua kali dahulu sebelum masuk.
Pintu ruang meeting terbuka. Seluruh peserta rapat menoleh ke arah pintu. Jantung Gemi berdegup kencang. Dari tempat duduknya Sadewa melambaikan tangan ke arah pintu dimana Gemi masih berdiri dengan mata mencari keberadaan Sadewa. Gemi melangkah mendekat ke tempat duduk Sadewa. Gemi merasa malu saat merasakan semua mata tertuju kepadanya.
"Ini berkas yang Bapak minta." Gemi mengangsurkan map biru yang sedari tadi dipegangnya.
"Makasih, ya."
"Sama-sama, Pak. Saya pamit pulang."
Burhanuddin yang menjabat sebagai manager pemasaran di kantor Buana Aksara dan tengah memimpin rapat menatap Gemi tanpa berkedip.
Pria paruh baya itu merasa de javu. Gemi sangat mirip dengan wanita yang pernah bekerja padanya sebagai ART di rumahnya 25 tahun yang lalu. Wanita masa lalunya, mantan pembantunya itu kerap menerornya dengan mimpi buruk.
Burhanuddin menjadi penasaran dengan sosok Gemi yang terlihat polos dan lugu. Lelaki paruh baya itu berniat akan menanyakan nanti kepada Sadewa selepas rapat.
Bab 7 De Javu
Burhanuddin selaku Manager Pemasaran PT Buana Aksara--sebuah penerbit buku berskala nasional-- mengumpulkan timnya di divisi pemasaran untuk rapat secara dadakan. Ada tender bernilai milyaran rupiah terkait pengadaan buku sekolah di salah satu wilayah di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di Kota Palembang yang terkenal dengan panganan pempek.
Sadewa yang menjabat sebagai Kepala Bagian Pemasaran buku sekolah menjadi kelabakan. Laporan penjualan yang sudah selesai dibuatnya tertinggal di rumah. Padahal semalaman ia sampai belain kerja lembur begadang demi menyelesaikan laporan itu. Akan tetapi, malah tertinggal karena bangun kesiangan dan terburu-buru langsung berangkat kerja.
Pukul sembilan pagi Devita biasanya masih molor. Ponselnya pun masih belum aktif. Sadewa tidak tahu Devita tumbenan keluar rumah jam sembilan kurang sepuluh menit. Perempuan kota itu tidak pernah berpamitan setiap keluar rumah
Karena berpikir Devita masih tidur, Sadewa langsung menelepon Gemi, menyuruh gadis desa itu untuk mengantarkan berkas laporan penjualan bulanan yang ada di map biru ke kantor secepatnya.
Dengan canggung Gemi memasuki ruangan meeting bersama seorang lelaki muda seumuran Sadewa. Pak Burhannudin menghentikan rapat sejenak melihat pintu ke arah pintu.
Lelaki paruh baya itu tersentak kaget. Matanya menatap Gemi tanpa berkedip. Wajah Gemi seperti familiar di memori otaknya. Pria paruh baya itu merasa de javu. Gemi sangat mirip dengan wanita yang bekerja sebagai ART di rumahnya 25 tahun yang lalu.
"Mungkinkah gadis ini putri dari Sumirah," batinnya.
Seketika pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah ketahuan hamil tanpa suami, istrinya mengusir Sumirah dari rumah mereka. Pak Burhan menyesal tidak memiliki keberanian mencegah kepergian gadis desa yang telah dinodainya itu. Ia hanyalah lelaki pengecut yang lari dari tanggung jawab. Hal itu sangat disesalinya hingga kini.
Setelah memberikan map biru kepada Sadewa, Gemi pun pulang. Istri sah dari Sadewa itu tidak tahu bahwa dari tadi bos suaminya memperhatikan gerak-geriknya.
Selama memimpin rapat, Pak Burhan tidak bisa fokus dan berkonsentrasi. Wajah lugu Gemi selalu terbayang di pelupuk matanya. Wajah itu sangat mirip dengan ART-nya dulu, Sumirah.
Ingatan Pak Burhan kembali ke masa lalu, saat istrinya hamil. Kehamilan yang sedikit merepotkan dan bermasalah. Morning sickness sepanjang hari membuat sang istri hanya terbaring di tempat tidur sepanjang hari.
Pak Burhan mencarikan ART untuk menemani dan melayani istrinya ketika ia bekerja. Sumirah, gadis dari desa itu menjadi ART-nya.
Sumirah kerjanya bagus dan cekatan. Pak Burhan dan istrinya menyukai pekerjaan gadis dari desa itu. Saat masa nifas setelah melahirkan di mana sang istri belum boleh untuk melayani kebutuhan biologisnya, Pak Burhan yang tidak bisa menahan diri, menyalurkan nafsu syahwatnya kepada Sumirah, pembantunya sendiri dengan merudapaksa.
Saat ketahuan tengah berbadan dua tanpa suami, istri Pak Burhan yang tidak mengetahui Sumirah hamil anak dari suaminya, mengusir ART-nya itu.
Pak Burhan tidak mau bertanggung jawab dengan anak yang dikandung ART-nya. Lelaki pengecut itu pura-pura tidak tahu karena takut istrinya akan marah dan minta bercerai.
Sumirah pulang kampung dengan perasaan hancur, membawa aib bagi keluarganya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Hamil di luar nikah membuat Sumirah dihujat warga desa, dituduh perempuan murahan, tidak bener.
Sumirah menjalani kehamilan dengan stres dan perasaan tertekan. Penderitanya berakhir saat melahirkan bayinya, ia pertaruhkan nyawanya. Bayi malang itu pun lahir tanpa mengenal wajah ibu bapaknya.
