
Suami dan Mertua yang sangat aku hormati, ternyata menusukku dari belakang. Bahkan, suami yang aku sayangi teganya ingin mendua karena beralasan diriku mandul.
Sakit sekali rasanya mendengar kenyataan ini. Berarti selama ini, mereka tidak tulus menyayangiku. Cuma harta, yang membuat mereka bertahan.
Lihat saja, sampai kapan mereka bersandiwara?
Bab 1. Kejutan Dari Suami
"Der, aku ingin kau segera tinggalkan perempuan itu. Ibu sudah muak baik sama dia, apa sih? Kamu pertahanin dengan perempuan mandul seperti dia. Kalau kaya iya, sih? Aku akui itu, tetapi percuma kalau tidak punya anak," cecar Bu Retno, ibunya Deri.
Mendengar itu, seketika langkahku terhenti di balik pintu utama dan kakiku pun terasa membeku. Tadinya, aku ingin memberi kejutan untuk suami tanpa harus memberi tahu kepulanganku lebih awal. Tapi, apa? Malah diriku ini yang diberi kejutan oleh mereka.
Aku tidak menyangka Ibu mertua yang sangat aku hormati dan aku sayangi. Ternyata kejam sekali, seenaknya menyuruh suamiku untuk meninggalkanku dengan alasan m4ndul.
Padahal, belum punya anak bukan berarti mandul. Kita juga sering bolak-balik ke Dokter untuk periksa, tetapi Dokter bilang kita subur. Berarti, Allah saja belum memberi kepercayaan pada kami. Aku pun merasa tertampar dengan perkataan mertuaku itu. Sakit sekali rasanya.
Aku merasa penasaran dengan jawaban suamiku. Apa dia membelaku atau bahkan meninggalku seperti dibilang ibunya itu.
"Tapi, Bu. Aku tidak bisa meninggalkan dia begitu saja sebelum seluruh hartanya menjadi milikku. Semua jadi percuma dong, aku tiga tahun menikah sama dia kalau tidak dapat apa-apa," sahut Mas Deri yang duduk di samping ibunya.
Jleb!!
Jantungku seperti ditusuk seribu pis4u, sakit dan perih. Ternyata suamiku sebelas dua belas dengan ibunya. Mereka benar-benar keterlaluan. Tidak tahu terima kasih. Lihat saja, apa yang aku akan lakukan pada kalian?
"Iya, kamu benar juga. Atau begini saja, kamu diam-diam menikah lagi saja. Soalnya Ibu malu sama teman-teman kalau ditanya soal cucu. Tau sendiri, Karina itu tidak bisa kasih cucu. Nanti, Ibu akan kenalin kamu ke teman anak Ibu, gimana?"
"Aku mau saja, Bu. Soalnya juga, aku sudah bosan sama dia. Orangnya suka ngatur-ngatur dan cerewet lagi. Tapi, kira-kira anak temen Ibu cantik nggak?"
"Iya, jelas cantik dong, Der. Masak Ibu jodohin kamu sama wanita jelek, nanti cucu Ibu jadi jelek dong! Hahaha …" Terdengar tawa renyah dari mulut Ibu mertuaku.
"Kalau begitu, Deri gaspol. Bu, tapi pokoknya hal ini jangan sampai ketahuan Karina. Bisa mati kita, jadi miskin nanti."
"Iya beres, Ibu juga tidak mau hidup miskin. Nanti apa kata teman-teman arisan Ibu? Pokoknya, kamu atur sendiri jangan sampai ketahuan. Seumpama ketahuan pun setelah kau menguasai semua harta nya."
"Oke, Bu. Siap!"
Aku langsung membuka pintu, pura-pura tidak tahu apapun yang mereka rencanakan. Aku akan bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apapun
"Assalamualaikum," ucapku sambil senyum semanis mungkin, gula pun saja kalah manisnya.
"Waalaikumsalam," jawab mereka bebarengan dan terlihat juga, terkejutan dari wajah keduanya.
Mas Deri yang semula duduk di samping ibunya, kini bergegas menghampiriku yang masih diam diri di depan pintu sambil membawa koper, "Sayang, kenapa tidak mengabari kalau pulang sekarang? Tahu, begitu aku jemput tadi di bandara."
"Kalau aku ngabari, tidak akan tahu rencanamu dan ibumu," batinku dalam hati.
"Iya, Karina. Kalau kamu ngabari, pasti Ibu akan menyiapkan makanan yang enak buat kamu," sahut Ibu Mertua tersenyum mengusap pundakku dengan lembut.
Beginilah, Ibu mertua di depanku selalu menunjukkan sikap perhatiannya padaku. Sampai aku bodoh, terbuai permainannya selama ini.
"Tak perlu, Bu. Tadi aku juga sudah makan. Tumben, Ibu datang kesini?" tanyaku basa-basi.
"Iya, Rin. Aku meminta Ibu tinggal disini, kasihan di rumah sendirian. Amel kan juga kuliah di luar kota, biar kamu juga ada temannya," sahut Mas Deri dengan lembut.
Sikap yang selalu membuatku jatuh cinta, tapi tidak untuk sekarang. Malah membuatku muak.
"Ya, sudahlah. Terserah Mas saja. Asal Ibu betah saja tinggal disini," jawabku dengan senyum kecut, "Kalau tidak ada dibicarakan lagi, aku mau istirahat, capek."
"Ayo, aku temani ke kamar!" Mas Deri merebut koper di tanganku dengan tangan satunya merangkul pundakku.
****
Rasa lelah di perjalanan membuatku tidur nyenyak sampai tak sadar sudah malam saja. Tetapi, aku tidak melihat kehadiran Mas Deri di sampingku. Kemana dia? Apa lagi nonton TV?
Tenggorokanku pun terasa kering, aku lebih memilih mengambil air di dapur. Namun, baru dua langkah kaki ini berjalan terdengar suara tawa seseorang dari lantai bawah.
"Siapa yang ketawa malam-malam begini? Sepertinya suara Ibu, tapi dengan siapa ya? Suaranya asing sekali," gumamku.
Aku berjalan kembali turun tangga ingin melihat sosok tersebut.
"Siapa wanita itu? Akrab banget dengan Ibu," gumamku memicingkan mata ke arah wanita berpakaian kurang bahan.
"Karin, kamu ngapain disini?" ujar Mas Deri menepuk pundakku, membuatku terperanjat kaget. Sehingga membuat kedua orang tersebut menoleh ke arahnya.
"Karina sini, Ibu kenalin sama keponakan Ibu." Ibu mertua melambaikan tangan.
Kemudian aku melangkah ke arah dua orang yang berbeda usia. Aku memandangi penampilannya dari atas sampai bawah. Seharusnya, dia tak p4ntas memakai baju begitu, apalagi di rumah ada seorang lelaki.
"Karin, kenalin ini Devi keponakan Ibu dari kampung. Dia sementara ini mau numpang tinggal disini sampai dia dapat pekerjaan. Kamu ijinkan, ya. Kasihan dia, disini tidak punya siapa-siapa. Hanya, Ibu saudara satu-satunya," ucap Ibu mertua dengan pandangan memohon.
"Tapi, hanya beberapa hari saja. Soalnya, rumah ini bukan penampungan orang. Tolong ya, pakaiannya di kondisikan! Aku tidak mau melihatmu berpakaian kurang bahan begitu. Apa kamu tidak lihat? Di rumah ini ada lelaki," ungkapku.
"Halah Rin, kamu tidak usah cemburu begitu. Devi dan Deri kan sepupuan, tidak mungkin lah mereka saling suka. Nyawur saja kamu," sahut Ibu mertua dengan senyum di buat-buat.
"Siapa tahu? Mereka khilaf," jawabku jutek.
Bukannya apa? Aku sering menerima laporan keuangan yang menurutku horor. Makanya aku lebih meminta Bara untuk menyelidiki hal itu. Walaupun, sebenarnya Mas Deri tidak tahu, kalau itu kantorku. Hal, itu sudah dalam perjanjian di keluargaku. Karena mereka sempat tidak setuju aku menikah dengan Mas Deri.
"Baik, Bu. Aku akan laksanakan perintah Ibu."
"Makasih ya, Bar."
Aku mematikan panggilan secara sepihak. Tersenyum miring, membayangkan betapa kagetnya suamiku tercinta melihat kartu kreditnya tidak bisa digunakan lagi. Aku juga tidak ikhlas, keluarga tak tahu diri itu memakai fasilitasku.
"Tunggu saja! Aku akan selalu memberikan kejutan buat kalian. Semoga saja tidak jantungan," gumamku tersenyum sinis.
Bersambung …
********
********
Bab 2. Bayar Saja Sendiri
"Karina! Karina!" Terlihat Mas Deri menghampiriku bersama dua orang wanita di belakangnya sambil teriak-teriak.
"Ada apa sih, Mas? Teriak-teriak, malu tahu di dengar tetangga. Kamu juga, dari mana saja pagi-pagi sudah menghilang," ujarku sambil menyuap sepotong roti ke mulutku.
"Karin, kenapa kartu kreditku tidak bisa di gunakan, hah? Kau bikin aku malu saja. Semua orang menertawakanku." Mas Deri datang-datang marah-marah, membuat selera makanku hilang saja.
"Iya, jelas tak bisalah. Kartu kredit itu sudah terblokir. Aku merasa tak sanggup harus membayar tagihan setiap bulannya dengan nominal besar. Dan menurutku juga, kartu kredit tidak penting. Kalau punya uang tinggal beli apapun itu tanpa harus menggunakan kartu, begitu saja susah amat."
Mas Deri berdecak kesal, "Gara-gara kamu blokir kartuku, aku tidak bisa bayar makanan. Jam tangan kesayanganku disita. Sekarang, aku minta uang untuk menebus jam tanganku."
"Kenapa minta uang sama aku? Kalian yang makan, kenapa harus aku yang bayar? Lucu sekali kamu. Lagian juga, kamu kerja pasti punya uang, dong! Selama ini juga, kamu tidak pernah ngasih duit aku sepeserpun," sahutku santai.
"Gajiku sudah habis, buat Ibu dan Amel. Mana ada sisa? Lagian, kamu jangan pelit begitu sama suami. Aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti Karina dulu yang tidak pernah bantah sama suami," cibir Mas Deri.
Aku berubah juga karena ulahmu sendiri. Kamu dan ibumu seperti musuh dalam selimut. Diam-diam membahayakan, pikirku.
"Aku tidak berubah, mungkin cuma perasaanmu saja. Kamu aneh Mas, pas makan juga ada ibumu, kenapa tidak suruh bayarin saja? atau minta Devi. Malah kamu meminta aku, masak tidak ikut makan di suruh bayar. Kalau ngelawak jangan disini, karena aku tidak butuh itu," jawabku.
"Aku tidak ngelawak Karina. Tadi tuh, aku sudah meminta Ibu bayarin dulu! Tapi, Ibu tidak punya uang. Ayolah, tolongin aku! Jam itu berarti banget, hadiah dari kamu." Wajah Mas Zaki terlihat frustasi.
Aku menghela napas panjang, "Maaf Mas, aku tidak bisa. Urus sendiri urusanmu, aku harus pergi sekarang. Ada janji sama klien."
"Karina!" teriak Deri dengan mata nyalang.
Tetapi, aku mengabaikan teriakannya itu. Memilih pergi dari hadapannya.
Namun, ketika sampai ruang tamu ada mertua berdiri di depanku dengan mengulas senyum.
"Rin, kamu mau berangkat kerja?" tanyanya.
"Iya, Bu. Memangnya ada apa?" Aku mencium aroma-aroma aneh dari gelagat wanita bermuka dua ini.
"Rin, Ibu minta uang dong! Buat belanja bulanan. Aku lihat, stok bahan di dapur sudah pada habis," ujarnya.
"Nggak mungkinlah Bu, habis. Mbok Jum saja tadi habis dari pasar. Sebenarnya ada apa sih, Bu?"
"Hehe … sebenarnya, Ibu mau minta uang buat beli perhiasaan. Ibu malu, arisan cuma pakai perhiasan ini-ini saja," jawab Ibu mertua nyengir.
Aku menghela napas, "Ibu minta uang saja sama Mas Deri. Dia kan kepala rumah tangga, masak minta aku. Lagian, katanya setiap gajian Mas Deri transfer Ibu. Apa uangnya sudah habis? Padahal gajiannya baru dua hari yang lalu."
"Karina, aku kan mintanya uang ke kamu bukan Deri. Jangan pelit gitu sama orang tua, nanti kualat lho! Makanya kamu mandul, tidak punya anak," umpatnya.
"Jaga ucapan Ibu! Kalau tidak suka, Ibu bisa pergi dari rumahku sekarang juga," geramku, dengan mata melotot dan gigi menggeretak.
Terlihat wanita paruh baya itu langsung terdiam sambil mulutnya komat kamit kayak dukun. Sedangkan aku memilih melanjutkan langkahnya keluar dari rumah. Dan aku juga masih mendengar samar-samar suara mereka.
"Der, kenapa sih? Istrimu itu jadi berubah begitu. Biasa saja nurut banget pas kita minta sesuatu, tetapi hari ini membangkang sekali. Habis kebentur apa kepalanya? Pas keluar kota kemarin," adu Ibu Mertua.
"Deri juga bingung, Bu. Kartu kreditku malah seenaknya di blokir. Sudah tidak bisa belanja lagi kita, apalagi uang ATM ku juga kosong."
"Kalau begini terus, lebih baik kamu secepatnya ambil alih deh, harta dia. Kamu rayu-rayu dia atau gimana? Sampai dia baper, terus mau menandatangani pengalihan harta."
"Tidak segampang itu, Bu. Semua butuh proses, apalagi sikapnya sedikit berubah," sahut Deri.
Ambil saja kalau kalian bisa. Aku juga tidak akan membiarkan itu terjadi.
*****
Sampai garasi depan, aku mengempeskan semua ban mobil Mas Deri. Aku tidak rela dia memakai mobil pemberianku.
"Rasain kamu, Mas! Aku tidak akan membiarkan kamu menggunakan satupun fasilitas milikku. Tunggu saja nanti kejutan selanjutnya," lirihku tersenyum sinis.
Aku bergegas masuk mobil, mengendarainya membelah jalanan ibu kota. Hari ini, aku berencana bertemu dengan sahabatku di cafe dekat butikku.
"Maaf menunggu lama, tadi di jalanan macet," ujarku ketika sudah sampai di Cafe.
"Iya, tidak apa? Aku juga baru nyampe," jawab Rara tersenyum, "tumben kamu ngajak ketemuan. Ada apa nih?"
Rara adalah sahabatku sejak SMA dulu. Walaupun kita jarang ketemu, tetapi kita saling kasih kabar. Apalagi saling curhat masalah rumah tangga.
"Ra, boleh nggak? Aku minta tolong sama kamu. Soalnya hanya kamulah yang bisa aku percaya."
"Tolong apa dulu, nih?" Rara menaikan satu alisnya.
"Aku mau nitip mobil suamiku di rumahmu. Aku tidak ingin dia menggunakan fasilitasku lagi. Kamu mau 'kan Ra, please!" Aku mengatupkan kedua tangan dengan pandangan memohon.
"Iya, tapi aku bilang suamiku dulu! Takutnya, nanti dikira aneh-aneh aku. Lagian ada masalah apa sih? Kamu sama suamimu, biasanya kalian romantis banget."
Aku menghela napas, kemudian aku menceritakan apa yang kudengar kemarin dari awal sampai akhir. Mengenai rencana suamiku dan mertua.
"Ya, Allah, Rin. Aku tidak menyangka suami dan mertuamu begitu. Padahal mereka kelihatan sayang banget lho, sama kamu."
"Ya, tetapi apa yang kita lihat tidak sesuai kenyataan? Makanya, aku ingin membalas semua itu secara diam-diam. Aku tidak rela, mereka menguasai hartaku."
"Aku dukung kamu. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan hubungi aku. Walaupun, sesibuk apapun tetap akan meluangkan waktu buat kamu. Aku pun, mendengarnya ikut geram."
"Iya, begitulah sifat asli mereka. Makanya aku ini bawa surat-surat penting. Rencananya aku simpan di butik. Aku takut, mereka diam-diam mengambil tanpa sepengetahuan aku," ujarku sambil pandangan lurus ke depan.
"Iya, aku setuju. Tapi, kamu harus hati-hati. Takutnya mereka mencelakai kamu."
Aku hanya mengangguk menikmati setiap tegukan kopi di tenggorokanku.
Namun, tiba-tiba terdengar suara dering handphone. Membuatku beralih menolehnya. Melihat nama tertera di layar handphoneku, senyumku mengembang di bibir tipisku.
"Cinta pertamaku," lirihku.
Bersambung ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
