
Namira, gadis berparas cantik itu memiliki kepribadian sederhana seperti namanya yang hanya satu suku kata.
Masa kecil Namira kelam, setelah kematian ibundanya dia harus mengurus sang ayah sendirian yang terkena strook.
Namira dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.
Entah apa dosanya di kehidupan yang lalu atau mungkin ada dosa kedua orang tuanya yang membuat Namira selalu dirundung derita hingga saat dia berpikir akan lepas dari kesengsaraan karena telah memiliki pekerjaan tetap di sebuah perusahaan...
“Ayah … Namira pergi dulu ya, makan siang udah Namira siapin di meja makan sama obat yang harus ayah minum … nanti Mira telepon ayah untuk ingetin minum obat,” kata Namira sembari melangkah mendekat pada ayah.
Altezza Rizky Putra, pria Don Juan yang dulu digilai banyak wanita itu sudah belasan tahun terserang stroke dan hanya bisa duduk di kursi roda dilayani semua kebutuhannya oleh sang putri.
Altezza mengangguk-anggukan kepalanya, beliau kesulitan untuk bicara karena bibirnya bengkok seperti tangan kirinya.
“Ayah mau pipis atau pup dulu enggak? Soalnya Mira mungkin pulang sore.”
Altezza menggelengkan kepalanya.
Namira lantas berlutut di depan sang ayah yang duduk di kursi roda.
“Ayah … doain Mira ya, semoga Mira bisa melewati hari pertama ini dengan baik … gaji Mira cukup besar di perusahaan ini … bisa membayar biaya berobat Ayah dan memenuhi kebutuhan hidup kita ….”
Banyak harapan tersirat di pendar mata Namira yang indah.
“Ma-af ….” Altezza melirih, tangan kanannya yang masih berfungsi mengusap kepala Namira lembut.
Mata sang ayah pun berkaca-kaca membuat haru turut menyerang dada Namira.
“Ayah enggak usah minta maaf sama Mira, Mira enggak apa-apa kok … di dunia ini Mira cuma punya Ayah.” Namira memeluk sang ayah agar dadanya sedikit merasa lega.
Beberapa bulan setelah kematian sang bunda, kedua kakek nenek Namira juga mengalami kecelakaan pesawat membuat sang ayah tidak fokus bekerja karena harus membagi waktu dan perhatiannya untuk mengurus Namira.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh seseorang di kantor ayah Altezza yang menginginkan posisi beliau.
Ayah tidak mampu mempertahankan posisinya, beliau dipecat sehingga membuatnya frustrasi dan terserang stroke.
Namira yang masih duduk di bangku SMP kelas satu harus mengurus ayah seorang diri.
Beruntung ayah memiliki beberapa aset dan kakek nenek meninggalkan warisan yang bisa digunakan Namira untuk biaya hidup dan berobat ayah selama ini.
Sampai akhirnya rumah mereka harus dijual saat Namira masuk kuliah atas paksaan ayah karena menurut ayah, Namira wajib menempuh pendidikan di bangku kuliah.
Dengan hidup sangat irit akhirnya uang hasil penjualan rumah cukup sampai Namira lulus kuliah.
Dan meski hidup Namira dalam kesulitan, Tuhan memberikannya kemudahan dalam mencari kerja.
Namira diwawancara langsung oleh pemilik perusahaan, pria tampan dengan ekspresi datar itu menerima Namira bekerja di perusahaannya.
Namira ditempatkan dalam tim desain interior sesuai dengan kemampuannya.
Namira senang sekali apalagi gaji yang akan dia dapat cukup besar.
Kembali lagi pada Namira yang tengah menikmati harunya bersama sang ayah, akhirnya dia mengurai pelukan.
“Ayah telepon Mira atau pak Sukiman kalau ada apa-apa ya, nanti Mira akan langsung pulang.” Namira berpesan.
Pak Sukiman dan Bu Sukiman adalah tetangga mereka yang baik hati dan selalu membantu Namira dan ayah bila mengalami kesulitan.
Ayah menganggukan kepalanya lagi.
Namira bangkit dari berlututnya lalu mengecup kening ayah.
“Mira sayang Ayah.” Setelah mengucapkan hal tersebut disertai senyum hangat, Namira keluar dari rumah tanpa lupa menutup pintu.
Air mata Altezza jatuh, entah untuk yang keberapa kali selama belasan tahun terakhir mengingat perjuangan, pengorbanan dan penderitaan sang putri tercinta dalam mengurusnya.
Altezza sadar telah menghancurkan masa kanak-kanak Namira.
Namira dituntut untuk dewasa sebelum waktunya.
Lain halnya dengan Namira yang selalu berusaha melupakan segala kesedihannya dengan mensyukuri apapun yang dia dapatkan.
Apalagi sekarang dia sudah resmi tercatat sebagai karyawan sebuah perusahaan besar.
Namira melangkah ringan masuk melewati pintu kaca di loby gedung paling ikonik di kota ini, langkahnya kemudian menuju meja resepsionis.
“Selamat pagi, Bu … saya Namira, karyawan baru bagian Desain Interior.” Namira melapor kepada resepsionis sesuai arahan orang bagian HRD tempo hari.
“Oh iya, ini id card punya Bu Namira untuk akses keluar masuk gedung, akses di dalam ruangan, untuk absen juga untuk ambil jatah makan siang di kantin dan bisa juga digunakan untuk alat pembayaran di sekitar gedung … jangan hilang ya, Bu ….” Wanita resepsionis menjelaskan dengan rinci.
Senyum di bibir Namira kian lebar dan matanya berbinar menatap fotonya terpampang pada id card.
“Terimakasih, Bu.”
Usai berkata demikian Namira menuju sebuah pintu yang kalau dia men-tap kartu aksesnya, bagian akrilik yang menghalangi akan terbuka seperti pintu masuk di stasiun MRT.
Namira lantas mengantri dengan karyawan lainnya di depan lift.
Dia telah diberitahu kalau harus lapor dulu ke bagian HRD di hari pertama kerja ini.
Di depannya ada dua orang pria berpakaian rapih, jika dilihat dari jasnya yang mereka kenakan-sepertinya dua pria itu adalah pimpinan di perushaan ini.
Beberapa karyawan wanita dan pria yang juga sedang menunggu lift kemudian bergeser saat seorang pria tampan diikuti wanita cantik yang merupakan sekertarisnya melangkah mendekat ke arah kerumunan mereka di depan lift.
“Selamat pagi Pak Rey!” sapa seluruh karyawan yang ada di sana termasuk dua pria tadi.
Sedangkan Namira tidak sempat mengucapkan salam karena terlalu gugup bertemu dengan pemilik perusahaan ini.
Namira langsung mundur agar tidak terlihat oleh beliau.
Dia pernah bertemu dengan pria itu saat wawancara, sepertinya usianya tidak jauh di atas Namira.
Namira akui kalau pria itu tampan tapi tegas, dingin juga tatapannya tajam.
Reyshaka Khalis Byantara mampu membuat Namira kesulitan bernapas saat wawancara beberapa waktu lalu.
“Pagi!” sahut Reyshaka dengan suara beratnya dan tampang datar.
Saat Reyshaka dan kedua pria yang tadi menggunakan jas mahal masuk ke dalam lift, tidak ada karyawan yang berani masuk ke dalam sana.
Lalu derap langkah sepatu fantovel yang menggema di loby membuat semua menoleh ke arah pintu masuk.
“Tahan liftnya!” Seorang pria yang menggunakan jas mahal lainnya berteriak sambil berlari.
Salah seorang karyawan pria menekan tombol di dinding untuk menahan pintu lift agar tetap terbuka.
“Thanks!” kata pria itu menepuk pundak karyawan pria yang menahan pintu lift sembari melewatinya saat masuk ke dalam box besi tersebut.
“Pak Rivan, pak Doni sama pak Surya itu sahabat pak Rey dari kuliah … makanya mereka bisa masuk perusahaan ini dan langsung menempati posisi tinggi.” Salah seorang karyawan wanita mulai bergosip.
Namira menundukan kepala, dia berusaha untuk tidak menguping kelanjutan gosip para karyawan itu mengingat dia adalah karyawan baru.
Saat salah satu pintu lift terbuka, Namira kebagian masuk ke sana dan turun di lantai yang dituju.
Katanya dia harus menghadap bu Angela di bagian HRD.
Jadi Namira mengetuk pintu yang setengah bagiannya adalah kaca buram dengan tulisan HRD.
“Selamat pagi!” Sapa suara dari belakang membuat Namira menoleh dan menatap wanita cantik itu dengan kening mengkerut.
“Karyawan baru ya?” tanya wanita itu ramah.
“Iya Bu, saya Namira.” Namira mengulurkan tangan.
“Saya Angela,” balas wanita itu menjabat tangan Namira.
Ternyata si pemilik ruangan juga baru saja datang.
“Ayo masuk, sambil nunggu yang lain.” Angela masuk lebih dulu dan duduk di meja kerjanya.
Angela banyak bertanya dan juga menjelaskan sistem dan mekanisme bekerja di perusahaan ini.
Tidak lama dua karyawan baru pun datang dan mendapat arahan dari Bu Angela.
Dua karyawan baru itu juga ternyata satu tim dengan Namira di bagian desain interior.
“Kalian kenalan dulu,” kata Angela, mengarahkan telunjuk pada Namira dan karyawan baru lainnya.
Namira dan dua karyawan baru saling berkenalan, diketahui nama mereka adalah Mala dan Dimas.
Angela menggiring tiga karyawan baru itu ke sebuah ruangan yang berada di lantai lain.
Angela mengenalkan mereka kepada seluruh tim termasuk yang paling bertanggung jawab dalam tim tersebut yaitu Rivan-pria yang tadi berlarian di loby dan meminta karyawan lain menahan lift.
“Saya serahkan Namira, Dimas dan Mala sama Pak Rivan ya.”
Bu Angela undur diri setelah berkata demikian dan mendapat ucapan Terimakasih dari Rivan.
“Silahkan tempati meja yang kosong …,” kata Rivan mempersilahkan.
“Kamu, siapa namanya?” tunjuk Rivan pada Namira.
“Saya, Pak? Namira, Pak.”
“Duduk di sini aja! Kamu yang ipk-nya cumlaude itu, kan? Rivan menunjuk meja kosong di dekat mejanya.
“Biar saya gampang nyuruh-nyuruh kamu,” sambung Rivan lagi sebelum sempat Namira bersuara.
Dina dan Shinta yang merupakan karyawan lama di sana seketika saling menatap penuh arti.
Tentu saja Namira mengikuti perintah tersebut, langsung duduk di meja kosong yang ditunjuk atasannya tanpa membantah.
Beberapa menit kemudian setiap divisi melakukan briefing dipimpin oleh pimpinan masing-masing.
Namira mendengarkan dengan seksama sehingga dia mudah dalam melakukan pekerjaan awalnya.
***
Hari kedua dijalani Namira penuh semangat, dia menyukai pekerjaan ini dan tekun dalam menjalaninya.
“Mir, aku duluan ya.” Mala pamit setelah tadi Dimas sudah pulang lebih awal karena akan langsung ke tempat proyek meninjau lokasi bersama Rivan.
“Hati-hati Mal,” kata Namira dan baru menyadari kalau dia sendirian di ruangan itu.
Dina dan Shinta yang merupakan senior Namira sudah pulang tanpa berbasa-basi, mereka tidak terlalu ramah tapi Namira juga tidak ingin peduli apalagi mengambil hati sikap mereka.
Namira melanjutkan pekerjaannya sampai hari berganti malam dan akhirnya pekerjaan pun selesai.
Dia mengecek ponsel dan mendapat balasan pesan dari ayah yang mengatakan kalau beliau sudah makan malam dan minum obat, beliau juga bertanya kapan Namira pulang.
Namira membalas pesan tersebut sebelum merapihkan meja dan mematikan komputer lalu keluar dari kubikelnya.
Saat hendak menekan knop pintu, dia merasakan benda tersebut bergerak dan pintu terbuka didorong dari luar.
Sosok pimpinan tertinggi dalam timnya merangsak masuk membuat Namira harus mundur beberapa langkah.
“Kamu belum pulang?” Rivan bertanya dengan mata memindai Namira dari atas hingga bawah.
“Baru mau pulang, Pak … saya duluan, Pak.” Namira menjawab, perasaannya mulai tidak enak.
Namira menarik langkah hendak melewati Rivan namun Rivan berhasil menangkap pergelangan tangannya.
Gadis cantik dengan rambut panjang itu sontak menoleh menatap Rivan penuh tanya.
“Kamu temenin saya dulu di sini ….” Rivan menghadapkan tubuhnya pada Namira, mata pria itu tampak mengerikan seperti srigala yang sedang kelaparan.
Namira yang ketakutakan kemudian mundur saat Rivan terus melangkah hendak menempelkan dada mereka.
Jantung Namira berdetak kencang, matanya terus menatap was-was pada Rivan.
“Pak!” tegur Namira pelan tapi tegas dan menahan dada Rivan menggunakan satu tangan yang tidak dicekal Rivan sembari memberikan tatapan peringatan.
“Kalau kamu ikutin semua keinginan saya, nanti saya kasih kemudahan bekerja di sini juga jabatan bagus … gimana?” Rivan bertanya sambil membungkukan sedikit tubuhnya membuat wajahnya dengan wajah Namira sejajar dengan jarak sangat dekat.
“Enggak Pak, maaf … saya mau pulang aja.” Namira menggunakan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri sampai tubuh Rivan terdorong ke belakang dan bokongnya membentur sudut meja yang tentu saja membuatnya kesakitan.
Namira lari sekencang-kencangnya menuju pintu darurat tidak peduli di sana gelap yang penting terus melangkah menjauh meski tidak tahu apakah Rivan mengejarnya atau tidak.
Dia baru bisa bernapas lega saat sudah berada di loby.
“Kenapa lewat tangga darurat, Neng?” Seorang sekuriti bertanya karena Namira tampak ketakutan.
“Eng-enggak apa-apa, permisi Pak … saya duluan.” Namira tidak lupa untuk pamit.
Dia masih berlari melewati pelataran parkir hingga tiba di halte dekat sana.
Namira yang kelelahan duduk sebentar sambil menunggu bis yang menuju ke arah rumahnya.
Setengah jam lamanya Namira menunggu sampai bis itu datang dan dia menempuh perjalanan satu jam tiga puluh menit untuk tiba di rumah karena jalanan masih macet sisa dari jam pulang kerja.
Setelah turun dari bis dia harus berjalan sekitar dua kilo meter untuk tiba di rumah.
Pelipisnya dibanjiri keringat setelah dia tiba di rumah.
“Ayah …,” panggil Namira lembut saat membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
Sang ayah ketiduran di depan televisi.
“Ayah laper enggak? Mira buatin makan malam ya.” Mira pergi setelah mengecup kening sang ayah yang tadi sempat membuka matanya.
Namira bergegas membuat telur mata sapi untuk dirinya dan ayah.
Ayah menggerakan kursi rodanya ke meja makan.
“Kenapa hari ini pulang malam?” Ayah Altezza bertanya saat Namira menyiukan nasi ke piring untuk ayah.
Ucapannya tidak jelas tapi Namira mengerti.
“Mira banyak kerjaan, Ayah … tapi besok kayanya Mira bisa pulang cepet soalnya kerjaan Mira udah selesai tadi.”
Namira memberikan piring berisi nasi dan telur mata sapi yang diberikan sedikit kecap kepada ayah.
Mereka berdua makan dengan lahap, Namira tidak membicarakan kejadian tadi kepada sang ayah.
Ayah sempat terbatuk dan membuat seluruh nasi dimulutkan beterbangan.
Sang putri segera mengambil air minum untuk ayah dan tidak marah saat banyak nasi berserakan di lantai juga meja meja makan yang mana dia harus bersihkan sebelum mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
“Pelan-pelan minumnya ya, Ayah.” Namira membantu ayah minum dari gelas.
“Maaf … jadi berantakan,” kata ayah dengan ekspresi wajah menyesal.
“Enggak apa-apa.” Namira tersenyum sembari mengusap-ngusap pundak ayah.
Setelah dia menyelesaikan pekerjaan rumah dan membersihkan lantai juga meja makan dari remah nasi—Namira bisa mandi dan membaringkan tubuhnya di ranjang.
Mata Namira menatap langit-langit kamar, dia baru menyadari kalau besok akan bertemu Rivan di kantor.
Bagaimana dia harus menghadapi pria mesum itu?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