"Dewa, setelah selesai rapat, kamu menghadap ke ruangan saya," perintah Pak Burhan. Kehadiran Gemi membuat pikirannya jadi kalut. Pria paruh baya itu menjadi sulit berkonsentrasi dan memilih pergi dari ruangan rapat untuk menenangkan dirinya.
"Baik, Pak," jawab Sadewa.
Sadewa khawatir, laporannya mungkin salah dan ada masalah hingga ia harus menghadap ke ruangan bosnya.
"Fathur, kau lanjutkan rapatnya, saya tiba-tiba tidak enak badan."
Pak Burhan menyuruh menantunya, Fathurrahman yang menjabat sebagai asisten manager pemasaran untuk menggantikan dirinya memimpin rapat.
Fathur adalah lelaki yang bertemu dengan Gemi di lobi gedung dan mengajaknya bareng naik lift menuju tempat rapat.
"Baik, Pah." Fathur bangkit dari duduknya melangkah ke depan untuk memimpin rapat menggantikan mertuanya yang undur diri.
Satu jam kemudian rapat usai. Sadewa segera bergegas menuju ke ruangan Pak Burhan, atasannya yang berada di lantai yang sama dengan ruangan rapat. Perasaannya was-was takut kena semprot bosnya itu terkait laporan keuangan yang dibuatnya. Setelah mengetuk pintu, pria tampan itu memasuki ruangan yang cukup luas.
Atasannya itu sudah menunggu kedatangan Sadewa. Pak Burhan tengah duduk bersandar di sofa. Sadewa deg-degan takut ada yang salah dengan laporan keuangan yang dibuatnya. Ia sudah menyiapkan mental untuk dimarahi. Bosnya ini killer, tidak segan untuk mengomeli karyawan yang kinerjanya tidak benar.
"Dewa, siapa perempuan yang menemuimu di ruang rapat tadi?" tanya Pak Burhan langsung pada inti pertanyaannya saat Sadewa baru saja duduk.
Sadewa mengerutkan keningnya, merasa heran atasannya tiba-tiba menanyakan Gemi istrinya. Pikirnya mungkin Pak Burhan yang seorang duda menyukai gadis desa itu dan ingin memperistrinya. Sadewa mengeleng, menepis prasangka buruknya. Rasanya tidak mungkin, sangkalnya.
"Dia ... A-RT saya, Pak," sahut Sadewa ragu menyebut Gemi sebagai ART.
Tidak mungkin Sadewa mengakui Gemi sebagai istrinya. Soalnya hampir semua karyawan kantor di divisi pemasaran mengenal Devita yang cantik jelita sebagai istrinya.
Sadewa bangga memiliki istri yang teramat cantik. Di setiap kegiatan kantor, ia kerap mengajak Devita ikut serta. Tidak mungkin Sadewa memperkenalkan Gemi yang tidak good looking dan berpenampilan udik sebagai istrinya. Beristri dua juga akan banyak hujatan. Sebagian besar orang banyak alergi saat mendengar poligami. Itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Oh, sudah lama ART itu bekerja sama kamu?" Pak Burhan tampak tertarik dan makin penasaran.
"Baru sebulan, Pak."
Sadewa makin tidak mengerti atasannya begitu kepo ingin tahu semua tentang Gemi.
"ART-mu siapa namanya?"
"Gemi," sahut Sadewa menautkan kedua alisnya.
"Nama panjangnya?" Pak Burhan sangat ingin tahu semua hal tentang Gemi.
"Gemi Nastiti," sahut Sadewa makin tidak mengerti maksudnya. Buat apa atasannya segala menanyakan namanya, bahkan hingga nama panjangnya. Lelaki tampan itu merasa tingkah bosnya itu absurd.
"Namanya unik dan njawani. Saya suka nama itu. Asalnya Gemi darimana?" Pak Burhan ingin tahu lebih banyak gadis yang mirip mantan ART-nya.
Sadewa menghela napas sebelum menjawab pertanyaan dari Pak Burhan. "Klaten, Pak. Gemi itu tetangga saya. Dulu bekerja sama Ibu saya. Setelah Ibu meninggal jadi saya ajak ikut ke Jakarta."
"Oh, Klaten. Sebelah mananya pasar Delanggu? Yang terkenal beras rojo lelenya itu?"
"Iya bener, Pak. Itu desa saya." Sadewa makin bingung, Pak Burhan tahu daerah kampung halamannya.
"Apakah kedua orang tua Gemi masih hidup?" Pak Burhan terus menginterogasi Sadewa. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan. Informasi yang diberikan Sadewa makin membuatnya penasaran.
"Ibunya sudah meninggal saat melahirkan Gemi, Pak."
Pak Burhannudin tersentak kaget, lalu berucap, ""Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun. Lalu bapaknya masih ada?"
"Gemi tidak pernah mengenal siapa bapaknya karena ibunya mengandung anak karena diperkosa majikannya saat bekerja sebagai pembantu di Jakarta," jelas Sadewa. Semua warga desa tahu tentang hal itu. Sadewa mengetahui hal itu bahkan saat masih kecil.
Mendengar penuturan dari Sadewa, Pak Burhan sangat yakin bahwa Gemi adalah anaknya Sumirah dan berarti adalah anak kandungnya.
Dada Pak Burhan serasa sesak. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menyesal dan merasa sangat bersalah dengan perbuatannya di masa lalu.
Sumirah sudah meninggal karena dirinya. Ia bahkan belum sempat meminta maaf dan menebus dosanya kepada ART-nya itu. Perasaan bersalah dan penyesalan yang teramat dalam menyelusup sanubarinya.
Pak Burhanuddin terlarut dalam lamunannya. Sementara Sadewa hanya diam menunggu dengan bingung dan tidak mengerti, bosnya begitu ingin mengetahui identitas istri sahnya secara mendetail.
Sadewa juga heran setelah bertanya banyak tentang Gemi, wajahnya berubah menjadi sendu. Tampak raut kesedihan di sorot mata pria paruh baya itu.
"Apa boleh Gemi bekerja di rumah saya. Kamu tahu Cherry, cucu saya itu tahun depan masuk taman kanak-kanak. Saya ingin Gemi bisa mengantar jemput cucu saya ke sekolah."
Pak Burhan mencari alasan agar bisa berdekatan dengan Gemi. Tanpa melakukan tes DNA ia yakin bahwa Gemi adalah anaknya. Wajah Gemi sangat mirip dengan Sumirah.
Sadewa terperanjat saat Pak Burhan mau menjadikan Gemi sebagai pengasuh cucunya. Dia menyesal mengenalkan Gemi sebagai ART-nya. Harusnya ia pikir mungkin bisa mengakui Gemi sebagai saudara jauhnya atau mungkin sepupunya.
"Maaf, Pak. Nanti saya diskusikan dulu dengan Devita, istri saya di rumah." Sadewa hanya bisa mengulur waktu dalam menjawabnya.
"Oke. Udah itu aja yang mau kutanyakan. Kamu boleh pergi sekarang!"
"Baik, saya permisi mau kembali bekerja, Pak." Sadewa bangkit dari duduknya. Saat hendak melangkah keluar lelaki paruh baya itu memanggilnya.
"Sebentar ada yang terlupa. Besok pagi selama tiga hari kamu harus pergi dinas luar kota ke Palembang untuk mengecek dan memantau tender pengadaan buku di sana. Kamu 'kan sebagai penanggung jawab, ya!"
Karena masalah pribadi, Pak Burhan sampai lupa dengan urusan pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
"Baik, Pak."
Sadewa kadang harus pergi ke luar kota mengurus pekerjaan yang ada di kantor cabang di seluruh Indonesia.
Sadewa masih heran kenapa Pak Burhan begitu ingin Gemi bekerja untuknya. Seperti ada sesuatu yang dirahasiakan dari sorot mata pria setengah baya itu yang mendadak sendu saat ia berkisah tentang kehidupan Gemi.
Bab 8 Masih Bertahan
Sadewa mendapatkan tugas langsung dari Pak Burhan selaku atasannya untuk menangani tender pengadaan buku sekolah di wilayah Palembang. Sampai akhir pekan ia masih berada di daerah yang terkenal akan sungai Musi dan penganan pempeknya itu.
Devita pun pergi dari selepas Zuhur belum kembali. Biasanya istri siri Sadewa itu juga selalu pulang larut malam. Gemi sudah terbiasa sendirian di rumah. Rumah dalam keadaan sepi justru membuatnya merasa nyaman. Devita yang berlagak bossy, apa-apa minta dilayani sering membuat Gemi merasa kesal dan merasa buruk mood-nya.
Setelah selesai dengan pekerjaan rumah, Gemi menghabiskan waktu dengan scroll-scroll sosial medianya. Sebuah notifikasi pesan dari sahabat dari kecilnya, Haris terbaca di layar ponselnya.
[Lagi ngapain?]
[Bosan, sendirian di rumah. Mas Dewa dinas ke Palembang.] Balas Gemi yang kebetulan sedang online.
[Aku lagi main ke Jakarta, nih. Habis gajian, mau kutraktir makan yang enak?]
[Makan apa yang enak? Nggak mau, aku lagi diet.]
[Hahaha ... sok-sokkan diet. Maunya apa? Mau nggak keliling Jakarta naik motor malam-malam?]
Selama sebulan berada di ibukota Jakarta, Gemi belum pernah pergi ke mana pun, seperti katak dalam tempurung, tidak tahu dunia luar. Tawaran Haris untuk berkeliling Jakarta sepertinya menggiurkan.
Sebagai istri yang tidak pernah dianggap, Sadewa sekali pun belum pernah mengajaknya pergi. Naik mobil suaminya pun Gemi belum pernah merasakannya. Meski istri sah, tetapi nasibnya seperti istri simpanan yang dirahasiakan dari ranah publik. Miris sekali nasib gadis lugu dari desa itu, selalu tersisihkan.
Dari kecil Gemi selalu penasaran ingin sekali melihat ikon Jakarta seperti Monas, Istiqlal, Ancol, Ragunan, Taman Mini, dan banyak tempat lain yang sering didengarnya dari cerita orang dan semua tempat itu sering dilihatnya di televisi.
[Aku mau keliling Jakarta, Ris. Aku pengen lihat Jakarta dari puncak Monas. Bentar ya, aku izin sama Mas Dewa dulu.]
Gemi yang tengah suntuk dan dan dilanda kebosanan ingin melepaskan penat sejak dengan berjalan-jalan. Selama ini Sadewa tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Gemi ingin mencari kebahagiaan dengan caranya sendiri. Terlalu berharap kepada Sadewa sering membuatnya kecewa.
Gemi tahu, sebagai istri tidak seharusnya ia pergi dengan lelaki lain saat suaminya tidak ada di rumah. Namun, baginya Haris bukanlah orang lain. Dia dan Haris selalu bersama bahkan sejak bayi. Ia pikir Sadewa akan memaklumi kedekatannya dengan Haris. Gemi pikir Sadewa tidak akan cemburu karena lelaki itu tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Namun, sebagai istri, ia merasa tetap harus meminta izin kepada suaminya.
Haris menyanggupi permintaan sahabat masa kecilnya itu. Kebetulan ia ke Jakarta bawa sepeda motor. Sebenarnya ia sudah berada di depan gerbang kompleks perumahan saat menghubungi Gemi.
Haris sengaja datang ke Jakarta untuk mengunjungi sahabatnya. Ia masih meragukan ketulusan Sadewa. Ia berpikir Sadewa tidak benar-benar mencintai Gemi. Ia khawatir Gemi hanya dimanfaatkan saja. Ia ingin memastikan perempuan yang masih dicintainya hingga kini sudah hidup berbahagia dengan suaminya.
Sehabis gajian, pemuda desa itu ingin mentraktir Gemi makan enak. Karena lagi program diet, Gemi menolak.
[Mas Dewa, aku izin pergi sama Haris ke Monas. Sudah sebulan lebih aku di Jakarta Mas Dewa nggak pernah sekalipun ngajak aku pergi.]
Meski tak dianggap sebagai istri, Gemi tetap harus meminta izin kepada Sadewa. Bagaimana pun juga Sadewa adalah suaminya.
Di seberang pulau, Sadewa sudah membaca pesan dari Gemi. Sebenarnya ia kurang suka membiarkan Gemi pergi dengan Haris. Ia merasa Gemi adalah miliknya. Egois memang pria tampan itu.
Sadewa merasa bersalah belum pernah mengajak Gemi pergi. Ia merasa bersalah telah memanfaatkan keluguan Gemi demi kepentingan pribadinya. Gemi gadis yang baik dan lugu. Ia pun tidak tega untuk menyakitinya. Hanya Devita yang jadi prioritas utamanya selama ini.
[Iya, kuizinkan pergi, tetapi jangan pulang malam-malam. Paling telat jam sepuluh sudah harus di rumah.]
Gemi segera bersiap setelah Sadewa memberikan izin.
Dari kecil hanya Haris yang mau berteman dengan Gemi. Anak-anak lain sering menganggu dan membully Gemi yang bertubuh gendut sejak kecil. Meski hidup pas-pasan, Bu Gayatri--ibunya Sadewa--selalu memberikan makanan yang enak-enak untuk Gemi yang selalu ikut membantu Mbah Tum bekerja. Karena banyak makan dari kecil Gemi sudah gendut.
Ketika membuka pintu, Gemi terkejut melihat Haris sudah menunggunya di depan pintu pagar, duduk di atas jok sepeda motor matiknya. Haris mengenakan kaus oblong hitam dibagian dalam dan luarnya kemeja lengan panjang hitam bermotif kotak-kotak.
"Widih, penampilan kamu keren juga malam ini!" puji Gemi tulus.
"Biasa aja." Haris jadi salah tingkah mendapatkan pujian dari perempuan yang masih dicintainya hingga kini.
"Dah lama nunggu, Ris?" tanya Gemi sudah berdiri di samping motor.
"Ah ... Nggak. Baru juga sampai." Padahal sudah dua puluh menit Haris menunggu saking semangatnya ingin pergi malam mingguan dengan Gemi. "Nih, helmnya! Mau dipakein?" ledek Haris.
"Nggak, Bisa sendiri."
Haris mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, memberikan kesempatan bagi Gemi untuk menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang mereka lewati.
Sesekali Haris memberitahu nama jalan yang mereka lewati. Gemi menikmati keramaian ibukota di akhir pekan. Gadis desa itu memandang takjub gedung-gedung pencangkar langit yang berada di sepanjang jalan menuju Monas sebagai tujuan pertama mereka.
Menghirup udara luar membuat pikirin Gemi jadi segar. Sejenak ia melupakan kepedihan hatinya masih diabaikan oleh lelaki yang sudah menjadi suaminya. Pernikahannya dengan Sadewa seperti hanya di atas kertas. Harapan suaminya akan berubah membuat Gemi masih bertahan selama satu bulan.
Meski sering didera perasaan cemburu setiap melihat Sadewa dan Devita mengumbar kemesraan di depan matanya. Gemi masih bersabar meski diperlakukan buruk oleh Devita.
"Gemi, aku kelaparan, nih! Temani makan, yuk!" Haris yang belum makan malam merasakan perutnya perih.
"Sudah kubilang seminggu ini aku nggak pernah lagi makan malam, Ris."
"Mana seru makan sendirian. Ya udah kamu tega membiarkanku kelaparan." Haris mulai merajuk, memasang tampang memelas.
"Ya, udah aku manut, mau makan apa?" Gemi yang tidak tega dan tidak enakan akhirnya mengalah.
Haris membelokkan sepeda motornya ke pelataran sebuah mall yang ada di bilangan Jakarta Timur. Pria bertubuh tinggi dan tegap itu akan mengajak Gemi makan di resto Jepang.
Resto itu ada di lantai tiga. Saat menaiki eskalator pandangan mata Haris tertuju ke toko pakaian.
"Mumpung aku baru gajian, kubelikan baju baru mau nggak?" Haris prihatin melihat baju yang dipakai Gemi bepergian hanya itu-itu saja. Ia sampai hapal semua model dan corak bajunya.
"Nggak usah. Mending uangnya kamu kirim ke kampung buat Mbok Nah atau kamu tabung aja buat persiapan nikah."
Gemi menolak tawaran dari Haris. Seharusnya membelikan pakaian itu kewajiban Sadewa sebagai suaminya.
Karena sudah lapar, Haris langsung menuju ke lantai tiga. Saat menaiki eskalator, tanpa sengaja Gemi melihat Devita tengah berbelanja pakaian bersama seorang lelaki. Devita bergelayut manja di lengan lelaki berkumis yang berusia matang, sekitar 35 tahun.
Siapakah lelaki yang bersama Devita? Apakah Devita Selingkuh?
"Lihat apaan, Gemi? Kok, sampai serius, gitu?" tanya Haris penasaran. Sedari tadi Gemi mengacuhkannya karena begitu seriusnya gadis desa itu mengamati Devita.
"Oh, Eh, nggak papa. Aku tadi sekilas kayak melihat temanku ada di mall."
Resto Jepang itu tidak begitu ramai pembeli karena sudah lewat jam makan malam. Haris memesan menu. Gemi yang baru pertama kali makan di resto Jepang ikut saja menu yang dipilih Haris.
"Gemi, kamu bahagia menikah dengan Mas Dewa?" tanya Haris sambil menyuap makanan bento ke mulutnya.
"Hum," jawab Gemi berupa gumaman saja.
"Aku tak yakin Mas Dewa tulus mencintaimu. Yang kudengar ia menikahimu karena terpaksa, demi ibunya. Benar 'kan?
"Ris, kamu tahu pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa," sanggah Gemi.
"Iya, tetapi pepatah itu tidak selamanya benar. Buktinya kamu tidak cinta sama aku meski kita sudah lebih dari dua puluh tahun bersama," sanggah Haris sambil tertawa.
"Itu beda kasus, Ris."
"Memang kamu tidak lelah menunggu? Sampai kapan? Jangan terlalu memaksakan diri. Bila kamu sudah lelah, sudahi saja."
"Terlalu dini untuk menyerah, Ris. Baru juga berjalan satu bulan lebih. Aku masih berharap Mas Dewa melihat ketulusanku." Gemi masih ingin memperjuangkan cinta Sadewa. Ia masih berharap suatu hari nanti suaminya bisa mencintainya dengan tulus. Meski harapan itu rasanya tipis saat mengingat betapa cintanya Sadewa kepada Devita.
Bab 9 Rahasia Terungkap
Berwisata malam dengan Haris berkeliling ibukota Jakarta membuat pikiran Gemi menjadi lebih segar, layaknya baterei yang baru diisi lagi dayanya. Healing membuat mood-nya membaik.
Sebelum pukul sepuluh malam Gemi sudah kembali ke rumah sesuai izin yang diberikan suaminya. Kelelahan membuat gadis desa itu lekas tertidur setelah membersihkan badan.
Dalam keadaan lelah Gemi masih sempat mengoleskan night cream pemberian Haris ke seluruh wajah. Noda hitam bekas jerawat sudah mulai tersamarkan meski sepenuhnya belum menghilang. Wajahnya sudah terlihat lebih cerah. Semua butuh proses, ada waktunya. Tidak ada yang instan. Bahkan mie instan pun harus direbus dulu baru bisa dinikmati.
Pukul tiga dini hari Gemi terbiasa bangun untuk melakukan Sholat Tahajud. Kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak masih duduk di bangku sekolah. Mbah Tum--neneknya--meski sudah renta masih rajin sholat malam. Gemi mengikuti kebiasaan baik dari simbahnya itu.
Setelah mengucap salam, menengok ke kanan dan ke kiri, Gemi mendengar suara deru mobil yang berhenti tepat di depan rumah. Ia pikir Sadewa pulang lebih cepat dari jadwal. Masih mengenakan mukena, bergegas Gemi melangkah ke depan sambil membawa kunci pintu pagar.
Sebelum membuka pintu, Gemi menyibak gorden jendela, mengintip keluar untuk memastikan bahwa itu betulan mobil Sadewa bukan mobil tetangga depan rumahnya, majikannya Siti.
Gemi terbelalak saat melihat pemandangan yang terpampang nyata di depan matanya. Bukan Sadewa yang pulang melainkan Devita. Yang membuat Gemi syok, istri siri Sadewa itu pulang dengan diantarkan seorang lelaki berusia matang seperti om-om.
Gemi masih ingat betul wajah pria berkumis tipis itu sama dengan yang dilihatnya saat di pusat perbelanjaan bareng Haris semalam. Devita terlihat genit, cipika-cipiki dan berpelukan dengan lelaki itu.
Siapakah lelaki itu? Apa Devita berselingkuh? Berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Tidak ingin ketahuan, Gemi buru-buru balik ke kamarnya saat Devita sudah berjalan menuju teras rumah. Gemi tidak perlu membukakan pintu karena Devita membawa kunci cadangan.
Di dalam kamarnya, Gemi masih menenangkan dirinya yang masih syok. Ia tidak menyangka kelakuan Devita begitu murahan. Ia merasa kasihan dengan Sadewa yang mencintai Devita dengan tulus. Namun, ketulusan cintanya dibalas pengkhianatan.
Gemi bimbang antara ingin mengadukan perselingkuhan Devita kepada Sadewa atau membiarkan saja pura-pura tidak tahu. Lama gadis lugu itu berpikir dan menimbang keputusan yang akan diambilnya.
Gemi kasihan bila Sadewa terus dibohongi dan dikhianati oleh Devita. Wanita cantik itu seperti memanfaatkan kebaikan suaminya. Bila Sadewa marah dan langsung menceraikan Devita, itu akan menguntungkan baginya. Devita akan tersingkir dari kehidupan Sadewa.
Gemi lelah seperti menjadi istri simpanan, padahal ia adalah istri sah. Bila Sadewa marah lalu menceraikan Devita, bukankah itu menguntungkan baginya. Gemi tidak ada saingan lagi untuk mendapatkan cinta dari Sadewa.
[Mas Dewa, Devita baru pulang diantarkan seorang lelaki.]
Gemi akhirnya mengadukan kelakuan Devita saat itu juga sebelum ia berubah pikiran. Ia hanya kasihan Sadewa yang naif terus dibohongi Devita yang seperti pandai bersandiwara.
Gemi masih bertahan hidup di ibu kota karena ia tidak yakin Devita akan menjadi istri yang baik. Sadewa yang polos seperti dimanfaatkan perempuan cantik itu hanya dijadikan sapi perah.
Perawatan wajah dan gaya hidup Devita membuat keuangan Sadewa makin morat-marit, tidak stabil. Sadewa sampai harus meminjam uang kantor menutupi semua kebutuhan hidup setelah berkeluarga.
Menjelang sore terdengar deru mobil Sadewa di depan rumah. Devita berlari-lari kecil menyongsong kehadiran suaminya saat mendengar deru mobil memasuki garasi.
"Maaas, aku kangen!" Devita bergelayut manja di lengan suaminya.
"Aku lelah," balas Sadewa sambil menepis tangan Devita membuat perempuan cantik itu menautkan kedua alisnya, heran dengan sikap dingin suaminya.
Sadewa menjadi kesal dengan Devita karena mendapatkan aduan dari Gemi bahwa istrinya itu pergi dengan lelaki lain saat ia tidak ada di rumah.
Gemi yang mengeluarkan kopor dari bagasi mobil merasa puas, Sadewa percaya apa yang ia katakan. Sikapnya mulai dingin terhadap Devita.
Sadewa duduk menyandarkan tubuhnya di sofa. Fisiknya lelah setelah pulang dari perjalanan. Namun, batinnya sakit mengingat aduan Gemi, Devita pergi dengan lelaki lain saat ia tak ada di rumah.
"Mas, kamu kenapa cemberut, gitu? Capek, ya? Mau kupijat?" Devita langsung memegang kedua pundak suaminya itu.
Sadewa mencengkal pergelangan tangan Devita, menyingkirkan dari bahunya, "Nggak usah!"
"Mas Dewa kenapa pulang-pulang kok dingin begini. Aku kesel tau ... Dari tadi dikacangin." Devita marah dengan penolakan dan sikap dingin Sadewa kepadanya.
"Siapa lelaki yang bersama kamu saat aku tidak ada di rumah?" Sadewa sudah tidak tahan lagi.
"Lelaki yang mana?" Devita mencoba menyangkal.
"Lelaki yang jalan ke mal sama kamu. Juga lelaki yang mengantarkanmu pulang. Apa pantas seorang perempuan bersuami pulang dini hari dengan diantarkan oleh lelaki lain saat suaminya sedang tidak ada di rumah." Sadewa akhirnya meluapkan semua kemarahan yang tadi sempat ditahannya.
"Mas tahu dari mana?" Devita terperanjat, heran suaminya bisa mengetahui semua.
"Jadi bener yang kukatakan barusan? Kamu tidak menyangkalnya. Tak penting aku bisa tahu darimana. Informasi itu memang benar?" Sekali lagi Sadewa bertanya untuk memastikan.
"Iya bener. Lelaki itu omku yang baru datang dari Australia. Terserah Mas Dewa percaya atau tidak," Devita berusaha menyangkal dengan membuat berita bohong.
"Aku lelah, mau istirahat." Sadewa sepertinya mulai ragu. Ia percaya lelaki itu Omnya Devita.
Setelah Sadewa masuk kamar dan menutup pintu, Devita melangkah menuju kamar kecil di dekat dapur. Kamar pembantu yang kini ditempati Gemi. Devita tanpa permisi langsung mendobrak pintu.
"Hei, pembantu udik. Pasti kamu kan yang mengadu ke Mas Dewa?" hardik Devita dengan sorot mata menyala karena marah.
"Iya." Gemi tidak menyangkal dan mengakuinya.
"Pembantu kurang ajar! Pergi kamu dari sini. Aku tidak butuh pembantu tukang adu." Dengan kasar Devita mendorong tubuh Gemi hingga perempuan bertubuh gendut itu jatuh terjengkang di atas kasur.
Tidak puas Devita melayangkan tangan hendak menampar Gemi.
"Cukup, Devita!" Gemi menahan tangan Devita yang hampir mengenai pipinya.
"Pembantu kurang ajar. Berani ngelawan, ya! Pergi kamu sekarang juga!" Devita makin murka, mengusir Gemi dari rumah.
"Kamu tidak berhak mengusirku karena aku istri sah dari Mas Dewa. Kamu yang seharusnya pergi!" Gemi terdesak. Tidak tahan dengan kelakuan Devita yang sudah diluar batas, akhirnya ia ungkapkan jati dirinya yang sebenarnya.
Gemi sudah tidak berpikir Sadewa akan marah. Kali ini gadis desa itu ingin egois, hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia lelah bersandiwara.
Ia lelah selalu mengalah dan teraniaya oleh sikap kasar Devita.
"Apa? Mimpi kamu! Mas Dewa mana selera sama perempuan jelek, item, gendut pula." Devita tertawa mengejek.
Gemi membuka tasnya mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Ini buktinya!"
Devita segera merebut buku kecil dengan sampul burung Garuda dan tertulis Buku Nikah. Wanita cantik itu syok setelah melihat ada foto Sadewa dan Gemi di buku nikah.
"Sebagai istri sah, aku lebih berhak tinggal di rumah ini daripada kamu, Devita!"
Gemi mulai berani unjuk gigi. Sudah cukup selama ini Devita selalu menghina dan merendahkan dirinya. Ia sudah tidak tahan lagi.
"Aku yang dinikahi duluan sama Mas Dewa. Mas Dewa nikahi kamu itu karena terpaksa. Mas Dewa cinta mati sama aku. Kamu hanya perempuan udik jelek, jangan ngimpi bisa dapetin hatinya. Dasar pelakor!"
Devita melemparkan buku kecil itu ke sembarang arah, lalu pergi. Ia akan minta penjelasan dari Sadewa merasa telah dikhianati dan dibohongi selama ini.
Bab 10 Genderang Perang Ditabuh
"Aku duluan yang dinikahi Mas Dewa. Mas Dewa nikahi kamu juga karena terpaksa. Hanya demi ibunya. Dia tidak pernah sekalipun menginginkanmu. Asal kamu tahu Gemi, Mas Dewa itu cinta mati sama aku." Devita merasa di atas angin, merasa dicintai Sadewa.
"Jangan ngimpi kamu bisa dapetin hatinya. Dasar pelakor!" Devita memaki-maki Gemi seenaknya, melampiaskan kekesalannya.
Devita menuduh Gemi sebagai pelakor karena merasa ia dinikahi Sadewa lebih dulu. Sementara Gemi merasa ia lebih berhak atas Sadewa karena dinikahi secara sah secara agama dan negara. Ada bukti buku nikahnya dengan Sadewa. Sementara Devita hanya dinikahi di bawah tangan, tidak sah secara hukum.
Devita melemparkan buku nikah milik Gemi itu ke sembarang arah, lalu pergi meninggalkan kamar sempit di sudut dapur yang ditempati oleh gadis desa itu dengan kemarahan yang meluap.
Wanita cantik itu melangkah dengan tergesa-gesa menuju kamarnya dengan Sadewa. Napasnya memburu. Ia akan minta penjelasan dari suaminya, merasa telah dikhianati dan dibohongi selama ini. Devita berencana akan meluapkan kemarahannya kepada Sadewa.
"Maaaas, kenapa kamu membohongiku selama ini?" protes Devita ketika baru masuk kamar.
"Bohong apaan?" tanya Sadewa gusar, merasa istirahatnya terganggu oleh teriakan sang istri.
"Kenapa nggak bilang di kampung Mas Dewa menikahi Gemi," ucap Devita dengan nada tinggi. Ia seakan tak terima diperlakukan seperti itu oleh Sadewa.
Sadewa terperangah, tak menyangka Devita sudah mengetahui sesuatu yang berusaha untuk disembunyikan dan dirahasiakannya. Pasti Gemi sudah bercerita, pikir lelaki tampan itu.
"Aku terpaksa menikahi Gemi karena desakan Ibu. Itu permintaan terakhir Ibu yang nggak bisa kutolak." Sadewa berusaha membela diri, enggan disalahkan.
"Ibu udah meninggal sekarang. Kenapa tidak kau ceraikan saja perempuan udik itu. Kenapa malah kau bawa ke rumah ini." Devita masih emosi, berbicara sambil berteriak-teriak.
"Aku kasihan Gemi sudah nggak punya orang tua. Bukannya kamu senang Gemi tinggal di sini buat bantu beres-beres rumah dan bisa kau suruh-suruh layaknya pembantu." Sadewa terus membela diri.
"Ya, kalo Gemi beneran pembantu, aku senang. Tapi ... dia perempuan yang kamu nikahi. Aku nggak sudi tinggal serumah dengan perempuan kampungan itu. Nggak level aku saingan sama babu. Usir dia dari sini, Mas. Suruh Gemi pulang kampung saja."
Devita terus meracau tidak terima suaminya menikahi perempuan lain. Ia terus memprovokasi suaminya untuk menceraikan Gemi.
"Kamu tenang dulu, Sayang," bujuk Sadewa untuk meredakan kemarahan istrinya.
"Nggak! Pokoknya Mas Dewa harus memilih salah satu. Pilih aku atau dia." Devita mulai mengancam.
Sadewa menghela napas kasar. Pria tampan itu bingung bila disuruh memilih salah satu. Masing-masing dari istrinya memiliki poin plus dan minus.
Sadewa mencintai Devita yang cantik jelita, bisa dibanggakan tetapi berakhlak minus. Sementara Gemi juga seorang istri yang baik dan rajin. Namun, secara fisik tidak menarik. Ia malu mengakui Gemi sebagai istrinya.
Ibu sudah menitipkan Gemi kepadanya. Sadewa tidak tega bila harus menceraikan Gemi. Ia ingin menjaga amanah ibunya.
***
Karena rahasianya sudah terbongkar, Gemi mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi Devita yang pasti tidak akan tinggal diam dan tidak akan membuat hidupnya tenang. Gadis lugu itu berpikir harus lebih waspada karena mungkin Devita akan berusaha menyingkirkannya dari rumah ini.
"Gemiii ... bikinin kopi!" teriak Devita dari ruang tengah. Wanita cantik itu rupanya lupa bahwa Gemi bukan lagi pembantu di rumah ini. Kedudukannya dan Gemi sederajat sama-sama sebagai istri dari lelaki bernama Sadewa.
"Bikin aja sendiri. Aku bukan babumu, Devita," sahut Gemi dengan tegas menolak. Gadis desa itu tengah sibuk memasak di dapur. Karena Devita sudah tahu kebenarannya, Gemi enggan diperlakukan seperti pembantu. Ia merasa kedudukannya sama dengan Devita sebagai istri Sadewa.
Devita lupa status Gemi yang bukanlah pembantu. Ia terbiasa dilayani dan sikapnya bossy. Meski kesal Devita diam saja tidak membalas ucapan Gemi. Perempuan cantik itu ke dapur menyeduh sendiri kopinya dengan tampang cemberut.
***
Pukul delapan pagi, seperti biasa tukang sayur langganan Gemi sudah mangkal di pertigaan jalan. Gadis bertubuh pendek dan gendut ikut bergabung dengan ibu-ibu tengah yang memilih sayuran sambil ngerumpi. Meski sudah diet, berat badan Gemi tidak turun dengan signifikan. Dua minggu berdiet, berat badannya hanya turun tiga kilo saja.
"Mau masak apa Mbak Gemi?" tegur Siti Fathonah, ART yang tinggal persis di depan rumah. Siti adalah ART termuda di kompleks.
"Pengen masak yang seger, soto ayam, Sit," balas Gemi sambil mengambil tauge yang sudah dikemas perkantong seharga lima ribu.
"Eh, Bu Dewa tumben keluar!"
Gemi terkejut ketika ada yang menyebut nama Bu Dewa. Ia berpikir semua warga kompleks sudah tahu bahwa ia adalah istri sah dari Sadewa.
Ketika Gemi menoleh, ternyata Devita sudah berdiri di samping gerobak sayur, memberikan tatapan kebencian kepadanya. Gadis desa itu sedikit gugup dan ketar-ketir, waspada dengan apa yang akan dilakukan Devita terhadap dirinya.
'Tidak biasanya Devita bangun pagi,' pikir Gemi heran.
Tiba-tiba perasaan Gemi tidak enak. Devita pasti mempunyai maksud tertentu, yang pasti maksud buruk kepada dirinya. Aneh saja Devita yang tidak pernah masak ikut bergabung dengan ibu-ibu yang tengah berbelanja sayur.
"Ibu-ibu hati-hati, lho, dengan ART-nya," ucap Devita mulai memprovokasi warga kompleks. Deg! Gemi terhenyak, ia merasa jadi objek pembicaraan Devita.
"Memang kenapa, Bu Dewa?" komentar seorang ibu muda dengan pakaian kasual.
"Mungkin ART kalian yang dari kampung bisa aja jadi pelakor, lho." Devita berkata sambil melirik sinis ke arah Gemi.
"Oh, ternyata Devita ingin menjelekkan aku di depan warga kompleks," batin Gemi gemes.
"Ah ... Mana mungkin suami kita tertarik sama ART. Kurang apa coba kita sebagai istri yang sudah berdandan cantik setiap hari. Kita yakin suami kita ndak celamitan. Sampai pembantu udik aja main embat. Benar 'kan Ibu-ibu?" Ibu yang berpenampilan paling rapi itu menimpali ucapan Devita.
"Teman saya ada lho, Bu. Lakiknya direbut pelakor. Mana pelakornya itu udah jelek, item, gendut ditambah udik pula," ujar Devita sambil melirik sinis ke arah Gemi.
Dada Gemi naik turun menahan amarah. Devita seperti ingin memancing emosinya agar meledak. Gemi tidak akan membela dirinya. Dia tidak ingin mempermalukan diri sendiri maupun kehormatan Sadewa. Poligami masih dipandang buruk oleh sebagian besar kaum hawa.
"Ini uangnya, Bang! Kembaliannya besok saja." Gemi menyerahkan selembar uang merah lalu pergi secepatnya. Bahkan untuk menunggu uang kembalian saja ia merasa kelamaan.
"Gemiii ...!"
Panggilan Devita menghentikan langkah Gemi. Gadis desa itu pun menoleh lalu bertanya, "Ada apa, Bu?"
"Kamu udah beli pesanan saya?" tanya Devita asal bertanya. Padahal ia tidak pernah pesan apa-apa kepada Gemi.
"Udah, Bu," jawab Gemi sambil menunduk bersandiwara jadi pembantu Devita. Ia tidak ingin masalah rumah tangganya menjadi konsumsi publik. Nama Sadewa juga akan menjadi jelek. Mama baik sang suami tetap harus dijaganya.
Setelah membuka pintu gerbang, Gemi baru bisa bernapas lega, terhindar dari Devita.
Hari ini hari Minggu, Sadewa libur, tidak bekerja. Ada di rumah. Saat berjalan melewati teras, Gemi melihat ada sebuah sandal selop bagus di depan teras. Terdengar suara Sadewa tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Rupanya ada tamu yang berkunjung pagi-pagi. Gemi masuk rumah lewat pintu samping garasi yang langsung tembus ke dapur.
"Gemi, tolong bikinin minum. Kopi hitam dua, ya. Ada Bos saya datang bertamu!" perintah Sadewa yang tiba-tiba muncul ke dapur.
"Baik, Mas."
Gemi segera menjerang air panas secukupnya untuk membuat kopi hitam. Setelah siap, ia membawa cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan ke depan.
Sesampainya di ruang tamu, pandangan mata Gemi beradu dengan lelaki setengah baya yang menjadi tamu Sadewa.
Lelaki yang usianya berkisar setengah abad itu tersenyum manis kepadanya. Gemi membalas dengan senyum canggung. Perlahan diletakannya secangkir kopi itu di depan tamu suaminya.
"Silakan diminum, Pak Burhan." Sadewa berbasa-basi menawari tamunya untuk minum.
Gemi baru teringat bahwa lelaki setengah baya yang masih terlihat bugar itu adalah atasan Sadewa di kantor waktu itu memimpin rapat. Gemi segera kembali ke belakang dengan membawa nampan kosong.
Pak Burhan memang sengaja bertamu di rumah Sadewa karena ingin bertemu dengan Gemi yang diyakini adalah anaknya. Hanya dengan melihat gadis itu saja, ia merasa senang.
"Gimana, Dewa, apakah boleh saya ambil Gemi sebagai pengasuh cucu saya?"
Setelah Gemi kembali ke dapur Pak Burhan kembali menanyakan keputusan Sadewa.
"Mohon maaf, Pak Burhan, istri saya merasa keberatan. Devita sudah cocok dengan hasil pekerjaan Gemi yang bagus dan memuaskan. Bapak bisa cari pengasuh lain."
Sadewa tentu tidak merelakan Gemi menjadi ART di rumah atasannya itu. Bagaimana pun juga Gemi masih berstatus sebagai istrinya yang sah secara agama dan hukum negara.
Guratan kecewa terlihat di wajah lelaki setengah baya itu mendengar penolakan dari Sadewa. Namun, ia menghargai keputusan Sadewa.
Pak Burhan tidak putus asa. Ia akan mencari cara lain untuk bisa berdekatan dengan Gemi. Ia ingin menebus dosa dan kesalahannya di masa lalu. Ia yakin pasti ada jalan untuknya mendekati Gemi yang diyakininya sebagai putri kandungnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
