Perjalanan Menuju Cinta - Chapter 1

73
8
Deskripsi

Di Chapter awal ini menceritakan tentang kesedihan dan kegalauan Ghazanvar usai diultimatum oleh Zaviya sedangkan Naraya sedang menikmati kebahagiaan meski hidup dalam kesederhanaan.

Ghazanvar Nawasena Gunadhya tidak pernah mengenal kata kecewa lantaran apa yang dia inginkan selama hidupnya pasti akan didapatkan dengan mudah mengingat dia adalah seorang anak Konglomerat dan cicit dari salah satu orang terkaya di Asia Tenggara.

 

Hanya menjentikan jari saja, apa yang dia inginkan tersaji di depan mata namun sayang, keserakahannya membawa Ghazanvar pada perasaan bernama cinta terlarang.

 

Dia mencintai seorang wanita bernama Zaviya yang merupakan istri dari sepupunya sendiri.

 

Awalnya Ghazanvar hanya memuji kecantikan dan sikap menggemaskan Zaviya namun lama-lama perasaan memuji itu berubah menjadi cinta.

 

Dia tahu kalau pernikahan sang sepupu yang bernama Svarga dengan Zaviya adalah perjodohan, dia juga bisa menilai kalau Svarga tidak mencintai Zaviya sehingga harapan muncul di hatinya.

 

Ghazanvar sampai bersedia menunggu jandanya Zaviya.

 

Mungkin Tuhan ingin memberikan sebuah pelajaran kepada Ghazanvar agar tidak serakah karena ternyata justru benih cinta hadir di antara Svarga dan Zaviya.

 

Ghazanvar mulai resah, Svarga dan Zaviya tidak boleh saling mencintai.

 

Hubungannya dengan Svarga pun memburuk sampai terlibat perkelahian.

 

Dan siapa yang bisa menentang takdir Tuhan? 

 

Ghazanvar semakin hancur saat mengetahui Zaviya tengah mengandung anaknya Svarga.

 

Saat itu di Villa keluarganya yang terletak di Bandung dalam rangka merayakan kelahiran anak dari sepupunya yang bernama Davanka—seluruh keluarganya memberikan ucapan selamat kepada Svarga dan Zaviya yang akan menyusul Davanka menjadi sepasang orang tua.

 

Ghazanvar mencoba untuk membujuk Zaviya namun ultimatum dari perempuan itu yang malah dia dapatkan.

 

FLASHBACK ON 

 

Langkah Zaviya sampai di belakang Villa, dia menemukan Ghazanvar sedang merokok di sana.

 

Sebenarnya Zaviya mau langsung pergi saja tapi Ghazanvar kadung mengetahui keberadaannya jadi Zaviya sempatkan untuk menghampiri Ghazanvar sebentar.

 

“Kenapa enggak gabung sama yang lain, Kak?” Zaviya bertanya basa-basi, pura-pura tidak tahu kalau Ghazanvar pernah mengungkapkan cinta kepadanya di depan Svarga.

 

“Zaviya ….” Ghazanvar mematikan rokoknya.

 

“Aku peluk kamu boleh?” Tanpa segan Ghazanvar meminta ijin membuat Zaviya mundur beberapa langkah.

 

Pria itu seperti bercanda tapi sorot matanya begitu sendu seakan tersiksa oleh rindu yang besar.

 

“Kak … enggak boleh, Kak Ghaza itu kakak sepupunya Svarga … suami aku.” Zaviya mengingatkan siapa tahu Ghazanvar lupa.

 

“Tapi Svarga enggak mencintai kamu, Zaviya … kamu bisa minta cerai dari Svarga dan aku yang akan bahagiakan kamu … aku mencintai kamu.” Ghazanvar serius sekali ketika mengatakannya.

 

“Enggak Kak, Svarga mencintai aku … aku tahu karena aku yang merasakannya,” sanggah Zaviya membela Svarga.

 

Terdengar dengkusan tawa meledek Ghazanvar yang telah mengalihkan pandangannya ke arah lain.

 

“Terimakasih karena mencintai aku, Kak ... tapi maaf, aku hanya mencintai Svarga.” Zaviya memberi penekanan diakhir kalimat.

 

“Bohong! Kamu bertahan karena kamu lagi hamil, kan?” tebak Ghazanvar membuat pupil mata Zaviya melebar.

 

Ghazanvar terlalu peka, dia bisa mengetahui isi hati seseorang hanya dengan menatap mata atau melihat gerak-geriknya saja.

 

“Enggak … aku mencintai Svarga sepenuh hati aku … kalau enggak, aku pasti menerima cinta Kak Ghaza tapi dari awal enggak aku lakukan meski Kak Ghaza perhatian dan pengertian karena aku hanya mencintai Svarga jadi aku mohon, Kak … aku mohon, berhenti mencintai aku … cari perempuan lain yang lebih baik dari aku yang mencintai Kak Ghaza juga … dan baikan sama Svarga, kalian sepupu dekat … enggak baik kalau terus diem-dieman ….” 

 

Ghazanvar enggan menatap Zaviya lagi, dia sedang merasakan patah hati yang hebat.

 

“Apapun yang terjadi dengan rumah tanggaku dan Svarga ke depannya … aku enggak akan pernah mencintai Kak Ghaza,” tegas Zaviya dengan suara rendah.

 

Zaviya mundur beberapa langkah kemudian pergi meninggalkan Ghazanvar yang hatinya tengah terluka parah.

 

FLASHBACK OFF 

 

Plak! 

 

Sebuah pensil mendarat di kening Ghazanvar membuat pria itu terhenyak kembali dari lamunannya.

 

Percakapan terakhirnya dengan Zaviya di Bandung tempo hari selalu berkelebat dibenak Ghazanvar menikam kian dalam hati Ghazanvar yang sudah babak belur.

 

“Kamu kalau enggak niat rapat keluar saja!” hardik kakek Narendra geram, beliau adalah orang yang bertanggung jawab melempar pinsil ke kening Ghazanvar barusan.

 

Pasalnya saat ini Ghazanvar sedang berada di tengah-tengah meeting bersama Komisaris Utama yaitu sang Kakek guna mempertanggungjawabkan laporan kinerja perusahaannya selama satu tahun terakhir.

 

Di sana banyak pimpinan tertinggi dari perusahaan yang tergabung dalam AG Group- yang merupakan kerajaan bisnis milik keluarganya. 

 

Kebanyakan pimpinan dari perusahaan yang berada di bawah payung AG Group adalah para sepupunya sendiri termasuk Svarga dan beberapa orang lain tapi memiliki kemampuan untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa dipercaya.

 

Semua orang yang duduk mengelilingi meja rapat itu kompak menatap Ghazanvar dengan ekspresi tidak percaya dan pias yang masih tersisa.

 

Mungkin mereka berpikir, bisa-bisanya Ghazanvar melamun di tengah meeting pertanggungjawaban sedangkan yang lain ketar-ketir khawatir jabatannya terancam bila Narendra Gunadhya tidak puas dengan kinerja tahun ini.

 

“Maaf Kek, Eh … Pak ….” Dengan santai tanpa beban dan wajah tidak berdosa, Ghazanvar membenarkan posisi duduknya kemudian memfokuskan perhatian kepada sang kakek yang duduk sebagai Center di ujung meja.

 

Kakek mengembuskan napas kasar bersama gelengan kepala samar.

 

“Sekarang giliran kamu, Ghaza!” kata sang kakek dengan kilat di matanya.

 

Beliau berniat menghabisi Ghazanvar dalam pertanggungjawaban kinerja perusahaan yang dipimpin Ghazanvar.

 

Narendra Gunadhya sudah jengah melihat kelakuan Ghazanvar yang sering melamun dalam rapat.

 

Ghazanvar juga jarang terlihat di kantornya setiap kali beliau datang ke sana.

 

Berkas di iPadnya pun menunjukkan data penurunan omset perusahaan yang dipimpin Ghazanvar.

 

Semua tahu alasan Ghazanvar seperti itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah karena patah hati, tidak bisa memiliki perempuan yang merupakan istri dari sepupunya sendiri.

 

*** 

 

Cantik, baik, ramah, murah senyum dan memiliki segudang bakat seni membuat Naraya Kirani menjadi incaran banyak laki-laki di fakultas Seni, Institut kesenian Jakarta.

 

Mojang Bandung yang besar dan tinggal di Bandung barat ini tidak menyia-nyiakan jerih payah ayahnya yang hanya seorang ASN dalam membiayai pendidikannya di Jakarta.

 

Dia bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu di Ibu Kota sehingga tidak terpikir untuk memiliki kekasih.

 

Naraya atau yang kerap di sapa Nay ini menjadi kesayangan para dosen karena bakat seni yang dimilikinya.

 

Gadis dengan mata bulat yang indah itu pandai menyanyi, menari daerah maupun modern, dan jago memainkan segala jenis alat musik.

 

Naraya selalu dijagokan oleh angkatannya dalam perlombaan yang diadakan setiap tahun oleh Instute Seni di seluruh Indonesia.

 

Dia juga pernah diminta bersama para penari lain untuk menari daerah dalam pembukaan SEA GAMES dan acara kenegaraan lainnya.

 

“Nay!” panggil Afifah melambaikan tangan dari samping mobilnya.

 

“Peh, mau balik?” Naraya bertanya melantang suara dari sebrang parkiran.

 

“Iya … ayo, aku anter.” 

 

“Aku ada latihan jaipong dulu buat acara nyambut Perdana Mentri Jepang minggu depan, pulang duluan aja.” 

 

Afifah melorotkan bahunya, raut wajahnya tampak murung.

 

“Anggit mana? Pulang sama Anggit saja …, “ cetus Naraya memberi ide.

 

“Anggit pulang sama Latief.” Afifah mengerucutkan bibir.

 

“Temenin aku latihan gimana? Nanti aku traktir bakso!” Naraya memberikan solusi saling menguntungkan.

 

Namun sebenarnya Naraya tidak perlu ditemani tapi Afifah yang ingin di temani pulang karena dia yang paling jauh rumahnya dan tidak ingin kesepian dalam perjalanan pulang.

 

Kebetulan jarak rumah tiga sekawan yang terdiri Anggit, Afifah dan Naraya itu searah dengan Afifah yang paling jauh rumahnya jadi gadis berhidung mancung itu senang sekali mengantar jemput Anggit dan Naraya setiap hari.

 

“Ayo!” Afifah berseru bahagia.

 

Si Anak Jendral ini kuliah hanya untuk mencari gelar saja, dia sengaja mengambil fakultas seni karena mengira tidak perlu menggunakan otaknya yang malas untuk berpikir.

 

Namun kenyataannya dia salah besar, justru kecerdasan dan fokusnya dituntut di sini beruntung dia memiliki suara emas jadi setidaknya dari kelebihan itu Afifah berharap bisa lulus kuliah dalam waktu sesingkat-singkatnya.

 

Afifah berlari menyebrangi parkiran, merangkul pundak Naraya dan mereka berdua berjalan melewati lorong menuju sebuah aula yang sering digunakan untuk latihan menari atau teater.

 

“Tunggu di sini, jagain tas aku.” Naraya berpesan.

 

“Oke!” Afifah memeluk tas Naraya dia duduk di salah satu kursi bersama beberapa orang yang menemani kekasih atau temannya latihan untuk menyambut Perdana Mentri Jepang.

 

Seorang pria tampan menoleh ke belakang membuat tatapan mereka bertemu.

 

Afifah tersenyum manis di balas senyum manis yang sama oleh pria itu.

 

“Ayang!” seru seorang gadis dari tengah aula dan pria dengan senyum manis tadi segera saja mengalihkan pandangannya ke depan.

 

“Yaaaa, ada monyetnya.” Afifah bergumam.

 

Naraya mulai latihan menari jaipong, sebuah tarian yang tidak pernah bisa Afifah kuasai tapi melihat bagaimana Naraya menari seolah setiap gerakannya sangat mudah.

 

Jemari-jemari Naraya yang lentik, gerakan pinggulnya, pundak dan kepalanya yang seirama selalu berhasil membuat Afifah terkagum-kagum termasuk kakak angkatan Naraya yang sedang melatih.

 

Pria muda bernama Khafi itu selalu menjadikan Naraya contoh agar bisa mengambil kesempatan menyentuh pinggang, pundak dan bagian tubuh Naraya lainnya yang kebetulan gerakan tersebut harus dilakukan.

 

Afifah berdecak kesal, menatap malas Khafi yang kini sedang mengaitkan tangannya di pinggang Naraya.

 

“Menang banyak doi,” gumam Afifah menatap malas Khafi.

 

Afifah adalah sahabat yang paling posesif yang tidak suka sahabatnya dimanfaatkan seorang pria.

 

Dua jam lamanya Naraya melakukan latihan tari Jaipong dan menurut Afifah, di antara empat orang penari hanya Naraya yang paling luwes gerakannya.

 

“Ayo Peh, udah sore.” Naraya melap lehernya yang berkeringat menggunakan tissue.

 

“Minum dulu,” kata Afifah mengeluarkan tumbler dari tas Naraya.

 

“Nay, pulang sama siapa?” Khafi yang menyandang tas di satu pundaknya sengaja menghampiri Naraya dulu sebelum mencapai pintu keluar.

 

“Sama aku, Mas.” Afifah yang menjawab.

 

“Oke … hati-hati ya!” Pria itu berpesan.

 

Naraya dan Afifah tersenyum menanggapi tapi hanya Naraya yang tersenyum tulus.

 

“Apaan sih!” Naraya melempar tissue bekas ke pangkuan Afifah.

 

“Kenapa sih, kalian enggak pacaran aja?” sindir Afifah sewot.

 

“Mas Khafi ‘kan anak Rektor, mamanya juga anggota DPR … kamu bisa langsung jadi artis kalau nikah sama dia,” sambung Afifah berceloteh.

 

“Enggak ada hasrat,” jawab Naraya enteng sembari memasukan barang-barangnya ke dalam tas.

 

“Tadi hape kamu bunyi terus.” Afifah memberitahu.

 

“Ya ampun aku lupa, ibu sama bapak datang dari Bandung hari ini … ayo, Peh kita pulang cepetan.” Naraya berlari lebih dulu menuju pintu keluar.

 

Afifah berjalan gontai dengan ekspresi masam menyusul Naraya malas-malasan.

 

“Ngebut, Peh … ayo cepetan ngebut!”

 

Naraya tidak sabaran ingin sampai ke rumah kontrakannya karena tadi bapak mengirim pesan kalau beliau dan ibu sudah sampai.

 

Dia memilih rumah kontrakan yang jaraknya cukup jauh dari kampus karena harganya murah.

 

Sedangkan untuk pergi dan pulang dia bisa menebeng Afifah jadi tidak mengeluarkan ongkos.

 

“Iya, elaaaah ….” Afifah jadi grogi menyetir mobilnya di antara ribuan kendaraan di jam pulang kantor.

 

“Makasih ya sayang, besok jemput jam delapan.” 

 

Naraya mengecup pipi Afifah, membuka pintu kemudian turun dari mobil sang sahabat yang telah berhenti sempurna di depan gang rumah kontrakannya.

 

Dia lantas berlari menuju rumah kontrakannya yang mungil tipe dua satu di dalam gang.

 

“Sore Bu, sore Pak.” Naraya menyapa para tetangganya yang sedang berada di luar.

 

Mereka mengangkat tangan ada yang tersenyum membalas sapaan Naraya.

 

“Ibuuu, Bapak!” Naraya berseru bahagia dari teras saat membuka pintu dan mendapati kedua orang tuanya duduk di ruang tamu yang merangkap ruang televisi dan ruang makan.

 

Mereka tentu memiliki kunci cadangan rumah kontrakan Naraya sehingga bisa masuk kapan saja meski Naraya masih berada di kampus.

 

“Iiih, baru pulang … ibu sudah dari tadi dateng.” 

 

Ibu Hernita mendapat pelukan Naraya.

 

“Iya, Nay lupa kalau sore ini ada latihan Jaipong buat acara minggu depan.” Naraya mengecup punggung tangan bapak Agus lalu mengecup pipinya.

 

“Makan dulu, Ibu bawa masakan dari Bandung …,” kata bapak mengusap-ngusap kepala Naraya yang bersandar di pundaknya.

 

“Ibu sama Bapak berapa hari di sini?” Naraya bertanya dengan mulut penuh makanan.

 

Bapak dan Ibu saling menatap.

 

“Bapak lagi ambil cuti, Nay … boleh ‘kan Bapak sama Ibu beberapa hari tinggal di sini?” Ibu yang menjawab.

 

“Boleh donk, Nay seneng … jadi ada yang masakin Nay sama mijitin badan Nay.” Tanpa curiga Naraya berujar demikian lalu matanya melirik bapak yang duduk bersila di lantai.

 

“Iya, nanti bapak pijitin.” Bapak Agus mengerti arti tatapan Naraya.

 

“Asyiiiiikkk, Bapak memang terbaik.” 

 

Naraya tidak tahu kalau kedua orang tuanya sedang lari dari kejaran rentenir yang memaksa mereka membayar sejumlah uang yang pernah dipinjam bapak Agus untuk biaya kuliah putrinya.

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Semanis Coklat Di Dalam Kotak - Chapter 45
59
10
“Jangan pernah pergi lagi, Al … aku tidak berdaya tanpamu.” Elzio bergumam.“Aku pergi kalau kamu yang meminta, aku akan tinggal bila kamu yang meminta, aku akan lakukan apapun yang kamu inginkan … itu caraku mencintai kamu, El.” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan