Nikah Yuk! Chapter 1 - Love at First Sight

215
55
Deskripsi

Jazziel Kaivan Gunadhya, pria yang ketampanannya setara aktor Korea dan merupakan cucu dari pemilik kerajaan bisnis di Negaranya itu tengah patah hati oleh seorang gadis cantik blasteran Belanda.

Imelda Valencia-gadis yang dipacarinya selama tiga belas tahun tiba-tiba memutuskan membatalkan pernikahannya dengan Kaivan hanya dalam rentang waktu satu bulan sebelum pesta digelar.

Beberapa bulan kemudian tanpa sengaja Kaivan bertemu dengan Zhafira Malaika, seorang customer service priority...

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Seorang wanita dari balik meja resepsionis bertanya.

“Selamat siang Bu, saya Zhafira dari Bank BUMN mau bertemu dengan pak Kaivan Gunadhya,” sahut Zhafira menjawab.

“Apakah sudah membuat janji sebelumnya?” Wanita itu bertanya lagi.

“Sudah,” balas Zhafira disertai senyum.

“Silahkan tunggu di sofa sana, nanti akan saya panggil.” Wanita itu menengadahkan tangan ke arah sofa set yang berada di tengah-tengah loby mempersilahkan Zhafira duduk sementara ia akan berkoordinasi dengan sekertaris Bosnya.

“Baik, terimakasih.”

Zhafira tersenyum kemudian membalikan badan menarik langkah menuju sofa yang dimaksud wanita resepsionis.

Semestinya yang datang ke anak perusahaan AG Group ini adalah Branch Manager Priority-nya.

Tapi beliau tertahan meeting dengan nasabah prioritas lain sehingga menghubungi Zhafira untuk mewakili karena kadung sudah membuat janji.

Zhafira mengedarkan pandangan ke sekeliling loby yang memiliki interior futuristik modern.

Cita-citanya dulu adalah menjadi seorang Arsitek dan Zhafira merupakan lulusan terbaik dari fakultas Teknik jurusan Arsitektur di Universitas Swasta di Bandung.

Tapi Zhafira harus mengubur cita-citanya karena mencari pekerjaan dalam bidang tersebut ternyata sulit.

Zhafira tidak sengaja melamar kerja di Bank dan ternyata malah lolos seleksi.

Saat itu ia sangat membutuhkan pekerjaan demi membiayai hidup sehingga mensyukuri pekerjaan apapun yang datang padanya.

Menjadikan Zhafira sebagai Customer Service Priority di sebuah Bank milik Negara.

“Ibu Zhafira.”

Wanita resepsionis memanggil, Zhafira beranjak dari sofa kemudian menghampirinya.

“Ini tanda pengenalnya,” kata wanita resepsionis seraya memberikan name tag dengan tulisan ‘Visitor’.

“Ruangan pak Kaivan ada di lantai lima belas nanti Ibu bertemu pak Gerry-sekertarisnya pak Kaivan dulu dan akan di arahkan ke ruangan pak Kaivan.” Wanita resepsionis memberikan intruksi.

“Baik, terimakasih,” ucap Zhafira tulus sambil membawa name tag dari atas meja resepsionis.

Akhirnya bisa bertemu sang pemimpin tertinggi perusahaan ini yang katanya super sibuk dan sulit sekali ditemui, beruntungnya Zhafira tidak perlu menunggu lama.

Ting ...

Pintu lift yang membawa Zhafira ke lantai lima belas pun terbuka.

Lantai itu sepi, hanya ada seorang security menyambut Zhafira.

“Saya mau bertemu dengan pak Kaivan atau pak Gerry.”

Zhafira memberitau sebelum pria security menanyakan maksud kedatangannya.

“Dengan Ibu Zhafira?” Pria security bertanya.

“Betul,” balas Zhafira cepat.

Sepertinya resepsionis di lobby dan security di lantai ini telah terkoneksi.

“Silahkan, Bu ... sudah ditunggu pak Gerry di dalam.”

Security membuka pintu kaca mempersilahkan Zhafira masuk.

Zhafira mengangguk sambil mengucapkan terimakasih kemudian melangkah menyusuri lorong.

Di ujung lorong, Zhafira melihat seorang pria begitu tekun menatap layar datar di hadapannya.

Pria itu cukup tampan dengan pundak lebar dan rahangnya yang tegas diselimuti bulu halus.

Rambutnya tebal menggunakan pomade sehingga tampak sangat rapih dan mengkilat.

“Selamat siang, saya Zhafira dari Bank BUMN ....”

Zhafira langsung memperkenalkan dirinya membuat pria tersebut mendongak lalu berdiri.

Sesaat Gerry terpana, wanita dengan suara lembut itu begitu anggun dan memiliki paras cantik asli di Indonesia.

“Saya Gerry, sekertaris pak Kaivan ....” Gerry mengulurkan tangan yang langsung dijabat Zhafira.

“Seharusnya pak Wisnu, Branch Manager Priority saya yang datang tapi beliau berhalangan sehingga mengutus saya ke sini.” Zhafira memberitau.

“Betul, saya sudah mendapat informasinya dari pak Wisnu ... silahkan, saya antar ke ruangannya pak Kaivan.”

Garry merentangkan tangannya ke arah dalam, melangkah terlebih dahulu menuju ruangan pimpinan tertinggi di perusahaan ini diikuti Zhafira.

Langkah keduanya berhenti tepat di depan sebuah pintu ganda dengan desain unik.

Sekali lagi Zhafira mengagumi interior di kantor ini.

Gerry mendorong pintu tersebut lalu mempersilahkan Zhafira masuk.

Zhafira mengangguk samar sebelum melangkah masuk lebih dalam.

Netranya langsung bersirobok dengan netra indah yang memiliki bulu mata lentik dan alis yang tebal.

Hidung lancip dan bibir tipis.

Garis wajahnya halus tidak setegas Gerry, rambut tebal dan lurusnya berpotongan undercut dengan belahan di pinggir, jika diperhatikan lebih seksama—nasabah prioritas yang satu ini begitu tampan mirip aktor-aktor Korea.

“Apa kriteria menjadi karyawan di perusahaan ini harus cantik dan ganteng?” batin Zhafira bertanya karena semenjak ia menginjakan kakinya di anak perusahaan AG Group ini mendapati semua karyawannya good looking termasuk sang CEO yang kini sedang menatap Zhafira tanpa berkedip.

“Cantik banget,” batin Kaivan memuji. “Apa gue enggak salah liat? Dia bidadari bukan sih?” Kaivan masih berbicara sendiri di dalam hati.

Jazziel Kaivan Gunadhya adalah anak keempat dari pasangan Narendra Gunadhya dan Jovanka Aura Lovata.

Kallandra Gunadhya yang merupakan kakek dari pihak ayahnya Kaivan adalah pemilik pertama AG Group, kerajaan bisnis di Indonesia yang kini telah merambah ke Vietnam dan Macau.

Menariknya, Shareena yang merupakan sang nenek dari pihak ayah Kaivan adalah mantan pegawai Bank.

Sedangkan Edward-kakek dari pihak ibunya adalah seorang dokter dan memiliki rumah sakit swasta terbesar dan terbaik di Jakarta.

Lain halnya dengan Monica-nenek dari pihak ibunya Kaivan selain pemilik agensi model bergengsi di Indonesia yang memiliki cabang di Paris juga memiliki brand fashion ternama yang telah mendunia.

Tak heran di usianya yang masih muda—Kaivan sudah menjabat sebagai CEO di anak perusahaan milik keluarganya.

“Ini ibu Zhafira, utusannya pak Wisnu.” Gerry memberitau.

Barulah Kaivan berkedip dari tatapannya yang memaku Zhafira.

Pria itu mengangguk sekilas menanggapi ucapan Gerry lantas beranjak dari kursi kebesarannya.

Kaivan ternyata memiliki tubuh tinggi dan atletis, hanya beberapa langkah saja sudah sampai di sofa set yang berada di tengah ruangan.

“Silahkan.” Gerry mempersilahkan Zhafira duduk karena gadis itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri.

“Terimakasih Pak Gerry.” Zhafira berujar dibalas senyuman sangat manis oleh Gerry sambil mengangguk sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.

Zhafira kembali mengarahkan tatapannya pada Kaivan, ia bingung dengan kinerja jantungnya yang menaikan tempo debaran, telapak tangannya terasa dingin dan basah.

Apakah Zhafira sedang gugup?

Bagaimana tidak, pria tampan—pimpinan perusahaan besar dan cucu dari orang-orang terkaya di Negaranya sedari tadi memandang Zhafira tanpa jeda.

Zhafira mengambil duduk di sofa terdekat dengan Kaivan agar tidak perlu mengeraskan suara karena ia akan menjelaskan banyak hal kepada pria itu.

“Sebelumnya saya ingin menyampaikan permohonan maaf dari pak Wisnu karena seharusnya beliau yang datang tapi kebetulan beliau berhalangan sehingga mengutus saya ke sini.”

Kaivan mengangguk mengerti, seulas senyum masih terpatri di bibir tipisnya.

“Saya Fira yang akan membacakan portofolio keuangan pak Kaivan.” Zhafira mengulurkan tangan.

Kaivan menatap sebentar tangan Zhafira membuat gadis itu sempat menaikan satu alis nyaris menarik kembali tangan tapi Kaivan terlanjur menangkap tangannya, membalas jabatan tangan Zhafira.

Dan ketika telapak tangan mereka bersentuhan—Zhafira juga Kaivan merasakan arus listrik bertegangan rendah yang membuat keduanya nyaris terhenyak.

“Pak Wisnu maksa banget membuat jadwal pertemuan secara formal tapi sekarang dianya malah enggak datang,” ujar Kaivan casual.

Zhafira menanggapi dengan tawa kering. “Iya Pak, maaf ya ...,” balas Zhafira sama santainya.

Kaivan menggerakan bahu memberi kesan jika ia menerima permintaan maaf Zhafira dan pak Wisnu.

“Baik, Pak Kaivan ... saya minta waktunya sebentar untuk lebih dahulu menjelaskan Portofolio Keuangan milik Pak Kaivan.” Zhafira meminta ijin.

“Kamu minta waktu saya seumur hidup juga enggak apa-apa,” balas Kaivan menggoda membuat Zhafira tertawa sumbang.

Zhafira mengabaikannya, membuka map yang ia bawa dan mulai membacakan Portofolio sang Nasabah Prioritas.

“Pak Kaivan memiliki dana seratus lima puluh Milyar yang ditempatkan di Deposito, sebelas Milyar pada tabungan dan lima Triliun tersebar di saham, obligasi dan rekasadana.”

Zhafira menjeda, mengangkat wajahnya dan ia mendapati Kaivan sedang menatapnya dengan sebuah senyum tipis sama seperti tadi.

Kembali tubuh Zhafira menggigil karena gugup.

Perempuan mana yang tidak begitu, pria setampan aktor Korea sedang menatapnya sangat dalam hingga Zhafira nyaris tenggelam dan Zhafira cukup dewasa mengartikan tatapan beserta senyum tersebut sebagai suatu bentuk ketertarikan.

Zhafira berdehem, mengerjap beberapa kali dengan tempo cepat untuk menetralkan debaran jantungnya yang tidak bisa ia kendalikan.

“Jangan ge’er, Fir ... jangan ngarep, kamu siapa? Dia siapa? Kerja aja yang bener,” batin Zhafira mengingatkan sekaligus menguatkan imannya.

“Dana Pak Kaivan ini bisa dikembangkan melalui produk yang sedang memberikan return tinggi....”

Zhafira menjeda lagi, sekarang bukan hanya menggigil tapi tubuhnya mulai keringat dingin terbukti dari pelipisnya yang menghasilkan buliran keringat padahal pendingin ruangan bekerja maksimal.

Kaivan tidak bersuara, masih menatap Zhafira dengan senyum sejuta pesona yang setia di bibir tipis pria itu.

Zhafira menelan saliva kelat, wajahnya tampak pias membuat Kaivan tersenyum lebih lebar di dalam hati.

Kaivan yakin jika Zhafira telah jatuh dalam pesonanya.

“Sebentar lagi akan launching Obligasi Retail Indonesia seri terbaru, apakah pak Kaivan berminat untuk menginvestasikan sebagian dana Pak Kaivan?”

Zhafira langsung mengutarakan inti maksud dari kedatangannya ke sini.

Ia ingin segera pergi dari ruangan Kaivan yang terasa menyesakan.

“Berminat ... saya berminat sama kamu,” sahut Kaivan enteng yang kemudian memunculkan kerutan halus di kening Zhafira.

Melihat ekspresi melongo Zhafira—tawa Kaivan pun tercetus.

“Ma ... maksudnya gimana, Pak?” tanya Zhafira terbata.

“Fira,” panggil Kaivan.

“Ya, Pak.” Zhafira refleks menjawab.

“Nikah yuk!”

Kalimat ajakan itu terlontar dari bibir tipis Kaivan dengan ekspresi serius tapi entah kenapa Zhafira malah ingin tertawa.

Beberapa nasabah prioritasnya sering menggoda Zhafira dengan cara lebih elegan, menggunakan kode kalimat-kalimat terselubung dan mereka kebanyakan seumur dengan papa atau mendiang kakeknya.

Tapi kalimat langsung, terang-terangan dan jelas itu diucapkan oleh seorang pria tampan yang umurnya tidak jauh di atas Zhafira.

Pria itu pasti bercanda ‘kan?

Mana mungkin seorang pria seperti Kaivan mau menikah dengan perempuan biasa seperti dirinya.

Alhasil Zhafira tertawa pelan, jenis tawa yang mencerminkan ketidakpercayaan atas ucapan Kaivan tadi.

“Jangan becanda, Pak ...,” kata Zhafira kemudian.

Kaivan menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Zhafira.

“Saya serius, menikah dengan saya dan nanti kamu bisa mengatur keuangan saya sesuka hati kamu.”

Zhafira mengerjap, memberanikan diri menatap Kaivan tepat di mata menyelami hati pria itu mencari kesungguhan dari kata-katanya.

Meski sebenarnya tidak perlu Zhafira lakukan.

Beberapa detik berlalu sampai akhirnya Zhafira mengembuskan napas sambil memutus tatapan dengan Kaivan, menutup map yang berada di atas pangkuannya kemudian meraih tas yang ia simpan di belakang punggung.

“Saya akan jadwalkan kembali pertemuan ini dengan pak Wisnu, sepertinya hari ini Pak Kaivan sedang tidak enak badan atau mungkin terlalu banyak minum alkohol sehingga bicaranya meracau jadi saya pam—“

“Fira, saya serius ...,” sela Kaivan seraya memegang tangan Zhafira, menahan sang gadis agar tidak berdiri dan meninggalkan ruangannya.

Kaivan belum selesai dengan Zhafira.

Zhafira melirik tangan Kaivan yang mencengkram pergelangan tangannya dan seketika itu juga Kaivan melepaskan cekalan.

“Masa Pak Kaivan mau sama saya?” Pertanyaan Zhafira itu terdengar insecure.

“Kenapa enggak?” sahut Kaivan penuh keyakinan.

Zhafira mengesah. “Maaf banget, Pak ... kalau Pak Kaivan enggak berminat dengan produk yang saya tawarkan enggak apa-apa ... saya mengerti tapi jangan nge-prank saya kaya gini.”

Zhafira mengucapkannya dengan suara lembut dan raut wajah memelas.

“Sudah berapa kali saya bilang kalau saya serius? Saya benar-benar serius ingin menikahi kamu.”

“Tapi kita baru aja ketemu, Pak ... Pak Kaivan enggak tau siapa saya dan saya juga begitu ....” Zhafira melemparkan fakta.

“Oke, sabtu besok kita nge-date!” putus Kaivan sesuka hati.

Zhafira menundukan pandangan lagi menatap berkas keuangan milik Kaivan.

“Ini cowok maunya apa sih? Kalau diliat-liat, kayanya pak Kaivan bukan buaya ... malah keliatan cowok baik tapi kenapa dia ngerjain aku kaya gini ya?” Zhafira membatin, masih tidak percaya dengan ajakan gila nasabah prioritasnya.

“Kamu enggak percaya sama saya?”

Suara Kaivan begitu lembut ketika bertanya demikian membuat hati Zhafira bergetar, ia pun mengangkat wajahnya dan menggelengkan kepala menatap Kaivan dengan sorot mata nanar.

***

Zhafira melamun sepanjang perjalanan pulang ke kantor, mengingat kembali semua ucapan Kaivan barusan.

Apa pria kaya memang selalu semudah itu mengajak seorang wanita menikah?

Kaivan bukan hanya pimpinan tertinggi di anak perusahaan AG Group tapi juga cucu dari pemilik kerajaan bisnis yang tersebar di Indonesia hingga Asia Tenggara.

Apa pria itu sudah gila sehingga menginginkan dirinya?

Zhafira menggelengkan kepala mengenyahkan pemikiran tersebut, pasalnya tidak mungkin seorang Kaivan ingin menikahinya di momen pertama kali mereka bertemu.

Kaivan pasti sedang bercanda, mabuk atau hilang ingatan.

Entah mana yang benar tapi Zhafira tidak mempercayainya, ia menolak percaya.

Sesampainya di kantor dan kebetulan mobil dinas atasannya sudah terparkir di sana—Zhafira langsung mendatangi ruangan pak Wisnu.

“Pak,” sapa Zhafira setelah mengetuk pintu ruangan atasannya yang setengah terbuka sebanyak tiga kali.

“Fir, masuk ...,” titah pria yang usianya baru menginjak tiga puluh tujuh tahun itu.

Ekspresi wajahnya tampak berbinar dengan rona bahagia.

“Apa kata pak Kaivan? Dia mau menempatkan dananya, kan?” Wisnu menebak penuh percaya diri.

Zhafira mengangguk lemas. “Katanya dia mau menempatkan dananya bahkan memindahkan sebagian dana dari Bank lain asalkan saya bersedia menikah denganya.”

Zhafira menyampaikan kalimat terakhir yang diucapkan Kaivan sebelum akhirnya ia bisa keluar dari ruangan pria itu.

Wisnu tertawa tampak bahagia bahkan sampai bertepuk tangan, tanggapan atasannya itu di luar dugaan Zhafira.

Zhafira pikir, pak Wisnu akan marah dan tersinggung karema bawahannya seakan sedang dikerjai oleh nasabah prioritas.

Ah, Zhafira lupa kalau pak Wisnu itu adalah teman main golfnya Kaivan.

“Bagus itu, Fir ... kamu akan jadi Nyonya besar! Kamu beruntung, Kaivan pria baik ... dia juga single dan memang lagi cari istri ... enggak salah saya ngutus kamu ke sana ya ... ya udah sekarang kamu pros—“

“Paaak,” sambar Zhafira mengerang.

“Sorry ... saya terlalu senang, sudah lama saya berteman dengan pak Kaivan tapi dia hanya memutar dananya yang sudah ada di kita saja ... mendengar dia mau memindahkan dananya dari Bank lain—saya senang sekali ....” Wisnu beralasan lantas tertawa kembali.

Melihat raut wajah Zhafira yang memberengut seketika Wisnu mengerti apa yang membuat hati Zhafira gundah. Tawanya pun mendadak berhenti.

“Tenang Fir, pak Kaivan bukan orang jahat ... saya sering main golf sama dia ... kalau dia ngajak kamu menikah itu mungkin memang tulus bukan lagi melecehkan kamu ... percaya sama saya, pak Kaivan itu pria baik-baik.”

Kali ini ekspresi wajah pak Wisnu berubah serius pertanda ia yakin dengan penilaiannya.

“Tapi kenapa harus saya, Pak? Masih banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih kaya dari saya.”

Wisnu mengangkat kedua bahunya. “Kenapa kamu enggak tanya sama dia, tadi?”

“Saya enggak percaya sama ucapannya!” ucap Zhafira penuh penekanan.

“Nanti saya yang akan follow up pak Kaivan.” Wisnu berjanji.

Zhafira mengangguk bersamaan dengan hembusan napas lega kemudian pamit undur diri dari ruangan sang atasan yang sama anehnya dengan nasabah yang tadi ia temui.

Usai meninggalkan ruangan Branch Manager Priority, Zhafira sudah tidak memikirkan Kaivan lagi.

Ia telah menyerahkan semua tentang Kaivan kepada atasannya.

Masalah penempatan dana pengusaha kaya nan tampan itu biarlah menjadi urusan pak Wisnu.

Zhafira kembali melakukan aktifitasnya seperti biasa, melakukan pekerjaannya dengan baik dan benar lalu pulang ke kossannya hanya untuk tidur dan keesokan harinya Zhafira melakukan rutinitas yang sama, bertemu orang-orang kaya untuk menawarkan investasi terbaik bagi mereka.

Sangat membosankan tapi dari pekerjaan itu—Zhafira bisa menafkahi dirinya sendiri dan hidup dengan layak.

***

Hari jumat selalu menjadi hari yang paling melelahkan apalagi di akhir bulan, Kaivan harus bertemu klien, meeting dengan para Direktur di bawah kepemimpinannya untuk mengecek dan mem-push kinerja mereka.

“Menurut lo, cantik mana Imelda sama dia?”

Kaivan bertanya kepada Gerry seraya menarik kendur dasi yang melingkar di lehernya.

Mereka sedang dalam perjalanan pulang, Kaivan selalu menumpang mobil sekertaris tapi sahabatnya itu.

Gerry tau siapa ‘Dia’ yang dimaksud Kaivan, siapa lagi kalau bukan Bankir cantik yang beberapa hari lalu datang menemui Kaivan.

“Cantik itu relatif, Kai ...,” ujar Gerry sambil mengemudikan mobilnya.

Kaivan dan Gerry telah bersahabat cukup lama, tidak sia-sia Gerry memiliki sahabat seorang anak Konglomerat karena lulus kuliah—ia bisa langsung bekerja dan memiliki penghasilan cukup besar dari multi jobnya menjadi sekertaris, asisten, penasehat dan tangan kanan Kaivan.

Gerry mengurus segala hal tentang Kaivan termasuk mengingatkan dan membuat pesta kejutan ulang tahun dan pesta kejutan lainnya untuk para kekasih Kaivan di masa lalu.

“Gue suka dia, Ger ... cantik, polos ... senyumnya tulus ... tutur katanya lembut kaya nenek gue dan waktu gue ngajakin dia nikah, bukannya seneng—dia malah syok.” Kaivan berceloteh.

“Gimana enggak syok, dia yang baru ketemu lo langsung diajakin nikah ... ya mana percaya dia, lo emang suka ngaco!” umpat Gerry yang cara bicaranya begitu santai karena sudah di luar jam kerja.

Kaivan tertawa pelan, tangannya mengeluarkan sebuah kartu nama milik Zhafira dari dalam saku jas yang beberapa hari ini dianggapnya sebagai jimat keberuntungan karena selalu ia bawa-bawa di dalam saku jasnya.

Kartu nama itu ia dapatkan setelah membujuk Zhafira dengan iming-iming pindah kelola dana miliknya dari Bank lain ke Bank di mana Zhafira bekerja.

Tapi Kaivan belum berani menghubungi Zhafira, masih memberi waktu kepada Zhafira untuk berpikir.

“Lo serius sama dia?” Gerry bertanya membuat Kaivan menoleh dari kartu bertuliskan nama lengkap, nomor ponsel dan jabatan di mana Zhafira bekerja.

“Dia satu-satunya cewek di dunia ini yang hanya dengan menatap wajahnya dan mendengar suaranya ngebuat gue pengen nikahin dia,” ungkap Kaivan membuat Gerry mendengus geli.

“Lo yakin? Bukan hanya pelarian sementara?” sindir Gerry yang justru terdengar tidak yakin.

“Pelarian dari Imelda maksud lo?” Kaivan menebak lantas tergelak.

“Udah ke laut dia mah,” imbuh Kaivan meremehkan sebelum Gerry sempat menjawab.

“Yakin?” Gerry menaikan satu alisnya skeptis.

Mobil yang ia kemudikan sudah memasuki halaman rumah orang tua Kaivan.

“Setelah ketemu Fira beberapa hari lalu, gue baru yakin kalau gue udah enggak ada perasaan apapun sama Imelda Valencia,” jawab Kaivan mantap.

Pria itu lantas turun dari mobil Gerry tanpa mengucapkan terimakasih dan melenggang begitu saja masuk ke dalam rumah orang tuanya yang tidak kosong tapi selalu sepi.

Gerry mengembuskan napas panjang, menggelengkan kepalanya—ia lantas memutar kemudi membawa mobilnya keluar dari halaman rumah Narendra Gunadhya—ayah dari Kaivan.

Pria itu telah mengenal Kaivan begitu dekat dan bisa dibilang—Gerry lah yang lebih mengetahui Kaivan dibanding keluarganya.

Gerry berharap Kaivan memikirkan kembali tindakan impulsifnya yang ingin menikahi Zhafira karena sesungguhnya, ia tidak yakin Kaivan sudah benar-benar melupakan Imelda.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Nikah Yuk!
Selanjutnya Nikah Yuk! Chapter 2 - Dating
166
28
“Fir, aku tuh serius sama ucapan aku waktu itu dan sekarang bisa enggak kamu buka hati kamu dan biarkan aku membuktikannya?” ~ Kaivan  “Mas, kedua orang tua Fira udah bercerai ... papa sama keluarga barunya tinggal di Surabaya dan mama dengan suami barunya di Bandung ... jadi, selain status sosial kita terbentang sangat jauh ... Fira juga berasal dari keluarga broken home, Mas Kaivan enggak malu punya calon istri kaya Fira?” ~Zhafira  Gunakan kode Voucher KAI2 untuk mendapat potongan harga 😍
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan