
***
“Lagi? Kamu nggak suka draftku?”
Nadaku naik satu oktaf saat kabar itu menembus telinga. Lipgloss yang baru saja kugenggam jatuh ke kolong mobil. Aku tak langsung memungutnya. Ocehan dari ponsel membuatku nyaris tak berkedip.
“Miss, aku enggak mau ubah ceritaku ke … new adult!”
Aku sebenarnya nggak mau mengangkat telponnya—apalagi setelah draft terakhirku dicaci habis-habisan di grup WhatsApp internal.
…
***
“Lagi? Kamu nggak suka draftku?”
Nadaku naik satu oktaf saat kabar itu menembus telinga. Lipgloss yang baru saja kugenggam jatuh ke kolong mobil. Aku tak langsung memungutnya. Ocehan dari ponsel membuatku nyaris tak berkedip.
“Miss, aku enggak mau ubah ceritaku ke … new adult!”
Aku sebenarnya nggak mau mengangkat telponnya—apalagi setelah draft terakhirku dicaci habis-habisan di grup WhatsApp internal.
"Del," katanya lagi, suaranya makin lama makin seperti algoritma Tiktok, “yang laku sekarang itu ... pelakor. CEO ganteng. Adegan panas. Bukan cerita anak SMA yang nyari jati diri sambil menatap langit-langit kamarnya!”
Kata-kata itu menusuk, membuat bibirku mengerucut tanpa sadar.
Aku menatap bayanganku di kaca mobil, melihat wajah yang mulai lelah dan penuh pertanyaan. Sementara AC mobilku yang bocor meneteskan air ke lantai parkir, suaranya berdetak seperti arloji yang menghitung mundur kesabaranku.
Sekilas aku membandingkan mobil-mobil mewah berjejal di spot VIP, sementara Hyundai tuaku kelihatan seperti sampah yang tersesat.
Hari ini, hari minggu, matahari menyala seperti biasa di Surabaya: kejam dan tak tahu diri.
Semua orang masuk mall demi AC gratis, sementara aku berusaha menahan napas di dalam Hyundai karatan ke mall ini.
“Misswa, aku ini penulis teenlit— aku enggak bisa nulis ... begituan?”
“ ... Kuingat kan sekali lagi, Remaja sekarang pun sukanya yang manis-manis, kayak ciuman panas di bab akhir.”
Aku tidak tahu itu, tapi aku diam.
Tidak tahu harus marah, tertawa, atau menepuk jidat.
“Coba deh kamu berhenti nulis dulu. Lihat platform online atau toko buku. Kamu survei deh apa yang laris.”
"Ini aku sudah di mall? Mau lihat!" Aku menjawabnya dengan nada ketus.
“Yah, untuk sekarang cuma itu yang kamu bisa lakukan, Del. Ikuti pasar, menulis dan laris!”
“Tapi itu bukan gayaku, Misswa.”
“Gini deh. Aku diskusikan lagi draft ini sama bos, mungkin pendapatnya berbeda. Nanti aku hubungi kamu lagi.”
Begitu sambungan itu terputus. Kuhempaskan napas panjang, sembari memejamkan mata. Aku berat untuk menerima kenyataan ini.
Akhirnya, aku memungut lipgloss yang jatuh, lalu kembali melihat pantulan diriku di kaca mobil. Aku kacau sekali: mata sembap, rambut kusut, seperti versi buruk dari karakter-karakter villain dalam novel-novel yang kutulis.
Aku selalu berpikir, menulis adalah tentang kejujuran.
Tentang menumpahkan isi kepala dan hati ke dalam kata-kata.
Tapi sekarang?
Menulis adalah tentang algoritma.
Tentang keyword yang trending, tentang trope yang laku, tentang kepuasan instan pembaca yang tidak punya waktu untuk 'proses'.
Kita enggak jual cerita lagi—kita jual fantasi cepat saji. Yang penting gampang ditelan, manis di awal, dan bikin senyum-senyum sendiri pas baca di kereta.
Contohnya?
Cowok galak tapi luluh pas tahu ceweknya makan Indomie tanpa telur.
Cewek biasa ditaksir tiga cowok tajir.
Konflik kantor diselesaikan ... di atas ranjang.
Ya, sinetron laris di televisi. Versi tulisan.
Dua tahun lalu, namaku sempat terpampang di rak-rak depan toko buku.
“Del—Penulis Berbakat!”
Aku masih ingat betapa gemetar tanganku saat pertama kali melihat novelku bersanding dengan karya-karya penulis besar.
Orangtuaku—yang dulu selalu meragukan pilihanku jadi penulis—akhirnya bisa mengangguk bangga.
“Lihat, itu buku Del!” Ibu bisikkan ke ayah dan kakakku sambil menunjuk rak best seller di Gramesia.
Dulu seperti mimpi, setiap acara literasi, namaku disebut.
Setiap signing session, ada pembaca yang antre.
Aku bahkan sempat diwawancara media lokal—'Penulis Muda yang Sukses Menaklukkan Pasar Teenlit.'
Aku masih ingat rasa bangganya dulu, waktu berjalan melewati Gramesia Tunjungan, Gun Agung Pakuwon, sampai Toko Buku Lomongan—ya, yang legendaris itu.
Namun Setelah pandemi semuanya berubah. Banyak platform online yang menjamur, menawarkan cerita instan dan cepat. Dan selera pasar sudah berubah.
Sayangnya, novelku bertema petualangan remaja itu tak cukup banyak menarik peminat, sepi—yang dulu dicari-cari—kini tenggelam. Penjualannya buruk, seperti saldo rekeningku.
Kubuka lagi aplikasi penjualan—hanya lima eksemplar terjual bulan ini. Bahkan buku kupu-kupu tuaku yang dulu dipuji kritikus, kini jadi bantal di pojok toko, ditumpuk sembarangan Sudah digantikan oleh sampul-sampul mencolok bergambar perut kotak-kotak dan judul-judul yang ... yah, cukup membuatku ingin mandi tujuh kali.
Aku berdiri di depan rak best seller, menyadari satu hal yang menyakitkan: Dunia sudah mengalami perubahan.
Novelku tidak. Rak best seller pun sudah penuh sesak oleh genre dewasa.
Aku menatap buku-buku itu.
Sampul mengilat. Judulnya ... provokatif. Ada yang bergambar pria dewasa dengan tatapan setengah sayu.
Entahlah …
Tatapan lapar? Tapi bukan lapar nasi goreng. Lebih ke ... lapar yang dewasa?
Oke, sekarang aku mulai takut pada pikiranku sendiri.
Aku memandangi seorang gadis berseragam SMA asyik membolak-balik buku bergambar pria setengah telanjang di depan kasir. “Apa ini yang dibaca anak SMA sekarang? Dulu di umurnya, aku masih baca Laskar Pelangi ....”
Tiba-tiba, HP-ku bergetar. Pesan dari Editor:
"Draftmu ditolak, Del. Pesan bos Market lagi demen yang spicy. Deadline 2 minggu, atau kontrak kita pause dulu."
Aku menatap saldo di layar ponsel.
Saldo di layar ponselku bahkan tak cukup beli satu hardcover. Dulu, novelku pernah dipajang di rak utama Gramesia Tunjungan. Sekarang? Yang tersisa cuma kenangan... dan satu nama yang nyaris tenggelam di antara buku-buku baru.
Tuhan… maafkan aku.
Ini Bukan Aku—Tapi Mungkin Ini yang Aku Butuhkan"
Aku membuka halaman pertama dengan jari-jari yang gemetar, seperti anak SMA yang baru pertama kali baca playboy. Tapi ini bukan tentang rasa ingin tahu.
Ini tentang bertahan hidup.
Dengan muka sepanas si matahari, aku meraih satu buku berlabel “18+”.
Lalu satu lagi.
Dan satu lagi.
Aku keluar dari toko membawa sekantong dosa cetak.
Dan dalam hati berdoa:
“Aku harus mempelajarinya!"
****
“Adel, kamu baik-baik saja?”
“Aku? Iya ... baik-baik saja, Bu.”
“Oh, kalau begitu tolong file laporan Q2 cetak dan di-binding. Jangan lupa, font-nya Times New Roman 12, margin kiri 4 cm.”
Aku mengangguk, jari-jariku sudah hafal dengan tombol shortcut Ctrl+P.
Dua tahun lalu, tanganku sibuk mengetik dialog-dialog dan narasi novel. Sekarang? Mengetik surat pemutusan kontrak dan memo rapat
Sekarang aku juga seorang sekretaris.
Ya. Setelah bertahun-tahun menulis, aku akhirnya jadi karyawan kantoran dan sekarang menjadi sekretaris Ibu Widya—yang super rapi, super tegas, dan super skeptis terhadap rambut keritingku yang 'terlalu bebas' katanya.
Aku mengusap mataku. Kurang tidur.
Butuh waktu semalam untuk mencerna apa yang sebenarnya menarik dari novel-novel erotis itu.
Dan hasilnya?
Aku... nggak paham.
Bukan karena aku puritan. Bukan karena aku sok intelek dan menganggap seksualitas sebagai tema rendahan. Tapi karena... aku benar-benar nggak ngerti!
Apa yang membuat tokoh perempuannya jatuh cinta saat ia dipaksa melayani pria yang bahkan belum sempat menyebutkan namanya?
Kenapa semua tokoh laki-lakinya harus CEO, pilot, atau aktor Korea—yang kebetulan suka makan mi instan tengah malam dan jatuh cinta cuma karena ceweknya lupa pakai bra?
Y—ya ... meskipun pria itu kaya dan tampan.
Aku menghela napas, lalu melirik laporan keuangan Q3 yang tergeletak di sebelah keyboard.
Ya. Sekarang aku memang kerja kantoran. Tapi aku masih menulis—hanya saja, draft-draft itu sekarang bersembunyi di antara spreadsheet dan presentasi PowerPoint.
Siapa tahu, mungkin nanti tokoh utamaku jatuh cinta pas lihat hasil EBITDA naik.
Lucu, kan?
Dan meskipun realita semakin absurd, aku tetap mencoba idealis.
Tiga bulan lalu—dengan semangat (dan sedikit naif)—aku mengirim naskah terbaruku, teenlit, ke Misswa, editorku.
Jawabannya?
“Enggak, enggak, Del. Kamu tahu kan, teenlit udah nggak laku? Coba nulis yang lebih marketable—misalnya office romance antara sekretaris dan bosnya?”
Hah?
“Del, kamu sadar kan pemikiran dan umurmu udah lewat dari target pembacamu?”
“Kamu masih nulis gaya remaja, padahal kamu sendiri udah enggak relate.”
Sakit.
Double kill.
Alhasil, hhampir 75 persen naskahku dihajar habis.
Yang selamat cuma... nama tokoh dan deskripsi rambut mereka.
Sisanya?
Dicoret, dihina, dan dibuang ke tong sampah Google Docs.
Tapi aku nggak bisa keluar.
Aku masih terikat kontrak eksklusif penerbit ini. Apalagi novelku dulu sempat cetak ulang. Masa-masa itu—yang bikin orangtuaku bangga—masih menjeratku seperti kenangan indah yang sudah basi.
Sekarang?
Aku sedang mengalami krisis identitas sebagai penulis.
Bukan writer’s block—lebih parah dari itu.
Karena aku tahu apa yang ingin kutulis. Sayangnya, itu bukan yang laku di pasar.
***
["Ouch, geli, Pak!"]
["Cantik sekali, kamu lebih cantik tanpa pakaian."]
[Ia mendorongku ke meja kerja, berkas-berkas laporan kuartalan berhamburan seperti daun kering di musim gugur. 'Kamu dipecat,' bisiknya dengan suara serak, nafasnya hangat menusuk kulit leherku. Tapi tangannya justru—]
Di sini aku berhenti membuka lembar selanjutnya, jari-jariku menggantung di atas kertas seperti tersambar petir.
[—meluncur ke pinggangku, jari-jemarinya yang dingin menyelusup di antara kancing blazer ketat yang kupakai khusus untuk meeting investor hari ini.]
Udara seperti tertahan di ujung tenggorokanku, tapi aku masih bertahan menatap dengan mata berkaca-kaca. Ini lebih menyakitkan daripada menulis skripsi dulu.
[Aku ingin protes, tapi bibirnya sudah menyambar mulutku dengan brutal, menghancurkan lipstik berwarna nude yang baru saja kubeli. Dia mengambil sesuatu dari laci ... dan merobeknya dengan gigi… bibirku luluh, napasku tercekat, dan tiba-tiba dia—]
Aku spontan menampar buku itu ke meja.
Bahkan tulang ekorku ikut malu.
Buku ini terlalu panas untuk dibaca sambil pakai baju kantor.
Beberapa rekan kerjaku melirik. Panik, aku buru-buru menyelipkan buku itu ke dalam totebag.
Ya Tuhan, jangan sampai mereka tahu … aku penulis!
Memang tak ada satupun yang tahu kalau aku ini penulis!
Dan lebih parahnya lagi—aku akan menulis novel erotis!
Tote bag itu langsung kutarik ke dalam laci. Takut mana tahu ada yang melihatku membaca novel dewasa!
Ta... Tapi ... kalimat terakhirnya masih menari di kepalaku—kutukan manis yang tahu persis: kalau aku mulai goyah. Ingin terus membaca. Meski... merinding sendiri.
[“Mataku berkelap-kelip saat melihat batang pen—”]
Pen—
PEN, Del.
Benda tulis.
Tapi kenapa napasku ikut sesak?
Tuhan, aku butuh teh manis dan terapi.
Apa aku harus menulis adegan mentah seperti itu?
Oh, no. No.
Tuhan, kalau memang harus begini jalannya…
tolong biarkan setidaknya adegan ranjangnya pakai metaphora sastra yang bagus!
***
Malam itu, sebelum tidur, aku kembali membuka halaman yang kutandai dengan sticky note.
Bab 4. Judulnya: “Disekap di Lift oleh Direktur Tampan”
Kupandangi lembar itu sambil berkata dalam hati:
“Oke, Del. Anggap ini ... riset.”
Aku, Adela Hartono—Del, 24 tahun. Dulu penulis teenlit idealis, sekarang ... belajar menulis novel erotis. Karena pasar suka yang spicy.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
