Stay With You - Chapter 19,20,21

7
1
Deskripsi

CHAPTER 19 – FORBEARING LOVE 

Princes menarik tangan Ryley menjauh dari pinggangnya.

 

Pria itu tampaknya sudah terlelap begitu dalam ke alam mimpi.

 

Tadi setelah Princes berhenti menangis, Ryley melepaskan pelukan kemudian pergi ke kamar mandi.

 

Dia harus mandi air dingin untuk meredam hasratnya karena tidak bisa bercinta dengan Princes yang ternyata mencintai Sean.

 

Princes tidak melihat reaksi maupun respon Ryley yang berlebihan, pria itu hanya mengubah tampangnya menjadi dingin dan beberapa kali mengembuskan napas panjang.

 

Ketika keluar dari kamar mandi dan melihat Princes meringkuk di atas ranjang, Ryley masih mau memeluk gadis itu hingga dirinya terlelap.

 

Princes mendudukan tubuhnya, dia menatap Ryley sebentar, mengusap kepalanya kemudian merunduk memberikan kecupan di pipi Ryley.

 

"Makasih udah sayang sama aku, makasih karena enggak marah-marah setelah tahu aku mencintai Sean." Princes melirih kemudian menurunkan ke dua kakinya ke lantai.

 

Princes beranjak dari tempat tidur lalu keluar dari kamar.

 

Tenggorokannya kering, dia butuh minum. 

 

Kaki jenjang Princes menuruni anak tangga, dia mencari dapur.

 

Beberapa lama melongok ke setiap ruangan, akhirnya Princes menemukan dapur.

 

Ruangan itu gelap, Princes meraba-raba dinding hingga menemukan saklar dan menekannya.

 

Lampu pun menyala.

 

Ternyata dapur itu begitu luas dan megah.

 

Princes membuka pintu kulkas, dia membungkuk mencari air mineral dalam botol yang dingin.

 

Dia menemukannya, mengambil satu botol kemudian menegakan punggung tapi kemudian puncak kepalanya membentur sesuatu.

 

"Aaawww ...." Sean meringis.

 

Nyaris lidahnya tergigit karena puncak kepala Princes tidak sengaja menyundul dagunya.

 

"Sean!" pekik Princes setelah berbalik dan menemukan Sean sedang mengusap-mengusap dagu.

 

"Kamu ngapain?" Keduanya refleks bertanya pertanyaan yang sama.

 

"Aku haus." Dan keduanya pun memberikan jawaban sama.

 

Princes memberikan botol air mineral yang dipegangnya kepada Sean.

 

"Nih minum," katanya kemudian berbalik setelah Sean meraih botol air mineral dari tangannya.

 

Jantung Princes mulai bertalu-talu, tangannya terulur membuka pintu lemari es kembali untuk mengambil satu botol air mineral dari sana.

 

 

"Kamu belum tidur?" tanya Sean basa-basi setelah menenggak habis air dari dalam botol.

 

Princes menggelengkan kepala, dia juga telah berhasil menghabiskan isi dalam botol.

 

Princes dan Sean bergerak mendekat, bukan maksud keduanya saling mendekat tapi karena mereka hendak membuang botol air mineral ke tong sampah. 

 

Sean yang membuka tutup tong sampah, dia mempersilahkan Princes melempar botol kosong di tangannya lebih dulu diikutinya dirinya melempar botol kosong di tangan ke sana.

 

Princes menunggu Sean pergi, ia harus melewati Sean untuk mencapai pintu karena sekarang mereka terkurung area meja bar.

 

Dia menunggu beberapa detik tapi Sean hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa sambil menatapnya lekat.

 

Princes terpaksa harus mendekat, dia hendak melewati Sean namun pria itu menghentikan langkah Princes dengan tubuhnya.

  

"Princes ... aku ...." Sean tampak kalut, dia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

 

Princes menunggu lagi, dia mendongak menatap Sean. 

 

Dia ingin mendengar apa yang sedang dipikirkan Sean saat ini, berharap kalau pria itu telah berubah pikiran menjadi mencintainya.

 

Lama tidak ada suara, hanya debur ombak yang terdengar dari kejauhan.

 

Princes menurunkan pandangan bersama hembusan napas panjang.

 

Betapa bodohnya dia yang masih berharap setelah berulang kali dikecewakan Sean.

 

Princes memaksa melewati Sean sampai menyenggol pundak pria itu, dia melangkah cepat menuju tangga.

 

Langkahnya berhenti karena terkejut mendapati Kanaya berdiri di ujung tangga paling atas.

 

Sesaat keduanya hanya saling tatap dan Princes merasakan sorot mata Kanaya yang asing.

 

Tidak seperti Kanaya-kakak sepupunya yang dulu.

 

Yang ada sekarang adalah kesal, marah, benci dan persaingan.

 

Princes enggan menyapa Kanaya jadi dia melewati Kanaya begitu saja tapi biasanya sebagai yang lebih tua—Kanaya yang akan menyapa Princes duluan.

 

Sepertinya Sean mampu mengubah semuanya, melenyapkan rasa sayang Kanaya pada Princes dan membuat Kanaya menganggap Princes adalah saingannya bukan lagi adik yang harus ia lindungi.

 

Sampai Princes masuk ke dalam kamarnya, tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Kanaya.

 

Dan ketika langkah Kanaya tiba di ujung tangga paling bawah, dia bertemu Sean.

 

"Abis ngapain sama Princes di dapur?" tembaknya membuat Sean mengangkat kedua alis karena tertohok merasa ketahuan.

 

"Kita ambil minum, haus ... aku pikir kamu udah tidur." Sean berusaha menghilangkan gugupnya dengan mengulurkan tangan mengusap puncak kepala Kanaya.

 

"Kamu haus juga?" 

 

Kanaya tidak menjawab, dia mendelik lalu melengos melanjutkan langkah. 

 

Sean tidak jadi menaiki anak tangga, dia menyusul Kanaya ke dapur.

 

"Kanaya ...," panggil Sean namun Kanaya menulikan telinga.

 

Dia menghabiskan satu botol air mineral dalam botol.

 

"Aku tahu kenapa kamu belum menikah padahal usia kamu udah cukup matang," ujar Kanaya dingin.

 

"Menurut kamu kenapa?" Sean bertanya dengan nada santai, dia menarik stool kemudian duduk di sana lalu menarik tangan Kanaya agar merapat dan berada di antara kedua kakinya.

 

"Kamu enggak bisa memuaskan para kekasih kamu, kamu bercinta seperti manusia purba ... buru-buru, enggak pakai perasaan ... besok aku harus periksa ke dokter takutnya ada luka di bibir miss V aku." 

 

Kanaya menghentak tangan Sean yang menggenggam pergelangan tangannya, dia menatap tajam Sean sebelum akhirnya pergi meninggalkan pria itu sendiri di dapur untuk merenungi perbuatannya saat mereka bercinta.

 

Sean mengembuskan napas, dia akui dirinya memang salah.

***  

Kanaya tidak bicara dengan Princes, bahkan menatap wajahnya pun Kanaya tidak sudi jadi selalu menghindar setiap kali satu ruangan dengan Princes.

 

Tapi sikap Kanaya sudah berubah kepada Sean, dia kembali mesra layaknya seorang Gemini dengan Love languange physical touch.

 

Kanaya akan duduk di atas pangkuan Sean atau di depannya membiarkan Sean memeluk tubuhnya dari belakang.

 

Atau seperti sekarang ini, dia tanpa segan berciuman dengan Sean di kolam renang tidak peduli banyak orang di sana.

 

Princes membuang tatapannya ke arah lain melihat momen menjijikan itu.

 

Dia pergi dari area kolam renang membawa perasaan gusar.

 

"Kanaya," kata Sean mendorong pelan tubuh Kanaya agar berhenti menciumnya.

 

"Kenapa? Kita sepasang kekasih, wajar kalau kita berciuman," katanya marah.

 

Sean mengusap wajahnya kasar, dia lantas menepi lalu naik ke darat dan pergi menjauh untuk menghindari pertengkaran.

 

Sementara itu, Ryley berhasil menyusul Princes

 

Dia berjalan tidak tentu arah ke luar Villa.

 

"Princes," panggil Ryley membuat sang gadis membalikan badan.

 

"Mau jalan-jalan?" Ryley mengangkat kunci mobilnya.

 

"Yes ... please." Princes memberikan tatapan memohon.

 

Ryley berlari memasuki mobil sportnya, dia mengendarai pelan menjemput Princes seiring bagian atap mobil yang terbuka. 

 

Beberapa lama Ryley membiarkan Princes melamun.

 

Wajah Princes tetap cantik meski rambut nakal menutupi wajahnya karena terhempas angin dan dengan sering Princes menghela.

 

Ryley membuka dashboard, mencari ikat rambut di dalam sana dan memberikan kepada Princes. 

 

Princes meraih ikat rambut dari tangan Ryley lantas mengikat rambutnya yang panjang. 

 

"Punya siapa?" tanyanya.

 

"Milik kencan semalamku, sepertinya ...." Dia juga tidak yakin.

 

Tidak ada raut terkejut di wajah Princes, dia tahu betul Ryley itu pria seperti apa.

 

"Kenapa kamu mencintai Sean?" Ryley mengutarakan apa yang mengganjal di hatinya sejak tadi malam.

 

"Entah lah, memangnya mencintai itu butuh alasan?" Princes bertanya balik.

 

Ryley tertawa pelan. "Kalau memiliki alasan ... berarti itu bukan cinta, benar 'kan?" 

 

Princes mengangkat kedua bahunya.

 

Jujur, dia juga tidak mengerti.

 

Ryley tidak bisa membenci Sean karena menurutnya bukan salah dia juga kalau sampai Princes mencintainya. 

 

Pria itu tidak tahu saja kalau Sean pernah kelepasan menyentuh Princes membuat sang gadis berharap banyak, membawanya terbang ke Nirwana kemudian menjatuhkannya tanpa perasaan ke dasar bumi.

 

Bagi Ryley, dia tidak akan mengorbankan persahabatannya demi seorang gadis yang jelas-jelas tidak mencintainya.

 

"Lalu hubunganmu dengan Kanaya? Aku lihat kalian belum bicara seharian ini."

 

"Sepertinya Kanaya tahu kalau aku mencintai Sean dan dia tidak menyukainya." 

 

Wajah Princes memberengut.

 

"Apa Sean tahu kalau kamu mencintainya?" 

 

Princes menggelengkan kepala. "Aku tidak yakin, tapi semestinya dia tahu." 

 

Ryley mengembuskan napas panjang. 

 

"Kamu mau pulang sekarang?" 

 

Tawaran Ryley itu membuat Princes menoleh dramatis.

 

"Kamu bisa mengantarku pulang sekarang?" Princes bertanya penuh harap.

 

"Tentu bisa." Ryley menjawab dengan mudah.

 

"Tapi aku tetap tidak bisa mencintaimu, Ryley ... maaf." Princes menunjukkan tampang menyesal.

 

"Tidak masalah, aku akan coba perlahan membuatmu mencintaiku." Ryley ternyata pantang menyerah.

 

"Tidak mungkin, hatiku dimiliki pria lain." Binar di mata Princes menunjukkan kegetiran.

 

Ryley melepaskan kekehan singkat, tangannya terulur mengusap puncak kepala Princes.

 

"Sudahlah, jangan menangis ... aku akan mengantarmu pulang agar kamu tidak perlu tersiksa melihat kemesraan Sean dengan Kanaya." 

 

"Terimakasih."

 

Air mata Princes merebak.

 

Ryley menarik pundak Princes agar pria itu bersandar kepala di pundaknya, sedangkan satu tangannya tetap pada kemudi.

 

Gagah sekali pria itu, apalagi dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.

 

Namun tetap tidak bisa membuat Princes jatuh hati padanya.

 

"Maafkan aku kalau selama ini aku melakukan penolakan terang-terangan dan cenderung kasar, aku hanya ingin kamu mengerti kalau aku sebenarnya tidak mencintai kamu ... maaf juga telah menjadikanmu alat untuk membuat Sean cemburu." 

 

Princes melakukan pengakuan dosa.

 

Ryley tergelak. "Kapan kamu memanfaatkanku untuk membuat Sean cemburu?" 

 

Pria itu ternyata tidak menyadarinya.

 

"Sudahlah lupakan." 

 

Princes menjauhkan kepalanya dari pundak Ryley, dia menatap pemandangan laut di sepanjang jalan. 

 

Dia sedang ingin melamun sendirian, meratapi nasib asmaranya yang kasih tak sampai.

  

CHAPTER 20 – DISCORD

"Princes ... kenapa kemarin pulang duluan? Kamu enggak apa-apa, kan?" 

 

Evangeline yang bertanya saat kaki Princes sampai di ruang makan.

 

Semua sepupunya ada di sana termasuk Kanaya sedang melakukan sarapan pagi.

 

"Aku jalan-jalan sama Ryley terus aku pikir kenapa enggak langsung pulang aja." Princes menjawab acuh.

 

Dia meraih sepotong sandwich kemudian menuang orang juice ke dalam gelas dan menenggaknya habis.

 

"Kamu juga enggak bawa hape, kalau Ryley enggak kasih tahu, sampe pagi kita nyariin kamu." Zyandru berujar ketus, dia kesal karena Princes tidak pamit akan pulang lebih dulu.

 

Sebagai satu-satunya laki-laki yang menjaga mereka di sini, dia paling heboh mencari Princes kemarin.

 

"Makasih udah peduliin aku, makasih juga udah masukin barang-barang ke koper dan membawanya pulang." 

 

Langkah Princes berhenti di samping Zyandru, dia membungkuk untuk dapat mengecup pipi sang sepupu.

 

"Aku pergi," kata Princes sambil melengos.

 

 "Princes ... kenapa enggak bareng aja sih?" Evangeline berteriak karena sosok Princes sudah tidak lagi ada di ruang makan.

 

"Aku mau pergi sendiri," sahut Princes berteriak dari ruang tamu disusul suara pintu keluar yang ditutup.

 

"Aku heran deh ... Princes berubah akhir-akhir ini, kenapa ya?" 

 

Evangeline menatap kakak sepupunya bergantian meminta jawaban.

 

Kaluna dan Zyandru saling melempar pandang.

 

Kaluna memang tidak tahu percis tapi tahu kalau Princes menyukai Sean dan cukup terkejut saat mengetahui Kanaya malah pacaran dengan Sean. 

 

"Kalian tahu sesuatu ya?" tuduh Evangeline dengan mata memicing pada Kaluna dan Zyandru.

 

 "Princes suka sama Sean, tapi Sean sukanya sama aku jadi dia uring-iringan terus," ujar Kanaya seraya beranjak berdiri.

 

"Hah? Yang benar!" Evangeline tidak percaya.

 

Dia lantas menoleh pada Zyandru dan Kaluna yang membenarkan ucapan Kanaya melalui ekspresi wajah mereka.

 

Kanaya meninggalkan ruang makan karena sudah selesai dengan sarapannya.

 

Zyandru dan Kaluna pun beranjak dari kursi mereka meninggalkan ruang makan.

 

"Hey ... Hey ... kapan kalian tahu tentang itu? Kenapa aku enggak tahu sih?" Evangeline berlari menyusul para sepupunya yang sudah mencapai ruang tamu, mereka hendak pergi ke kampus bersama menggunakan mobil yang sudah menunggu di bawah tidak seperti Princes yang memilih menggunakan Subway.

 

Princes bisa mengamati banyak orang dalam perjalanannya menaiki angkutan umum, mulai dari para Executive muda dengan pakaian rapih yang elegan sampai pekerja imigran yang sangat sederhana.

 

Gerbong yang Princes masuki begitu padat, dia tidak mendapat tempat duduk jadi harus berdiri sambil berpegangan pada handgrip di tengah-tengah antar kursi.

 

"Ups ...." Princes memekik, tubuhnya tersenggol pria besar yang hendak turun di salah satu stasiun.

 

Namun beruntung seorang pria berhasil menahan tubuhnya sehingga Princes berakhir di dada pria itu bukan di lantai gerbong yang kotor.

 

"Sorry," katanya seraya mendongak mencari tahu wajah pria yang kini tengah memeluknya.

 

"Kamu enggak apa-apa?" Pria itu bertanya sambil tersenyum dan dia cukup ... tampan.

 

Princes menggelengkan kepala, menjauhkan tubuhnya dari pria itu.

 

"Duduk lah." Pria itu menunjuk kursi kosong di depannya.

 

Orang yang tadi duduk di sana sudah turun di stasiun yang baru saja mereka lewati.

 

Princes mengangguk, dia duduk di sana sementara pria tadi berdiri di depannya karena tidak ada lagi kursi kosong yang tersedia.

 

"Tumben sekali kamu menggunakan Subway," kata pria itu membuat Princes kembali mendongak.

 

Wajah Princes tampak bingung, dia tidak mengerti dengan maksud ucapan pria itu yang seolah mengenal dekat Princes yang selalu pergi menggunakan kendaraan pribadi ke kampus.

 

"Biasanya kamu pergi bersama para sepupu," imbuh pria itu lagi membuat kerutan di kening Princes semakin dalam.

 

"Aku Mario ... kita di fakultas yang sama dan pernah beberapa kali satu kelas." Pria itu menjulurkan tangan.

 

"Oh ya ampun." Princes langsung menyambut tangan Mario.

 

"Maaf ... aku tidak mengenalimu." Princes meringis.

 

"Kamu memang tidak pernah bergaul selain dengan para sepupu kamu, kan?"

 

Kalimat itu terdengar sarkastik namun cara penyampaian dan ekspresi wajah Mario yang santai malah seperti pria itu tengah berkelakar.

 

Princes mengerutkan wajahnya lucu dia baru menyadari tidak memiliki teman selain para sepupunya.

 

"Sepertinya begitu," jawab Princes menggumam.

 

Mario terkekeh, dia mengulurkan tangannya kembali.

 

"Ayo ... tujuan kita sudah sampai," katanya seraya mengendikan kepala.

 

Princes menerima uluran tangan Mario, pria itu kemudian menuntun Princes keluar subway dengan menggenggam tangannya.

 

Membuat jalan di depan Princes dari para penumpang yang akan masuk ke dalam Subway.

 

Mario masih belum melepaskan tangan Princes ketika mereka sudah keluar stasiun karena harus menyebrangi jalan besar.

 

Mata Princes terus tertuju pada tangannya yang digenggam Mario.

 

Benaknya berisik sekali dan hatinya bingung mengenali rasa mungkin karena dia tengah patah hati.

 

 

"Baiklah ... kita sampai," gumam Mario sembari melepaskan genggaman tangannya.

 

"Terimakasih," kata Princes.

 

"Untuk apa?" Pria itu menoleh sambil tersenyum lebar.

 

"Dari tadi kamu memegangi tanganku."

 

"Oh itu ...." Mario menggaruk tengkuknya, dia terlihat salah tingkah.

 

"Maaf ...," ujarnya kembali.

 

Princes tersenyum, dia membuat topik pembicaraan baru mengenai tugas yang diberikan oleh salah satu profesor.

 

Mario menanggapi dan kebetulan kata-katanya membuat pria itu terlihat pintar di mata Princes.

 

"Nanti ajari aku," kata Princes seraya mengguncang tangan Mario.

 

"Oke ... oke ...." Mario menyanggupi.

 

Para sepupunya yang juga baru tiba di kampus melihat interaksi Princes dengan pria lain—seketika menghentikan langkah dan menatap penuh keheranan ke arah Princes yang sedang melewati mereka begitu saja sambil tertawa dengan pria asing itu.

 

Mereka tahu kalau Princes tidak memiliki teman di kampus ini dan tidak mudah bergaul dengan orang baru tapi Princes tampak akrab dengan pria yang sama sekali tidak mereka kenal.

 

"Sini ... aku mau ngomong sesuatu sama Kak Aya." Kaluna menarik tangan Kanaya menjauh dari Zyandru dan Evangeline.

 

"Apaan?" ketus Kanaya, dia sudah bisa menduga apa yang akan dibicarakan adik kembarnya.

 

"Kalau Kak Aya enggak serius sama Sean, mending jauhin Sean deh ... biar Princes sama Sean." Kaluna sedang memberi saran.

 

Keduanya masih melanjutkan langkah menuju gedung fakultas menyebrangi taman yang luas.

 

"Enak saja!" seru Kanaya kesal.

 

"Kak Aya sukanya sama profesor Aaron, kan? Ya udah fokus dapetin Prof Aaron aja, jangan baperin cowok lain apalagi cowok yang adik sepupu Kak Aya suka ... kasian Princes, Kak ...." 

 

Kanaya menghentikan langkah, dia menatap Kaluna tajam.

 

"Kenapa kamu jadi belain Princes ... yang saudara kembar kamu itu aku, bukan dia!" 

 

"Bukan gitu, masalahnya aku tahu kalau Sean cuma mainan doank buat Kak Aya." Kaluna masih membujuk.

 

"Kamu enggak tahu apa-apa tentang aku, jadi berhenti ceramahin aku." 

 

Kali ini suara Kanaya lebih tegas dengan sorot mata yang semakin tajam membuat Kaluna membungkam mulutnya rapat-rapat.

 

Dia juga hanya bisa membeku ketika Kanaya meninggalkannya setelah memberikan ultimatum keras barusan.

 

Kaluna memejamkan mata bersama hembusan napas kasar.

 

Dia bingung bagaimana membuat hubungan Kanaya dan Princes kembali seperti dulu karena bila semakin dibiarkan maka mereka akan semakin terus saling membenci.

 

 

CHAPTER 21 – COLD WAR

 

"Princes mencintai kamu," ucap Ryley tiba-tiba.

 

Sean langsung mendongak dari tatapannya pada layar ponsel.

 

Kedua pria pemimpin perusahaan besar di kota New York itu baru saja bertemu seorang klien yang sama dengan keperluan berbeda.

 

Setelah mereka menyelesaikan pertemuan tersebut, Ryley mengajak Sean makan siang. 

 

Dan di sini lah mereka, duduk di meja persegi saling berhadapan di dalam sebuah restoran Italy.

 

Sean menatap Ryley sebentar sebelum akhirnya tertawa sumbang.

 

"Jangan bercanda," kata Sean mencoba menyanggah padahal ia juga telah mengetahuinya.

 

"Princes mengatakannya langsung kepadaku." Ryley berujar kembali dengan raut sendu.

 

Wajah Sean berubah tegang, dia menunduk menatap gelas kopi yang baru saja disajikan pelayan untuk menu dessert karena mereka telah menghabiskan menu main course.

 

"Pantas saja kamu sering membawa Princes kabur dariku, bodohnya aku tidak menyadari itu." 

 

Sekarang Ryley yang tertawa tapi malah membuatnya tampak menyedihkan.

 

"Aku sudah berusaha membuatnya mencintai aku tapi selalu gagal ... ternyata dia hanya mencintai kamu." 

 

Ryley menegakan tubuh, kedua tangan ia simpan di atas meja dengan telapak tangannya melingkupi cangkir kopi

 

 

Sampai sini, Sean masih bungkam. Dia bingung bagaimana harus menanggapi semua ucapan Ryley.

 

"Kalau kamu tidak mencintainya, kamu harus memberikan pengertian pada Princes karena sepertinya dia tidak berhenti mengharapkanmu meski tahu kamu telah berpacaran dengan Kanaya." 

 

Sean mengembuskan napas panjang. Dia mengusap wajahnya kasar. 

 

"Maaf ... aku tidak pernah bermaksud membuatmu patah hati." 

 

Sean merasa bersalah, jangankan mengendalikan hati Princes agar tidak mencintainya—dia saja bingung dengan perasaannya sendiri.

 

Dia seharusnya mencintai Kanaya tapi kenapa malah Princes yang menari-nari dalam benaknya setiap waktu.

 

Apakah itu berasal dari rasa bersalah karena dia pernah menyentuh Princes terlalu intim?

 

"Tidak masalah, hati Princes ya milik Princes ... dan kamu juga tidak berhak memaksa agar Princes tidak mencintai kamu tapi kamu bisa memberinya pengertian." 

 

"Tapi bagaimana kalau aku mencintai Princes?" Sean malah bertanya kepada Ryley.

 

Ryley tertawa mendengar pertanyaan Sean.

 

"Sebagai sahabat, aku akan memintamu untuk memilih Princes karena cinta Princes sangat tulus sedangkan Kanaya ...." Ryley menghentikan kalimatnya, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

 

"Kanaya terlalu berbahaya ... tidak ada yang tahu pria mana yang benar-benar dia cintai." 

 

"Princes mengatakan kalau Kanaya menyukai profesor Aaron." 

 

Ryley mengangkat kedua alisnya. "Bisa iya ... bisa juga tidak, tidak ada yang tahu isi hatinya ... tapi yang aku tahu, dia banyak mencampakkan pria ... dia gampang bosan dan lebih suka main-main dari pada memiliki ikatan dengan seorang pria ... aku juga heran kenapa kalian bisa meresmikan hubungan kalian." 

 

"Mungkin Kanaya mencintaiku," kata Sean jumawa tapi suaranya lirih, dia juga tidak yakin.

 

Ryley malah tergelak kencang.

 

"Sepertinya tidak, Sean ... mengingat kamu yang lebih dulu mengejar-ngejarnya ... Kanaya itu peka, semua rencanamu untuk mendekatinya pasti terbaca." Ryley berpendapat.

 

"Lalu apa?" Sean malah balik bertanya.

 

Ryley mengangkat kedua bahu. "Bisa jadi dia tahu kamu mengejar-ngejarnya tapi perhatian kamu malah tercurah untuk Princes, kamu selalu mengkhawatirkan Princes ... tiba-tiba pergi untuk bertemu Princes atau mungkin ketika bersama Kanaya—kamu malah memikirkan Princes ... dia Gemini, Sean ... dia bisa membaca pikiranmu ... dan karena itu, ego Kanaya terluka ... para pria selalu memujanya tapi kamu malah mengabaikannya setelah kamu berjuang mati-matikan untuk mendapat perhatian Kanaya." Ryley tertawa  kemudian menyesap kopinya.

 

"Aku bicara seperti ini karena pertanyaan kamu barusan ... kamu bertanya, bagaimana kalau kamu mencintai Princes ... aku yakin sekali kalau kamu sebenarnya mencintai Princes tapi kamu bingung dengan perasaan kamu sendiri ... dan pertanyaannya, kenapa kamu bisa sampai bingung dengan perasaan kamu?" Telunjuk Ryley terarah pada Sean, sorot matanya berubah serius.

 

Ryley memang cerdas, dia bisa mengambil kesimpulan dengan cepat dari situasi yang bahkan baru saja disadarinya karena sebelum Princes mengatakan kalau gadis itu memperalatnya untuk membuat Sean cemburu—Ryley tidak tahu kalau antara Princes, Kanaya dan Sean memiliki masalah hati yang rumit.

 

Pantas saja Ryley menjadi pengusaha sukses, dia bisa cepat mengambil keputusan yang benar dengan ketajaman pikirannya.

 

Sean mengembuskan napas panjang, dia mengusap wajahnya lagi dengan kedua tangan.

 

"Awalnya aku menginginkan wanita asli Indonesia sebagai pasanganku seumur hidup dan Kanaya memenuhi kriteria itu lalu aku yang lebih dulu kenal dengan Princes, memintanya membantuku untuk membuat Kanaya jatuh cinta padaku tapi entah kenapa aku malah ...." Kalimat Sean terjeda, dia menyugar rambutnya ke belakang tampak frustrasi.

 

"Aku malah menciumnya, aku terbawa suasana ... aku ...." Sean terlalu pengecut untuk mengakui kalau dia pernah menyentuh Princes lebih intim.

 

"Kalau kamu tidak mencintainya, kamu akan melupakan ciuman itu ... ciuman adalah hal biasa, sebelum bercinta dengan wanita yang kukenal di Nightclub—kami pasti mengawalinya dengan ciuman ... lalu kami berpisah esok paginya dan melupakan apa yang terjadi tadi malam." Dengan santainya Ryley berujar.

 

Sean tercenung, dia sedang mencerna ucapan Ryley.

 

Benar kata Ryley, dia juga sering bercinta dengan banyak wanita yang ia temui dari berbagai pertemuan tapi tidak ada yang dia ingat satu pun dan kenapa hanya sebuah ciuman dan sentuhan biasa membuat Sean nyaris gila memikirkan Princes?

 

Apalagi namanya kalau bukan cinta?

 

"Kamu akan membenciku karena ini?" Sean bertanya takut-takut pada Ryley.

 

"Aku akan membencimu kalau kamu menyakiti hatinya," jawab Ryley tegas dengan sorot mata mengancam.

 

 

*** 

 

 

"Mario," panggil Princes sambil melambaikan tangan.

 

Pria yang menyandang tas di pundaknya itu menoleh lalu tersenyum.

 

"Princes," gumamnya ketika mendekat.

 

"Aku belum mengerjakan tugas, aku tidak mengerti." Princes memajukan bibirnya seraya mengerutkan wajah lucu.

 

Mario melirik arloji di pergelangan tangannya sekilas.

 

"Ayo kita ke perpustakaan, kita kerjakan di sana ... masih ada waktu satu jam empat puluh lima menit sebelum kelas profesor Wilson dimulai.

 

Mario mengulurkan tangan pada Princes yang tengah duduk di bangku taman dan Princes meraihnya.

 

Setelah berdiri, Princes merangkul lengan Mario kemudian mereka berjalan beriringan menyusuri taman.

 

"Princes," panggil Evangeline tatkala langkah Princes dan Mario melewati gedung fakultasnya.

 

Princes menoleh, dia melambaikan tangan pada Evangeline sambil tersenyum kemudian melanjutkan apa yang sedang menjadi topik pembicaraan dengan Mario sebelum Evangeline memanggilnya tadi.

 

Princes melakukannya dengan santai, seolah menggandeng lengan seorang pria asing adalah biasa baginya.

 

Kening Evangeline mengkerut dalam, dia semakin bingung dengan kelakuan Princes.

 

Beberapa hari lalu dia dan para sepupunya memergoki Princes tengah asyik bicara sambil menyusuri taman seperti sekarang dengan seorang pria lalu baru saja dia melihat Princes merangkul lengan pria yang sama ketika menyusuri taman ini juga.

 

Tapi ketika Evangeline bertanya pada Princes tentang pria itu, Princes hanya menjawab kalau dia teman satu fakultasnya.

 

Sejak kapan Princes memiliki teman?

 

Evangeline harus bicara dari hati ke hati dengan Princes.

 

Sahabatnya itu harus menjadi kekasih Ryley agar Ryley tidak membocorkan kelakuannya bersama Tom pada sang Daddy.

 

Karena bila itu terjadi, nama Tom tidak akan lama lagi akan tertulis dalam batu nisan.

 

*** 

 

 "Aku pulang." Princes berteriak setelah menutup pintu depan. 

 

Dia melangkah gontai menuju ruang televisi untuk mencapai tangga.

 

"Dari mana coba pulang malem gini?" 

 

Zyandru yang bertanya dari ruang televisi.

 

"Kan udah dibilang kalau aku ngerjain tugas ... banyak banget tugasnya." Princes menjawab.

 

"Sama siapa?" Kaluna yang bertanya.

 

"Sama Mario." Princes menjawab lagi.

 

Langkahnya kembali terayun menuju tangga.

 

"Princes," panggil Evangeline menghentikan langkah Princes, dia lantas membalikan badan.

 

"Apa?" tanyanya menatap Evangeline.

 

"Aku bingung ya sama kamu, aku jodohin sama Ryley yang ganteng, tajir melintir dan sangat mencintai kamu tapi kamu malah suka sama Sean yang jelas-jelas sukanya sama kak Aya ... terus sekarang malah menjalin hubungan tanpa status sama Mario yang enggak jelas asal-usulnya, mau kamu tuh apa sih?" ketus Evangeline yang gemas dengan tingkah Princes.

 

"Aku nyaman sama Mario, Ryley ngejar-ngejar akunya kebangetan jadi aku pusing." Princes menjelaskan dengan jujur padahal tadi Evangeline bertanya sarkastik.

 

Lalu Princes benar-benar pergi menaiki anak tangga.

 

Sialnya dia harus berpapasan dengan Kanaya di tengah-tengah tangga.

 

Tahu apa yang Princes lakukan?

 

Dia menatap lurus ke depan, mengabaikan Kanaya.

 

Hampir seminggu mereka tidak bicara. 

 

Princes sadar mungkin Sean tidak akan pernah jadi miliknya dan bukan salah Kanaya bila dicintai Sean tapi tetap saja Princes kesal karena menurutnya Kanaya hanya main-main dengan Sean di saat dia benar-benar tulus mencintai pria itu.

 

Jadi Princes menabuh genderang perang dengan Kanaya dan Kanaya meladeninya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pengantin Dari Sebuah Tragedi - Chapter 12,13,14
43
7
Gunakan KODE VOUCHER PDST 121314 UNTUK MENDAPAT POTONGAN HARGA.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan