Hikayat Sang Penari - Bab 6

0
0
Deskripsi

Misteri Condoso  

***

"Naha Ibu teu acan mulangkeun Condroso? (Kenapa Ibu belum juga mengembalikan Condroso itu?)"

Air muka Atik memampas keceriaannya. Senyumnya kecut, bereaksi atas pertanyaan putrinya. "Aku tidak akan mengembalikan Condroso ini secara cuma-cuma. Nyieun rugi!"

"Maksud, ibu? Ibu mau meminta imbalan?" Seharusnya Sri tidak terkejut lagi dengan sikap pamrih ibunya, Gulden memang selalu jadi incaran yang berharganya. "Bagaimana kalau ibu dituduh mencuri? Isin, Bu (Aku malu, Bu)."

Atik tak acuh, dia kembali menatap pantulannya di cermin buram itu. Condroso mewah itu kembali tersematkan di gelungan rambut putih tipisnya. Atik menaikkan lengannya, dan kembali berlagak seperti sang penari. Suluh lampu minyak di tengah-tengah ruangan itu pun ikut bergoyang, seakan ikut menari bersamanya.

"Toh, sampai hari ini, tidak ada berita atas kehilangan benda mewah ini," timpal Atik. "Mungkin Condroso ini memang diciptakan untukku."

Kerisauan Sri bertambah mendengar kalimat yang diucapkan ibunya. Dia mulai menyusun beberapa pakaian yang baru saja dilipatnya di atas Dipan. "Sri takut kalau mereka membuangnya, karena ada sesuatu hal."

Atik tertawa. "Apa maksudmu hal itu adalah... Hal mistis, Sri?" Alisnya sampai naik, setinggi mungkin.

Sri berdiri di samping perempuan yang berdandan menor itu, entah dari mana sang Ibu mendapatkan lipen merah tua itu. Sepertinya memiliki barang mewah adalah mimpian ibunya. Tapi, benda itu bukan milik Ibunya.

Sri membuka lemari bambunya. "Mungkin saja, Bu. Sri ingat malam itu, sebelum pertunjukan itu dimulai ada mantra-mantra dan bau dupa atau kemenyan..."

Sri menghentikan kalimatnya. Derit lantai bambu kembali terdengar, tanda ada orang berjalan di depan kamar mereka. Mereka berdua hening sejenak, ternyata hanya orang lewat saja.

Atik pun lanjut berlenggok, dia memiringkan wajahnya. Jari-jari lentiknya beradu, tetap meniru gerakan Nyampurit. Kelopak sayu matanya mengerdip, menonjolkan sisi genitnya. Atik menikmati kebahagiaan kecilnya, dan mengagumi kecantikannya yang telah usang.

"... Untuk apa mempercayai hal mistis? Toh, Mereka juga menari demi mendapatkan Gulden... Saweran," celetuk Atik. Matanya masih lekat di depan cermin.

"Saweran?"

"Apakah malam itu kamu tidak melihat, semua pria mengangkat tinggi kantong-kantong Gulden demi bisa tidur penari-penari itu?"

Sri menggelengkan kepalanya.

Atik melotot. Lagi-lagi gadis 14 tahun itu terlalu polos. "Ah, mungkin aku terlalu memanjakanmu, nepi ka uteuk anjeun teu jalan (sampai-sampai otakmu ini tidak jalan)." Atik menepuk dahi Sri.

"Aku tidak terlalu memperhatikan hal itu. Bukankah tarian mereka sangat bagus? Syair-syair yang dinyanyikan pun terdengar sangat indah dan mendayu. Belum lagi aura kecantikan mereka begitu menarik perhatian."

Atik menahannya tawa, ketika mendengar ucapan omong kosong dari Sri Kemuning, putrinya. Atik sungguh tidak perduli dengan seni menari, syair, musik atau apa pun tentang pertunjukan itu. Yang Atik perduli adalah bagaimana cara mereka bisa mendapatkan banyak benggolan Gulden! Penari Ronggeng itu terbukti menghasilkan banyak Gulden! Bahkan para Meneer Belanda pun ingin memberikan banyak Gulden! Bukankah itu mudah, menari untuk menarik pria... Sang penari pun tinggal memilih saja. Jika hanya melayani nafsu pria di ranjang, semua perempuan pasti bisa melakukannya.

Sayangnya, sifat Sri memang mirip dirinya ketika muda. Dia polos dan naif... Padahal di luar sana, banyak iblis dan penderitaan yang mengintainya.

"Candak katingal alus dina Condroso ieu (Lihat baik-baik Condroso ini). Apa perasaanmu senang melihatnya? Apakah kamu menginginkan Condroso ini?"

Manik mata Sri memedarkan pandangannya. Pantulan cahaya lampu minyak itu mencetak hitam bayangannya dan ibunya ke dinding gedhek bambu. Kerlip batu-batu yang berlenggek di parasan Condroso itu, menyerupai lelatu merah. Lekuk tempaan bahan emas itu menyala, memamerkan semburat kelopak-kelopak yang kental dengan kiasan. Mungkin tidak ada yang tahu arti hiasan bunga Cempaka. Pesan sementara tersirat, benda mewah itu tetaplah benda dengan nilai tinggi... Walaupun bukan berada di tangan pemiliknya.

"Aku tidak akan mengambil yang bukan milikku."

Jawaban Sri membuat Atik berdengus kesal. "Anjeun teu masihan jawaban, Sri (Kamu tidak memberikan jawaban, Sri!)"

"Tapi benda mewah itu bukan milik kita, Bu. Aku yakin, ibu juga tidak mencurinya." Sri bersikeras, sebagai tanda bahwa ibunya harus mengembalikan Condroso itu.

"Tangtu kuring lain maling! (Tentu aku bukan pencuri!)" Atik mulai kesal.

"Atawa, Aku saja yang akan mengembalikan Condroso itu..."

"Apakah kamu tidak mau Gulden yang banyak! Jadi orang kaya! Tidak perlu kerja kasar atau disiksa, jika melakukan kesalahan kecil?" Atik berusaha merendahkan suaranya. "Ada kehidupan lebih baik di luar barak ini jika kita memiliki banyak Gulden"

"Tentu saja... Tentu saja, aku mau, Bu."

"Ya. Kalau begitu, kamu harus mulai melihat dan memaksakan diri untuk menginginkan Condroso ini." Atik terus menodongnya. "Kamu akan memiliki kemauan keras, jika menginginkan sesuatu yang berharga seperti ini!"

"Ta... Tapi... Aku..." Sri masih tidak mengerti, mengapa ibunya begitu memaksanya.

"Bukankah kamu ingin kaya raya dan disegani?"

Sri terpaku. Tatapan pupil hitam ibunya mulai menarik kendali atas pemahamannya. Gelagat perempuan yang dicintainya ini terlihat ambigu... Bagaimana caranya kaya raya dan disegani dengan memiliki barang yang bukan miliknya?

***

Wulan membuka lemari kayu jatinya. Satu persatu dia memeriksa semua peti-peti perhiasannya. Rambut hitam tebalnya kusut karena dia begitu panik.

"Belum ketemu juga, Nyi?"

Wulan yang melata di bawah kolong ranjang, melirik ke arah pintu. Dia hanya bisa melihat kaki Nyi Darsi. "Aku benar-benar lupa menaruhnya." Dia menarik sebuah peti dari kolong ranjang, dan membukanya dengan terburu-buru.

Nyi Darsi menggulingkan netranya, memindai kondisi kamar yang berantakan. "Kapan terakhir Nyi Wulan pakai Condroso itu?"

"Tentu saja, pertama kita menari di Desa Walangsari ini." Wulan melemas, Condroso itu juga tidak ada di peti besar itu.

Nyi Darsi duduk di ujung ranjang jati. "Bukankah... Malam itu, Nyi tidak memilih Sang Raja."

Wulan menaikkan pandangan matanya, Nyi Darsi memperhatikannya. "Benar, aku tidak memilih Sang Raja."

Sang Raja adalah sebutan untuk pria yang dipilih oleh Penari Ronggeng dengan selendangnya. Kalungan selendang itu, akan mengikat mereka untuk menghabiskan malam di peraduan.

"Lalu?" Nyi Darsi mengibas kipas kayu Cendananya. "Nyi Wulan di rumah saja kan? Karena belum selesai datang bulan."

Nyi Wulan menyelipkan rambutnya di belakang telinganya. Wajahnya tertunduk. Dia baru mengingatnya...

Nyi Darsi merendahkan wajahnya, perempuan yang duduk di lantai itu tampak menyembunyikan sesuatu. "… Atau Nyi Wulan sudah menemui sang pujaan hati secara diam-diam?"

Malam itu, adalah hari pertama mereka memulai pertunjukan, setelah Kerajaan Singolasi kalah perang dengan Tentara Netherlands. Oneng Gamelan Sari pun dipindahkan, atas permintaan seorang saudagar Netherlands ke Desa Walangsari.

Ketika semuanya sedang menikmati pertunjukan, Wulan memang tidak ikut menari. Secara diam-diam, dia membuat janji untuk menemui Meneer Henri di sungai yang tidak jauh dari rumah ini. Ternyata Meneer Henri lah yang mengajukan pemindahan kelompok Penari Ronggeng itu dari tawanan Pemerintah Netherlands.

Awalnya Wulan dan Meneer Henri bertengkar hebat... Sedikit kegilaan... Dan rasa rindu. Emosi panas dalan beragumen itu berakhir dengan liar. Ada sesuatu yang harus mereka salurkan. Ketika musik gamelan di tengah desa itu terdengar santer diiringi riuh sorak-sorak para pria yang kesenangan... Mereka berdua terburu-buru dan fasih mengisi hasrat yang tertunda. Wulan tidak akan menampik puncak yang dia rasakan itu adalah bukti... Bahwa Meneer Walanda itu masih menginginkannya.

"Nyi?"

Wulan mengerlingkan matanya. Lamunannya terpecah. Tentu dia tidak akan jujur. "Aku akan mencarinya lebih teliti...."

"Condroso itu hadiah besar dari Raja Singolari atas keperawananmu dan pengabdianmu. Setiap kamu memakainya... Hadiah itu adalah perlambang bahwa Penari Ronggeng adalah perempuan yang juga dihormati oleh Raja sesungguhnya."

"Iya, Aku tahu." Wulan mengusap rambutnya lagi.

Ketika bermesraan... Meneer Henri lah yang membuang Condroso itu ke sungai. Condroso itu membuat Meneer Henri cemburu bukan main... Tusuk konde bertahtakan batu intan dan tempaan emas itu adalah salah hadiah yang dikhususkan untuknya dari raja Pandji Sumo, sang penguasa Singolari. Kembang Cempaka itu adalah tanda kagum sang Raja ketika Wulan tampil sebagai Penari Ronggeng. Kepada Raja besar itu lah Wulan menyerahkan kesuciannya...

***

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Hikayat Sang Penari - Bab 7 - 8 - 9
0
0
***Mata biru Henri mengerjap. Indra pengelihatannya merekat, tak ingin melempaskan tatapannya kepada sosok mahluk cantik itu.Wulan, kenapa kamu harus pergi lagi? Henri mengusap rambut pirangnya yang merembah peluh.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan