
“Kak Nala …,” sapa Sydney sesaat setelah kaki Nala menginjak teras loby.
Nala hanya melirik tajam kemudian melengos, memutar setengah bagian mobil Aga yang sudah terparkir di sana lalu masuk dan duduk di kursi penumpang depan.
Aga yang melihat interaksi antara Nala dan Sydney itu mengerutkan keningnya bingung.
Sydney memberikan senyum kaku pada Aga.
“Gue duluan ya, Syd … nanti ketemu di rumah sakit.” Aga melambaikan tangannya pada Sydney sebelum menginjak pedal gas membawa mobilnya keluar dari gedung kantor DevaCorp.
Sydney melambaikan tangan, masih mempertahankan senyumnya yang kaku.
Tadi ketika Aga datang, Sydney sudah berdiri di sana sedang menunggu Aslan.
Mereka akan pergi bersama ke rumah sakit menjenguk grandma.
Sydney memberitau hal tersebut kepada Aga ketika pria itu bertanya kenapa Sydney berdiri di sana.
Aga juga mengatakan hendak menjemput Nala karena akan ke rumah sakit menjenguk grandma Selena.
Sejak pagi Nala bersikap ketus dan jutek, tidak mau menyapa Sydney.
Selalu menghindar bahkan ketika briefing tadi pagi—ia bertukar tempat dengan Nathan hanya agar tidak duduk di samping Sydney.
Tidak lama mobil Aslan muncul, Sydney menyebrangi drop point sebelum mobil Aslan berhenti di depan loby.
Terdengar suara kunci pintu terbuka, Sydney menarik handle-nya lalu masuk.
“Udah lama nunggu?” Aslan bertanya.
“Belum … baru sepuluh menit.” Sydney menjawab singkat sembari memakai seatbelt.
“Sorry … tadi aku isi bensin dulu, Pak Guntur lupa ngisi.” Aslan memberikan alasan.
“Enggak apa-apa.” Sydney tersenyum.
“Sini donk, pegangan tangan … kangen.”
Aslan meraih tangan Sydney, menggenggamnya di atas pangkuan.
Sydney sedang gundah jadi tidak terlalu menikmati kehangatan genggaman tangan Aslan, ia kembali melamun, memikirkan sikap Nala padanya.
“Syd ….” Aslan memanggil membuat Sydney refleks menoleh.
“Ya?”
“Kamu mikirin pernikahan kita?” tebak Aslan.
Hembusan napas terbuang kasar dari mulut Sydney.
“Kak Nala enggak mau ngomong sama aku, dia ngehindarin aku … kayanya benci banget sama aku.” Sydney menundukan tatapannya yang sendu.
“Nanti aku ngomong sama Nala.” Aslan mengangkat genggaman tangannya untuk memberikan kecupan di punggung tangan Sydney.
“Enggak usah … aku hanya minta Abang perhatian sama dia, biar dia enggak ngerasa aku ngerebut sepenuhnya perhatian Abang dari dia.”
Aslan yang tatapannya fokus ke depan hanya mengangguk, tidak memuaskan Sydney sama sekali.
Lalu keduanya terdiam selama sisa perjalanan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Berbeda halnya dengan keadaan di dalam mobil Aga, pria itu berulang kali mencoba meraih tangan Nala namun selalu ditepis kasar oleh yang bersangkutan.
“Aga, ih …,” tegur Nala kesal karena baru saja Aga mengusap pahanya.
Pria itu semakin menjadi setelah berulang kali tidak berhasil mendapatkan tangan Nala.
“Kenapa sih, gue enggak boleh nyentuh lo? Lagi PMS ya? Tadi lo juga jutek banget sama Sydney.”
Bibir Nala mencebik, bisa tidak Aga diam dan tidak menyebut nama Sydney?
“Cerita donk sama tunangan lo ini, siapa tau gue bisa bantu.”
Tiba-tiba sebuah ide tercetus di benak Nala.
Nala menceritakan kejadian tadi malam, semuanya.
Aga akan menjadi bagian keluarga Devabrata jadi tidak masalah kalau pria itu tahu sekarang karena lama-lama juga dia akan tahu.
“Apa? Si Aslan mau nikahin Sydney? Kok dia belum cerita sama gue?” Aga terkejut sampai meninggikan suaranya.
Dari nada bicara Aga, Nala menangkap kalau pria itu mengetahui hubungan Aslan dengan Sydney.
“Lo udah tahu ya mereka pacaran?” tebak Nala dengan mata memicing.
“Iya doooonk, gue mah tahu si Aslan naksir Sydney dari jaman kuliah tapi baru kemaren-kemarin sih mereka pacaran semenjak Sydney datang ke Indonesia ….”
Aga menjeda, ia meringis kemudian menoleh sebentar menatap Nala yang wajahnya kini melongo tidak percaya.
“Eh … gue udah boleh cerita kali ya ini? Kan mereka udah mau nikah.” Aga menyesali ucapannya barusan.
Nala mengembalikan pandangannya ke depan seraya menggelengkan kepala samar.
Entah kenapa, level kecewanya meningkat seratus persen kepada Aslan dan Sydney.
“Udah lah, biarin aja … lo punya gue sekarang, lo kalau mau manggil gue Abang juga enggak apa-apa … Abang ketemu gede ‘kan judulnya.” Aga tergelak.
Dia yang mengucapkan kelakar, dia juga yang tertawa.
Nala malas menanggapi tapi kemudian ….
“Ga ….”
“Ya, sayang ….”
“Gue boleh minta sesuatu?”
“Boleh, tapi tidur sama gue nanti malem.”
Nala menatap sinis sang tunangan yang kapasitas otak mesumnya lebih banyak dari bagian otak kreativitas dan kecerdasan.
“Memangnya lo lagi ingin apa?” Aga akhirnya bertanya, penasaran karena tumben sekali Nala meminta sesuatu.
“Jadiin gue RCEO di perusahaan keluarga gue yang baru lo akuisisi kemaren.”
“Bisa diatur, tapi lo tidur dulu sama gue.” Aga menyanggupi dengan nada menyebalkan kelewat santai.
Nala mendengkus, memalingkan wajah ke samping, kedua tangannya terlipat di depan dada.
“Shitt!” Aga mengumpat di dalam hati melihat dua gundukan menyembul dari balik camisol yang Nala kenakan.
“Sayang … nanti juga kita make Love kalau udah nikah, kenapa sih lo enggak mau make Love sekarang?” bujuk Aga yang celana bagian resletingnya sudah menyempit.
Nala menoleh menatap Aga lekat. “Kalau gitu, apa bedanya lo sama cowok brengsek yang udah merawanin gue?”
Aga mengerjap, ia terdiam sejenak memikirkan kalimat sanggahan tapi tidak menemukannya.
“Ya udah, pegangan tangan aja … nanti gue jadiin lo RCEO di sana.”
Aga tidak mau jadi pria brengsek versi Nala, ia akan menunggu sampai mereka Syah menjadi suami istri—baru menidurinya berulang kali setiap malam sampai Nala meminta ampun karena kewalahan.
Nala mengulurkan tangannya pada Aga tapi kepalanya menoleh ke samping sana menatap ke luar jendela.
Aga tidak tahu saja kalau Nala sedang menahan senyum kemenangan.
Saking bencinya sama Sydney, Nala malas bertemu sering-sering di kantor apalagi mereka harus menjadi satu tim, bekerja sama memajukan DevaCorp.
Jadi Nala memilih menghindar, agar jiwanya tenang.
Menjadi pemimpin di anak perusahaan sepertinya tidak buruk apalagi kantornya dekat dengan kantor Aga, eh.
Pria itu meraih tangan Nala yang kemudian diletakan di dada
Telapak tangan Nala bisa merasakan otot samar di sana, membayangkan bagaimana bila dada bidang dan liat itu menempel di dadanya tanpa sehelai benang pun membatasi.
Nala menelan saliva, menggelengkan kepala menghempaskan pikiran erotis dibenaknya.
***
Di ruangan Presidential Suite rumah sakit swasta terbaik di Jakarta itu kini telah berkumpul para cucu Devabrata.
Ada Danisa juga yang dijemput Nathan.
Mama Shaqila dan Papa Andi sudah menengok grandma tadi siang.
Papi sedang menjemput mami dan mereka sedang dalam perjalanan ke sini.
Azriel diketahui sudah berada dekat denagn rumah sakit hanya saja tertahan macet dan dia yang akan bertugas menemani grandma malam ini.
Mama Raisa baru saja pulang dijemput papa Aiden karena mama Raisa seharian ini berada di rumah sakit menemani grandma.
Grandma duduk bersandar pada kepala ranjang yang dibuat tegak.
Menatap para cucunya yang akan menikah.
Meski Aga dan Nala duduk bersisian begitu juga Nathan dan Danisa tapi sepertinya yang tulus saling mencintai adalah Aslan dan Sydney karena hanya mereka yang saling menggenggam tangan.
Grandma tersenyum tipis, napasnya begitu berat padahal sudah dibantu selang oksigen.
“Abang sama Sydney tahu kenapa ada peraturan dilarang menikahi sepupu?” Grandma bertanya.
“Mulai lagi.” Aslan menggerutu di dalam hati.
Aslan memutus tatapan dengan grandma, hanya Sydney yang menjawab dengan menggelengkan kepala.
Sydney begitu sedih melihat kondisi grandma yang tampak lemah.
“Biar keluarga kita makin banyak, beraneka ragam profesi ….” Ucapan grandpa terjeda oleh batuk.
“Ma … jangan terlalu banyak bicara.” Grandpa mengusap lengan grandma lembut.
Grandma mengangguk sambil memejamkan mata.
Perlahan membukanya kembali.
“Grandma udah denger dari grandpa tentang rencana pernikahan kalian … grandma kecewa, sangat kecewa tapi kalau memang itu yang terbaik menurut kalian … kami bisa apa, ya Pa?”
Grandpa mengangguk, mengusap sisi wajah sang istri tercinta.
Sydney tidak kuat harus mendengar kata kecewa lagi.
Ia tidak pernah mengecewakan keluarganya tapi sepertinya sekarang ia sering mengecewakan mereka.
“Semoga grandma sudah diperbolehkan pulang ketika pernikahan Abang sama Sydney nanti, ya?”
Grandpa kembali bicara setelah tadi terbatuk cukup lama.
“Grandma pasti sembuh kok.” Sydney beranjak dari kursi, berjalan perlahan kemudian memeluk grandma, menangis di samping grandma.
Dan saat itu, Nala juga Danisa tidak bisa menahan haru dan membendung tangisnya.
Aga merengkuh Nala ke dalam pelukan begitu juga Danisa yang dirangkul oleh Nathan.
“Nathan minta maaf, grandma … Nathan menyesal, Nathan mau memperbaiki semuanya … Nathan akan menikahi Danisa.”
Grandma mengangguk pelan, tangannya mengusap kepala Sydney yang terisak sambil memeluknya.
“Sudah sayang … sudah ….” Grandma menenangkan.
“Kamu harus sayang sama Danisa ya Nathan.” Grandma berpesan.
“Iya grandma.” Nathan menjawab sambil menatap Danisa.
“Terlambat.” Danisa mengucapkannya di dalam hati, matanya juga menatap lurus pada Nathan.
“Danisa … grandma mau minta maaf atas nama keluarga Devabrata ya … kamu akan tetap menjadi salah satu cucu favorite grandma.”
Danisa mengalihkan tatap pada grandma.
Ia mengangguk membuat air matanya kembali mengalir lantas berusaha melepaskan diri dari Nathan lalu beranjak mendekati grandma.
Danisa mengambil tempat di sebrang Sydney setelah grandpa menarik diri dari sana, mempersilahkan Danisa duduk di tempatnya tadi.
Danisa memeluk grandma, menangis sambil menciumi pipi grandma.
Aslan baru tahu kalau Danisa sedekat itu dengan grandma padahal bukan darah dagingnya.
Ketulusan grandma dan grandpa membuat Danisa begitu menyayangi mereka.
Jadi, sebetulnya Aslan tidak memiliki alasan untuk menjauh, menghindar apalagi membenci grandma dan grandpa.
Mereka berdua sangat menyayangi Aslan, tidak pernah membeda-bedakan.
Tapi kebenciannya pada sang papa membuat Aslan juga membenci semua orang dengan nama belakang Devabrata kecuali Sydney.
Kedatangan mami dan papi menghangatkan suasana, mereka membawa pizza karena tahu anak dan para keponakannya pasti belum makan malam.
“Hai sayang.” Mami memeluk Aslan mengecup pipi kiri dan kanannya lalu mami mendapat kecupan di kening dari Aslan.
Sikap manis yang biasa dilakukan Aslan kepada mami Luna tapi tidak pernah dilakukannya lagi kepada mama Shaqila sampai tadi malam.
Mami menyayangi Aslan, sangat.
Tapi Sydney tidak melihat antusias seperti mami menyapa Sagara yang sampai memanggilnya dengan sebutan calon mantu.
“Mi ….” Sydney merentangkan kedua tangan.
“Eh … anak gadis Mami yang weekend ini mau nikah.”
Ucapan mami sebelum memeluknya itu membuat Sydney sangat tersindir bahkan tertampar karena ia sudah tidak gadis lagi.
“Pakai kebaya mami waktu nikah, mau? Enggak sempet bikin ‘kan kamu nikahnya buru-buru.”
Ini mami lagi nyinyir atau apa sih?
Sydney melirik ke arah papi, tatapannya seolah mengatakan, ‘Katanya mau dijinakin dulu?’
Papi mengerjap dengan sering lalu melipat bibirnya ke dalam.
Papi memang CEO DevaCorp di Australia tapi kalau di depan mami—papi tuh suka cari aman.
Sydney menduga, ketika papi bercerita tentang pernikahannya dan mami sewot dengan banyak berceloteh—papi iya-iya saja.
“Pake yang ada aja, Mi.” Sydney bergumam, raut wajahnya tampak masam.
Aslan mengusap punggung Sydney lembut, membesarkan hatinya.
“Yuk makan yuk …,” ajak mami sambil menarik tangan Aslan dan Aga.
“Ayo makan sayang, ibu hamil harus banyak makan,” Mami Luna beralih pada Danisa menuntunnya duduk kembali di sofa set di depan meja yang penuh dengan kotak pizza.
“Nala ayo … Nathan … ambil pizzanya, tante sengaja beliin kesukaan kalian.”
Mami adalah tante yang paling disayangi karena selalu menyenangkan, paling bisa membuat semua orang nyaman.
Kecuali jika beliau sedang kecewa kepada seseorang, setiap kalimatnya pada orang itu akan terdengar seperti sebuah sindiran.
Kebanyakan orang-orang yang bermasalah dengan mami mentalnya akan terguncang.
Semenjak menjadi enak-emak, Mezzaluna seperti memiliki kekuatan lebih untuk mengekspresikan diri.
Mungkin itu yang dinamakan The power of emak-emak.
“Mama mau? Papa mau? Cobain deh … enak lho … di Sydney mah pizzanya beda, enggak enak.”
“Miii, itu mama lagi sakit masa mau dikasih pizza,” tegur papi dengan mulut penuh pizza.
“Laaah, mama sakit jantung bukan sakit pencernaan.”
Bisa-bisanya mami membantah papi di depan mertuanya.
“Ya tapi penyakit jantung ada hubungannya sama kolesterol, mami sayaaaang ….” Papi membalas dengan nada gemas.
“Ah enggak ….” Mami mengibaskan tangannya.
“Sakit jantungnya mama itu karena kabar buruk, yang bikin syok sama kecewa yang sangat besar … bukan karena makanan.”
Tuh ‘kan, mami nyindir lagi.
***
“Mi … Aslan minta restunya ya, mau nikahin Sydney.”
Ini saatnya Aslan meminta restu, mereka sudah kembali ke rumah grandpa.
Mami Luna menggenggam kedua tangan Aslan.
“Aslan akan bahagia kalau nikah sama Sydney?” Mami bertanya hanya memastikan, bukan mau menyindir lagi.
Aslan mengangguk. “Bahagia banget, Mi.”
Mami yang harus mendongak karena tinggi Aslan yang menjulang, akhirnya tersenyum lebar.
“Mami titip Sydney ya ….” Mata mami berkaca-kaca, suaranya terdengar parau.
“Mami juga titip, kamu harus sayang sama adik-adik kamu … jangan sampai mereka cemburu sama Sydney, enggak enak ‘kan kaya tadi Nala sama Sydney diem-dieman … kalau sama Danisa mah udah sering diem-diemannya.”
Aslan menipiskan bibir kemudian menganggukan kepala.
“Iya, Mi.”
Mami memeluk Aslan, bersandar sisi wajah pada dada bidang Aslan.
Mami tidak menyadari kalau Aslan bisa melihat raut sendunya dari pantulan dinding kaca.
Dan itu membuat hati Aslan ngilu.
Mereka semua berkorban perasaan, menekan ego demi kebahagiaan Aslan dan Sydney.
Chapter 32
“Om … Tante … Nathan pulang dulu.” Nathan pamit dan hanya mendapat anggukan dari Papa Andi dan mama Shaqila.
Tanpa senyum atau kalimat ‘Hati-hati, sayang’ yang biasanya mama Shaqila lontarkan.
Nathan sadar diri, mungkin butuh waktu bagi mereka untuk memaafkannya.
“Anter aku ke depan, ayo.” Nathan menarik tangan Danisa agar mengikutinya ke teras depan.
Sesampainya di sana, Nathan membalikan badan.
“Aku pulang ya.”
Danisa mengangguk pelan.
Raut wajahnya tampak datar dan dingin, selalu menghindari bersitatap dengan Nathan.
“Nis … kamu masih marah ya sama aku?”
“Iya, dan sampai mati aku akan membencimu.” Yang hanya bisa Danisa ucapkan di dalam hati.
“Enggak,” jawab Danisa, kepalanya menunduk dengan kedua tangan mengusap perut.
Nathan berlutut dengan satu kaki, satu tangannya memegang pinggang Danisa dan yang satu lagi mengusap perutnya lembut, menyapa si buah hati di dalam sana.
“Papa pulang ya, besok Papa datang lagi … kamu jangan nakal ya, jagain mama.”
Nathan mengecup perut rata Danisa usai berkata demikian.
Andaikan Nathan tidak pernah meninggalkannya, andaikan pria itu benar mencintainya mungkin apa yang barusan Nathan lakukan menghasilkan haru bercampur bahagia di dada Danisa.
Tapi kenyataannya tidak, Danisa sudah mati rasa.
Pria itu bangkit.
Satu tangannya menangkup pipi Danisa.
“Nis, kok aku jadi sayang banget sama kamu ya? Bisa enggak kita tukeran tanggal nikah sama Bang Aslan … minggu ini kita dulu aja yang nikah, minggu depan giliran bang Aslan sama Sydney.”
Biasanya Danisa akan tertawa mendengar kelakar Nathan tapi kali ini ia hanya tersenyum kecut.
“Aku pengen cepet-cepet kita tinggal serumah,” sambung Nathan lagi masih membual, menurut Danisa.
“Kamu kenapa diem aja sih, aku kaya ngomong sendiri dari tadi.”
Nathan sedikit menunduk untuk mengecup kepala Danisa.
Danisa masih tidak bersuara.
Gemas karena diabaikan, Nathan menarik dagu Danisa lalu mencium bibirnya membabi buta.
“Udah?” tanya Danisa sinis dengan napas tersengal setelah Nathan menjauh.
“Belum sih … tapi masih banyak waktu ‘kan nanti.”
Si pria brengsek itu tertawa.
Membungkuk lagi untuk mengecup kening Danisa lantas melangkah mundur sambil tersenyum.
Danisa langsung membalikan badan, masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan cara membantingnya.
Demi Tuhan, Danisa jijik menghadapi pria bernama Nathan Devabrata.
Ketika melewati living room, Danisa melihat mama sedang menangis.
Papa yang duduk di sampingnya mengusap lembut punggung mama.
Sorot mata Danisa yang tadi menyala penuh kebencian kepada Nathan kini berubah sendu.
“Aku pasti yang akan disalahkan sama keluarga kamu, Mas … aku akan dicap sebagai ibu yang gagal mendidik anaknya, lalu mereka akan bilang kalau kamu salah pilih wanita untuk dijadikan istri, kamu menikahi perempuan sial, perempuan gila, pere—“
“Maaa … udahlah, jangan pikirin itu … pernikahan Danisa sama Nathan enggak usah mengundang keluarga papa, cukup kita dan keluarga Kak Dina aja ….” Papa menyela, bergerak lebih mendekat lalu memeluk mama.
Kak Dina yang Papa sebutkan tadi adalah kakak kandung papa dan satu-satunya keluarga Papa yang setuju ketika Papa menikahi mama, mengingat mama pernah jadi pasien Papa di rumah sakit jiwa.
“Pa … maa ….” Danisa melangkah mendekat, ia bersimpuh di kaki papa dan mama.
“Maafin Nisa.”
Untuk yang kesekian kalinya Danisa melakukan ini kepada mama dan papa.
Mama mengusap kepala Danisa, air matanya kian menderas.
“Maafin mama ya, mungkin kesalahan mama di masa lalu sangat besar sampai kamu yang kena Karmanya.”
Danisa menggelengkan kepala. “Danisa yang salah, maafin Danisa.”
Danisa memeluk perut sang mama, menangis di sana.
“Kamu itu tinggal lulus aja, Danisa … kamu udah keterima di Universitas terbaik di Jakarta … kenapa kamu rusak diri kamu sendiri, kenapa kamu enggak berpikir dulu sebelum ngelakuinnya, ya Tuhan … Danisaaa.”
Papa Andi mengesah, mengusap wajahnya kasar.
“Maafin Danisa, Pa … Danisa menyesal.”
Danisa beralih pada papa Andi yang kemudian memeluknya begitu erat.
“Bagaimana papa mau memberikan kamu pada laki-laki yang bahkan enggak mencintai kamu.”
Pundak papa bergetar hebat, beliau menumpahkan tangis di pundak Danisa.
“Cuma kamu harapan mama satu-satunya, kamu tahu ‘kan kalau abang kamu benci banget sama Mama … Mama enggak punya anak lagi … mama cuma punya kamu sekarang yang bisa Mama andalkan … kamu harus kuat ya Danisa, jangan jadikan anak sebagai penghalang kamu meraih cita-cita kamu.”
Senista apapun mama di mata Aslan, bagi Danisa—sang mama adalah mama terbaik.
Di saat seharusnya Danisa yang meminta maaf karena telah mencoreng nama baik keluarga—malah mama yang meminta maaf dan menguatkannya.
Danisa mengangguk, menggenggam tangan mama erat.
Selama ini mereka memang hanya bertiga, meski ada Aslan tapi pria itu tidak pernah benar-benar hadir dalam hidup mereka.
Jadi hanya Danisa yang akan menjaga mama dan papa, ia harus kuat, ia harus menjadi orang hebat untuk membayar masalah yang dia timbulkan saat ini.
“Ma ….” Suara berat itu membuat semuanya menghentikan tangis lalu menoleh.
“Bang ….” Papa yang menyapa dengan suara seraknya karena mama sibuk mengeringkan air mata dengan tissue yang ia tarik dari atas meja.
Dalam hati mereka bertanya-tanya sejak kapan Aslan di sana dan apakah Aslan mendengar percakapan mereka?
“Pa ….” Aslan balas menyapa.
Ya, Aslan mendengar semuanya.
“Danisa ke kamar duluan ya Ma … Pa.”
Danisa bangkit lalu dengan tergesa meninggalkan living room.
Danisa mengabaikan Aslan, melirik sekilas pun tidak.
Ia membenci abangnya, sekarang.
Aslan menggunakan kehamilannya untuk menikahi wanita yang sebenarnya tidak bisa pria itu nikahi.
Sungguh keji, biadab.
Di living room, Aslan duduk di depan papa dan mama.
“Udah makan, Nak? Mama ambilin minum ya? Oh ya, ini ….” Mama Shaqila membuka toples besar.
“Kerupuk kesukaan kamu, tadinya mama mau minta Amel ke sini bawain buat kamu.”
Karena Aslan tidak pernah datang ke sini, mama harus meminta Amelia yang membawakannya untuk Aslan.
Mama menyodorkannya kepada Aslan.
“Aslan udah makan, Ma … nanti Aslan bawa aja sama toplesnya.”
Aslan yang menutup toples itu kembali.
“Papa ambil kantungnya ya, terus ada buah mangga ‘kan Ma kemarin panen dari kampung ….” Papa Andi beranjak berdiri.
“Oh iya, Pa … ada di kulkas tolong masukin keresek semua buat Aslan.” Mama menimpali.
“Ma … Pa … tolong duduk sebentar, Aslan mau bicara …” sergah Aslan agar papa kembali duduk.
Mama dan papa memang sangat perhatian, selalu memikirkan Aslan.
Mereka tetap memperlakukan Aslan seperti anak kecil padahal penghasilan Aslan sekarang jauh berkali-lipat dari mereka.
Walau Aslan bersikap dingin, mereka tidak pernah lelah memberikan kasih sayangnya.
Berkali-kali penolakan Aslan harus mereka terima tapi mama dan papa tidak pantang menyerah apalagi berhenti memberikan kasih sayang.
Papa Andi kembali duduk, memfokuskan perhatian pada Aslan begitu juga mama Shaqila.
“Aslan mau papa sama mama yang anter Aslan ke rumah grandpa untuk menikahi Sydney.”
Bibir mama Shaqila melengkungkan sebuah senyum di antara matanya yang sembab.
“Iya … nanti mama antar.” Mama Shaqila meraih tangan Aslan kemudian menggenggamnya.
Betapa senang hati mama Shaqila karena Aslan memintanya untuk menemani saat dia akan menikah nanti.
Dulu mama pernah mengantar Aslan ke sekolah, sekarang mama juga yang akan mengantar Aslan menikah.
“Wah, papa harus beli batik kayanya.” Sempat-sempatnya papa berkelakar.
Sesungguhnya, Aslan memiliki keluarga yang bahagia andaikan ia mau melupakan dendam.
“Abang ketemu Danisa dulu ya.”
Aslan bangkit dari sofa.
“Iya sayang … Danisa enggak benar-benar marah sama Abang, dia hanya cemburu aja … kamu kasih pengertian ya.”
Aslan mengangguk, bibirnya juga tersenyum kemudian menarik langkah pergi menuju tangga.
Mama Shaqila tersenyum, air mata bahagia yang kini mengalir membasahi pipinya.
Di kamarnya, Danisa belum bisa tidur.
Ia duduk bersandar pada headboard sambil mengusap perut.
Sorot matanya kosong tertuju pada pintu.
Isi kepalanya berisik sekali memerintahkannya melakukan ini dan itu.
Tok …
Tok …
Suara ketukan di pintu membawa Danisa dari lamunan.
Pintu terbuka, ia memang tidak pernah mengunci pintu kecuali jika ada Nathan di dalam sini.
Aslan masuk, sorot matanya ketika bersirobok dengan mata Danisa seakan sedang meminta ijin tapi Danisa memilih memalingkan tatap.
Aslan masuk lebih jauh ke dalam kamar lalu berhenti di sisi ranjang Danisa.
“Belum tidur?” Aslan bertanya basa-basi.
Tangannya mengusap puncak kepala Danisa.
Adiknya sedang merajuk jadi tidak akan bersuara.
Biasanya Aslan tidak peduli tapi saat ini Aslan sangat peduli.
Ia akan menikahi Sydney.
Aslan harus mengikuti saran mami untuk menjaga hubungan baik dengan adik-adiknya agar mereka tidak cemburu.
“Kamu udah periksa ke dokter kandungan?” Aslan bertanya sambil menatap perut Danisa.
“Udah, waktu jenguk grandma … sama Nathan.”
“Berapa bulan?” Aslan bertanya lagi
“Baru tiga minggu.” Danisa menjawab.
“Masih lama donk Abang punya keponakan.”
Danisa mendengkus.
“Kalau Nathan jahatin kamu, kamu bilang Abang ya?”
“Bang … apa enggak bisa aku enggak usah nikah sama Nathan? Abang juga enggak usah nikah sama Sydney … apa enggak bisa hanya ada mama, papa, Abang dan aku aja?”
“Nis … anak kamu butuh seorang ayah, Nathan harus tanggung jawab.” Aslan mengusap buliran kristal di bawah mata Danisa.
“Tapi aku enggak mau hidup dengan pria yang enggak mencintai aku, Bang … please, jangan menikah sama Sydney … aku butuh Abang, mama butuh Abang ….”
Aslan mengembuskan napas panjang, menarik Danisa dalam pelukannya.
“Abang akan selalu sayang kamu, Abang janji.”
“Abang enggak pernah nepatin janji sama aku … Abang sering ingkar.”
Memang benar, setiap Aslan berjanji sesuatu kepada Danisa pasti saja lupa.
Aslan memang seorang abang yang brengsek, kan?
***
“Aslan … Aslan … Aslan … akhirnya lo bisa nikahin adik sepupu lo juga.” Ezra bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala.
Sepulangnya dari rumah mama Shaqila, Aslan mendapat pesan dari Aga untuk bertemu di sebuah Night Club.
Aga membutuhkan penjelasan dari Aslan mengenai apa yang tadi sore Nala ceritakan padanya.
Aslan tahu maksud Aga, semestinya ia tidak datang tapi pikirannya sangat penat—hatinya gundah.
Ia butuh sesuatu untuk meringankannya sementara.
Jadi Aslan memenuhi undangan Aga dan ketika tiba di tempat yang Aga tentukan, Ezra sudah ada di sini.
Aslan langsung bercerita tanpa diminta dan mereka semua takjub, tidak percaya tapi langsung memberikan ucapan selamat.
“Jadi, judulnya Musibah membawa berkah,” tukas Aga kemudian tertawa.
Maksudnya musibah yang dialami Danisa justru membawa kebahagiaan untuk Aslan.
Aslan mengerti tapi tidak tersinggung karena terkesan seperti memang benar seperti itu dan ia juga merasa menjadi orang paling brengsek di dunia.
Aslan malas menanggapi, menenggak minuman beralkohol dari gelas Ezra karena miliknya sudah habis.
Ezra berdecak lidah kemudian memanggil pelayan.
“Gue baru aja mau bilang kalau gue berhasil dapetin Cantik tanpa perlu ngehamilin dia dulu … eeeh, elo udah mau nikah aja.” Ezra bersungut-sungut.
Ezra memang pernah bercerita tentang hubungannya dengan sang gadis idaman yang mengalami kemunduran, lalu Aga memberi saran agar menghamili Cantik agar Ezra diminta bertanggung jawab.
Ezra mengatakan kalau itu adalah ide bagus, ia berniat melakukannya.
Tapi yang melakukan ide Ezra malah Aslan meski Sydney tidak hamil.
“Tapi kenapa lo kaya yang enggak bahagia?” Aga mengendik pada Aslan.
“Iya, suntuk banget … dua hari lagi ‘kan lo nikah sama Sydney.” Ezra menimpali.
Aslan mengembuskan napas berat.
“Gue juga bingung … harusnya gue bahagia ya … tapi ngerasa beban.” Aslan menenggak lagi cairan beralkohol dari dalam gelas tinggi hingga tandas.
“Mungkin karena lo merasa kalau ini tuh enggak benar, enggak seharusnya lo ngambil kesempatan dari musibah yang dialami adik lo.” Ezra bergumam.
Aslan memainkan gelasnya yang sudah kosong.
Bisa jadi ucapan Ezra benar, ditambah grandma yang katanya sangat kecewa dengan pernikahan ini lalu ekspresi sedih mami Luna tadi juga ucapan mama Shaqila yang katanya beliau hanya memiliki Danisa karena dirinya masih diliputi dendam sehingga tidak akan bisa diandalkan dan terakhir permohonan Danisa agar ia tidak menikahi Sydney.
Entah kenapa semua itu membuat Aslan resah, dadanya begitu sesak.
Aslan ingin segera keluar dari belenggu kasat mata ini.
Tidak boleh terpengaruh.
Hanya tinggal selangkah lagi, ia akan menikahi Sydney dan bahagia selamanya.
“Gue itu enggak jahat, Ga … gue enggak bahagia dengan musibah yang dialami Danisa tapi karena Danisa hamil—dia harus nikah sama Nathan, terpaksa keluarga Devabrata mendobrak aturan dan gue ambil kesempatan itu untuk nikahin Sydney … di mana letak kesalahan gue sampai semua orang kecewa sama keputusan gue?”
Aslan meracau, ia mulai mabuk.
Pria itu lantas terkekeh. “Para orang tua semua pura-pura bahagia di depan gue sama Sydney ….”
Aslan terkekeh lagi.
“Telepon si Amel, suruh jemput dia.” Ezra berbisik pada Aga sambil mengetikan sesuatu di ponselnya.
“Lo mau ke mana?” tanya Aga menahan tangan Ezra yang hendak berdiri.
“Gue mau ke rumah Cantik, bokap nyokapnya lagi bussines trip … gue yang bayar sekalian keluar nanti.”
Ezra menepuk dada Aga dengan punggung tangan sebelum akhirnya pergi meninggalkannya dan Aslan begitu saja.
“Si Kampret!” umpat Aga kesal.
Mau tidak mau dia yang mengantar Aslan pulang karena tidak memiliki alasan untuk meminta tolong kepada Amelia.
Aga membantu Aslan bangkit dari kursi.
“Gue masih sadar, lo pulang aja.”
Aslan menepis tangan Aga, pria itu berdiri tapi jalannya sempoyongan.
Aga berdecak lidah kesal, membiarkan Aslan berjalan menembus kerumunan orang-orang yang sedang meliuk-liukan tubuhnya di lantai dansa.
Ketika melihat mobilnya yang terparkir di sebelah mobil Aslan, sebuah ide pun tercetus.
“Aslan, lo enggak bisa pulang sendiri ... mau tabrakan terus mati, lo? Dua hari lagi lo mau nikah … jangan sampai belum sempat nikah tapi Sydney udah jadi janda.”
Karena Aga tahu Aslan telah mengambil keperawanan Sydney.
Aga membuka pintu mobil Aslan di bagian sebelah kemudi, memapah Aslan duduk di sana.
Tangannya merogoh ponsel dari dalam saku, mengotak-ngatik sebentar kemudian menempelkannya di telinga.
Baru panggilan kedua, seseorang di sana sudah menyahut.
“Hallo Mel, gue sama Aslan di Night Club … si Aslan mabuk, dia bawa mobil sendiri … gue juga bawa mobil, lo bisa jemput Aslan ke sini naik ojol, enggak? Biar nanti lo yang nyetir mobil si Aslan.”
Senyum Aga begitu lebar, ia memiliki alasan untuk tidak mengantar Aslan pulang.
Pasalnya rumah mereka berlawanan arah dan ia juga sangat lelah.
“Baik, Pak.”
Mana pernah Amelia membantah. Sekertaris Aslan yang cantik itu langsung pergi begitu sambungan telepon terputus.
Tiga puluh menit kemudian Amelia tiba.
Aga berkali-kali minta maaf karena harus kembali merepotkan Amelia.
Seperti biasa, Amelia yang dingin hanya tersenyum tipis menanggapi Aga membuatnya jadi tidak enak hati.
Amelia pamit sebelum akhirnya membawa mobil Aslan bersama pemiliknya yang tengah mabuk—keluar dari pelataran parkir, menembus jalanan Ibu Kota sampai tiba di apartemen.
Dua sekuriti memapah Aslan, mereka sudah terbiasa.
Justru dengan senang hati membantu Aslan ke unitnya karena setelah ini Amelia akan memberikan selembar uang berwarna merah kepada mereka.
Dan Amelia harus melakukan ritual yang selalu ia lakukan ketika Aslan mabuk.
Ia tidak habis pikir kenapa Aslan harus mabuk sementara dua hari lagi hari bahagianya akan berlangsung.
Amelia sangat mengenal Aslan, bosnya itu tidak akan mabuk jika tidak sedang memiliki masalah atau beban berat yang ingin dilupakan sejenak.
Ia tertegun di sisi ranjang di mana Aslan tengah terbaring dengan mata terpejam.
Mungkin ini adalah kali terakhir Amelia mengurus Aslan yang sedang mabuk jadi ia harus melakukannya dengan sepenuh hati.
Amelia memulai mengelap wajah Aslan dengan handuk kecil yang sudah dicelupkan ke air hangat.
Di usap wajah Aslan dengan lembut.
“Setelah menikah nanti, Sydney yang akan menggantikan tugas saya mengurus Pak Aslan yang sedang mabuk ….” Amelia bergumam.
Sekarang Amelia membuka kancing kemeja Aslan.
“Tapi kayanya nanti Pak Aslan enggak akan mabuk-mabukan lagi karena udah memiliki Sydney … semoga Pak Aslan bahagia,” ucapnya lagi dengan suara bergetar.
Amelia berhenti setelah melepas gesper di pinggang Aslan.
Menatap Aslan yang terpejam dengan bola mata bergerak gelisah di balik kelopaknya.
Apa sebenarnya yang sedang membebani Aslan?
Amelia jadi penasaran.
Tangannya perlahan terulur mendekati wajah Aslan.
Menangkup sisi wajah Aslan kemudian mengusapkan ibu jarinya di pipi pria itu.
“Apa yang terjadi?” Amelia bergumam.
Cukup lama ibu jari Amelia mengusap pipi Aslan bermaksud menenangkannya agar tertidur pulas.
Amelia menarik tangannya menjauh dari wajah Aslan dan ketika hendak berdiri—Aslan menarik tangannya.
Dengan satu kali gerakan Aslan membuat Amelia terbaring di sisinya di atas ranjang.
Ia membuat posisi Amelia miring menghadapnya sementara dirinya melesakan wajah di dada Amelia.
“Pak ….” Amelia mendorong Aslan.
“Biarkan seperti ini … sebentar aja, Flo.”
Tangan Amelia berhenti mendorong Aslan, Amelia termangu mendengar Aslan menyebut namanya.
Jadi, pria itu sadar jika sekarang yang dipeluknya adalah Amelia dan bukan Sydney?
Pelukan Aslan mengerat, napasnya memburu.
Tidak lama Amelia merasakan kaos di dadanya basah disusul dengan pundak Aslan yang bergetar.
Amelia memejamkan mata, tangannya bergerak mengusap bagian belakang kepala Aslan sedangkan satu tangannya yang lain melingkari punggung pria itu.
Tidak jauh berbeda dengan Aslan, kedua sudut mata Amelia juga mengeluarkan buliran kristal.
Chapter 33
“Kak … Kak Nala, kenapa harus sampai pindah ke anak perusahaan sih?”
Sydney tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Nala usai melakukan briefing pagi dan grandpa mengumumkan kalau Nala akan menjadi RCEO di anak perusahaan yang barus saja diakuisisi perusahaan Aga.
Lazimnya pimpinan tertinggi harus diambil dari perusahaan yang mengakuisisi yaitu perusahaan Aga tapi berhubung Nala akan menjadi istri Aga jadi hal tersebut dianggap Syah.
Nala senang sekali sewaktu grandpa menyetujui, meski sebenarnya ia baru bisa memegang jabatan di perusahaan itu minggu depan karena pemimpin sebelumnya masih mengerjakan pekerjaan yang belum selesai tapi Nala sudah tidak tahan satu gedung dengan Sydney.
Jadi ia membenahi barang-barangnya sekarang dan menggunakan ruang rapat untuk dijadikan ruangan sementaranya nanti di perusahaan itu.
Nala hanya mendelik lalu melanjutkan memasukan barang-barangnya ke dalam kotak.
“Kak … aku minta maaf.”
Sydney tidak akan bosan mengulang kalimat itu sampai Nala memaafkan dan menerima keputusannya menikah dengan Aslan.
Nala berdecih menanggapi permintaan maaf Sydney kemudian mendelik kesal.
“Kak … sebenci itu kamu sama aku sampai mau pindah gini?” Sydney menarik tangan Nala yang langsung ditepis sang kakak sepupu.
“Iya … kamu tau, selama ini aku selalu mencari-cari alasan untuk enggak benci sama kamu … aku berpikir bukan salah kamu kalau bang Aslan mencurahkan seluruh perhatiannya sama kamu tapi ternyata kamu keenakan dan malah ingin menguasai bang Aslan!”
Suara Nala lantang hingga terdengar ke ruangan Nathan.
Nathan beranjak dari kursi, ia keluar dan sudah mendapati sekertaris Sydney dan sekertaris Nala sedang saling berpegangan tangan dengan ekspresi bingung dan cemas.
“Pak ….” Ekspresi wajah mereka tampak meminta pertolongan Nathan yang berjalan mendekat.
Dari gerak-geriknya Nathan seperti sudah mengetahui duduk permasalahan yang terjadi di antara Nala dan Sydney.
Nathan menggerakan tangan agar kedua sekertaris itu kembali ke mejanya masing-masing.
“Tapi aku enggak ingin menguasai bang Aslan, Kak … bang Aslan masih akan tetap menjadi abangnya Kak Nala dan Danisa … aku hanya akan menjadi istrinya, Kak … ak—“
“Halah ... udahlah, basi tahu! Selama ini kamu asyik sendiri kalau dikasih perhatian lebih sama bang Aslan malah kadang aku liat kamu besar kepala, sombong … setiap bang Aslan belain kamu … nyesel aku ikut ngebelain kamu setiap kali kamu di jahatin Danisa, harusnya aku ikut jahatin kamu juga … harusnya waktu itu membiarkan kamu tenggelam di kolam renang setelah Danisa mendorong kamu ke sana,” sambar Danisa mengutarakan apa yang ia pendam selama ini hanya agar keluarganya terlihat rukun.
“Kaaaak!!! Cukup!” Sydney histeris mengingat kejadian naas di masa lalu yang membuatnya trauma hingga sekarang.
Ia nyaris kehilangan nyawa ketika liburan keluarga di Bali.
Saat itu Danisa mendorong Sydney hingga tercebur ke kolam renang setinggi dua setengah meter sementara tinggi Sydney tidak sampai satu setengah meter karena badannya yang mungil menurun dari mami.
Beruntung Nala lewat ke area kolam renang dan langsung menolong Sydney.
“Denger ya, suka atau enggak suka … aku akan menikah dengan bang Aslan, Kak Nala harus terima itu!!!”
Sydney berteriak sambil mengacungkan jari telunjuknya pada Nala.
Bisa dibilang, seumur mereka menjadi saudara—baru kali ini Sydney dan Nala bertengkar.
Napas Sydney memburu, wajahnya memerah penuh emosi.
Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan pernikahannya yang ia sadar betul ternyata tidak mendapat restu dan keikhlasan hati para orang tua.
Sydney tahu kalau keluarganya sedang berpura-pura bahagia dan itu sangat menyakitkan baginya.
Lalu sekarang ia mengetahui bila sang kakak sepupu menghindar dengan cara pindah tempat kerja, mengambil jabatan yang lebih rendah saking begitu membencinya.
Sydney tidak memiliki banyak sepupu, hanya Nala dan Nathan juga Aslan dan pernikahannya dengan Aslan membuatnya jauh dari Nala.
Pantas saja mami Luna ikut menentang pernikahan antar sepupu agar keluarga mereka berkembang, mungkin karena merasa kekurangan anggota keluarga.
Sydney menghentakan sepatu heels-nya keluar dari ruangan Nala.
Terdengar sesuatu mengenai bingkai pintu lalu pecah berserakan di lantai.
Sydney membalikan badan, ternyata Nala melempar gelas dan beruntung sekali tidak mengenainya.
Ia bisa melihat mata Nala menatap nyalang penuh kebencian.
Kakak sepupu yang dulu menyayangi Sydney kini benar-benar membenci Sydney.
Bisa dibayangkan jika gelas itu mengenai kepalanya, ia tidak akan bisa menikah akhir minggu ini.
Atau memang melempar gelas itu telah direncana Nala agar Sydney tidak menikah dengan Aslan namun sayangnya Nala meleset, gelas itu mengenai bingkai pintu.
Sydney melanjutkan langkah, air matanya tidak bisa ia bendung lagi.
Sydney memilih ruangannya untuk menyembunyikan tangis.
***
Danisa mengerjap pelan, pening menderanya ditambah rasa sakit yang luar biasa di bagian inti membuat tubuh Danisa sangat lemah.
Bola matanya digerakan ke bawah dan ia mendapati bedcover juga seprei telah berubah warna menjadi merah pekat cenderung hitam.
Tidak ada keterkejutan di wajah Danisa, sesekali ia meringis saat rasa mulas mendera, melilit dan perih di bagian perutnya.
Diusapnya perut rata itu pelan.
“Maafkan Danisa, Tuhan … maafkan Mama ya, Nak … Mama belum bisa menerima kamu di dunia ini.” Danisa membatin, bahkan untuk bicara pun ia kesulitan.
Dengan sisa tenaga yang ada, Danisa mengulurkan tangan mencari ponsel yang sebelum tidur ia letakan di atas nakas samping ranjang.
Sebuah botol plastik yang tidak tertutup dengan benar jatuh hingga isinya berceceran di lantai.
Danisa berusaha bernapas dengan benar, memejamkan mata sekilas—tangannya kembali bergerak mencari ponsel.
Prank!
Tangan Danisa menyenggol gelas kaca lalu jatuh ke lantai dan bernasib sama dengan obat-obat tadi.
Cukup lama berusaha, akhirnya Danisa mendapatkan juga ponselnya.
Danisa menekan nomor Azriel.
Nada dering memanggil berulang kali namun tidak ada sahutan dari Azriel sampai suara datar operator terdengar.
Tapi kesadaran Danisa mulai menipis, jika ia tidak segera dibawa ke rumah sakit mungkin nasibnya akan sama dengan janin yang ada di dalam rahimnya yang kini telah berubah menjadi gumpalan darah dan merembes di kasur.
Ketika Danisa hendak menekan kembali nomor Azriel, ponselnya menyala dengan nama dan foto cowok itu.
“Hallo, Nis … sorry, tadi telepon ya? Tadi aku lagi mandi … ada apa? Mau jalan-jalan?”
Bibir Danisa tersenyum miris mendengar suara ceria Azriel.
Merutuki diri kenapa ia tidak mencintai Azriel malah mencintai pria brengsek seperti Nathan dan merelakan tubuhnya untuk pria itu.
“Zieeel ….” Danisa berbisik, suaranya parau.
“Nis … kamu kenapa?” Di ujung sambungan telepon Azriel panik mendengar suara Danisa yang seperti kesakitan.
“Sakit, Ziel ….”
“Nis … kamu di mana?”
Malah isakan tangis yang terdengar.
Azriel melempar handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya lalu mengapit ponsel di antara telinga dan pundak ketika memakai celana.
“Nis … kamu di rumah, kan?” Suara Azriel terengah karena terburu-buru memakai pakaian ditambah dadanya berdentam kuat mendengar suara Danisa yang seperti sedang menahan sakit.
“Astaga!!! Non Danisa!!!!!” Suara wanita yang Azriel yakini adalah asisten rumah tangga mama Shaqila melengking menembus speaker phone.
“Noooonnnn.” Wanita itu histeris kemudian menangis.
“Hallo Bi, biii??” Azriel mencoba berkomunikasi dengan wanita itu.
Wanita itu mendengar suara dari ponsel di tangan Danisa yang terkulai lemah.
Meraihnya lalu mendekatkan ke telinga.
“Ha-Hallo?” Wanita itu terbata.
“Danisa kenapa, Bi?”
“Darah … banyak darah di kasur … non Danisa tidak sadarkan diri.”
Azriel mematikan sambungan telepon begitu mendengar informasi dari wanita itu.
Ia keluar dari kamarnya dan tidak menemukan satu anggota keluarga di sana.
Semua memang memiliki kegiatan di luar kecuali dirinya yang baru pulang pagi ini untuk mandi dan mengganti pakaian setelah menemani grandma di rumah sakit tadi malam.
Azriel menyambar kunci mobil dari tempatnya lalu menuju garasi.
Ponselnya masih di telinga menghubungi nomor Papa Andi namun hingga nada panggil berhenti—beliau tidak menjawab.
Lebih parah ketika menghubungi mama Shaqila yang langsung masuk ke voice Mail.
Lalu Azriel mencari nomor Aslan, semoga saja nomor pria itu yang ia simpan dulu masih aktif.
Aslan menyahut di nada dering ke tiga.
“Hallo?” sapanya dari ujung sana.
“Bang! Danisa, Bang … tadi kata asisten rumah tangganya Danisa enggak sadarkan diri, di kasurnya banyak darah … aku lagi mau ke sana sekarang, Ab—“
Azriel menjauhkan ponsel dari telinganya karena terdengar nada putus.
Ponselnya kehabisan daya.
“Aaaarrrgghhh … sial!!!!”
Azriel masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya seperti dalam film Fast and Furrious.
Sementara itu, di mobil yang sedang melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol dalam kota—perasaan Aslan mulai tidak enak mendapat telepon dari Azriel yang mengabarkan tentang Danisa lalu tiba-tiba terputus.
Ia hendak pergi menemui klien bersama Amelia yang semenjak pagi diam saja dengan wajah sendunya, wanita itu duduk di depan seperti biasa.
“Pak … keluar pintu tol di depan, kita ke rumah mama saya dulu.”
Mungkin Tuhan yang mengetuk hati Aslan sehingga berinisiatif mengecek kondisi Danisa dan kebetulan rumah mama Shaqila sangat dekat dengan pintu tol yang akan mereka lewati sekarang.
“Baik, Pak.” Pak Guntur menyanggupi.
“Tapi, Pak … meeting dengan Pak Gilbert gimana?”
Amelia akhirnya terdengar juga suaranya, sampai memutar sedikit pinggangnya untuk bisa menatap mata Aslan yang seharian ini dia hindari.
Tadi malam mereka sama-sama ketiduran di atas ranjang Aslan dan bangun secara bersamaan tapi posisi mereka sudah terbalik.
Aslan yang memeluk Amelia dengan wajahnya yang melesak di dada pria itu.
Bayangkan bagaimana malunya Amelia, tapi sepertinya tidak dengan Aslan yang tampak biasa saja.
“Reschedule, Flo! Titah Aslan sesuka hati.
Tidak ada bantahan dari Amelia, ia memang terbiasa menghadapi tindakan impulsif Aslan.
Amelia menghubungi sekertaris pak Gilbert untuk me-reschedule janji temu.
Lima belas menit setelah keluar dari pintu tol akhirnya mereka tiba di rumah mama Shaqila.
“Tadi Azriel telepon katanya Danisa enggak sadarkan diri,” kata Aslan bergumam sebelum turun dari mobil.
Entah kepada Amelia atau pak Guntur, keduanya sekarang saling melempar pandang dan Amelia membaca tatapan pak Guntur yang seolah mengatakan ia harus turun menemani Aslan.
Amelia menatap malas pak Guntur lalu membuka pintu mobil, menyusul Aslan yang kini sudah berada di teras menekan bel di pintu.
“Tolong … tolong Non Danisa di atas ….”
Seorang wanita paruh baya menangis saat membuka pintu, langsung menarik tangan Aslan masuk ke dalam rumah.
Melihat kondisi wanita itu yang begitu khawatir dengan keadaan Danisa membuat Aslan panik lalu lari menaiki anak tangga.
Brak!
Aslan mendorong pintu, menerobos masuk ke kamar Danisa.
Ia melihat darah di kasur, seperti kasur itu baru disiram oleh seember darah.
Wajah Danisa juga sangat pucat.
“Danisa!!!” seru Aslan langsung duduk di sisi ranjang lalu memeluk Danisa.
“Flo!!!!! Panggil ambulan!!!!”
Aslan berteriak membuat Amelia yang baru saja melangkah masuk langsung terhenyak.
Ia menutup mulutnya dengan tangan melihat kondisi Danisa yang sangat memprihatinkan.
Sekilas saja ia bisa tahu apa yang terjadi dengan Danisa.
Buru-buru Amelia merogoh saku blazernya untuk mencari ponsel dan menghubungi rumah sakit langganan keluarga Devabrata karena mereka memiliki akses VIP di rumah sakit itu.
“Nis … Danisa!! Bangun, Nis … bertahan sebentar.”
Demi Tuhan, rasanya seperti jantung Aslan ditarik paksa dari rongga dada.
“Bang ….” Danisa berusaha menggapai kesadarannya.
“Danisa … bangun, sayang … jangan tidur. Abang udah panggil ambulan ….”
Panggilan sayang dan raut khawatir yang begitu kentara di wajah Aslan membuat Danisa tersenyum tipis dengan mata terpejam.
“Bang … aku enggak perlu ….”
Danisa mencoba menghirup udara.
“Enggak perlu menikah dengan kak Nathan, jadi Abang enggak bisa menikah dengan Syd … Ney.” Danisa terbata melanjutkan kalimatnya.
Aslan mengecup kening Danisa yang berada dipeluknya.
“Aku … aku ingin hanya ada kita, Abang … keinginan terbesar aku cuma satu, disayang sama Abang.”
Danisa melirih di dada Aslan
“Aku … mengorbankan anak ini agar aku enggak perlu menikah dengan orang yang enggak mencintai aku dan Abang juga enggak nikah sama Sydney … jangan nikah sama Sydney ya, Bang … aku mohon.”
Danisa terisak begitu juga sang Abang yang memeluknya.
“Ambulan sebentar lagi datang sama petugas medis.” Amelia memberitau.
Detik berikutnya terdengar suara langkah kaki menderap di tangga.
“Danisa!” Itu Azriel.
Matanya melotot melihat banyak darah di kasur.
Danisa masih dipeluk Aslan, Azriel hanya bisa mengusap kepalanya lalu berjongkok ketika menyadari sesuatu.
Tangannya mengangkat sebuah botol lalu memasukan obat-obat yang berceceran itu ke dalamnya.
Azriel yakin bila obat-obat tersebut yang membuat Danisa jadi seperti ini.
Ia mengangkat botol itu agar Aslan dapat membaca tulisan pada kemasannya.
Kening Aslan berkerut, mulutnya menggumam apa yang sedang ia baca.
“Ambulan sebentar lagi datang,” kata Aslan memberitau Azriel.
Selama menunggu Ambulan, Azriel sibuk menghubungi kedua orang tua Danisa dan juga kedua orang tuanya.
Memberi tahu mereka kalau dugaan sementara adalah Danisa mengkonsumsi Escitalopram dalam jumlah banyak untuk menggugurkan kandungannya.
Escitalopram adalah salah satu obat anti depresi yang masih sering diresepkan oleh dokter untuk mengatasi kecemasan dan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa obat ini sebenarnya dapat menyebabkan risiko keguguran yang lebih tinggi.
Danisa mencari tahu obat-obatan yang bisa menggugurkan kandungan di Google, ia memilih obat-obat yang bisa ditemukan dengan mudah di ruang kerja papanya.
Papa Andi memang terkadang menyimpan sampel obat dari marketing farmasi di rumah sebelum ia bawa ke rumah sakit.
Kebetulan Danisa menemukan beberapa sampel obat itu lalu tanpa pikir panjang sengaja meminumnya.
Awalnya ia sangat mengantuk sampai akhirnya terbangun karena rasa nyeri yang luar biasa pada perutnya di bagian bawah.
Danisa langsung dibawa menggunakan tandu oleh petugas medis begitu mereka tiba.
Aslan memaksa ikut ke dalam ambulan menemani Danisa.
Jasnya ia buka menutupi tubuh Danisa yang hanya menggunakan pakaian rumahan.
Kemeja putih Aslan berlumuran darah, begitu juga tangan dan celana warna Navy-nya.
Tadi Aslan memberikan obat di dalam botol yang Azriel temukan kepada petugas medis dan memberitau bila Danisa sedang hamil tiga minggu.
“Danisa.” Aslan memegang tangan Danisa yang lemah.
Mengusap kepala kemudian mengecup keningnya.
Seorang petugas medis sibuk memberikan pertolongan pertama, dilihat dari wajahnya sepertinya dia juga panik karena darah tidak berhenti keluar dari bagian inti Danisa.
“Nis … Danisa … Danisaaaaaaa!!!”
Aslan berteriak membangunkan Danisa saat mata Danisa perlahan tertutup.
Si perawat semakin panik, ia menghubungi rumah sakit untuk segera menyiapkan prosedur operasi lalu menyebutkan kondisi Danisa menggunakan istilah medis tidak lupa menyebutkan nama obat yang dicurigai telah dikonsumsi oleh Danisa.
Tidak lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, begitu juga dengan mobil yang membawa Amelia diikuti mobil Azriel di belakangnya.
Amelia membawa tas dari dalam bagasi agar Aslan bisa berganti pakaian sedangkan Azriel memarkirkan kendaraannya.
Aslan mengejar Danisa yang kini dinaikkan ke ranjang beroda.
“Aslan!” Panggil papi yang sudah menunggu di IGD.
“Pi, Danisa ngegugurin kandungannya sendiri, Pi … Danisa ….” Aslan sangat panik, mengusap wajah lalu menyugar rambutnya ke belakang berkali-kali.
“Tenang … tenang dulu.” Papi memegang kedua pundak Aslan.
“Siapa di sini yang keluarga korban?”
Seorang suster bertanya sambil membawa papan dengan beberapa kertas terselip di atasnya.
“Saya … saya Kakaknya.” Aslan menjawab cepat.
“Pasien harus segera dioperasi, golongan darahnya apa?” Suster itu bertanya lagi.
“AB Negatif.” Aslan yang menjawab.
Ia tahu karena golongan darah Danisa sama dengannya.
“Saya bersedia mendonorkan darah saya kalau dibutuhkan.” Aslan menambahkan.
“Baik, tolong ditandatangani dulu persetujuan operasinya.” Suster memberikan papan beserta pulpennya kepada Aslan.
Aslan menandatangani kertas demi kertas tanpa membaca dulu apa yang tertulis di sana.
Setelah itu Papi, Aslan, Amelia dan Azriel yang baru saja tiba bergegas menuju ruang operasi untuk menunggu proses operasi Danisa.
“Papi sudah berhasil hubungi Papa Andi, dia jemput mama Shaqila dulu di kampus.”
Aslan mengangguk kaku, kedua tangannya yang gemetar ia sembunyikan di dalam saku celana sementara tatapannya tertuju pada ujung sepatu.
Mereka sudah berada di dalam lift sekarang.
“Saya bawa baju ganti, Pak.” Amelia mengangkat tas yang ia jinjing.
Aslan mengangkat pandangannya, kemudian mengambil alih tas itu dari tangan Amelia.
“Pi … mami telepon.” Azriel memperlihatkan layar ponselnya kepada papi.
Mereka sedang berjalan menyusuri lorong menuju ruang operasi di mana Danisa sudah dibawa ke sana sedari tadi.
“Oh ya, hape Papi tertinggal di kamar grandma jadi mungkin mami menghubungi kamu … jawab panggilan mami, Ziel … kabari kalau Danisa sudah sampai di rumah sakit.”
Jempol Azriel bergerak menggeser icon hijau pada layar.
“Hallo, Mi?” Ziel menyahut.
“Zieeel, cepet ke sini … grandma kamu Ziel, grandma mengalami syok Kardiogenik.”
“Apa? Ziel sama papi ke sana sekarang.”
Kepanikan Azriel bertambah dua kali lipat.
“Apa kata mami, Ziel?”
“Grandma mengalami syok Kardiogenik, Pi.”
“Ya Tuhan.” Papi mengusap wajah paniknya.
“Aslan, kamu di sini aja siapa tahu Danisa membutuhkan darah kamu … Papi sama Ziel ke ruang rawat grandma dulu.”
“Iya, Pi.”
Aslan mengangguk kemudian matanya menatap nanar punggung papi dan Azriel yang menjauh dan hilang di balik pintu lift.
Aslan menjatuhkan bokongnya di kursi, tas yang diambil alih dari tangan Amelia jatuh ke lantai tepat di kakinya.
Kedua tangan yang sikutnya bertumpu pada paha itu menangkup wajah.
Kenapa semua ini harus terjadi sekarang padahal besok adalah hari pernikahannya dengan Sydney.
“Pak … ganti baju dulu.” Amelia melirih.
Aslan mengangkat pandangannya menatap Amelia.
“Semua akan baik-baik aja, Pak.”
Amelia bermaksud menenangkan tapi matanya tidak bisa berbohong.
Ia juga khawatir salah satu di antara grandma dan Danisa tidak selamat.
Pintu lift terbuka, disusul derap langkah kaki mendekat.
“Abaaaang … mana Danisa, Baaang … mana adik kamuuu.” Mama menangis seiring langkahnya mendekat.
Aslan beranjak dari kursi, menyambut mama ke dalam pelukannya.
“Mama enggak mau kehilangan Danisa, Bang … Mama enggak mauuu.”
Mama meraung sambil memeluk Aslan.
Papa Andi langsung menuju pintu ruang operasi, menumpukan keningnya pada lengan yang ia simpan melintang di pintu operasi.
Pundaknya bergetar, pria paruh baya itu menangis dampak dari rasa khawatir akan keselamatan sang putri di dalam sana.
Chapter 34
“Calon pengantin jangan sedih gitu donk … grandma pasti akan bangun.” Aunty Alicia mencoba menenangkan Sydney meski di sekitar matanya terdapat jejak air mata.
Sydney yang baru saja selesai merias wajahnya masih duduk di depan meja rias, di belakangnya berdiri auntyAlicia merapihkan selendang putih yang dibuat menutupi setengah bagian kepala Sydney.
Tadi malam, aunty Alicia beserta suaminya uncle Kaisar dan putra mereka Shaka tiba dari Amerika.
Mereka langsung ke rumah sakit karena mendapat kabar buruk mengenai grandma dan Danisa dari supir keluarga yang menjemput di Bandara.
Sydney sendiri sampai tengah malam di sana bersama seluruh keluarga yang lain.
Danisa selamat meski banyak darah yang keluar dan harus mendapatkan transfusi.
Sedangkan grandma Selena dinyatakan koma.
Beliau terlalu syok mendengar Danisa menggugurkan kandungannya sendiri.
“Semua gara-gara Sydney ….” Sydney bergumam, menatap sang aunty dari pantulan cermin.
“Enggak … semua terjadi karena pilihan masing-masing … dan di sini yang berperan bukan hanya kamu, jadi jangan salahkan diri kamu sendiri,” tukas aunty bijak.
Sydney kembali menundukan pandangan.
“Aunty enggak nyangka, kebaya waktu akad mami kamu dulu bisa pas di tubuh kamu tanpa fiting ….” Alicia mengalihkan topik pembicaraan.
Sydney jadi mengangkat pandangan, menatap dirinya di cermin.
Lalu tersenyum meski tipis.
“Mom … Bang Aslan sama tante Shaqila udah datang.”
Shaka memberitau dari ambang pintu belakang pavilliun.
“Yuk … kita selesaikan dulu upacara Agamanya, udah gitu kita bisa ke rumah sakit jenguk grandma.”
Sydney mengangguk lalu beranjak berdiri dibantu aunty.
Shaka menjemput Sydney dengan menaiki anak tangga, kakak sepupunya itu begitu tampan menggunakan batik lengan panjang.
Meski acara hanya di selenggarakan di rumah tapi semua berpakaian rapih.
“Hati-hati ….” Shaka berujar seraya memegangi tangan Sydney, ngeri sendiri karena Sydney menggunakanheels.
“Om Arkatama udah duduk samping penghulu … bang Aslan keren banget lho … tapi kamu juga cantik, memangnya kalau calon pengantin kaya gitu ya? Shinning, simmering, splendid …. “ Shaka bermaksud berkelakar membuat sang Mommy mendelik tajam.
Kemudian meringis, lupa dengan apa yang tengah dialami keluarganya.
Prosesi upacara Agama pernikahan Aslan dengan Sydney di selenggarakan di ruang tamu rumah grandpa.
Keduanya tidak ada yang berinisiatif membatalkan pernikahan meski musibah tengah menimpa keluarga mereka.
Walau saat ini gamang menghiasi wajah Sydney dan resah tercetak di wajah Aslan.
Apalagi ketika melihat cuma ada grandpa, om Aiden, tante Raisa, papi, mami, Azriel, aunty Alicia, uncle Kaisar dan Shaka yang hadir dari pihaknya sementara Aslan hanya di antar oleh mama Shaqila dan keempat sahabatnya; Aga, Ezra, Alden dan Jasver.
Tidak ada raut bahagia di wajah para keluarga, mereka tengah berduka.
Mata mama Shaqila pun tampak sembab, makeup tidak mampu menutupi kesedihannya.
Sydney tidak melihat Nala dan Nathan.
Menurut aunty Alicia, Nala menunggui grandma sementara Nathan menemani Danisa bersama papa Andi.
Sama sekali bukan pesta pernikahan yang Sydney impikan, acara akad nikahnya ini lebih mirip seperti pemakaman.
Aslan menoleh ke arah Sydney yang tengah berjalan anggun menggunakan kebaya putih dan kain motif parang membalut tubuhnya dari bagian pinggang hingga mata kaki.
Sydney juga menatap Aslan, ternyata benar kata Shaka kalau Aslan memang tampan.
Namun rasanya, dia dekat tapi Sydney merasa pria itu sangat jauh tidak bisa ia raih.
Upacara Agama ini memang sederhana, tapi sederhana versi keluarga Devabrata adalah dekorasi full bunga hidup dari halaman depan hingga belakang dan prasmanan dari catering ternama.
Papi melempar senyum kepada Sydney yang di balas oleh Sydney dengan senyum tipis.
Lalu Sydney menoleh pada Aslan, pria itu meraih tangannya yang kemudian ia simpan di atas paha.
Aslan mengembalikan tatap ke depan pada papi yang bertindak sebagai wali nikah Sydney.
Pak Penghulu meminta ijin untuk memulai acara, matanya sedari tadi tertuju pada perut Sydney karena menduga sang mempelai pengantin wanita sudah hamil duluan.
Tapi ia tidak menemukan keanehan di perut Sydney, perut Sydney rata dengan pinggangnya yang ramping.
Pak Penghulu masih belum menemukan alasan kenapa acara bahagia ini hanya dihadiri segelintir orang dengan raut sendu.
Beliau akhirnya melakukan tugasnya, memberikan sedikit wejangan untuk Aslan dan Sydney yang tengah menatap kosong pada buku nikah mereka yang siap di tanda tangani usai mengucapkan kalimat sakral yang akan mengantarkan mereka menjadi suami istri yang Syah.
Suara Pak Penghulu terkalahkan oleh suara-suara berisik di kepala mereka yang menyalahkan, menyudutkan bahkan mengumpati.
Aslan dan Sydney baru tersadar saat Pak Penghulu meminta tangan Aslan untuk menjabat tangan papi di atas meja.
Atas aba-aba sang Penghulu—papi Arkatama mengucapkan kalimat sakral penyerahan atas diri Sydney kepada Aslan.
Begitu lancar meski suaranya terdengar parau.
Sekarang giliran Aslan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sydney Arana Devabrata binti Arkatama Zavier Devabrata dengan ….”
Kalimat Aslan terhenti, napasnya memburu sampai pundaknya naik turun.
Aslan merasakan sesak teramat sangat di dadanya, bukan hanya Aslan tapi itu juga yang dialami Sydney sekarang.
Sydney mengangkat tangan yang kemudian ia letakan di atas tangan Aslan yang sedang menjabat tangan papi.
Aslan menoleh, ia mendapati Sydney menggelengkan kepala pelan sambil menatapnya lekat.
Beberapa saat mereka hanya saling tatap begitu juga Pak Penghulu beserta keluarga dan tamu yang ada di ruangan itu.
Mereka semua menahan napas menunggu apa yang akan dilakukan kedua calon mempelai pengantin itu.
Aslan mengembalikan tatap pada papi.
“Maaf, Pi … Aslan enggak bisa menikahi Sydney.”
Semua terkejut, beruntung grandpa memiliki jantung yang kuat sehingga tidak menyusul grandma yang tengah terbaring koma di rumah sakit.
FLASHBACK ON
Sydney dan Nathan tiba di rumah sakit setelah beberapa jam kemudian.
Sydney langsung menuju ke ruang ICU dan Nathan berlari ke ruang operasi.
Di depan ICU ada papi dan mami.
Mami tidak berhenti menangis di pelukan papi.
“Miiii ….” Sydney perlahan mendekat sambil berderai air mata.
Sydney memeluk mami dari belakang yang tengah dipeluk papi kemudian Azriel datang memeluk mereka semua.
Grandma Selena adalah ibu mertua paling baik, beliau memperlakukan mami Luna melebihi anaknya sendiri.
Grandma juga begitu menyayangi cucunya bahkan Danisa tidak luput dari kasih sayang grandma.
Grandma yang seorang ibu merasa bersalah karena telah gagal mendidik om Aiden sehingga melakukan perbuatan tidak terpuji dengan mama Shaqila dan lahirlah Aslan lalu ketika mengetahui sejarah terulang—sungguh, rasa bersalah itu kian dahsyat menghantam perasaannya.
Kemudian mendengar Danisa sampai menggugurkan janinnya, grandma tidak sanggup lagi menanggung beban itu.
Hal tersebut yang membuat kesehatan grandma memburuk.
“Mami enggak bisa, Pi … Mami enggak bisa nerima kalau mama pergi, enggak Piii ….” Mami meracau di dada papi.
Kedatangan tante Alicia dan keluarga sempat membuat suasana sedih mereda.
Mami dan papi menceritakan masalah yang keluarga mereka tengah hadapi dan saat itu mereka berada di suatu ruang tunggu VIP.
Sydney melihat Aslan di sana, duduk di sudut ruangan terpisah dengan yang lain.
Wajah Aslan tampak kusut, baru kali ini Sydney melihat kilat penuh kekhawatiran di mata Aslan.
Lebih dari yang biasa ia dapatkan dari Aslan.
Di dalam ruang operasi sana, Danisa masih bertaruh nyawa.
Sydney mendekati Aslan kemudian berhenti tepat di depannya.
“Bisa kita bicara?” tanyanya ketika Aslan mendongak.
Aslan beranjak dari kursi kemudian menggenggam tangan Sydney lantas menuntunnya ke luar ruang tunggu.
“Bang … kita nyerah aja ….” Tanpa basa-basi Sydney langsung berkata demikian.
Aslan tertawa sumbang menanggapi ucapan Sydney.
“Terlambat Syd, besok kita menikah … semua udah diurus ….”
“Tapi kita enggak bisa menikah di saat seperti ini, Bang … grandma koma, Danisa juga ….” Sydney merentangkan tangan menunjuk pintu ganda ruang operasi.
“Kita enggak tahu apa yang akan terjadi sama Danisa … aku enggak bisa terusin ini … aku enggak bisa.”
Sekuat apapun Sydney menahan laju air matanya, buliran kristal itu kembali luruh.
Sesak menghantamnya kembali.
“Lalu apa? Kamu mau menundanya? Kita enggak bisa menundanya, Syd … kalau kita enggak menikah besok maka kita enggak akan bisa menikah, mereka bisa aja berubah pikiran ….” Aslan mencoba mengingatkan, ia seperti sedang membujuk Sydney agar tidak berubah pikiran padahal itu dilakukan untuk dirinya sendiri juga yang sedang bimbang.
“Kalaupun kita menunda pernikahan kita dan mereka enggak berubah pikiran, situasi akan tetap sama … mereka berpura-pura bahagia untuk kita ….”
Aslan menyugar rambutnya ke belakang.
Benar kata Sydney, meski pernikahan mereka ditunda tapi tetap saja keadaan tidak akan berubah.
“Jadi kamu maunya gimana?” Aslan sudah putus asa, ia menyerahkan kepada Sydney.
“Kita sudahi aja … kita nyerah aja, Bang.”
Meski mulutnya berkata demikian tapi mata Sydney mengatakan sebaliknya.
“Tapi Syd, Abang udah merawanin kamu … seenggaknya Abang harus bertanggung jawab … masa depan kamu akan hancur.” Aslan meraih dua tangan Sydney.
Demi Tuhan, Aslan menyesal merenggut kehormatan Sydney.
Bila tahu akan seperti ini ia tidak akan pernah melakukannya.
Sydney menggelengkan kepala.
“Enggak apa-apa, itu urusan aku … biar aku yang menanggungnya … itu kemauan aku juga.”
“Enggak!!! Kita harus tetap nikah.”
Aslan bersikeras tidak ingin dibantah.
“Seenggaknya Abang harus menikahi kamu dulu, Syd … Abang harus tanggung jawab.”
“Lalu apa? Kita bercerai agar keluarga kita kembali utuh? Enggak Bang … Kita akan mempermainkan janji suci pernikahan dan juga keluarga kita … jalan satu-satunya kita batalin pernikahan ini, Bang … jangan pikirin aku, pikirin keluarga kita … please.”
Aslan menarik tubuh mungil Sydney ke dalam pelukan.
Mungkin ia bisa membatalkan pernikahan ini tapi Aslan merasa harus bertanggung jawab kepada Sydney karena telah mengambil apa yang tidak semestinya ia dapatkan dari Sydney.
