
Chapter
Sebenarnya Aslan malas memenuhi undangan Ezra untuk bertemu hanya sekedar ngobrol-ngobrol sambil minum-minuman beralkohol tapi Aga menjemput ke kantor lalu menyeretnya ke sini.
Sebuah lounge di menara setinggi tiga ratus empat meter.
Digadang-gadang sebagai bar dan lounge atap tertinggi di Indonesia, menawarkan pemandangan tiga ratus enam puluh derajat yang menakjubkan ke cakrawala Jakarta.
“Lo tuh ya … semenjak Sydney pindah ke Jakarta—susah banget ngumpul sama kita, setiap diajak ketemu pasti mau ke pavilliun Sydney … setiap diajak ngopi … mau ketemu Sydney … Sydney … Sydney aja terus, lama-lama bunting tuh si Sydney lo kekepin mulu,” cetus Ezra kesal melihat tampang Aslan yang tampak malas bertemu dengannya.
Tapi seperti biasa, Aslan akan diam saja tidak menghiraukan ucapan sahabatnya yang selalu ia anggap sebagai angin lalu.
“Lo udah tahu enggak boleh ada hubungan asmara sama Sydney malah maksa,” tegur Aga kemudian menyesap minumannya.
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Aslan, pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang ia duduki.
“Kemarin Sydney tanya, hubungan yang lagi kami jalani ini namanya apa? Pacar bukan tapi apa yang kami lakukan hampir kaya suami istri.” Gumaman Aslan itu masih bisa didengar oleh Ezra dan Aga.
“Ck … ck … ck … Aslan … Aslan … kalau keluarga lo tahu tentang apa yang sudah lo lakuin sama Sydney, bisa mampus lo.” Ezra menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
“Gue enggak takut, yang gue khawatirin cuma mami Luna-maminya Sydney.” Aslan melirih, matanya menatap gelas berisi wine yang tinggal setengah.
Mami Luna memiliki hati yang lembut dan sangat menyayanginya.
Beliau pasti akan sangat kecewa dan terluka bila mengetahui hubungan yang sebenarnya antara Aslan dan Sydney.
“Lo enggak kepikiran buat jatuh cinta sama Amelia?” celetuk Aga bertanya.
“Amelia mana?” Aslan mengangkat pandangannya menatap Aga, balik bertanya.
“Amelia sekertaris lo lah … memangnya lo kenal Amelia mana lagi.” Aga berdecak lidah, kesal.
Aslan terdiam, ia teringat kejadian di lift tempo hari.
Apa jadinya jika waktu itu sampai kelepasan mencium bibir Amelia?
“Amelia itu ngurusin hidup lo bukan cuma di kantor tapi juga di rumah … dia udah kaya istri lo tau, dia mau aja jemput lo yang lagi mabuk,” imbuh Aga memberitahu.
Aga sedang melancarkan usaha untuk menjodohkan Aslan dengan Amelia agar pria itu berhenti mencintai Sydney dan terbebas dari masalah pelik dengan keluarganya.
Dan ketika Aslan memejamkan mata sesaat, semua kilasan tentang perlakuannya tidak senonoh pada Amelia—mulai samar teringat.
Ia sering menjadikan Amelia sebagai pelampiasan atas rindunya kepada Sydney di kala sedang dalam pengaruh alkohol.
“Kalau gue sih dari pada ribet dilarang pacaran sama sepupu mending gue embat sekertaris gue yang cantik dan seksi itu.” Ezra berpendapat.
Aslan menoleh pada Ezra dengan kening mengkerut dalam.
“Sekertaris lo ‘kan cowok, Za.” Aslan berpura-pura bodoh.
“Maksud gue, elo … dodol!!!” Ezra menoyor kepala Aslan yang akhir-akhir ini otaknya tidak berfungsi dengan benar karena disesatkan oleh cinta.
Aga tergelak kencang menanggapi tingkah kedua sahabatnya.
“Bang Aslan ….” Suara pelan seorang gadis membuat ketiganya menoleh.
“Danisa? Ngapain di sini?” tanya Aslan bingung.
“Aku sama kak Nathan.” Danisa menjawab jujur.
“Oh ini yang namanya Danisa … kenalin, Abang Aga ….” Aga mengulurkan tangan ke depan Danisa.
Danisa mengerjap lucu kemudian meraih tangan Aga dan mencium punggung tangannya.
“Kalau mau cium, pipi Bang Aga saja nih,” ujar Aga seraya menunjuk pipinya.
“Kata mama harus cium tangan sama yang lebih tua,” balas Danisa polos.
“Anjay … lo kira gue Om lo?” Aga berjengit mencetuskan tawa Ezra.
“Abang Ezra.” Gantian Ezra mengulurkan tangan ke depan Danisa.
Danisa juga mencium tangan Ezra yang sudah lebih dulu memposisikan punggung tangannya ke atas.
“Kamu enggak boleh ada di sini, Nis … terus sekarang Nathannya mana?” Penglihatan Aslan menyisir area sekitar.
“Kak Nathan ketemu temannya dulu katanya.” Danisa menoleh ke belakang, ia juga mencari-cari Nathan.
Sosok Nathan kemudian muncul dari bagian dalam lounge dengan tatapan tertuju pada mereka.
Aslan melihat keterkejutan di wajah Nathan yang pucat seiring langkah pria itu mendekat.
“Ah, sial!” Nathan mengumpat di dalam hati.
Kenapa ia harus bertemu dengan Aslan di tempat seperti ini di saat Danisa sedang bersamanya?
“Ngapain lo bawa Danisa ke sini?” Aslan bertanya dengan nada dingin dan sorot mata tajam ketika Nathan sudah berdiri di dekatnya
Nathan telah menduga sebelumnya kalau Aslan akan bertanya demikian.
Kerutan harus muncul di antara alis Aslan pertanda pria itu tidak menyukai apa yang Nathan lakukan.
“Gue abis jemput dia dari tempat les … terpaksa gue bawa ke sini karena gue ada janji sama vendor.” Nathan menjelaskan, matanya menatap Danisa penuh peringatan.
“Lagian, aku suruh kamu tunggu di mobil … ngapain juga kamu turun?” tegur Nathan melampiaskan kesalnya pada Danisa karena mendapat teguran dari Aslan.
“Kak Nathan lama, terus aku ingin pipis jadi aku nyusul.” Danisa mengerucutkan bibir, wajah imutnya memberengut.
Aslan berdecak. “Tega banget lo nyuruh Danisa tunggu di mobil ….”
“Sebentar doank, Bang ….” Nathan membela diri.
“Enggak … lama banget.” Danisa memprovokasi.
Dagunya ia angkat tinggi-tinggi selagi ada Aslan—ia bisa melawan Nathan.
Tadi Danisa mendengar percakapan Nathan dengan seorang wanita dalam perjalanan ke sini—entah siapa wanita itu—ia menurut saja ketika Nathan memintanya menunggu di mobil padahal setelah Nathan pergi, ia pun turun ingin memergoki Nathan bersama wanita itu.
Namun ketika naik ke roof top ini, yang ia temukan malah Aslan dan bukannya Nathan.
“Kamu kalau ada bang Aslan jadi nyebelin.”
Nathan bermaksud mengusak kepala Danisa tapi Aslan menghela tangan Nathan.
Danisa menjulurkan lidahnya, bergerak mundur ke belakang Aslan meminta perlindungan.
Selama perdebatan antara kakak dan adik itu—Ezra dan Aga hanya diam mengamati.
Dalam hati merasa lucu karena keduanya mengetahui kalau Aslan dan Danisa memiliki ibu yang sama lalu Aslan dan Nathan memiliki ayah yang sama tapi Ayah dan ibu Aslan tidak pernah menikah.
Rumit memang kehidupan Aslan ditambah kenekatannya yang sekarang mengencani sang adik sepupu padahal tahu kalau keluarga menentang.
Pria itu memang senang melakukan tutorial mempersulit hidup diri sendiri.
“Kamu pulang sekarang ya dianter Nathan.” Aslan menarik Danisa agar berdiri di sampingnya.
“Enggak mau, aku mau sama Abang di sini sebentar.” Danisa merengek menggemaskan.
Nathan merotasi matanya malas hingga tatapannya jatuh pada Aga dan Ezra, mereka saling menyapa dengan cara mengadukan kepalan tangan.
“Bang Aslan!” Suara wanita lainnya membuat semua orang di meja itu menoleh.
“Si Aslan femes banget dari tadi di sapa cewek-cewek.” Ezra menyikut lengan Aga.
Tapi yang bersangkutan malah membeku menatap ke arah wanita yang baru saja memanggil Aslan.
Ezra bisa melihat tatapan penuh minat di mata Aga yang ditujukan pada wanita itu, air liur nyaris menetes dari sudut mulut yang terbuka jika saja ia tidak menutup rahang Aga dengan tangannya.
“Gak nyangka ketemu kalian di sini,” cetus Nala, ia belum menyadari adanya makhluk bernama Aga di sana.
Nala mengecup pipi kiri dan kanan Aslan yang malah melongok ke belakang punggung Nala karena sosok secantik bidadari berdiri di belakangnya.
“Sydney,” panggil Aslan melirih.
Aga dan Ezra menelengkan kepala menatap tanpa jeda pada gadis yang dipanggil Aslan barusan.
Sekarang mereka mengerti kenapa Aslan tergila-gila kepada Sydney karena gadis itu memang cantik, menarik meski hanya menunjukkan tampang datar seperti saat ini.
“Bang,” sahut Sydney menyapa dengan suara pelan.
Ia mendapat tatapan penuh kebencian dari Danisa yang langsung memeluk Aslan dari samping.
Aslan menoleh kemudian mengusap kepala Danisa yang ada di dadanya, sama sekali tidak memprotes pelukan Danisa.
Sementara Sydney menahan segala rasa yang bergejolak di dalam dada agar terlihat bila ia dan Aslan masih seperti adik dan kakak sepupu seperti dulu.
Tapi tentunya Aga dan Ezra yang baru saja mendengar langsung dari mulut Aslan bahwa hubungannya dengan Sydney sudah hampir seperti suami istri—kemudian mengulum senyum.
“Aku sengaja bawa Sydney ke sini … males pulang, lagian besok Sab—“ Kalimat Nala terhenti karena matanya menangkap sosok yang sangat ia hindari beberapa hari ini.
“Hai sayang,” sapa Aga penuh percaya diri menghasilkan dengkusan sebal dari Nala.
***
Aslan meminta mereka semua duduk dalam satu meja.
Kebetulan Ezra memesan meja yang memiliki dua sofa panjang saling berhadapan.
Dalam satu sofa mampu menampung tiga orang sekaligus.
Jadi posisi duduk mereka sekarang adalah Aslan duduk di bagian sofa paling ujung dengan Danisa berada di tengah kemudian Sydney.
Ada Ezra, Aga lalu Nathan di sofa satunya lagi dan pelayan membawakan satu kursi yang diletakan di ujung meja—dekat Sydney—untuk Nala.
Aslan juga sempat mengenalkan Sydney kepada Ezra dan Aga.
Minuman tanpa alkohol sudah dipesan untuk para wanita dan satu minuman beralkohol kadar rendah untuk Nathan karena harus menyetir mengantar Danisa pulang.
Selama itu Danisa seakan tidak sudi menyapa Sydney padahal mereka sudah baikan sewaktu ulang tahun Sydney kemarin.
Danisa malah sibuk memakan banana sulit yang dipesan Aslan untuknya.
Tapi Sydney cuek saja, ia telah imun dengan sikap Danisa yang baiknya angin-anginan jadi walau mereka tidak bertegur sapa tapi Sydney masih mau duduk di samping Danisa.
“Lo kenal Nala?” Aslan bertanya pada Aga membuat semua menatap pria itu.
“Mau gue atau lo yang cerita, sayang?” tanya Aga dengan raut wajahnya yang menyebalkan.
Nala menunjukkan tampang jutek cenderung kesal karena setelah berbicara dengan grandpa Ravendra ternyata ia baru tahu kalau perusahaan mereka memang sedang dalam kesulitan.
“Nala?” Aslan menunggu.
“Ini tentang DevaCorp.” Nala hanya memberi clue sepenggal kalimat yang justru membuat mereka semua penasaran.
“Grandpa kayanya mau jodohin Nala sama Bang Aga … mau ada kerjasama bisnis antar perusahaan dalam jangka panjang.” Nathan yang menjelaskan tapi senyum Aga menunjukkan kalau penjelasan Nathan itu kurang tepat.
“Benar Nala?” Aslan mendesak Nala.
Nala mengembuskan napas panjang, bersandar punggung lantas melipat tangan di dada.
“Damn!” Aga mengumpat di dalam hati melihat dua gundukan di dada Nala membuat celananya sesak.
Nala pun akhirnya menjelaskan kondisi perusahaan yang tadi siang diungkapkan langsung oleh grandpa Ravendra kepadanya.
Dan dari sana Sydney mengerti kenapa mami dan papinya seolah memaksa agar ia segera menikahi Sagara agar perjanjian bisnis dengan Palmer Corp berjalan lancar sehingga bisa ikut menyelamatkan perusahaan.
Tadinya Sydney berpikir kalau semua ini tentang dirinya dan Aslan tapi ternyata menyangkut perusahaan DevaCorp juga.
Bertambah lagi satu alasan yang membuatnya tidak bisa melepaskan Sagara dan hal tersebut sangat menyiksa Sydney.
Mungkin hanya Sydney yang banyak diam, ia lebih memilih mendengar apa yang disampaikan Nala kemudian dibenarkan oleh Aga.
Mata Nala tidak bisa berbohong, gadis itu tidak menginginkan perjodohan ini tapi juga tidak bisa menolak keputusan yang telah dibuat grandpa apalagi menyangkut keberlangsungan perusahaan keluarganya sehingga mulutnya tidak sekalipun mengatakan penolakan.
Nathan yang baru mengetahui hal itu pun terkejut, banyak melakukan sanggahan sesuai dengan apa yang diketahuinya tapi Nala memberikan banyak bukti berupa data yang ia dapatkan dari anak perusahaan yang akan diakuisisi perusahaan Marthadidjaya milik Aga.
Selama perdebatan antara saudara kembar itu, tangan Aslan terulur melewati pinggang Danisa menggapai punggung Sydney yang kemudian memberikan usapan lembut di sana.
Diam-diam Sydney menarik tangannya ke belakang, bukan untuk menghela tangan Aslan yang mengusap lembut punggungnya melainkan untuk menggenggam tangan pria itu tapi matanya tetap fokus pada Nala yang sedang bicara.
“Gini banget sih pacaran backstreet.” Sydney mengesah di dalam hati.
Aslan juga melakukan hal yang sama, meski sedang menggenggam tangan Sydney dengan ibu jari mengusap punggung tangannya tapi tatapan pria itu tetap tertuju pada Nala.
Sambil menatap Nala—Aslan juga sedang berpikir bagaimana caranya membantu sang adik lepas dari pernikahan yang tidak diharapkannya itu.
“Kayanya gue akan jadi adik ipar lo,” celetuk Aga dengan tampang menyebalkan.
“Gue yang akan akuisisi anak perusahaan DevaCorp,” balas Aslan bernada santai tapi raut wajahnya tampak serius.
Seketika semua menoleh pada Aslan dengan ekspresi berbeda.
“Mana bisa? Perusahaan lo beda jalur sama DevaCorp.” Aga terlihat tidak terima niatnya menikahi Nala dijegal oleh Aslan.
“Gue akan cari cara yang penting Nala enggak nikah sama lo, kalau perlu gue buat perusahaan baru.”
Meski terdengar kejam tapi Aslan mengatakannya begitu santai terkesan bercanda.
“Memangnya kenapa kalau Nala nikah sama gue?”
Berbeda dengan Aslan, kini Aga mulai tidak santai.
“Gue enggak mau Nala dikorbanin Devabrata.” Aslan meluruskan.
Nala menatap Aslan tanpa jeda, sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya membuat buliran kristal menumpuk di pelupuk mata.
Baru kali ini ia merasa dilindungi dan disayangi oleh seorang pria.
Anehnya, semua perhatian itu ia dapatkan dari seseorang yang ia tahu paling tidak mempedulikannya.
Dulu sekali Nala sampai mengemis kasih sayang dari Aslan sampai akhirnya ia lelah dan memilih untuk menyingkirkan Aslan dari hatinya.
Namun Aslan yang sekarang telah jauh berbeda, bahkan Nathan pun belum tentu sanggup pasang badan seperti Aslan.
Chapter 22
Danisa berdecak lidah kesal, mendelik tajam saat melihat Nathan sedang menyandarkan setengah bagian tubuhnya pada kap mobil.
“Nisa!” seru Nathan memanggil, melangkah cepat menyusul Danisa yang memutar badan untuk kembali ke dalam area sekolah.
“Nis!”
Tentu saja dengan mudah Nathan menyusul langkah kecil Danisa.
Ia mencekal pergelangan tangan Danisa hingga menghentikan langkah.
“Kamu kenapa sih?” tanya Nathan dengan suara lantang membuat mereka berdua menjadi tontonan satu sekolah termasuk para guru yang baru keluar kelas.
“Lepasin!” Danisa menghentak cekalan tangan Nathan.
Hormon remaja mengambil alih Danisa sehingga tidak malu ketika menjadi pusat perhatian.
“Nis, ayo masuk ke dalam mobil … aku mau ngomong sama kamu,” bujuk Nathan dengan nada selembut sutra.
“Ngomong aja di sini!” Danisa keras kepala.
“Apa kata teman-teman kamu nanti, Nis … kamu masih pakai seragam SMA sedangkan aku pakai jas kaya gini.”
Dari jauh Danisa melihat seorang guru BK sedang berjalan ke arah mereka.
Bisa gawat kalau sampai ia kena tegur pihak sekolah.
Status sebagai murid berprestasi akan tercemar dan jangan sampai beasiswa di Universitas terbaik di Negaranya yang telah ia dapatkan sebelum lulus SMA tiba-tiba dibatalkan.
“Ya udah, ayo!”
Danisa mengalah, melangkah lebih dulu menuju mobil Nathan.
Nathan mengembuskan napas lega lantas masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.
“Aku anter kamu pulang ya, aku enggak bisa lama-lama harus balik ke kantor.”
“Terus ngapain repot-repot jemput aku? Aku bisa pulang sendiri kok.”
Danisa menaikkan intonasi suara, menantang seperti hendak mengajak Nathan berkelahi.
“Kamu kenapa sih, Nis? Semenjak ketemu Bang Aslan tadi malam kamu nyebelin banget, pake blokir nomor aku segala.”
Nathan pun tersulut emosi, balas meninggikan suara.
Malam itu Danisa pulang diantar Aslan sehingga Nathan tidak bisa mencari tahu kenapa Danisa bertingkah demikian.
Dan ketika Nathan menghubunginya—Danisa telah memblokir nomornya lebih dulu.
“Aku kesel, Kak Nathan ketemu cewek ‘kan di lounge itu … aku denger omongan kak Nathan di telepon sama cewek itu, aku sengaja naik ke atas buat buktiin kalau kak Nathan selingkuh!”
Danisa tidak menahan-nahan, pria itu harus tahu kenapa ia seperti ini.
Nathan terkekeh, jadi ini alasan Danisa bertingkah menyebalkan?
Ternyata dia sedang cemburu.
“Ya ampun Danisa, kemarin itu aku memang ketemu cewek ... tapi dia orang suruhan dari vendor, dan karena aku butuh dia jadi aku nyamperin dia di mana dia berada saat itu biar urusan aku cepet beres ….” Nathan menjelaskan.
“Tapi aku enggak liat Kak Nathan di manapun di lounge itu.”
Setelah menyerahkan ‘mahkota’ nya kepada Nathan, selain selalu ingin bersama Nathan—Danisa juga jadi posesif dan cemburuan.
“Karena dia lagi ketemu kliennya di ruang privat … aku cuma ngasih in flashdisk aja kemarin itu.”
Apapun penjelasan Nathan tidak akan masuk ke dalam pikiran Danisa yang telah dibutakan oleh cemburu.
Nathan mengulurkan tangan hendak mengusap kepala Danisa yang kemudian ditepis kasar.
“Kamu les enggak nanti, pulangnya aku jem—“
“Enggak! Aku enggak les, lagi masa tenang sebelum ujian … enggak usah jemput aku, enggak usah hubungin aku, aku lagi kesel.”
Danisa langsung membuka pintu begitu Nathan menghentikan laju kendaraannya di depan pagar rumah.
“Danisa!!!” Nathan turun bermaksud menyusul tapi Danisa langsung membanting pintu pagar membuatnya berjengit.
“Dasar ABG!” Nathan menggeram, kembali masuk ke dalam mobil.
Nathan tidak akan mengemis-ngemis lagi seperti pertengkaran mereka yang lalu, ingin tahu sampai kapan Danisa kuat tidak menghubunginya.
***
“Tumben ya, acara ulang tahun pernikahan grandpa sama grandma dirayain di rumah aja,” celetuk Sydney, gadis itu tengah sibuk merias dirinya sendiri.
Nala yang berbaring tengkurap di atas ranjang Sydney sambil mematuti layar ponsel lantas bergerak mengambil posisi duduk.
“Mungkin grandpa ingin intimate party,” celetuk Nala menjawab asal.
“Hai … hai anak gadis!” Mami Luna berseru heboh seraya melangkah masuk ke dalam pavilliun Sydney.
Mami Luna beserta papi Arkatama dan juga Azriel tiba tadi malam di Jakarta.
Kedatangan mereka ke sini untuk memeriahkan acara ulang tahun pernikahan grandpa Ravendra dan grandma Selena.
“Mami bawa gaun untuk kalian ….”
Luna menaiki anak tangga dengan kedua tangan memegang gaun model dress pendek.
“Ini buat Nala ….” Luna memberikan gaun berwarna pink untuk Nala.
“Dan ini untuk Sydney.” Sedangkan gaun berwarna nude, Luna berikan kepada Sydney.
“Pantesan grandma enggak buatin kita gaun, ternyata mami yang beliin ya.” Sydney melepas tali dari bathrobe yang sedang ia kenakan.
Selena adalah perancang busana yang namanya masih dielu-elukan di Negri ini.
Tapi sekarang lebih sering merancang pakaian dalam bentuk gambar yang kemudian pengerjaannya dilakukan oleh para penjahit yang telah ia didik secara langsung.
“Alasan grandma enggak buatin kalian gaun bukan karena mami yang mau beliin untuk kalian tapi grandma memang udah tua … setiap kali buatin gaun untuk kalian—grandma selalu mengerjakannya sendiri … grandma enggak sanggup lagi menjahit ….” Penjelasan Luna dengan nada rendah dan ekspresi sendu membuat atmosfir berubah pilu.
“Tapi mami enggak beli kok, gaun ini dikasih sama mamanya Sagara …,” sambung Luna lagi menghilangkan raut sendu di wajahnya.
“Oh ya? Kok bisa?” Sydney mengerutkan keningnya sambil memindai gaun tersebut.
Tubuhnya hanya dibalut camisol hitam yang panjangnya hingga pertengahan paha.
“Waw … sampaikan Terimakasih Nala sama mamanya Sagara ya Tante.”
Tidak seperti Sydney yang terlihat curiga, Nala malah begitu bahagia.
Kakak sepupu Sydney itu langsung turun dari atas ranjang, melepas pakaiannnya untuk kemudian memakai gaun pemberian Luna.
Luna tersenyum menanggapi ucapan Nala.
“Ya udah … bentar lagi acara mau dimulai, mami mau dandan dulu.”
Luna membalikan badan untuk menuruni anak tangga.
“Tante … nanti Nala makeup-in donk.”
Wanita cantik nan mungil itu menghentikan langkah kemudian menoleh.
“Sama aku aja, jangan ngerepotin mami aku,” ujar Sydney membuat rahang Luna yang hendak terbuka untuk menyanggupi permintaan Nala pun terkatup kembali.
Nala memajukan bibirnya kesal membuat Luna tertawa merdu.
Luna melanjutkan niatnya keluar dari pavilliun meninggalkan dua gadis yang harus mempersiapkan diri untuk acara malam ini.
Sydney mengajari Nala bagaimana caranya berdandan untuk pesta.
Mereka berdua begitu asyik mempercantik diri sampai lupa waktu tapi tidak sia-sia karena sekarang Nala dan Sydney sudah siap menghadiri pesta dengan makeup dan gaun indah membalut tubuh mereka.
“Syd …,” panggil seorang pria dari lantai bawah.
“Bang Aslan?” Nala yang menyahut dari anak tangga ketiga dari bawah.
Aslan cukup pandai menutupi ekspresi terkejutnya.
“Kamu udah di sini?” Aslan bertanya basa-basi.
“Bang Aslan masuk lewat depan? Kok tahu pascode-nya?” Nala mulai curiga.
Pintu yang menghadap jalan di pavilliun ini selain menggunakan fingerprint Sydney—bisa juga menggunakan pascode untuk membukanya.
Jadi Nala curiga kenapa Aslan bisa hapal pascode pavilliun.
“Dikasih tau sekuriti.” Aslan memberi alasan.
“Oh, kirain Abang sering ke sini diem-diem,” gumam Nala sambil menundukan pandangan untuk merapihkan gaun, melewati Aslan.
Aslan memilih untuk tidak menanggapi gumaman Nala.
“Abang ngapain ke sini?” Masih Nala yang bertanya, langkahnya yang menuju pintu belakang sengaja ia hentikan.
“Mau pinjam sisir,” jawab Aslan berusaha santai, langkahnya menderap menaiki anak tangga memunggungi Nala.
“Bang!” panggil Nala lagi.
“Iya Nala?” Aslan membalikan badan agar Nala bisa melihat ekspresi jengahnya.
“Makasih ya udah datang ke pesta ulang tahun pernikahan grandpa sama grandma, kehadiran Abang itu selalu diharapkan kita semua.”
Aslan jadi menyesal telah memberikan tampang kesal, ia pun melembutkan garis senyumnya.
Nala akhirnya benar-benar keluar dari paviliun setelah melihat senyum di wajah tampan sang abang.
Lidah Aslan berdecak tatkala kakinya sudah sampai di lantai dua.
Ia melihat Sydney duduk di meja rias, senyumnya di kulum hingga membuat pipi gadis itu membulat yang bisa Aslan lihat dari pantulan cermin meja rias.
“Kamu enggak bantuin Abang tadi diinterogasi sama Nala, enggak mungkin kamu enggak denger ‘kan?” Aslan menggerutu.
Pavilliun dengan tipe loft bedroom ini tidak akan menghalangi suara dari lantai bawah.
Sydney terkekeh. “Lagian ngapain masuk sini? Bukannya langsung ke rumah utama.”
Aslan mendekat dan berdiri di belakang Sydney, kedua tangannya ia letakan di pundak sang gadis.
Ibu jarinya bergerak mengusap sisi leher Sydney menghasilkan bintik-bintik kecil di kulit Sydney pertanda sang gadis meremang.
“Kalau bukan karena kamu, Abang males hadir di acara ulang tahun pernikahan grandpa sama grandma.”
Mata Aslan memaku cermin di depannya yang menampilkan sosok Sydney.
Gadisnya itu cantik sekali dengan makeup natural dan balutan gaun bermodel shabrina di bagian pundaknya yang kini terekspose.
Andaikan Aslan tahu jika gaun ini pemberian mamanya Sagara mungkin sudah ia robek-robek lalu membakarnya.
“Jangan gitu, Bang … mereka itu kakek sama nenek Abang … apa salah mereka sama Abang sampai Abang enggak suka sama mereka.”
Sydney melapisi punggung tangan Aslan yang berada di pundaknya.
“Karena mereka enggak mengijinkan kita bersama,” jawab Aslan dingin.
***
Azriel menyelinap pergi semenjak siang untuk menjemput Danisa lebih awal.
Mama Shaqila dan Papa Andi mengatakan akan datang terlambat karena ada suatu keperluan mendesak yang tidak bisa mereka tinggalkan.
“Aku pikir kamu enggak akan datang,” ucap Danisa seraya memeluk lengan Azriel menyusuri halaman rumah sang grandpa.
Azriel baru saja memarkirkan mobilnya di ujung halaman depan untuk memberi ruang bagi mobil para tamu undangan.
“Enggak mungkin aku enggak datang, ini alasan aku biar bisa bolos kuliah buat ketemu kamu.”
Danisa tergelak.
“Kamu bolos terus, kapan mau lulus?”
“Sebentar lagi, kalau kamu kapan kelulusan?” Azriel balas bertanya.
“Minggu depan udah ujian, aku pasti lulus kok … tenang aja,” ujar Danisa penuh percaya diri.
“Belajar yang bener, jangan sampai enggak lulus … sayang banget tau, kamu udah keterima di Universitas Negri terkeren di Indonesia di saat orang lain belajar mati-matian untuk bisa masuk sana.”
“Iya … iya Ziel, aku tau ... aku juga mati-matian sampai bisa keterima di sana.”
Azriel terkekeh, tangannya terulur mengusak kepala Danisa gemas.
Keduanya tertawa bersama, entah menertawakan apa.
Yang pasti Azriel selalu mampu menulari tawanya pada Danisa.
“Nis, aku baru mau jemput kamu.” Nathan muncul dari arah dalam menghentikan langkah mereka di teras.
“Enggak usah, aku udah dijemput Ziel.” Danisa membuang tatapannya, merangkul tangan Azriel membawa cowok itu masuk ke dalam rumah melewati Nathan.
Azriel memberikan senyum pasta gigi pada Nathan hingga kedua matanya menyipit dan menurut saja ketika Danisa menyeretnya.
Ia juga tidak curiga dengan sikap Danisa yang ketus kepada Nathan.
Beberapa hari lalu Nathan dan Danisa terlibat pertengkaran hebat buntut dari ketidaksengajaan pertemuan mereka dengan Aslan di lounge rooftop sebuah gedung.
Sampai saat ini mereka belum berkomunikasi kembali.
Saling menyiksa diri untuk tidak menghubungi duluan tapi sepertinya Nathan yang kalah karena melihat Danisa merangkul lengan Azriel membuat hatinya panas terlebih sudah beberapa hari ia tidak bercinta dengan Danisa.
Nathan mengetatkan rahang lantas memutar badan menuju venue ulang tahun pernikahan grandma dan grandpa yang diselenggarakan di halaman bagian samping rumah.
Ia akan menahan dirinya sebentar sampai acara selesai kemudian menyeret Danisa ke apartemennya untuk menyelesaikan masalah ini dengan … bercinta.
***
Sekarang Sydney tahu kenapa ulang tahun pernikahan grandpa dan grandma hanya dirayakan sederhana di kediamannya karena grandpa mengundang dua keluarga saja di luar keluarganya sendiri.
Tadi Sydney melihat Nala begitu syok melihat keluarga Marthadidjaya datang bersama Aga dan sekarang jantungnya terasa akan copot saat melihat Sagara bersama kedua orang tuanya melewati pintu yang menghubungkan ke venue.
Baik kedua orang tuanya maupun grandpa dan grandma tidak memberitau perihal mengundang keluarga Palmer.
Padahal setiap pagi mereka selalu sarapan bersama.
Bukannya langsung menyambut Sagara—mata Sydney malah mencari-cari Aslan yang tadi berada di area venue.
Akhirnya Sydney menemukan Aslan yang sedang duduk berdua dengan Aga dengan sorot mata pria itu menatapnya tajam.
Sepertinya Aslan juga telah mengetahui keberadaan Sagara.
“Sydney, lihat! Siapa yang datang?” Mami Luna tampak antusias, merangkul lengan Sagara.
Kebetulan mami Luna ada di dekat sana sehingga bisa menyambut Sagara dan keluarganya.
Sydney tersenyum kaku lantas melangkah mendekat.
Sama sekali tidak ada raut bahagia di wajah Sydney yang pada akhirnya bisa bertemu sang kekasih setelah dua bulan lamanya melakukan hubungan jarak jauh.
Semenjak pembicaraan di telepon tempo hari mengenai keseriusan hubungan mereka—komunikasi di antara mereka sangat buruk bahkan bisa dibilang putus.
Tapi Sydney masih tetap mendapat kiriman bunga dari Sagara setiap harinya.
Sengaja Sydney tidak menghubungi Sagara lebih dulu untuk memberi waktu di antara mereka agar bisa berpikir jernih mengenai melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.
Dan ia tidak menyangka pria itu bisa ada di depannya sekarang.
“Hai ….” Sagara menyapa, tidak tampak di wajahnya sisa-sisa kekesalan setelah perdebatan beberapa hari lalu.
Yang ada adalah rindu menggebu terpancar di sorot mata Sagara.
“Hai.” Sydney balas menyapa.
Tanpa segan, Sagara mengulurkan tangan langsung merengkuh pinggang Sydney kemudian mendekapnya erat.
“Miss You so badly.” Sagara berbisik.
Sydney tidak membalas dengan suara tapi satu tangannya mengusap punggung Sagara.
Beruntung Sydney dalam posisi membelakangi Aslan sehingga tidak melihat bagaimana tatapan Aslan saat ini yang saking tajamnya mungkin bisa melubangi kepala Sydney.
“Ekhem!”
Suara yang sengaja untuk menginterupsi itu membuat Sagara melepaskan Sydney.
“Papa enggak dikenalin sama Sydney?” Tuan Collins Palmer menyindir.
“Oh ya kenalin, calon istri Saga.” Sagara merangkul pundak Sydney.
Entahlah bagaimana Sydney harus menunjukkan ekspresinya, yang pasti untuk tersenyum saja ia sangat kesulitan saat ini.
Sydney meraih tangan Collins Palmer kemudian mengecup bagian punggungnya.
“Sydney, Om.” Sydney melirih, raut wajahnya seperti orang bingung.
“Hai Sydney, calon mantu Mama.”
Mama Andara menyelip di antara Sagara dan Sydney.
Tangannya menggantikan Sagara merangkul pundak Sydney setelah memberikan kecupan di pipi kiri dan kanan gadis itu dan sekarang posisi Sydney berada di antara mama Andara dan papa Collins.
“Gaunnya pas banget sama kamu ya?” Mama Andara menilai Sydney dari atas sampai bawah.
“Makasih gaunnya Tante, kata mami gaun ini sengaja Tante kasih buat aku sama Nala ya?”
“Iya … mami kamu bilang lagi cari gaun untuk acara ini, ya udah langsung mama keluarin koleksi terbaru dari butik … untuk calon mantu sengaja mama pilihan yang terbaik.” Mama Andara berceloteh.
“Bagus gaunnya Tante, Sydney suka.” Sydney harus memuji pilihan mama Andara sebagai rasa Terimakasihnya.
“Kalau gitu, panggil mama ya jangan Tante.”
“Maaaaaa.” Sagara menegur sang mama.
Mami Luna dan papa Collins sampai tertawa karenanya.
“Tuan Palmer, Terimakasih sudah datang.” Papi Arkatama datang menyambut keluarga Sagara.
Papi berdiri di samping Sagara membuat Sagara sekarang berada di antara papi dan mami.
“Tentu saja kami datang, sebentar lagi kita akan menjadi keluarga.” Papa Collins tergelak usai berkata demikian.
Papi dan mami juga mama Andara pun ikut tertawa bahagia, setuju dengan ucapan papa Collins.
“Silahkan masuk, ayah dan ibu saya berada di dalam … maklumlah udara malam tidak bersahabat untuk orang tua.”
Papi menuntun keluarga Palmer ke area dalam rumah.
Sagara sengaja memelankan langkah agar sejajar dengan Sydney.
Keduanya berjalan beriringan menyebrangi taman yang luas mengikuti kedua orang tua mereka.
“Kamu kayanya enggak seneng ketemu aku.” Sagara mencondongkan tubuh ke samping karena harus berbisik agar kedua orang tuanya tidak mendengar.
Sydney menoleh menatap Sagara. “Aku masih syok, Saga … terakhir kita komunikasi itu beberapa hari lalu dan waktu itu kita berdebat … sebelumnya kamu bilang beberapa minggu lagi kamu akan pulang dan sekarang kamu ada di sini ….”
Sagara tersenyum, meraih tangan Sydney yang kemudian ia kecup bagian punggungnya.
“Shit!” Aslan yang tidak melepaskan tatap dari Sydney langsung mengumpat.
“Wajar kalau sepasang kekasih berdebat karena berbeda pendapat, lagian kita juga enggak berantem hebat, kan? Aku sengaja enggak hubungin kamu dulu setelah itu … biar kamu punya waktu untuk berpikir … tapi aku hampir gila karena enggak bisa denger suara kamu.”
Sagara mengangkat kembali tangannya yang menggenggam tangan Sydney dan memberikan kecupan sekali lagi di bagian punggungnya.
Sydney melirik sebentar ke tempat di mana Aslan tadi berada dan ia melihat wajah Aslan memerah karena emosi.
Sydney tidak bisa melepaskan genggaman tangan Sagara begitu saja, pria itu adalah kekasihnya dan mereka baru bertemu kembali.
Seluruh keluarga juga telah mengetahui hubungan mereka.
“Duh … gimana iniiii.” Sydney mengesah di dalam hati.
Aslan yang tengah duduk di sofa bersama Aga langsung beranjak berdiri.
“Bro! Sabar dulu … jangan dulu pergi, acara belum dimulai.” Aga menahan pundak Aslan untuk membuat sang sahabat yang tampak berang itu kembali duduk.
“Lo enggak mau menghadiri acara perjodohan gue sama Nala?” Aga membocorkan rahasia.
Aslan menoleh dramatis dengan alis menukik tajam.
“Lo nekat mau maksa ngikutin keinginan mereka?” Aslan kini menatap Aga sinis.
“Iya lah … adik lo cantik, ya masa gue enggak mau.” Aga mengatakannya dengan cara paling menyebalkan.
“Kita udah bersahabat berapa lama, Ga?”
Di saat seperti ini Aslan malah bertanya hal tidak penting.
“Hampir sepuluh tahun, kenape memang?” Meski menurutnya tidak penting tapi Aga menjawab juga.
“Kalau lo memang mencintai Nala, lo boleh nikahin dia …tapi kalau lo sakitin dia, gue akan patahin leher lo enggak peduli walaupun kita udah bersahabat selama seribu tahun.” Aslan mengancam, bila dilihat dari sorot matanya—pria itu tampak sungguh-sungguh dengan ucapannya barusan.
Aga tertegun, salivanya terasa kelat ketika ia menelan.
Aslan tidak memiliki cara lain selain mengancam Aga karena ia kalah cepat.
Ia tidak tahu kalau perjodohan Aga dan Nala dilakukan di ulang tahun pernikahan kakek dan neneknya.
Aslan belum sempat mencari jalan keluar agar bisa menyelamatkan Nala dari perjodohan ini.
“Bang … kamu datang?”
Aslan menoleh ketika mendengar suara mamanya kemudian terkejut melihat Amelia ada di samping beliau.
Mama Shaqila melihat arah tatapan Aslan yang berakhir di Amelia.
“Tadi waktu Mama mau pergi kebetulan Amelia datang, Mama lupa batalin janji sama Amelia jadi Mama bawa aja sekalian ke sini.”
Mama Shaqila mendekat lalu membungkuk untuk mengecup kening Aslan yang masih menatap Amelia.
“Hallo Tante, masih inget aku?” Aga menyapa sambil berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Inget, donk … Aga ‘kan?”
Mama Shaqila mengusap kepala Aga saat anak muda itu mengecup punggung tangannya.
“Iya Tante … wah, ingatan Tante kuat ya.” Aga memuji basa-basi.
“Iya donk, Tante ‘kan masih muda.” Mama Shaqila berkelakar tapi yang tertawa hanya Aga seorang karena Aslan dan Amelia sedang sibuk saling menatap.
“Mama titip Amelia bentar ya, Mama mau nemuin kakek dan nenek kamu dulu.”
Mama Shaqila menepuk pundak Aslan yang tidak merespon sama sekali.
“Aga … Tante tinggal ya.”
“Siap Tante.”
Mama Shaqila beralih pada Amelia.
“Mel, duduk sini dulu sama Aslan ya.”
Mama Shaqila berpesan sebelum meninggalkan Amelia bersama Aslan dan Aga.
“Maaf Pak, saya enggak bisa nolak Ibu.”
Aslan melepas tatapannya kemudian menganggukan kepala sebagai tanggapan.
“Duduk sini, Mel ….”
Aga beranjak berdiri agar Amelia bisa duduk di sofa bersama Aslan.
“Enggak usah, Pak Aga … saya cari kursi di belakang aja.” Amelia menolak.
“Jangan donk, temenin Aslan sebentar … lagi galau dia karena Sydney lagi sama cowoknya.”
Aga mendorong Amelia pelan hingga bokongnya menyentuh sofa di samping Aslan.
Amelia menoleh mencari tahu reaksi Aslan yang sepertinya tidak keberatan.
“Gue ke dalem dulu ya, mau ketemu calon istri gue.”
Aga pergi membawa senyumnya yang lebar setelah berkata demikian.
“Jadi Sydney udah punya pacar?” celetuk Amelia bertanya hati-hati.
“Iya … dan sepertinya keluarga Devabrata juga keluarga cowoknya merespon baik hubungan mereka.” Aslan menjawab, begitu enggan menyebut nama Sagara.
Ia masih belum tahu kalau keluarga Devabrata dan keluarga Palmer telah menentukan tanggal pernikahan Sydney dengan Sagara.
“Saya pikir Pak Aslan sama Sydney pacaran.”
Aslan menoleh pada Amelia dan melihat sorot mata Aslan membuat Amelia mengumpati mulutnya yang telah banyak bicara.
Chapter 23
“Jadi, DevaCorp nyaris bangkrut sampai harus ngejual Nala?”
Aiden yang tengah menuang kopi ke dalam gelas langsung mendengkus mendengar kalimat provokasi dari putra pertamanya.
“Mau kopi?” Aiden menyodorkan satu mug kepada Aslan.
Sepertinya sang putra sengaja menyusul dirinya ke dapur hanya untuk melontarkan kalimat ledekan.
Aslan menggelengkan kepala, menyandarkan setengah bagian tubuhnya pada kitchen island dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Aiden bisa melihat ekspresi wajah Aslan sedang menunggu penjelasan darinya.
Baru saja grandpa Ravendra mengumumkan mengenai rencana pernikahan Aga dengan Nala—beberapa saat usai beliau dan sang istri meniup lilin ulang tahun pernikahan.
Keluarga Aga telah mempersiapkan cincin beserta seperangkat perhiasan lainnya untuk melamar Nala.
Sekarang Nala dan Aga telah resmi bertunangan.
“Tumben sekali kamu peduli dengan DevaCorp?” sindir Aiden menatap lurus Aslan sambil menyesap kopinya.
“Aslan peduli sama Nala,” balas Aslan dingin.
“Sejak kapan kamu peduli sama Nala? Bukannya kamu hanya peduli dengan diri kamu sendiri? Si paling tersakiti dan menderita karena telah dilahirkan ke dunia ini tanpa sebuah keluarga jadi ingin membalas dendam kepada kami.”
Aslan mengerjap mendapat tamparan kata-kata dari ayah biologisnya.
“Ayah macam apa yang menjual anaknya demi mempertahankan perusahaan? Apa kalian enggak mampu menjalankan perusahaan?”
Aslan mengatakannya dengan tenang dan tatapan mencela.
Aiden tertawa sumbang mendengarnya.
“Kamu enggak pantas mengomentari kami, Aslan … ini semua gara-gara kamu, semestinya kamu menggantikan grandpa memimpin perusahaan … kalian cucu-cucu grandpa—para anak muda yang seharusnya berjuang memajukan perusahaan keluarga kita … tapi kamu dan kesombongan kamu itu malah membangun bisnis baru, bahkan kamu tidak mau bekerjasama dengan perusahaan kami ….” Sengaja Aiden menjeda kalimatnya untuk bergerak mendekati Aslan.
“Apa kamu enggak berpikir, orang di luaran sana akan mengira kalau DevaCorp tidak cukup pantas untuk bekerjasama dengan mereka karena darah Devabrata sendiri tidak sudi menjalin kerjasama dengan kami?”
Aiden menyinggung kerjasama antara Aslan dengan perusahaan Pak Bobby yang merupakan perusahaan pesaing DevaCorp.
Mata Aiden tampak memerah karena menahan amarah.
“Semua ini karena kamu Aslan … dan Nala yang menjadi korban … jadi, kalau kamu tidak bisa berkontribusi apapun baik di keluarga kami atau DevaCorp … tutup mulut kamu itu dan jangan campuri urusan keluarga kami.”
Aiden meletakan cangkir kopi yang masih tersisa setengah ke dalam bowl sink lantas pergi meninggalkan Aslan tanpa mau menatap wajahnya lagi.
Aslan memejamkan mata sekilas, ia telah menduga sebelumnya kalau Aiden akan menghabisinya dengan cara paling pengecut seperti tadi bila ia ikut campur—itu kenapa Aslan kesulitan mencari solusi untuk melepaskan Nala dari perjodohan ini.
Di luar sana, saat semua sedang menikmati hidangan yang telah disajikan sambil berbincang diselingi canda tawa—Nala harus memakai topeng agar grandpa dan grandmanya tidak tahu jika ia menderita dengan perjodohan ini.
“Lo pintar sekali bersandiwara di depan mereka, Nala ….”
Nala sempat menoleh lantas merotasi bola matanya malas.
“Jangankan di depan mereka, gue bisa bersandiwara di hadapan dunia—berpura-pura kalau gue adalah istri yang baik dan paling bahagia di dunia ini padahal lo enggak akan pernah milikin hati gue.”
Nala mengatakannya tanpa mau menatap Aga, matanya sengaja ia sibukan dengan menikmati pertunjukan homeband.
Aga mendekat kemudian berdiri tepat di samping Nala, saking dekatnya lengan mereka sampai bersentuhan.
Pria itu pun mengikuti arah pandang Nala pada homeband yang sedang menampilkan lagu How Deep Is Your Love dari Bee Gees.
Lagu lawas yang masih sering di dengar hingga sekarang dan merupakan lagu favorite grandpa dan grandma.
“How deep is your love?
I really mean to learn
Cause we’re living in a world of fools
Breaking us down when they all should let us be
We belong to you and me”
“Jangan sesumbar, lo enggak tau apa yang bisa terjadi di depan … bisa jadi lo ketagihan setelah ngerasain bercinta sama gue.”
Detik berikutnya Nala menoleh menatap tajam Aga, sorot mata penuh kebencian Nala malah membuat Aga tergelak.
Aga memutar tubuhnya menghadap Nala, merengkuh pinggang rampingnya hanya dengan satu tangan tapi berhasil membuat tubuh mereka merapat tanpa jeda dan Nala tidak bisa berkutik.
Nala mendongak, tatapan tajamnya berubah nyalang.
“Lepasin gue.” Nala menggeram karena tidak mungkin ia membentak tunangannya di depan seluruh keluarga.
“Kalau gue enggak mau gimana?” Aga sedang dalam mode menyebalkan.
“Lo sengaja biar gue yang bikin onar biR pernikahan kita batal dan akuisis juga batal, kan?”
Aga memberikan senyum smirk.
“Dasar licik!” Nala mengumpat tepat di depan wajah Aga padahal pria itu tidak membenarkan tuduhan Nala barusan padanya.
Nala berpikir, Aga sengaja bersikap menyebalkan agar Nala memberontak karena Nala pernah mendengar langsung kalau Aga juga tidak menginginkan perjodohan ini.
“Lo enggak akan dapat yang lo mau, gue akan bertahan … gue akan menikah sama lo dan seperti kata gue barusan kalau gue bisa bersandiwara sampai gue mendapatkan perusahaan gue kembali.”
Tanpa sadar Nala mengungkapkan rencananya, ia sudah memikirkan matang-matang tentang ini.
Nala akan menikahi Aga lalu beberapa tahun kemudian mereka bercerai dan meminta Aga memberikan perusahaan itu padanya.
Senyum di bibir Aga semakin lebar. “Jangan mempersulit diri sendiri, kalau lo jatuh cinta sama gue juga enggak akan rugi kok.”
Detik berikutnya tangan Aga merengkuh tubuh Nala agar semakin merapat bersamaan dengan kepalanya yang merunduk untuk meraup bibir Nala.
Dilumatnya bibir itu dengan cara paling lembut dan mendamba.
Kedua tangan Nala yang berada di dada Aga sempat mendorong tapi kemudian berhenti tatkala sapuan lidah Aga berhasil memasuki rongga mulutnya.
Aga memang gila, ia melakukan itu di tengah-tengah pesta berlangsung—masih di area venue dan di depan stand minuman.
Si petugas stand sampai melongo sedangkan Azriel dan Danisa yang hendak mengambil minuman langsung memutar badan.
“Ziel, apa-apaan?” tegur Danisa sambil melepaskan tangan Azriel yang menutup matanya.
“Kamu enggak boleh liat, masih kecil.”
Azriel tidak tahu saja bila Danisa sudah pernah merasakan lebih dari sekedar ciuman dengan seorang pria.
Sementara itu, di tengah-tengah keluarganya dan keluarga Sagara—Sydney begitu gelisah tapi beruntung tidak ada yang menyadari termasuk Sagara yang menggenggam tangannya di bawah meja.
Meski terlibat perbincangan dengan kedua orang tua Sydney dan kedua orang tuanya tapi Sagara tidak melupakan Sydney.
Pria itu tampak tenang dan santai, namun tetap hangat dan ramah dengan sering memberikan senyum dan tertawa dengan masih menjaga sopan santun.
Pantas saja papi dan mami menyukai Sagara begitu juga dengan kakek dan nenek.
“Oh ya … selagi kita berkumpul, apa ada yang ingin kamu sampaikan Sagara?” Papa Collins memberi jalan.
Sydney mengerjap, langsung menoleh menatap Sagara dengan wajahnya yang mulai memucat.
Sagara tersenyum sambil berdiri.
Entah siapa yang memberi instruksi, lampu sorot mengarah pada Sagara dan suara musik pun mendadak berhenti.
Seorang MC tiba-tiba memberikan microphone kepada Sagara.
“Selamat malam semua ….”
“Malaaam.” Semua kompak menjawab.
Sagara menatap para orang tua yang duduk bersamanya kemudian menoleh ke belakang ke area indoor yang dibatasi oleh dinding kaca di mana grandpa dan grandma beserta keluarga Marthadidjaya sedang duduk.
Mereka semua yang berada di area indoor pun memusatkan perhatiannya pada Sagara.
Tubuh Sydney langsung gemetar, jantungnya berdetak sangat kencang memukul rongga dada.
Segera saja mata Sydney mengedar mencari keberadaan Aslan.
Akhirnya Sydney menemukan Aslan, pria itu sedang berdiri sendirian terpisah dengan yang lain.
“Sydney ….” Suara Sagara yang memanggil namanya membuat Sydney mengalihkan tatap dari Aslan.
Ia mendongak menatap Sagara yang berdiri di sampingnya lalu menoleh pada papi dan mami, mereka berdua memberikan isyarat melalui tatapan mata meminta agar Sydney juga ikut berdiri.
Sydney menggerakan bola mata untuk menatap wajah grandpa dan grandma dan ia menemukan harapan di netra mereka.
“Aku sudah jatuh cinta ketika pertama kali kita bertemu di lift, waktu itu kamu mengumpatiku karena kamu pikir aku tidak menahan pintu lift untuk kamu ….” Kalimat Sagara terjeda oleh tawa semua yang mendengar.
“Kemudian kamu melakukan presentasi yang membuatku semakin terpukau sehingga terjalin lah kerjasama bisnis di antara perusahaan kita … tapi aku memutuskan menandatangani kontrak bisnis itu bukan karena kamu melainkan karena memang DevaCorp memenuhi keseluruhan kriteria yang sedang kami butuhkan.”
Tepuk tangan pun mengudara menambah semangat Sagara untuk melanjutkan kalimatnya.
Tapi tidak bagi Sydney yang rasanya ingin lenyap saja dari muka bumi ini.
“Setelah itu kita melalui satu minggu yang sangat luar biasa, setiap harinya senyum kamu, tutur kata kamu, perhatian kamu dan sikap kamu memberi aku alasan untuk menjatuhkan hati hanya sama kamu dan tepat di hari ulang tahun kamu … aku berani menyatakan cinta.”
Kembali tepuk tangan mengudara, kali ini lebih kencang diiringi siulan menyebalkan dari Azriel.
“Ternyata cintaku enggak bertepuk sebelah tangan … kamu menyambutnya dengan suka cita, kamu menerima cintaku ….”
Dan tepuk tangan semakin meriah saja.
“Papi Arka … mami Luna, dalam kesempatan berbahagia ini aku ingin meminta restu untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius ….”
Sydney menelan saliva, ia berhenti bernapas selama beberapa detik.
Sebuah microphone diberikan kepada papi Arkatama, otomatis beliau harus berdiri untuk menjawab permintaan restu dari Sagara.
“Begini Saga … beberapa waktu lalu papi sudah banyak berdiskusi dengan mami mengenai lamaran yang pernah disampaikan tuan Collins … kemudian mami menyampaikannya kepada Sydney … sejauh ini tidak ada penolakan dari Sydney yang membuat papi dan mami berpikir kalau Sydney juga menyetujuinya ….”
Mata Aslan membulat, terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.
Jadi sebenarnya Sydney sudah mengetahui jika Sagara akan melamarnya?
“Trus kenapa dia enggak pernah mengatakan apapun?” Aslan menggeram di dalam hati dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh dan rahangnya yang mengetat.
“Untuk itu, papi dan mami memberi restu bila Saga memang ingin meminang Sydney tapi sekarang, semua papi serahkan sama Sydney karena dia yang akan menjalaninya … jadi, kamu bisa langsung tanya sama Sydney.”
Papi Arkatama tersenyum namun matanya basah menampung buliran kristal.
Ini adalah momen yang ia takutkan ketika melihat Sydney pertama kali lahir ke dunia.
Tapi papi tidak bisa selamanya menahan Sydney untuk selalu bersamanya, Sydney harus menikah dan memiliki keluarga.
Dan di depannya sekarang ada pria baik, dari keluarga baik yang mencintai Sydney membuat papi Arkatama tidak memiliki alasan lagi menahan Sydney.
“Terimakasih, Pi ….”
Sagara menghadapkan tubuhnya kembali pada Sydney, merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil.
“Duh … apa aku pura-pura pingsan aja kali ya?” Sydney membuat rencana di dalam hati.
“Sydney ….” Sagara berlutut dengan satu kaki menghasilkan suara takjub dari beberapa tamu undangan dan sepupu yang masih lajang.
“Mau kah kamu menikah denganku?” Sagara memberikan kotak kecil itu dengan posisi terbuka sehingga Sydney bisa melihat sebuah cincin berkilauan di sana.
“Sa-ga ….”
Sydney gugup, kaki dan tangannya mulai gemetar.
Tapi apakah ia bisa menolak Sagara yang melamarnya di depan seluruh keluarga?
Dengan alasan apa?
Karena ia mencintai Aslan?
Kakek neneknya bisa kena serangan jantung.
Sydney menyempatkan untuk menatap Aslan lagi.
Netra mereka bertemu, banyak permohonan di mata Aslan agar Sydney tidak menerima lamaran Sagara.
Sebaliknya, di mata Sydney menunjukkan ribuan sesal dan permintaan maaf untuk Sagara.
Sepertinya malam ini sudah dirancang sedemikian rupa oleh keluarganya untuk mempersatukan bisnis demi mempertahankan perusahaan berkedok menjalin hubungan kekeluargaan.
Mungkin Nala bisa berontak karena ia dijodohkan oleh pria yang tidak dicintainya tapi Nala tidak melakukan itu.
Nala memilih untuk mengorbankan diri demi mempertahankan perusahaan dan membahagiakan keluarga.
Sedangkan Sydney lebih beruntung karena mendapat dukungan penuh dari keluarga untuk menikah dengan Sagara yang setau mereka adalah kekasihnya.
Yang tidak mereka ketahui adalah sekarang Sydney hanya mencintai Aslan.
Tapi dari rencana pernikahannya dengan Sagara, Sydney bisa membantu mempertahankan DevaCorp.
Jadi ia pun tidak memiliki alasan untuk menolak.
Sydney mengembalikan tatapannya pada Sagara, perlahan ia mengangkat tangannya yang bergetar dengan jemari terentang.
Sydney mengangguk pelan pertanda ia menerima lamaran Sagara dan segera saja tepuk tangan membahana sangat panjang tidak berhenti dari mulai Sagara bangkit, menyematkan cincin kemudian memeluk Sydney sebagai ungkapan rasa bahagianya.
Aslan langsung membalikan badan, ia hendak pergi dari sana tapi Amelia menghalangi langkahnya.
“Sebaiknya Pak Aslan tetap tinggal.”
Amelia menatap Aslan tajam.
“Aslan!”
Suara grandpa yang memanggil membuat Aslan urung mengusir Amelia dari hadapannya.
Aslan membalikan badan dan melihat grandpa melambaikan tangan sambil berjalan mendekati meja di mana Sydney dan Sagara berada.
Pria itu lantas menarik tangan Amelia dan mengubahnya menjadi sebuah genggaman, membawa Amelia mendekati keluarganya.
“Pak Aslan,” gumam Amelia menyadarkan Aslan karena bingung dengan perilakunya.
“Kamu harus tanggung jawab karena sudah menahan saya.”
“Ta-tapi, Pak.” Amelia berusaha menolak tapi keberadaan mereka kadung mendapat perhatian seluruh keluarga termasuk Sydney yang tampak syok setelah melihat Aslan menggenggam tangannya.
“Waaaa, siapa gadis cantik ini?” Grandma menyapa Amelia dengan membingkai wajahnya.
“Ini sekertarisnya Aslan.” Aiden yang menjawab.
“Iya … calon mantu.” Mama Shaqila menimpali.
Sydney langsung beralih menatap Aslan.
Aslan melirik Sydney sekilas kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Benar Aslan?” Grandpa yang bertanya.
“Benar….” Aslan menatap Amelia yang tengah menatapnya bingung.
“Amelia Flora … adalah calon istri Aslan,” sambungnya kemudian tanpa ragu.
Mata Sydney seketika saja membulat begitu juga dengan mata Amelia yang merasa kaget bukan main.
Terlebih sekarang Aslan merengkuh pinggangnya begitu posesif.
Sydney mengenal Aslan dengan sangat baik dan ia tahu pria itu sedang kecewa karena dirinya menerima lamaran Sagara sehingga menjadikan Amelia sebagai alat untuk membalas dendam.
“Jadi kapan mau diresmikan?” kejar grandpa yang langsung menyetujui.
“Secepatnya,” jawab Aslan masih menatap Amelia yang juga masih menatapnya meminta penjelasan.
“Yeaaaaayyy, Mbak Amel mau nikah sama Bang Aslan … aku jadi punya kakak perempuan lagi.” Danisa heboh, ia memeluk Amelia dari sisi satunya.
Kelopak dengan bulu mata lebat Amelia mengerjap, ia tersenyum kecut masih belum bisa mencerna dengan baik apa yang tengah terjadi.
Danisa sangat setuju apa bila Aslan menikah dengan Amelia karena dengan begitu—Aslan tidak akan memberikan seluruh perhatiannya kepada Sydney lagi.
Nathan yang duduk di meja sebelah langsung beranjak berdiri.
“Sejak kapan kalian pacaran? Lo mabuk apa gimana, Bang? Lo enggak bisa pacaran sama Amelia, lo tahu sendiri ‘kan gue suka sama dia.”
Sikap impulsif Nathan itu malah membuat dirinya mendapat tatapan berbeda dari seluruh keluarga.
Kemudian Nathan menyesalinya setelah melihat ekspresi wajah Danisa.
***
“Kamu ngantuk ya?” tanya papa Andi yang peka karena Danisa diam saja.
“Aku pulang duluan ya, Pa … acaranya masih lama, kan?”
“Besok hari minggu, kalian nginep di sini aja …,” cetus mami Luna sambil mengusap kepala Danisa lembut.
“Iya … kami juga nginep di sini kok.” Mama Raisa menimpali.
“Ya udah, kamu ke kamar sekarang ….” Mama Shaqila mengijinkan Danisa menginap di sini.
“Aku tidur duluan ya.” Danisa beranjak berdiri kemudian pergi setelah mendapat anggukan para orang tua.
“Nis, mau ke mana?” Azriel bertanya, menyusul Danisa membuat langkah Nathan yang hendak menyusul Danisa pun terhenti.
“Sial!!” Nathan mengumpat, ia jadi tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan tentang ucapannya tadi tentang Amelia kepada Danisa.
Tapi apapun yang ia jelaskan akan sia-sia karena kalimatnya begitu jelas mengatakan kalau dirinya menyukai Amelia.
“Tidur … ngantuk.” Danisa menjawab tanpa menatap Azriel maupun memelankan langkahnya.
Hatinya teramat sakit mendengar pengakuan Nathan.
Dianggap apa dirinya selama ini oleh Nathan?
Danisa baru sadar kalau Nathan tidak pernah menyatakan cinta.
Lalu, apa artinya semua yang telah mereka lakukan selama ini?
“Mau aku kelonin?” Azriel tinggal selangkah lagi di belakang Danisa.
“Mau.” Danisa melirih menghasilkan senyum di bibir Azriel.
Azriel merangkul pundak Danisa kemudian melangkah beriringan masuk ke dalam rumah menuju tangga.
Danisa memiliki kamar sendiri di lantai dua jadi ia tahu harus tidur di mana bila menginap di rumah ini.
Kembali ke venue, home band masih melakukan penampilan terbaiknya dengan menyanyikan lagu-lagu romantis.
Seromantis ketiga pasangan yang baru saja meresmikan hubungan mereka dan sekarang tengah duduk dalam satu meja.
Ada Aga yang merangkul pundak Nala lalu Sagara yang tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dengan Sydney dan Aslan yang hanya meletakan tangan di sepanjang sandaran kursi Amelia.
Aga senyum-senyum sendiri sambil menatap Aslan yang membalas senyum pria itu dengan delikan tajam.
Sebagai sahabat, Aga tahu kalau Aslan sedang bersandiwara mengakui Amelia sebagai kekasihnya hanya untuk membalas Sydney.
Menurut Aga, sahabatnya itu terlalu kekanak-kanakan karena ia bisa melihat keterpaksaan di sorot mata Sydney.
Sekilas saja Aga bisa tahu kalau Sydney juga sebenarnya mencintai Aslan.
“Kebetulan kita ketemu di sini, sekalian aku mau minta restu dari Bang Aslan.” Sagara berusaha menghormati Aslan sebagai kakak Sydney.
“Siapa lo? bahkan lo belum mengenalkan diri.” Aslan membalas dingin sedingin tatapannya pada Sagara.
Sagara tergelak, ia tidak mengambil hati atau mungkin sedang berusaha menetralkan suasana yang mendadak mencekam dampak dari kalimat sinis Aslan barusan.
“Sorry … Bang Aslan benar, aku yang enggak punya sopan santun belum memperkenalkan diri … terakhir kita ketemu di depan gedung kantor DevaCorp dan Bang Aslan langsung membawa Sydney pergi.”
Sagara mengalah, ia masih tetap dengan sapaan aku-kamu untuk menghargai Aslan.
Lagi-lagi status Aslan yang merupakan kakak sepupu Sydney yang menjadikan alasan Sagara untuk sabar menghadapi pria itu.
Sagara beranjak dari kursi, melepaskan sebentar genggamannya dari Sydney lalu mengulurkan tangan ke depan Aslan.
“Sagara Archie Palmer, aku CEO perusahaan Palmer di Indonesia … Bang Aslan tenang aja, aku enggak akan membuat Sydney hidup susah.”
Sagara berkelakar menghasilkan tawa seluruh penghuni di meja itu kecuali Sydney dan Aslan.
Beberapa detik Aslan menatap Sagara, tidak ada tanda-tanda pria itu akan menyambut uluran tangan Sagara.
Sydney sudah gelisah, khawatir Aslan akan bersikap impulsif.
Melihat keresahan di wajah Sydney, akhirnya Amelia mengangkat tangan kanan Aslan yang berada di sandaran kursi—melewati kepalanya kemudian menuntun agar menjabat tangan Sagara.
“Tangannya lagi sakit jadi butuh bantuan.” Amelia menjelaskan dengan tampangnya yang serius.
Sikap Amelia itu mendapat acungan jempol diam-diam dari Aga.
Sagara yang menggerakan tangan saat berjabat tangan dengan Aslan sementara Amelia sudah tentu mendapat tatapan kesal dari Aslan.
Aslan menarik tangannya dengan kasar tapi kemudian merengkuh pinggang Amelia begitu posesif membuat Sydney menyeret bola matanya ke atas.
Amelia sampai harus mencondongkan tubuh ke samping hingga mendesak dada Aslan.
“Jadi gimana, Bang? Direstuin, enggak nih?” Sagara pantang menyerah.
“Direstuin donk, ya enggak … Mel?” Malah Aga yang menjawab dan meminta persetujuan Amelia karena ia tahu kalau Aslan tidak mungkin memberi restunya.
“Iya direstuin, sebagai calon istri Pak Aslan … saya mewakilkannya memberi restu untuk hubungan Pak Sagara dengan Sydney .…”
Dengan formal tapi santai Amelia menjawab demikian dan lagi-lagi tatapan tajam Aslan menyorot kepadanya.
Amelia memberikan senyum simpul kepada Aslan dan sorot mata yang seolah berkata, “Apa lo? Tadi lo sendiri yang ngakuin gue sebagai calon istri lo.”
“Tuh ‘kan … kalau Amelia yang jawab itu udah dipastikan jawaban Aslan juga karena hati dan pikiran mereka terkoneksi.” Aga tergelak usai berkata demikian.
Sikap Aga yang janggal memberitau Sydney bila pria itu mungkin mengetahui hubungan sebenarnya antara dirinya dengan Aslan.
Lain halnya dengan Amelia yang tidak mengerti kenapa dirinya bertingkah konyol seperti ini.
Yang pasti, sebagai sekertaris ia terlatih untuk menjaga citra baik Aslan.
Dan menurutnya, terlepas adanya hubungan asmara antara Aslan dengan Sydney tapi yang ia ketahui hubungan itu ditentang keluarga Devabrata jadi Amelia merasa perlu membantu Aslan agar tidak membuat onar yang bisa merugikan Aslan juga Sydney.
“Udah sayang udah … kamu jangan berlebihan gitu,” tegur Nala lembut tapi sorot matanya seperti ingin memiting kepala Aga.
Nala juga menghentikan tangan Aga yang tidak berhenti memukul meja saking takjubnya melihat Amelia yang biasanya dingin dan tidak banyak bicara bisa menetralkan sikap provokasi Aslan pada Sagara.
“Ih … si sayang, aku lagi seneng ini …,” balas Aga, menarik pundak Nala kemudian mengecup pipinya tanpa aba-aba.
“Terimakasih kalau gitu.” Sagara memberikan senyumnya yang diartikan senyum penuh kemenangan oleh Aslan yang begitu pelit tersenyum sedari tadi.
Sagara beralih pada Sydney, gadisnya itu menjadi sangat pendiam semenjak menerima lamarannya.
“Kamu kedinginan ya?” tanya Sagara penuh perhatian lantas membuka jasnya yang kemudian disampirkan di pundak Sydney.
Sydney tersenyum sebagai ungkapan Terimakasih kemudian menunduk melepas tatapan dari Sagara.
Jangan sampai Sagara mengetahui isi hatinya melalui tatapan mata.
“Apa? Kamu juga kedinginan?” celetuk Aslan padahal Amelia tidak berkata apapun.
Pria itu dengan kekonyolannya langsung menarik kursi Amelia kemudian mendekap tubuh sekertarisnya erat.
“Aku ambilkan minum kamu lagi ya?”
Sydney mengangguk saja menjawab pertanyaan Sagara, pria itu beranjak berdiri tapi kemudian pelayan lewat membawa nampan berisi minuman.
Sagara memberikan Sydney gelas berisi minuman yang ia ambil dari atas nampan.
“Pak … bisa lepasin? Aku sesak.” Amelia berbisik dan Aslan melepaskannya.
Tangannya memegang sendok dessert yang belum ia sentuh, memotong bagian kecil kemudian ia dekatkan ke depan mulut Amelia.
Amelia kontan membuka mulut, keterkejutannya dengan sikap Aslan semakin bertambah saat kepalanya mendapat tarikan dari pria itu.
Aslan membersihkan sisa cream di sudut bibir Amelia dengan menjilat menggunakan lidahnya.
“Ada cream di sudut bibir kamu,” ujar Aslan menjelaskan tindakannya.
“Ya enggak dijilat juga bangke!!!” Aga melempar serbet berwarna merah kepada Aslan namun dengan cekatan pria itu menangkapnya.
Sikap Aslan yang tidak biasa itu membuat Nala yakin kalau Aslan sedang cemburu karena pertunangan Sagara dengan Sydney.
Sydney memberikan senyum sinis kepada Aslan kemudian mendelik, Aslan terlalu berlebihan membalasnya.
“Baby, berdansa denganku?” ajak Sagara sambil menengadahkan tangan.
“Tentu,” sahut Sydney dengan senang hati agar ia bisa pergi dari lubang neraka itu.
Sagara menuntun Sydney ke depan panggung kecil tempat homeband melakukan pertunjukan, bergabung dengan pasangan yang lebih dulu ada di sana.
Kedua tangan Sagara melingkar di pinggang Sydney sementara kedua tangan Sydney melingkari leher Sagara.
Mereka menyisakan sedikit jarak.
“Abang kamu jutek.” Sagara mengeluh mencetuskan tawa pelan Sydney.
“Maaf ya, dia terlalu overprotective.”
“It’s oke … aku nikahnya sama kamu, bukan sama dia.”
Sydney tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya menatap Sagara lekat.
“Saga, aku ‘kan udah pernah bilang kalau aku perlu waktu … kenapa kamu lamar aku sekarang?”
Sydney bertanya hati-hati, ia tidak ingin menambah masalah dengan jadi gadis menyebalkan yang marah-marah apalagi berteriak mengingat perusahaan Sagara bisa menguntungkan DevaCorp.
“Kita hanya tunangan sayang, untuk menikah—bisa menunggu kesiapan dari kamu … yang penting kontrak kerja antara DevaCorp dan Palmer Corp terjalin dulu … papi kamu mengatakan kalau DevaCorp berharap besar dari kerjasama ini … aku minta maaf karena tiba-tiba melamar kamu … kamu pasti syok ya?”
“Iyaaaa ….” Sydney mengerang, menempelkan keningnya di dada Sagara.
Akhirnya bisa bernapas dengan benar, Sydney lega sekarang.
Ia memiliki waktu untuk mencari cara agar pernikahannya dengan Sagara tidak perlu terjadi tapi kerjasama antara dua perusahaan itu tetap terjalin harmonis.
Tanpa Sydney sadari kalau sikapnya itu membuat darah Aslan mendidih, kedua tangannya terkepal di atas meja.
“Pak … saya berubah pikiran, apa sebaiknya kita pergi aja sekarang?”
Melihat Aslan yang kembali tersulut emosinya tentu saja Amelia jadi khawatir kalau pria itu akan mengamuk.
Aslan hanya melirik sekilas tanpa bersuara.
“Sayang … mau berdansa denganku?” Aga mencontek kalimat romantis Sagara.
Bermaksud membawa Nala pergi dari sana agar Amelia bisa menenangkan Aslan.
“In youre dream!” seru Nala yang kemudian beranjak berdiri lalu pergi.
Nala tidak perlu repot-repot memakai topeng karena Aslan mengetahui kalau dirinya tidak menginginkan perjodohan ini.
“Sayang, tunggu ….” Aga menyusul Nala menyisakan Aslan dan Amelia di meja itu.
“Sorry Flo, kamu jadi keseret-seret.” Aslan merasa perlu meminta maaf walau sekertarisnya itu telah membuatnya kesal.
“Enggak apa-apa, Pak … saya ngerti.”
“Ya … kamu yang paling ngertiin saya.” Aslan bergumam sangat pelan tapi masih bisa menembus indera pendengaran Amelia.
“Kamu kalau mau pulang pakai mobil saya.” Aslan beranjak berdiri sambil memberikan kunci mobil kepada Amelia.
“Pak Aslan mau ke mana?” Amelia bertanya dengan raut panik.
“Kamu pulang aja ya.” Aslan tidak menjawab malah meminta Amelia pulang sendiri.
“Pak Aslan harus anterin saya pulang.”
“Kenapa?”
“Pak Aslan sendiri yang bilang kalau saya itu calon istri Pak Aslan, apa kata keluarga Pak Aslan kalau saya pulang sendiri.”
“Kamu cari alasan biar mereka mengerti.”
Aslan kemudian pergi begitu saja.
“Saya tunggu Pak Aslan di sini.” Amelia berteriak karena Aslan sudah berjalan menjauh.
Amelia mengembalikan pandangannya ke depan dan saat itu ia melihat Sydney tengah keluar dari venue.
Dari sana ia menduga kalau Aslan akan menemui Sydney.
Dan benar saja, ketika sosok Sydney sudah di luar jangkauan penglihatan orang- orang yang berada di venue—Aslan menjegal langkah Sydney kemudian menariknya ke pavilliun.
“Bang, apa-apaan sih!” seru Sydney menahan suaranya.
Aslan membuka pintu, menyeret Sydney masuk kemudian menutup pintu menggunakan kakinya.
“Kamu udah tahu kalau Sagara akan melamar kamu tapi kamu enggak ngomong apapun sama Abang.” Aslan maju selangkah demi selangkah mengikis jarak dengan Sydney dan sang gadis melakukan sebaliknya dengan berjalan mundur hingga punggungnya menabrak meja bar.
“Aku bingung gimana cara kasih tau Abangnya, aku … ak—“
“Kamu tinggal ngomong, Sydney! Kamu bilang sama Abang, apa kamu pikir Abang enggak kecewa dan patah hati melihat kamu dilamar sama pria lain padahal kamu tahu kalau Abang sangat mencintai kamu.” Aslan menggeram di depan wajah Sydney sampai sang gadis harus memejamkan mata.
“Udah lah, Bang … Bang Aslan cocok sama Mbak Amel … lagian kalau diterusin juga hubungan kita enggak ada harapan, enggak ada masa depan … jadi, udah lah ….” Sydney sendiri tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Bukan hanya Aslan saja yang patah hati, sesungguhnya ia juga.
Rasanya ingin menyerah dikala Aslan tidak mau mengerti posisinya.
Sangat menyakitkan memang, jika tidak bisa bersama dengan orang yang dicintai bukan karena apa yang terjadi di antara mereka tapi karena keadaan yang memaksa mereka untuk tidak bisa bersama.
Air mata Sydney luruh, ia menyembunyikannya dengan menundukan kepala.
Namun Aslan tidak ingin kehilangan kehangatan di mata indah Sydney jadi tangannya menarik dagu Sydney agar mendongak.
Perlahan Aslan mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bertemu kemudian menekan sebelum akhirnya melumat bibir Sydney.
Aslan tidak terkejut ketika Sydney membalas ciuman itu, merasa tenang karena mengetahui hati Sydney masih untuknya.
Kedua tangan Aslan merayap ke dalam rok Sydney, memberikan sentuhan selembut sutra kemudian meremat bongkahan bulat yang padat di belakang tubuh Sydney hingga menghasilkan desahan merdu.
Ciuman Aslan kian menuntut, berpindah ke rahang dan berakhir di leher Sydney, menyesap dalam-dalam aroma tubuh Sydney yang bercampur parfum wangi bunga.
Aslan membalikan tubuh Sydney hingga membelakanginya.
Kedua tangan Sydney refleks memegang meja bar ketika Aslan menarik pinggangnya membuat Sydney menungging.
Bibir Aslan kembali menghujani leher Sydney dengan banyak kecupan dan kini kedua tangannya bisa bebas meremat dada Sydney dari luar gaun.
Sydney tidak berani menolak Aslan, pria itu sudah sangat kecewa oleh pertunangannya bersama Sagara.
Jadi Sydney diam saja meski sangat khawatir Aslan tidak akan berhenti seperti make out yang sering mereka lakukan sebelumnya.
Rematan tangan berurat Aslan begitu kuat di dada Sydney, ia pun meringis.
“Bang … kita harus balik ke venue.” Sydney mengingatkan Aslan.
Bukannya berhenti, dengan tergesa Aslan menyingkap rok Sydney.
Tangannya masuk menyelip di antara kulit dan kain berenda yang menutupi bagian intinya.
Mengusap lembab yang hangat di bawah sana.
Jemarinya naik turun, sesekali berusaha memasuki celah yang masih sangat sempit.
“Bang ….” Sydney melirih, ia tidak memaksa tapi ingin Aslan berhenti.
Namun yang dia dapatkan adalah sikap impulsif Aslan yang lain.
Pria itu menurunkan celana dalam Sydney lalu membuat ruang di antara kaki sang gadis yang mulai ketakutan terbukti dari irama jantungnya yang nyaris terdengar oleh telinga Aslan.
Belum hilang rasa takut Sydney tersebut kemudian terdengar suara sleting celana Aslan terbuka.
Segera saja Sydney menoleh ke belakang namun belum sempat ia melihat wajah Aslan—tubuhnya tiba-tiba saja terdorong ke depan saat Aslan menekan miliknya di antara bokong.
“Emmmh ….” Sydney mendesah sambil memejamkan mata.
Benda hangat tapi keras itu menyentuh bagian bibir di bagian bawah tubuh Sydney.
Aslan mendorong sekali lagi, berusaha memasuki Sydney dari belakang.
Cukup sulit karena Sydney masih perawan.
“Abaaang,” panggil Sydney dengan suara bergetar putus asa.
Saat itu juga Aslan tersadar, menarik diri dari Sydney.
Kemudian melangkah menjauh sambil merapihkan pakaiannya.
Aslan keluar melalui pintu depan pavilliun, merogoh saku celana mencari ponsel sambil terus berjalan ke halaman depan rumah utama di mana mobilnya terparkir.
Sambil menunggu panggilannya tersambung—Aslan mengumpati dirinya sendiri.
“Flo, kita pulang sekarang … saya tunggu di mobil,” titah Aslan dengan ponselnya menempel di telinga.
Di dalam pavilliun—masih di depan meja bar— Sydney menjatuhkan tubuhnya ke lantai.
Menangkup wajahnya dengan kedua tangan, Sydney menangis sendirian.
Satu-satunya orang tempat ia berbagi rasa adalah orang yang telah membuatnya mengenaskan seperti sekarang.
Chapter 24
Aslan duduk berlama-lama di kursinya, menatap kosong ke luar dinding kaca.
Langit begitu cerah hari ini tapi tidak dengan perasaannya.
Malam itu ia berusaha keras menahan ledakan emosi.
Biasanya Aslan akan pergi ke bar atau Night Club untuk menghilangkan beban pikirannya sementara dengan cara menenggak minuman beralkohol.
Tapi Aslan tau, tidak akan berakhir baik bila ada Amelia di sampingnya.
Dengan emosi yang ia sendiri sulit membendungnya—Aslan tidak bisa janji akan berhenti bila nanti tanpa sadar menyentuh Amelia, menjadikan Amelia pelampiasan karena ia tidak berani melakukannya kepada Sydney.
Tidak adil untuk Amelia, wanita itu sudah terlalu menderita dengan trauma yang ditorehkan si pria pengusaha tambang yang membelinya.
Bukan hanya itu, Aslan juga sangat membenci sikap tidak bertanggung jawab papa Aiden di masa lampau.
Dengan kesadaran penuh Papa Aiden meniduri mama Shaqila padahal sedang menjalin kasih dengan mama Raisa.
Dan karena kebodohan itu lah dirinya lahir ke dunia.
Jadi, apa beda dirinya dengan papa Aiden bila tadi malam ia melampiaskan kekecewaannya pada Sydney dengan meniduri Amelia?
Aslan bukan pria seperti itu, ia tidak seperti Papa Aiden.
Ia hanya akan bercinta dengan orang yang dicintainya.
Mata Aslan terpejam erat menyesali perbuatannya pada malam pesta, bukan karena ia telah mencoba mengambil ‘mahkota’ Sydney tapi justru karena tidak jadi mengambil ‘mahkota’ itu.
Semestinya ia menghamili Sydney sekalian agar mereka bisa bersama.
Bila Sydney mengandung anaknya tentu tidak akan ada yang melarang untuk dirinya bertanggung jawab.
Keluarga Devabrata tidak akan lagi berpegang pada aturan bila sudah ada janin di perut Sydney.
“Pak Aslan ….” Amelia menyentuh punggung tangan Aslan karena sudah kesekian kali ia memanggil pria itu tapi tidak ada tanggapan.
Tatapannya kosong ke luar dinding kaca.
Aslan lantas menoleh, mengalihkan tatap pada Amelia.
Sorot matanya seperti orang linglung dengan lingkaran hitam di bawah mata.
Sang bos pasti tidak cukup tidur dua malam ini.
“Kenapa, Flo?” Aslan melirih, tatapannya kini beralih pada layar komputer.
“Pak Aslan ada janji makan siang dengan Pak Dirga … mau saya batalkan atau ….”
Aslan beranjak dari kursi. “Kita ke sana sekarang, Flo … di mana meeting-nya?”
“Di restoran Jepang, Pak.” Amelia menjawab sambil melangkah terseok mengimbangi langkah panjang Aslan yang sudah keluar dari ruangan.
Amelia mampir ke mejanya sebentar untuk menyambar tas yang berada di atas kursi dan kembali menyusul Aslan yang sudah masuk ke dalam lift.
“Ibu saya ngehubungin kamu, Flo?”
Aslan menoleh agar bisa menatap wajah Amelia.
Tumben sekali.
“Iya, Pak … kemarin ibunya Pak Aslan bertanya tentang kejelasan hubungan saya dengan Pak Aslan.”
“Kamu jawab apa?”
“Saya jawab kalau hubungan kita sesuai dengan yang Pak Aslan katakan.”
Aslan bersandar setengah bagian tubuh ke dinding lift, kini pandangannya lurus ke arah pintu lift yang seperti cermin.
“Kenapa kamu enggak menyanggah?” Aslan bergumam, kali ini ia menatap Amelia dari pantulan pintu lift.
“Karena saya tidak ingin Pak Aslan tidak dipercaya lagi ucapannya, Pak Aslan adalah pemimpin perusahaan ini … apa yang keluar dari mulut Pak Aslan harus yang sebenarnya ….”
Aslan melirik Amelia sebentar sebelum keluar dari lift karena pintunya telah terbuka.
“Tapi malam itu saya sedang emosi, tanpa diskusi dulu sama kamu langsung mengakui kamu sebagai calon istri saya.” Aslan mengatakannya dengan suara pelan seiring langkahnya melintasi loby.
Amelia bingung bagaimana menanggapi ucapan Aslan barusan dan kenapa juga hatinya mendadak ngilu mendengar kalimat Aslan yang terakhir tadi.
Seolah kalau pria itu menyesal telah mengakuinya sebagai calon istri.
Apakah Amelia memang tidak pantas menjadi istri seorang Aslan?
“Kamu enggak pantes, Flo ….” Amelia menjawab di dalam hati.
“Flo?” panggil Aslan ketika mereka sudah di dalam mobil.
“Ya, Pak?” Amelia memutar sedikit tubuh agar penglihatannya bisa menjangkau Aslan yang duduk di kabin belakang.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya.”
Amelia menaikkan kedua alisnya bingung.
“Yang mana, Pak?”
Aslan menatap Amelia malas kemudian membuang pandangannya ke samping.
Masa ia harus mengulang pertanyaannya barusan?
Amelia paling pengertian tapi kadang tidak peka.
“Si bos lagi sensi nih ….” Amelia membatin.
Selang beberapa lama, Pak Guntur-sang driver menghentikan laju kendaraan di depan loby utama restoran.
Amelia turun tapi belum sempat tangannya meraih handle pintu kabin belakang—Aslan sudah membukanya lebih dulu.
Aslan mengikuti Amelia yang menuntunnya menuju meja di mana sang klien telah menunggu.
Dalam hati Aslan memuji sikap Amelia yang tidak terpengaruh dengan kejadian malam itu padahal ia sudah bersikap sangat brengsek.
Mengakui Amelia sebagai calon istri lalu melumat sisa cream di sudut bibirnya.
Amelia tidak dibayar untuk menerima perlakuan itu darinya.
***
“Are You oke, Beb?”
Suara berat nan sexy milik Sagara membuat Sydney terjaga, ia pun mengerjapkan mata.
“Saga?” Sydney melirih seraya memutar posisi berbaringnya menghadap sang tunangan yang telah duduk di bagian sisi ranjang yang ia punggungi.
“Aku tadi ke kantor kamu, mau ngajakin kamu makan siang tapi kata Nala dan Nathan hari ini kamu ijin sakit … kenapa kamu enggak bilang?”
Sagara begitu khawatir, tangannya terulur mengusap kepala Sydney lembut.
“Aku enggak mau ganggu kamu, tadinya aku mau kabarin kamu nanti malem sepulang kerja.”
Sagara mengerutkan kening. “Aku tunangan kamu, Syd … kamu harus kasih tau aku hal kecil apapun tentang kamu … dan itu enggak menggangguku sama sekali.”
Pada malam pesta, sekembalinya Sydney dari ijin ke toilet yang menghabiskan waktu cukup lama—Sagara sudah melihat keanehan pada Sydney.
Wajah Sydney tampak pucat, sorot matanya sendu dengan mata sembab.
Tidak mungkin gadisnya menangis, pasti matanya berair karena menahan nyeri pada tubuhnya.
Terbukti sekarang Sydney terbaring di tempat tidur, tadi mami Luna mengatakan kalau Sydney sempat demam tinggi.
Sydney menggenggam tangan Sagara. “Aku enggak apa-apa, hanya masuk angin dan kelelahan ….” Sydney berdusta agar Sagara tidak khawatir.
“Juga syok tiba-tiba di lamar kamu terus stress karena berantem sama Bang Aslan dan hampir diperawanin dia,” sambungnya kemudian di dalam hati.
“Tadi kata grandma kamu belum makan siang jadi aku sekalian bawain bubur yang dimasak koki … kamu bisa turun atau mau aku bawa ke sini makan siangnya?”
Sagara bertanya seraya bergerak turun dari sisi ranjang.
“Aku turun aja.”
Sydney mendudukan tubuhnya bersamaan dengan Sagara yang membungkuk kemudian menggendong Sydney ala bridal.
“Sagaaaa.” Sydney mengerang panjang tapi tidak meronta.
Sagara hanya tersenyum menanggapi, ia membawa Sydney ke bawah dan mendudukkannya di kursi meja makan.
Sagara menggulung lengan kemejanya hingga sikut, mengambil alih sendok yang dipegang Sydney kemudian satu tangannya membawa mangkuk bubur dari atas meja.
Sagara menyuapi Sydney.
“Aku bisa sendiri, Saga …,” kata Sydney dengan mulut penuh makanan.
“Tapi aku mau suapin kamu.”
Tok …
Tok …
Ceklek …
Sagara dan Sydney kompak menoleh ke arah pintu bagian belakang yang baru saja terbuka.
“Non Sydney … saya disuruh nyonya besar anterin makan siang buat tuan Saga.”
Seorang asisten rumah tangga masuk dengan kedua tangan memegang nampan.
“Taruh di meja, Mbak.” Sydney memberi instruksi.
Sang pelayan pergi setelah menyimpan beberapa piring menu makan siang yang tampak lezat membuat Sagara menelan saliva.
“Kamu belum makan, kan? Yuk, kita makan bareng.”
Sydney merebut sendok dan mangkuk dari tangan Sagara, menyimpannya di meja kemudian mengambil piring kosong lalu menuang nasi.
Tangan Sydney tertahan tangan Sagara ketika hendak mengambilkan lauk pauk.
“Aku aja, sayang … kamu lagi sakit.”
Sagara meminta Sydney duduk kembali.
Mata Sydney tidak sengaja melirik meja di depan televisi dan ia mendapati meja itu penuh dengan bunga, parcel buah dan beberapa dessert seperti puding, brownies dan kue-kue dari toko kue ternama.
“Kamu yang bawa makanan sebanyak itu? Juga bunganya?”
Sydney menunjuk ke arah meja menggunakan sendok.
“Iya … tadi aku kirim bunga ke kantor kamu tapi karena kamu enggak masuk kerja jadi aku mampir dulu ke toko bunga sebelum ke sini … sama beli camilan buat kamu.”
“Saga, kamu enggak harus kirim bunga setiap hari ….”
“Kenapa?” Kepala Sagara meneleng menatap Syedney serius.
“Kamu enggak suka bunga?” imbuhnya mencari tahu.
“Aku suka tapi kalau tiap hari kamu kirim bunga apa enggak mubazir?”
Bila saja Sydney mencintai Sagara pasti ia akan bahagia menerima bentuk rasa kasih sayang dan cinta dari pria itu.
Tapi karena Sydney tidak mencintai Sagara, ia jadi merasa bersalah setiap kali menerima pemberian Sagara.
“Setelah kita nikah nanti pun aku akan kasih kamu bunga setiap hari sampai kita tua … sampai aku mati, aku yang mati duluan ya … soalnya aku enggak bisa kehilangan kamu … atauuuu, boleh deh kamu mati duluan tapi tiga detik setelahnya aku juga mati.”
“Sagaaaa, apaan sih malah ngomongin mati.” Sydney memukul lengan berotot Sagara sebagai teguran atas celotehannya barusan.
Sagara tergelak, suaranya begitu renyah seakan menunjukkan pria itu sedang bahagia.
“Kamu balik lagi ke kantor?”
“Iya, setelah kamu makan siang … makan obat dan kembali tidur.”
Sydney menatap Sagara selama beberapa saat.
Betapa beruntungnya ia disayangi dan dicintai oleh Sagara tapi begitu bodoh karena tidak bisa menerima cinta pria itu.
Yang bersangkutan tersadar ditatap sekian lama hingga kemudian menoleh.
“Kenapa?” tanya sang pria kemudian.
Sydney menggelengkan kepalanya, memberikan senyum simpul lantas kembali melanjutkan menghabiskan makan siang.
Sagara benar-benar menjadikan nyata niat yang diucapkannya barusan.
Bukan hanya menemani Sydney makan siang tapi memastikan Sydney minum obat.
Kata papi Arkatama, tadi dokter keluarga datang memeriksa kesehatan Sydney tapi ia tidak menyangka kalau obat yang diberikan sebanyak itu.
Sagara menarik selimut hingga pundak Sydney kemudian merangkak naik ke atas ranjang.
“Saga … kamu enggak balik ke kantor?”
“Sttt … tunggu kamu tidur.” Sagara merentangkan tangannya ke bawah leher Sydney agar Sydney merebahkan kepala di bawah pundaknya.
Sagara mengecup kening Sydney berulang kali kemudian memeluk erat.
“Tidurlah ….” Sagara mengusap punggung Sydney sampai gadisnya terlelap.
***
“Aku pulang sore ini ….”
Danisa tidak menyahut dengan suara tapi menatap Azriel dalam-dalam.
Azriel mengulurkan tangan melewati meja persegi berukuran sedang di antara mereka untuk menggapai pipi Danisa.
“Kamu sakit?” tanya Azriel mengusap pipi Danisa lembut.
Ia berpikir demikian karena sang kakak juga hari ini tidak pergi ke kantor karena sakit.
Danisa menggelengkan kepalanya lemah.
“Kamu kenapa?” Azriel mengesah sembari menarik tangannya dari wajah Danisa.
Ingin rasanya Danisa menceritakan isi hatinya pada Azriel tapi tidak mungkin karena meski Azriel menyayanginya—pria itu belum tentu terima bila tahu kalau dirinya telah menjalin hubungan yang lebih intim dengan Nathan.
Danisa sedang bingung, ia juga terluka.
Hatinya galau gundah gulana, seharian ini tidak fokus belajar di sekolah, bahkan ia tidak memiliki semangat hidup.
Danisa merasa dunianya telah hancur.
Semestinya ia tidak bodoh dengan memberikan tubuhnya pada Nathan.
Pria itu tidak pernah mencintainya, hanya menginginkan tubuhnya saja.
Danisa jadi ingat dengan kesalahan papanya Nathan di masa lalu yang dengan mudahnya meniduri mama Shaqila tanpa adanya cinta.
Sekarang anaknya juga melakukan itu, sejarah terulang oleh darah yang sama.
Tapi mudah-mudanya ia tidak hamil.
Mengingatnya membuat Danisa refleks menyentuh bagian perut.
“Kamu sakit perut?” Azriel bertanya lalu Danisa mendongak.
“Enggak.” Danisa langsung menjawab.
“Terus apa donk? Laper? Ya udah habiskan makannya.” Azriel meraih sendok dari piring Danisa kemudian menyuapinya.
Danisa membuka mulut, bibirnya menyunggingkan sebuah senyum.
Setidaknya ada Azriel yang menyayanginya dengan tulus.
“Aku bisa sendiri.” Danisa mengambil alih sendok dari tangan Azriel kemudian menghabiskan makan siangnya.
Azriel sengaja menjemput ke sekolah, rencananya Azriel akan membawa Danisa jalan-jalan sebelum ia kembali ke Aussie tapi tiba-tiba Danisa ada pelajaran tambahan dan mereka hanya bisa makan siang yang kesorean seperti sekarang.
Cowok itu pun tersenyum melihat Danisa yang akhirnya makan dengan lahap meski hatinya bertanya-tanya ada apa dengan Danisa yang menjadi sangat pendiam.
Karena menurut Azriel, Danisa adalah gadis ceria dan mengasyikkan yang pernah ia temui.
“Ziel? Danisa?”
Mendengar namanya disebut, kedua orang itu langsung menoleh dan mendapati Nathan berjalan mendekat.
“Wah … kebetulan bisa ketemu di sini.”
Nathan lantas duduk di samping Danisa yang kemudian berjengit, menggeser kursinya menjauh dari kursi Nathan.
“Tadi kebetulan abis ketemu vendor.” Nathan membalas kalimat Azriel kemudian beralih pada Danisa.
“Kamu, enggak les?” Nathan mengusak kepala Danisa santai.
Seolah pria itu tidak pernah menyakiti hati Danisa.
Danisa menggelengkan kepala lantas pura- pura sibuk menyeruput orange juice-nya.
Ia harus menahan diri di depan Azriel, jangan sampai cowok itu curiga dan mencecarnya.
Azriel pasti akan kecewa bila mengetahui apa yang sudah ia lakukan dengan Nathan.
Danisa tidak ingin membuat Azriel kecewa apalagi kehilangan kasih sayang pria itu karena Aslan tidak bisa diharapkan apalagi Nathan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan tubuhnya saja.
“Kamu bukannya balik ke Aussie sore ini?”
“Iya, mau anter Danisa pulang dulu.”
“Wah, muter-muter … nanti kamu ketinggalan pesawat, mending sekarang langsung ke rumah grandpa aja … Danisa biar aku yang anter.”
Danisa langsung menoleh dan melotot pada Nathan.
“Oh gitu?” Azriel melirik arlojinya.
“Ada waktu dua jam lagi sih.”
Danisa menatap Azriel penuh permohonan agar dia saja yang mengantarnya pulang.
“Jakarta di jam pulang kerja itu mimpi buruk, Ziel … kamu enggak akan keburu.”
Danisa menatap kesal pada Nathan dan yang bersangkutan tidak peduli.
“Nis, enggak apa-apa kamu dianter kak Nathan?”
Apa yang dikatakan Nathan memang benar, dua jam tidak akan cukup bagi Azriel untuk mengantarnya ke rumah lalu kembali ke rumah grandpa kemudian ke Bandara.
Azriel pasti akan terlambat di jam pulang kerja seperti sekarang.
Jadi ia tidak boleh egois, mau tidak mau harus bersedia di antar Nathan.
“Enggak apa-apa, kamu langsung ke rumah grandpa aja sekarang.”
“Biar nanti gue yang bayar,” timpal Nathan.
Azriel beranjak berdiri lalu bergerak ke samping Danisa.
“Aku pulang ya Nis, liburan nanti aku ke Jakarta … sukses ya ujiannya … biar cepet-cepet jadi mahasiswa.”
Azriel membungkuk untuk kemudian mengecup kening Danisa.
Kedua tangan Danisa kemudian melingkar di pinggang Azriel, memeluk pria itu erat-erat
Azriel memberikan usapan dan kecupan di puncak kepala Danisa.
Perlahan pelukan Danisa melonggar.
“Titip Danisa ya, Kak.” Azriel berpesan.
Danisa tersenyum sinis saat melihat Nathan mengangguk penuh keyakinan.
Azriel akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Danisa dan Nathan berdua.
Danisa memberi waktu beberapa menit untuk Azriel membawa mobil grandpa keluar dari parkiran resto.
Lantas beranjak berdiri tanpa berucap sepatah kata pun pada Nathan.
“Bentar, Nis … aku bayar dulu.” Nathan mencengkram tangan Danisa.
Danisa meraih kunci mobil Nathan di atas meja.
“Aku tunggu di mobil.”
Dan Nathan pun melepaskan Danisa.
Mereka berdua berjalan beriringan tapi Nathan berhenti di kasir sedangkan Danisa langsung menuju parkiran.
Tidak sulit menemukan mobil Nathan, Danisa sudah hapal betul karena Nathan sering menjemputnya menggunakan mobil itu.
Tidak ada yang bicara selama perjalanan.
Nathan terlalu pengecut untuk memulai dan Danisa enggan sekali melakukan komunikasi dengan pria brengsek itu.
Sampai akhirnya mereka tiba di rumah, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut keduanya.
Danisa turun ketika Nathan telah memarkirkan mobilnya di halaman.
Seorang asisten rumah tangga menyambut mereka.
“Non, Bibi pulang sekarang ya … keburu ujan, takut enggak dapat mobil.”
Asisten rumah tangga yang datang setiap pagi dan pulang sore itu meminta ijin.
“Iya,” balas Danisa lemah.
Hari ini mama papanya pulang malam, ia harus sendirian lagi di rumah.
Sayangnya, percakapan asisten rumah tangga dengan Danisa terdengar oleh Nathan.
Niat Nathan yang tadinya hanya sekedar mengantar Danisa pulang kini berubah setelah sang sistem rumah tangga mengangguk sopan ketika hendak melewatinya.
Mobil mama Shaqila dan papa Andi juga tidak ada dan seingatnya, kedua orang tua Danisa hari ini memiliki jadwal di luar hingga malam.
Nathan menderapkan langkah menyusuri teras kemudian masuk ke dalam rumah dari pintu depan yang tidak terkunci.
Tujuannya langsung ke lantai atas di mana Danisa baru saja masuk ke kamarnya.
“Nis,” panggil Nathan sambil membuka pintu.
“Mau apa? Kak Nathan enggak balik ke kantor?”
Danisa membuka satu persatu kancing seragam sekolahnya.
Tanpa segan ataupun malu ia berganti pakaian di depan Nathan.
Untuk apa malu, pria itu sudah pernah melihat seriap jengkal kulit tubuhnya.
Terdengar hembusan napas kasar dari mulut Nathan.
“Nis … aku minta maaf, aku enggak sengaja ngomong begitu.”
Nathan menahan langkah Danisa dengan berdiri tepat di hadapan perempuan muda itu usai mengenakan dress rumahan.
Sesak di dada Danisa masih terasa begitu juga dengan perih di hatinya dan ia tidak bodoh untuk percaya dengan tipu muslihat Nathan lagi.
“Udah lah Kak, percuma … aku denger sendiri dari mulut kamu … tapi aku minta, Kak Nathan mundur … biarkan bang Aslan sama mbak Amel … aku setuju banget bang Aslan nikahin mbak Amel.”
Danisa menarik langkah hendak melewati Nathan usai berkata demikian namun lagi-lagi Nathan menahan.
“Nis … aku enggak sungguh-sungguh bilang suka sama Amelia kemarin itu … aku becanda.” Nathan berusaha menjelaskan dengan sebuah dusta.
“Tapi ekspresi Kak Nathan enggak kaya gitu.” Danisa mengatakannya dengan suara rendah bahkan mengesah.
Ia sudah tidak bisa marah lagi karena kecewanya sudah melewati level tertinggi.
“Maafin aku, Nis.” Nathan memegang kedua tangan Danisa.
“Minta maaf untuk apa? Karena udah merawanin aku tanpa cinta atau karena udah nyakitin aku dengan memberitau isi hati Kak Nathan sebenarnya yang menyukai mbak Amel?”
Danisa menatap nanar pria yang telah merenggut masa depannya, pria yang ia sayangi dan begitu ia percaya.
Nathan memutus tatap dengan Danisa, pria itu menundukan kepala.
“Aku minta maaf atas semuanya, Nis ….”
Nathan melepaskan tangan Danisa, beralih memeluk tubuh mungil di depannya.
Danisa tidak juga menolak, ia tidak memiliki tenaga lebih untuk memberontak.
Bahkan ketika Nathan mencium bibirnya sambil melucuti pakaiannya—Danisa diam saja.
Ia juga tidak menolak ketika Nathan yang tanpa merasa berdosa kembali menikmati tubuhnya, menghentak dari atas—Danisa hanya bisa menolehkan kepalanya ke samping—tidak sudi melihat wajah pria itu—dengan buliran kristal mengalir dari ujung matanya.
Sudah kepalang tanggung, untuk apa Danisa menolak?
***
“Flo, kamu belum jawab pertanyaan saya tadi siang.”
“Yang mana, Pak?”
Amelia menghadapkan tubuhnya ke depan Aslan, mereka sedang menunggu Pak Guntur membawa mobil ke depan loby.
“Yang ….” Aslan menjeda, mengalihkan tatap pada gedung pencakar langit di samping gedung kantornya.
“Kemarin itu saya sedang emosi, tanpa diskusi dulu sama kamu langsung mengakui kamu sebagai calon istri saya … yang itu,” sambung Aslan, mengulang kembali kalimatnya tadi siang.
“Oh … itu, saya sudah bilang enggak masalah.”
“Jadi?” Aslan bertanya.
“Jadi apanya, Pak?”
Tuh ‘kan, Amelia enggak peka lagi.
“Jadi gimana sekarang?” desak Aslan yang justru membuat Amelia semakin bingung.
“Ya udah,” balas Amelia ambigu.
Aslan berdecak lidah kesal.
“Pak Aslan mau saya pura-pura jadi pacar, Pak Aslan?” Amelia sedang menebak.
“Nanti saya tambahin gaji kamu,” Kalimat barusan berarti Aslan menjawab ‘Ya’.
“Oke, jadi … apa yang harus saya lakukan?”
Aslan terkejut, tidak menyangka Amelia semudah itu mau menerima tawarannya.
“Untuk sekarang enggak ada.”
Amelia mengangguk.
“Pak Aslan enggak akan memperjuangkan cinta Pak Aslan sama Sydney?”
Kepala Aslan meneleng menatap Amelia intens, apa sebenarnya yang ada di benak sekertarisnya hingga bertanya demikian?
“Maksud kamu?”
“Enggak … hanya saja, saya pikir akan sia-sia ….”
Aslan benci mendengar pendapat Amelia, meski mungkin benar adanya.
“Saya akan pikirkan caranya, sampai saya menemukannya—kamu pura-pura jadi pacar saya.”
“Baik, Pak.”
Aslan tersenyum meski sangat tipis dan jujur senyum itu memunculkan riak kecil di hati Amelia.
Amelia segera menguasai dirinya kembali, membukakan pintu untuk Aslan karena kebetulan mobil Aslan yang kemudikan pak Guntur baru saja berhenti di samping mereka.
“Saya pulang duluan ya, Flo.”
“Hati-hati di jalan …,” sahut Amelia. “Calon suami,” sambungnya di dalam hati kemudian meringis.
Aslan mengangguk samar, masuk ke dalam mobil dari pintu yang dibuka Amelia.
“Aku punya hak nungguin kamu sampai kamu lelah memperjuangkan cinta kamu sama Sydney tapi bila takdir kamu memang bersama Sydney, maka aku akan merelakan kamu.” Amelia bermonolog sambil menatap mobil Aslan menjauh.
Amelia lupa siapa dirinya.
Amelia lupa kalau hatinya pernah mengatakan tidak pantas untuk pria manapun.
***
“Beib, tiba-tiba aku ada meeting sampai malam … mungkin aku enggak sempat ke tempat kamu jadi kamu tidur duluan aja ya.”
Sagara sengaja memberi kabar melalui sambungan telepon karena tadi ia mengatakan akan datang kembali menjenguk Sydney sepulang kerja.
“Enggak apa-apa, aku juga udah mau tidur … baru aja minum obat.”
“Bagus, banyak istirahat ya!”
“Hu’um ….”
“Mami, papi sama Ziel udah pulang?”
“Udah, tadi sore … mami jadi overprotective dan papi jadi melankolis.”
“Kenapa?”
Sydney tersenyum mengingat pesan maminya sebelum pulang tadi.
“Mami takut aku hamil duluan jadi ingin aku segera nikah dan papi sebenarnya masih belum rela melepas aku.”
Sagara tergelak. “Sepertinya keputusan untuk menunda dulu pernikahan memang jalan terbaik ya? Agar papi terbiasa dulu tapi kasian mami yang jadi khawatir kita akan kelewat batas.”
“Iya … tapi kita enggak akan kelewat batas ‘kan Saga?”
“Semua terserah kamu, Syd … yang pasti akhirnya kamu harus sama aku.”
Gantian Sydney yang tertawa, sekarang ia berharap Aslan menghilang seperti lima tahun lalu.
Biarlah ia menanggung beban rindu kepada Aslan, merasakan patah hati terbesar karena tidak bisa bersamanya lalu menikahi Sagara dan berusaha mencintai pria itu.
Sydney lelah dengan semua drama ini.
“Oke deh sayang, aku lagi jalan ke ruang rapat … sampai besok ya cantik.”
“Sampai besok, Saga.”
“I love You, Syd.”
“Love you.”
Usai Sydney membalas ungkapan cinta Sagara dengan sebuah dusta—sambungan telepon pun terputus.
Sydney mengisi gelas untuk ia bawa ke atas tapi kemudian terjatuh karena terkejut mendengar suara pintu depan terbuka.
Matanya membulat ketika melihat Aslan masuk dan langsung mengunci pintu .
Sydney mengawasi gerak-gerik Aslan, kini pria itu berjalan tenang menuju pintu belakang dan menguncinya.
Setelahnya, Aslan mendekati Sydney membuat jantung Sydney menaikkan tempo debaran.
“Ba-Bang Aslan.” Sydney terbata, matanya mengerjap gugup.
Aslan berhenti tepat di depan Sydney, ia melirik gelas yang jatuh ke lantai dengan airnya yang meleber.
“Tadi Abang ke kantor kamu, kata Nala kamu sakit.”
Tangan besar Aslan melingkupi sisi wajah Sydney, menariknya perlahan kemudian mengecup bibir Sydney sekilas.
Aslan menjauhkan wajahnya untuk mencari tahu respon Sydney.
Sydney yang memang mencintai Aslan mana bisa memprotes, padahal tadi hatinya berharap Aslan menghilang dan akan berusaha mencintai Sagara lagi.
Sebetulnya dulu pernah ia lakukan tapi kemudian berakhir menerima Aslan kembali, seperti yang sedang ia lakukan sekarang.
Sydney selalu menjadi keledai bodoh setiap kali berurusan dengan Aslan.
“Iya … cuma masuk angin.”
Aslan mengangkat tubuh Sydney dan mendudukannya di stool.
Kedua tangannya membingkai wajah Sydney di kedua sisinya, menarik pelan lagi untuk kemudian melumat bibir Sydney.
“Maafin Abang kemarin ya?”
Aslan menyatukan kening mereka, menunggu Sydney menjawab permintaan maafnya.
Sydney mengangguk, melapisi telapak tangan Aslan di pipinya.
Suhu tubuhnya tiba-tiba memanas tatkala Aslan menuntun kedua tangannya agar melingkar di leher pria itu.
Tidak sampai di sana, Aslan juga menarik kaki Sydney agar melingkar di pinggangnya.
“Numpang bobo ya, Syd.” Aslan berbisik sambil menggendong Sydney menaiki tangga ke lantai dua.
“Kebiasaan.” Sydney bergumam dan kekehan singkat lolos dari mulut Aslan.
Tidak pernah ada bekasnya, padahal kemarin mereka bertengkar hebat yang berakhir Aslan nyaris mengambil ‘mahkota’ Sydney.
Aslan menurunkan Sydney di atas ranjang, mengurai lingkaran tangan juga kakinya.
Pria itu kemudian membuka kemeja juga ikat pinggang.
Merangkak naik ke atas Sydney untuk mencumbunya.
Bibir mereka kembali bertemu, tubuh keduanya kembali merapat.
Sydney tidak melawan, membiarkan degup jantung berseteru di setiap inci sentuhan Aslan.
“Emmh ….” Desah merdu Sydney mengudara dampak dari tekanan benda keras di bagian inti yang hanya terbalut kain berenda karena Aslan telah menyingkap piyama dressnya.
Kecupan demi kecupan kini merajai leher Sydney sementara tangan dengan urat-urat samar itu mengoyak piyama dress gadis di bawahnya sampai terdengar suara kancing berhamburan ke lantai.
“Syd ….”
“Bang ….”
Keduanya terbakar gelora hasrat atas nama cinta.
***
“Hai sayang.” Aga menyapa Nala dari balik kemudi dengan kaca jendela terbuka menunjukkan senyum menyebalkannya.
Nala merotasi bola mata jengah.
Di belakang mobil Aga ada mobilnya yang di kemudikan driver.
“Sayang, ayo masuk … gue diundang bokap lo makan malam di rumah … ada yang mau kita diskusikan mengenai perusahaan yang mau gue akuisisi.”
“Bohong!” Nala menahan suara, matanya mengedar mencari tahu apa ada yang mendengar suara tingginya.
“Ngapain gue bohong sih, ayo masuk … gue udah laper.”
Aga mengusap perut ratanya hingga kemeja sutra pria itu mencetak otot six pack di sana.
Nala akhirnya mengalah, ia masuk ke dalam mobil Aga.
“Jangan cemberut donk, sayang … kita ‘kan udah tunangan … lo harus bahagia ketemu gue.”
Nala mengembuskan napas panjang, punggungnya bersandar pada jok mobil Aga yang nyaman.
Ia sedang berpikir kalau Aga ada benarnya, untuk apa ia buang- buang energi dengan selalu kesal setiap ketemu pria itu?
Lama-lama ia bisa cepat tua.
“Lo tahu enggak kalau Sagara, tunangannya Sydney itu tiap hari kirim Sydney bunga ke kantor.”
“Oh ya?” Aga menoleh sekilas.
Nala menganggukan kepalanya.
“Ngapain tuh cowok ngirim Sydney bunga tiap hari? Dia pikir Sydney kuburan apa?”
Refleks Nala menampar lengan Aga dan ia merasakan ada otot tercetak di sana.
“Itu namanya romantis, dasar enggak peka … lo sih keseringan one night stand enggak pernah pacaran jadi enggak tau gimana caranya bahagiain cewek.”
Aga tergelak. “Jadi lo mau gue kasih bunga?”
Nala malah membungkam mulutnya, melipat tangan di dada kemudian menoleh ke jendela di samping kirinya.
Aga melirik lagi sambil mengulum senyum.
“Gue kasih bunga Bank, gimana?”
“Seriusan?” Nala mengembalikan pandangannya pada Aga.
“Serius banget, tapi gue boleh nidurin lo kapan pun gue mau.”
“Oke … mau sekarang?” Nala membuka blazer menyisakan camisol putih membuatnya pundaknya terbuka, terlihat seksi.
“Semangat banget.” Aga sampai takjub.
“Kenapa enggak? Bukan lo kok yang pertama … gue udah expert … apa mau gue emut sambil lo nyetir?”
Nala menurunkan pandangannya ke sleting celana Aga.
Tapi bukannya senang, wajah Aga malah mengeras.
“Lo udah enggak ….”
“Iya, gue udah enggak perawan … kenapa? Lo mau mundur?”
Aga menghentikan laju kendaraannya ke sisi jalan.
“Gue enggak mau lo turunin di sini ya!”
“Nal, lo serius donk … lo udah enggak perawan?” Aga membentak sampai Nala berjengit, punggungnya menabrak pintu.
“Kenapa memang?” Nala tidak kalah membentak.
“Gue rugi donk!”
“Apanya yang rugi? Bukannya akuisisi perusahaan gue juga menguntungkan buat lo makanya lo mau!”
“Ya tap—“
“Tapi apa? Masa lo aja yang bisa make love sebelum nikah?”
Dalam mobil itu berisik sekali karena mereka saling membentak.
“Lo bohong, kan? Lo cuma ingin gue benci sama lo, jijik sama lo dan enggak nyentuh lo, iya kan? tuduh Aga tidak percaya.
“Gue udah dua puluh empat tahun Aga, masa iya gue masih perawan? Ini bukan jaman prasejarah.”
Aga mengetatkan rahang, pria itu melajukan kembali mobilnya dan berbelok memasuki sebuah hotel.
“Ngapain ke sini?”
Nala mulai was-was.
“Gue penasaran, lo masih perawan atau enggak.”
“Aga!” seru Nala histeris
Chapter 25
Kepala Sydney mulai pening, otaknya tidak bisa berpikir jernih saat lidah Aslan bermain di puncak dadanya.
Aslan pernah melakukan ini tapi apa yang dilakukan Aslan sekarang berbeda, lebih tidak terkendali.
Puas bermain dengan puncak yang satu—Aslan berpindah ke yang satunya lagi.
Ada bercak merah dari gundukan yang baru saja Aslan tinggalkan.
Dan mata mereka bertemu, saat bibir pria itu sibuk mengulum juga lidah yang lihai menjilat—Aslan menatapnya dengan kilat berbeda.
Bulu kuduk Sydney meremang, rasa khawatir tiba- tiba muncul tapi ia sendiri tidak tahu karena apa.
Aslan melengkungkan punggungnya, kecupan demi kecupan berpindah ke dada bagian bawah menuju perut Sydney.
Piyama dress yang kancingnya telah terbuka hingga bawah tidak lagi berguna menutupi tubuh Sydney.
“Bang ….” Erangan seksi kembali mengudara tatkala Aslan melanjutkan kecupannya melewati perut Sydney.
Aslan tekan bibirnya tepat di bagian inti Sydney membuat Sydney menggelinjang.
Ia larikan kecupan bibirnya ke paha Sydney, menggunakan lidah mematri tanda merah di sana sambil perlahan menarik turun celana dalam berenda berwarna hitam yang kontras dengan kulit Sydney.
Sydney terhenyak, nyaris menegakan punggung merasakan sapuan lidah Aslan di bagian intinya.
Gelenyar asing mulai bergejolak di bagian perut, rasa geli merambat hingga dada dan terus naik seakan ingin meledakan kepalanya.
Bentuk sentuhan nikmat lainnya yang Aslan berikan dan Sydney tidak mampu menolak.
Aslan mengulum, menjilat dan melesakan lidahnya pada celah di bagian bawah tubuh Sydney.
Sang gadis mencengkram rambut tebal Aslan kuat-kuat, dadanya membusung dengan kepala menengadah bersama pejaman mata erat.
Pemandangan yang luar biasa seksi dilihat Aslan dari bawah sini.
Gerakan lidah Aslan semakin liar diiringi desahan Sydney yang kian merdu.
Sydney telah basah, kesepuluh jemari kakinya menekuk mencengkram seprei kuat-kuat.
Namun ketika gelombang kenikmatan hendak mengggulung Sydney—Aslan bangkit, mengulum singkat dua puncak di dada Sydney secara bergantian dan terakhir melumat bibirnya lembut.
Detik berikutnya Aslan turun dari tempat tidur membuat Sydney kehilangan, terlihat di wajah cantiknya yang kini merengut.
Tapi tunggu, Aslan tidak sedang menyiksa Sydney dengan meninggalkannya di puncak hasrat.
Pria itu menanggalkan celana hanya menyisakan boxer.
Sydney menelan saliva, pendar di matanya berubah gamang.
“Bang ….” Sydney mengangkat kedua tangan hingga menempel di dada Aslan saat pria itu kembali ke atasnya, menyelip di antara kedua paha yang baru saja ia regangkan.
“Kamu milik Abang, Syd ….” Suara serak Aslan mengklaim.
Tidak peduli Sydney telah bertunangan tapi Aslan tahu cinta Sydney hanya untuknya.
Biasanya Aslan akan selalu berhenti, tidak pernah melewati batas paling dalam tapi kenapa sekarang pria itu malah mengeluarkan bukti hasratnya yang telah mengeras dari dalam boxer dan meletakannya tepat di bagian inti Sydney.
Debaran jantung Sydney menggila, kilat di matanya yang tadi berkabut hasrat kini tampak ketakutan sedangkan netra Aslan telah menggelap seakan sosok monster yang ada di dalam diri Aslan tengah mengambil kendali dirinya saat ini.
“Bang ….” Sydney menggelengkan kepala, matanya membendung buliran kristal yang bisa tumpah kapan saja.
“Hanya ini caranya agar kamu jadi milik Abang seutuhnya.”
Sydney menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Jangan ….” Sydney melirihkan sebuah permohonan.
Tapi Aslan terlalu keras kepala, ia tidak bisa menunggu sementara cincin Sagara telah tersemat di jari manis Sydney.
Aslan mendorong sekuat tenaga membuat Sydney membulatkan mata dan tumpah lah semua buliran bening itu.
Jemari Sydney yang salah satunya dilingkari cincin Sagara mencengkram pundak Aslan saat pria itu telah memenuhi Sydney di bawah sana.
Mendobrak selaput dara hingga menghasilkan darah segar yang merembes mewarnai sepreinya.
Sydney hanya bisa menerima, ia belum terbiasa saat Aslan bergerak menghentak di atasnya.
Rintihan menggantikan desahan karena rasa perih dan sakit mendera Sydney seakan tubuhnya terbelah.
Aslan merunduk, membungkam bibir Sydney dengan ciuman tanpa memelankan tempo hentakannya.
Milik Sydney sangat sempit, menjepitnya begitu ketat membuat Aslan menaikkan tempo hentakan mengejar kenikmatannya sendiri.
Aslan menggeram bersama hentakannya yang kian dalam dan kuat, menyemburkan benihnya menghangatkan rahim Sydney.
Sydney memejamkan mata saat Aslan bergulir ke samping.
Dan saat itu juga ia terhempas ke dalam jurang rasa bersalah karena telah mengkhianati Sagara.
“Maafin aku, Saga.” Sydney menangis di dalam hati.
Tubuh Sydney terasa ditarik kemudian kehangatan membungkusnya.
Aslan memeluk Sydney yang lemas tidak berdaya bahkan enggan membuka mata.
“Setelah ini kamu akan jadi milik Abang, Syd … Abang janji.”
***
“Agaaaa!!! Gue enggak mau dasar bangsat brengsek!!”
Aga menggendong Nala seperti karung beras di pundaknya menyusuri lorong setelah keluar dari lift.
“Kenapa enggak mau? Harus mau donk … gue ‘kan tunangan lo, terus lo bilang juga udah enggak perawan jadi apa masalahnya?”
“Kita belum nikah, Aga!” Bentak Nala tidak menahan-nahan.
“Iya … iya, sabar donk … nanti juga kita nikah, sekarang kita make Love aja dulu.”
Aga menghentikan langkah, men-tap kartu dan pintu pun terbuka.
“Agaaaa!” Nala berteriak, kedua tangannya memegang bingkai pintu ketika Aga melangkah masuk.
Aga menurunkan Nala, ia terkekeh melihat tingkah lucu tunangannya yang tadi bersemangat menawarkan diri tapi sekarang seperti kelinci yang berusaha melarikan diri dari kandang buaya.
Memeluk pinggang Nala dari belakang, Aga menariknya mundur hingga cengkraman tangan Nala terlepas dari bingkai pintu kemudian pintu tertutup dan terkunci secara otomatis.
Aga mengangkat tubuh Nala lalu menghempaskannya ke atas ranjang.
Gaya pegas di dalam ranjang membuat tubuh Nala terpental sedikit ke udara.
“Aga!!!!” bentak Nala kesal.
“Iya sayang.” Aga menjawab dengan nada dan ekspresi paling menyebalkan seraya membuka kancing di lengannya.
“Lo enggak bisa maksa gue!!!”
“Bisa donk.”
Aga selalu menjawab bentakan Nala dengan santai.
Kemeja Aga teronggok di lantai, pria itu juga melepas belt dan celana kainnya.
“Aga ….” Sekarang Nala memelaskan wajah.
Aga tertawa seraya merangkak naik ke atas tempat tidur.
Gadisnya menyerah.
“Ga … gue memang udah enggak perawan tapi gue enggak mau dilecehkan ….”
Aga tertegun melihat Nala malah menangis, ia pun bersimpuh di depan Nala dengan hanya menggunakan celana dalam.
“Lo nyesel karena udah nggak perawan?” Aga menarik kedua tangan Nala yang menutup wajahnya.
Nala mengangguk menjawab pertanyaan Aga.
“Sama siapa?” Aga bertanya.
“COO sebelum Sydney ….”
“Dia mencampakkan lo?”
“Dia punya anak istri.”
Aga mengembuskan napas berat, merebahkan tubuhnya di samping Nala.
“Kalau lo ngerasa rugi … lo boleh batalin pernikahan ini.” Nala melirih.
Aga tidak menjawab, matanya menatap kosong langit-langit kamar.
Nala bisa melihat kecewa yang besar di wajah Aga.
Perlahan Nala merebahkan tubuhnya, ikut menatap langit-langit kamar seakan di sana ada pemandangan yang sangat menarik.
“Aku baru sadar sewaktu lo ngebentak gue tadi di mobil kalau sebrengsek apapun pria pasti menginginkan gadis baik-baik dan sempurna untuk menjadi istrinya ... dan gue udah bukan cewek seperti itu lagi.” Nala bergumam, air matanya meluncur dari sudut mata kiri.
Ucapan Nala barusan memberi alasan kepada Aga untuk tetap bungkam.
Awalnya Aga tidak terima karena Nala bukan perawan lagi tapi kemudian ia baru tersadar bila apa yang dirasakan Nala mungkin dirasakan juga oleh para gadis yang pernah ia renggut kehormatannya.
Bagaimana mereka akan menjalani hidupnya bila semua pria seperti dirinya, hanya menginginkan yang sempurna dan masih perawan untuk dijadikan istri.
Aga bangkit, meraih kemeja dan celana kemudian mengenakannya.
Sementara itu Nala menegakan punggung, mengubah posisinya menjadi duduk.
Ia mendongak saat melihat tangan Aga terulur ke depannya.
“Gue anter lo pulang.” Tidak ada raut menyebalkan di wajah Aga, sorot matanya bahkan terlihat sendu.
Nala meraih tangan Aga untuk turun dari atas ranjang.
Selama beberapa saat mereka hanya saling menatap sampai akhirnya tangan Aga membingkai sisi wajah Nala, pria itu lantas merunduk untuk mengecup kening Nala lembut.
“Gue akan nikahin lo, Nala ….”
Kalimat yang dilontarkan Aga dengan ekspresi serius di wajah tampannya itu membuat hati Nala bergetar.
Nala menunduk menyembunyikan tangis dan Aga menawarkan pelukan hangat.
Ia bukan sedang terharu karena meski setelah memberitau tentang rahasia kelamnya—Aga masih mau menikahinya tapi justru Nala takut, Nala takut jatuh cinta kepada Aga dan setelah mereka menikah nanti pria itu mengkhianatinya karena mencari gadis yang lebih sempurna.
Nala membayangkan pernikahan mereka akan diwarnai pertengkaran.
Aga akan meneriakinya sebagai pelacur setiap kali pria itu sedang cemburu.
Lalu Nala bisa apa mengingat ia telah memberikan dengan sukarela mahkota kepada pria yang bukan suaminya.
Jadi ketika nanti Aga—setelah menjadi suaminya—memaki, menghina dan meninggalkannya—Nala harus terima.
Selamat datang Nala, di mimpi terburukmu.
***
Sagara merasa ada yang berubah dari Sydney, wajah tunangannya itu tidak berseri seperti sebelumnya.
Ia sering mendapati Sydney sedang melamun bahkan saat mereka berdua sedang terlibat obrolan seru—Sydney langsung tiba-tiba terdiam dan menatap kosong ke arah lain.
Atau seperti sekarang ketika dalam perjalanan pulang—Sydney memejamkan mata tapi Sagara tahu kalau Sydney tidak tidur.
Sydney seperti sedang menghindari komunikasi dengannya.
“Kalau kamu belum sehat seharusnya enggak usah kerja.”
Kalimat Sagara itu terdengar seperti sebuah teguran.
“Aku udah sembuh.” Sydney menyahut.
“Tapi kamu keliatan lemes … pucat.”
“Ya … ini tanda-tanda baru aja kehilangan keperawanan.” Sydney membalas di dalam hati.
“Efek obat kayanya ini, ada antibiotik yang harus dihabiskan dan aku ngerasanya memang lemes setiap abis minum obat itu.” Sydney selalu memiliki alasan dan Sagara akan percaya meski terkadang tidak masuk logikanya.
Sagara meraih tangan Sydney yang kemudian ia letakan di dada.
Telapak tangan Sydney sekarang bisa merasakan debaran jantung Sagara.
Sydney membuka mata lalu menoleh.
“Kamu ngapain?” Sydney bertanya.
“Kamu bisa merasa debaran jantung aku?”
Sydney mengangguk.
“Dari pertama kali ketemu kamu sampai sekarang, setiap ketemu kamu debarannya masih sama, enggak berubah malah terkadang semakin kencang.”
Sydney terkekeh menanggapi celotehan Saga.
“Dengan kata lain … cinta aku enggak berubah, malah semakin kuat … jadi, aku minta kamu juga jangan berubah ya.”
Bagaikan sebuah sindiran telak, senyum di bibir Sydney perlahan memudar.
Sagara tidak dapat melihatnya karena pria itu harus fokus mengemudi.
“Aku rindu senyum dan ceria kamu yang dulu, Syd.”
Sagara menoleh sekilas bersama senyumnya.
Dan setelah itu, Sagara harus menelan kecewa karena jangankan menanggapi—senyum Sydney langsung hilang seketika.
Entah apa salahnya atau mungkinkah ada yang terjadi dengan Sydney sampai sang gadis berubah dan perubahan sikapnya sangat jelas terasa.
Mobil Sagara berhenti di halaman depan pavilliun Sydney.
“Makasih ya Saga.”
Sydney hendak menarik tangannya yang masih ditempelkan di dada Sagara namun pria itu menahan.
Menariknya ke atas untuk memberikan kecupan di bagian punggung.
Sagara melepaskan tangan Sydney, membuka pintu kemudian turun dari mobil dan memutari setengah bagiannya.
Untuk menghargai Sagara, Sydney harus menunggu pria itu membuka pintu mobil.
Sydney turun dengan bantuan tangan Sagara yang tidak pernah berhenti memperlakukannya bagai seorang Ratu meski saat ini ia sudah menjadi tunangannya.
Keduanya berjalan beriringan menuju pintu pavilliun, Sydney menekan jempolnya untuk membuka pintu.
Sydney melangkah masuk tapi kemudian Sagara mengikuti.
“Boleh aku minta minum?”
Sydney mengerjap, kenapa tumben sekali Sagara minta minum padahal tadi minum banyak ketika mereka makan malam.
Sydney mengangguk saja, menuntun Sagara ke pantri.
Mengambil botol mineral dari dalam kulkas kemudian menuangnya ke dalam gelas.
Sagara menenggak isi di dalam gelas itu hingga tandas.
“Makasih ya.” Sagara meletakan gelas, tangan satunya mengusap kepala Sydney.
“Kamu langsung tidur … besok aku jemput lagi pulangnya.”
“Kamu enggak usah jemput tiap hari, aku bisa pulang sama grandpa.”
“Selama enggak ada meeting di luar jam kantor … aku akan jemput kamu.”
Usai berkata demikian kepala Sagara merunduk mengecup kening Sydney.
Tidak sampai di situ, Sagara juga menurunkan kecupannya ke hidung dan berakhir di bibir.
Menekan sebentar sebelum akhirnya melumat bibir bawah Sydney lalu beralih melumat yang atas.
Mata Sydney terpejam erat, ia merasa tidak lebih mulia dari seorang pelacur karena bersedia di sentuh oleh dua orang pria berbeda.
Tangan Sagara menekan punggung Sydney membuatnya maju selangkah menabrak dada pria itu.
“Saga ….” Sydney berusaha mendorong tubuh Sagara, menghentikan pria itu agar berhenti menyentuhnya lebih intim karena kini satu tangan Sagara telah berhasil masuk ke rok span Sydney.
Sagara berhenti, ia tidak akan memaksa.
Pria itu tersenyum saat menarik tangannya dari paha Sydney.
“Aku pulang, tidur nyenyak ya.”
Sagara mencuri kecup sekilas lantas pergi setelah mengusap pipi Sydney yang diam membatu dengan raut bingung, resah dan takut.
Sydney mengembuskan napas panjang mendengar pintu depan tertutup kemudian terkunci otomatis.
Namun kembali harus menahan napas saat mendengar suara ketukan sepatu menuruni tangga.
Mata Sydney melotot mendapati Aslan turun dari lantai dua.
Jadi, dari tadi Aslan ada di atas?
Pasti Aslan mendengar semua percakapannya dengan Sagara.
Tapi bukan percakapan dengan Sagara yang ia khawatirkan, Aslan pasti melihat ketika Sagara menciumnya.
Dan dari raut wajah Aslan yang tampak berang dengan sorot mata tajam ketika sekarang melangkah mendekatinya membuat Sydney yakin pria itu melihat apa yang dilakukan Sagara padanya barusan.
Aslan mengulurkan tangan, mencengkram dagu Sydney dengan tangannya kemudian mencium bibir Sydney dengan kasar, membabi buta, bahkan menggigit kecil bibir Sydney yang bagian bawah.
Sydney mendorong tubuh Aslan kuat namun apalah daya dia yang mungil itu melawan Aslan yang tinggi dan kekar.
“Kamu milik Abang, Syd … kamu enggak boleh kasih ini sama cowok lain.” Aslan menggeram sambil mengusap bibir Sydney dengan ibu jari dari tangan yang masih mencengkram dagu Sydney kuat.
“Kamu harus putusin Sagara.”
“Iya … aku akan batalin pertunangan aku sama Saga karena dia enggak pantes dapetin aku … dia terlalu sempurna untuk aku yang udah cacat ...?”
Aslan melepaskan Sydney, ia mengambil satu langkah mundur ke belakang sehingga Sydney bisa melewatinya sambil mengusap air mata.
Pria itu tampak syok mendengar ucapan Sydney barusan.
Sydney berlari menaiki tangga dan sialnya air mata itu tidak mau berhenti mengalir.
Kenapa Aslan tidak mau mengerti?
Tidak mudah menyakiti pria yang begitu mencintainya, Sydney tidak sejahat itu.
Apalagi ada perjanjian dua perusahaan yang telah terjalin dengan jaminan hubungannya bersama Sagara.
“Syd ….” Aslan menyusul Sydney ke lantai atas.
“Kamu enggak cacat, Abang akan nikahin kamu.” Aslan menarik kedua tangan Sydney agar menghadapkan tubuh padanya.
“Setelah aku hamil … iya, kan? Apa enggak ada cara yang lebih beradab, Bang?”
“Enggak ada … kecuali kita kawin lari … kalau kamu mau, Abang udah siapin semuanya … kita pindah ke Singapura.”
“Jangan gila, Bang!”
Sydney mendorong Aslan sampai pria itu menyingkir dari hadapannya.
Menarik baju tidur dari lemari kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Sydney duduk di lantai kamar mandi, memeluk kedua lututnya lalu menangis.
Umurnya masih dua puluh satu tahun, ia tidak bisa menyelesaikan masalah sepelik ini.
Sydney mencintai Aslan, ingin bersamanya tapi tidak ingin menyakiti Sagara dan keluarganya.
“Syd ….”
Aslan mengetuk pintu kamar mandi.
Sydney bangkit, memutar kran wastafel agar Aslan tahu ia masih hidup.
“Syd … buka pintunya.”
Sydney membasuh wajah, menanggalkan pakaian kerja menggantinya dengan baju tidur lalu keluar dari kamar mandi dengan mata sembab.
“Apa?”
“Jangan nangis.” Aslan menarik tubuh Sydney dalam dekapan.
“Abang janji semuanya akan baik-baik aja, ... Abang janji.”
“Aku butuh waktu untuk membatalkan pertunangan dengan Saga ….” Sydney melirih di dada Aslan.
Aslan tidak menjawab tapi tangannya mengusap kepala Sydney berulang kali sebelum akhirnya mengecup puncak kepalanya.
***
Seminggu kemudian pesta pertunangan Nala digelar.
Sebuah Ballroom hotel langganan para kaum jetset menggelar pesta menjadi tempat Nala dan Aga merayakan pertunangannya setelah diresmikan pada minggu lalu saat pesta ulang tahun grandma dan grandpa.
Kedua orang tua Sydney dan Azriel tidak hadir, mereka telah sepakat untuk itu dan akan datang ketika pesta pernikahan saja.
Pesta ini dilaksanakan untuk memberitau pada kolega dan kerabat kalau dua keluarga yang berpengaruh dalam bisnis di Indonesia akan menjalin kekeluargaan yang lebih erat lagi.
Sydney dipercaya Nala untuk membuat cantik dirinya di pesta ini.
Mereka hanya berdua saja berada di sebuah kamar.
Danisa juga tidak hadir dalam pesta itu, ia harus belajar untuk ujian kelulusan besok.
“Kak … kok enggak nolak sih? Kak Nala ‘kan enggak cinta sama bang Aga.”
Sydney berdiri di samping Nala, sedang menyapukan foundation ke wajah sang kakak sepupu.
“Enggak ada pilihan, Syd … aku harus menyelamatkan anak perusahaan DevaCorp.”
Meski ia harus hidup dalam neraka bernama rumah tangga bersama Aga.
Setidaknya ia tidak perlu repot-repot meminta cerai karena pasti pria itu akan meninggalkannya setelah mendapat gadis lain yang lebih sempurna.
Ketidaksempurnaan dirinya malah membuat Nala insecuredan overthinking.
“Kak Nala enggak punya pria yang dicintai, jadi mudah buat kak Nala menerima perjodohan ini.” Sydney membatin.
“Kamu beruntung Syd, hubungan kamu mendapat dukungan penuh dari keluarga karena DevaCorp juga ternyata membutuhkan kerja sama dengan perusahaan Palmer.”
Sydney menunduk menyembunyikan dengkusan nya.
Semua orang mengira demikian, mereka tidak tahu kalau yang ia cintai adalah Aslan.
Pria itu juga telah merenggut ‘mahkota’-nya dan sekarang Sydney sedang mencari cara untuk memutuskan pertunangan dengan Sagara tanpa menghentikan kerja sama bisnis yang telah terjalin.
“Aku denger-denger tanggal pernikahan kamu udah ditentukan tapi Saga meminta waktu lebih … kenapa?”
Sydney tampak bingung, ia malah baru tahu kalau ternyata tanggal pernikahannya dengan Sagara sudah ditentukan.
“Kamu enggak tau?” Nala bertanya heran saat melihat ekspresi Sydney yang saking terkejut sampai menghentikan kegiatan merias dirinya.
“Enggak … Sagara hanya bilang kalau pernikahan kita bisa kapan aja, kemarin itu hanya pengikat aja dulu.”
Sydney kembali melanjutkan merias wajah Nala.
“Oh, berarti Saga yang minta pernikahan kalian di undur … kenapa? Apa dia belum siap atau gimana?”
Sydney kembali menarik tangannya dari wajah Nala.
“Kayanya karena aku yang minta ….” Sydney menjawab jujur.
“Kamu belum yakin sama Saga?”
Sydney menggelengkan kepala lemah. “Aku mencintai pria lain,” jawab Sydney di dalam hati.
“Aku masih dua puluh satu tahun … nanti dulu lah, seneng-seneng dulu.” Pada kenyataannya Sydney menjawab demikian.
Meski tidak masuk akal bagi Nala karena menurutnya Sydney bukan gadis yang suka bersenang-senang tapi ia menghormati keputusan Sydney.
Setelah itu Sydney menutup mulutnya rapat- rapat, sambil mendandani Nala—benaknya sibuk berpikir.
Ternyata Sagara sampai berani mengusulkan penundaan tanggal pernikahan yang telah ditentukan oleh para orang tua hanya demi dirinya.
Sagara selalu mengutamakan kepentingan Sydney di atas apapun.
Bagaimana kalau pria itu tahu bila Sydney ingin menunda pernikahan mereka untuk mencari cara memutuskan hubungan dengannya.
Akhirnya Sydney selesai juga dan Nala begitu puas dengan hasil riasannya.
Nala sampai takjub melihat wajahnya sendiri di cermin.
Tapi kemudian senyumnya memudar karena secantik apapun dirinya sudah tidak sempurna lagi.
Pria yang akan menjadi suaminya nanti suatu saat akan mencampakkannya.
Meski begitu, Nala bisa membuat semua orang percaya kalau ia tengah berbahagia.
Di tengah-tengah Ballroom, Nala duduk diapit kedua orang tuanya berhadapan dengan Aga yang diapit oleh kakek dan neneknya.
Aga mengundang teman semasa kuliah, Alden dan Jasver hadir dalam pesta pertunangannya tanpa membawa pasangan.
Ada Ezra yang datang bersama Cantik, entah kesepakatan apa yang dibuat Ezra hingga berhasil membuat Cantik bersedia datang menjadi pasangan dari pria itu.
Lalu pasangan sandiwara Aslan dan Amelia juga hadir, mereka baru saja melewati pintu Ballroom yang dihias sedemikian cantik dengan bunga hidup.
Sydney melihat tangan Amelia melingkar di lengan Aslan.
Cemburu menyelinap ke dalam hatinya, bisa-bisanya Aslan membawa Amelia ke pesta ini.
“Baby,” bisikan Sagara membuat Sydney terhenyak.
Ia pun tersenyum, baru menyadari kalau dirinya juga bersama Sagara.
“Ayo kita kumpul sama keluarga kamu.” Sagara merengkuh pinggang Sydney.
Mereka berjalan beriringan untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
Sydney berharap kalau Sagara tidak membawanya duduk di samping Aslan tapi sepertinya Sydney terlalu banyak berharap karena langkah Sagara menuju ke sana.
“Bang Aslan ….” Sagara mengulurkan tangan.
Sagara tidak kapok meski tahu Aslan tidak menyukainya.
Aslan menoleh menatap Sagara kemudian beralih pada Sydney.
Di luar dugaan, tidak ada tatapan tajam dari Aslan yang kini berdiri menyambut jabatan tangan Sagara.
Aslan mengangguk lantas memberi jalan agar Sagara dan Sydney bisa duduk di kursi kosong yang berada di bagian tengah barisan.
Apakah perubahan sikap Aslan itu karena Sydney meminta waktu untuk membatalkan pertunangan dengan Sagara?
Sagara juga menyapa Amelia dengan senyum dan anggukan ketika melewatinya sambil menggenggam tangan Sydney di belakang.
Tapi tidak dengan Sydney yang enggan melihat wajah Amelia, ia memilih pura-pura tidak melihat wanita itu.
Tidak ada kesepakatan apapun di antara Sydney dan Aslan mengenai mereka harus berakting seolah mencintai pasangan mereka di depan keluarga.
Semua dilakukan sesuai inisiatif masing-masing karena mereka merasa masih perlu menyembunyikan hubungan ini.
Aslan dan Sydney hanya bisa diam-diam saling melempar pandang.
Tidak bisa saling menggenggam tangan, berbincang mesra apalagi berpelukan.
Sengaja Sydney mengajak Sagara menjauh usai acara inti berlangsung.
Ia tidak kuat melihat Aslan menggenggam tangan Amelia padahal tangannya pun digenggam terus oleh Sagara.
Hubungan terlarang ini sungguh menyiksa tapi tetap mereka jalani juga.
Apalagi Sydney yang sudah tidak punya pilihan lain selain bersama Aslan-orang yang telah mengambil sesuatu paling berharga dari dirinya.
Chapter 26
Aslan : Abang jemput ya, kita makan siang.
Sydney merotasi bola matanya.
Menekan keybord pada layar dengan penuh emosi untuk membalas pesan Aslan.
Sydney : Aku makan siang sama Saga.
Aslan berdecak lidah kesal membaca balasan pesan dari Sydney.
Aslan : Pulangnya Abang jemput.
Sydney : Aku pulang dijemput Saga.
Padahal Sydney tidak memiliki janji makan siang ataupun dijemput Sagara pulang kerja nanti.
Rahang Aslan mengetat satu tangannya yang tidak memegang ponsel terkepal di atas meja sambil mengetikan pesan untuk Sydney.
Aslan : Abang nginep di tempat kamu.
“Aaaarrrggghh!!” Sydney menggeram, melempar ponselnya ke atas meja alih-alih membalas pesan Aslan.
Sydney sedang dilanda cemburu dampak dari kemesraan yang Aslan tunjukan bersama Amelia di pesta pertunangan Aga dan Nala.
Setelah bosan menggenggam tangan Amelia, Aslan akan merengkuh pinggang sekertaris cantiknya itu.
Lalu mereka saling berbisik sampai Aslan nyaris menempelkan bibir ke telinga Amelia, entah membicarakan apa.
Setelah itu Aslan yang biasanya dingin kemudian tersenyum setelah Amelia mengatakan sesuatu yang Sydney juga tidak tahu apa yang Amelia katakan sampai Aslan bisa tersenyum seperti itu.
Aslan juga tidak menghubunginya setelah pesta selesai atau menginap di tempatnya seperti yang sering pria itu lakukan.
Sydney sudah tidak mampu lagi menahan panas di dadanya yang membara dan bergelora oleh api cemburu.
Sydney tidak rela pria yang telah menidurinya menyentuh wanita lain sekalipun itu hanya pura-pura.
Mungkin ini yang dirasakan Aslan sewaktu melihatnya dicium oleh Sagara.
Sydney berpikir kalau semua ini sebaiknya segera dihentikan, tidak adil untuk Amelia yang bisa jadi terbawa perasaan dan juga Sagara yang buang-buang waktu bersamanya.
Jadi, Sydney meraih ponselnya kembali kemudian mengetik sesuatu di ruang pesan bersama Sagara.
Cemburu memang bisa membuat seseorang melakukan tindakan impulsif tanpa berpikir dua kali.
Sydney begitu menggebu-gebu ketika tadi mengirim pesan mengajak Sagara bertemu tapi ketika jam kerja selesai dan Sagara menjemput—Sydney mulai tegang.
Ia bimbang dan gamang, baru ingat kalau pernikahan mereka adalah jaminan dari terjalinnya kerjasama bisnis antara DevaCorp dan Palmer Corp di Australia.
“Baby ….” Suara berat nan sexy milik Sagara membuat Sydney terhenyak.
“Ya?” Sydney langsung menoleh.
Sagara tersenyum kecut lantas mengembalikan tatapannya pada jalanan di depan.
Ia tidak akan bertanya lagi apa yang tengah dipikirkan oleh Sydney.
Akhir-akhir ini Sydney memang seperti itu, seakan memiliki beban berat yang tidak ingin ia bagi dengan siapapun.
Senyumnya hilang begitu juga dengan cerianya, Sagara sampai tidak mengenali tunangannya itu lagi.
Sydney juga tidak bertanya kenapa Sagara memanggil namanya, ia kembali tenggelam dalaman lamunan dengan jari saling meremat di atas pangkuan.
Tidak lama mereka tiba di sebuah restoran, jam pulang kerja membuat restoran itu dipadati pengunjung.
Ada yang memang berniat makan malam terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah, atau sekedar nongkrong bersama teman sepulang kerja untuk melepas penat dan mungkin ada yang singgah hanya untuk menunggu kemacetan mereda.
Sagara merengkuh pinggang Sydney ketika mereka berjalan beriringan dipandu oleh pelayan ke meja yang masih tersedia.
“Tumben ngajak ketemuan.”
Sydney langsung merasa tersindir karena akhir-akhir ini ia memang menghindari Sagara.
Sagara tersenyum menatapnya sekilas kemudian membaca buku menu.
“Ada yang mau aku bicarakan.”
Dan pria itu mengangguk tanpa menatap Sydney.
Sagara menyebutkan pesanannya diikuti Sydney menyebutkan menu yang umum yang biasanya tersedia di restoran tanpa membaca buku menu yang masih dipegang Sagara.
Pelayan pun pergi membawa catatan pesanan mereka.
Sagara kini memfokuskan tatapannya pada Sydney membuat jantung Sydney berdetak dua kali lebih kencang.
“Jadi, apa yang mau kamu bicarakan.”
Kedua tangan Sagara saling menggenggam di atas meja.
Sekarang Sydney jadi gugup, bibirnya bergetar.
Semua kalimat yang telah ia susun berada di ujung lidah tapi sulit sekali mengatakannya.
Sydney mengerjap pelan, meraup udara dalam mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya bersuara.
“Mengenai pertunangan kita ….” Kalimat Sydney menggantung.
Sagara menatap lurus Sydney, pria itu menelan saliva.
“Boleh aku cerita dulu?”
Sagara mengangguk memberi ijin.
“Kamu udah tahu kedekatan aku sama bang Aslan ‘kan?” Sydney memulai.
“Yup, kamu sangat dekat sama dia melebihi kedekatan adik kandungnya sendiri.”
Sagara masih ingat semua yang diceritakan Sydney ketika ia mengantar Sydney kabur dari pesta ulang tahunnya sekitar tiga bulan lalu.
Hari itu ia menyatakan cintanya setelah selama seminggu ia dan Sydney saling mengenal.
Tapi waktu singkat itu mampu meyakinkan Sagara kalau ia hanya ingin Sydney yang menemaninya hingga hari tua.
“Ternyata ….” Sydney mengerjap, napasnya mulai memburu.
“Aku … aku mencintai Bang Aslan,” sambung Sydney melirih.
Sagara dan Sydney saling memaku tatap.
Satu detik …
Dua detik …
Tiga detik …
Empat detik …
Lima detik …
Sagara tertawa, suaranya terdengar sumbang dan membuatnya malah terlihat menyedihkan.
Ia mengusap wajah kemudian menyugar rambutnya ke belakang.
“Sudah aku duga.” Sagara bergumam seperti kepada dirinya sendiri.
“Aku minta maaf Saga … aku—“
Sagara mengangkat tangannya meminta Sydney berhenti bicara karena ia tahu ke mana pembicaraan ini akan bermuara.
“Aku enggak bodoh Syd, aku bisa melihat cemburu di mata Aslan setiap kali melihatmu bersamaku … aku udah tahu kalau Aslan mencintai kamu lebih dari seorang adik sewaktu membuang bunga pemberianku untukmu beberapa bulan lalu di depan kantor papi sebelum membawamu pergi ….”
Sagara mendengkus geli, menggelengkan kepala samar seraya membuang tatapannya ke arah lain.
Demi Tuhan, ia kecewa. Hatinya hancur lebur saat ini.
Sagara patah hati.
“Aku minta maaf, Saga … aku enggak bermaksud mempermainkan kamu karena aku sendiri baru tahu kalau ternyata aku mencintai bang Aslan setelah menerima cinta kamu.”
Sagara menggelengkan kepala.
“Enggak Syd, kamu enggak pernah tahu kamu itu mencintai Aslan kalau dia enggak datang lagi di hidup kamu … dia menyatakan cintanya … iya, kan?”
Sydney menganggukan kepala. “Iya … dia menyatakan cintanya … dari sana yang aku tahu jika rasa rindu dan takut kehilangan ini adalah cinta karena setelah dia datang, meminta maaf, menyatakan cinta dan berjanji untuk enggak pergi lagi—yang ada dalam benak aku hanya ada dia, Saga … aku hanya ingin bersamanya.”
Suara Sydney tercekat, matanya berkaca-kaca.
Sagara tidak langsung menanggapi ucapan Sydney barusan karena pelayan datang membawa menu pesanan mereka.
Ia kembali fokus pada Sydney setelah pelayan itu pergi.
“Seenggaknya sekarang aku tahu, kenapa kamu berubah.”
Raut wajah Sagara berubah sendu.
“Aku kesulitan untuk mengatakannya sama kamu terlebih mami bilang kalau DevaCorp dan Palmer Corp akan menjalin kerjasama bisnis baru yang lebih beresiko sehingga harus menjaminkan hubungan kita.”
Sagara tersenyum getir, pandangannya ia larikan ke manapun asal jangan menatap wajah Sydney.
“Jadi kamu menunggu perusahaan kita menjalin kerjasama dulu baru mencampakkan aku?”
Sydney menggelengkan kepalanya, pendapat Sagara tadi sangat kejam, ia tidak sepicik itu.
“Lalu apa Syd? Kerjasama itu sudah ditandatangani papi kamu dan papa aku sekembalinya mereka ke Australia usai aku melamar kamu.”
“Aku enggak tahu kalau perjanjian itu akan terealisasi begitu cepat, Saga … bahkan aku enggak tahu kamu akan melamar aku di pesta ulang tahun pernikahan grandpa dan grandma.”
“Ya … salah aku yang terlalu percaya diri padahal aku tahu kalau sikap kamu berubah, padahal aku tau kalau kamu mulai bimbang sama hubungan kita … padahal aku tahu kalau Aslan sering menginap di pavilliun kamu, aku tahu semua Syd ….”
Mata Sydney terbelalak mendengar pengakuan Sagara yang mengetahui bila Aslan sering menginap di paviliunnya.
“Aku tahu … malam itu ada Aslan di lantai dua, itu kenapa aku mencium kamu … aku menunggu hingga jam tiga pagi tapi Aslan enggak pernah pergi … tapi aku menutup mata berharap kamu tetap memilih aku … dan aku akan memaafkanmu.”
“Aku minta maaf Saga ….”
“Bahkan aku enggak bisa membenci kamu, Syd ….”
“Saga ….” Sydney meraih tangan Sagara dan pria itu segera menepisnya.
“Jadi pertemuan kita ini untuk membatalkan pertunangan?” Sagara memastikan.
Berharap Sydney hanya mengakui mencintai Aslan tapi masih mau melanjutkan pertunangan dengannya.
Dan harapan itu sirna ketika Sagara melihat Sydney menganggukan kepala.
“Enggak adil buat kamu Saga, aku enggak bisa kasih hati aku sementara hati aku dimiliki bang Aslan … kamu bisa dapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari aku.”
Buliran kristal itu jatuh dengan lancang bersama bibir Sydney yang bergetar.
Sagara memainkan pisau steak di tangannya, urat-urat di tangan Sagara tampak jelas saat menggenggam pisau tersebut.
Beberapa menit lamanya mereka hanya saling diam, makan malam yang telah disajikan pun mulai dingin.
Sagara dan Sydney sudah tidak berselera lagi.
“Oke … kita batalkan pertunangan kita,” putus Sagara akhirnya.
Sagara bisa apa?
Tidak mungkin ia memaksa Sydney untuk tetap bersamanya karena ia telah berupaya merebut cinta Sydney kembali tapi tidak pernah berhasil.
Sydney melepas cincin tunangannya, ia letakan di atas meja.
“Aku kembalikan … kamu bisa kasih sama perempuan yang mencintai kamu.”
Sagara meraih cincin itu. “Aku mungkin akan mencari gadis bernama Sydney karena di cincin ini terpatri nama Sydney.”
Sagara memasukannya ke dalam kantung kemeja.
Mereka memutuskan pulang tanpa menyentuh makanan dan minuman yang telah dipesan.
Hening menjadi satu-satunya suasana dalam perjalanan pulang.
Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing sampai tidak terasa Sagara memarkirkan mobilnya di halaman pavilliun Sydney.
“Kamu belum jawab permintaan maaf aku, Saga.”
“Aku belum bisa memaafkan kamu, Syd … tapi aku enggak membenci kamu … Terimakasih untuk tiga bulan yang indah … kamu pernah membuatku merasa sangat bersyukur telah dilahirkan ke dunia.”
“Saga ….” Sydney mengerang pelan, matanya kembali dibanjiri air mata bentuk dari perasaan bersalahnya yang besar pada Sagara.
Karena respon Sagara sangat di luar dugaan, pria itu tidak marah atau kesal.
Tapi Sydney bisa melihat ribuan kecewa tersirat di pendar matanya yang indah.
“Kamu tau, Syd ….”
Sagara melepas belt, menyerongkan posisi duduknya agar bisa menatap wajah Sydney mungkin untuk yang terakhir kali.
Sydney juga menyerongkan posisi duduk, menunggu Sagara melanjutkan kalimatnya.
“Kamu adalah analogi paling tepat dari sebuah kata hampir, hampir bahagia, hampir bersama dan hampir dimiliki … percayalah, aku enggak pernah menginginkan kamu pergi … namun bila melepasmu adalah satu-satunya cara agar kamu kamu bahagia, maka akan aku lakukan … see You later My Sydney.”
Sagara menarik pinggang Sydney, membawanya ke dalam dekapan, begitu erat dan dalam.
Sydney melingkarkan kedua tangan di leher Sagara, membenamkan wajah di pundak pria itu membuat kemejanya basah oleh air mata.
“Terimakasih karena udah mengerti, Saga …,” ujar Sydney di sela isak tangisnya.
Dari lantai dua pavilliun Sydney—Aslan bisa melihat Sydney dan Sagara saling berpelukan di dalam mobil.
Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengetat dan matanya mengobarkan api amarah.
Aslan menutup tirai saat Sydney turun dari dalam mobil.
Kakinya menderap menuruni anak tangga.
Pintu pavilliun terbuka memunculkan sosok Sydney dengan mata sembab dan wajah sendu.
“Kamu … nangis?” Aslan masih saja bertanya.
Sydney mengusap jejak air mata di bawah matanya.
“Dari kapan di sini?” Bukannya menjawab pertanyaan Aslan—Sydney malah balik melontarkan pertanyaan sambil melangkah masuk lebih dalam ke paviliunnya melewati Aslan.
“Kamu membatalkan pertunangan kamu sama Saga?”
Tiba-tiba itu tercetus dalam benak Aslan yang langsung ia utarakan.
“Iya.” Sydney menjawa singkat dengan suara lemah.
Langkahnya berhenti di depan kulkas, mencari botol air mineral yang kemudian ia tenggak secara langsung dari sana.
“Kamu menyesal sampai nangis kaya gitu?” Aslan menyindir.
Sydney menghentakan botol yang isinya sisa setengah kemeja bar berlapis marmer.
“Lalu aku harus gimana? Ketawa-ketawa setelah mengecewakan pria baik seperti dia?” Sydney menantang Aslan.
Matanya menatap nyalang pria itu.
“Jadi kamu mencintai dia?”
Sydney menggeram mendengar pertanyaan Aslan barusan.
“Kalau aku mencintai dia aku enggak akan batalin pertunangan aku sama Sagara, Bang … aku mutusin dia karena aku mencintai Abang … aku maunya sama Abang, sesimple itu aja Abang masih tanya.”
Sydney jadi kesal dengan sikap cemburu Aslan.
“Syd ….”
Aslan mencengkram pergelangan tangan Sydney, menahannya yang hendak naik ke lantai dua.
“Sekarang berhenti pura-pura mesra sama mbak Amel … aku enggak terima Abang nyentuh dia meski seinci kulitnya sekalipun.”
Bukan hanya Aslan, Sydney juga bisa posesif.
Jangan lupakan kalau semenjak bayi sudah terlihat karakter Sydney yang ekspresif, aktif, keras kepala dan tidak mengenal rasa takut.
Sydney sudah melakukan bagiannya, sekarang giliran Aslan.
Hubungan ini tidak tahu akan berakhir bagaimana tapi membatalkan pertunangan dengan Sagara dan mengembalikan Amelia ke posisinya sebagai sekertaris—bukan calon istri Aslan lagi—bisa meringankan beban Aslan dan Sydney dari perasaan bersalah karena telah menyeret Sagara dan Amelia ke drama cinta terlarang mereka.
***
Danisa mengusap peluh di pelipisnya, tubuhnya terasa meriang sejak kemarin tapi berusaha ia abaikan karena harus fokus belajar untuk menghadapi ujian.
Pagi tadi ia muntah-muntah, mungkin stress selama seminggu ini mengikuti ujian karena kalau masuk angin tidak mungkin.
Danisa selalu berada di rumah, hanya keluar rumah untuk sekolah saja itu pun di antar papa dan dijemput mama.
Danisa merengek minta mereka meluangkan waktu untuk mengantar dan menjemput dari sekolah demi menutup akses Nathan agar tidak bisa bertemu dengannya.
Waktu berakhirnya ujian masih lama tapi Danisa sudah berhasil menjawab seluruh pertanyaan di kertas ujian.
Danisa merapihkan alat tulisnya, beranjak berdiri lalu memberikan kertas ujian kepada pengawas.
Menghirup udara dalam-dalam setelah berada di luar.
Akhirnya ujian kelulusan selesai, Danisa telah berusaha dengan maksimal dan untuk hasilnya ia serahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Tapi ia pasti lulus, Danisa yakin.
Danisa adalah salah satu siswa berprestasi di sekolahnya.
Apalagi ia sudah keterima di Universitas Negri terbaik di Indonesia menggunakan jalur kompetisi yang diadakan Universitas tersebut.
Selangkah lagi ia akan menjadi mahasiswa.
Kaki Danisa mendadak berhenti melangkah karena penglihatannya mengabur.
Pening yang menderanya tidak kunjung pergi semenjak beberapa hari lalu padahal ia sudah meminum banyak obat pereda nyeri.
Danisa berpegangan pada dinding, mengerjapkan mata kemudian melanjutkan langkah menuju toilet karena merasakan sesuatu merangkak dari dalam perut ke tenggorokan meminta untuk di keluarkan.
Setibanya di toilet, Danisa mengeluarkan semuanya di wastafel.
Pagi tadi sebelum pergi sekolah ia sudah mengeluarkan semua sarapan paginya dari dalam perut sekarang masih saja ada yang dikeluarkan.
Danisa membasuh wajah lalu menatap lama cermin di depannya.
Ia tidak mengenali siapa dirinya di cermin, terlalu berantakan, pucat dan menyedihkan.
Bayangkan saya, ia harus merasakan sakitnya patah hati oleh Nathan tapi juga harus tetap waras agar bisa fokus belajar untuk menghadapi ujian.
Danisa keluar dari toilet, langkahnya gontai dan kadang terhuyung menuju parkiran sekolah.
Matanya mengedar mencari mobil mama Shaqila.
Setelah menemukannya—Danisa langsung naik ke kabin belakang.
“Gimana ujiannya, sayang?” tanya mama Shaqila seraya memutar kemudi untuk keluar dari pelataran parkir sekolah Danisa.
“Aman, Ma … aku bisa kerjain semua,” jawab Danisa dengan mata terpejam erat.
Tubuhnya ia rebahkan di kursi dengan kaki sebagian menjuntai ke bawah.
“Masih pusing, sayang?”
“Masih, Ma ….”
“Ini hari terakhir ujian, kan?”
“Hu’um.” Danisa menjawab dengan gumaman.
Ia kehabisan tenaga.
Setengah jam kemudian mereka tiba di rumah.
“Sayang, mama balik ke kampus lagi ya … kamu istirahat aja.”
“Makasih ya, Ma.”
“Ya sayang, istirahat ya.”
“Iya.”
Danisa turun dari mobil mama Shaqila, langsung masuk tanpa melihat ke belakang lagi karena mual itu kembali menderanya.
Naik ke lantai dua dengan sisa tenaga yang ada, Danisa langsung masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Danisa kembali muntah di wastafel tapi tidak ada yang bisa ia keluarkan lagi, lambungnya terasa mengkerut setiap kali berusaha mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.
Saat dirasa mual itu perlahan menghilang, Danisa membasuh mulutnya.
Tangan Danisa terulur untuk menarik tissue dari tempatnya tapi tidak ada yang bisa ia gapai.
Tissue dari dalam box berbentuk kepala bebek yang ditempel di dinding itu ternyata habis.
Lidah Danisa betprdecak kesal, membungkuk untuk membuka kabinet di bawah wastafel.
Ia meraih tissue dari bawah sana kemudian tertegun saat melihat banyak pembalut yang masih terbungkus rapih.
Danisa mengingat-mengingat kapan terakhir kalil menstruasi karena di dalam lemari itu ada empat bungkus pembalut yang biasanya ia habiskan dua bungkus setiap kali menstruasi.
“Jangan … jangan ….” Danisa bergumam, menggelengkan kepalanya cepat.
Danisa keluar dari kamar, mencari ponsel dari dalam tas lalu membuka aplikasi belanja online.
Jaman sudah canggih, siapapun bisa membeli apa saja hanya dengan hanya menekan-nekan jari di layar ponsel.
Danisa membeli lima buah testpack dengan merek berbeda dari toko retail yang menyediakan berbagai produk kesehatan dan kecantikan yang paling dekat dengan rumahnya.
Sambil menunggu jasa pengantar barang datang, Danisa mengganti seragamnya dengan pakaian rumahan.
Masih dalam keadaan lemas, Danisa turun ke lantai bawah.
“Non … makan siang sudah siap, mau makan sekarang?” Asisten rumah tangga menahan langkah Danisa yang hendak melewati ruang tamu.
“Nanti aja, Bi … aku lagi nunggu paket.”
Asisten rumah tangga mengangguk kemudian pergi.
Danisa melanjutkan langkahnya, ia duduk di teras sambil melacak jasa pengantar barang yang membawa pesanannya.
Hati Danisa mulai tidak tenang membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi padanya.
Suara klakson motor dari balik pagar membuat Danisa terhenyak kemudian berlari.
“Kak Danisa?” tanya pria yang menggunakan jaket hijau-hijau dengan senyum penuh makna mungkin sudah melihat apa isi kantung berwarna jingga terang itu.
Danisa merebut kantung itu dari tangan si pria kurir kemudian menutup pintu pagar tanpa menjawab pertanyaan pria itu, tersenyum apalagi mengucapkan Terimakasih.
Kakinya kembali menapaki anak tangga, kepanikan ternyata bisa menghasilkan tenaga lebih sehingga Danisa bisa melangkah cepat untuk tiba di kamar.
Mengunci pintunya rapat-rapat, Danisa lantas masuk ke dalam kamar mandi.
Dibacanya aturan pakai di dalam kemasan dengan seksama.
Saran penggunaan tertulis kalau sebaiknya melakukan tes dari urine pertama di pagi hari tapi siapa peduli, Danisa sangat penasaran sekarang.
Danisa menampung urinenya di gelas kecil lalu memasukan satu testpack ke sana.
Menunggu beberapa detik dan hasilnya langsung bisa ia lihat.
Benda kecil berwarna putih itu menunjukkan garis dua.
Jantung Danisa rasanya copot ke dasar perut, ia mundur selangkah dengan mata membulat dan mulut menganga.
Seakan tidak ingin mempercaya hasil yang jelas tertera di alat itu—Danisa mengambil testpack lainnya dan mencelupkan ke dalam gelas berisi urin.
Hasilnya sama, menunjukan garis dua yang tegas.
Danisa menjatuhkan tubuhnya ke lantai, menggenggam testpack itu erat-erat.
Dua testpack menunjukkan hasil yang sama, menurut Danisa bila terjadi kesalahan pun testpack itu akan menunjukkan hasil negatif dan bila hasilnya positif berarti memang itu hasil yang sebenarnya terlebih ia merasakan tanda-tanda kehamilan seperti yang pernah dipelajari di sekolah.
Danisa bangkit, mencari ponsel lalu memfoto dua testpackdengan garis dua itu lalu mengirimkannya kepada Nathan.
Ternyata Nathan langsung membacanya, terlihat dari centang dua berwarna biru di foto yang ia kirim.
Danisa terus menatap layar ponsel dengan jantung berdebar kencang, tangannya pun gemetar hebat.
Lima menit berlalu tanpa balasan dari Nathan, Danisa masih berpikir kalau mungkin pria itu sedang meeting sehingga tidak bisa langsung membalas pesannya.
Danisa menunggu, satu jam, dua jam, hingga malam tiba dan tidak ada satu pun balasan pesan dari Nathan.
Mungkin pesan yang ia kirim tidak jelas karena Danisa hanya mengirim foto hasil testpack jadi mengirim pesan kembali kepada pria itu.
Danisa : Aku hamil.
Beberapa menit kemudian centang dua berubah biru.
Nathan memejamkan matanya, ia sudah tahu sewaktu Danisa mengirim foto hasil testpack tapi terlalu pengecut untuk menghubungi Danisa meski hanya untuk menenangkannya.
Tidak bisa Nathan bayangkan bagaimana tanggapan keluarganya bila mengetahui ia menghamili Danisa.
“Bego! Bego! Bego!!!” Nathan mengumpat sambil menjambak rambutnya sendiri.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan ia masih terpekur di ruangannya memikirkan bagaimana cara menyembunyikan kehamilan Danisa.
Chapter 27
“Kamu sadar enggak sih, akhir- akhir ini kita jadi sering berantem?”
Aslan baru saja membasuh wajahnya di kamar mandi, pria itu berjalan mendekati Sydney hanya mengenakan celana kain tanpa atasan memperlihatkan otot seksi di bagian dada juga perut.
Sydney yang duduk di sisi ranjang langsung memalingkan wajah.
Hembusan napas panjang terdengar berat keluar dari mulut Sydney.
“Maaf.” Sydney bergumam.
Aslan duduk di sisi ranjang setelah melempar handuk kecil yang tadi ia gunakan untuk mengelap wajah ke kursi meja rias.
Kedua tangannya terulur memeluk Sydney dari samping.
Kecupan demi kecupan ia berikan di pipi Sydney merambat ke rahang dan berakhir di leher.
“Baaaang ….” Sydney mengerang dengan debaran jantung menggila.
“Jadi, kamu jutekin Abang hari ini karena cemburu sama Flo? Sampai langsung mutusin si Sagara itu?”
Sydney menggerakan bahu agar lingkaran tangan Aslan di tubuhnya terurai.
“Abang mau kita berantem lagi? Jangan bahas itu ah, bete!”
Aslan terkekeh, ia yakin Sydney sedang cemburu.
Berarti rencananya berhasil, ia memang berniat membuat Sydney cemburu di pesta Nala dan Aga kemarin dengan terus menempeli Amelia.
Tapi ia tidak menduga Sydney sampai memutuskan hubungannya dengan Sagara secepat ini.
“Pake baju dulu sana,” titah Sydney karena ia mulai resah Aslan akan mengulang kejadian malam itu.
Aslan mengecup pipi Sydney sebelum akhirnya bangkit dari sisi ranjang.
Aslan menyimpan beberapa kaos dan celana pendek di lemari Sydney yang setelah digunakan akan ia bawa pulang lalu menggantinya dengan yang baru bila datang ke pavilliun Sydney.
Karena tidak mungkin pakaiannya di cuci oleh asisten rumah tangga granpa sedangkan grandpa sendiri tidak pernah tahu kalau Aslan sering menginap di pavilliun bersama Sydney.
Dan pak Guntur akan datang esok paginya menjemput Aslan membawakan pakaian kerja yang telah disiapkan Amelia.
Pria itu naik ke atas ranjang setelah mengganti pakaiannya.
“Kenapa?” tanya Sydney karena merasa ditatap lama oleh Aslan yang bersandar pada headboard.
Ia baru selesai mengaplikasikan skin care ke wajah selagi Aslan mengganti pakaiannya tadi.
“Abang tuh sering mimpiin kita di momen seperti ini ….” Aslan menggantung kalimatnya, menatap Sydney dalam.
“Oh ya?” sahut Sydney enteng karena jujur, sebelum Aslan menyatakan cinta—ia hanya merindukan Aslan sebagai sosok kakak yang paling ia sayangi.
Aslan berdecak lidah kesal. “Gitu banget jawabnya,” gumam pria itu seraya memalingkan wajah.
Sydney terkekeh sumbang. “Terus … aku harus gimana?”
Sydney sudah berada di sisi ranjang, duduk sebentar lalu menaikkan kedua kaki ke atas ranjang hendak membaringkan tubuhnya dengan posisi menyamping menghadap pria itu tapi Aslan menepuk pundaknya agar Sydney merebahkan kepala di sana.
Sydney menurut, meski keras kepala dan kadang galak tapi kalau Aslan sudah meminta pelukan—Sydney tidak pernah bisa menolak.
Ia merebahkan kepala di pundak Aslan dan sang pria langsung merengkuh tubuhnya.
“Kamu udah cek belum?”
“Cek apa?” Sydney mendongak membuat wajah mereka begitu dekat.
“Kamu enggak mual-mual?” Alih-alih menjawab, Aslan malah melayangkan pertanyaan kedua.
Sydney mengernyit tapi kemudian ia mengerti setelah melihat sorot mata dan ekspresi wajah Aslan yang meringis.
“Enggak … aku lagi menstruasi sekarang.”
“Yaaaa ….” Refleks Aslan menjawab, tampangnya terlihat sangat kecewa.
Entah kecewa karena tidak bisa bercinta dengan Sydney yang sedang mendapat tamu bulanannya atau karena Sydney tidak hamil jadi ia belum bisa menikahinya.
Sydney memukul dada Aslan pelan menghasilkan kekehan dari pria itu.
Kini matanya menerawang ke langit-langit kamar.
“Abang sering mimpiin kita pelukan di ranjang berdua kaya gini setelah nidurin anak-anak kita, ngebahas apa yang kita lakukan tadi siang lalu kamu bercerita tentang perkembangan anak-anak kita ….”
Sydney mendengarkan, hatinya menghangat menghasilkan senyum di bibir.
Telapak tangan yang tadi ia simpan di dada Aslan mulai mengusap lembut di sana.
“Terus?” Sydney ingin mendengar lagi cerita tentang mimpi Aslan.
“Terus kita make love, bikin anak lagi.”
“Ih … serius!!” Sydney mencubit perut kotak-kotak Aslan.
Pria itu kembali tertawa, menarik tangan Sydney yang tadi mencubitnya kemudian ia bawa ke dekat mulut dan memberikan kecupan di bagian telapak.
“Awalnya Abang menganggap kalau itu sebuah kesalahan … tapi hati Abang berusaha ngeyakinin kalau mencintai kamu bukan sebuah dosa ….”
Sydney tercenung mencerna baik-baik ucapan Aslan.
Memang tidak dosa tapi keluarga mereka yang tidak menyetujui pernikahan antar sepupu.
Keluarganya menginginkan pernikahan agar keluarga mereka bisa berkembang dan mungkin sekaligus mengembangkan perusahaan mereka juga.
Buktinya, Nala dinikahkan dengan Aga untuk kepentingan bisnis.
Aslan menarik dagu Sydney dengan kedua jarinya membuat wajah Sydney mendongak.
Ia hanya perlu menundukan sedikit kepalanya untuk bisa mengecup bibir Sydney.
Cup.
Awalnya hanya kecupan singkat yang kemudian berubah menjadi lumatan lembut.
Sydney memejamkan mata, mulai menyambut ciuman Aslan.
Perlahan Aslan mengubah posisi mereka sehingga kini Sydney yang berbaring terlentang dan ia menyangga tubuhnya yang berbaring miring dengan sikut tanpa melepaskan pagutan.
Tangannya bergerak masuk ke dalam piyama dress Sydney, mengusap hingga bagian bokong lantas merematnya.
Sydney melenguh, matanya telah berkabut hasrat tapi masih sadar untuk memperingati Aslan.
“Bang … aku lagi menstruasi.”
“Abang ajarin cara lain …,” ujar Aslan ambigu menghasilkan kernyitan di dahi Sydney.
Dan Aslan benar-benar mengajarkan Sydney bagaimana memuaskannya dengan cara lain meski awalnya Sydney enggan tapi tidak ingin mengecewakan Aslan jadi menurut apapun yang pria itu perintahkan.
Aslan juga tidak egois, dia memberikan Sydney kenikmatan meski tidak bisa melepaskannya.
Beberapa jam dilalui dengan kegiatan panas sampai akhirnya mereka berdua berbaring di atas ranjang dengan napas memburu.
Aslan menyimpan lengannya di atas kening, mata pria itu terpejam.
Setengah bagian tubuhnya ditutupi selimut yang Sydney tarik untuk menutupi tubuh mereka.
Sydney bergerak turun dari atas ranjang, memungut bra dan dress piyama kemudian mengenakannya.
Ditengoknya Aslan ke belakang yang masih dalam posisi sama.
Sydney meninggalkan Aslan untuk pergi ke kamar mandi.
Berdiri di depan wastafel—Sydney melihat pantulan dirinya di cermin.
Satu bercak merah mengintip dari balik kerah piyamanya, tangannya menarik kedua sisi piyama yang belum ia kancingkan.
Banyak tanda merah yang Aslan ukir di dadanya, mata Sydney terpejam mengingat kejadian panas antara dirinya dengan Aslan.
Setelah malam itu, baru sekarang Aslan menyentuhnya seintim ini lagi.
Biasanya mereka hanya akan tidur saling berpelukan saja.
Tubuh Sydney bergidik merasakan sisa-sisa apa yang telah Aslan lakukan padanya barusan.
Sampai kapan mereka akan seperti ini?
Tapi apakah mungkin mereka benar-benar bisa bersama?
Karena Sydney telah memberikan yang paling berharga dalam hidupnya kepada Aslan.
Sydney tidak ingin hamil terlebih dahulu baru menikah dengan Aslan.
Menurutnya rencana Aslan itu tidak beradab.
Otaknya berusaha keras mencari jalan untuk bisa mematahkan aturan keluarganya tentang larangan menikahi sepupu tapi belum juga ia temukan.
Sydney keluar dari kamar mandi usai membasuh wajahnya.
Di atas ranjang, Aslan sudah memakai pakaian yang nyaman untuk tidur.
Pria itu terlelap begitu pulas.
Sydney masuk ke dalam selimut, berbaring miring menghadap Aslan yang tidur terlentang.
Ingin memeluk Aslan tapi takut membuatnya terjaga jadi Sydney meletakan tangannya di atas tangan Aslan yang menengadah.
Ia sempat terhenyak saat Aslan menggenggam tangannya.
“Syd ….” Pria itu bergumam dalam tidurnya.
Sekarang Sydney yakin kalau cerita Aslan tentang mimpi bersamanya itu benar karena ketika mengigau yang dipanggil Aslan adalah namanya.
Pagi harinya Sydney bangun lebih dulu kemudian mempersiapkan dirinya untuk berangkat kerja.
Suara ketukan pintu depan terdengar ketika Aslan masih berada di dalam kamar mandi.
Siapa yang bertamu sepagi ini?
Sydney turun dari lantai dua dan berhenti di depan pintu yang menghadap ke jalan di samping rumah grandpa.
Tangannya ragu ketika hendak membuka pintu karena ia tidak tahu siapa yang ada di luar sana, tidak ada jendela yang bisa melihat keadaan di teras depan.
Ketukan yang kian kencang membuat Sydney akhirnya membuka pintu.
“Sydney.” Wanita cantik itu menyapa Sydney, memanggil namanya dengan suara lembut dan senyum yang tulus.
“Mau anter baju untuk Pak Aslan.”
Amelia mengangkat stelan jas beserta kemeja di tangan kanan dan paperbag berisi box sepatu di tangan kirinya.
Sydney mengerjap kemudian menatap Amelia heran karena terlihat begitu santai.
“Masuk.” Sydney melangkah ke samping memberi jalan bagi Amelia untuk masuk.
“Bang Aslan lagi mandi,” kata Sydney memberitau.
“Boleh pinjam pantrinya? Saya mau bikin sarapan buat Pak Aslan karena kami harus langsung keluar kota.”
“Boleh.” Sydney menjawab singkat tapi percuma karena Amelia sudah lebih dulu membuka kabinet mencari alat masak.
Wanita itu sepertinya tidak peduli kalau Sydney akan keberatan atau tidak.
Sambil melangkah ke lantai dua tatapan Sydney mengawasi gerak-gerik Amelia yang sedang mengeluarkan bahan makanan dari dalam paperbag.
Setiap menginap di sini Aslan tidak pernah ikut sarapan pagi, pria itu akan pergi ketika asisten rumah tangga memberitau kalau sarapan sudah siap dan grandpa juga grandma telah menunggu di ruang makan.
Sydney melanjutkan kegiatannya yang sempat terinterupsi karean kedatangan Amelia.
Memulas bibirnya dengan lipstik kemudian mengaplikasikan blushon di wajah bertepatan dengan keluarnya Aslan dari dalam kamar mandi.
“Flo udah datang?” Aslan bertanya.
Oh jadi Amelia datang atas perintah Aslan.
“Udah, di bawah … lagi buat sarapan.”
“Bawa baju Abang, enggak?”
“Bawa … tapi di bawah.”
Sydney mengendik ke lantai bawah, ia masih sibuk dengan alat makeup-nya.
Tanpa banyak bicara, Aslan menuruni tangga dengan hanya melingkarkan handuk di pinggang.
Tanpa segan menyapa Amelia.
“Pagi Flo.”
“Pagi Pak Aslan.”
Entah kenapa Sydney jadi merasa kesal.
Aslan kembali naik ke lantai dua untuk mengenakan pakaian yang dibawa Amelia.
“Kalau di apartemen, Abang kaya gini juga?”
“Gini gimana?” Tanpa malu Aslan memakai pakaiannya di depan Sydney membuat pipi Sydney memerah.
“Kaya tadi, turun cuma pakai anduk aja … sok-sok nyapa mbak Amel lagi.” Nada sinis yang menyiratkan cemburu berat itu membuat Aslan tertawa.
“Kamu cemburu ya?” Aslan meledek Sydney dengan nada menyebalkan.
Sydney merotasi bola matanya dan Aslan malah tergelak.
“Tolong kancingkan,” pinta Aslan.
Tangannya terjulur dari belakang Sydney melewati pundaknya.
Sydney memutar tubuh lalu mengancingkan lengan kemeja Aslan.
“Kenapa sih Abang manggil dia, Flo? Namanya ‘kan Amelia … Flo itu panggilan sayang ya?”
Apakah Sydney tidak sadar kalau Amelia masih bisa mendengar percakapannya dengan Aslan.
Kamarnya di lantai dua itu hanya dibatasi pagar pembatas setinggi pinggang orang dewasa.
“Kalau Amelia kepanjangan.” Aslan menjawab seraya menyisir rambutnya dengan santai mengabaikan sikap cemburu Sydney.
“Yang lain manggil Amel, Mel atau Lia mungkin … kenapa harus Flo?” kejar Sydney yang wajahnya memberengut.
Amelia tersenyum sambil memasak sarapan pagi untuk Aslan.
Dalam hati merasa miris mengetahui Sydney cemburu padanya sedangkan ia tahu betul kalau Aslan hanya mencintai Sydney.
“Karena enak aja manggilnya.” Aslan menjawab sekenanya.
“Isssh … nyebelin!” seru Sydney kemudian beranjak berdiri.
“Hey.” Aslan menahan tangan Sydney, menariknya hingga dada mereka saling beradu.
Tangan Aslan beralih merengkuh pinggang Sydney.
“Kamu akan selalu memiliki Abang, Abang janji. Bahkan jika dunia akan melawan kita, kamu akan selalu jadi milik Abang. Meskipun jarak memisahkan kita. Kamu akan selalu memiliki Abang. Ingat, Abang mencintai kamu.”
Aslan menunduk kemudian melumat bibir Sydney yang telah dilapisi lipstik.
Amelia mengatupkan mulut ketika hendak memanggil Aslan karena pada saat ia mendongak melihat bosnya sedang berciuman dengan Sydney.
Tidak ia pungkiri kalau hatinya terasa ngilu tapi kemudian berusaha tersenyum, bersandar setengah tubuhnya pada meja bar kemudian menunduk.
Ia akan bertahan selama Aslan belum menikahi Sydney.
Tidak lama kemudian Aslan dan Sydney turun dari lantai dua.
“Sarapannya sudah siap, Pak.”
“Kamu udah sarapan?” tanya Aslan yang merangkul pundak Sydney menuruni anak tangga.
“Sudah, Pak … Terimakasih.” Amelia menjawab pertanyaan Aslan.
“Terus kenapa piringnya dua?” Aslan menunjuk dua piring nasi goreng di atas meja.
“Buat Sydney, Pak.”
“Aku makan sama grandpa grandma,” kata Sydney dengan ekspresi tidak ramah.
“Baik kalau begitu akan saya masukan ke dalam kotak makan, sekarang saya ijin mengambil pakaian kotor pak Aslan di atas.”
Aslan mengangguk dan setelahnya Amelia pergi, suara sepatu heelsnya kemudian terdengar menapaki anak tangga.
“Dia sekertaris Abang apa istri Abang sih?” gumam Sydney yang kekesalannya kian bertambah.
“Kamu yang akan jadi istri Abang,” ucap pria itu lantas mengecup pelipis Sydney sebelum akhirnya melahap sarapan yang Amelia buat.
Di atas sana, Amelia kembali tersenyum melihat keadaan seprei yang sudah tidak berbentuk.
Senyum Amelia bukan senyum bahagia atau senyum sinis melainkan senyum untuk menyembuhkan hatinya yang sedang terluka.
***
“Eh Danisa, sama siapa?” Nala menyapa Danisa yang baru saja melewati ruangannya.
Langkah Danisa terhenti kemudian melongok dari pintu yang terbuka sebagian.
“Sendiri … kak Nathan ada, Ka?” tanya Danisa, raut wajahnya tampak serius.
“Ada di ruangannya, aku dari sana tadi … kami baru selesai meeting.”
“Aku ke sana dulu ya, Kak.”
“Hem … nanti makan siang bareng ya?”
Danisa mengangguk saja kemudian pergi menuju ruangan Nathan.
Ia sering ke sini, beberapa kali papa Andi membawanya kadang juga grandpa mengajaknya ke sini katanya setelah lulus kuliah ia akan bekerja di sini untuk membantu memajukan DevaCorp.
Dan ia tahu betul di mana ruangan Nathan jadi ketika ia sudah sampai di depan pintunya, langkah Danisa terhenti.
Sesaat menatap nanar pintu itu, perasaannya kembali resah juga gundah tapi khawatir mendominasi.
Khawatir Nathan tidak mau bertanggung jawab karena pria itu tidak juga membalas pesannya apalagi menghubunginya terhitung tiga hari setelah ia memberitau tentang kehamilan ini.
Danisa mengetuk kemudian membuka pintu perlahan.
Di dalam sana Nathan sedang duduk di balik meja kerja, pria itu kemudian mendongak dan mata mereka bertemu.
“H-hai.” Nathan menyapa gugup.
“Kemarin papa sama mama ke Bogor nginep semalam, biasanya Kak Nathan akan datang nemenin aku … terus kita make love di kamar aku semalaman … tapi tadi malam Kak Nathan enggak datang, kenapa? Karena aku hamil?”
Jelas sekali kalau Danisa sedang bersarkasme.
“Nis ….” Nathan beranjak dari kursinya, ia menghampiri Danisa.
Kedua tangannya memegang pundak Danisa membuatnya bisa melihat Nathan lebih jelas.
Nathan tampak kuyu, lesu, kantung matanya tampak jelas padahal kemarin weekend semestinya bisa pria itu gunakan untuk beristirahat.
Tapi mana bisa Nathan beristirahat bahkan ia tidak enak makan tidak bisa tidur memikirkan kehamilan Danisa.
“Aku minta maaf … aku bingung Nis.”
Danisa menggelengkan kepala. “Kak Nathan pengecut, seharusnya Kak Nathan jangan berani-berani make lovesama aku kalau enggak mau bertanggung jawab!”
Danisa membentak, suaranya begitu lantang dan lugas tapi mata nyalangnya banjir air mata.
“Nis … bukan begitu!” Nathan berseru dengan masih menahan suaranya, wajah pria itu pun memelas.
“Keluarga Devabrata melarang pernikahan antar sepupu ….”
“Tapi kita bukan sepupu … bahkan kita enggak ada hubungan darah,” tukas Danisa.
“Iya, aku tahu … tapi kamu kerabat Devabrata … tetap saja kita enggak bisa bersama ….”
Danisa menghela kedua tangan Nathan dari pundaknya.
“Terus kalau kak Nathan tahu kita enggak bisa bersama kenapa hamilin, akuuu … hiks … hiks ….”
Tangis Danisa pecah, kedua tangannya yang terkepal memukul dada bidang Nathan.
“Aku minta maaf, Nis ….”
Nathan menarik Danisa ke dalam pelukannya dan dengan cepat kedua tangan Danisa menahan dada Nathan.
“Kenapa Kak? Kenapa Kak Nathan hancurin hidup aku kaya gini? Bahkan Kak Nathan juga enggak mencintai aku ... tapi Kak Nathan berani merenggut kehormatan aku.”
“Aku sayang kamu, Nis ….”
Kedua telapak tangan Danisa yang ada di dada Nathan mendorong hingga pelukannya terurai.
“Bohong!!!” Danisa membentak dan sekarang Nathan mulai panik.
“Kita cari klinik buat ngegugurin kandungan kamu ya.”
Nathan melangkah mendekat.
Tangis Danisa tiba-tiba terhenti, menatap tidak percaya pada Nathan.
Apa yang ia takutkan terjadi, Nathan tidak mau bertanggung jawab.
“Apa? Aborsi? Kak Nathan ingin aku Aborsi anak ini?” Danisa melirih.
Kakinya terasa lemas, tubuhnya limbung ke samping tapi ia masih bisa berpegangan pada sandaran sofa.
“Keluarga kita akan tercerai berai kalau tahu kamu hamil anak aku, Nis … aku bisa digantung Papa … lagian kita enggak mungkin bisa bersama.”
Nathan mencoba meminta pengertian.
“Seenggaknya Kak Nathan usaha dulu memperjuangkan untuk bersama aku, mempertahankan anak kita ….” Suara Danisa sangat pelan.
Dan Nathan bungkam selama beberapa lama.
Danisa tidak memerlukan penjelasan lagi karena di wajah Nathan sekarang terlihat jelas kalau pria itu tidak bersedia bertanggung jawab malah ingin membunuh darah dagingnya sendiri.
“Kak Nathan tahu apa risiko aborsi?”
Nathan tidak menjawab, juga tidak menggelengkan kepala, matanya menatap Danisa, menunggu Danisa menjawab pertanyaannya sendiri.
“Pendarahan … kerusakan serviks, penyakit sistem reproduksi, radang pinggul, sepsis, peradangan lapisan rahim, kanker dan kalau Kak Nathan sayang sama aku, Kak Nathan enggak akan meminta aku menggugurkan bayi ini.”
Danisa mundur beberapa langkah, ia selesai dengan Nathan.
Benar-benar selesai.
Danisa membalikan tubuhnya, ia berlari keluar dari ruangan Nathan dengan air mata kian menderas.
Melewati ruangan Nala ketika wanita itu baru saja akan keluar.
“Danisa!” teriak Nala memanggil karena Danisa sudah masuk ke dalam lift.
Nala heran melihat Danisa menangis keluar dari ruangan Nathan, langkahnya kemudian menuju ruangan Nathan meminta penjelasan sang kakak kembar.
Di dalam lift, Danisa tidak bisa menghentikan laju air matanya, beruntung hanya ia sendirian di dalam sana sehingga tidak perlu repot-repot menyembunyikan tangis.
Danisa hancur sehancur hancurnya.
Rasanya seperti terjebak dalam sebuah epilog tanpa prolog dan seperti dialog tapi terasa monolog.
Kisahnya bersama Nathan entah sejak kapan dimulai namun berakhir tanpa kata selesai dan dalam cerita itu ada mereka berdua tapi terasa seperti cerita Danisa sendiri.
Chapter 28
Sydney menundukan pandangan menatap kedua tangan yang saling menaut di atas meja.
Ia tidak berani melihat wajah papinya yang sedang menuntut penjelasan.
Penjelasan tentang batalnya pertunangan dengan Sagara.
Tiba-tiba saja papi dan mami datang ke Indonesia bersama Azriel.
Kedatangan keluarganya tanpa rencana dan pemberitahuan.
Semua jadi serba kebetulan.
Kebetulan mami ada pekerjaan di Jakarta bersama uncle Jevan yang merupakan sahabat papi tapi uncle Jevan pernah menyukai mami dan sampai saat ini beliau belum menikah sehingga papi berkewajiban untuk menemani ke mana mami pergi karena curiga kalau uncle Jevan belum move on dari mami.
Lalu Azriel yang juga tiba-tiba memiliki waktu luang karena pengembangan proposal dan pengumpulan data untuk project tesis-nya telah rampung sementara waktu semester masih panjang sehingga ketika papi dan mami mendadak harus ke Jakarta—ia pun bisa ikut.
Kembali lagi pada Sydney yang seperti sedang disidang oleh papi Arkatama, ia bingung bagaimana menjelaskannya pada papi.
Papi membuang napas panjang, bersandar punggung pada sandaran kursi.
Mereka sedang berada di kantin kantor Deva Corp.
Jam makan siang telah berakhir jadi kantin itu tidak terlalu ramai.
Setibanya pagi tadi Jakarta, papi langsung ke sini untuk menemui Sydney karena penasaran ingin mendengar penjelasan sang putri.
“Ya udah … kalau kamu enggak mau jelasin yang sebenarnya.”
Papi bosan menunggu Sydney untuk jujur.
“Bukan gitu, Pi.” Sydney mengesah, ia masih bingung harus menjelaskannya dari mana ketika dilayangkan pertanyaan kenapa ia dan Sagara membatalkan pertunangan.
Punggung papi menegak. “Waktu Saga datang menemui Papi—dia tampak kacau, jadi Papi enggak percaya kalau dia bilang dia yang membatalkan pertunangan ini karena enggak yakin sama kamu.”
Sydney mendongak. “Dia ngomong gitu?”
Melihat respon Sydney yang terkejut membuat papi percaya kalau masalah bukan dari Sagara tapi dari putrinya.
Papi mengangguk. “Kedua orang tua Saga berulang kali minta maaf sama papi dan mami, mereka mau bicara sama kamu untuk minta maaf secara langsung tapi Saga melarang … katanya kasih kamu waktu dulu … kamu pasti membencinya karena begitu saja membatalkan pertunangan ini … dan karena tuan Palmer sangat merasa bersalah atas keputusan Saga, kerjasama bisnis antara perusahaan kita dengan Palmer Corp tetap diteruskan.”
Sydney terpekur, Sagara mengorbankan dirinya agar Palmer Corp tetap menjalin kerjasama dengan DevaCorp.
Meski Sydney menyakitinya, tapi Sagara tetap menjaga hubungan bisnis antar dua perusahaan besar itu karena tahu DevaCorp membutuhkan kerjasama ini.
Sydney rasanya ingin menangis menjerit sejadi-jadinya saat ini juga.
Sagara Archie Palmer, pria itu mencintainya kelewat tulus.
“Tapi bukan itu ‘kan yang sebenarnya?” Kepala papi meneleng, matanya memicing menatap Sydney penuh curiga.
“Mami juga curiga kalau ini adalah keputusan kamu … bukan Saga, itu kenapa mami belum menghubungi kamu … mami kecewa sama kamu, siap-siap aja nanti kamu ketemu mami.”
Papi sampai bergidik karena marahnya sang istri itu diam dan diamnya mami bisa membuat orang seperti berada di Neraka.
“Pi … bisa papi jadi pendengar yang baik untuk Sydney?”
Sydney menyentuh punggung tangan papi, menatap nanar cinta pertamanya itu.
Sepertinya ia harus jujur agar papi bisa membantu menemukan jalan keluar untuknya dan Aslan.
Tidak peduli bagaimana ancaman papi mengenai larangan mencintai sepupu tapi Sydney tahu kalau papi sangat menyayanginya.
“Kapan sih Papi enggak jadi pendengar yang baik untuk kamu? Kamunya aja yang setelah dewasa gini enggak mau curhat lagi sama Papi.”
Papi merajuk, tidak terima karena Sydney harus bertanya dulu sebelum bercerita.
Sydney tersenyum lega, ternyata benar— ia memiliki tempat bersandar lain yang akan selalu mencintai dan menyayanginya apapun yang telah ia lakukan.
“Sydney mencintai bang Aslan, Pi ….”
Sydney menahan kalimatnya dan ekspresi papi sekarang seolah berkata, ‘Sudah kuduga.’
Papi mengangguk-anggukan kepalanya sambil menipiskan bibir.
“Jadi kamu yang membatalkan pertunangan ini?” Papi menebak.
“Iya, karena enggak akan adil buat Sagara, Pi.” Sydney mengaku.
“Jadi Aslan yang pacaran sama Amelia juga bohong? Hanya untuk menutupi hubungan kalian? Iya? Karena Papi yakin kalau Aslan duluan yang menyadari rasa cinta di antara kalian … bukan kamu ….”
Papi tampak emosional tapi masih bisa menahan nada suaranya.
Sydney meringis lalu mengangguk ketika papi mendengkus kesal.
“Terlihat jelas karena semenjak kalian kecil—Aslan hanya peduli sama kamu … ini yang kami khawatirkan, Syd … kamu dan Aslan saling jatuh cinta.”
Papi membuang tatapannya ke arah lain, ia kecewa tapi tidak ingin Sydney mengetahuinya.
“Pi … apa enggak ada jalan lain agar Sydney sama bang Aslan bisa bersama? Sydney mencintai Bang Aslan.”
Papi belum pernah melihat sorot mata memohon di mata putrinya, selama ini Sydney tidak pernah merengek meminta apapun.
Tapi sekarang, sambil memegang kedua tangan papi—Sydney memohon sepotong kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
“Apa kamu akan bahagia kalau bisa bersama Aslan?”
Sydney mengangguk cepat dan karena gerakan kepalanya itu air mata lolos begitu saja, Sydney mengusapnya kasar menggunakan punggung tangan.
Papi tidak menjawab tapi raut wajahnya tampak berpikir untuk membantu putrinya karena kebahagiaan Sydney adalah yang utama bagi papi.
Di tempat lain, tepatnya di rumah mama Shaqila—Azriel begitu semangat menekan bel pintu rumah menunggu seseorang membuka benda tersebut dan ia berharap kalau Danisa yang membuka karena jam segini kedua orang tua Danisa masih berada di tempat kerja masing-masing.
Gadis itu pasti terkejut bahagia melihat kedatangannya kembali ke Jakarta.
Ceklek.
Pintu terbuka memunculkan sosok wanita paruh baya yang tidak ia kenal.
“Cari siapa?” Wanita itu bertanya.
“Danisa ada?”
“Oh … Non Danisa ada di atas lagi sakit.” Wanita itu memberitau.
“Aku boleh masuk nemuin Danisa?”
Wanita yang Azriel yakini sebagai asisten rumah tangga mama Shaqila itu tampak ragu.
“Aku Azriel Devabrata, kerabat keluarga ini.”
“Oooh … ya silahkan, silahkan.” Barulah wanita itu mundur untuk memberi jalan agar Azriel bisa masuk.
“Kamar Non Danisa di lantai dua.”
Wanita itu memberitau tapi Azriel pernah ke sini jadi ia tahu percis di mana kamar Danisa berada.
Azriel melangkah cepat, mendengar kalau Danisa sedang sakit tentu saja ia diliputi kekhawatiran yang besar.
Tanpa mengetuk Azriel langsung memutar handle pintu dan menemukan Danisa sedang duduk bersandar pada headboard dengan bagian pinggang sampai kaki dibalut selimut.
Senyum di wajah Azriel pudar seketika melihat Danisa sedang menangis.
Matanya sembab seperti telah berhari-hari memeras air mata.
“Nis ….” Azriel bergerak mendekat memburu Danisa.
“Zi-Ziel.” Refleks kedua tangan Danisa terulur meminta pelukan.
Beberapa saat lalu ia sedang menimbang untuk menghubungi Azriel, memberitau kehamilannya karena bila memberitau Aslan kemudian kakaknya itu tidak peduli maka akan menambah luka baru di hati Danisa.
Ia tidak siap dikecewakan lagi.
Jadi Danisa bermaksud menghubungi Azriel tapi ragu tiba-tiba menyerang.
Bukan karena bagaimana pendapat pria itu tapi Danisa tidak ingin mengganggu Azriel yang sedang mengerjakan project tesis.
Namun tanpa ia duga, cowok itu ada di sini sedang mendekapnya erat.
Merengkuh pinggangnya dengan satu telapak tangan menangkup kepalanya di bagian belakang.
“Kamu kenapa, Nis? Kata asisten rumah tangga katanya kamu sakit ya? Mau aku bawa ke dokter?”
Danisa menggelengkan kepala, kian membenamkan wajah di dada Azriel dan menangis di sana.
Demi apapun, dadanya yang berhari-hari terasa sesak seakan melega dan ia bisa bernapas dengan benar meski masalahnya belum menemukan jalan keluar.
Sehebat itu Azriel dalam menenangkan Danisa.
“Apa yang sakit, biar aku pijitin.”
Danisa memeluk Azriel erat seiring tangisnya yang kian kencang.
Azriel tidak bersuara lagi, memberi waktu kepada Danisa untuk meluapkan emosinya.
Ia akan menunggu hingga Danisa lebih tenang sambil memeluknya seperti ini.
Pelukan Azriel begitu hangat dan nyaman menghantarkan ketenangan di jiwa Danisa yang tengah rapuh dan perlahan membuat tangisnya mereda.
“Aku enggak mimpi ‘kan kamu ada di sini sekarang?”
Danisa melonggarkan pelukan lalu mendongak menatap Azriel.
Wajah Danisa basah oleh buliran bening dan matanya terlihat lebih bengkak sekarang.
“Enggak … aku ada di sini, untuk kamu.”
Azriel menyingkirkan rambut Danisa yang basah terkena air mata dari wajahnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya lembut dan sorot mata hangat Azriel seolah meyakinkan Danisa bila apa yang diucapkannya tadi adalah benar.
Cowok itu di sini untuknya.
“Ziel … kalau aku bukan perempuan baik-baik apa kamu masih mau memperlakukan aku dengan baik?”
Azriel mengerjap, keningnya mengkerut bingung.
“Tentu saja … tapi kamu adalah perempuan baik-baik ….” Azriel menjawab tanpa perlu berpikir sekaligus mengutarakan pendapatnya.
Tapi bukan tanpa alasan Danisa bertanya demikian dengan keadaannya yang terlihat hancur seperti saat ini.
Kedua tangan Azriel menangkup wajah Danisa, ia cukup pintar mengartikan pertanyaan Danisa dengan kondisinya sekarang.
Jadi yang Azriel tanyakan adalah, “Siapa yang membuat kamu jadi bukan perempuan baik-baik lagi?”
Air mata Danisa kembali berderai, ia tidak sanggup menatap mata Azriel kemudian memeluk cowok itu, berlindung di dadanya.
“Kak Nathan … Kak Nathan menghamili aku.”
***
Azriel masih delapan belas tahun tapi ia selalu berusaha bersikap dewasa dan berpikir jauh ke depan karena ia adalah seorang lelaki yang akan menggantikan papinya kelak.
Dan ketika ia mendengar apa yang tengah terjadi kepada Danisa—yang pertama kali ia datangi bukan Nathan atau memberitau kedua orang Danisa tapi Azriel mendatangi Aslan.
Azriel mencengkram stir erat meluapkan emosinya di sana.
Ia harus terlihat tenang di depan Danisa.
Danisa sedang terguncang dan terpuruk, ia tidak boleh egois dengan memperlihatkan perasaannya juga.
Perasaan kecewa, sakit dan merasa dikhianati.
Azriel merasa dikhianati oleh Nathan, kakak sepupunya itu tahu kalau ia menyukai Danisa.
Ia pernah mengatakannya secara langsung kepada Nathan, saat itu Nathan mendukungnya dan menyarankan agar mengungkapkan perasaannya kepada Danisa.
Tapi peringatan papinya tempo hari yang secara tidak langsung menegur Aslan dan Sydney agar tidak terlibat cinta di antara sepupu membuat Azriel urung mengutarakan perasaannya kepada Danisa.
Walaupun Danisa bukan sepupu langsung mereka tapi Danisa adalah kerabat dekat Devabrata sehingga masuk ke dalam kategori orang-orang yang dilarang dicintai oleh Azriel.
Apalagi ketika sang papi mengancam akan menjauhkan Danisa dari keluarga Devabrata bila ketahuan ia mencintai gadis itu.
Jadi Azriel memilih untuk memendam perasaan cintanya agar bisa selalu bertemu Danisa.
Tapi si brengsek bernama Nathan malah berbuat keji kepada Danisa padahal berulang kali ia menitipkan Danisa pada Nathan agar pria itu menjaganya.
“Kalau bang Aslan enggak peduli gimana?”
Danisa melirih di samping Azriel yang sedang mengemudi.
“Kita ‘kan belum tahu, kalau bang Aslan enggak peduli … aku akan langsung bicara sama grandpa karena masalah ini sangat sensitif, Nis … kamu bisa bayangin enggak gimana marahnya Om Andi sama keluarga Om Aiden kalau tahu kamu hamil anak kak Nathan sedangkan kita tahu sejarah mereka gimana, kan?”
Danisa melipat bibirnya ke dalam, dia tahu dan itu kenapa dia tidak berani mengatakan perihal kehamilannya kepada mama dan Papa.
Namun bila Nathan memiliki niat baik untuk bertanggung jawab dan bukannya mencampakkannya seperti ini mungkin keadaan bisa berubah.
Kedua keluarga mereka tidak perlu berdebat apalagi saling benci.
Danisa dan Nathan bisa menikah dan apa salahnya melanggar aturan yang dibuat oleh para leluhur terdahulu selama tidak merugikan Bangsa dan Negara, Agama dan tidak melanggar hukum.
Aturan ini hanyalah aturan konyol yang dibuat oleh pendahulu Devabrata agar keluarga mereka berkembang.
Sayangnya berhari-hari berlalu tidak ada tanda-tanda Nathan akan bertanggung jawab, sepulangnya dari kantor pria itu—tidak satu pesan pun dikirimkan Nathan.
Nathan juga tidak menghubunginya sama sekali malah Nala yang sibuk bertanya kenapa beberapa hari lalu Danisa keluar dari ruangan Nathan sambil menangis.
Danisa tidak pernah membalas pesan Nala lalu mungkin Nala lelah dan berhenti mengirim pesan atau menghubunginya lagi.
Azriel memarkirkan mobilnya di pelataran parkir gedung kantor perusahaan Aslan.
Ia pasti tahu di mana Aslan berkantor karena papan nama perusahaan marketplacenya terpampang sangat besar di tengah-tengah bagian gedung dan terlihat dari jalan tol layang dalam kota.
“Ayo.” Azriel yang membukakan pintu untuk Danisa mengulurkan tangan membantunya turun.
Danisa tampak ragu, begitu kentara di wajahnya yang pucat.
“Ayo Nis … kita selesaikan masalah ini secepatnya.”
Akhirnya Danisa turun dengan bantuan tangan Azriel yang kini terus menggenggamnya erat.
Bila Nathan tidak mau bertanggung jawab seperti apa yang diceritakan Danisa maka ia yang akan bertanggung jawab.
Dalam perjalanan tadi, benak Azriel tidak berhenti berpikir sehingga ide untuk mengambil alih tanggung jawab Nathan pun muncul.
Keluarganya pasti tidak akan melarang, kan?
Anak itu butuh Ayah.
Danisa butuh suami.
Dan Azriel bersedia menggantikan Nathan, tidak peduli dengan keadaan Danisa karena cintanya tulus kepada perempuan itu.
“Mbak Amel, Bang Aslan ada?”
Langkah Azriel dan Danisa berhenti di depan meja Amelia.
Wanita itu mendongak kemudian beranjak berdiri.
“Mas Ziel … Danisa ….” Amelia cukup terkejut melihat dua orang itu bisa mendapat akses ke lantai ini.
“Tadi aku bilang sama resepsionisnya kalau aku adik sepupu bang Aslan jadi diijinin naik ke sini.” Azriel seolah menjawab pertanyaan yang tercetak di wajah Amelia.
“Oh ….” Amelia menggumam.
“Pak Aslan lagi meeting … tapi kayanya sebentar lagi keluar … mau tunggu di ruangannya?” Amelia menawarkan.
“Boleh.” Azriel yang menjawab.
Amelia menuntun Danisa dan Azriel ke ruangan Aslan.
“Saya tinggal sebentar ya.”
Amelia lantas undur diri setelah mempersilahkan Azriel dan Danisa duduk.
Ia berinisiatif membuatkan minum untuk Danisa dan Azriel terlebih setelah melihat wajah Danisa yang seperti habis menangis dan menjadi sangat pendiam membuat Amelia yakin bila kedua orang itu memiliki urusan penting dengan Aslan.
Amelia membuatkan teh chamomile untuk Azriel dan Danisa, ia kembali ke ruangan Aslan dengan kedua tangan memegang nampan.
Pasti akan kesulitan membuka pintu dengan kedua tangan memegang nampan tapi beruntung pintu ruangan Aslan hanya tertutup sebagian jadi ia bisa mendorongnya dengan sisi tubuh.
Di dalam sana hanya ada Danisa yang sedang terisak kemudian mengusap air matanya setelah menyadari keberadaan Amelia.
Amelia menyimpan nampan lalu memindahkan cangkir dari nampan ke meja.
“Mas Ziel mana?” Amelia bertanya.
“Lagi ke toilet,” jawab Danisa melirih.
Wajahnya tertunduk dengan kedua tangan saling meremat di atas pangkuan.
Amelia tidak langsung pergi, ia duduk di samping Danisa lalu menggenggam tangan Danisa.
Danisa menoleh menatap Amelia.
“Apa yang terjadi?” tanya Amelia dengan suara lembut.
Dan hanya dengan satu kalimat itu saja, dengan nada rendah tapi menyiratkan banyak perhatian membuat air mata Danisa kembali mengalir.
Amelia menarik Danisa ke dalam pelukannya, melingkupi Danisa dengan kedua tangan.
“Nangis aja … keluarin sampai kamu puas.”
Amelia mengusap punggung Danisa lembut, tangisnya begitu pilu mengingatkan Amelia ketika keperawanannya direnggut secara paksa oleh pria yang membelinya.
Setelah pria itu meninggalkannya tidak berdaya dengan luka memar dan lecet di bagian inti—Amelia menangis tersedu seperti yang dilakukan Danisa sekarang.
Saat itu ia merasa hidupnya hancur, masa depannya suram.
Brak!
Suara pintu yang didorong paksa hingga membentur dinding membuat Amleia dan Danisa berjengit.
Sosok Aslan berdiri di ambang pintu, rahangnya mengetat, mata pria itu menatap nyalang pada Danisa.
Aslan masuk ke ruangan itu diikuti Azriel.
Tadi ketika keluar dari toilet, Azriel bertemu dengan Aslan yang hendak kembali ke ruangannya.
Dalam perjalanan menyusuri lorong menuju ruangan Aslan—Azriel menceritakan secara singkat apa yang dialami Danisa dan di luar dugaan—Aslan tampak berang dan emosional.
“Kamu ikut Abang!” Aslan menarik tangan Danisa namun Danisa yang ketakutan malah memeluk Amelia erat.
Danisa menduga kalau Azriel sudah menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Nathan.
“Pak Aslan,” tegur Amelia seraya menepis tangan Aslan.
Sorot mata Amelia tampak memperingati tapi ajaibnya Aslan langsung mengembuskan napas berat dan raut wajahnya tidak sekeras tadi.
Aslan menjatuhkan bokongnya di sofa, menyugar rambutnya berkali-kali.
“Kamu jangan mau kalau Nathan suruh gugurin anak itu!” Aslan menunjuk Danisa, suaranya pelan tapi tegas.
“Danisaaaa, kamu tuh ….” Aslan mengusap wajahnya kasar.
Ia masih tidak percaya bila adik satu ayahnya menghamili adik satu ibunya.
Apa yang mereka pikirkan?
“Brengsek si Nathan!” Aslan mengumpat.
Danisa masih menangis di pelukan Amelia.
Dan kalimat-kalimat penuh emosi yang Aslan ucapan barusan membuat Amelia mengerti apa tengah terjadi.
“Kita langsung ke rumah grandpa sekarang!” Aslan memberi instruksi.
Entah kenapa ia sangat tidak terima mengetahui adiknya dihamili oleh Nathan apalagi Azriel cerita kalau Nathan berniat membawa Danisa ke klinik aborsi untuk menggugurkan kandungannya.
Mati-matian dirinya memendam perasaan dan menyembunyikan hubungan dengan Sydney untuk menjaga keutuhan keluarga mereka tapi Nathan dan Danisa malah berbuat sebaliknya.
Chapter 29
“Mi ….” Sydney menyapa mami Luna saat langkahnya baru saja memasuki dapur.
Tadi grandma memberitau kalau mami ada di dapur sedang menyiapkan makan malam jadi ia menyusul ke sini.
“Apa?” jawab mami ketus.
Berarti benar kata papi kalau mami sedang ngambek.
“Em … peluk dulu donk.” Sydney meminta dengan suara manja.
“Enggak! Kesel mami … enggak jadi mertuanya Saga.”
Sydney mencebikan bibirnya kemudian memeluk mami yang duduk di stool dari belakang.
“Maafin Sydney.” Sydney bergumam.
Kedua tangan mami yang sedang sibuk memotong buah berhenti.
“Jadi bener, kamu yang membatalkan pertunangan? Bukan Saga, kan? Karena Mami tahu kalau Saga cinta banget sama kamu.”
Sydney yang membenamkan wajah di pundak mami pun menganggukan kepala.
“Kenapa enggak diskusi dulu sama kita sih? Salah Saga apa coba? Kurangnya Saga apa? Sampai kamu tega membatalkan pertunangan … dan yang ngebuat mami sedih banget, Saga bilang ke orang tuanya kalau dia yang membatalkan pertunangan biar kerjasama antara DevaCorp dan Palmer Corp tetap terjalin ….” Mami mengembuskan napas panjang setelah panjang lebar berucap penuh emosi.
“Maafin Sydney.” Sydney bergumam dari pundak mami.
“Kamu yang harusnya minta maaf sama Saga, dah lah … mami lagi kesel ini, jangan peluk-peluk mami.”
Mami menggerakan badannya agar Sydney melepas pelukannya tapi Sydney malah memeluk kian erat.
“Jawab pertanyaan Mami … kenapa kamu membatalkan pertunangan kamu dengan Saga?”
“Sydney mencintai pria lain.”
Plak!
Mami memukul kepala Sydney dengan mangkuk plastik.
***
“Brengsek lo, Nathan! Sialan lo!!!”
Teriakan Aslan itu menjadi aba-aba dari pukulannya yang melayang ke rahang Nathan.
“Abang!!!!” jerit para wanita.
Ada mami, mama Raisa, grandma, Nala, Sydney dan mama Shaqila.
Ternyata di rumah grandpa sedang ada acara makan malam keluarga.
Berhubung keluarga papi datang lagi ke Jakarta jadi sekalian saja keluarga Om Aiden dan keluarga mama Shaqila diundang untuk mendiskusikan tentang pesta pernikahan Nala.
“Bang, berhenti Bang!” Papa Andi berusaha melerai tapi Aslan kadung emosi.
Aslan berusaha menahan amarahnya sejak dalam perjalanan tadi.
Awalnya ia menyesal membuat keputusan untuk mendatangi grandpa terlebih dahulu karena lama-lama mendengar kembali apa yang diceritakan Danisa dalam perjalanan ke sini membuat Aslan ingin segera menghajar Nathan.
Dan ketika melihat Nathan ada di rumah grandpa, tentu saja Aslan tidak bisa menundanya lagi.
Ia harus memberi pelajaran kepada Nathan sekarang juga.
“Aslan!” Om Aiden berseru meminta Aslan berhenti.
Namun Aslan menulikan telinga terus menghajar Nathan yang sudah tersungkur ke tanah.
Semua panik, sesekali menjerit histeris setiap kali Aslan melayangkan tinjunya ke wajah Nathan yang tidak melawan sedikitpun.
Nathan sadar dengan kesalahannya dan ia rela dihajar habis-habis oleh Aslan.
Ia berharap keluarganya iba lalu memaafkan kesalahannya.
“Abang! Ada apa ini?” Papa Andi menahan tangan Aslan yang hendak memukul Nathan lagi.
“Abang harus kasih pelajaran sama laki-laki brengsek ini, Pa.”
Aslan menggeram, sampai urat-urat di leher dan keningnya tampak.
Sepertinya Aslan sendiri sedang berusaha untuk tidak membunuh adiknya.
“Salah apa adik kamu sampai kamu nyerang dia membabi buta kaya gini?” Om Aiden membantu Nathan yang sudah babak belur untuk duduk.
Ia tidak terima anaknya menjadi bulan-bulanan Aslan.
“Dia udah ngehamilin Danisa!!”
Suara Aslan begitu lantang dan tegas sambil mengarahkan telunjuk pada Nathan.
Meski begitu semua terdiam, saling melempar tatap bingung sekaligus tidak percaya.
Tatapan segera saja tertuju pada Danisa yang sedang dipeluk Amelia.
Danisa terisak dalam pelukan Amelia, tidak berani melihat Aslan yang tengah memberi pelajaran pada Nathan.
“Danisa hamil … anak kak Nathan.” Azriel mengulang kalimat Aslan barusan.
Detik berikutnya terdengar suara mama Shaqila menangis histeris.
Papa Andi menjatuhkan tubuhnya di lantai, kakinya menekuk, kedua tangannya menutup wajahnya yang tengah mengalirkan banyak buliran kristal.
Sebagai seorang ayah ia ingin sekali menghajar Nathan tapi selain pria yang menghamili putrinya itu telah babak belur—kekerasan juga bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Om Aiden yang masih tampak syok langsung mendorong tubuh Nathan.
“Kamu enggak punya otak, Nathan!” bentaknya sambil menampar kepala belakang Nathan.
Menambah rasa sakit yang harus diterima Nathan pada tubuhnya.
“Qila …,” gumam mama Raisa sambil terisak, hendak meraih tubuh bergetar mama Shaqila ke dalam pelukan tapi mama Shaqila menghempaskan tangan mama Raisa.
Mami Luna yang kemudian memeluk mama Shaqila berusaha menenangkannya.
“Maaa … maaaa … mamaaaa ….”
Suara Grandpa yang berteriak panik itu membuat semua menoleh pada beliau yang tengah menopang tubuh grandma yang sudah pingsan.
“Panggil ambulan!” kata papi entah kepada siapa.
Amelia mengeluarkan ponselnya dari saku blazer lalu memberikannya kepada Azriel agar menghubungi ambulance.
***
Papi Arkatama dan grandpa tiba kembali di rumah nyaris tengah malam setelah tadi membawa grandma ke rumah sakit.
Sekarang grandma ditemani mami Luna dirawat di rumah sakit, kondisinya sudah stabil tapi masih lemah.
Beliau mendapat serangan jantung karena tidak mampu menerima kenyataan yang terjadi.
Tidak ada yang tahu bila konflik besar di masa lalu antara Om Aiden, mama Shaqila dan papi Arkatama sangat mempengaruhi grandma Selena hingga kesehatan jantungnya terganggu.
Grandma meminta grandpa menyembunyikan penyakit jantungnya dari anak-anak mereka agar tidak menambah beban masalah yang tengah dihadapi waktu itu.
Jadi, ketika beliau mendengar kabar buruk ini—jantungnya tidak kuat lagi.
Sekarang mereka berkumpul di living room dalam keadaan yang sudah lebih tenang.
Amelia sudah pulang atas permintaan Aslan.
Mereka harus menyelesaikan ini sekarang juga karena semakin hari perut Danisa akan semakin besar.
Nathan duduk di single sofa, hanya bisa menunduk tidak banyak bicara.
“Angkat wajah kamu Nathan,” titah grandpa dengan suara tegas membuat Nathan langsung menatapnya.
“Apa yang ada di otak kamu waktu kamu menghamili Danisa? Dia itu adik Abang kamu dan itu berarti dia adik kamu juga.”
Grandpa bertanya dengan suara rendah namun tegas.
“Kita ngelakuinnya atas dasar suka sama suka, grandpa.” Nathan menjawab pelan.
Azriel tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berdecih, ingin melontarkan kata-kata umpatan untuk Nathan tapi ia tahan agar diskusi berjalan lancar.
“Jadi kamu nyalahin Danisa? Dia baru tujuh belas tahun, Nathan … kalau kamu enggak ngerayu dia, dia enggak akan mau melakukan itu!” Mama Shaqila memekik dan kembali menumpahkan air matanya.
Dan ucapan mama Shaqila tadi mewakilkan apa yang ada dibenak Azriel.
“Om percaya banget sama kamu, Nathan … tapi kamu menyalahgunakan kepercayaan Om … dia adik kamu, seharusnya kamu menjaganya … bukan merusaknya.” Papa Andi berusaha tenang dan sabar meski sebenarnya hati beliau hancur berkeping-keping.
Dan apa yang ingin diucapkan Azriel terwakilkan lagi.
“Maaf Om … tante … Nathan khilaf.” Untuk yang ke sekalian kalinya Nathan meminta maaf karena hanya itu yang bisa ia katakan.
Mama Raisa tertunduk lesu, meski tidak mengeluarkan air mata tapi Nathan tahu beliau amat sangat kecewa.
Nathan sudah meminta maaf kepada beliau tapi mama Raisa hanya menggelengkan kepalanya, ia bahkan enggak menatap Nathan.
Sedangkan Aslan yang sudah puas menghajar Nathan bisa duduk tenang di samping Sydney.
Tanpa ada yang menyadari kalau tangan mereka saling menggenggam di bawah bantal sofa.
Om Aiden tidak berbeda dengan mama Raisa, beliau juga bingung, tidak banyak bicara dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kalau beliau terpukul dengan berita ini.
“Jadi, untuk menyelesaikan masalah ini … kamu akan membawa Danisa menggugurkan bayi itu?”
Sebenarnya grandpa tidak sedang bertanya, ia menyindir sikap Nathan yang baru saja diceritakan kembali oleh Danisa dan tidak dibantah oleh Nathan.
“Nathan bingung grandpa, Nathan tahu kalau apa yang Nathan lakukan salah … selain itu Nathan tahu di keluarga kita enggak boleh menikah dengan sepupu atau kerabat … itu kenapa Nathan mengambil keputusan menggugurkan bayi itu.”
“Kalau Danisa mati gimana?” Mama Shaqila berteriak bersama derai air mata.
Papa Andi menarik mama Shaqila ke dalam pelukannya.
Mengusap punggung sang istri lembut bermaksud menenangkan padahal papa Andi juga sesungguhnya butuh ditenangkan.
“Apa kamu mencintai Danisa?” Grandpa bertanya kembali.
Beliau tampak tenang, bertanya dengan nada rendah meski tegas dan sesekali menyindir.
Nathan bisa saja berbohong dengan menganggukan kepalanya tapi ia memilih jujur.
Pria itu menggelengkan kepala, Danisa melihatnya dengan jelas.
Hati Danisa mencelos, pundaknya turun lalu bersandar di sofa.
Air matanya mengalir tapi tatapannya kosong pada Nathan.
Azriel merengkuh tubuh Danisa lalu memeluknya.
Demi Tuhan, ingin ia bunuh Nathan sekarang juga.
“Lalu kenapa kamu melakukan itu???” Sekarang grandpa membentak membuat semua terhenyak.
“Kamu tidak belajar dari kesalahan papa kamu yang meniduri mamanya Danisa sehingga Abang kamu lahir ke dunia? Hah?”
Hening. Tidak ada yang berani bicara.
“Karena kesalahan itu konflik besar harus terjadi, semua terkena imbas … butuh waktu bertahun-tahun hingga keluarga ini pulih kembali bahkan sampai sekarang keluarga ini belum pulih … lihat Abang kamu ….” Grandpa menunjuk Aslan.
“Sampai sekarang Abang kamu itu masih membenci kami, Nathan … lalu kenapa kamu ….”
Grandpa tidak mampu melanjutkan kalimatnya, beliau terisak.
Papi merangkul pundak grandpa berusaha menenangkan.
“Kenapa? Apa salah papa, Arka? Apa dosa papa sampai keluarga kita harus mendapat masalah seperti ini?”
Pundak grandpa bergetar kian hebat, ia mengingat istrinya yang terbaring di rumah sakit karena masalah ini.
Grandpa juga malu karena dua keturunannya telah mencoreng nama baiknya, nama baik keluarganya dengan menghamili wanita di luar nikah.
Dan konyolnya, mereka tidak mencintai wanita yang dihamili itu.
Sydney menundukan kepala, merasa beruntung karena sampai saat ini ia tidak hamil.
Bila itu sampai itu terjadi akan membuat grandpa dan grandma semakin terpuruk.
Di bawah bantal, Aslan mengeratkan genggaman tangannya melihat air mata Sydney mengalir.
Tatapan Aslan seolah mengatakan agar Sydney jangan terpengaruh dengan masalah ini juga memohon kepada Sydney agar tetap bertahan dengan cinta mereka.
“Kamu harus bertanggung jawab, Nathan.” Om Aiden akhirnya bersuara.
Untuk menyelamatkan agar tidak ada lagi anak yang lahir dengan trauma seperti Aslan adalah menikahkan Nathan dengan Danisa.
Yang seharusnya dulu Aiden lakukan, menikahi Shaqila dan harus rela kehilangan Raisa.
Andaikan dulu Aiden menikahi Shaqila lalu berusaha mencintainya dengan tulus, maka hal ini tidak akan pernah terjadi.
“Tapi kak Nathan enggak mencintai Danisa!” Azriel tidak terima, bukan begini harapannya ketika tadi ia melihat Nathan mengangguk menjawab pertanyaan grandpa.
“Cinta atau enggak, Nathan harus bertanggung jawab.” Mama Raisa melirih, ia setuju dengan suaminya.
“Nathan … kamu harus menikahi Danisa secepatnya,” putus grandpa yang juga setuju dengan solusi tersebut.
“Kalau gitu, Aslan juga bisa nikah sama Sydney.”
Kalimat Aslan barusan mengambil alih fokus seluruh orang di ruangan itu termasuk Sydney yang menoleh dramatis padanya.
“Aslan … tolong jangan memperkeruh masalah yang ada.”
“Maaf grandpa, tapi kalau Nathan bisa menikah sama Danisa … berarti Aslan juga berhak menikahi Sydney.”
Sedari tadi Aslan menunggu grandpa memerintahkan agar Nathan menikahi Danisa agar ia bisa melontarkan kalimat itu.
Aturan sudah dipatahkan oleh grandpa sendiri maka seharusnya ia dan Sydney bisa bersama.
“Bukannya kamu pacaran sama Amel?” Mama Shaqila yang bertanya.
Ia terkejut mendengar ucapan putranya barusan sampai menghentikan tangis.
“Enggak … itu hanya untuk menutupi hubungan kami.”
Aslan menarik bantal dari atas genggaman tangannya dengan Sydney.
Semua kembali terperanjat.
“Sejak kapan kalian berhubungan? Lalu bagaimana pertunangan Sydney dengan anak dari keluarga Palmer itu?” cecar grandpa, menatap Aslan dan Sydney bergantian.
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk memberitau mereka semua tentang hubungannya dengan Aslan.
“Sydney udah batalin pertunangan sama Saga, grandpa ... Sydney enggak bisa menikah sama Saga karena Sydney mencintai Abang.” Sydney melirih tanpa berani menatap wajah grandpa.
Grandpa menoleh pada papi. “Benar itu, Arka?” tanyanya kemudian karena papi tidak terlihat syok.
Beliau menduga kalau papi tahu dan sungguh ia sangat kecewa.
“Iya Pa, tapi kerjasama bisnis antara perusahaan kita dengan perusahaan Palmer tetap dilanjutkan.” Papi membenarkan sambil memberi penjelasan agar grandpa tahu jika pembatalan pertunangan Sydney dengan Sagara tidak akan berpengaruh pada bisnis.
Grandpa menatap Aslan dan Sydney lama, hembusan napas terdengar berat sebelum akhirnya grandpa kembali bersuara.
“Ya udah, menikahlah kalian secepatnya … kamu dulu dan Sydney, lalu Nathan dan Danisa … setelah itu Nala dan Aga,” putus grandpa akhirnya.
Sydney mengangkat wajahnya tidak percaya kalau hubungannya dengan Aslan mendapat restu.
“Tapi tanggal pernikahan Nala udah ditentukan, Pa.” Aiden mengingatkan.
“Ya, berarti pernikahan Aslan dengan Sydney dan Nathan dengan Danisa harus dilakukan secepatnya … kalau perlu, akhir minggu ini Aslan menikahi Sydney … upacara Agama saja, enggak perlu pesta … lalu minggu depannya lagi Nathan dan Danisa menikah, dan minggu berikutnya Nala dan Aga, pas ‘kan?” Grandpa merujuk pada tanggal pernikahan Nala dan Aga yang sudah ditentukan.
Beliau mengatakannya seperti sedang bersarkasme tapi sebenarnya ia serius mengatakan itu.
Grandpa tidak ingin ada konflik lagi, tahu betul watak Aslan.
Aslan tidak akan menyerah sebelum keinginannya terwujud.
Selama ini yang ditakutkan keluarga Devabrata adalah Aslan dan Sydney saling jatuh cinta itu kenapa mereka memberi peringatan di awal.
Mewanti-wanti bahkan memberikan ancaman agar mereka tidak saling mencintai.
Tapi bila memang sudah saling mencintai dan tidak bisa dipisahkan lagi, mereka bisa apa?
“Enggak! Abang Aslan enggak boleh nikah sama Sydney … enggak boleh! Kalau perlu, Danisa enggak usah nikah sama kak Nathan … pokoknya Bang Aslan enggak boleh nikah sama Sydney!”
Danisa berteriak sambil beranjak dari kursi lalu berlari pergi dari ruangan itu.
“Biar Ziel yang ngejar Danisa,” kata Azriel kemudian berlari menyusul Danisa.
“Syd … kamu serius? Kamu beneran cinta sama Abang? Iya?” Nala yang bertanya, matanya berkaca-kaca.
“I-Iya, Kak.” Sydney terbata karena sorot mata Nala mengintervensinya.
Nala terkekeh sumbang, ia mengelap sudut matanya yang mengalirkan buliran kristal.
“Bagus … kalian enggak menikah aja, Bang Aslan enggak peduli sama kita … dia hanya peduli sama kamu, apalagi kalau kalian menikah? Syd … tolong jangan serakah, kamu udah mendapat perhatian penuh Bang Aslan … jangan ingin memilikinya juga, kamu enggak kasian sama Danisa adik kandungnya? Sama gue? Sama Nathan? Kita enggak pernah dapet perhatian yang lo dapetin dari Bang Aslan.”
Nala beranjak, menatap Sydney dengan sorot penuh kebencian lalu pergi.
Berkali-kali tangannya mengusap air mata yang tidak mampu lagi ia bendung seiring langkahnya menjauh dari living room.
Aslan menoleh, menggenggam tangan Sydney kian erat.
Sydney balas menatap Aslan dan Aslan menemukan keraguan di mata Sydney.
“Pi, Aslan mau menikahi Sydney akhir minggu ini …,” ucap Aslan meminta restu tanpa melepaskan tatap dari Sydney.
Aslan tidak ingin Sydney berubah pikiran karena ucapan Danisa dan Nala barusan.
***
“Nis … Danisa.” Azriel menarik tangan Danisa yang sudah melewati pintu utama.
“Kamu mau ke mana?” tanya Azriel, satu tangannya yang bebas mengusap wajah Danisa yang basah oleh air mata.
“Bawa aku pergi.” Danisa memohon.
Ia tidak bisa tetap tinggal di ruangan itu, tidak bisa melihat wajah Nathan yang sekarang sangat ia benci, tidak bisa melihat raut kecewa juga sedih di wajah kedua orang tuanya dan tidak bisa melihat binar di mata Sydney yang begitu bahagia saat grandpa memberi restu atas hubungannya dengan Aslan.
Tidak, Danisa tidak sanggup.
Perbuatan bodohnya dengan Nathan malah justru mengantarkan Aslan dan Sydney ke pelaminan.
“Ya udah, aku anter kamu pulang ke rumah aja ya.”
Azriel menarik tangan Danisa, menggenggamnya lalu menuntun Danisa ke mobil.
Membukakan pintu mobil untuk Danisa, tidak lupa memasangkan seatbelt.
Danisa diam saja ketika mendapat perhatian Azriel yang berlebihan itu.
Azriel mengusap kepala Danisa sebelum akhirnya menegakan tubuh lalu menutup pintu mobil.
Pria itu mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan lambat membuat Danisa bosan kemudian menoleh padanya saat mobil di belakang menekan klakson dengan sering.
“Ziel … kita enggak bisa ngebut dikit ya?”
“Enggak bisa lah, ada bayi di perut kamu … aku harus hati-hati.”
“Tapi di belakang—“
“Ya udah, mampir minimarket bentar ya?”
Azriel berkata pada dirinya sendiri karena sebelum Danisa menyahut—ia sudah membelokan kemudi ke pelataran parkir sebuah mini market.
“Mau ikut atau tunggu?” Azriel memberi penawaran.
“Tunggu aja.” Tubuh Danisa sangat lemas.
“Mau titip apa?”
“Air mineral aja.”
“Sebentar ya.” Azriel mengusap kepala Danisa lagi lantas turun dari mobil.
Tidak lama pria itu kembali sambil membawa keresek cukup besar.
“Minum dulu ini.” Azriel membuka segel sedotan lalu menusuknya pada lubang di kemasan susu ibu hamil.
Danisa mengerjap, tampak bingung kenapa Azriel memberikannya susu itu.
Apa Danisa lupa kalau ia sedang mengandung?
“Aku tebak kalau kamu enggak pernah memperhatikan janin kamu, kan? Kamu juga belum periksa ke dokter tentang kandungan kamu ya?”
Danisa mengangguk pelan. Ia tidak tahu bagaimana merawat janin dan ia juga tidak mungkin pergi ke klinik untuk memeriksakan kandungannya sendiri.
Selama ini ia terlalu bodoh menunggu kesadaran dari ayah janin ini yang tidak mencintainya.
“Ya udah minum dulu biar kamu dan bayi kamu sehat.”
Azriel menggerakan tangannya yang memegang kemasan tetrapack susu ibu hamil.
Danisa meraih susu ibu hamil itu lalu meminumnya.
“Enak?”
Danisa mengangguk pelan.
“Kenapa kamu lebih perhatian dari kak Nathan sama janin ini?”
“Karena aku sayang kamu, Nis ….”
“Kamu enggak benci atau jijik sama aku?”
Azriel yang tadinya sudah memegang stir dan hendak menekan tombol engine tiba-tiba menyerongkan tubuhnya menghadap Danisa.
Menggenggam satu tangan Danisa lalu menatapnya dalam.
“Nis, sama aku aja yuk nikahnya … aku akan menyayangi anak kamu seperti anak aku sendiri.”
Chapter 30
Bagi sebagian orang mungkin sebuah pengakuan akan membuat perasaan lega.
Tapi tidak untuk Sydney yang justru merasa bila semua ini adalah kesalahan.
Apa karena seolah ia memanfaatkan musibah yang sedang menimpa Danisa?
Atau karena melihat kecewa di wajah para orang tua sewaktu mendengar pengakuannya?
Mereka memang mengijinkan Sydney dan Aslan menikah tapi ijin tersebut diberikan lebih kepada agar apa yang terjadi kepada Danisa tidak terulang kembali.
Mungkin hanya ada di keluarga Devabrata, pesta pernikahan tidak disambut dengan bahagia.
Tadi malam Om Aiden dan keluarganya pulang menjelang dini hari.
Asla pun begitu, hampir berbarengan pulang bersama mama Shaqila.
Dan menakjubkannya, Aslan mau merangkul mama Shaqila—membantu beliau berjalan ke mobil.
Sydney melihat Aslan mengusap lengan mama Shaqila ketika merangkulnya, mungkin jiwa anak pertama laki-laki yang ada pada diri Aslan tergugah oleh musibah yang menimpa keluarganya itu.
Aslan juga sempat mengecup pelipis mama Shaqila sebelum menutup pintu mobil.
Jujur, Sydney bahagia melihat perubahan sikap Aslan kepada mama Shaqila.
Bila Aslan semakin dekat dengan keluarganya, ternyata tidak dirasakan oleh Sydney.
Pagi ini grandpa dan papi tampak sangat pendiam, menghabiskan sarapan paginya tanpa suara.
Awan mendung seolah membayangi mereka saat ini.
“Coba panggil Ziel, Syd … dia harus sarapan pagi.” Grandpa akhirnya mengeluarkan suara.
“Ziel sampe ke rumah subuh, grandpa … dia nungguin dulu Danisa di rumahnya sampai tante Shaqila sama om Andi pulang, jadi katanya mau tidur dulu … sarapannya agak siang.”
Sydney menyampaikan apa yang diucapkan adiknya ketika tadi ia mampir ke kamar cowok itu untuk bertanya tentang Danisa.
Sengaja Sydney menjelaskan panjang lebar, maksudnya agar grandpa dan papi memberikan pertanyaan atau pendapat atau apapun itu yang penting ruang makan ini tidak seperti kuburan, sepi.
Tapi pada kenyataannya grandpa kembali terdiam dan papi menunduk menekuni sarapan paginya dengan ekspresi wajah seperti sedang tidak berselera makan.
Grandpa meminta cuti untuk tidak ke kantor hari ini, beliau akan ke rumah sakit nanti siang menemani grandma.
Jadi Sydney diantar oleh papi ke kantor karena papi harus ke rumah sakit mengantar pakaian mami.
Mami ada acara hari ini dengan uncle Jevan.
Selama perjalanan, Sydney hanya diam, wajahnya tampak murung.
Biasanya papi akan menggodanya tapi kali ini tidak, jadi ia pun menoleh menatap papinya yang begitu fokus mengemudi.
“Papi enggak setuju ya kalau Sydney nikah sama bang Aslan?” Suara Sydney terdengar merajuk.
Papi menoleh sekilas kemudian tersenyum, sejenis senyum yang dipaksakan untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
“Papi sih bukan enggak setuju dalam artian negatif tapi ngerasa kaya ‘kok bisa kalian jatuh cinta? Kalian dibesarkan bersama lho’ gitu … dan, memang enggak ada cowok atau cewek lain? Papi juga berpikir seperti itu sama Nathan … enggak kebayang gimana hancurnya perasaan Shaqila dan Andi … juga grandpa yang merasa sangat bersalah karena keturunannya berbuat tidak pantas, menghancurkan masa depan seorang wanita ….”
Jika tidak bertemu dengan Papa Andi, mungkin hidup mama Shaqila tidak akan seperti ini.
Masih mendekam di rumah sakit jiwa.
“Bukan Sydney yang menganugerahkan cinta, Pi ….” Sydney melirih, kepalanya ia tundukan dalam-dalam.
Sydney merasa ada usapan di puncak kepalanya.
“Iya … papi ngerti.”
“Tapi mami enggak ngerti.” Sydney berujar kembali.
“Kamu tahu ‘kan mami gimana? Dia itu orangnya lurus-lurus aja, enggak mau ngecewain orang tua … kalau mami tahu kamu mencintai Aslan dan mau menikah sama dia, mungkin mami akan sedih tapi bukan karena kamu dan Aslan tapi karena telah mengecewakan grandpa dan para orang tua terdahulu yang membuat peraturan larangan menikahi sepupu ….”
Pendapat papi itu masuk akal karena mami sangat menyayangi Aslan, jadi tidak masalah kalau pun Aslan harus jadi menantunya.
“Kepala Sydney kemarin digetok loh, Pi … sama mami pake mangkuk plastik.” Sydney mengerucutkan bibirnya, mengadu pada papi.
Papi akhirnya bisa tergelak juga, “kok bisa? Memangnya kamu ngapain sampai mami getok kepala kamu begitu?”
“Mami nanya kenapa Sydney batalin pertunangan sama Saga terus Sydney bilang kalau aku mencintai pria lain.”
Papi kembali tergelak. “Kamu bilang enggak pria yang kamu cintai itu Abang kamu?”
“Enggak, soalnya mami pegang pisau … Sydney takut ah.”
“Nanti papi coba ceritain sama mami ya, tentang perasaan kamu sama Aslan dan tentang rencana pernikahan kalian.”
Papi memang yang terbaik.
“Tapi, Pi ….”
“Kenapa?”
“Memangnya Sydney sama Bang Aslan harus cepet-cepet ya nikahnya, Pi?”
Lho, bukannya dia yang mau menikah sama Aslan?
“Ya enggak juga, tapi ke depannya ‘kan kita enggak tahu … gimana kalau grandpa berubah pikiran dan menarik restunya?”
“Jangaaaan ….” Sydney setengah merengek.
“Tapi kalau kamu mau berubah pikiran sekarang masih bisa kok, Syd.”
Kalimat papi itu membuat Sydney menoleh, ia melihat senyum di wajah papi tapi di matanya masih terlihat kilat kecewa dan tidak rela.
Apa papi sebenarnya tidak setuju dengan pernikahannya dengan Aslan?
Apa mungkin papi memberi ijin hanya agar Sydney bahagia?
“Sydney sama Abang harus ngomong juga enggak sama mami?”
Setelah cukup lama diam, Sydney kembali bersuara.
“Iya donk … tapi tenang, nanti mami udah papi jinakin … kamu juga minta restu sama grandma ya, sempatkan pulang kerja sore ini menjenguk grandma sama Aslan.”
Sydney mengangguk menyanggupi.
***
“Flo … tolong urus surat-surat untuk pernikahan saya sama Sydney … Sabtu sekarang tempatnya di rumah grandpa,” titah Aslan seraya menandatangani berkas yang baru saja Amelia berikan.
Amelia tertegun, ada sesak di dada yang membuat tenggorokannya tercekat.
Jantungnya berdetak dengan tempo cepat mengakibatkan napasnya memburu.
Buliran kristal segera saja menumpuk di pelupuk mata.
Apa?
Aslan akan menikah dengan Sydney?
Bukannya Danisa yang hamil?
Tapi kenapa Sydney dan Aslan yang menikah?
Ribuan pertanyaan menggaung di benak Amelia dampak dari perasaan tidak terima karena mengetahui Aslan akan menikahi Sydney akhir minggu ini.
“Flo?” Aslan mengulang karena panggilan pertamanya tidak mendapat tanggapan padahal Amelia masih berdiri di depannya.
“I-iya, Pak?” Amelia mendongak tanpa sadar air matanya terjun bebas ke pipi.
Ia pun kembali menunduk, menyembunyikannya.
“Ini berkasnya,” kata Aslan seraya memberikan berkas.
Melihat air mata Amelia, ia tidak berani meminta sekertarisnya melakukan apa yang diperintahkannya barusan.
“Untuk surat-suratnya, Pak … nan—“
“Enggak usah, Flo … nanti saya yang urus sendiri.”
Aslan mengucapkannya dengan nada biasa, tidak ada kesan kalau ia kesal karena Amelia terlambat memberi tanggapan.
Namun justru ada rasa bersalah.
Aslan tahu Amelia terbawa perasaan, sekertarisnya berharap padanya.
Tidak mungkin Amelia cemburu kalau dia tidak mencintainya.
Amelia mengangguk samar kemudian undur diri dari ruangan Aslan.
Sebenarnya Aslan tidak tega memaksakan diri kepada keluarga untuk segera menikahi Sydney.
Rasanya ia menjadi kakak paling brengsek karena berbahagia di atas musibah adiknya sendiri.
Tapi bila tidak sekarang mengungkapkan dan memperjuangkan hubungannya dengan Sydney lalu kapan lagi?
Aslan memejamkan mata, mengembuskan napas gusar.
Ucapan-ucapan keluarganya tadi malam sangat mempengaruhinya.
Tentang Nathan yang mengulang kesalahan Papa Aiden, tentang jangan sampai ada anak yang lahir dan memiliki trauma seperti dirinya, tentang keluarga mereka yang masih belum benar-benar pulih dari konflik besar di masa lalu karena ia yang masih membenci mama Shaqila dan keluarga Devabrata, juga tentang Nala yang terlihat sangat kecewa dengan rencana pernikahan ini karena takut dia tidak menyayanginya lagi.
Benar kata Papa Aiden kalau semua ini adalah salahnya, semestinya ia bisa menyayangi adik-adiknya seperti ia menyayangi Sydney.
Ia terlalu egois, merasa paling tersakiti tapi menimbulkan sakit yang luar biasa pada keluarga yang sangat menyayanginya.
***
“Aku pikir kamu enggak akan datang.” Azriel sudah tidak memanggil sebutan kakak lagi kepada Nathan, ia terlalu kecewa.
Nathan menarik kursi kemudian duduk di depan Azriel.
Azriel mengajaknya bertemu di sebuah restoran ketika makan siang, katanya ada yang harus mereka bicarakan.
Mereka memang belum bicara baik-baik semenjak Azriel mengetahui Danisa hamil.
Seharusnya Nathan meminta maaf ‘kan kepada Azriel karena telah menyalahgunakan kepercayaannya.
Tapi sekali lagi, Nathan terlalu pengecut untuk mengatakan itu kepada Azriel.
Nathan tidak menanggapi provokasi Azriel tapi ia tatap mata Azriel lurus.
“Gue akan bertanggung jawab atas Danisa.”
Azriel berdecih mendengar kalimat itu keluar dari mulut Nathan.
Kenapa baru sekarang?
Ke mana saja dia beberapa hari ini?
Sama sekali tidak menanyakan kabar Danisa malah ingin menggugurkan janin dalam rahim Danisa.
“Tolak! Kamu harus nolak! Aku yang akan menikahi Danisa.”
Azriel bukan meminta tapi memerintah.
“Aku enggak mungkin nolak, Ziel … grandpa akan semakin kecewa, om Andi dan tante Shaqila akan membenci aku dan keluarga aku.”
Nathan menaikkan nada suaranya karena kesal, sebesar apapun ia tidak ingin bertanggung jawab terhadap Danisa tapi ia harus melakukannya, demi keluarganya, demi Devabrata.
“Tapi kamu enggak mencintai Danisa!l” Suara Azriel tidak kalah tinggi.
“Iya … aku juga enggak mau nikahin dia … tapi aku enggak bisa menolak, aku enggak bisa menghindar … aku harus nikahin Danisa.”
Nathan memalingkan wajahnya yang tampak berang.
“Kalau kamu memang ingin menikahi dia, seharusnya kamu bikin skenario dan mengatakan sama seluruh keluarga kalau kamu yang hamilin dia … sekarang semua udah tahu kalau aku yang hamilin Danisa, jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini ya aku harus nikahin dia.” Nathan melanjutkan kalimatnya dengan gumaman.
“Kamu hanya akan menyakiti Danisa … kamu akan menyia-nyiakannya, iya kan?”
Nathan mengembuskan napas berat, punggungnya yang tadi bersandar kini menegak.
“Kamu … kalau memang cinta sama dia … kamu bisa nikahin dia setelah aku ceraikan dia nanti.”
Nathan beranjak dari kursinya.
“Oh ya … gue minta maaf, jujur … gue kelepasan … tapi dianya mau jad—“
Bugh!
Azriel melayangkan kepalan tangan ke wajah Nathan sebelum sempat Nathan menyelesaikan ucapannya.
“Zieeeel!!!l” teriak Danisa.
Restoran tempat Azriel mengajak Nathan bertemu berada di dekat sekolah Danisa.
Azriel sedang menunggu Danisa yang memiliki keperluan ke sekolah.
Selagi menunggu, ia meminta Nathan menemuinya untuk bicara.
Tidak disangka kalau pertemuan mereka malah mencetuskan perkelahian.
Dan Danisa terlalu cepat menyelesaikan urusannya di sekolah.
Danisa menarik tangan Azriel, berdiri di depannya menahan dada bidang cowok itu.
“Ziel … udah, please.” Danisa memohon, air matanya telah berkumpul di pelupuk mata.
“Pergi kamu! Cepet pergi!” Danisa mengusir Nathan dengan sorot mata benci.
Ketiganya sudah jadi bahan tontonan para pelayan dan tamu resto yang berada di sekitar meja mereka.
Nathan bangkit dari lantai, pria itu mengusap sudut bibirnya yang berdarah kemudian menyeringai.
Sebuah seringai yang sesungguhnya untuk menenangkan perasaannya karena melihat Danisa lebih mengkhawatirkan Azriel ternyata menyakitkan.
Ada rasa tidak terima yang membuat dadanya sesak.
Nathan bergerak berdiri, menghampiri Danisa yang sedang menahan Azriel.
“Ikut aku, Nis … ada yang mau aku omongin.”
Nathan memegang pergelangan tangan Danisa tapi tidak menariknya.
Ia menunggu Danisa bersedia ikut bersamanya.
“Jangan harap kamu bis—“
“Ziel!” sambar Danisa sambil membalikan tubuhnya menghadap Azriel.
“Aku juga ada yang mau diomongin sama kak Nathan.”
Azriel menangkup wajah Danisa dengan kedua tangannya.
“Kamu mau minta dia buat enggak tanggung jawab ‘Kan, Nis? Kamu mau aku yang nikahin kamu, kan?”
Danisa tersenyum, melapisi kedua tangan Azriel di pipinya lalu menjauhkan dari wajah.
“Aku pulang di antar kak Nathan ya?”
Sorot mata teduh dan sayu Danisa karena banyak menangis membuat Azriel mengalah meski ia khawatir dengan keselamatan Danisa.
Pikiran terburuk Azriel adalah Nathan akan mencelakai Danisa agar tidak perlu menikahinya.
“Aku akan baik-baik aja.” Danisa menenangkan seolah tahu apa yang tengah Azriel pikirkan.
Azriel menatap Nathan tajam. “Awas aja kalau kamu sampai nyakitin Danisa.” Cowok itu mengancam.
Nathan hanya merotasi matanya, tidak ingin berdebat lagi dengan adik sepupunya.
Dengan lembut Nathan menarik tangan Danisa dan menuntunnya menuju mobil yang ia parkir di depan resto.
Nathan membukakan pintu, Danisa sempat melirik ke arah pria itu kemudian masuk dan duduk di samping kemudi.
“Aku anter kamu pulang ya … kita bicaranya di rumah kamu.”
Tidak ada jawaban dari Danisa, sampai mobil Nathan terparkir di halaman rumah pun—Danisa masih bungkam.
Nathan turun dari mobil menyusul Danisa dan ia menemukan Danisa di ruang tamu, sedang duduk menunggunya.
Tidak ada kamar, tidak ada ranjang, meski mereka akan menikah tapi Danisa tidak mau bercinta dengan Nathan lagi.
Nathan duduk di samping Danisa yang mengarahkan pandangannya ke luar jendela.
Memberi kesan kalau melihat Nathan pun ia tidak sudi.
“Aku minta maaf, Nis ….”
“Bosen, denger kamu minta maaf.” Danisa melirih tatapannya masih kosong ke arah depan.
“Boleh pegang perut kamu, enggak?” tanya Nathan kemudian.
Danisa menoleh dramatis. “Kenapa?”
“Mau merasakan anak aku di perut kamu.”
Danisa terkekeh sumbang. “Bukannya kamu mau gugurin dia kemarin?”
“Aku berniat melenyapkannya bukan karena enggak menginginkan bayi itu, Nis … aku takut kehamilan kamu berdampak buruk sama keluarga kita.” Nathan menjelaskan.
Danisa tidak menanggapi tapi raut wajahnya melembut tidak tampak kesal seperti tadi.
“Nis ….” Nathan memegang tangan Danisa dan yang bersangkutan tidak melakukan penolakan.
Nathan mengulurkan tangannya perlahan untuk menyentuh perut Danisa, sampai sana pun Nathan masih belum mendapat penolakan jadi ia usap lembut perut Danisa dari luar seragamnya sambil menggeser duduk agar lebih dekat.
Pandangan Danisa jatuh pada perutnya yang sedang diusap Nathan.
Air matanya pun lolos mengenai punggung tangan Nathan.
“Hai … kamu lagi apa?” Nathan sedang bicara dengan anaknya dan laju air mata Danisa kian deras.
Pria itu beranjak hanya untuk berlutut di depan Danisa, menyimpan kedua tangannya di sofa mengurung pinggang Danisa.
Danisa menatap was-awas, tangannya sudah memegang pundak Nathan yang terus mendekat.
Tapi kemudian wajah Nathan menyeruk di perutnya, memberi kecupan sebanyak tiga kali.
“Maafin Papa.” Nathan berbisik.
“Kak … aku mau istirahat.” Danisa mendorong pundak Nathan.
“Aku anter ke kamar.”
Danisa menggelengkan kepala. “Pergi aja.”
“Katanya ada yang mau kamu omongin sama aku.” Nathan bangkit, mengusap kepala Danisa.
“Enggak jadi …” Karena yang Danisa inginkan bukan bicara tapi Nathan menyentuh perutnya, berinteraksi dengan anak mereka dan pria itu sudah melakukannya.
“Kalau ada apa-apa hubungin aku ya.”
Terdengar sangat basa-basi di telinga Danisa sampai nyaris ia berdecih.
Danisa setengah mengusir Nathan, mendorong tubuh pria itu menuju pintu keluar.
“Nis ….” Langkah Nathan berhenti, ia berbalik.
“Aku akan berusaha mencintai kamu.”
Danisa mendengkus geli, demi Tuhan ia sedang bingung karena masih belum bisa mengerti kenapa Nathan menidurinya bila tidak mencintainya.
Lalu sekarang pria itu mengatakan akan berusaha mencintai Danisa setelah dipaksa menikah oleh orang tua karena ada janin di perutnya.
Danisa mengangguk saja padahal tidak peduli.
“Aku pergi ya, nanti sore aku ke sini lagi sepulang kerja … kamu mau aku bawain apa?”
“Enggak usah, Kak … aku mau istirahat.”
“Aku bawain permen kapas ya? Kamu suka, kan?”
“Terserah.”
Tangan Nathan terulur kembali mengusap puncak kepala Danisa.
“Boleh cium kali ya, Nis … kita mau nikah ‘kan?”
Sekali brengsek selamanya brengsek.
Danisa menundukan kepala membuat Nathan berani mendekat lalu melabuhkan kecupan di puncak kepalanya.
Bukan hanya itu, Nathan seperti tidak tahu diri dengan memeluk Danisa.
Tidak, Danisa tidak akan menolak.
“Tadi Ziel bilang kalau aku harus lari dari tanggung jawab biar dia bisa gantiin aku.”
“Terus kamu jawab apa?”
Sisi wajah Danisa masih menempel di dada Nathan.
“Ya aku tolak lah, enak aja ….” Nada yang keluar dari mulut Nathan terdengar sombong.
Memang benar Nathan menolak tapi karena ia tidak memiliki pilihan lain bukan karena memang menginginkan Danisa.
Namun perasaannya berbalik ketika melihat Danisa mengkhawatirkan pria lain di saat ada benihnya tertanam di dalam rahim perempuan itu.
Danisa mendorong dada Nathan. “Balik lagi ke kantor sana.”
Nathan mencuri kecup sekilas di bibir Danisa membuat mata Danisa melotot karena terkejut kemudian Nathan menjauh sambil tersenyum lebar.
Entah apa yang ada di pikiran pria yang wajahnya diwarnai memar itu.
Nathan berpikir kalau Danisa telah memberi maaf karena akan menikahinya.
Ia salah, Danisa sangat membencinya.
“Kupastikan suatu saat nanti aku akan menjadi rindu yang paling menyakitkan di sepanjang waktumu … sekalipun aku berada di depan matamu tapi tetap tidak bisa kamu miliki lagi … aku akan menjadi bayang-bayang dari kerinduanmu yang tak terhitung … seiring waktu, kamu hanya akan mengingatku sebagai cinta yang tulus … yang terabaikan … tidak akan kamu temui ketulusanku di wanita manapun … menyakitiku adalah keputusan yang salah di mana penyesalanmu akan teringat seumur hidupmu.”
Danisa bergumam sambil menatap mobil Nathan yang menjauh lalu menghilang ditelan jarak.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
