
Suami dan Mertua yang sangat aku hormati, ternyata menusukku dari belakang. Bahkan, suami yang aku sayangi teganya ingin mendua karena beralasan diriku mandul.
Sakit sekali rasanya mendengar kenyataan ini. Berarti selama ini, mereka tidak tulus menyayangiku. Cuma harta, yang membuat mereka bertahan.
Lihat saja, sampai kapan mereka bersandiwara?
Bab 3. Apa Mantan?
"Pada kemana mereka? Sepi banget rumah layak kuburan," gumamku berjalan masuk.
Namun, Tanpa sengaja netraku melihat kamar pintu Devi terbuka sedikit. Aku melangkah kesana, entah kenapa? Aku merasa tertarik.
Ternyata mereka ada disini. Sepertinya lagi berbicara hal serius. Bisa dilihat dari ketegangan wajah mereka. Bahas apa sih? Jadi kepo, aku memasang telinga dengan benar-benar untuk menguping.
"Der, gimana saran Ibu tadi? Apa kamu mau menikah dengan Devi? Lagian kalian dulu mantan kekasih. Pasti masih ada rasa di antara kalian," ujar Ibu mertua menggoda Mas Deri.
Apa? Mantan?
Jleb!
Jantungku seketika berhenti berdetak, sakit dan perih yang kini aku rasakan bagai di tembak busur panah. Dadaku pun terasa sesak, napasku seketika berhenti sejenak. Sedikit demi sedikit ternyata terkuak kenyataan hidup yang pahit.
"Berarti aku kena tipu. Kalau Devi mantan pacar Mas Deri, bukan keponakannya. Kenapa aku bodoh sekali? Sampai tidak tahu hal itu. Makanya, aku merasa tak asing dengan wajah dan namanya." gumamku dalam hati merutuki kebodohanku.
Kemudian, Aku kembali fokus menguping pembicaraan mereka lagi. Aku harus tahu, rencana mereka apalagi?
Terlihat Mas Deri memandang Devi dengan salah tingkah, seakan apa yang dikatakan ibunya benar. Masih ada rasa yang tertinggal.
"Aku tergantung Devinya saja, Bu. Terpenting dia harus mau jadi istri keduaku. Aku pun, juga tidak mungkin menceraikan Karina. Karena dia sumber uangku," jawab Mas Deri tegas.
"Gimana Nak Devi?"
Devi mengangguk sambil tersenyum, "Tapi, aku tidak mau tinggal disini lagi. Takutnya, malahan Karina tahu. Aku juga ingin, Mas membelikan rumah seperti rumah ini dan aku juga ingin mobil yang bagus seperti mobilnya Karina," jawab Devi.
"Mobil, rumah, emangnya Deri punya uang. Hallo, semua ini hartaku tak ada sedikitpun harta dia. Lihat, saja aku akan memberi kejutan di hari pernikahan kalian." batinku dalam hati.
"Iya, soal itu gampang. Terpenting kau bisa ngasih cucu buat aku. Aku akan memenuhi permintaanmu. Tidak kayak si Karin tuh, mandul!"
Mendengar celotehan Ibu mertua, membuat mereka tertawa. Seakan, itu lelucon yang sangat menarik.
"Kalian akan menyesal, telah melakukan ini padaku," umpatku dalam hati sambil mengepalkan kedua tanganku.
"Oh, enaknya kalian nikahnya kapan nih?" tanya Ibu mertua dengan semangat.
"Gimana kalau kita menikah seminggu lagi? Tapi, kita hanya bisa nikah siri saja. Kalau nikah negara tidak bisa, harus dapat ijin Karina terlebih dahulu. Kalau minta ijin sama dia kan seram, dia galak mengalahi Mbak Kunti, hahaha …" sahut Mas Deri sambil ketawa.
"Iya, benar juga kamu Deri. Tapi, walaupun begitu dia bodoh banget kita bohongin. Iya, mungkin karena cinta mati membuat dia buta," timpal Ibu mertua, "sudahlah, pokoknya ini deal ya, seminggu lagi."
"Iya, kita setuju!" jawab mereka berdua kompak.
"Kalau begitu, Ibu balik ke kamar dulu! Mau bobok cantik. Semoga mimpi indah." Ibu mertua beranjak dari duduknya, membuatku bergegas pergi dari situ.
Namun, baru naik dua anak tangga terdengar suara mertua memanggil, membuat diriku menghentikan langkah.
"Mampus aku, apa mungkin mereka tahu kalau aku nguping?" batinku dalam hati.
"Karina, kenapa kamu diam saja Ibu panggil?" seru Ibu mertuaku.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku balik menoleh ke arah mertuaku.
"Kamu habis belanja ya, katanya tidak punya uang. Tapi, belanja sebanyak itu, kamu bohongi Ibu kan." Ibu mertua memicingkan matanya melihat barang belanjaan di tanganku.
"Aku mau belanja atau nggak, itu juga bukan urusan Ibu. Lagian, aku menggunakan uangku sendiri bukan Ibu. Jadi, Ibu tidak usah berkomentar. Kalau Ibu mau belanja silahkan! Aku tidak melarang, asal pakai uangmu sendiri," sinisku lalu kembali berjalan ke anak tangga.
"Karina, sudah mulai berani ya sama Ibu," teriak Ibu mertua kesal.
Tapi, tidak aku hiraukan. Malahan aku memilih melambaikan tangan.
*****
"Sayang, kamu baru pulang. Wah, tumben kamu belanja banyak banget. Pasti kamu punya uang banyak kan," ucap Mas Deri duduk di sampingku.
Aku memutar bola mataku dengan malas, "Iya, begitulah. Aku ingin sesekali memanjakan diri, masak kerja terus tapi tidak bisa menikmati hasilnya."
"Iya, benar sekali. Aku juga senang kalau kamu senang. Oh ya, Rin. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap Mas Deri memandang takut-takut.
"Ngomong saja Mas, sebelum di larang," jawabku senyum kecut.
"Emm … gini Rin, rencana aku mau buka usaha sendiri buat sampingan. Kamu tahu sendiri gaji di kantor tak cukup untuk memenuhi keluarga kita.
"Keluarga kita, keluarga kamu kalih, Mas. Aku saja tidak pernah kau beri nafkah. Terus maksud kamu gimana nih?"
"Hehe … iya. Aku boleh nggak meminjam uang kamu delapan ratus juta. Pasti kamu punya kan uang segitu. Ayolah, sayang!" Bujuk Mas Deri sambil menarik-narik lenganku. Seakan seperti anak kecil yang minta jajan.
"Maaf Mas, aku tidak punya uang sebanyak itu. Jika, mau buka usaha kamu harus cari modal sendiri, tidak meminta aku terus. Aku uang juga harus buat modal putar balik."
"Hem, kalau begitu. Gimana kalau aku pinjam sertifikat rumah ini?" Mas Deri menaikan kedua alisnya menunggu jawabanku.
Aku langsung berdiri membelakanginya, "ck, aku tidak bisa memberikan sertifikat itu padamu. Kamu kan bisa menggadai sertifikat rumah ibumu. Kamu juga kan yang dulu membelinya."
"Kalau sertifikat rumah Ibu, paling uangnya dapat sedikit tidak sampai dana yang harus aku keluarkan. Ayolah, Sayang! Aku janji setelah usahaku ini berhasil aku akan mengembalikan uang itu dua kali lipat," kekeh Mas Deri memelukku dari belakang.
Biasanya aku akan luluh dengan rayuan maut suamiku atau rengeannya. Tetapi tidak untuk sekarang, malah semakin muak dengan tingkahnya.
Aku melepaskan pelukannya, "Aku tetap dengan keputusanku. Tidak."
"Kamu jahat Karina! Apa kamu sudah tidak cinta lagi sama aku? Aku kecewa sama kamu." Mas Deri keluar kamar sambil menutup pintu dengan kasar.
"Maaf Mas, aku tahu uang itu tidak kamu gunakan untuk usaha. Melainkan untuk modal nikah dengan perempuan lain," lirihku sambil memandang jendela ke arah luar.
"Karina sekarang, bukan Karina dulu! Kau gampang bodoh-bodohin."
Bersambung …
*****
******
Bab 4. Derek Mobil
"Rin, aku boleh pinjam mobilmu nggak? Ban mobilku kempes semua dari kemarin. Pagi ini ada meeting lagi," ujar Mas Deri.
"Iya, nggak bisalah Mas. Aku kan harus ke butik. Kamu kalau buru-buru bisa naik ojek. Malahan enak, tidak macet," sahutku santai sambil mengoles selai di roti.
"Aku malu lah Rin, masak naik ojek. Aku kan manajer, ditaruh mana mukaku."
"Iya, terserah kamu mau taruh di mana saja. Wong, kamu yang punya muka. Lagian, kamu tidak mencuri, ngapain malu? Orang korupsi saja tidak malu," balasku.
Terlihat wajah Mas Deri memerah menahan kesal, pasti dia bingung. Kenapa aku sekarang membantah terus? Sebenarnya ini lah, asli sifatku. Aku juga, ingin buktikan kepada dia. Aku bukan cewek bodoh seperti yang dia kira.
"Rin, bisa nggak tidak membantah. Aku pinjam mobilmu buat kerja, bukan yang aneh-aneh. Lagian, kamu sekarang pelit banget sama suami."
"Bukannya pelit Mas, aku kan juga butuh. Kalau nggak butuh, pasti aku pinjamin, deh!" sungutku kesal, tetapi ingin sekali tertawa melihat wajah suamiku.
"Rin, kamu habis makan apa sih? Kok berubah begitu, biasa Karin yang Ibu kenal itu lemah lembut, tapi kenapa sekarang jadi tukang bantah?"
"Iya, Ibu lihat sendiri aku makan roti. Kalau tanya rotinya beli dimana? Ibu bisa tanya ke Mbok Jum. Lagian, perasaanku tidak berubah. Aku seperti Karin yang dulu! Cuma mungkin aku lagi kecapean saja."
"Mungkin ya. Kamu juga Der, harus ngertiin Karin juga," sahut Ibu mertua membelaku, tapi di balik itu aku yakin, ada sesuatu, "Ra, Ibu minta dong! Satu baju di butikmu buat arisan besok. Ibu malu, pakai baju itu-itu terus. Boleh ya, Ra." Ibu mertua menaikan kedua alisnya dengan wajah memohon padaku.
Benar kan, kataku. Pasti dibalik sikapnya baik padaku ada sesuatu yang terselubung.
"Boleh, Ibu datang saja kesana. Tapi, Ibu kesana sendirian atau di temenin Devi, tidak apa ya? Soalnya aku lagi ada urusan, palingan siang ke butik."
"Iya, Ra. Tidak masalah, makasih ya," ucap Ibu mertuaku itu.
Sedangkan, terlihat Mas Deri beranjak dari duduknya, memandangku dengan sinis.
"Sudahlah, aku berangkat dulu! Terpaksa deh, naik taksi. Punya istri pelitnya minta ampun," sindir Mas Deri.
Aku hanya menanggapi dengan senyuman.
"Karin juga pamit ke kamar dulu! Mau siap-siap," pamit kepada Ibu mertua.
Baru tidak memakai mobil satu hari saja sudah marah. Apalagi, jika tahu mobilnya aku ambil. Tidak bisa bayangin, wajah ekspresi mereka.
Aku merogoh ponsel, di saku celana. Kemudian aku menghubungi Bara kembali.
"Hallo Bar, aku mau minta tolong sama kamu," ucapku ketika panggilan sudah diangkat.
"Tolong apa, Bu?" terdengar suara Bara dari seberang telepon.
"Bar, tolong kamu hubungi mobil derek ke rumahku!"
"Buat apa, Bu?"
"Sudahlah, tidak usah banyak tanya. Sekarang, kamu turuti apa yang aku mau."
Aku langsung mematikan telepon. Begitu lah Bara, selalu detail sekali kalau tanya. Tapi, aku senang punya rekan seperti dia selalu sigap.
Sebelum mobil derek kesini, aku harus memastikan. Apa mereka sudah pergi atau belum?
"Ibu! Ibu!" Aku mencoba memanggilkan berjalan menuju kamarnya.
"Iya, Rin. Ada apa?" tanya Ibu mertuaku.
"Nggak papa Bu, tak kirain Ibu sudah berangkat. Aku cuma mau titip pesan, bilangin ke Heni kalau aku datang agak siang," elakku.
"Oke. Ibu akan kasih tahu. Ini juga, Ibu mau berangkat. Tapi …"
"Tapi apa, Bu?" Aku tahu, apa yang dimaksud mertuaku itu, pasti uang. Aku merogoh uang di saku celanaku yang sudah aku siapkan untuk dirinya.
"Ini kan maksud Ibu." Aku menyodorkan uang lima lembar berwarna merah.
"Ah, kamu tahu saja. Memang kamu menantu yang paling perhatian," puji Ibu mertuaku itu.
Aku menanggapi hanya dengan senyuman kecut. Sedangkan aku melirik ke arah Devi, seakan mukanya kesal begitu mendengar mertua memujiku.
"Ibu, hati-hati ya," ucapku berjalan mengantarkan mereka ke depan.
Melihat Ibu dan Devi masuk taksi, aku merasa lega. Akhirnya mereka pergi juga, tapi mana? Mobil dereknya belum datang juga.
Aku berjalan mondar-mandir di depan rumah. Seakan seperti menunggu doorprize.
"Sepertinya itu mobilnya," gumamku menoleh ke arah mobil yang berhenti depan rumahku.
"Apa benar ini rumahnya Ibu Karina?" tanya sopir tersebut.
"Benar banget," jawabku ramah, "Pak, tolong derek mobil itu ke alamat ini, ya. Tapi, sebelum bawa ke alamat itu. Tolong Bapak bawa ke bengkel dulu untuk mengisi angin. Soalnya, bannya kempes semua. Bapak tenang saja, aku akan bayar dua kali lipat."
"Ok, Bu."
"Uangnya, aku transfer saja ya, Pak. Mana nomor rekeningnya."
Bapak tersebut menyodorkan hpnya, lalu aku mentransfer seperti nomor yang tertera di hp Bapak tersebut.
"Sudah aku transfer ya, Pak." Aku menyodorkan bukti.
"Iya, makasih ya, Bu."
"Hati-hati ya, Pak."
Melihat mobil derek pergi, aku bergegas chat Rara.
[Ra, mobilku sudah di kirim ke rumahmu.]
Setelah mengirim pesan ke Rara, aku berjalan ke kamar mengambil tas. Tapi, aku merasakan ada getaran di hpku.
Aku mengerutkan kening, melihat nama yang tertera di layar handphone. Aku bergegas menggeser tombol hijau.
[Sekarang, kamu ke rumah! Papa ingin ngomong sesuatu sama kamu.]
Baru mulut ini terbuka, sudah di matikan saja. Sebenarnya ada apa ya? Nada bicaranya Papa juga seperti orang lagi marah.
Bersambung …
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