Di dalam pelukan Aslan, Sydney berulang kali bergumam meyakinkan Aslan agar mau membatalkan pernikahan mereka.
FLASHBACK OFF
“Jadi … kamu akan baik-baik aja, kan?”
Aslan menyenggol lengan Sydney yang tengah melamun menatap ke atap rumah di depan rumah grandpa.
Mereka berdua sedang beraada di rooftop rumah grandpa.
Dulu di sini tempat jemuran tapi diubah menjadi tempat yang nyaman untuk menikmati senja dengan kursi rotan berbantal empuk.
Sydney mengangguk. “Aku pasti baik-baik aja.” Lalu menoleh pada Aslan dan memberikan senyumnya.
“Kamu yakin?”
“Yakin banget.”
Sydney tersenyum semakin lebar.
Jujur, Sydney lega sekarang.
Seakan beban di pundaknya terangkat dan sesak di dadanya perlahan sirna.
“Oke … tapi kayanya ini pertemuan terakhir kita.”
Aslan beranjak dari kursi diikuti Sydney.
Sydney mengangguk setuju sembari memperbaharui senyumnya.
“Sebaiknya kita jangan ketemu dulu sampai kita benar-benar bisa saling melupakan.” Sydney menimpali.
“Abang enggak mungkin ngelupain kamu.”
“Kalau gitu kita enggak akan bisa ketemu lagi untuk selamanya.” Sydney memicingkan mata.
“Kayanya gitu,” timpal Aslan layaknya sebuah ancaman.
“Okeeee ….” Sydney memanjangkan kata.
Keduanya lantas tergelak entah apa yang mereka tertawakan.
Aslan merengkuh pinggang Sydney untuk memeluk tubuh ramping itu erat.
“Maafin Abang, ya.”
“Maafin aku juga ya udah maksa-maksa Abang buat batalin pernikahan kita.”
Aslan menanggapi dengan cara mengeratkan pelukannya.
Sesungguhnya bila Sydney tidak memaksa pun dengan semua yang telah terjadi, mungkin ia akan membatalkan pernikahan ini.
Hanya saja Aslan merasa bertanggung jawab terhadap Sydney.
Aslan menjauhkan tubuhnya tanpa mengurai pelukan.
Mengecup kening Sydney, turun ke hidung dan berakhir di bibir.
Melumat bibir ranum Sydney dengan cara paling lembut untuk yang terakhir kali.
Aslan menjauhkan wajahnya demi bisa menatap mata Sydney.
Cukup lama keduanya hanya saling menatap dengan background sunset.
Sedang merekam dalam benak masing-masing wajah satu sama lain dan momen ini yang akan mereka kenang hingga akhir hayat nanti.
Di mana mereka pernah saling mencintai begitu besar tapi harus merelakan cinta itu demi keutuhan keluarga besar.
***
“Jahat banget sih kamu, Nis … jahat banget kamu, kamu bunuh anak kita.”
Nathan menangis di sisi ranjang Danisa yang tengah terlelap.
Danisa sempat siuman dan dipindah ke kamar rawat inap tapi tubuhnya masih lemah.
Ia merasa sangat lelah jadi tertidur cukup lama.
Nathan menggenggam tangan Danisa erat, tadi ketika siuman yang diucapkan Danisa pertama kali di depan seluruh keluarga adalah tidak ingin menikahi Nathan.
Memang tidak perlu, karena Danisa telah membunuh bayi yang membutuhkan tanggung jawab Nathan.
Tindakan keji yang mengancam nyawanya sendiri.
Tapi Danisa lebih baik mati dari pada menikah dengan orang yang tidak mencintainya dan kehilangan Aslan untuk selamanya.
Dengan meminum obat-obatan itu, ia bertaruh antara nyawa dan kebahagiaannya di dunia.
Dan Terimakasih pada Yang Maha Kuasa karena Danisa masih diberi kesempatan hidup untuk memperbaiki dirinya.
Danisa sudah memikirkannya baik-baik, mengambil keputusan menggugurkan janin itu bukan hanya untuk kepentingannya sendiri.
Ia tidak ingin ada Aslan berikutnya lahir ke dunia ini karena tahu Nathan tidak akan berubah, sekali brengsek maka selamanya brengsek.
“Nis … kamu balas aku gini banget sih? Aku mencintai kamu, Nis ….”
Perlahan kelopak mata Danisa terbuka, ia melihat Nathan di sampingnya dengan mata basah oleh air mata.
“Nis ….” Tubuh Nathan menegak, melepas genggaman tangannya untuk mengusap jejak air mata.
“Kamu mau minum?” Nathan langsung beranjak dari kursi mencari gelas berisi air mineral untuk Danisa sebelum Danisa merespon pertanyaannya.
Tapi Danisa memang sangat haus jadi ketika Nathan mendekatkan sedotan ke bibirnya maka dengan semangat ia menyedot air mineral untuk melegakan tenggorokan.
Nathan mengembalikan gelas ke atas meja lalu duduk di sisi ranjang.
“Tadi … waktu kamu bilang enggak mau nikah sama aku … itu bohong, kan? Karena kamu lagi terpengaruh obat bius aja, kan? Enggak yang sebenarnya, kan?”
Nathan yang tengah putus asa menjadi pemandangan paling menyenangkan dalam hidup Danisa saat ini.
“Enggak … aku enggak mau nikah sama Kak Nathan, enggak sekarang … dan enggak untuk selamanya.”
Walau suaranya rendah tapi terdengar tegas.
“Nis … aku mencintai kamu, aku harus bertanggung jawab atas hidup kamu … ijinkan aku menebus kesalahanku sama kamu, akan aku cintai kamu sepenuh hati ….” Nathan menggenggam tangan Danisa erat, sorot mata memohon Nathan membuat imun Danisa naik.
Sekuat tenaga Danisa menahan seringai di bibirnya.
Chapter 35
SATU TAHUN KEMUDIAN
Kelahiran anggota keluarga baru membawa suka cita bagi seluruh keluarga Devabrata.
Keluarga Devabrata yang berada di Jakarta berkumpul di rumah sakit untuk menyambutnya.
“Kak … boleh gendong, enggak?”
Sydney yang sedari tadi menatap bayi mungil bernama Reygan Dewangga Marthadidjaya itu meminta ijin.
“Gendong aja, Syd ….” Nala memberi ijin.
Semenjak pembatalan pernikahan antara Aslan dan Sydney—Nala kembali berubah baik, menyayangi Sydney seperti dulu.
Meski tidak satu kantor lagi tapi mereka sering bertemu sepulang kerja untuk hangout melepas penat.
Selain hangout, mereka juga sering liburan berempat—bersama Aga—untuk membantu Nathan bangkit dari keterpurukannya karena ditinggal oleh Danisa yang memilih mengikuti Aslan hijrah ke Singapura dan berkuliah di sana.
“Gantengnya keponakan aunty.” Tanpa segan atau takut akan menyakiti—Sydney menggendong bayi yang akan dipanggil seluruh keluarga dengan sebutan Dewa itu.
Padahal Sydney belum pernah menggendong bayi tapi ia tahu bagaimana membuat bayi nyaman dalam pelukannya.
“Kalau Danisa enggak gugurin kandungannya, pasti enggak jauh umurnya sama Dewa.” Nathan yang berada di samping Sydney bergumam.
“Udah deeeeeh!” Sydney dan Nala sontak berseru.
“Moveon donk, Than.” Papa Aiden meledek.
Mama Raisa yang baru saja keluar dari dalam toilet mengusap pundak Nathan sambil melewatinya.
“Kamu usaha lebih keras minta maaf sama Danisa, setelah dia memaafkan kamu, pasti kamu bisa melupakan dia.” Mama Raisa memberi saran.
“Lo itu bukan cinta tapi ngerasa bersalah, Kak.” Nala menimpali sambil bersandar pada kepala ranjang yang dibuat tegak.
“Jangan sampe Kak Nathan nikah sama dia ya, ini aku udah berkorban enggak nikah sama bang Aslan lho,” celetuk Sydney kemudian mengecup kening Dewa.
Semua tergelak seolah keputusan Sydney dan Aslan yang membatalkan pernikahan adalah sebuah lelucon karena pada awalnya mereka yang bersikeras untuk menikah.
“Tapi Nathan cinta sama Danisa, Maaaa.”
Nathan merengek, ia menyusul sang mama yang telah duduk di sofa.
Merangkul lengannya kemudian menyandarkan kepala di pundak mama Raisa.
“Kamu datengin dokter Andi pulang dari sini ya, obat kamu habis ‘kan? Biar kamu bisa tidur nyenyak dan enggak histeris nanti malem.” Mama Raisa mengingatkan sambil mengusap kepala Nathan.
Keputusan Danisa yang tidak ingin menikah dengan dan Nathan dan kepergiannya ke Singapura membuat Nathan terguncang mentalnya.
Nathan sampai harus mendapat perawatan dari papa Andi karena sulit sekali memejamkan mata setiap malam.
Pernah selama lima hari Nathan tidak tidur dan terus teringat Danisa berujung menangis tanpa henti.
“Kamu tuh malu-malu in banget, sih! Udah ngehamilin anak orang terus bilang enggak cinta, ceweknya pergi baru kamu nangis-nangis.” Papa Aiden beranjak dari sofa sambil geleng-geleng kepala.
“Lupain Danisa, keluarga kita udah tentram sekarang … jangan sampai kamu buat berantakan lagi.” Papa Aiden pergi keluar dari kamar usai berkata demikian dengan nada tegas dan ekspresi serius.
Keluarga Devabrata dan keluarga dari mama Shaqila telah mengambil keputusan untuk menjaga jarak.
Hanya Aslan yang bisa masuk dan berbaur dengan keluarga Devabrata karena terikat hubungan darah dengan Papa Aiden.
Tapi selama setahun ini Aslan tidak pernah menampakkan batang hidungnya di keluarga Devabrata.
Bahkan ketika Nala dan Aga menikah—Aslan datang keesokan harinya khusus untuk memberikan selamat kepada adiknya itu.
Aslan membuat nyata ancamannnya kepada Sydney saat pernikahan mereka batal setahun lalu.
Sekarang Aslan menyayangi Nala, sering sekali mereka berkomunikasi melalui chat dan komunikasi mereka selalu berisi perhatian Aslan kepada Nala apalagi ketika Nala sedang hamil.
Mama Raisa mengusap kepala putranya lembut.
“Mama punya nomor telepon Danisa, kamu mau chat dia enggak?” Mama Raisa berbisik yang masih bisa terdengar oleh Sydney dan Nala.
Keduanya pun menoleh dengan sorot mata penuh peringatan pada mama Raisa.
“Hanya agar Nathan bisa minta maaf dengan benar dan Danisa memaafkan Nathan juga dengan benar jadi Nathan enggak ngerasa bersalah terus dan bisa moveon.” Mama Raisa menjelaskan niatnya.
“Nanti ribet lagi Ma, udah enak kaya gini …udah lah, Kak … lo kondisikan hati sama pikiran lo buat moveon … masa Sydney aja bisa, lo enggak bisa.”
Kata siapa Sydney sudah bisa moveon?
Sejujurnya Sydney masih belum bisa moveon tapi kehangatan juga kebahagiaan keluarga yang ia rasakan mampu sedikit menekan rasa sakit, kecewa dan rindunya pada Aslan.
Mama Raisa melipat bibirnya ke dalam, mengusap lagi kepala Nathan dengan penuh kasih sayang.
Mama Raisa merasa kalau maaf saja tidak cukup, jadi meski sudah berulangkali beliau dan suami meminta maaf pada mama Shaqila dan Papa Andi juga pada Danisa secara langsung tapi tidak bisa mengembalikan apa yang telah rusak di diri Danisa.
Nathan telah menyesali semuanya dan sekarang sangat menderita dengan keputusan Danisa.
Mama Raisa hanya ingin Nathan dan Danisa saling memaafkan, melupakan dendam agar masing-masing dari mereka bisa hidup bahagia ke depannya.
Ceklek.
Pintu yang dibuka dari luar membuat mereka semua menoleh.
Grandpa dan grandma masuk menghasilkan senyum bahagia menantu dan semua cucunya.
“Hallo cicit grandma.” Grandma mendekati Sydney yang masih menggendong Dewa.
Punggung jarinya mengusap pipi Dewa.
Kondisi grandma semakin membaik, walau sekarang keluarganya tidak seperti dulu tapi grandma mengerti kalau memang ini lah yang terbaik, beliau mencoba menerima dan mulai terbiasa.
“Aiden mana?” Grandpa bertanya setelah semua bergantian menyalaminya.
“Tadi keluar, Pa … mungkin ngerokok.” Mama Raisa yang menjawab.
Grandpa menganggukan kepala lalu menepuk pundak Nathan.
“Nangis lagi kamu karena inget Danisa, iya?” Grandpa bertanya bermaksud meledek melihat wajah masam Nathan.
Nathan tidak menjawab tapi raut wajah nelangsanya menjawab pertanyaan grandpa.
“Ya sudah, mungkin ini yang terbaik.” Grandpa menepuk pundak Nathan lagi.
“Danisa juga udah bahagia di sana, hidup sama Abang yang disayanginya … itu yang sangat dia inginkan selama ini.” Grandma menimpali, menghampiri Nathan kemudian duduk di sampingnya setelah tadi mama Raisa beranjak untuk memberikan tempat.
Mama Raisa gantian ingin menggendong Dewa.
Sydney menyerahkan Dewa pada mama Raisa lalu duduk di samping grandpa sementara mama Raisa duduk di singlesofa sambil menggendong Dewa.
“Gitu ya, grandma?” Nathan melirih.
“Iya, jadi kamu juga harus bahagia …,” jawab grandma memberi semangat.
“Oh ya, kamu jadi pergi ke Swiss?” Grandpa teringat cuti yang diajukan Sydney kemarin.
“Jadi donk.” Sydney menjawab dengan binar di matanya.
“Sama siapa?” Nala dan Nathan kompak bertanya.
“Sendirian, aku mau heeling.” Sydney menjawab jumawa.
“Gaya-gayaan kamu mau heeling segala, yang pasien dokter Andi ‘kan aku, kenapa kamu yang heeling?” Nathan bersungut-sungut.
Kenapa semua meremehkan patah hati yang dialaminya?
Apa karena mereka tidak tau sejauh mana hubungannya dengan Aslan?
Mereka pernah berhubungan badan dan hal itu semakin membuat Sydney mencintai Aslan.
Lalu harus merelakan pria itu demi kebahagiaan dan keutuhan keluarga.
Walau bibir Sydney tersenyum tapi hatinya hancur lebur.
Sungguh, tidak ada satu pun yang mengerti dirinya.
“Makanya heeling juga donk.” Sydney mencibir.
“Kalau si Nathan itu bukan heeling tapi harus di ruqiyah,” celetuk Nala membuat semua tertawa.
“Oh … oke, oke … sebentar, ini keponakan lo ….”
Aga masuk ke dalam kamar rawat Nala sambil memegang ponsel di depan wajah seperti sedang melakukan panggilan video.
Menyempatkan menyalami grandpa dan grandma yang baru saja datang lalu mendekat pada mama Raisa.
“Ma, boleh Dewanya digendong Nala sebentar … ini Aslan mau ngomong sama Nala sambil liat Dewa.” Aga memelankan suaranya, meminta tolong pada mama Raisa.
“Oh boleh … boleh, mana Mama mau ngomong juga sama Aslan,” kata mama Raisa sambil beranjak dari sofa.
Aga menghadapkan layar ponselnya pada mama Raisa.
“Bang … sehat?” Mama menyapa seraya melangkah mendekati ranjang Nala.
“Sehat Ma … Mama sehat?” Aslan menyahut dan suara beratnya mampu membuat hati Sydney berdesir ngilu.
Kejadian satu tahun lalu mengubah Aslan menjadi anak dan kakak yang baik.
Aslan membuka hati untuk orang- orang yang menyayanginya.
Hubungannya dengan mama Shaqila pun sekarang sangat dekat.
Setiap hari mereka selalu bertukar kabar.
“Sehat, sayang … Danisa sama Amel apa kabar?” Mama Raisa bertanya lagi.
Mama Raisa tahu kalau Aslan, Amelia juga Danisa tinggal di satu apartemen yang sama di Singapura.
“Baik juga, Ma ….”
“Katanya kamu mau ke Jakarta?”
“Iya Ma, tunggu Danisa libur kuliah dulu biar sekalian liburan di sana … kayanya minggu depan.”
“Abang nginep di rumah mama, kan? Mama siapin kamar ya?”
“Boleh, Ma … tapi Abang sama Flo juga.”
Deg!
Hati Sydney terasa diremat oleh tangan besar tak kasat mata.
“Oke, Mama siapin dua kamar tamu ya.”
“Makasih Ma ….”
“Ya sayang, sehat-sehat di sana ya.”
“Mama juga ….” Aslan memberi jeda.
“Sama Papa,” sambungnya ragu.
Karena Papa Aiden yang paling Aslan benci jadi cukup sulit untuk memperbaiki hubungan dengan beliau apalagi Papa Aiden yang terkadang tidak bisa kooperatif dan bersikap menyebalkan.
Mama Raisa tersenyum hangat lalu memberikan Dewa pada Nala.
“Bang … beliin jumper Gucci ya buat keponakannya.” Nala tanpa segan meminta.
“Flo udah beliin yang Versace …,” kata Aslan memberi tahu.
Flo lagi Flo lagi.
“Oh ya udah, Terimakasih …,” kata Nala karena melihat kedipan mata Aga yang memberi kode.
Aga terluka egonya karena sang istri meminta barang-barang mahal pada Aslan.
Ia masih mampu belikan semua itu untuk istri dan putranya.
Perbincangan antara Aslan dan Nala juga Aga melalui video Call masih berlanjut.
Sekarang Aga sedang menceritakan drama ketika Nala hendak melahirkan.
“Temenin grandpa cari kopi, yuk.”
Grandpa yang menggenggam tangan Sydney beranjak berdiri.
Sydney ikut berdiri, menoleh pada grandma meminta ijin.
Grandma mengangguk sambil tersenyum penuh arti karena tahu niat suaminya membawa Sydney agar tidak mendengar lebih banyak percakapan Aslan dengan keluarganya.
Jadi, sebenarnya masih ada yang mengerti perasaan Sydney.
Sydney melingkarkan tangan di lengan grandpa, keluar dari ruang rawat Nala kemudian mereka berdua menyusuri lorong.
“Apakabar kamu, sayang?” Grandpa bertanya padahal setiap hari mereka bertemu.
Sydney tahu kabar yang dimaksud Grandpa, yaitu hatinya.
“Lagi berusaha untuk melupakan.” Sydney menjawab.
“Enggak perlu tergesa-gesa … dengan seiring waktu pasti kamu pasti bisa berdamai sama keadaan.”
Sydney mengangguk setuju. “Makanya tadi Sydney enggak pergi waktu dengar suara bang Aslan dari telepon bang Aga … Sydney harus hadapi.”
Grandpa mengangguk setuju sambil menepuk-nepuk punggung tangan Sydney yang melingkar di lengannya.
“Makasih ya Sydney, kamu berkorban sangat banyak untuk keutuhan Devabrata.”
Sydney tersenyum, memeluk lengan grandpa dan menempelkan kepalanya di sana.
“Keluarga lebih penting,” kata Sydney parau.
Sesungguhnya kepergian Sydney ke Swiss adalah untuk menghindari kedatangan Aslan ke Jakarta.
Ia mendengar dari Nala kalau Aslan mengambil cuti dan akan datang ke Jakarta setelah Danisa libur kuliah.
Sydney mencari tahu kapan Danisa libur kuliah dan setelah mengetahui tanggalnya ia langsung mengajukan cuti.
Kalau hanya suara saja mungkin Sydney masih bisa bertahan menghadapinya tapi kalau bertemu—Sydney khawatir keteguhannya goyah.
Dan mendengar Aslan menyebut nama Amelia terus membuat Sydney berpikir jika hubungan Aslan dan Amelia sudah memiliki kejelasan.
Sydney ikut senang karena tahu abangnya bersama orang yang tepat, orang yang bisa mengurusnya dengan baik.
Ia juga harus segera mendapat seseorang yang bisa menggantikan Aslan di hatinya.
Semoga di Swiss nanti ia mendapatkan jodoh.
***
“Hei.”
Amelia terhenyak tatkala suara berat Aslan berbisik di telinganya disusul lingkaran tangan kekar pria itu di pinggang.
Cup.
Ia juga mendapat kecupan di pipi dari Aslan.
“Aku lagi masak, bentar lagi Danisa bangun … kamu mandi dulu sana.”
Tapi Aslan malah mengeratkan pelukan, membenamkan wajah di pundak Amelia.
“Hari ini aku meeting sama tuan Gerry … kamu enggak usah ikut ya.”
“Kenapa?” Amelia menoleh membuat bibirnya begitu dekat dengan bibir Aslan kemudian pria itu mengecupnya sekilas.
“Dia pernah minta kamu tidur sama dia untuk memuluskan kerjasama bisnis ini, kalau bukan klien potensial udah aku jait mulutnya.”
Aslan melepaskan Amelia yang terkekeh mendengar gerutuannya.
“Makanya mbak Amelnya segera dinikahin biar semua tahu kalau mbak Amel itu milik bang Aslan,” celetuk Danisa sambil menuruni tangga.
Amelia menggelengkan kepala. “Aku milik kamu, cukup hati kita aja yang tahu.”
“Tuh … dianya yang enggak mau,” tuduh Aslan pada Amelia lalu duduk di kursi meja makan di depan Danisa yang sudah duduk lebih dulu di sana.
Karena Amelia sadar diri kalau dirinya hanya obat dari patah hati Aslan terhadap Sydney.
Amelia tidak akan menerima lamaran Aslan sebelum pria itu benar-benar melupakan Sydney.
Aslan memang sedang berusaha keras untuk menerima kenyataan dirinya tidak bisa bersama Sydney.
Menjadikan Amelia sebagai alat untuk melupakan Sydney pun memang benar.
Ia berusaha mencintai Amelia Flora untuk menggantikan Sydney di hatinya sambil menunggu Sydney mendapatkan kebahagiaan.
Aslan berniat menikahi Amelia setelah Sydney menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya.
“Abangnya kali yang masih inget sama Sydney jadi mbak Amelnya enggak mau.”
“Udaaah, sarapan dulu … nanti kamu telat ke kampus, katanya kamu mau meeting untuk membentuk panitia penerimaan mahasiswa baru.” Amelia menengahi seraya menyodorkan semangkuk sarapan untuk Danisa.
Danisa tersenyum lebar dengan matanya yang berbinar.
“Waaa … masakan mbak Amel memang yang terbaik.”
“Punya aku mana?” Aslan merajuk.
“Ini sayang … ini, sebentaaaar.” Amelia kembali dengan dua mangkuk di tangannya.
Mereka duduk bertiga dalam satu meja, mempersiapkan diri untuk memulai hari dengan sarapan pagi yang sesekali dibumbui tawa dan canda.
Tidak bisa Aslan pungkiri bila hidupnya sekarang terasa lebih baik dan bermakna.
Chapter 36
Ini adalah perjalanan pertama Sydney seorang diri ke Benua Eropa.
Sydney jatuh cinta pada desa wisata Lauternbrunnen ketika pertama kali ia melihat keindahannya di Instagram milik salah satu selebgram yang tengah liburan ke desa wisata tersebut.
Dari situ, Sydney mencari tahu segala sesuatu tentang desa itu dan ingin menghabiskan banyak waktu, menghilangkan penat dan sesak di dadanya yang selama satu tahun ini membelenggunya.
Sydney bersyukur tidak perlu ada drama dari keluarganya ketika meminta ijin untuk pergi ke Lauterbrunnen sendirian.
Meski mami dan grandma tampak khawatir apalagi papi yang berulang kali memastikan segala akomodasi dan transportasi tapi mereka berusaha mempercayakan semua pada Sydney.
Keluarganya akhirnya mengerti kalau Sydney butuh waktu sendiri untuk menenangkan hati dan pikiran.
Langkah Sydney terayun di Bandara Zurich sambil menarik koper.
Kepalanya pening setelah menghabiskan delapan belas jam empat puluh menit di dalam pesawat.
Ia butuh caffein untuk menstimulasi kerja jantungnya dan memperlancar peredaran darah keseluruh tubuh.
Sydney masuk ke dalam coffeshop, memesan satu gelas Americano lalu mencari tempat duduk untuk memeriksa jadwal keberangkatan kereta yang akan membawanya ke Lauterbrunnen.
Ia hanya memiliki waktu satu jam lagi untuk tiba di stasiun kereta.
Jadi Sydney bergegas menghabiskan kopinya agar tidak tertinggal kereta.
Setibanya di stasiun, kereta telah menunggu dan Sydney langsung masuk dibantu porter untuk membawakan koper.
Porter itu juga yang menunjukkan kursi Sydney sebagaimana yang tertera di tiket.
Sydney kecewa karena tidak mendapat kursi yang dekat jendela.
Dan kekecewaan itu terlihat jelas di wajahnya, sementara seorang turis—gadis muda—yang duduk di sampingnya di dekat jendela begitu bahagia dengan mata berbinar menatap ke luar jendela yang menyajikan pemandangan pegunungan Alpen.
“Permisi?” tegur Seorang pria membuat Sydney terhenyak.
Ia pun menoleh. “Ya?”
“Apa kamu ingin duduk dekat jendela?” tanya pria yang berdiri menjulang di samping Sydney.
Sydney mengangguk sambil tersenyum.
“Kita bisa bertukar tempat duduk, kebetulan kursi ku di samping jendela … sedari tadi aku melihatmu memberengut, merusak pemandangan.”
Sydney tergelak kemudian mengulurkan tangan.
“Saya Sydney … saya dari Indonesia.”
Pria itu menyambut tangan Sydney.
“Saya William … saya dari Lauterbrunnen.”
“Ah … pantas saja mau bertukar tempat duduk, kamu sudah terbiasa dengan pemandangan ini.” Sydney mengaitkan tasnya di pundak kemudian berdiri.
“Ya … selama tiga puluh tiga tahun aku menikmati pemandangan ini, sekarang giliran kamu.” William membantu Sydney untuk menyebrangi lorong dan duduk di kursinya.
“Terimakasih,” kata Sydney yang begitu senang, terlihat jelas di matanya yang indah.
William mengangguk lantas tersenyum, ia terbiasa memberikan kursinya—bila kebetulan mendapat kursi di dekat jendela—kepada turis setiap kali pulang kampung.
Menurutnya juga pemandangan selama dua jam setengah dari Zurich ke Lauterbrunnen adalah yang paling indah dan para turis berhak menikmatinya jika berkunjung ke sini.
Baru satu jam menikmati pemandangan sambil tertakjub-takjub, perut Sydney mulai lapar.
Ia beranjak berdiri kemudian menyusuri lorong menuju kereta makan.
Sydney mencari sesuatu yang bisa menghangatkan perutnya.
Kebetulan masih ada satu meja kosong tersisa, Sydney langsung duduk di sana, di dekat jendela dan memanggil awak kereta untuk melayani.
“Menu apa yang khas di sini? Aku mencari yang hangat, seperti sup atau—“
“Kamu harus mencoba cheese fondue,” sambar seorang pria dari belakang punggung Sydney membuat Sydney menoleh.
“William ….” Sydney bergumam.
“Cheese fondue, dua dan coklat panas dua untuk aku dan wanita ini.” Pria itu duduk di depan Sydney usai mengatakan pesanannya pada awak kereta.
“Boleh aku duduk di sini, kan?”
Setelah duduk dan seenaknya memilihkan pesanan makanan juga minuman untuk Sydney—pria itu baru meminta ijin.
“Karena tidak ada lagi kursi kosong … jadi, ya … kamu boleh duduk di sini.”
William tersenyum senang.
“Saya lihat kamu sendirian, apa sedang melarikan diri?” William bertanya kemudian.
Sydney selalu diajarkan untuk tidak langsung percaya pada orang baru apalagi sekarang ia sedang bepergian sendiri.
Tapi alasannya berani bepergian sendiri ke Swiss adalah karena Swiss termasuk tempat teraman di dunia.
Dan ketika kejahatan ganjil dilakukan, biasanya dilakukan oleh orang asing.
Penduduk setempat di Swiss menjaga suasana tetap tenang tanpa kekerasan.
Jadi, ketika William bersikap ramah padanya—Sydney tidak memiliki alasan untuk bersikap sebaliknya.
“Ya … bisa dibilang begitu,” jawab Sydney bersama hembusan napas berat.
William tersenyum lagi.
Jujur, William mengingatkan Sydney pada Sagara.
Mantan tunangannya yang bule itu juga sangat ramah dan sering tersenyum, bukan hanya itu Sagara juga sangat … menyayanginya.
“Lauterbrunnen memang sering dijadikan tempat pelarian apalagi dalam hal asmara,” pancing William untuk mengetahui Sydney melarikan diri dari apa.
Sydney tersenyum, pupil matanya membesar memberitau William bila Sydney memang sedang patah hati.
“Berarti aku tidak salah menjadikan Lauterbrunnen sebagai pelarian.”
“Yup!”
Keduanya lantas tertawa.
“Menginap di mana selama di Lauterbrunnen?”
Ih, si William ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi ya.
“Di Breithorn.” Sydney menjawab cepat.
Punggungnya menegak karena seseorang sedang mengantar pesanan mereka.
“Itu tempat menginap paling bagus di Lauterbrunnen.” William bergumam.
Tentu saja, mana tega papinya membiarkan Sydney tidak nyaman selama masa heeling.
Meskipun papi berada di Australia tapi beliau yang menyiapkan segala akomodasi dan transportasi bagi Sydney selama di Swiss.
“Kalau butuh teman, aku akan menemanimu … kebetulan aku juga sedang pulang kampung, aku memiliki banyak waktu luang.”
“Terimakasih.”
William mengangguk. “Kamu harus coba cheese fondue ini … kamu pasti ketagihan.”
“Oke, kita coba … seenaknya apa sih cheese fondue ini?” ujar Sydney menantang menghasilkan tawa renyah William.
Sydney menikmati cheese foundue beserta coklat panas yang dipesan William.
Pria itu yang mentraktir Sydney katanya traktiran persahabatan.
Sydney juga menikmati berbincang dengan William.
William banyak bercerita tentang sejarah dan keindahan alam Lauterbrunnen.
Banyak yang Sydney ketahui segala sesuatu tentang desa wisata itu dari William padahal selama sebulan ia melakukan pencarian tentang Lauterbrunnen sampai hapal berapa jarak dari stasiun ke hotelnya.
Kata William, selain Lauterbrunnen masih banyak desa wisata lain yang harus Sydney kunjungi dan dia bersedia untuk mengantar Sydney.
Sydney berjanji akan menghubungi William jika ia ingin jalan-jalan karena untuk sekarang Sydney hanya ingin menikmati hotel mewah yang dipesan papi untuknya.
Sydney ingin tidur selama dua hari … mungkin, dan mudah-mudahan ketika bangun ia sudah bisa melupakan Aslan.
Sydney tiba di hotel tepat ketika matahari berada di atas kepala, proses checkin-nya tidak sulit.
Seorang karyawan hotel langsung mengantar Sydney ke kamar.
Ternyata kamarnya sangat nyaman dengan pemandangan air terjun Staubbach yang indah.
Sydney melepas genggaman tangannya dari handle koper kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk.
Mata Sydney terpejam erat, selama hampir dua puluh empat jam ia tidak bisa tidur dengan benar meski menggunakan fasilitas eksclusive di pesawat tapi tetap saja tidurnya tidak nyenyak.
Belum lagi sepanjang perjalanan dalam kereta dihabiskannya mengobrol dengan William.
Jadi Sydney putuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya dulu agar besok ia bisa menikmati desa wisata ini dengan tubuh yang segar.
Hari sudah beranjak malam ketika Sydney bangun dari tidurnya yang sangat nyenyak.
Sydney masih menggunakan sepatu, celana jeans bahkan coat-nya.
Sydney mendudukan badan, menangkup wajah selama beberapa detik kemudian mengembuskan napas panjang.
“Laper …,” gumam Sydney seraya turun dari atas ranjang.
Ia akan makan malam di restoran hotel setelah mandi nanti.
Bisa dibilang sudah dua hari dia belum mandi semenjak dari Jakarta dan melakukan perjalanan hampir dua puluh empat jam hingga tiba di sini dan langsung tidur pulas.
Kamar mandi hotel itu cukup luas, ada fasilitas bathub tapi karena perut Sydney yang tidak bisa diajak kompromi lagi maka ia memutuskan mandi menggunakan shower.
Setelah mengggunakan pakaian baru dan memoles sedikit wajahnya dengan bedak dan lipgloss agar tidak terlihat pucat dan menyedihkan—Sydney menyambar long coat lalu keluar dari kamar.
Ia mendapat kamar di lantai satu dengan teras dan tempat parkir pribadi.
Perlu berjalan sedikit jauh untuk tiba di restoran yang berada di gedung utama Hotel.
Sydney mengeratkan kedua sisi longcoat, udara semakin dingin di malam hari.
Ia menyusuri jalan setapak yang tembus ke area utama hotel.
Cukup sepi malah sangat sepi, membuat suasana horor apalagi penerangan sangat minim.
Dari jauh Sydney melihat seorang pria berjalan berlawanan arah dengannya, sepertinya pria itu baru saja dari resto dan akan kembali ke kamarnya karena melihat pakaian yang dikenakan pria itu—Sydney bisa menebak kalau dia adalah turis, sama sepertinya.
Tapi Sydney belum bisa melihat wajahnya karena jarak mereka yang terlalu jauh.
Pria itu begitu menyita perhatian Sydney, cara berjalannya, postur tubuhnya dan rambutnya seperti pria yang Sydney kenal.
Sydney kembali teringat Sagara.
Tidak sedikit pun terbesit dalam benaknya untuk menghubungi atau menjalin hubungan kembali dengan Sagara karena Sydney merasa kini ia sudah tidak pantas untuk pria sempurna seperti Sagara.
Langkah Sydney dan pria itu kian dekat, entah kenapa jantung Sydney berdebar sangat kencang.
Tatapan Sydney terpaku pada pria itu, begitu penasaran bagaimana wajah pria yang memiliki tubuh mirip Sagara.
Kemudian ekspresi wajahnya berubah pucat, matanya membulat dan rahangnya nyaris jatuh ke pavingblock.
Sydney segera mengendalikan diri, ia memungkiri penglihatannya sendiri karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Kemungkinannya sangat kecil Sagara bisa ada di sini.
Mungkin hanya halusinasinya saja karena tadi ia mengingat Sagara dan kebetulan suasana begitu sepi dan mencekam sehingga ia berharap bertemu seseorang dalam perjalanannya ke resto.
Tapi pria itu kemudian menghentikan langkah, ekspresinya sama seperti Sydney—bukan lagi terkejut tapi syok.
“Sydney ….,” gumam Sagara dan dari sana Sydney tahu kalau ini bukan mimpi atau halusinasi atau harapannya saja.
Ini nyata, Sagara berada di Swiss di desa wisata Lauterbrunnen dan sedang berdiri tepat di depannya.
“Saga ….” Sydney balas bergumam.
***
Bibir Sagara seolah lupa bagaimana caranya berhenti tersenyum.
Berulang kali ia melipat bibirnya ke dalam untuk menghentikan senyumnya agar Sydney tidak merasa risih tapi ia selalu gagal.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Ada yang aneh di wajah aku?”
Tuh ‘kan, Sydney protes.
“Mungkin terlalu senang karena bertemu kamu di sini.” Sagara menjawab jujur.
Sagara yang baru saja menyelesaikan makan malamnya harus kembali ke resto karena katanya Sydney berniat ke sini untuk makan malam.
Setahun lebih mereka tidak bertemu dan Sagara sangat penasaran kenapa Sydney bisa ada di sini sendirian jadi Sagara berinisiatif menemani Sydney.
Sydney mendengkus lalu kembali menekuni makan malamnya.
Sagara dengan sabar menunggu Sydney menyelesaikan makan malam.
Kopi di gelasnya hampir habis ketika Sydney meletakan garpu dan pisau di atas piring lantas meminta makanan penutup kepada pelayan.
Sagara mengamati gerak-gerik Sydney, gadis itu seperti tidak terkejut melihatnya di sini.
Apa kedua orang tuanya meminta Sydney agar menyusulnya ke sini.
“Papi cerita apa aja sama kamu?” celetuk Sydney bertanya.
Sagara mengerutkan keningnya bingung.
“Maksud kamu?”
“Kamu ada di sini pasti karena papi, kan? Papi yang kasih tahu kamu kalau aku liburan sendirian di sini.”
Mata Sydney memicing penuh curiga lalu berubah kesal saat Sagara malah tergelak.
“Aku baru aja mau nanya hal yang sama ke kamu, apa mama atau papa yang kasih tahu kamu kalau aku liburan sendiri ke sini dan meminta kamu datang menemani aku?”
Sydney menatap Sagara bingung sampai sendok yang hendak ia masukan ke dalam mulut melayang di udara.
Lalu Sydney meletakannya di atas mangkuk dessert.
“Kamu Beneran enggak tahu kalau aku liburan sendiri ke sini?” Sydney mencondongkan tubuh, raut wajah cantiknya tampak serius.
Sagara menganggukan kepala penuh keyakinan.
“Semenjak pembatalan pertunangan kita, aku memang pindah ke Australia … menjadi CEO Palmer Corp di sana dan papa yang menjalankan perusahaan di Jakarta tapi aku jarang bertemu dengan papi kamu … apalagi bertanya tentang kamu, aku sedang melupakan kamu … kalau aku tanya-tanya tentang kamu, nanti aku gagal moveon.”
Sydney menundukan pandangannya menatap mangkuk dessert kemudian melanjutkan apa yang ia tinggalkan tadi.
“Sorry ….” Sagara melirih, merasa kalau ia telah salah bicara karena ekspresi wajah Sydney berubah sendu.
“Aku yang harusnya minta maaf,” balas Sydney matanya masih tertuju pada dessert khas Lauterbrunnen.
“Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini sendiri? Ke mana Aslan?” Sagara bertanya hati-hati.
“Kami memutuskan untuk berpisah ….” Sydney mendongak menatap Sagara.
Pria itu terlihat terkejut.
“Kapan?”
“Setahun yang lalu.”
Sagara tidak lagi bersuara, ia menatap Sydney lamat-lamat.
“Setelah aku dan kamu berpisah … aku memiliki hubungan yang tidak jelas dengan bang Aslan … keluarga Devabrata menentang keras pernikahan antar sepupu … lalu musibah datang … kak Nathan menghamili Danisa—“
“Nathan adiknya Aslan dari om Aiden?” Sagara bertanya.
“Iya … dan Danisa, adik bang Aslan dari mama Shaqila.”
“Waw ….” Kedua alis Sagara naik karena terkejut, lalu bersandar punggung seraya melipat kedua tangan di dada.
“Karena kak Nathan harus menikahi Danisa, otomatis keluarga Devabrata mendobrak aturan … dan aku jadi bisa menikah dengan bang Aslan.”
Sagara mengangguk, matanya belum lepas dari Sydney—menunggu Sydney menceritakan semuanya.
“Tapi bukannya bahagia, aku dan Bang Aslan malah merasa terbebani … kita tahu mereka hanya pura-pura bahagia untuk kita lalu grandma sempat koma karena Danisa hampir kehilangan nyawa pada saat menggugurkan kandungannya … ditambah mungkin karena pernikahan aku sama bang Aslan … jadi akhirnya kami memutuskan untuk enggak bersama seperti yang seharusnya ….” Sydney menjeda.
Menghirup udara dalam dan mengembuskan perlahan.
“Bang Aslan pindah ke Singapura membawa Danisa … hubungan keluarga Devabrata dan mamanya bang Aslan tetap baik tapi terbatas, tidak seperti dulu lagi … walau kita memutuskan untuk enggak bersama bukan berarti kita bisa seperti sepupu pada umumnya, aku dan bang Aslan sepakat untuk enggak saling ketemu sampai kita benar-benar bisa saling melupakan.”
Sagara menegakan tubuh, tangannya meraih tangan Sydney yang kemudian ia genggam dengan kedua tangannya.
Bukan maksud menggoda Sydney tapi perlakuan Sagara itu lebih kepada menenangkan Sydney.
“Aku sengaja datang ke sini sindirian selain untuk heeling juga menghindari bang Aslan datang ke Jakarta … Nala baru saja melahirkan dan bang Aslan mengambil cuti untuk liburan di Jakarta bersama Danisa dan … Amelia.” Suara Sydney mengecil diakhir kalimat.
“Amelia yang sekertarisnya itu? Yang dulu dia akui sebagai kekasihnya?”
“Iya.” Suara Sydney berbisik ketika menjawab, terdengar seperti ada sesak yang menghimpit dadanya.
“Jadi, kamu ke sini untuk ngelupain Aslan?”
Sydney tersenyum tipis kemudian mengangguk.
“Bisa dibilang begitu,” jawabnya kemudian.
“Mau aku bantu buat ngelupain Aslan?” Sagara bertanya sambil tersenyum lebar.
Sydney langsung menarik tangannya, ia berubah defendsif.
“Kenapa?” Sagara jadi bingung.
“Aku bukan aku yang dulu Saga, aku enggak pantas untuk siapapun … bukan aku ge’er ya, tapi jangan berharap apapun sama aku, kamu bisa dapetin yang lebih baik dari aku.”
Sagara mengembuskan napas, raut wajahnya tampak lega.
Mungkin tadi ia berpikir terlalu jauh tentang perubahan sikap Sydney yang tiba-tiba menjadi defendsif.
“Maksud kamu … kamu udah enggak perawan?” tebak Sagara sambil tertawa kecil membuat wajah Sydney berubah masam.
“Ya terus kenapa? Kenapa memangnya kalau kamu udah enggak perawan? Aku enggak tahu gimana tanggapan pria Indonesia mengenai keperawanan tapi aku lahir dan besar di Australia … menganggap itu bukan suatu hal yang penting … yang penting buat aku adalah kamu mencintai aku.” Sagara mengarahkan telunjuknya pada Sydney.
Sydney tertegun, matanya mengerjap cepat.
Sagara tertawa lagi, sejenis tawa bahagia.
“Aku pernah hampir putus asa, Syd … aku pikir aku enggak akan pernah menemukan kebahagiaan lagi setelah berpisah kamu … aku pikir, aku enggak akan pernah mendapatkan kamu lagi ….” Sagara menjeda kalimatnya hanya untuk melepaskan tawa.
“Pantas saja, rencanaku liburan sendiri ke sini untuk melupakan kamu—aku undur terus karena aku sibuk membenahi perusahaan di Sydney … lalu tiba-tiba semuanya menjadi serba santai, target tercapai, profit meningkat, proyek lancar sehingga aku memiliki waktu untuk cuti … ternyata memang sekarang waktu yang pas karena aku bisa ketemu kamu.”
Sydney belum bisa bersuara untuk menanggapi ucapan Sagara barusan karena ia masih mencerna apa yang terjadi sekarang.
Bertemu Sagara lagi di Lauterbrunnen setelah satu tahun membatalkan pertunangan.
Dan pria itu bukannya puas karena mengetahui gagalnya hubungan Sydney dengan Aslan atau memendam kecewa juga dendam, malah ingin bersama Sydney lagi.
“Kayanya memang udah takdir, kalau kamu adalah milikku tapi Tuhan sengaja membuat skenario seperti ini agar kamu dan Aslan bisa menyelesaikan dulu masalah hati di antara kalian.”
Sagara meraih keduan tangan Sydney, menggenggamnya erat.
Tidak ada protes atau penolakan dari Sydney.
“Jadi, mau aku bantu untuk melupakan Aslan?” Sagara tersenyum, kedua alisnya naik turun menghasilkan kekehan Sydney yang raut wajahnya sudah tidak setegang tadi.
Chapter 37
“Syd … Sydney!” Sagara berteriak memanggil Sydney yang meninggalkannya ketika sedang membayar tagihan makan malam di kasir.
Pria itu melangkah tergesa menyusul Sydney ke jalan setapak di mana mereka bertemu tadi.
“Enggak, Saga … aku enggak mau, enggak adil buat kamu.”
Sydney mengulang jawabannya, ia tidak ingin memanfaatkan Sagara meski Sagara sendiri yang menawarkan diri untuk membantunya melupakan Aslan.
Meski hatinya jumpalitan ketika bertemu pria itu—mungkin karena masih ada rindu—tapi Sydney tidak tega.
Sagara harus mendapat yang lebih baik darinya, Sydney sudah rusak jadi antara ia tidak menikah hingga tua atau mendapat pria brengsek yang sudah tobat.
“Ayo lah, Syd … jangan menolak takdir Tuhan, kamu udah melakukannya sekali waktu memaksakan diri sama Aslan.”
Ada tawa pelan usai Sagara menyelesaikan kalimatnya.
Sydney terus melangkah, lebih cepat agar Sagara tidak berhasil menyusulnya.
“Enggak Saga, aku bilang enggak ya enggak … kamu jangan ikutin aku.”
“Aku enggak ngikutin kamu, ini jalan arah ke kamar aku … kamu lupa kalau kita ketemu di sini tadi.”
Sydney menoleh ke belakang kemudian berlari menuju kamarnya.
Sagara mengejar, pria itu tersenyum lebar.
“Syd, kita ada di Swiss bukan di India … ngapain main kejar-kejaran sih?”
“Siapa suruh kejar aku? Kamu ke kamar kamu aja.”
Sydney menghentikan langkah di teras kamarnya, ia membungkuk menumpu telapak tangan pada lutut.
Napas Sydney memburu, kelelahan setelah berlari dari resto tadi.
“Kamar kamu di sana?” Sagara bertanya saat kakinya menginjak teras di kamar sebelah kamar Sydney.
Tubuh Sydney menegak, matanya membulat, tampang melongonya begitu menggemaskan.
Ingin sekali Sagara mencium setiap jengkal wajah Sydney saat ini juga.
“Jangan bilang kalau kamar kamu di sana.” Sydney menatap ngeri ke arah pintu kamar Sagara.
“Memang kamar aku di sini, tadinya di gedung utama hotel tapi aku minta pindah ke sini kemarin.” Sagara merasa harus menjelaskan agar Sydney percaya kalau semua ini adalah kebetulan.
Semua ini adalah takdir yang sudah ditulis Tuhan untuk mereka.
Sydney menggelengkan kepalanya. “Enggak, ini pasti ulah papi.” Sydney bergumam.
Sydney membuka kunci kamar, menekan handle-nya kemudian masuk kendalam kamar tanpa mengucapkan kata perpisahan kepada Sagara.
“Syd … hey.” Sagara kemudian tersenyum.
“Aku enggak akan lepasin kamu lagi, Syd … enggak akan.” Sagara berjanji di dalam hati.
Di dalam kamar, Sydney mencari ponselnya … ia harus meminta penjelasan papi.
Sydney menempelkan ponsel ke telinga, ia menunggu panggilannya tersambung.
“Hallo?” Suara berat papi menyapa.
“Papiiiii.” Sydney menjerit.
Di ujung panggilan sana papi menjauhkan ponselnya dengan mata terpejam.
“Syd … are You oke?” Papi langsung menegakan punggung.
Menghela selimut kemudian turun dari tempat tidur.
“Papi yang kasih tau Saga kalau Sydney liburan ke Lauterbrunnen, ya?” tebak Sydney terdengar emosional.
“Apa? Gimana? Saga? Kata sekertarisnya Saga lagi cuti, memang kenapa? Kamu kangen sama dia?”
Berhubung papi baru bangun tidur, nyawanya belum kumpul jadi pertanyaannya ke mana-mana.
Sydney mencebikan bibir kesal.
“Saga ada di Lauterbrennen, kamar dia ada di sebelah kamar Sydney … pasti papi ikut andil mengkondisikan kita ketemu di sini, kan?”
“Pi … siapa?” Suara mami terdengar oleh Sydney.
Papi mengaktifkan mode loudspeaker agar mami juga ikut mendengar percakapannya dengan Sydney.
“Hey sayang, belum tidur kamu? Kami baru mau bangun ini … makasih ya udah bangunan kami sepagi ini, kalau kamu enggak telepon … mungkin kita udah kesiangan.”
Mami sedang bersarkasme.
Sydney mengusap wajahnya, baru ingat kalau di sana baru pukul empat atau lima pagi karena perbedaan waktu sembilan jam di antara mereka.
“Sorry ganggu kalian tapi Sydney serius ya, Pi … Papi ‘kan yang mengkondisikan agar Sagara bisa liburan sama Sydney di sini? Soalnya Papi yang pesen hotel.”
“Apa? Sagara ada di sana?” Mami terkejut.
“Sayang … mami enggak mau tau ya, kamu enggak boleh macem-macem sama Saga di sana … oke … iya, Mami tau kamu lagi butuh pelampiasan untuk lupain cinta kamu tapi tolong … tolong! Seenggaknya kamu pakai pengaman ….”
Ini kenapa Sydney lebih suka curhat sama papi, karena pikiran mami selalu dua atau tiga langkah di depan.
Sebelum Sydney berpikir seperti itu, mami sudah lebih dulu memiliki pikiran itu.
“Mi … udah mi … dengerin dulu, mami diem dulu.” Papi meletakan telunjuknya di depan bibir.
Papi berhasil membuat mami terdiam dan mungkin mami akan diam sampai besok jika dilihat dari delikannya barusan.
“Sayang … papi sama sekali enggak tahu tentang ini, papi memang memilih hotel itu karena hotel itu yang paling bagus … papi tau hotel itu dari papanya Saga, sebelum beliau pindah ke Jakarta kami ‘kan sobatan … ternyata papanya Saga sering ke Lauterbrennen jadi kemarin itu papi tanya-tanya sama dia … tapi sumpah, Syd … papi enggak tahu apa-apa tentang Saga yang ada di sana … tapi kalau memang kamu ketemu Saga di sana … berarti mungkin memang kalian ….”
Ada jeda cukup lama.
“Jodoh.” Papi melanjutkan dengan suara lebih rendah.
“Tahu ah … Sydney kesal nih … healing Sydney jadi terganggu gara-gara ada Saga.”
Mami merebut ponsel dari papi. “Syd … kesel apa seneng? Ah suka pura-pura.” Mami menggoda Sydney kemudian menyerahkan kembali ponsel pada papi.
Beruntung Sydney hanya sendiri di kamar itu jadi tidak ada yang melihat bagaimana pipi Sydney memerah saat ini.
“Syd … Beneran papi enggak tahu menahu lho masalah itu … coba kamu tanya Saga ….”
“Tanya apa?” Alis Sydney bertaut bingung.
“Tanya … apa dia masih mau sama kamu?” Papi tergelak usai berkata demikian.
“Papiiiiiiii.”
Suara tawa papi kian kencang, papi lega kalau ternyata Sagara ada di sana.
Sydney mematikan sambungan teleponnya sepihak.
Ia melempar ponsel itu ke atas ranjang lalu menjatuhkan tubuhnya di sana.
“Aaaarrrrggghhh!” Sydney menjerit dengan wajah tertutup kedua telapak tangan.
Bila Sydney tengah galau, lain halnya dengan yang terjadi di kamar sebelah Sydney.
Sagara juga menghubungi papanya yang berada di Jakarta.
Ia lebih jahat lagi mengganggu tidur papanya karena di Jakarta saat ini baru jam dua belas malam.
“Ya Saga.” Papa menjawab teleponnya dengan suara serak.
“Pa … Saga mau nikah sama Sydney.”
Tuuut …
Tuuutt …
Sagara melihat layar pada ponselnya yang menunjukkan bila sambungan telepon sudah terputus dengan sang papa.
Sagara kemudian menghubungi papanya kembali.
“Saga, kamu kalau lagi mabuk jangan telepon papa dulu … di sini masih jam dua belas malem papa baru tidur satu jam.”
Suara tegas sang papa terdengar marah.
“Pa … tunggu dulu, Pa … ini Saga serius.”
Papa membangunkan mama, lalu memberikan ponselnya kepada beliau.
“Hallo Saga?” Suara mama terdengar lemah seperti baru bangun tidur.
“Ma … Saga mau nikah sama Sydney.” Sagara setengah merengek mengatakannya.
“Sagaaaa, dulu kamu yang mutusin Sydney … sekarang kamu yang mau nikah sama dia … duuh, mau ditaro di mana muka mama sama papa … beruntung papi maminya Sydney mau nerima waktu dulu kamu ninggalin putrinya … sekarang mama enggak tahu lagi deh … udah, kamu pulang … jangan lama-lama di sana, otak kamu terbiasa bekerja bukannya liburan … jadi korslet ‘kan dipake liburan, sendirian lagi.”
Mama berceloteh panjang lebar dan Sagara malah tertawa.
Demi agar perusahaannya tetap bekerja sama dengan perusahaan Devabrata—Sagara membuat kebohongan bahwa dirinya lah yang ragu dengan hubungannya dengan Sydney dan memutuskan membatalkan pertunangannya dengan Sydney jadi wajar bila mama dan papa kesal mendengar permintaannya sekarang yang tiba-tiba berubah pikiran ingin menikahi Sydney.
“Mabuk kamu ya?” tuduh mama tapi setidaknya mama tidak memutuskan sambungan telepon.
“Iya Ma, Saga mabuk … mabuk cinta.”
Mama mengembuskan napas jengah.
“Pokoknya Saga mau nikah sama Sydney … pulang dari sini Saga mau nikah sama Sydney, mama pendekatan lagi sama maminya Sydney … suruh papa juga baik-baikin papanya Sydney … ya, Ma?”
Mama memijat pelipisnya. “Kenapa sih tiba-tiba kamu ingin balikan sama Sydney?”
“Sydney ada di sini, Ma … di Lauterbrennen … dia lagi healing, sendirian lagi … Saga lagi usaha, mau buat Sydney balikan sama Saga … doain ya, Ma.”
Ini Sagara serius meminta doa sama mamanya.
Setelah setahun nyaris putus asa karena tidak bisa melupakan Sydney, boleh donk kalau sekarang Sagara berharap.
“Kok bisa kalian ketemu di sana?” Mama bergumam kemudian melirik pada papa yang sedang mengulum senyum.
“Enggak tau Ma, kayanya udah takdir … siap-siap dapet cucu ya Ma.”
“Aaarrgghhh … Hey Hey Hey … enggak … enggak kaya gitu, kamu nikah dulu baru mama mau dapet cucu.”
Sagara tergelak. “Bye Ma … i Love You.”
Sagara memutuskan sambungan teleponnya.
Mama memberikan ponselnya pada papa yang kemudian beliau simpan di atas nakas.
“Ini ulah papa ya?” tebak Mama curiga.
“Bisa iya … bisa enggak.” Papa menjawab santai.
“Loh … gimana sih maksudnya?”
“Udaaah, ayo tidur lagi … nanti keriput tidur malem-malem.” Papa menarik tangan mama tapi mama menahan tangannya.
“Jelasin dulu sama mama … mama harus tahu donk, biar nanti mama bisa merekayasa cerita sama maminya Sydney bila diperlukan.”
Papa menegakan badannya, bersandar pada headboard seperti mama.
“Beberapa minggu lalu tuan Arka ngehubungin papa, nanyain hotel bagus di Lauterbrennen … katanya Sydney mau liburan ke sana sendirian … papa pernah cerita kalau kita sering ke sana dulu karena mamanya papa ‘kan orang sana … papa cerita juga kalau di sana pemandangnya indah … terus Papa kasih tahu deh hotel tempat kita biasa nginep … dan saat itu Papa udah tahu kalau Saga juga mau ke sana dan udah booking kamar di hotel itu.”
Mama tertawa sampai menyipitkan matanya.
“Jadi selebihnya memang takdir ya mereka ketemu di sana?”
“Iya … kebetulan aja momen mereka ke sana itu bersamaan, papa cuma lebih mendekatkan mereka aja … kalau satu hotel gitu ‘kan kemungkinan ketemunya lebih besar.”
Mama memberikan kecupan di pipi papa.
“Papa keren deh.” Mama memuji.
Papa tersenyum, mengecup kening mama kemudian membaringkan tubuhnya di samping Mama.
Membiarkan mama memeluk lengannya dan bersandar di pundaknya hingga mereka terlelap.
***
“Ini selimutnya.” Amelia memberikan selimut yang baru diterimanya dari asisten rumah tangga papa Aiden.
Meski di daerah panas, Aslan terbiasa tidur menggunakan selimut.
Aslan yang sedang duduk di sisi ranjang meraih selimut dari tangan Amelia.
“Suhunya udah cukup?” Amelia bertanya sambil mendongak melihat indikator yang tertera pada AC, tangannya memegang remot AC mengatur suhu.
Sampai segitunya Amelia mengurus Aslan.
“Udah … cukup … sini ….” Aslan menepuk ruang kosong di sampingnya.
“Kita lagi di rumah Pak Aiden, bukan di apartemen … kita enggak bisa tidur bareng.”
Amelia mengingatkan siapa tahu Aslan lupa.
“Tidur bareng juga kita enggak pernah ngapa-apain, udah sini … cepetan.”
Aslan memaksa.
Memang benar, semenjak hubungan mereka mengalami peningkatan—dalam artian Aslan dengan sadar memeluk dan mencium Amelia tidak seperti dulu ketika masih tergila-gila dengan Sydney yang bila menyentuh Amelia selalu dilakukannya dalam keadaan mabuk—Aslan dan Amelia tidak pernah melewati batas meski mereka tidur di satu ranjang yang sama.
Amelia mengembuskan napas, merotasi bola matanya tapi tak ayal ia naik ke atas ranjang mengikuti perintah Aslan.
Aslan menarik tangan Amelia agar merebahkan kepala di dadanya.
Tidak lupa hujan kecupan dia berikan di kepala Amelia.
“Pasti kamu sedih ya karena enggak bisa ketemu Sydney.” Amelia bergumam berharap Aslan tidak mendengar.
Ia hanya ingin mengeluarkan apa yang benaknya sedang pikirkan.
“Enggak juga … mungkin dia pergi liburan, itu yang terbaik buat kita.”
Tadi ketika makan malam, Nala memberitau kalau Sydney sedang liburan sendiri ke Swiss.
“Kamu belum berani ketemu dia?” Amelia bertanya lagi.
Aslan tidak menjawab tapi pelukan di tubuh Amelia mengerat.
“Itu berarti kamu belum bisa ngelupain cinta kalian.”
Dan Amelia bergumam lagi.
“Menurut kamu seperti itu?” Aslan malah balik bertanya.
Amelia menganggukan kepala, gesekannya terasa di dada Aslan.
“Kalau kamu bisa menghadapi dia dengan perasan biasa aja, itu berarti kamu udah melupakan cinta kamu sama dia.”
Hening terbentang cukup lama setelah Amelia mengungkapkan pendapatnya.
“Flo ….”
“Hum?” Sebagian roh Amelia sudah masuk ke alam mimpi.
“Kalau aku bisa menghadapi Sydney dengan perasaan biasa aja, kamu mau nikah sama aku?” Aslan serius bertanya demikian.
“Tergantung.” Amelia menggumam.
“Tergantung apanya?”
Aslan menjauhkan sedikit tubuhnya dari Amelia agar bisa menatap wajah cantik sekertarisnya.
“Tergantung … itu perintah atau permohonan.”
Aslan tergelak mendengarnya lantas mengecup kepala Amelia berulang kali.
“Permohonan, Flo.” Aslan menekankan.
Ia kembali memeluk Amelia, begitu erat dampak dari rasa bersyukur yang teramat sangat karena Tuhan menghadirkan wanita itu untuknya.
Amelia adalah sekertaris yang Aslan wawancara langsung ketika baru membentuk perusahaan marketplace-nya.
Saat itu Amelia menceritakan rahasia kelamnya ketika Aslan bertanya tentang masa kecil wanita itu.
Tapi niat Amelia untuk bangkit, hidup mandiri dan menjadi sukses mendapat perhatian Aslan.
Dan ternyata Amelia berdedikasi tinggi, ia selalu bersikap profesional dan tidak pernah terbawa perasaan meski Aslan tahu perasaan Amelia hancur lebur ketika mengetahui rencana pernikahannya dengan Sydney.
Amelia tidak pernah menggoda Aslan atau mempengaruhinya agar melupakan Sydney.
Sampai detik ini, bukan kata-kata Amelia tapi sikap wanita itu, perhatian dan pengertiannya yang membuat Aslan ingin menjadikan Amelia istrinya.
Meski hubungan mereka sekarang memiliki kemajuan, tapi untuk menghormati Amelia sebagai seorang wanita—dan karena Aslan pernah berbuat salah kepada Sydney dengan merenggut mahkotanya karena emosi sesaat—Aslan menahan diri menyentuh Amelia lebih intim.
Biarlah nanti, di saat waktunya sudah tepat; ia sudah benar-benar melupakan Sydney, tidak ada lagi rasa cinta atau bersalah di hatinya, lalu ia menikah dengan Amelia.
Aslan akan bercinta dengan Amelia sebagai bentuk nafkah bathin dari seorang suami kepada seorang istri dengan rasa cinta yang tulus.
Chapter 38
“Pagi ….”
Sapaan seorang pria itu membuat Sydney mengangkat pandangan dari jalan setapak yang sedang ia lalui.
“William?” gumam Sydney tidak percaya.
Sydney mempercepat langkah mendekati William.
“Apa tidur kamu nyenyak?” William bertanya saat Sydney sudah ada di depannya lengkap dengan pakaian musim dingin.
Sydney tampak … stunning.
“Lumayan … sedang apa kamu di sini?” Sydney gantian bertanya.
“Menjemputmu … aku sudah janji untuk mengajakmu jalan-jalan, ingat?”
“Ah … ya ….” Sydney tertawa sumbang.
Ia ingat tapi juga mengatakan akan menghubungi William jika ingin jalan-jalan.
Dan Sydney belum menghubungi William tapi pria itu sudah berada di area hotel tempatnya menginap.
Hanya beberapa meter saja jarak dari keduanya, seorang pria tengah mengepalkan tangan di sisi tubuh dan rahangnya mengetat melihat keakraban Sydney dengan pria lain.
Sagara langsung menderapkan langkah menghampiri Sydney dan pria itu.
“Baby.” Sagara menggeram seraya menarik pinggang Sydney dan memberikan tatapan tajam pada pria yang terlihat sok asyik itu.
“Sagaaa.” Sydney mencoba melepaskan tangan Sagara dari pinggangnya tapi Sagara terlalu keras kepala.
Tubuh Sydney yang sudah sedikit menjauh dari Sagara kembali mendesak tubuh pria itu karena tangan kekarnya melingkar lebih erat di pinggang Sydney.
“Syd … siapa dia? Bukannya kamu sedang lari dari patah hati?” William begitu terganggu dengan kehadiran Sagara.
“Saya calon suaminya.” Sagara mengendikan dagu menantang William.
“Benarkah, Syd? Apakah bukan dia pria yang sedang kamu lupakan?” William bertanya lagi, ia masih berharap.
“Bukan … bukan dia yang aku hindari, kami tidak sengaja bertemu di sini … dan aku mengenalnya.”
Raut wajah William berubah sendu apalagi saat klaim Sagara sebagai calon suaminya tidak disanggah oleh Sydney.
“Oh … oke, kalau kalian butuh sesuatu … kendaraan atau tour guide, bisa hubungi aku.”
“Terimakasih, Will …,” ucap Sydney dengan ekspresi menyesal.
William tersenyum kecut, memutar tubuhnya lalu berjalan menjauh membawa hatinya yang retak.
Belum dimulai, William sudah kalah.
“Siapa?” Sagara bertanya sambil merangkul pundak Sydney.
Tidak mengindahkan penolakan Sydney tadi malam.
“William.” Sydney menjawab singkat sambil menghela tangan Sagara dari pundaknya.
Ia melangkah lebih dulu meninggalkan Sagara.
“Kenapa bisa kenal sama kamu?” Sagara menyusul Sydney.
Tidak kapok, merangkul pundak Sydney lagi sambil mensejajarkan langkahnya.
Penolakan Sydney tadi malam bukan berarti Sydney tidak ingin membuka hati, kan?
“Ketemu di Kereta, dia kasih tempat duduknya yang di dekat jendela buat aku.” Sydney menjelaskan.
Tidak lagi menghela tangan Sagara.
“Ooohh ….” Sagara bergumam.
“Gue harus sat set sat set nih,” sambung Sagara di dalam hati.
Ia tidak boleh lengah, harus segera mendapatkan hati Sydney kembali.
Keduanya terus melangkah hingga tiba di restoran hotel.
Sagara menarik kursi untuk Sydney membuat Sydney sempat tertegun sebentar.
Mengangkat pandangannya lalu tersenyum kecut pada Sagara.
Masihkah pantas ia dicintai seorang Sagara?
Di saat Sagara sedang berjuang mendapatkan hatinya, justru Sydney merasa dirinya tidak pantas untuk Sagara.
“Duduk sayang ….” Sagara menekan pundak Sydney untuk duduk.
Ia lantas mengambil tempat di depan Sydney.
Pelayan datang membawakan berbagai jenis menu sarapan pagi.
Sydney dan Sagara makan dengan lahap tanpa banyak bicara.
“Mau ke mana sekarang?” Dengan sigap Sagara berdiri membantu Sydney keluar dari rongga antara meja dan kursi dengan cara menarik kursi Sydney ke belakang.
Mereka telah menyelesaikan sarapan pagi.
“Mau jalan-jalan keliling desa terus cari tempat ngopi.”
Sydney menjawab sambil melangkah diikuti Sagara.
“Kita liat air terjun aja gimana?”
Sydney mengerjap, tawaran Sagara itu menggiurkan bila saja Aslan tidak pernah menciumnya di salah satu air terjun yang berada di dataran tinggi Blue Mountain.
Sydney baru ingat kalau Lauterbrennen adalah lembah yang dikelilingi oleh tujuh puluh dua air terjun.
Dia sebenarnya ke sini mau melupakan Aslan atau mengenang setiap momen bersamanya?
Sydney menghentikan langkahnya, menoleh menatap Sagara.
Air mata menggenang di pelupuk mata Sydney.
“Bawa aku ke air terjun Staubbach,” pinta Sydney dengan tatapan memohon.
“Dengan senang hati, Baby.”
Sagara menggamit lengan Sydney menuntunnya menapaki trotoar.
Mereka berjalan menyusuri desa tidak kurang dari lima ratus meter untuk tiba di Staubbach Falls yang terkenal.
Mereka berhenti tidak jauh dari air terjun, keduanya terpana menikmati pemandangan di sana.
“Aku mengalah karena tahu kalau sesuatu yang dipaksakan akan patah dan rusak tapi tolong, Tuhan … bantu aku melupakannya.” Sydney melirih di dalam hati.
Matanya semakin berkaca-kaca menatap air terjun, mengingat bagaimana ketika Aslan mencium bibirnya begitu lembut meski pria itu sedang bernafsu.
“Hey … kamu enggak apa-apa?” Sydney mengerjap tatkala Sagara tiba-tiba berdiri di depannya menghalangi pandangannya dari air terjun membuat air matanya luruh.
Kedua tangan Sagara merangkum wajah Sydney, mengangkatnya sedikit agar mereka bisa saling menatap.
“Jangan nangis.” Sagara berbisik tepat di depan wajah Sydney.
Perlahan kepalanya merunduk dan Sydney langsung memejamkan matanya erat.
Tapi ketika bibir mereka bertemu, Sydney membuka matanya.
Ia harus melihat wajah Sagara ketika menciumnya agar bisa mengganti kenangan yang pernah Aslan tinggalkan.
Sagara memagut bibir Sydney lembut, melumatnya di bagian bawah kemudian bagian atas secara bergantian.
Ia nyaris tersenyum karena Sydney menyambut ciumannya dengan mata terbuka.
Sagara dan Sydeny beradu tatap dengan lidah saling membelit.
Kedua tangan Sagara perlahan turun melingkari pinggang Sydney sementara Sydney meremat jacket di pinggang Sagara.
Beberapa saat kemudian pagutan itu terurai tapi netra keduanya seolah enggan beralih.
Sagara mengecup kening Sydney lalu memeluknya erat.
Sydney berusaha menahan laju air matanya, tidak ingin baju Sagara basah oleh air matanya untuk Aslan.
***
Tangan Sydney dan Sagara saling menggenggam menyusuri jalanan desa untuk tiba di coffeshop.
Setibanya di sana, Sagara memesan kopi sedangkan Sydney katanya lagi menginginkan coklat panas.
“Jadi, kenapa kamu memilih Lauterbrennen?” Sydney melontarkan pertanyaan yang semalaman mengganggunya.
Tidak mungkin Sagara juga random memilih tempat ini untuk healing.
“Nenekku dari Papa adalah orang asli Lauterbrennen.”
Kedua alis Sydney terangkat, ia terkejut.
“Grandpa membawa grandma ke Australia jadi dulu kami sering berkunjung ke sini walau udah enggak ada lagi keluarga grandma di sini … dan setelah grandma wafat beberapa tahun lalu, kami belum pernah ke sini lagi … jadi aku memilih Lauterbrennen untuk tempat liburan karena udah hapal setiap sudut desa ini.”
Sagara menjelaskan kemudian menyesap kopinya.
“Kalau kamu, kenapa pilih Lauterbrennen dari banyak desa wisata yang ada di Swiss?” Sagara balas bertanya.
“Aku lihat postingan Selebgram … pemandangannya indah banget lalu aku jatuh cinta.”
Sesimple itu jawaban Sydney.
“Kamu tahu, grandpa sama grandma juga bertemu di sini … dulu grandma adalah gadis desa dan grandpa sedang melakukan riset dari kampusnya … mereka saling jatuh cinta, grandpa enggak pernah melepaskan grandma meski waktu itu kedua orang tua grandma enggak setuju karena grandma akan dibawa ke Australia.”
“Terus gimana?” Sydney bertanya antusias.
“Grandpa menanggalkan nama belakangnya, dia satu-satunya anak yang enggak menjadi pemimpin Palmer Corp. grandpa tinggal di sini selama beberapa tahun … bekerja serabutan dan hidup sangat sederhana sampai kedua orang tua grandma tersentuh hatinya dan merelakan grandpa membawa grandma ke Australia dan mereka bahagia selamanya.”
Sydney tersenyum, matanya berbinar.
Ia juga ingin kisah cintanya berakhir bahagia.
Sagara meraih kedua tangan Sydney, menggenggamnya erat di atas meja.
“Syd … mau ya, jadi takdirku?”
***
“Enggak ada baju yang enggak seksi? Dada kamu ke mana-mana itu, Flo.”
Bukannya memuji, tampang Aslan malah masam melihat tampilan Amelia yang cantik dibalut gaun malam seksi.
“Memang modelnya gini, tapi bagus ‘kan?”
Amelia berujar santai sambil mengenakan anting yang baru saja Aslan belikan.
“Bagus sih tapi … kamu enggak bawa gaun lagi apa?”
Aslan mengulurkan tangan agar Amelia mengancingkan lengan kemejanya.
“Enggak … aku enggak bawa gaun lagi, tapi kalau jas hujan bawa … apa aku pake jas hujan aja?” sindir Amelia dengan nada sedikit ngegas.
Lidah Aslan berdecak kesal, keningnya masih berkerut tidak suka.
“Nanti di pesta pernikahan Ezra sama Cantik tuh pasti ada Alden sama Jasver juga, kamu tahu kalau mereka mata keranjang.” Aslan menjauh sambil bersungut-sungut.
“Tapi mereka kenal aku ‘kan … enggak mungkin mereka kurangajar sama aku.”
Aslan mengembuskan napas gusar.
Ia lantas membuka kembali jas yang baru saja dikenakan lalu menarik dasi kupu-kupu dan menyimpannya di atas meja.
“Loh … kenapa? Kok dibuka sepatunya?” Amelia bertanya tatkala melihat Aslan duduk di sisi ranjang sedang melepas sepatu.
“Enggak usah pergi lah kalau kamu pakai baju itu ... mancing-mancing aja kamu tuh, yuk … gulat aja kita di ranjang yuk.”
Amelia mengulum senyum, cemburunya Aslan memang kelewatan.
Masa hanya karena Amelia menggunakan gaun bertali spaghety dan berpotongan dada rendah sampai membatalkan pergi ke pesta pernikahan sahabatnya.
“Ya udah … aku ganti deh ya ….”
Amelia mengalah, ia keluar dari kamar mencari mama Shaqila.
Hari ini bagian mereka menginap di rumah mama Shaqila.
Tidak lama Amelia kembali dengan gaun milik mama Shaqila.
Katanya gaun itu sudah tidak digunakan lagi sekarang karena badan mama Shaqila melebar.
“Kalau ini gimana?” Amelia meminta pendapat setelah mengenakan gaun mama Shaqila.
Mata Aslan terbelalak, ekspresinya tampak takjub padahal Amelia menggunakan gaun tertutup.
“Sempurna.” Aslan bergumam membuat Amelia tersipu
“Yuk … keburu malem.” Amelia meraih clutch dari atas meja rias.
Aslan sudah lebih dulu berdiri di pintu menyikukan lengannya.
“Ini nanti aja, enggak usah dari sekarang … malu sama bu Shaqila dan dokter Andi.”
Amelia menepuk lengan Aslan yang menyiku dengan clutch kemudian melenggang begitu saja melewati Aslan.
Aslan tersenyum seraya menggelengkan kepala samar.
Meski sebagai wanita—Amelia memang sudah tidak sesempurna dulu lagi tapi ia memiliki kepribadian kuat, pekerja keras, berdedikasi tinggi dan multi talenta jadi Amelia sangat percaya diri.
Dijadikan teman dekat Aslan yang merupakan bosnya tidak serta merta membuat Amelia merendahkan diri sendiri dan memuja-memuja Aslan.
Amelia akan tetap menjadi Amelia yang santai dan kalem.
Keduanya pamit kepada mama dan papa.
Aslan menyewa sebuah mobil mewah selama mereka liburan di Jakarta jadi memudahkan mobilitasnya.
Biasanya Amelia yang membuka pintu untuk Aslan tapi sekarang sebaliknya, Aslan yang membukakan pintu untuk Amelia.
Mereka berkendara selama beberapa menit hingga tibalah di sebuah gedung tempat acara digelar dengan sangat mewah.
Katanya, setelah Ezra dan Cantik melakukan resepsi di sini—mereka juga akan melakukan resepsi di pulau pribadi milik keluarga Ezra dan seluruh sahabat Ezra diundang termasuk Aslan dan Amelia.
“Aslan!”
Baru saja masuk dua langkah ke dalam gedung—sudah ada yang menepuk pundak Aslan.
Adalah Jasver dan Alden yang langsung menguasai Aslan, menarik pria itu untuk melakukan swafoto.
Aga datang menyusul sehingga Nala dapat menemani Amelia.
“Memangnya mereka baru ketemu?” Nala bertanya basa-basi.
“Enggak kok, kemarin kami sempet ke kantor sebentar.”
Nala hanya mengangguk menanggapi.
“Dewa sama siapa?” Amelia membuat topik pembicaraan.
“Sama mama Raisa … tapi kayanya bentar lagi aku pulang deh … payudara aku udah mengeras, harus dikeluarin ASInya.”
Nala meringis tanpa sadar memegang kedua payudaranya.
“Nal … baju kamu basah,” kata Aslan yang baru saja mendekat.
“Tuh ‘kan.” Nala langsung panik melihat gaun di bagian payudaranya basah karena lupa menggunakan Pad Dissposble Breast.
Aslan membuka jasnya kemudian ia sampirkan di dada Nala.
Perhatian ya sekarang Aslan sama adiknya.
“Ih … Bang enggak usah, Abang baru datang.”
“Enggak apa-apa … masa kamu mau pakai batiknya Aga.”
Amelia tertawa membayangkan Aga hanya menggunakan kaos dalam karena harus memberikan kemeja batiknya pada Nala.
“Ga ….” Aslan memanggil Aga yang langsung menghampiri.
“Bawa Nala pulang.” Aslan mendorong punggung Aga.
“Eh bentar … gue baru dat—“
Aga tidak melanjutkan kalimatnya karena mendapat tatapan tajam dari Aslan setelah mengendik pada Nala.
“Kamu kenapa sayang?” Aga jadi panik.
Karena mereka sudah saling mencintai maka sapaan elo-gue di antara Aga dan Nala berganti aku kamu kadang mimi pipi.
“ASInya tembus.” Nala membuka jas Aslan yang kemudian ditutupkan kembali oleh Aga.
“Oh … ya udah, kita pulang ya ….”
Aga merengkuh pinggang Nala.
“Pulang ya Mel … adik pulang dulu ya Bang Aslan.” Aga pamit kepada Amelia dan Aslan dengan cara paling menyebalkan.
Aslan menatap malas Aga tanpa berkomentar.
“Aku duluan ya, nanti kita ketemu lagi ‘kan?” Nala memegang tangan Aslan.
“Iya lah … pasti ketemu lagi.”
Nala tersenyum lalu melangkah menjauh bersama Aga.
“Kita ketemu Ezra sama Cantik dulu ya.”
Tangan Aslan terulur mengait di pinggang Amelia, beriringan dengan Amelia meniti anak tangga untuk tiba di pelaminan memberikan selamat kepada Ezra dan Cantik.
“Aslan … Thanks Bro, bela-belain datang,” Ezra begitu senang sampai memeluk Aslan erat.
“Enggak kok, gue ke Jakarta karena Danisa libur kuliah terus mau nengok keponakan gue yang baru lahir … kebetulan aja pesta nikah lo bertepatan sama rencana gue ke sini,” tukas Aslan datar.
Ezra merotasi bola matanya. “Sekali-sekali lo bikin gue seneng kek, Aslan … iya-in aja kenapa, sih.”
Aslan mengabaikan Ezra lalu beralih pada Cantik, mengulurkan tangannya.
“Saya ikut prihatin … tapi selamat ya, semoga kamu kuat sama Ezra.”
Cantik tersenyum lebar sampai menutup mulutnya dengan tangan.
“Mau gimana lagi, dua puluh tahun dia ngejar-ngejar aku … semua cowok yang deketin aku pada kabur gara-gara dia ….” Cantik menunjukkan wajah nelangsa.
“Yaaaaang, ih … masa gitu, ‘kan kamu juga cinta sama aku.” Ezra mengerucutkan bibirnya.
“Selamat ya Pak Ezra.” Amelia memberikan selamat sambil mengulurkan tangan.
“Makasih Mel, gimana? Udah dilamar Aslan belum? Kalau belum tinggalin aja, kamu berhak bahagia.”
Lidah Aslan berdecak kesal. “Dia bahagia sama gue.” Aslan memprotes.
“Mohon maaf … arisannya bisa nanti setelah acara selesai, ini tamu undangan udah ngantri sampai gerbang depan,” ujar seorang anggota Wedding Organizer, hiperbola.
“Oh iya … maaf.” Amelia menggandeng tangan Aslan lalu mereka turun dari atas pelaminan setelah sempat berswafoto menggunakan ponsel Amelia.
***
“Nisa.”
Danisa sontak menghentikan langkah, tubuhnya menegang dengan wajah pucat pasi mendengar suara dari pria yang sangat ia benci.
Nyaris saja keresek dengan logo Indomaret itu jatuh dari tangannya.
Tadi Danisa pamit kepada papa mama untuk membeli camilan di minimarket dekat rumah dan ia tidak pernah mengira Nathan akan berada di sini juga.
Apa pria itu menguntitnya?
Danisa hendak berlari dari pelataran parkir minimarket itu tapi tangan Nathan terlanjur mencekal.
“Lepas!” seru Danisa menggeram.
Tatapannya nyalang penuh kebencian pada Nathan yang menunjukkan raut sendu.
“Nis … aku mau bicara sebentar … kita ngobrol di mobil aku sebentar ya? Please.”
Seharusnya Danisa pergi, berlari ke rumahnya tapi Danisa ingin melihat penderitaan Nathan.
Ia tahu kalau Nathan adalah pasien papanya, semenderita itu ‘kah Nathan karena mereka tidak jadi menikah, kehilangan anak dan ditinggalkan olehnya?
Dan Danisa ingin melihatnya secara langsung.
Sorot mata Danisa meredup, kepalanya mengangguk pelan.
Ia menurut ketika dituntun Nathan masuk ke dalam mobilnya.
Ternyata mobil baru, pantas saja Danisa tidak mengenali.
“Apakabar kamu, Nis?” Pertanyaan pertama itu diucapkan Nathan dengan hati- hati.
“Baik.” Danisa menjawab cepat.
“Kamu … makin cantik.”
Danisa mengalihkan pandangan pada kaca jendela di sampingnya agar Nathan tidak melihat matanya merotasi jengah.
“Aku nungguin kamu, Nis … aku masih berharap sama kamu, siapa tahu kit—“
“Kak!” Danisa menyela tapi dengan nada rendah.
“Kita udah selesai.” Danisa menegaskan.
“Tapi aku belum, Nis … aku masih menyesal karena pernah mengabaikan kamu … aku juga marah, karena kamu membunuh anak kita.”
“Lho … bukannya itu yang Kak Nathan mau? Aku sendirian Kak waktu tau aku hamil, aku ngehubungin Kak Nathan ... aku tunggu Kak Nathan datang tapi pada saat aku datangin Kak Nathan malah mau bawa aku ke klinik buat gugurin kandungan … terus ketika aku gugurin kandungan, Kak Nathan malah menggila … apa sih maunya?”
Semua yang dikatakan Danisa benar tapi Nathan sudah ingin memperbaiki kesalahannya sebelum Danisa menggugurkan kandungan.
“Iya aku salah … aku minta maaf.” Mata Nathan memerah menampung air mata.
“Ya udah, aku maafin.” Danisa membalas enteng.
“Nis ….” Nathan menggenggam tangan Danisa yang kemudian dihela kasar oleh yang bersangkutan.
“Nis!” Nathan berseru, terkejut karena gerakan cepat Danisa.
“Jangan sentuh aku, Kak.”
“Nis … ayo kita menikah … kita perbaiki sama-sama.”
“Enggak ada yang perlu diperbaiki … kak Nathan sendiri yang bilang kalau enggak cinta sama aku, sekarang carilah perempuan yang kakak Nathan cintai terus menikah sama dia.”
“Enggak bisa Nis, aku mikirin kamu terus … enggak ada perempuan yang mampu gantiin kamu di hati aku.”
Danisa tersenyum di dalam hati, dendamnya terbalaskan.
Janjinya terlaksana.
“Aku … mencintai laki-laki lain, dia enggak mempermasalahkan keadaan aku … jadi, berhenti ya ganggu aku … aku udah maafin kamu kok.”
Danisa berkata dengan tenang kemudian turun dari mobil Nathan yang malah tercenung menatap kepergian Danisa.
Ada apa dengan dirinya?
Padahal Danisa sudah memaafkan tapi perasaan bersalah masih terus menghantui.
Nathan tidak puas, masih ada yang kurang.
Ia belum memiliki Danisa dan itu membuatnya nyaris gila.
Chapter 39
“Kamu yakin enggak akan datang ke nikahin Sydney sama Sagara?”
Amelia menyodorkan secangkir kopi untuk Aslan lalu duduk di sandaran lengan kursi kerja pria itu.
Dirangkulnya pundak Aslan dengan kedua tangan kemudian ia kecup pelipis Aslan.
“Masih banyak kerjaan ….” Aslan menjawab singkat.
Tangannya terangkat mengusap lengan Amelia.
“Banyak kerjaan atau karena belum bisa ketemu Sydney?” Amelia bertanya hati-hati.
Aslan menegakan tubuh kemudian membawa Amelia agar duduk di atas pangkuannya.
Pensil rok Amelia tersingkap sedikit ke atas membuat Aslan menelan saliva.
Kepalanya mendongak agar bisa menatap wajah Amelia yang kini posisinya lebih tinggi tapi tangan pria itu menyelip di antara paha Amelia kemudian mengusap pelan.
“Ini di kantor.” Amelia mengingatkan seraya menahan tangan Aslan yang perlahan masuk kian dalam ke roknya.
Aslan mengulum senyum lalu mengecup rahang Amelia sekilas.
“Kamu kenapa? Genit banget hari ini.” Amelia menatap Aslan curiga.
Aslan menarik laci meja kerja kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana.
Kotak itu bukan sembarang kotak melainkan kotak perhiasan beludru berwarna merah.
Aslan membuka kotak itu, memperlihatkan cincin di dalamnya.
Mengeluarkan cincin dari kotak lantas meraih jemari Amelia dan menyematkan cincin tersebut di jari manis Amelia.
Amelia tertegun menatap cincin di jemarinya lalu menoleh pada Aslan meminta jawaban atas apa yang pria itu baru saja lakukan.
“Aku enggak akan bertanya apa kamu mau menikah denganku karena kamu harus menikah denganku … maaf, kamu harus menunggu selama ini karena aku harus pastikan Sydney mendapat pria baik yang dicintai juga mencintainya apa adanya.”
Amelia mengerjap, napasnya pendek-pendek dampak dari haru yang mendesak dada.
“Sekarang Sydney udah mendapatkan pria itu … dia akan bahagia bersama Sagara jadi aku bisa menjemput bahagiaku sendiri.”
Aslan lega ketika mendapat kartu undangan pernikahan Sydney dengan Sagara.
Kesalahan yang dilakukannya kepada Sydney di masa lalu adalah satu-satunya alasan ia belum bisa melupakan Sydney.
Andaikan Aslan tidak bertindak impulsif mengambil keperawanan Sydney ketika sedang emosi dan putus asa waktu itu—mungkin Aslan tidak akan begitu tersiksa dengan perasaan bersalah selama satu tahun ini.
Dan sekarang akhirnya Aslan bisa sedikit bernapas lega karena Sydney sudah kembali ke tangan yang tepat.
Mungkin memang semestinya sejak dulu Sydney bersama Sagara.
“Sekarang aku bisa melupakan Sydney,” imbuh Aslan seraya merangkum pipi Amelia dengan kedua tangannya lalu memberikan kecupan singkat di bibir.
Amelia tidak bisa membendung air mata bahagianya lagi, meluncur begitu saja tanpa bisa ia cegah.
“Sekarang … kamu milikku Amelia Flora … untuk selamanya.”
Aslan mengusap jejak air mata di pipi Amelia menggunakan ibu jarinya.
“I’m always Yours.” Suara Amelia yang berbisik itu menyetujui segala pinta Aslan akan dirinya.
Hati Amelia memang sudah menjadi milik Aslan jauh sebelum pria itu menginginkannya.
***
“Jadi … boleh aku undang enggak nih?” Sagara bertanya hanya untuk menggoda Sydney yang dari kemarin uring-uringan karena melihat daftar tamu undangan milik Sagara.
Di sana tertera nama Claudia yang mana gadis keturunan Inggris-Australia itu adalah kekasih Sagara ketika duduk di bangku SMA hingga kuliah.
Dan karena Sydney terus mempermasalahkan dirinya yang sudah tidak perawan sehingga merasa tidak pantas untuk Sagara—akhirnya Sagara memberitau Sydney kalau ia juga sudah melepas masa perjakanya sejak SMA bersama Claudia.
Sagara dan Claudia berpisah baik-baik karena Claudia harus melanjutkan kuliah di Inggris dan sekarang tinggal di sana dengan keluarga dari ibunya.
Semestinya Sagara tidak pernah mengatakan itu karena meski Sydney jadi bersedia menikahinya tapi dia tidak pernah lupa dengan nama Claudia.
Sydney begitu emosional ketika mengetahui Sagara akan mengundang Claudia padahal sudah jutaan kali Sagara mengatakan tidak mencintai Claudia lagi.
Kalau Sagara masih cinta dengan Claudia, untuk apa ia bertahan dengan cintanya pada Sydney.
“Terserah,” jawab Sydney ketus tanpa mau menatap layar ponselnya di mana ada Sagara di sana karena mereka sedang tersambung melalui video call.
Tapi kata terserah yang diucapkan wanita adalah berarti ‘Tidak’ jadi Sagara mencoret nama Claudia dari daftar tamu.
“Ya udah, enggak usah aku undang ya ….” Tampak Sagara sedang mengotak-ngatik iPadnya.
“Kamu enggak ngundang dia karena aku ya? Undang aja dia kalau kamu mau ketemu dia.”
“Ya Tuhaaaan.” Sagara mengesah di dalam hati.
“Enggak kok bukan karena kamu ... aku yang berubah pikiran.” Sagara mencoba berdusta tapi justru semakin memperparah kekesalan Sydney.
“Bohong! Kamu udah masukin nama dia ke daftar tamu dan karena aku kesel jadi kamu coret … lagian kalau kamu enggak mau ketemu dia, ngapain kamu ngundang dia? Dia ada di Inggris juga … kegatalan aja kamunya,” Sydney bersungut-sungut dengan wajah memberengut.
“Enggak gitu, Babyyyy … aku ‘kan pernah cerita kalau dulu aku sama Claudia pernah janji siapa yang nikah duluan harus ngundang … ya jadi aku tulis dia di daftar tamu.” Sagara mencoba menjelaskan.
“Tuh ‘kan kamu masih inget dia sampe enggak lupa dengan janji kamu sama dia.”
Sagara salah lagi.
“Yang … kalau aku selalu salah di matamu, besok aku pindah ke idung, deh.” Sagara memelas.
Sydney ingin tertawa tapi ia tahan, tetap menunjukkan wajah galak.
“Aslan aja ada di daftar tamu keluarga kamu … aku enggak protes.” Sagara menggerutu.
“Dia ‘kan kakak sepupu aku.” Sydney berkilah.
“Tapi kamu sama dia pernah saling cinta.”
“Itu dulu,” sanggah Sydney dengan suara rendah.
“Jadi sekarang udah enggak?” Sagara belum selesai menggoda Sydney.
“Iya lah ….” Sydney menjawab masih dengan suara pelan malah semakin pelan.
“Sekarang cintanya sama siapa?”
Sydney mendelik sebal pada Sagara.
“Tahu ah … kesyeeel.” Sydney mengerang membenamkan wajahnya pada bantal.
Sagara tertawa renyah, ada rasa bahagia di hatinya melihat Sydney cemburu karena itu berarti Sydney telah mencintainya.
***
Aslan dan Amelia kembali ke Jakarta hanya untuk menikah.
Sangat mendadak, keluarga diberi kabar malam sebelumnya.
Semua terkejut tapi juga bahagia.
“Si Aslan ini enggak berubah … dia selalu seenaknya.” Papa Aiden misuh-misuh sambil mengemudikan kendaraan.
Kalau diberitahu sebelumnya mungkin ia tidak akan memberi cuti akhir minggu kepada driver.
“Pa … sini mama yang nyetir,” ujar mama Raisa agar suasana hati suaminya membaik.
“Enggak usah,” sergah Papa ketus.
“Mama enggak mau ya nanti Papa kebawa kesel di sana … ini hari bahagia Aslan, Papa harus jaga sikap dan jaga omongan … enggak tiap hari juga dia nikah, masa kaya gini aja sampe dibuat kesel.” Mama Raisa menasihati.
Seiring umur dan masalah yang pernah dilaluinya, mama Raisa berubah menjadi pribadi yang lembut dan penyabar.
Papa Aiden tidak bersuara lagi, meski begitu ia mencoba berdamai dengan kekesalannya agar ketika sampai nanti ia bisa menjadi Papa yang baik untuk Aslan.
Tidak jauh berbeda di mobil grandpa dan grandma.
Mereka merasa gugup sampai saling menggenggam tangan padahal Aslan dan Amelia yang akan menikah.
“Pak … bisa ngebut sedikit, Pak? Saya ingin melihat akad nikah cucu saya.”
Sang driver yang duduk dibalik kemudi lantas menganggukan kepala menanggapi permintaan sang tuan besar.
Berusaha semaksimal mungkin membawa tuan dan nyonya besar tiba di Kantor Urusan Agama tempat Aslan dan Amelia melakukan prosesi akad nikah.
Banyak mobil mewah akhirnya memenuhi pelataran parkir Kantor Urusan Agama untuk menyaksikan Aslan dan Amelia yang akan menikah.
Selain Papa Aiden mama Raisa dan grandma grandpa, Nala bersama Aga dan putra mereka tentunya tidak ingin ketinggalan momen bahagia itu.
Ezra dan Cantik nyaris terlambat datang karena Cantik mual muntah pagi ini.
Jasver dan Alden yang sekarang memimpin perusahaan Aslan di Indonesia sudah tiba bahkan sebelum Kantor Urusan Agama dibuka.
Nathan juga datang bermaksud agar bisa bertemu Danisa tapi sayang, Danisa sengaja tidak ikut pulang ke Jakarta untuk menyaksikan pernikahan Aslan.
Mungkin karena ia sudah bosan menyaksikan kemesraan Aslan dan Amelia di apartemen.
Mama Shaqila menjadi ibu yang paling bahagia saat ini, air mata suka citanya tidak berhenti mengalir.
“Anak Mama sudah besar.” Mama bergumam sambil memeluk Aslan.
“Udah Ma, nanti makeup mama luntur.” Aslan mengusap punggung mama Shaqila lembut.
Mamanya melankolis sekali semenjak Aslan dan Amelia tiba di Jakarta.
Tidak berhenti menangis sampai sekarang padahal Aslan hanya akan menikah bukan hendak pergi ke medan perang.
Mama Shaqila melepaskan Aslan sehingga grandma bisa mendekat untuk memberikan doanya.
“Grandma selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu.”
“Makasih grandma.”
Aslan mengecup kening grandma kemudian memeluknya penuh sayang sampai mata grandma terpejam karenanya.
Mama Raisa yang baru memasuki ruangan langsung menghampiri Aslan.
“Selamat ya Aslan.”
Mama Raisa masuk ke dalam pelukan Aslan kemudian menjauhkan tubuhnya sedikit dari Aslan dengan kedua tangan masih memegang pinggang Aslan.
“Mama sama Papa udah siapin seserahan buat Amelia, nanti di anter ke rumah mama Shaqila ya.”
Mama Raisa berdusta, padahal beliau sendiri yang pergi langsung ke Mall termewah di Jakarta untuk membeli barang-barang seserahan begitu mengetahui Aslan akan menikah hari ini.
Mama Shaqila saja tidak sempat membeli seserahan karena masih harus berada di kampus hingga jam sembilan tadi malam.
“Makasih ya Ma.”
Mama Raisa mengangguk kemudian mengusap pundak Aslan, merapihkan jasnya sebelum mengambil langkah menjauh untuk memberi kesempatan kepada Papa Aiden.
Tanpa basa-basi, Papa Aiden langsung memeluk Aslan walau awalnya kaku dan seperti ada ego membentengi mereka namun Aslan dan Aiden mencoba membuat pelukan itu senatural mungkin.
“Aslan ….”
“Grandpa ….”
Aslan menghampiri grandpa usai Papa Aiden memeluknya.
Pria itu membungkuk memeluk pundak grandpa yang duduk di kursi.
“Grandpa ikut bahagia ….”
“Terimakasih grandpa.”
Setelah menyapa dan bersalaman dengan para orang tua, Aslan menghampiri teman-temannya yang duduk deretan kursi paling belakang.
“Gue enggak terima bullyan, tolong hargai pernikahan gue yang suci ini.” Belum apa-apa Aslan sudah memberi ultimatum sambil melangkah mendekat bersama ekspresi datar dan dingin yang telah menjadi karakternya.
Mulut mereka yang hendak terbuka untuk melontarkan kalimat-kalimat bullyan akhirnya digunakan untuk tertawa.
Mereka semua memberi selamat kepada Aslan.
Aslan sempat menggendong Dewa sebelum akhirnya Papa Andi memanggil karena Penghulu sudah datang dan upacara Agama akan segera dilakukan.
Mama Shaqila dan mama Raisa yang mengantar Amelia duduk di samping Aslan.
Duh, mereka akur sekali ya.
Dengan satu kali tarikan nafas, Aslan berhasil menjadikan Amelia istrinya yang syah.
Semua mengangkat tangan, berdoa untuk kebahagiaan Aslan dan Amelia dipimpin oleh pemuka Agama.
Aslan dan Amelia diminta berdiri saling berhadapan, mengikuti ucapan Penghulu mengucap janji setia sebelum akhirnya Aslan mengecup kening Amelia.
Ada canda dan tawa menambah hangat suasana bahagia itu.
Terakhir, sebelum mereka keluar dari ruangan—Aslan dan Amelia mengabadikan momen memegang buku nikah.
Dan saat itu netra Aslan menangkap sosok Sydney, berdiri di ambang pintu menatap lurus padanya.
Tidak, ini bukan khayalan Aslan apalagi mimpi karena sosok Sydney memiliki bayangan terkena sinar Matahari.
Sydney tersenyum walaupun Aslan bisa melihat mata Sydney tengah membendung buliran kristal.
Aslan balas melempar senyum menatap dengan sorot mata hangat.
“Abang melepaskan kamu, Syd.” Aslan berucap di dalam hati.
“Aslan … lihat kamera!” kata Aga yang tengah membidiknya dengan kamera profesional.
Aslan mengarahkan tatapnya pada kamera sebentar dan ketika mengembalikan pandangannya ke ambang pintu di mana tadi Sydney berdiri—sudah tidak ada lagi wanita itu di sana.
Sydney kembali ke mobil, menarik tissue bermaksud mengeringkan air mata terakhir untuk Aslan.
Ia lantas menyalakan mesin mobil kemudian memacu kendaraannya keluar dari pelataran parkir Kantor Urusan Agama.
Melalui earbud di telinga, Sydney menghubungi Sagara.
“Hallo sayang?” Sagara menyahut dari belahan benua lain.
“Tadi aku abis datang ke KUA … aku menyaksikan prosesi upacara Agama pernikahan Bang Aslan sama Amelia ….” Sydney mengaku.
Ada jeda cukup lama hingga akhirnya Sagara bersuara.
“Seru enggak?”
Sydney tersedak tawanya sendiri lalu mengembuskan napas panjang.
“Penuh haru ….” Sydney menjawab.
“Kamu enggak tiba-tiba datang terus bilang ‘aku enggak setuju dengan pernikahan ini’, kan?” Sagara berkelakar.
Sydney tergelak sampai terpingkal.
“Enggak lah …,” balasnya setelah tawa mereda.
“Aku bisa, Saga … aku bisa merelakan dia … tadi itu, yang ada adalah perasaan bahagia … walau aku nangis juga ….”
Sydney tidak pernah menyembunyikan perasaannya dari Sagara.
Karena Sagara sendiri yang bersedia membantunya melupakan Aslan.
Ia harus jujur kepada Sagara agar pria itu tahu kalau usahanya telah berhasil.
“Aku sebenarnya kesel ya sama dia, kenapa kita yang ngerencanain nikah jauh-jauh sebelumnya bisa keduluan sama dia? Dia tuh kaya ikut-ikutan tapi dia duluan gitu, emosi enggak sih?”
Sydney tertawa lagi, merasa lucu dengan ucapan Sagara barusan karena seharusnya dirinyalah yang kesal sebab Aslan seolah menunjukkan kalau dirinya telah lebih dulu moveon.
Tapi sebenarnya ini dilakukan Aslan untuk meringankan beban Sydney dari kemungkinan perasaannya yang masih tertinggal untuk pria itu.
Bagi Sydney, siapapun yang lebih dulu moveon tidak masalah karena sekarang mereka akan menjemput bahagia mereka masing-masing.
***
Aslan : Cepetan naik, enggak? Apa mau aku gendong dari bawah?
Amelia tersenyum membalas pesan dari Aslan.
Amelia : Sebentar, mau bantuin mama cuci piring dulu.
Aslan : Besok ada asisten rumah tangga yang datang, tinggalin aja.
Amelia : Iyaaa, sebentar ya sayang … sabar.
Aslan : Mana bisa aku sabar? Aku turun sekarang!
Amelia merotasi bola matanya jengah.
“Mel … ngapain di sini?” Mama Shaqila bertanya.
Beliau hendak masuk ke dalam kamar tapi melihat lampu dapur menyala lalu memeriksanya.
“Cuci piring, Ma.” Amelia menjawab seraya membuka kran bowl sink.
“Besok ada asisten rumah tangga, kamu naik aja sana … Aslan sudah dari tadi naik tuh.”
Ini anak sama mamanya terkoneksi apa gimana?
Tidak mungkin ‘kan Aslan mengirim pesan singkat kepada mama Shaqila untuk meminta Amelia agar segera naik ke kamarnya untuk segera melakukan malam pertama mereka?
Meski hubungan antara Aslan dan mama Shaqila telah membaik tapi Aslan tidak se-ekstrovert itu.
“Iya Ma.”
Dari pada berdebat, akhirnya Amelia mengalah.
Mencuci tangan lalu mengeringkannya kemudian keluar dari dapur beriringan dengan mama Shaqila yang hendak masuk ke dalam kamar.
“Tidur nyenyak ya Mel.” Mama Shaqila tersenyum penuh arti.
“Kayanya enggak deh, Ma.” Amelia menjawab di dalam hati.
“Mama juga ya,” balas Amelia pada kenyataannya.
Sekarang Amelia sudah diwajibkan memanggil mama Shaqila dengan sebutan mama begitu juga kepada orang tua yang lain mengikuti bagaimana Aslan memanggil mereka.
Amelia naik ke lantai dua dan beberapa langkah kemudian dirinya sudah memasuki kamar di mana Aslan telah meredupkan lampunya.
Pria itu duduk bersandar pada headbord, bertelanjang dada dengan bagian dari pinggang ke bawah di balut selimut.
Sebagian wajah tampannya terkena sinar lampu tidur yang menempel di dinding membuat kulit pria itu terlihat gelap tapi seperti mengkilat.
“Jangan bilang kamu enggak pakai apa-apa di balik selimut itu.” Amelia berujar menghasilkan kekehan Aslan.
“Kamu bisa cari tau sendiri,” kata Aslan menantang.
Amelia yang sudah berdiri di sisi ranjang dengan perlahan menarik tali night robe kemudian menanggalkannya hingga melingkar di kaki menyisakan gaun tidur berbahan satin dengan tali spaghety dan bagian dada berpotongan rendah.
Aslan meraih tangan Amelia kemudian mengecup bagian punggungnya.
Menyibak selimut lalu menuntun Amelia duduk di atas pangkuan.
Amelia membelalakan mata saat tebakannya ternyata benar.
Aslan tidak menggunakan sehelai benang pun di balik selimut.
Perlahan Amelia duduk di atas pangkuan Aslan, kedua tangan pria itu telah berpindah ke pinggang sementara kedua tangan Amelia melingkari leher Aslan.
Amelia menunduk membuat bibir mereka menyatu saling memagut dengan lembut.
Debaran jantung keduanya mulai berpacu, hawa panas mengambil alih atmosfir di dalam kamar meski pendingin ruangan telah bekerja maksimal.
Amelia mulai bergerak seiring pagutan mereka yang kian menuntut.
Kedua tangan kekar itu menekan bokong Amelia setelah menyingkap celana dalamnya ke samping membuat milik Aslan yang telah mengeras itu melesak masuk ke dalam lembah Amelia.
“Eeemmmh ….” Desahan lega mengalun merdu dari bibir Amelia.
Kecupan demi kecupan Aslan menghujani leher hingga ke pundak.
Hanya butuh sekali usap saja, tali spaghety di pundak Amelia jatuh ke bagian sikut sehingga Aslan bisa menurunkan kecupannya ke dada sampai akhirnya mengulum bagian puncak di dada Amelia yang telah mengeras.
Gerakan Amelia semakin liar dibantu oleh tangan Aslan.
“Flo ….” Panggil Aslan parau.
Satu tangan Aslan beralih ke tengkuk Amelia, menarik pelan sampai bibir mereka bertemu kembali.
Aslan melumat bibir Amelia rakus, menyecap manis di setiap inci bibirnya.
Mata Amelia terpejam erat bersamaan dengan milik Aslan seperti diurut semakin kencang di bawah sana.
Aslan membantu Amelia mendapat pelepasan sampai sang istri terkulai lemas memeluk pundaknya.
Beberapa menit mereka lalui menghirup udara dalam.
Setelah dirasa cukup, Aslan mengubah posisi membuat Amelia berbaring terlentang di bawahnya.
“Gantian,” bisik Aslan disertai seringai disusul miliknya yang kembali melesak memenuhi Amelia.
Chapter 40
Pesta pernikahan yang menggabungkan dua keluarga paling berpengaruh dalam dunia bisnis di Australia diselenggarakan dengan cukup berbeda dan megah di Starship Resort, Sydney.
Konsep pernikahan Sagara dan Sydney adalah pernikahan yang dilakukan di atas kapal pesiar mewah.
Resort tersebut memiliki pengaturan dan rencana pernikahan yang sangat teratur sehingga pesta Sydney dan Sagara nyaris tanpa cela.
Sagara menatap begitu dalam pada wanita yang ia cintai setelah sang mama dan semenjak beberapa jam lalu sudah syah menjadi istrinya.
Tadi sempat ada drama Sydney mulas-mulas sehingga prosesi upacara Agama harus mundur selama satu jam lamanya.
Tiba-tiba saja Sydney merasa tegang, darahnya seolah berhenti mengalir ke kepala membuat wajah Sydney pias.
Sagara sampai menyusul Sydney ke kamarnya untuk mengecek kondisi Sydney dan memastikan kalau Sydney tidak kabur dari pesta pernikahan mereka.
Entahlah, pernah batal tunangan dengan Sydney membuat Sagara overthinking.
Sagara takut kehilangan Sydney lagi mengingat Sydney yang emosional akhir-akhir ini dan terkadang bersikap impulsif.
“Kamu enggak bosen liatin aku terus?” Sydney yang mulai salah tingkah pun akhirnya bertanya.
Sagara menjawab dengan gelengan kepala, seringai di bibirnya membuat Sagara yang kelewat tampan hari ini karena menggunakan tuxedo menjadi tampak berbahaya.
“Nanti kamu bosen lho … kita ‘kan mau tinggal serumah.”
Sydney sedang membujuk Sagara agar pria itu berhenti menatapnya.
Sagara menggelengkan kepala lagi, bagaimana ia mau melepaskan tatap dari wanita cantik yang sangat ia cintai?
“Kamu enggak mau ajak aku dansa?” Sydney melontarkan satu pertanyaan lagi.
Mereka masih berada di tengah-tengah pesta, tamu undangan yang kebanyakan klien perusahaan DevaCorp dan Palmer Corp sedang menikmati acara dengan menyantap makanan juga minuman yang disajikan spesial untuk mereka.
Papi Arkatama dan papa Collins yang sibuk menyambut tamu.
Beberapa keluarga malah sedang berdansa.
“Kamu tahu, apa yang ingin aku lakukan sekarang?”
Sagara menegakan punggung setelah berlama-lama menumpu dagunya dengan tangan sambil menatap Sydney.
“Apa?” kejar Sydney antusias.
“Gendong kamu ke kamar terus buka baju kamu terus kit—“
Plak!
Sydney memukul lengan berotot Sagara kencang.
“Mesum ih.” Sydney memberengutkan wajah tapi malah membuatnya tampak menggemaskan.
Sagara tertawa, menarik tangan Sydney kemudian mengecup bagian telapaknya.
“Aku lagi capek …,” kata Sagara menjawab pertanyaan Sydney, apakah dia ingin mengajaknya berdansa atau tidak.
Dan karena pertanyaan itu sudah menguap sedari tadi, Sydney jadi bingung sehingga mengerutkan keningnya.
“Capek kenapa?”
“Kaya abis lari marathon dan akhirnya aku dapetin kamu sebagai piala.”
Sydney tersenyum lebar kemudian mencubit perut Sagara dan pria itu tertawa.
“Ini pengantin baru bukannya dansa … itu lantai dansa sampe dikuasai sama lansia … bikin sakit mata,” ujar Azriel lantas duduk di salah satu kursi kosong di meja itu.
Sagara dan Sydney melirik ke lantai dansa, memang ada grandpa dan grandma di sana yang sedang berpelukan sambil menggerakan tubuh dengan sangat pelan.
Tante Raisa dan Om Aiden juga belum pernah terlihat semesra itu, mereka berdansa dengan posisi Om Aiden memeluk tante Raisa dari belakang.
Sesekali tante Raisa akan tersenyum ketika Om Aiden membisikkan sesuatu.
Lalu ada juga pasangan muda di sana, Nala dan Aga berdansa begitu mesra bersama beberapa keluarga Sagara lainnya.
Sydney mengembalikan tatapannya pada Azriel yang raut wajahnya tampak memberengut.
“Perasaan, hari ini kamu marah-marah terus … gara-gara Danisa enggak ada di sini kayanya, ya?” Sydney menggoda Azriel dan sang adik semakin memajukan bibirnya.
Tidak ada yang tahu kalau Azriel mencintai Danisa.
Sydney hanya mengira kalau Azriel kesepian di pesta pernikahannya ini karena biasanya Azriel akan selalu menempel dengan Danisa di setiap acara keluarga.
Mungkin karena umur mereka yang hanya terpaut satu tahun membuat Danisa dan Azriel cocok.
Konflik besar yang terulang kembali di keluarganya itu membuat Azriel putus komunikasi dengan Danisa karena kini keluarga Devabrata menjaga jarak dengan keluarga mama Shaqila terkecuali yang ada hubungannya dengan Aslan seperti contohnya ketika Aslan menikah kemarin.
Selebihnya, mereka tidak lagi liburan bersama atau mengundang mama Shaqila di acara privat keluar Devabrata.
Bahkan mama Shaqila dan keluarga tidak datang di pesta pernikahan Sydney.
Tapi mama Shaqila sempat menemui Sydney sebelum bertolak ke Australia, beliau mengucapkan selamat juga memberikan hadiah pernikahan untuk Sydney dan Sagara.
“Anastasia.“
Tiba-tiba Sagara memanggil seorang gadis cantik yang menggunakan gaun warna kuning.
Gadis yang sedang memberengutkan wajah tampak bosan duduk sendirian di meja keluarga Palmer itu pun menoleh.
“Sini sebentar.” Sagara menggerakan tangannya meminta Anastasia mendekat.
Gadis itu beranjak kemudian melangkah gontai mendekat.
“Kenapa?” tanya Anastasia dengan mata sayu.
“Kenalkan, ini adik Sydney … dia belum memiliki kekasih, apa kamu mau menjadi kekasihnya?”
“Bang!” seru Azriel salah tingkah.
Sydney terkekeh.
“Kenalkan Ziel, ini Anastasia … adik sepupu jauhku … dia cucu adiknya kakekku.”
Sagara mengabaikan teguran Azriel, malah mengenalkan Anastasia pada cowok itu.
Masih dengan mata sayu dan ekspresi wajah tampak bosan—Anastasia mengulurkan tangan ke depan Azriel tanpa minat sedikit pun di wajahnya padahal Azriel sudah sangat tampan dengan tuxedo dan rambut yang ditata rapih.
“Cia …,” gumam gadis itu sambil menggerakan tangan yang telah digenggam oleh Azriel.
“Ziel ….” Azriel membalas.
“Anastasia bisa bahasa Indonesia kok … dia sering banget ke Bali … dia kalau kabur pasti ke Bali, sendirian lagi.” Sagara memberitau dan ia mendapat delikan tajam dari Anastasia.
“Bisa tidak?” Anastasia bertanya menggunakan bahasa Indonesia.
“Apanya?” Sagara balas bertanya.
“Kamu selesaikan dengan cepat pesta ini … aku bosan.” Anastasia menggerutu.
“Bawa Cia jalan-jalan keliling kapal pesiar gih, Ziel.” Sydney mendorong tubuh adiknya yang tinggi besar itu agar berdiri.
Azriel melirik sebal pada Sydney tapi bangkit juga dari kursi. “Ayo,” katanya pada Anastasia.
Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana agar terlihat keren.
“Ini cuma untuk bikin kalian seneng aja ya,” kata Azriel memberi alasan kenapa ia menurut perintah sang kakak.
Sydney menyengir menanggapi ucapan Azriel dan cowok itu menarik tangan Anastasia keluar dari venue.
Sagara berhasil membuat dirinya kembali berdua bersama Sydney.
Ditatapnya lagi wajah cantik sang istri dalam-dalam seperti tadi.
Sydney berusaha mengabaikan sampai akhirnya ia jengah juga.
“Oke, ayo kita berdansa … aku mau berdansa,” kata Sydney seraya beranjak dari kursi sambil mengangkat gaunnya.
“Ayo Saga ….” Sydney menarik tangan Sagara membuat pria itu berdiri dan menuntunnya ke lantai dansa.
Sydney langsung melingkarkan kedua tangan di tengkuk Sagara dan kedua tangan Sagara segera saja melingkar di pinggang Sydney.
Tubuh mereka berdua mengayun pelan mengikuti irama musik yang mengalun lembut.
Sydney mendongak, gantian menatap Sagara tepat di netra abunya yang indah.
Sagara adalah definisi orang yang tepat bagi Sydney.
Sagara tahu kekurangan Sydney tapi tetap ingin bersamanya.
Sagara tahu buruknya Sydney tapi tetap menerima apa adanya.
Sagara juga tahu masa lalu Sydney bersama Aslan tapi dia tetap membimbing Sydney menjadi lebih baik.
Dan Sagara tahu kalau Sydney tidak selalu seperti yang dia inginkan tetapi tetap ada untuk Sydney.
Sydney tidak pernah berhenti bersyukur karena dicintai dengan luar biasa oleh pria seperti Sagara.
“Say it ….” Sagara berbisik.
“Say what?” tanya Sydney bingung.
“You Love Me.”
Sydney tersenyum.
“I Love You, Sagara … Archie … Palmer.”
Kali ini Sydney mengucapkannya dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan, tanpa ada pria lain di hatinya, tanpa ada secuil pun dusta.
Sagara tersenyum lebar, kepalanya sedikit menunduk untuk dapat mengecup bibir Sydney yang kemudian berubah menjadi lumatan.
“I Love You, Sydney Arana Devabrata ….”
Sagara berujar setelah mengurai pagutannya.
“Now You’re mine, Syd.” Lingkaran tangan di pinggang Sydney mengerat membuat tubuh mereka kian merapat.
“Ya … now I’m Yours.” Sydney membalas lagi.
Sagara menempelkan keningnya dengan kening Sydney setelah mengecup cukup lama di sana hingga mata Sydney terpejam.
Keduanya mengabaikan semua orang yang ada di pesta itu.
Sagara dan Sydney merasa dunia ini hanya milik berdua yang lain ngontrak.
***
“Sagaaa … pelan-pelan,” tegur Sydney saat Sagara terus mendorong—dengan kedua tangan pria itu melingkar di tubuh Sydney—ke dalam kamar Presidential Suite di Kapal Pesiar.
Begitu pesta ditutup oleh sang Master of Ceremony, Sagara langsung pamit kepada seluruh anggota keluarga dan para tamu undangan yang masih ada di sana untuk membawa Sydney ke kamar.
Cukup merepotkan perjalanan mereka ke kamar, menyusuri lorong panjang sambil mengangkat gaun Sydney yang lebar dan berat.
Sagara menjauhkan tangannya dari Sydney untuk membuka dasi kupu-kupu-kupu dan jasnya dengan tergesa tapi bibirnya masih memagut bibir Sydney.
Sydney mundur menjauh kemudian tergelak.
Ia tidak mabuk tapi memang merasa lucu melihat Sagara yang tengah diselubungi hasrat.
Sesungguhnya, alasan Sagara lebih banyak duduk tadi adalah menyembunyikan sesuatu yang besar dan menyesakan celana.
Sydney baru menyadari Sagara begitu berhasrat ketika tubuh mereka saling menempel tanpa jeda saat berdansa.
Sesuatu menekan perut bagian bawah Sydney, terasa keras dan besar.
Seberhasrat itu Sagara padanya.
Sydney menjatuhkan bokong di sisi ranjang, menangkup mulut dengan satu tangan karena belum mampu menghentikan tawa.
“Bantu aku, Syd … buka cepat gaunmu.” Sagara setengah memohon.
Tawa Sydney kian menjadi-jadi sementara Sagara sudah melepaskan seluruh kain yang tadi membalut bagian atas tubuhnya dan membuat pria itu dua kali lipat lebih gagah dengan otot di dada yang terpatri indah.
Seketika tawa Sydney pudar melihat otot di perut Sagara, Sydney mengerjap dengan sering sambil menelan saliva.
“Kamu benar-benar merusak momen romantis, Syd.” Sagara berakting kesal.
Pria itu membuka gesper sambil menatap tajam pada Sydney.
“Kamu yang enggak romantis, masa buru-buru gitu ….” Sydney merajuk, menundukan pandangan dari godaan otot-otot indah di tubuh Sagara.
Meski bukan yang pertama bagi Sydney tapi apakah Sagara tidak bisa melakukannya dengan pelan dan lembut menikmati segala sentuhan yang Alan mereka ciptakan?
Sagara mengusap wajahnya kemudian berjongkok di depan Sydney, ia merasa brengsek.
Kedua tangannya menggenggam tangan Sydney di atas pangkuan wanita itu.
“Gimana kalau kita berendam dulu?” cetus Sagara dengan suara rendah.
Sydney mendongak, mengangguk setuju bersama senyum tipis di bibir.
Sagara membantu Sydney membuka gaunnya, ternyata Sydney hanya memakai celana dalam saja di balik gaun itu sehingga ketika gaun pengantin tersebut ditanggalkan—Sydney harus menangkup kedua buah dadanya dengan tangan.
Usaha yang sia-sia karena nanti Sagara juga pasti akan melihat, menyentuh, meremat bahkan mengulumnya dengan rakus.
Kebetulan terdapat jacuzy di kamar mandi kamar pengantin Sagara dan Sydney.
Dan mereka harus memanfaatkannya sebaik mungkin.
Sagara masuk terakhir ke dalam jacuzy yang ditaburi ratusan kelopak mawar menghasilkan gelombang air yang membuat kelopak mawar itu perlahan menjauh terombang-ambing oleh riak air yang bergerak.
Dia mengambil tempat di belakang Sydney, mengusap lengan Sydney sambil sesekali memberikan kecupan di bagian tengkuk.
Bintik-bintik halus muncul di permukaan kulit Sydney hingga ke bagian tangan.
Kedua tangan Sydney masih berada di dadanya belum berpindah ke mana-mana.
Perlahan kecupan Sagara kian dalam ke ceruk leher Sydney, tangannya sudah menggantikan tangan Sydney yang menutup bagian dada.
Telapak tangan besar Sagara menangkup dada Sydney sebelum akhirnya meremat lembut menghasilkan desahan lirih.
Semakin sesak saja celana boxer Sagara sekarang.
Sydney menyandarkan kepala di pundak Sagara lalu menggigit bibir bagian bawah ketika satu tangan Sagara berhasil masuk ke dalam kain berenda yang basah, menyentuhnya tepat di sana dengan lembut dan pelan setelah puas menyentuh setiap jengkal tubuhnya.
Perlahan Sagara memutar tubuh Sydney agar duduk di atas pangkuannya sehingga mereka bisa saling berhadapan.
Keningnya sengaja di tempelkan dengan kening Sydney dan ketika Sagara bergerak memiringkan wajah, pria itu berhasil mendapat bibir Sydney.
Sagara mengecup ringan, lembut tapi singkat dan belum sempat Sydney membalas ciuman itu—Sagara telah membuatnya semakin dalam dan menuntut, terburu-buru seakan menyampaikan desakan hasrat yang kuat sampai Sydney merasakan tekanan yang tajam di setiap sudut bibirnya.
Tubuh mereka bergerak saling merapat menghasilkan riak air hingga meluap tumpah ke sisi pembatas.
Dua gundukan besar di dada Sydney sekarang bisa dilihat Sagara dengan jelas, pria itu menunduk lebih dalam dan Sydney mengerang saat bibir basah Sagara melingkupi puncak dadanya.
Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perut Sydney membuat inti tubuhnya berdenyut kencang.
Sagara mendongak, mengunci tatap dengan pemilik mata cantik itu.
“Aku masuk ya?” Sagara meminta ijin.
Sydney menahan napas sebelum kepalanya mengangguk pelan.
“Katakan kalau kamu enggak nyaman,” ujarnya di antara napas terengah dan wajah yang terkena cipratan air setelah keduanya bangkit sebentar untuk melepas satu-satunya kain tipis yang membalut bagian inti mereka.
Sydney mengangguk lagi dengan ekspresi tegang yang tertangkap jelas oleh Sagara.
“Aku akan pelan-pelan, “ katanya menenangkan.
Desah lirih kembali terdengar saat Sagara sudah masuk setengah, kali ini Sydney mengerutkan keningnya.
“Sakit?” Sagara memastikan agar Sydney nyaman.
Sydney menggelengkan kepala sebagai jawaban kemudian menekan bokong hingga milik Sagara masuk seluruhnya.
Perlahan Sydney mulai bergerak mengikuti insting dibantu tangan Sagara yang rahangnya mengeras menahan ledakan hasrat.
Sydney merunduk ketika Sagara mendongak mencari bibirnya.
Bibir mereka kembali terpagut seiring gerakan yang kembali menggila.
Ada napas terengah ketika mereka memutuskan mengurai pagutan dan fokus pada gerakan mencari kenikmatan di bawah sana sampai akhirnya Sydney mengerang panjang disusul Sagara pertanda keduanya sedang digulung gelombang kenikmatan.
Sagara memeluk erat tubuh yang terkulai lemas itu, menyesap dalam aroma di lehernya lalu tersenyum bahagia dengan mata terpejam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
