
Sequel GADIS KE 27
Blurb
Bagaimana bila Aslan mencintai adik sepupunya?
Entah bagaimana awalnya rasa itu sampai bisa muncul tapi yang pasti perasaan untuk memiliki Sydney seutuhnya begitu besar.
Masalahnya, Sydney adalah anak dari adik kembar ayah biologisnya.
Gadis cantik dan periang itu selalu mampu membuat Aslan yang terkenal dingin pun tertawa dan melupakan trauma masa kecil yang menjadikannya pria introvert.
Gayung bersambut, Sydney juga ternyata bukan hanya menyimpan kagum dan sayang kepada kakak...
Chapter 1
Bazegha Aslan Rami, lahir dari rahim seorang wanita bernama Shaqila di luar pernikahan yang syah.
Sempat tidak diinginkan oleh ayah biologisnya yang bernama Aiden Devabrata karena saat itu Shaqila adalah kekasih Arkatama Devabrata-adik kembar Aiden.
Drama dan konflik besar yang nyaris mengguncang mentalnya telah dilalui Aslan ketika berusia lima tahun sampai akhirnya ia tumbuh besar dengan hati keras dan dingin.
Aslan tidak mau menerima warisan perusahaan Devabrata jadi setelah lulus kuliah, ia membentuk perusahaan bersama teman-temannya yang pernah kuliah bersama di Harvard.
Aslan menjadi founder sekaligus CEO dari sebuah Marketplace yang berbasis di Indonesia.
Indonesia bangga memiliki anak bangsa seperti Aslan tapi sayangnya keluarga Devabrata tidak dapat mengklaim Aslan yang tidak ingin menyematkan Devabrata di belakang namanya.
Aslan yang kini telah genap berusia dua puluh enam tahun sedang sibuk mematuti layar komputer di hadapannya, melihat data dalam bentuk grafik dan angka mengenai traffic marketplace-nya yang masih memimpin pasar e-commerce di Indonesia dan Asia.
Kegiatan tersebut harus terinterupsi ketika sebuah panggilan telepon masuk langsung ke ponselnya.
Nama Mami Luna dengan foto cantik beliau memenuhi layar ponsel Aslan.
Aslan menatap sendu ponselnya yang bergetar dan berkedip cukup lama hingga panggilan itu berhenti dengan sendirinya.
Sesungguhnya Aslan begitu merindukan mami Luna, beliau adalah istri dari Arkatama Devabrata-pria yang dikhianati ibu kandungnya.
Hanya mami Luna—ketika konflik terbongkarnya kebusukan Shaqila-ibu kandung Aslan—yang masih benar-benar tulus menyayanginya.
Tapi sudah lima tahun ia menahan rindu tidak bertemu beliau juga Sydney-sang adik sepupu.
Panggilan kedua dari mami Luna memaksa Aslan harus menjawabnya.
“Ya Mi, apakabar?” jawabnya ramah.
“Abang Aslaaaan, anak Mami sayang … Mami kangen.”
Selalu seperti ini, mami Luna akan heboh juga histeris setelah lama mereka tidak saling komunikasi dan yang akan membuat mata Aslan memanas adalah klaim mami Luna yang menyebut dirinya adalah anak beliau.
Sekeras apapun keinginan Aslan untuk lahir dari rahim mami Luna, malah kenistaan yang ia dapatkan karena harus lahir dari rahim Shaqila.
“Abang juga kangen Mi,” sahut Aslan serak.
“Bohong! Abang enggak kangen Mami … maafin Mami ya sayang, maafin Mami kalau ada salah ….”
Aslan mengusap wajah kasar, matanya terpejam sekilas—tidak tega mendengar suara permohonan sang mami.
“Mami enggak salah, Abang yang salah karena terlalu sibuk kerja jadi kita jarang ketemu.”
“Lima tahun bukan jarang, sayang … kamu menghilang, kamu menghindar … kenapa? Apa salah kami sama kamu? Katakan, biar kami perbaiki.”
“Enggak Mi, Abang sibuk membangun bisnis Abang sendiri.”
Ada jeda cukup lama, hanya deru napas mereka yang saling bersahutan terdengar melalui speaker ponsel.
“Iya, Mami tahu … Abang udah sukses sekarang, Mami bangga … sangat bangga.”
Suara Luna bergetar, menahan kesedihan yang menggelegak di dadanya mengetahui di hati Aslan masih menyimpan dendam kepada Shaqila dan Aiden yang membuat Aslan lebih memilih membangun bisnis sendiri dibanding menerima salah satu perusahaan Devabrata.
“Makasih Mi.”
“Mami sayang Abang.” Mami Luna melirih.
“Abang juga sayang Mami.”
Luna menghapus air mata yang sempat jatuh membasahi pipi, lalu menghirup udara dalam sebelum kembali bersuara mengutarakan maksud menghubungi Aslan.
“Abang, minggu depan ulang tahun Sydney … Mami ingin Abang jadi kado ulang tahun untuk Sydney … jadi Mami harap Abang datang ya ke sini!”
“Abang enggak bis—“
“Bang, Sydney selalu nanyain Abang … dia pernah pergi sendiri ke Jakarta untuk cari Abang tapi Abang enggak mau ketemu dia … selama tiga tahun Sydney nanyain Abang terus dan berusaha untuk bertemu Abang sampai akhirnya dia menyerah dan dua tahun terakhir Sydney akan bereaksi negatif setiap kali mendengar nama Abang disebut … Mami enggak mau kaya gini Bang, tolong jangan kaya gini.”
Terdengar isak tangis mami Luna yang membuat hati Aslan seperti diiris sembilu.
“Mi … jangan nangis ya, hati Abang sakit kalau Mami nangis.”
“Andai kamu tahu Bang, air mata Mami sering mengalir selama lima tahun ini karena merindukan kamu.”
Tiga detik berlalu sampai akhirnya Aslan menyanggupi permintaan sang mami.
“Oke Mi, minggu depan Abang ke sana.”
Aslan meringis usai berjanji demikian kepada mami Luna, ia menyesalinya.
“Oke sayang, Mami tunggu … jaga kesehatan dan jangan terlambat makan ya.”
“Iya Mi, mami juga ya.”
Dan keduanya sepakat memutuskan sambungan telepon.
Aslan menyimpan kembali ponselnya di atas meja, bersandar punggung pada kursi kebesarannya yang nyaman kemudian mengembuskan napas panjang dengan kasar.
Nasihat Aiden masih terngiang dalam benaknya.
Aiden khawatir dengan sikap Aslan yang begitu mencolok terlampau menyayangi Sydney-sang adik sepupu sehingga menjadi bahan iri dengki adik-adik yang lain.
“Kalau kamu membenci Papa dan mama Shaqila, kami terima … tapi tolong jangan benci adik-adik kamu … Nathan dan Nala itu anak Papa … Danisa juga anak mama Shaqila, mereka adik-adik kamu … mereka begitu menyayangi dan mengidolakan kamu … jika kamu memperlihatkan kasih sayang yang berbeda kepada Sydney, bayangkan apa yang akan mereka lakukan kepada Sydney karena cemburu … jadi Papa mohon jangan ciptakan kondisi seperti itu, bersikap adillah sama adik-adik kamu yang lain terutama anak-anak Papa dan anak mama Shaqila … kamu sudah besar Aslan, jangan bertindak tanpa memikirkan terlebih dahulu dampaknya … jangan sampai mengulang kesalahan kedua orang tua kamu di masa lalu … Papa berharap hidup kamu berada di jalan yang benar dan memiliki keluarga bahagia sendiri nantinya.”
Mama Shaqila telah menikah dengan Papa Andy, dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Danisa.
Sedangkan beberapa tahun setelah kelahiran Aslan dan jauh sebelum kehadirannya diketahui keluarga Devabrata—Papa Aiden menikahi mama Raisa dan dikaruniai sepasang anak kembar bernama Nathan dan Nala.
Dan sekarang masalahnya adalah Aslan tidak akan bisa bersikap adil karena terlampau menyayangi dan mencintai Sydney-putri pertama dari mami Luna papi Arkatama.
Ia akan selalu mendahulukan Sydney di atas segalanya.
Beberapa tahun terakhir, Aslan sengaja menjaga jarak dan selalu menghindar setiap kali ada pertemuan keluarga Devabrata hanya demi mempertahankan hubungan baik yang telah tercipta selama ini antara keluarga Shaqila-ibu kandungnya, keluarga Aiden Devabrata-ayah kandungnya dan keluarga Arkatama Devabrata-ayah dari Sydney.
Tok …
Tok …
Aslan mengangkat pandangannya lalu menegakan tubuh ketika sosok gadis cantik berkacamata dengan tinggi semampai menggunakan stelan blazer bercelana panjang masuk membawa sebuah iPad dan beberapa berkas di tangan.
“Maaf Pak, ada satu berkas lagi yang perlu Bapak tanda tangan.”
Sekertaris Aslan menyimpan berkas di atas meja yang langsung Aslan raih dan membacanya.
“Flo, belikan saya tiket pesawat ke Sydney untuk minggu besok, saya akan mengambil cuti selama seminggu,” pinta Aslan seraya memindai isi berkas tersebut dengan teliti sebelum ia tanda tangani.
“Baik, Pak.” Sang sekertaris langsung mengetik sesuatu pada layar iPad.
Namanya Amelia Flora, semua memanggil Mel atau Amel hanya Aslan yang memanggilnya Flo, entah kenapa Amelia sendiri tidak mengerti.
“Oh ya Flo ….” Aslan merogoh dompet dari saku celananya lalu mengeluarkan sebuah kartu.
“Beli apapun yang kamu mau, untuk hadiah ulang tahun kamu,” titahnya dengan tampang dingin dan datar.
Amelia Flora mengerjapkan mata cepat. “Ta-tapi ulang tahun say—“
“Iya, saya tahu ulang tahun kamu minggu depan … ulang tahun kamu sama tanggal, bulan dan tahunnya dengan adik saya jadi saya selalu ingat … mungkin saya enggak akan sempat membeli kado untuk kamu jadi kamu beli sendiri aja.”
Aslan menggerakan sedikit kartu yang sedari tadi terangkat di udara tanpa berani Amelia terima.
Amelia yang merasa tidak enak hati karena tangan bosnya terlalu lama terangkat di udara mau tidak mau menerima kartu tersebut.
“Terimakasih, Pak.”
“Hem.” Aslan bergumam, kembali menekuni layar komputernya.
Amelia undur diri dari ruangan sang bos sambil membawa berkas yang telah Aslan tanda tangani dan kartu kredit berwarna hitam keluaran bank Amerika.
Ia menatap datar kartu itu kemudian memasukannya ke dalam tas.
Aslan memiliki kepribadian yang dingin tapi Amelia tahu kalau bosnya memiliki hati yang baik.
Setiap tahun Aslan selalu memberikannya hadiah meski Amelia tahu bukan dia yang membelikan langsung untuknya.
***
“Iya Mi … iyaa, nanti aku pilih kue dan gaunnya … aku ada presentasi sekarang, do’ain aku biar papi puas sama presentasi aku … kiss kiss … muach … muach ….”
Sydney menutup sambungan telepon dengan mami Luna, ia berlari mengejar lift yang baru saja akan tertutup.
“Tahan liftnya, aku mohon!” Sydney berteriak tapi pintu kadung tertutup.
“Aaarrrgghhh … brengsek!” umpat Sydney sambil menghentakan kakinya yang dibalut heels.
Tapi kemudian pintu lift terbuka, sosok pria tampan dengan stelan jas rapih ada di dalam sana menatap Sydney dengan kening mengkerut.
“Apa kamu baru saja mengumpatiku?” tanya pria tinggi menjulang bertubuh atletis itu.
“Ah, tidak … maaf, mungkin anda salah dengar karena tadi pintu sempat tertutup, kan?” sanggah Sydney berdusta, matanya mengerjap dengan sering kalau sedang berdusta.
Si pria tampan yang tadi sempat menatap Sydney begitu sinis—kini menatap ke depan dan tidak bersuara lagi, bersandar setengah bagian tubuhnya pada dinding lift dengan kedua tangan disembunyikan ke dalam saku celana.
Sydney melirik pria tampan di sampingnya melalui ekor mata, benaknya bertanya-tanya siapa pria tampan ini.
Ia memang baru beberapa bulan bekerja di perusahaan yang dipimpin papinya tapi tidak pernah melihat si pria tampan ini sebelumnya.
Sialnya, lirikan mata Sydney itu bisa si pria tampan lihat dari pintu lift yang memantulkan sosok mereka berdua.
Ting …
Tanpa terasa lift telah sampai di lantai yang Sydney tuju dan ia baru menyadari ternyata sang pria tampan pun memiliki tujuan yang sama dengannya.
Sydney mengabaikan pria tadi, ia keluar lift buru-buru karena telah terlambat mengikuti meeting sementara dirinya yang harus melakukan presentasi di depan pimpinan tertinggi di perusahaan ini yang tidak lain adalah papinya juga klien yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka.
Sydney melangkah cepat menyusuri koridor menuju ruang meeting lantas menoleh ke belakang saat mendengar derap langkah lain di belakangnya.
Kedua alisnya terangkat mendapati pria tampan tadi mengikuti.
Ruang meeting adalah tujuan akhir koridor ini, apakah mereka menuju tempat yang sama?
Sydney berhenti melangkah tepat di depan pintu kaca ruang meeting, ia berdiri membelakangi pintu ganda itu.
Bulu mata lebat nan lentiknya mengibas kala Sydney mengerjap pelan karena sang pria tampan berdiri tepat di depannya hanya berjarak satu langkah pendek.
Pria itu lantas mengulurkan tangan melewati kepala Sydney untuk membuka pintu di belakang punggungnya.
Sang pria tampan hanya melirik Sydney sekilas lalu melewatinya begitu saja.
Sisi tubuh mereka saling bersentuhan dan parfum exclusive pria itu membuat Sydney sampai memejamkan mata sekilas saat terendus oleh indera penciumannya.
“Selamat pagi Tuan Palmer, selamat datang di perusahaan kami.”
Suara Arkatama Devabrata-papinya Sydney berhasil membuat Sydney terhenyak.
Di dalam sana sudah hadir beberapa perwakilan dari perusahaan Palmer Corp dan kepala divisi yang akan menangani proyek ini.
“Maaf saya terlambat,” balas sang pria tampan yang tidak lain adalah tuan Palmer-klien yang harus Sydney buat terkesan dengan presentasinya.
“Tuan Palmer? Jadi dia calon klien perusahaan kami? Kirain tuan Palmer tuh kakek-kakek.” Sydney membatin.
Sydney mendapat kode melalui tatapan mata dari papinya agar segera mempersiapkan presentasi.
“Untung tuan Palmer datang terlambat, kalau tidak … kamu bisa dipecat tuan Devabrata.” Shelby berbisik ketika Sydney memberikan data presentasi kepada tim support.
Sydney tidak sempat membalas Shelby, ia duduk di kursi kosong menunggu moderator membuka acara.
Presentasi ini adalah presentasi pertama Sydney, dipercayakan langsung oleh papinya untuk proyek baru dan Sydney harus memberikan yang terbaik agar papinya bangga dan perusahaan memenangkan tender.
Sydney menerangkan dengan lugas meski sebetulnya ia gugup karena tatapan tuan Palmer yang tertuju padanya terasa berbeda, entah lah Sydney tidak mengerti bagaimana menjelaskannya yang pasti kini jantungnya berdebar kencang tidak karuan.
Tuan Palmer yang pertama kali bertepuk tangan saat presentasi Sydney selesai, kemudian yang lain mengikuti termasuk papinya yang tampak puas dengan presentasi Sydney.
Tuan Palmer berbisik kepada salah seorang perwakilan dari perusahaannya lantas mencondongkan tubuh mendekati Arkatama Devabrata untuk membisikkan sesuatu.
Papi dari Sydney itu tampak mengangguk lalu tersenyum lebar.
Arkatama Devabrata kemudian menoleh pada putrinya, pria yang masih terlihat tampan tanpa perut buncit di usianya yang memasuki kepala lima itu memberikan senyum sarat makna kepada Sydney.
***
Aslan mengunjungi luxury Bar di kawasan Raffles, dua sahabatnya lebih dulu tiba di sana.
“Bro Aslan datang bersama ekspresi datar dan dinginnya,” julid Ezra menyambut Aslan, kedua tangannya terentang ke depan sebagai efek dramatis.
Niscala Ezra Lazuardy, sahabat Aslan ketika menempuh pendidikan di Harvard.
Sahabat yang seumuran dengan Aslan itu memiliki kecerdasan yang sama dengan Aslan hanya saja kecerdasan Ezra berbanding lurus dengan kenakalannya.
Beruntungnya Ezra anak konglomerat di Asia Tenggara sehingga bisa dengan mudah menyelesaikan masalah menggunakan uang orang tuanya.
Aslan memberi tatapan malas, ekspresi yang selalu ia berikan setiap kali kedua sahabatnya menggodanya.
Pria itu melewati Ezra tanpa mau menyambut ajakan pelukan dari sahabat bangsulnya itu.
“Tapi roman-romannya ekspresi dingin dan datar yang ini pasti menyimpan sesuatu,” tebak Aghastya Rajendra Marthadidjaya atau yang kerap disapa Aga.
Pria itu juga lulusan Harvard, memiliki IQ di atas rata-rata dan sama dengan Ezra—Aga memilih meneruskan perusahaan kakeknya dari pada membangun bisnis marketplace bersama Aslan.
“Sok tahu lo,” ketus Aslan yang kemudian menjatuhkan bokongnya di samping Aga.
“Eh bye the way, Alden sama Jasper enggak lo ajak?” Ezra celingukan melongok ke pintu masuk menunggu dua sahabatnya yang lain yang bekerja di perusahaan Aslan.
“Enggak, gue suruh lembur gara-gara system down.”
“Gila si Aslan, bawa anak bule ke mari buat disuruh kerja rodi,” celetuk Aga kemudian meneguk koktailnya.
Ezra tergelak setelah menghabiskan koktail dalam gelas dan meminta pelayan mengisinya lagi.
Seperti biasa perbincangan mereka tidak ada yang berfaedah tapi bersama kedua sahabatnya, Aslan bisa menjadi diri sendiri dan merasa diterima mengingat sang ayah biologis pernah tidak mengakuinya.
Malam kian larut, Ezra menenggak habis minumannya—pria itu lantas beranjak dari sofa.
“Ke mana lo?” Aga yang bertanya.
“Balik, ada kerjaan gue besok pagi,” jawab Ezra seraya meminta bill kepada pelayan.
“Gue yang traktir,” ucap pria itu kemudian memberikan kartu kredit kepada pelayan.
“Kerjaan apa pagi-pagi?” Sekarang Aslan yang bertanya karena seingatnya besok adalah hari Sabtu.
“Ngebuat kesel Cantiknya gue,” sahut Ezra lantas pergi menuju kasir sambil terkekeh.
Aga dan Aslan menggelengkan kepala, bola mata mereka merotasi malas kelewat jengah karena Ezra belum juga berhenti mengejar gadis bernama Cantik yang menurut cerita sahabatnya itu sudah dilakukan semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar.
“Lo enggak ada yang mau dibuat kesel besok pagi?” Aslan menoleh pada Aga.
Aga mengembuskan napas panjang, wajahnya tampak nelangsa mengingat baru dua minggu lalu putus cinta dengan seorang gadis SMA yang dikenalnya melalui media sosial.
“Makanya lo pacaran sama yang seumuran jangan sama ABG labil.” Aslan memberi saran dengan gumaman.
Aga berdecak sebal. “Iyaaa … kakak sepupu yang mimpi basah sama adik sepupunya,” balas Aga meledek.
“Sialan lo!” umpat Aslan meninju pelan lengan sahabatnya.
Aga tergelak sementara Aslan menahan senyum seraya membuang tatapan ke arah lain.
Terlalu malu mengingat kejadian semasa mereka tinggal di asmara sewaktu menempuh pendidikan di Harvard University.
Malam itu Aslan mengigau memanggil nama Sydney, beberapa kali Aslan mendesah menyebut nama yang seingat Ezra dan Aga adalah adik sepupu Aslan.
Keesokan paginya Ezra dan Aga menceritakan hal tersebut yang membuat Aslan menjadi bahan bulan-bulanan kedua sahabat bangsulnya hingga sekarang.
Dan semenjak itu Aslan bingung dengan perasaannya kepada Sydney apalagi setiap tahun ia bertemu Sydney yang beranjak dewasa dan semakin cantik membuat rasa cinta muncul di hati Aslan.
Aslan sadar harus membunuh perasaan tersebut bila tidak ingin terjadi tragedi lagi di dalam keluarga Devabrata.
Itu kenapa Aslan memilih menghindar selama lima tahun terakhir, ia khawatir tidak bisa mengendalikan perasaannya bila sering bertemu Sydney.
***
“Pak Aga!” seru Amelia melambaikan tangan.
Aga tergopoh menopang tubuh Aslan yang mabuk ke mobil Amelia.
“Duh, Sorry nih Mel … gue jadi harus ganggu lo malem-malem … gue ditelepon grandma suruh balik.”
Aga jadi tidak enak hati tapi membantah perintah grandma maka paginya grandpa yang akan turun tangan.
“Enggak apa-apa, Pak … udah biasa,” balas Amelia bergumam.
“Beruntung ya Aslan punya lo jadi sekertaris, lo ngurusin Aslan bukan cuma di kantor tapi di rumah juga.”
Aga menegakan tubuhnya, kedua tangan pria itu ia letakan di pinggang setelah berhasil memasukan Aslan ke dalam mobil.
Amelia hanya tersenyum membalas ucapan Aga karena ia tidak tahu harus berkata apa.
“Dia lagi banyak pikiran kayanya sampai mabuk gitu.”
Amelia menoleh ke samping di mana Aslan seperti sedang tertidur pulas.
“Titip Aslan ya, Mel.” Aga menutup pintu.
“Saya duluan, Pak!” Amelia lantas melajukan kendaraannya membelah jalanan kota yang lengang menuju apartemen Aslan.
“Sydney.” Aslan meracau.
Amelia menoleh sekilas lantas mengembuskan napas berat.
“Pasti karena mau ketemu Sydney, dia jadi gelisah” Amelia bermonolog.
Amelia cukup lama menjadi sekertaris Aslan sehingga mengetahui semuanya, bukan dari Aslan secara langsung tapi ketika pria itu mabuk seperti ini.
Banyak malam yang dilalui Amelia menemani Aslan yang tengah mabuk bahkan kadang kala Aslan sampai demam bila sudah merindukan Sydney.
Amelia berhenti di loby untuk meminta sekuriti membawa Aslan naik ke unit apartemennya sementara ia memarkirkan mobil di basement.
Setelah itu bergegas naik ke unit apartemen Aslan dan melakukan kebiasaannya setiap Aslan mabuk.
Dimulai dengan menyiapkan air hangat dalam wadah dan handuk kecil untuk membersihkan wajah dan tubuh Aslan.
Tidak lupa Amelia membawa air mineral beserta aspirin untuk menghilangkan pengar di kepala Aslan esok pagi ketika pria itu bangun dari tidur.
Amelia sudah di kamar Aslan membawa semua yang dibutuhkan, ia duduk di sisi ranjang—pertama-tama membuka sepatu dan kaos kaki Aslan lalu perlahan membuka kancing kemejanya.
Butuh usaha menanggalkan kemeja di tubuh Aslan kemudian melepas celana kain hingga tersisa boxer.
Meski sering kali melakukan hal ini tapi Amelia tidak pernah imun melihat tubuh atletis dan otot yang tercetak indah di dada hingga perut juga lengan bagian atas bosnya yang memiliki paras kelewat rupawan.
Sesekali Amelia harus memalingkan wajah ketika mengelap tubuh Aslan, ia melakukannya dengan cepat dan terakhir membalut tubuh Aslan dengan selimut.
Amelia selesai dengan tugasnya lalu beranjak dari sisi ranjang hendak menyimpan pakaian kotor ke keranjang agar bisa di cuci asisten rumah tangga yang datang esok hari.
Namun, Amelia urung melangkahkan kaki ketika sebuah tangan memegang pergelangan tangannya.
Sempat terhenyak, Amelia langsung menoleh ke belakang.
“Sydney,” gumam Aslan lagi, detik berikutnya Amelia menjerit ketika tangannya ditarik paksa hingga ia jatuh di atas tubuh Aslan.
Pakaian Aslan kembali berceceran di lantai, terlepas dari tangan Amelia.
Dengan satu kali gerakan Aslan mengubah posisi, membuat dirinya berada di atas Amelia.
“Pak … sa-saya Amelia sekertaris Pak Aslan … bukan Sydney.” Amelia terbata, meski begitu ia berharap Aslan mendengarnya.
Pria yang berada di atas Amelia itu mengerjap pelan, tubuhnya bergulir ke samping bersama tangan yang terangkat memijat pelipis.
“Pak Aslan mau minum?” Amelia bangkit dari ranjang di samping Aslan, memutar setengah bagian ranjang untuk memberikan segelas air kepada Aslan.
Aslan menegakan tubuhnya ia menenggak air itu hingga tandas kemudian kembali berbaring memunggungi Amelia setelah menarik selimut.
Amelia kembali memungut pakaian Aslan lalu memasukannya ke dalam keranjang cuci.
Lantas membawa wadah berisi air dan handuk kecil untuk ia simpan di pantri.
Seperti tidak terjadi sesuatu, Amelia telah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari Aslan.
Amelia menulis note untuk asisten rumah tangga, berpesan agar membuat sup untuk meringankan pengar Aslan esok pagi.
Ia menarik sebuah note yang ditempel di pintu kulkas berisi keperluan Aslan dan bahan makanan yang ditulis asisten rumah tangga, memasukannya ke dalam tas lantas pergi dari unit apartemen itu.
Amelia tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kompleks apartemen milik Aslan, sebuah apartemen yang lebih sederhana dan biaya sewa lebih murah.
KEESOKAN PAGINYA
Amelia Flora menekan pasword kemudian terdengar suara kunci pintu apartemen Aslan terbuka otomatis.
Memutar handle pintu, Amelia masuk kemudian mematung dengan kerjapan mata pelan mendapati Aslan berdiri di depannya.
Pria itu menatap dingin, tatapan yang biasa ia dapatkan dari Aslan.
“Siang Pak, saya mau antar belanjaan.” Amelia Flora mengangkat paper bag di kedua tangannya.
“Siang,” jawab Aslan kemudian melewati Amelia begitu saja.
Pria yang telah rapih menggunakan pakaian casual itu keluar dari unit apartemennya.
Aslan bersikap seperti tidak terjadi sesuatu tadi malam, itu kenapa Amelia juga bersikap biasa saja karena kejadian tersebut memang sering terjadi.
Pernah suatu malam, Aslan mabuk sampai menciumnya—menganggap dirinya adalah Sydney.
Kancing kemejanya pun sempat berhasil Aslan lucuti tapi Amelia berhasil menyadarkan Aslan.
Chapter 2
“Kok berhenti, Pak?” Sydney menegakan tubuhnya sedikit melongok melalui celah di antara kursi depan.
“Kayanya ban kempes, Non.” Pak Deni sang driver memberitau kemudian turun dari mobil.
Meski berdomisili di Australia, tepatnya di kota Sydney tapi keluarga Devabrata mempekerjakan orang asli Indonesia sebagai driver, asisten rumah tangga dan banyak karyawan di perusahaan.
“Duh, beneran kempes Non … maaf, saya ganti ban dulu.” Pak Deni berujar dari luar.
Suara bising kendaraan yang melintasi jalan tol dalam kota membuat suara Pak Deni tidak jelas terdengar oleh Sydney.
Gadis itu ikut turun dari dalam mobil. “Gimana, Pak?”
“Kempes Non, sebentar ya.” Pak Deni tengah mengeluarkan ban cadangan.
“Yaaa, Pak … udah sore nanti keburu tutup toko kue sama butiknya.” Sydney melirik jam dipergelangan tangannya.
“Saya usahakan secepatnya, Non.”
Bibir Sydney mencebik sebal. “Pake acara ban kempes segala sih.”
Sydney menggerutu, kakinya menghentak tanah bebatuan di sisi jalur tol.
Ia berharap ada petugas patroli yang lewat dan akan meminta bantuan untuk mengantar hingga pintu tol.
Sydney melihat sebuah mobil melaju pelan kemudian berhenti tidak jauh di depan mobilnya.
Sydney tidak merasa terancam karena yang berhenti adalah mobil sedan mewah yang merupakan kendaraan kaum jet set Negri ini bukan mobil van atau mini bus yang biasa digunakan untuk menculik seseorang.
Perhatian Sydney tidak teralihkan dari mobil itu hingga sosok seorang pria keluar dari kabin belakang.
Pria jangkung bertubuh atletis turun dari sana, Sydney mengenalinya sebagai tuan Palmer hanya saja sekarang tuan Palmer tidak menggunakan jas.
Lengan kemejanya dilinting hingga sikut dan pria itu menggunakan kaca mata baca berbingkai hitam tanpa mengurangi ketampanannya sedikitpun.
Mata Sydney memicing menatap tuan Palmer yang sedang berjalan mendekatinya dengan satu tangan pria itu disembunyikan ke dalam saku celana.
“Hai,” sapanya dengan suara berat yang seksi.
“Tuan Palmer.”
Sagara menelengkan kepala memeriksa apa yang sedang dilakukan driver kemudian mengembalikan fokus pada Sydney setelah mengetahui apa yang terjadi dengan mobil Sydney.
“Panggil aku Sagara, Mommy aku juga orang Indonesia jadi aku mengerti bahasa kalian.”
“Oh ya?” Sydney tampak takjub dalam artian positif terlihat dari senyum di bibirnya.
“Tapi aku tetap harus menghormati Anda karena Anda klien DevaCorp.”
“Santai aja, kita enggak lagi di kantor.”
“Oke Saga, eh … boleh ‘kan kalau aku panggil Saga?”
Sagara mengangguk disertai senyum tampannya.
“Jadi, apakah kamu ada di sini untuk membantuku?” Sydney mengerjapkan matanya yang bulat dengan bulu mata lebat.
Memohon kepada Sagara agar mau membantunya.
Senyum Sagara tertarik kian lebar melihat ekspresi berharap di wajah cantik Sydney.
“Tentu, ayo … aku antar, ke mana tujuan kamu?”
“Terimakasih … sebentar, aku ambil tas dulu.”
Sydney membuka pintu untuk mengambil tasnya dari jok penumpang belakang.
“Pak Deni, aku ikut tuan Palmer ya … dia klien papi.”
Pak Deni menegakan tubuhnya, mengamati sebentar pria yang kata sang nona adalah tuan Palmer yang merupakan klien bisnis tuan besar.
Ia harus merekam sosok pria itu dalam benaknya agar bisa menjelaskan nanti ketika dibutuhkan.
“Iya Non, hati-hati ya.”
“Oke.”
Sagara membukakan pintu untuk Sydney yang kemudian masuk setelah mengucapkan Terimakasih.
“Tolong turunkan aku di pintu tol, biar aku menggunakan taxi aja nanti.”
Sagara tampaknya tidak setuju, pria itu sampai menoleh ke samping agar bisa menatap wajah Sydney.
“Kamu mau ke mana? Biar aku antar,” kata Sagara setengah memaksa.
“Enggak usah, kamu pasti banyak pekerjaan ….”
“Enggak, hari sudah sore … sudah waktunya pulang.”
“Aku akan mengunjungi toko kue dan butik, minggu depan ulang tahunku.”
“Kalau begitu, aku anter kamu ke toko kue dan butik, imbalannya kamu harus mengundangku ke pesta ulang tahun kamu.”
Sydney tertawa. “Kedengarannya bagus, tapi apa aku enggak ngerepotin? Seriusan … aku enggak enak sebenarnya ikut kamu apalagi di anter kamu gini, kamu ‘kan klien papi tapi aku terpaksa … sebentar lagi tokonya tutup.”
Sydney mengerutkan wajahnya dan demi apapun gadis itu begitu menggemaskan.
“Aku anter aja, kasih tahu driver harus ke mana.”
Yang pasti, Sagara Archie Palmer bagaikan super hero bagi Sydney hari ini yang membantunya keluar dari kesulitan.
Mereka akhirnya tiba di sebuah toko kue ternama di kota itu.
“Selamat sore, apa ada yang bisa kami bantu untuk mewujudkan pernikahan impian Tuan dan Nona yang sedang berbahagia?” Seorang pelayan, wanita paruh baya menyambut mereka.
Sydney dan Sagara saling melempar tatap kemudian sama-sama tersenyum.
“Kami ke sini untuk memesan kue ulang tahunku, bukan untuk membeli kue pernikahan kami.” Sydney meluruskan.
Ia berjalan sambil melihat-lihat contoh kue yang terpajang di etalase.
“Oh maaf, saya pikir Tuan dan Nona akan membeli kue untuk pernikahan … saya lihat kalian pasangan yang serasi.” Wanita itu meralat malah memberikan pujian yang membuat pipi Sydney merona dan Sagara tersipu.
Sydney merasa tersanjung disandingkan dengan Sagara yang tampan, pemimpin perusahaan Palmer yang sukses dan … entahlah, dari segi fisik Sydney berikan nilai sembilan puluh untuk Sagara.
Sydney tidak menanggapi lagi ucapan wanita pelayan toko, begitu juga dengan Sagara yang mengikuti ke mana kaki Sydney melangkah tanpa suara.
Kaki Sagara menghentikan langka saat punggung kecil di depannya juga berhenti.
Ia melihat Sydney menatap sebuah kue berbentuk kepala tokoh kartun Donald bebek.
Sydney berlama-lama menatap ke sana, pendar di matanya meredup membuat Sagara khawatir.
“Sydney,” panggil Sagara seraya menyentuh pundak Sydney dengan lembut.
“Ah ya … gimana-gimana?” Sydney gelagapan.
“Kamu mau kue ulang tahunnya bentuk kepala Donald bebek kaya gitu?” Sagara menunjuk kue yang sedari tadi Sydney pandangi.
Ia pun tertawa, tawa renyah yang cantik dan entah bagaimana Sydney bisa melakukannya dengan cara menggemaskan.
“Ya enggak lah, masa kue ulang tahun ke dua puluh satu aku tokoh kartun kaya gini.”
“Lalu, kenapa kamu pandangi terus?” Kepala Sagara meneleng menatap kue itu, mencari tahu apa yang spesial dari sana.
Kedua tangannya ia lipat di depan dada membuat otot bisep pria itu seakan menyeruak mengolok-ngorok lengan kemejanya.
Sydney menelan saliva kemudian mengalihkan tatapan dari Sagara sebelum hormon remaja menginjak dewasa dalam tubuhnya mencuat tidak tahu diri hingga membuatnya menjadi gadis murahan.
“Aku teringat seseorang yang aku sayang, dia menyukai tokoh kartun Donald bebek ….” Sydney menjawab jujur, kilatan penuh luka tampak di matanya tapi bibir Sydney tersenyum lebar.
“Oh ya? Siapa? Mantan pacar kamu?” Sydney bagaikan buku yang terbuka lebar, Sagar bisa dengan mudah membacanya.
“Bukan … dia orang lain, aku sudah membencinya sekarang,” sanggah Sydney dingin lantas beralih pada etalase yang lain.
Sagara mengangkat kedua alisnya bingung dengan perubahan sikap Sydney itu tapi entah kenapa hatinya lega saat Sydney mengatakan jika sudah membenci siapapun yang tampak begitu berkesan di hatinya itu.
Tidak membutuhkan waktu lama, Sydney menemukan kue yang diinginkannya.
“Yang ini gimana?” Sydney meminta pendapat Sagara.
Wah, Sagara merasa tersanjung. “Kamu suka model seperti itu?” Sagara malah balik bertanya.
Sydney menganggukan kepala dengan ekspresi yang sudah berubah ceria.
Sepertinya ada tombol on/off di tengkuk Sydney yang bisa dengan mudah mengubah suasana hatinya.
“Kalau gitu aku juga suka, apa yang kamu suka … aku juga suka.” Sagara menjawab dengan sedikit menambahkan bumbu gombalan.
“Yeeee, cari aman banget sih.” Sydney mendengkus geli.
Sagara berdiri di belakang Sydney, kedua tangannya memegang pundak Sydney yang tingginya jauh di bawah Sagara hingga saat ini—saking dekatnya mereka—Sydney bisa merasakan hembusan nafas beraroma mint di puncak kepalanya.
“Beraninya kamu, tuan Palmer.” Sydney mengumpat di dalam hati tapi tubuhnya berkhianat, tidak mampu melawan pesona sang putra mahkota Palmer.
“Pesta ini adalah pesta ulang tahun kamu, hanya kamu yang memiliki kuasa atas segala sesuatu di pesta ini … jadi apapun itu, kamu yang berhak menentukan.”
Wow, kalimat tersebut membuat Sydney merasa bebas dan menjadi diri sendiri.
Menurut Sydney, Sagara itu pacar-able banget.
“Oke, saya mau yang itu.” Sydney menunjuk sebuah kue yang dia inginkan.
“Baik, akan saya buat notanya … untuk kapan acaranya?” Sang wanita pelayan bertanya memastikan.
“Hari Sabtu minggu depan.” Sydney menjawab.
“Kuenya sudah bisa diambil sehari sebelumnya.” Wanita itu berujar sambil mengetik sesuatu pada keyboard di meja kasir.
“Apa kue ini tahan udara panas? Karena pesta saya diadakan di Villa di pinggir pantai dengan jarak lima jam dari sini.”
Wanita itu menghentikan kegiatannya mengetik pada keyboard, raut wajahnya kini tampak berpikir.
“Sepertinya harus menggunakan mobil box pendingin.” Wanita itu memberi solusi.
“Biar aku yang urus untuk akomodasi,” cetus Sagara membuat Sydney menoleh.
“Enggak perlu, aku enggak mau ngerepotin kamu.”
Sydney segera menolak, meminta Sagara mengantarnya ke toko kue dan butik saja sudah membuat Sydney merasa berhutang budi, apalagi harus merepotkan pria itu dengan kue ulang tahunnya.
“Enggak repot kok,” balas Sagara singkat. “Apa sih yang enggak buat kamu,” sambungnya di dalam hati.
Dan sesungguhnya, Sagara juga tidak mengerti kenapa bersedia membantu Sydney.
Ia hanya mengikuti kata hati yang terus mendorongnya agar membantu Sydney, selain karena wajah dari gadis mungil itu yang cantik dan sikapnya yang menyenangkan.
Sagara jadi ingin terus bersamanya.
“Ini Beneran?” Sydney jadi tidak enak hati setelah Sagara menghubungi jasa antar barang untuk membawa kue Sydney dengan selamat ke pesta ulang tahunnya.
“Iya, ayo … sebentar lagi butiknya mau tutup.”
Sagara merangkul lengan Sydney lantas membawanya keluar toko kue setelah Sydney melakukan pembayaran.
Mereka meminta driver menggunakan kecepatan maksimal untuk mengendarai mobil menuju sebuah butik.
“Setengah jam lagi tutup,” kata Sydney panik.
“Ayo cepat!” seru Sagara seraya mengulurkan tangannya.
Mereka berlarian menyusuri trotoar untuk tiba di butik langganan Sydney karena sang driver harus menurunkan mereka di persimpangan agar tidak perlu memutar, kebetulan butik itu terletak di jalan satu arah.
Tangan keduanya saling menggenggam sambil tertawa, berkejaran dengan waktu.
“Apakah butiknya sudah mau tutup?” Sydney bertanya kepada pelayan yang membantu membuka pintu kaca.
Sagara mengedipkan satu mata memberi kode kepada pelayan yang mengenalinya.
Kedipan itu memberi tahu sang pelayan dua hal, yang pertama adalah agar mengatakan butik ini belum akan tutup dan yang kedua agar tidak memberitau Sydney bila sang Mommy Sagara lah pemilik butik tersebut.
Padahal Sydney memiliki nenek seorang perancang busana terkenal di Indonesia tapi untuk ulang tahunnya ke dua puluh satu ini ia malah memilih gaun dari perancang busana lain.
“Kami tutup sekitar ….” Wanita itu melirik Sagara yang berdiri di belakang Sydney.
“Tiga jam lagi,” lanjutnya membuat senyum Sydney melebar.
“Oke, kasih saya waktu satu sampai dua jam untuk memilih.”
Sydney langsung berlari lebih jauh ke dalam butik, memilih gaun dari banyak gaun yang ada di sana.
Sementara itu Sagara tampak sedang menghubungi seseorang.
“Ya Saga? Ada apa sayang?” sahut mama Andara dari ujung sambungan telepon.
“Ma, ada teman Saga beli gaun … kasih diskon ya, mama telepon bagian kasirnya.” Sagara berbisik dengan mata mengawasi Sydney yang tengah fokus memilih gaun.
“Teman yang mana? Kamu enggak punya teman perempuan sayang … pacar kali, enggak mungkin ‘kan teman laki-laki kamu pakai gaun.” Insting seorang ibu membuat mama Andara berkata demikian.
“Bukan Ma ….” Sagara berdecak.
“Belum … Sagara lagi usaha ini.” Sang putra melanjutkan kalimatnya.
“Siapa namanya? Orang mana? Cantik enggak?” cecar Mama Andara.
Seperti ini lah jika memberitau mamanya, itu kenapa Sagara tidak pernah memperkenalkan wanita yang ia sukai kepada Andara karena sang mama akan heboh dan menggila.
“Papa pasti tahu, anaknya pak Arkatama Devabrata … tadi Saga ketemu dia di kantor pak Arka, dia yang presentasiin tentang proyek baru.”
Entah kenapa Sagara sampai berani mengatakannya kepada sang mama.
“Eeemm, jadi kamu menyetujui proyek ini karena kamu suka sama anaknya pak Arka.” Mama Andara menebak dengan nada menggoda putranya.
“Maaa, nanti lah Saga cerita … sekarang mama telepon dulu kasirnya biar kasih diskon yang besar.”
“Sayang, kasir butik ngeliat kamu bawa cewek ke sana udah ngerti kok.”
Sagara tertawa sumbang. “Tapi ‘kan Saga baru sekarang bawa cewek ke sini.”
“Ya karena itu, mereka tahu kalau cewek itu calon menantu mama jadi pasti dikasih diskon … ya sudah, mama lagi spa nih … jangan pulang malem, mama mau denger cerita kamu, Bye sayang.”
Dan sambungan telepon pun terputus sepihak, bersamaan dengan itu terdengar suara Sydney memanggil.
Sagara mendongak, wajahnya dihiasi senyum lalu berdiri dan memasukan ponselnya ke saku celana.
Senyum di bibir Sagara kian merekah tatkala melihat Sydney sudah berganti pakaian, menggunakan gaun pilihannya.
“Bagus, enggak?” Lagi-lagi Sagara meminta pendapat dan entah kenapa Sydney ingin melakukannya.
Sagara mengangkat kedua jempolnya ke udara, langkahnya begitu cepat mendekati Sydney.
Sydney berbalik menghadap cermin besar dan pria tinggi menjulang itu kembali berdiri di belakang Sydney.
“Kayanya aku harus pesen jas juga biar warnanya sama dengan warna gaun kamu.”
Sydney tertawa mendengarnya. “Enggak usah, dresscode-nya putih kok.”
“Oh ya? Terus kenapa kamu memilih gaun warna sage?”
“Nanti kalau pakai gaun putih juga disangkanya pesta kawinan,” celetuk Sydney menghasilkan tawa renyah Sagara.
“Oke … aku ngerti.”
Sydney kembali masuk ke dalam bilik ruang ganti lalu keluar setelah selesai menggunakan pakaiannya kembali.
Ia dibantu pelayan untuk membawa gaun itu ke kasir.
Sagara tidak ingin ikut campur dalam hal pembayaran baik kue maupun gaun kecuali meminta diskon kepada mamanya karena Sydney juga anak konglomerat dan mereka baru saja bertemu.
Akan aneh jika tiba-tiba Sagara membelikan kue dan gaun terlebih Sagara adalah klien bisnis ayahnya Sydney.
Sydney akan merasa direndahkan jika Sagara meng-handle semuanya.
Bukan hanya karena itu, menurutnya terlalu pecundang jika memanfaatkan pesta ulang tahun Sydney untuk merebut hatinya, biarlah ia berusaha menaklukan Sydney dengan cara lain.
***
“Mi … Pi … aku pulang!” seru Sydney yang suaranya menggelegar di seluruh penjuru rumah.
“Tuan Palmer!” Arkatama Devabrata sampai berdiri dari kursinya saat melihat sosok Sagara sudah berada di ruang makan.
“Tuan Devabrata.” Sagara balas menyapa ramah.
“Mi … Pi … tadi mobil Sydney bannya kempes, terus di jalan tol ketemu sama Saga … eh, tuan Palmer ….” Sydney menggigit bibir bagian bawahnya sambil meringis.
“Enggak apa-apa, Saga aja … kita enggak lagi di kantor.”
Pria itu mengulang permintaannya.
“Lalu?” Sang mami begitu antusias ketika bertanya.
“Lalu Saga anterin Sydney beli kue sama gaun terus anterin Sydney pulang … tadi Saga sempet ajak Sydney makan malem tapi Sydney udah janji enggak akan pulang malem.”
“Jadi kalian belum makan?” Mami Luna setengah histeris mendramatisir ketika bertanya demikian.
Beliau mendekati Sagara lantas merangkul lengannya. “Ayo calon mantu, kita makan malam dulu …,” ajak beliau sangat ramah.
“Miiii … calon mantu dari mana coba.” Sydney menggerutu, pipinya mulai memerah.
Melihat ekspresi wajah Sagara yang bersahabat dan memaklumi tingkah anak dan istrinya membuat rasa khawatir dan ketar-ketir di hati Arkatama Devabrata pun sirna.
Pasalnya pria itu adalah klien dari perusahaan Devabrata yang baru saja menandatangani proyek besar.
Tapi kelihatannya klien potensial yang sekarang duduk di meja makan di rumahnya itu menyukai Sydney.
“Silahkan dicicipi hidangannya Tuan Palmer.” Arkatama berbasa-basi.
“Kalau di luar gini, Saga saja ya Pak.” Sagara tidak nyaman dengan formalitas Arkatama karena sesungguhnya ia harus membuat beliau terkesan agar bersedia memberikan sang putri padanya.
“Kalau begitu panggil saya Om, kalau lagi di luar kantor.”
Sagara mengangguk sambil tersenyum.
Duh, Saga tiba-tiba ngebet banget sama Sydney, belum pernah terjadi dalam dua puluh enam tahun hidupnya.
Love at first sight ini membuat Sagara gila.
Chapter 3
“Apa lagi jadwal saya hari ini, Flo?” Aslan bertanya sambil melonggarkan simpul dasi di lehernya.
Setengah hari ini ia disibukkan oleh meeting mengenai pengembangan web dengan bagian IT.
“Nanti malam ada pesta untuk para pengusaha muda, Pak … Pak Bobby akan ada di sana, saat yang tepat untuk mulai mendekati beliau mengingat salah satu menu pada aplikasi kita yang diajukan tim pengembang—membutuhkan support dari perusahaan Pak Bobby.”
“Kalau begitu temani saya ke pesta dan kenalkan saya sama pak Bobby.”
“Baik, Pak … jas Pak Aslan sudah saya siapkan di lemari.”
“Oke, Thanks …,” ujar Aslan yang tatapannya terpaku pada layar komputer.
Jarang sekali Aslan benar-benar menatap lawan bicaranya apalagi seorang wanita, kecuali klien.
Hanya di saat-saat tertentu saja Aslan mau bersitatap dengan Amelia ketika bicara.
Lain halnya saat Aslan menghadapi Sydney, seluruh impuls di tubuhnya akan terfokus pada gadis itu.
Mata yang teduh dan senyum tipis hangat akan selalu Aslan berikan untuk Sydney setiap kali sang gadis bicara.
Senyum yang bahkan sahabat-sahabatnya sendiri jarang dapatkan dari Aslan.
Amelia undur diri dari hadapan Aslan, meninggalkan Aslan dengan banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum jam pulang kantor.
Tapi keheningan di ruangannya tidak berlangsung lama, Alden dan Jasver—sahabatnya sekaligus orang kepercayaannya yang bersama-sama membangun bisnis ini masuk tanpa mengetuk atau permisi.
“Bro! Aku harus melakukan perjalanan bisnis untuk bertemu dengan seorang klien,” cetus Alden yang langsung menjatuhkan bokongnya di sofa.
“Perjalanan bisnis ke mana?” tanya Aslan datar, tatapannya masih tertuju pada layar komputer.
Terdapat kerutan di antara alisnya pertanda pria itu tengah fokus mengerjakan sesuatu.
“London!” Alden langsung menjawab.
“Kamu mau perjalanan bisnis atau pulang kampung?” Aslan sedang menyindir dengan nada yang terlampau dingin tapi semua sahabatnya sudah terbiasa.
“Perjalanan bisnis sambil pulang kampung.” Alden menjawab jujur diakhiri dengan cengiran.
Aslan menatap malas Alden sekilas dan langsung mengembalikan fokus pada layar komputer.
“Mereka punya sistem yang bisa mem-backup sistem kita agar tidak down.” Alden berusaha menjelaskan bila perjalanan bisnisnya untuk melakukan perbaikan pada perusahaan.
“Kirim proposalnya, agar aku bisa mempelajari dulu keuntungan apa saja yang bisa kita dapatkan dari klien ini.”
“Siap Bos!” Alden melakukan sikap hormat seperti seorang tentara.
“Dan kamu, apa yang kamu lakukan di sini?” Aslan bertanya pada Jasver yang lagi-lagi tanpa menatap sahabat bule itu.
“Ada yang mau aku diskusikan, tadi dalam meeting aku tidak enak hati menyampaikan ini di depan mereka … tapi aku menemukan kelemahan yang mungkin bisa kamu pertimbangkan kembali untuk beberapa menu yang akan ditambahkan dalam aplikasi kita.”
Aslan mendongak, informasi yang akan disampaikan Jasver menarik perhatiannya.
Beranjak dari kursi kebesarannya, Aslan bergabung dengan Alden dan Jasver di sofa set yang berada di tengah ruangan.
Mereka cukup serius berdiskusi hingga tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu dan hari berganti malam.
“Oke, kalau begitu aku coba mendekati Pak Bobby … kebetulan beliau akan hadir dalam pesta khusus para pengusaha muda.” Aslan mengakhiri diskusi mereka.
“Kalau kamu berhasil mendekati pak Bobby dan menjalin kerja sama dengan beliau maka masalah ini selesai.” Jasver mengutarakan kesimpulannya.
“Oke.” Aslan berdiri dari sofa diikuti kedua sahabatnya.
Alden dan Jasver keluar dari ruangan Aslan sementara pria itu masuk ke dalam kamar mandi untuk mempersiapkan diri pergi ke pesta.
Tidak lama Aslan ke luar dari ruangannya, kedua alis Aslan sedikit terangkat tatkala matanya menangkap sosok sang sekertaris yang sudah berganti pakaian dengan gaun malam berwarna hitam.
Riasan Amelia juga begitu berani, menggunakan lipstik berwarna merah menyala dan rambut bergelombang yang ia biarkan terurai menambah kesan seksi.
“Kita pergi sekarang, Pak?” tegur Amelia karena Aslan hanya mematung di ambang pintu sambil menatapnya.
“Ya … ayo,” sahut Aslan yang kemudian melangkah cool menuju lift dengan satu tangannya ia masukan ke dalam saku celana.
Amelia Flora mengikuti dari belakang dan berhenti ketika Aslan menghentikan langkah di depan lift menunggu pintunya terbuka.
“Kamu pulang dulu ambil gaun?” Aslan bertanya bukan maksud perhatian tapi ia akan merasa bersalah jika ternyata Amelia harus pulang dulu dan kembali ke kantor hanya karena mendadak ia mengajaknya ke pesta.
“Enggak, Pak … seperti Pak Aslan, saya juga menyimpan beberapa gaun untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba Pak Aslan minta ditemani ke pesta.”
“Bagus,” ujar Aslan memuji inisiatif Amelia.
Keduanya lantas masuk ke dalam lift karena pintunya telah terbuka.
“Terimakasih, Pak … tapi gaun ini hadiah ulang tahun dari Pak Aslan tahun lalu.” Amelia salah memahami maksud Aslan, ia berpikir kalau Aslan memuji gaunnya.
Aslan yang selalu menunjukkan tampang dingin dan datar dengan rahangnya yang tegas itu tidak menanggapi, matanya menatap lurus pada pintu lift yang seperti cermin menampilkan sosok mereka.
Seperti orang yang sedang bermusuhan, Aslan berdiri di sudut kanan dan Amelia berdiri di sudut kiri menyisakan ruang kosong yang lapang.
Layaknya seorang bos dan sekertaris, meski telah berganti pakaian pesta tapi Aslan berjalan di depan dan Amelia mengikuti dari belakang.
Begitu juga letak tempat duduk mereka di dalam mobil, Aslan menempati kabin belakang sedangkan Amelia duduk di samping supir.
Dan ketika mereka tiba di depan loby sebuah hotel mewah tempat di mana acara berlangsung—Amelia turun terlebih dahulu membukakan pintu untuk Aslan.
Berbanding terbalik ketika mereka berada di loby kantor Aslan tadi, sekarang Aslan menekukan lengan agar Amelia bisa melingkarkan tangannya di sana.
Semua mengetahui bila Amelia adalah sekertaris Aslan dan bergandengan tangan seperti yang sekarang mereka lakukan adalah sesuatu yang lumrah.
Banyak pengusaha muda yang belum menikah menjadikan sekertaris perempuannya sebagai pasangan tanpa menanggalkan formalitas dan profesionalitas kerja mengingat saat ini mereka datang ke pesta bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk mendapatkan atensi pak Bobby.
“Anjiiiir, lo lagi lo lagi ….” Aga mengumpat pelan tatkala Aslan dan Amelia telah tiba di meja mereka.
Amelia langsung melepaskan lingkaran tangannya dari lengan Aslan.
“Pak Niscala … Pak Aghastya, selamat malam.” Amelia menyapa dan mengangguk sebagai bentuk penghormatan.
“Malem Mel … makin cantik aga,” goda Aga cengengesan.
Aslan mendelik tidak suka kepada Aga yang menggoda sekertarisnya tapi Aga malah semakin cengengesan.
“Malem Amelia Flora … sudah cocok nih jadi Amelia Rami,” celetuk Ezra berkelakar tapi sayang Amelia maupun Aslan tidak mengerti maksud ucapan pria itu sehingga mereka menatap Ezra bingung.
Ezra berdecak lidah bersama rotasi mata malas menganggap Aslan dan Amelia lemot.
“Bazegha Aslan Rami … Amelia Rami, ‘kan enggak mungkin jadi Amelia Devabrata … lo najis banget sama nama itu sampe enggak mau megang perusahaannya.” Ezra menjelaskan.
“Maksudnya?” Aslan bertanya dengan tampang yang ia buat sepolos mungkin tapi masih tetap terlihat datar dan dingin.
Aslan hanya ingin membuat Ezra kesal.
“De-mi-Ze-us!!!!” seru Ezra mengusap wajah karena Aslan belum mengerti juga.
“Kalian ….” Ezra menunjuk Aslan dan Amelia bergantian.
“Pacaran terus kawin ….” Kedua jemarinya mengerucut membentuk seperti paruh ayam yang saling mematuk.
“Terus punya anak.” Ezra memperagakan seperti sedang menggendong bayi.
Aga tergelak melihat tingkah sahabatnya tapi tidak dengan Amelia dan Aslan yang masih menunjukkan tampang datar.
“Pak Aslan … Pak Niscala … Pak Agasthya, saya permisi.” Amelia pamit untuk bergabung dengan sekertaris yang lain dan mencari informasi yang bisa menguntungkan perusahaannya.
Ezra mengembuskan napas panjang sepeninggalan Amelia.
“Memangnya lawakan gue enggak lucu ya? Kok muka lo sama si Mel-Mel basi begitu.” Ezra tampak putus asa.
“Si Aslan sama si Mel-Mel ‘kan memang jodoh … apa-apa tuh seriuuuuuus mulu,” timpal Aga yang kemudian menyesap minumannya.
Sekali lagi, tidak ada tanggapan dari Aslan. Pria itu memanggil pelayan untuk meminta minuman.
“Kalian kenal Pak Bobby?” Setelah lama mereka bertiga duduk di meja itu menikmati jalannya pesta yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengusaha Muda Indonesia—akhirnya suara Aslan terdengar.
“Pak Bobby klien di perusahaan bokap gue, kenapa?” Ezra yang menjawab.
“Lo kenal enggak sama dia?” Aslan mengulang pertanyaannya dengan nada menyebalkan.
“Kenal lah, itu anaknya ngebet banget sama gue.”
“Dia hobinya apa?” Aslan sedang mengorek informasi tentang klien incarannya.
“Otomotif, mobil-mobil mewah jaman dulu yang dimodifikasi.” Ezra menjawab apa yang ia ketahui tentang Pak Bobby.
“Kenapa memang?” Itu Aga yang bertanya.
“Gue lagi ngincer dia.” Aslan menyesap sedikit minumannya dengan cara yang sialan cool hingga membuat para pengusaha muda wanita yang bahkan menggunakan jilbab tidak bisa melepaskan tatap darinya.
Dan satu kalimat Aslan tadi sudah bisa dimengerti oleh Aga dan Ezra yang menjadi COO di perusahaan keluarganya.
“Lo deketin aja anaknya, pasti dia langsung mau tanda tangan kontrak kerja.” Ezra memberi saran bermaksud mengumpankan sang sahabat kepada putri pak Bobby yang tergila-gila padanya agar gadis itu berhenti mengganggu.
“Kata lo tadi gue suruh pacaran, kawin terus punya anak sama Amelia … sekarang disuruh deketin anaknya pak Bobby, enggak konsisten.”
Kalimat panjang lebar itu diucapkan Aslan hanya untuk membalas Ezra yang sedari tadi menggodanya.
“Jadi lo serius mau jadi in si Mel-Mel bini lo?” Aga mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi serius bertanya kepada Aslan.
Ezra jadi ikut-ikutan melakukan hal yang sama dengan Aga.
Aslan menanggapi dengan menaikkan satu alisnya dan memberikan senyum misterius untuk membuat Ezra dan Aga penasaran.
Mulut Ezra dan Aga yang sudah terbuka hendak mengatakan sesuatu langsung tertutup kembali saat melihat Amelia Flora mendekat.
“Pak Aslan … Pak Bobby sepertinya sedang senggang.” Amelia menginformasikan.
Pria itu hanya mengangguk lantas beranjak dari kursi kemudian pergi diikuti Amelia tanpa mengucapkan apapun kepada Ezra dan Aga.
Tapi mereka sudah biasa dan menerima karakter Aslan yang sering cosplay jadi batu nisan.
“Itu cewek lo tuh.” Aga mengendikan dagu pada seorang gadis yang baru saja memasuki venue.
Ezra menoleh, matanya berbinar dan senyumnya merekah.
“Hai Cantik,” sapa Ezra yang langsung berbalas delikan tajam dari yang bersangkutan.
Alih-alih kesal, Ezra malah terkekeh. “Gue nyamperin Cantik gue dulu ya … seharian ini gue belum bikin dia kesel.”
Ezra pergi setelah berkata demikian meninggalkan Aga yang melongo takjub.
Entah kapan sahabatnya itu tersadar jika Cantika Maverick tidak mencintainya.
***
“Baik kalau begitu, Pak … kita ketemu di acara otomotif hari kamis.” Aslan mengulurkan tangannya.
“Saya tunggu loh pak Aslan, saya mau liat Mercy punya pak Aslan.” Pak Bobby balas menjabat tangan Aslan.
Aslan mengangguk dan pak Bobby pergi setelahnya.
Aslan dan pak Bobby menyambung perbincangan mereka mengenai otomotif usai mengikuti pesta, mereka pindah ke sebuah bar yang masih berada di hotel itu.
Aslan mencoba mendekati pak Bobby melalui hobi dari pada mendekati putrinya seperti saran Ezra.
“Pak … saya pamit pulang duluan.” Amelia meminta ijin.
“Saya antar, kita searah.” Selain dingin, Aslan juga kalau pendek-pendek sering membuat lawan bicaranya gemas.
“Baik, Pak … Terimakasih.”
Keduanya lantas berjalan dengan formasi seperti ketika berada di kantor, Aslan di depan dan Amelia di belakang karena mereka sudah tidak berada di pesta lagi.
Amelia sibuk menghubungi driver yang belum juga tersambung sementara itu langkah mereka hampir mencapai lobi.
“Pak Aslan mohon tunggu sebentar, saya belum berhasil menghubungi pak Guntur.”
Aslan tidak memberikan respon apa-apa, wajahnya pun sedatar biasa tapi Amelia tahu jika Aslan mendengar ucapannya.
Gawat! Mereka sudah tiba di lobi dan Amelia masih belum juga tersambung dengan sang driver.
“Flo,” panggil Aslan.
“Ya, Pak?” Amelia langsung menghadapkan badannya ke samping Aslan.
“Pakai ini.” Aslan memberikan jasnya untuk Amelia.
Gadis itu mengerjap tapi kemudian menerimanya tanpa berani membantah.
“Terimakasih, Pak.”
Seperti biasa, jangan mengharapkan balasan dari Aslan.
Amelia langsung menyampirkan jas Aslan di pundaknya dan kembali menghubungi pak Guntur-sang driver.
“Flo, carikan mobil mercy tua yang sudah dimodifikasi … beli berapapun harganya, mobil itu harus siap hari Kamis nanti.” Dengan entengnya Aslan meminta Amelia mewujudkan hal tersebut.
“Baik Pak.” Memangnya Amelia bisa apa selain menyanggupi?
Entah pada panggilan ke berapa pak Guntir akhirnya menjawab sambungan telepon dari Amelia.
“Maaf Bu, saya ketiduran.” Pak Guntur panik.
“Kami sudah di lobi, jemput kami sekarang.” Suara Amelia terdengar dingin.
Begitulah sikap Amelia, sama seperti Aslan sampai banyak orang di kantor menjuluki mereka pasangan serasi sebagai bos dan sekertaris karena sama-sama memiliki sifat dingin dan tegas.
Tidak membutuhkan waktu lama berkendara akhirnya mereka tiba di lobi apartemen Aslan, bukan Amelia.
Sengaja Amelia meminta driver untuk mengantar Aslan dulu baru mengantarnya karena ia merasa tidak enak hati bila Aslan mengantarnya sampai apartemen.
Terlebih tadi ia mendengar suara dengkuran halus dari kabin belakang, sepertinya Aslan lelah sampai tertidur di mobil.
“Bagaimana ini Bu, pak Aslan tidur.” Pak Guntur berbisik.
“Kita tunggu lima belas menit, Pak … ke basement aja.” Amelia memberikan instruksi.
Pak Guntur melajutkan kembali kendaraannya menuju basement, mereka menunggu Aslan terbangun hingga dua puluh menit lamanya tapi Aslan begitu lelap dalam tidurnya.
Pak Guntur sudah gelisah di kursi kemudi, Amelia mengerti kalau pak Guntur harus pulang dan beristirahat agar besok bisa bekerja dalam keadaan fit.
“Saya bangunkan aja, Pak.”
Amelia melepas seatbelt kemudian turun untuk membuka pintu kabin belakang.
Mobil sedan yang rendah mengharuskan Amelia membungkuk agar bisa membangunkan Aslan.
“Pak … pak Aslan, kita sudah sam—“
Kalimat Amelia terjeda karena gerakan Aslan yang terkejut sehingga refleks menarik tangannya membuat gadis itu terjatuh dalam pelukan sang bos.
Tidak ada pekikan terkejut yang keluar dari bibirnya atau seperti drama-drama atau novel romantis—mereka akan saling menatap dengan jarak wajah yang sangat dekat lalu si wanita terbawa perasaan sehingga menimbulkan gugup dan canggung.
Kenyataannya tidak seperti itu, Amelia langsung menegakan tubuh menggunakan tangan yang menopang pada sandaran jok dan bingkai pintu.
Ia telah terbiasa.
“Sorry.” Aslan bergumam.
Pria itu turun begitu saja melewati Amelia tanpa sepatah kata pun.
Chapter 4
Tok …
Tok …
Ceklek.
“Papi manggil Sydney?” tanya gadis itu seraya melangkah masuk lebih dalam ke ruangan Arkatama Devabrata.
“Duduk … Papi mau bicara.”
Sang papi yang sering dijuluki oleh mami sebagai kulkas sepuluh pintu itu memang tidak pernah berubah, di usianya yang semakin matang malah lebih tegas penuh wibawa.
Sydney duduk di kursi di depan meja kerja papinya.
“Ada apa sih, Pi?” Sydney jadi deg-degan.
“Kamu lulus ujian, tuan Palmer menandatangani kontrak bisnis dengan perusahaan kita … kerja kamu bagus, presentasi kamu juga sempurna … kayanya kamu udah pantes jadi COO di perusahaan grandpa di Indonesia … Papi kabulkan keinginan kamu untuk membantu grandpa.”
Sydney tercenung mendengar ucapan papinya.
Bukannya ini yang Sydney inginkan semenjak lulus S2?
Bekerja di perusahaan Arkatama Devabrata, belajar untuk menjadi seorang pemimpin dan setelah beliau menyatakan ia telah mampu maka Sydney akan membantu grandpa di Indonesia.
Tapi sesungguhnya alasan Sydney meminta Arkatama menempatkannya di perusahaan sang grandpa bukan hanya untuk membantu grandpa saja tapi juga agar bisa dekat dengan kakak sepupunya.
Aslan masih menjadi alasan terbesar Sydney dalam mencapai sesuatu di hidupnya.
Tapi itu dulu, sebelum ia menyerah dan berhenti mencari Aslan yang menghindarinya entah karena apa.
Sekarang, hatinya memiliki harapan baru.
Tuan Palmer yang tampan berhasil membantu Sydney menyembuhkan sakit di hatinya karena Aslan.
Meski sebenarnya Sydney juga belum yakin, perasaannya terhadap pria itu memang cinta atau menggunakan Sagara Archie Palmer untuk mengganti Aslan di hatinya karena Sydney ingin lepas dari penderitaan merindukan Aslan yang sudah tidak memperdulikannya lagi.
“Oh … begitu ya,” ujar Sydney seperti orang bingung.
Arkatama Devabrata mengerutkan kening, jadi heran melihat respon Sydney yang tampak enggan.
“Lho … bukannya itu niat kamu kerja di perusahaan Papi? Untuk memantaskan diri kamu menjadi wakil grandpa di perusahaannya di Indonesia.”
“I-iya sih … tapi ….”
“Tapi apa?” desak Arkatama Devabrata dengan mata memicing.
“Kalau bilang aku suka sama Saga apa enggak terlalu dini? Terus gimana kalau Saga enggak suka aku, kebaikannya kemarin belum tentu mencerminkan kalau dia mencintai aku … Ziel aja baik banget sama Danisa padahal kita bukan keluarga sedarah.” Sydney membatin.
Azriel atau sering dipanggil Ziel adalah adik bungsu Sydney yang berusia delapan belas tahun dan tengah menempuh pendidikan S2 di Universitas terbaik di kota ini.
Sedangkan Danisa adalah anak dari mama Shaqila dan papa Andi.
Masih ingatkan kalau mama Shaqila adalah mama kandungnya Aslan?
Dan katanya setelah konflik besar terjadi di keluarga Devabrata—mama Shaqila diterima menjadi bagian keluarga Devabrata dan sering mengikuti acara keluarga Devabrata.
Itu yang membuat Ziel dan Danisa menjadi sangat dekat.
Anehnya, setiap ditanya apakah Ziel mencintai Danisa?
Sang adik selalu mengatakan kalau apa yang dia lakukan kepada Danisa untuk mengganti kasih sayang Aslan yang tidak adil karena lebih banyak tercurah untuk Sydney.
Sydney selalu kesal setiap Ziel mengatakan itu, memang salah kalau Aslan lebih menyayanginya?
Dia yang pertama kenal dengan Aslan dari pada Danisa, mereka dibesarkan bersama jadi wajar kalau Aslan lebih menyayanginya.
Balik lagi pada perasaan Sydney pada Sagara, Sydney harus yakin dulu, apakah Sagara mencintainya?
Meski sebenarnya mustahil karena mereka baru beberapa kali bertemu.
“Tapi kalau tiba-tiba Saga nembak aku dan aku harus pindah ke Indonesia, gimana?” Sydney membatin.
Ribut sekali isi kepala Sydney saat ini, sepertinya ia harus bertemu Sagara setelah pulang kerja.
“Sydney, kok malah ngelamun? Papi lagi bicara sama kamu.”
“Heu?” Sydney memfokuskan tatapannya pada sang papi.
“I-iya Pi … Sydney pikir-pikir dulu ya.” Sydney memaksakan senyum agar Arkata Devabrata tapi justru membuat Arkatama semakin heran.
***
“Ada tamu untukmu di loby,” ujar Shelby memberitau.
Sahabat Sydney semasa kuliah itu masuk tanpa segan ke ruangannya.
Sontak saja pemberitahuan tersebut mengambil perhatian Sydney.
“Siapa?” Sydney bertanya penuh rasa ingin tahu.
“Tuan Palmer.” Brandon yang baru saja masuk ke ruangan Sydney yang menjawab.
Pria itu juga sahabat Sydney semasa kuliah, anggap saja Sydney melakukan nepotisme—membawa dua sahabat baiknya untuk bekerja di perusahaan keluarga.
“Oh ya?” Wajah Sydney tiba-tiba berseri.
Gadis itu berlari secepat kilat menuju pintu keluar.
“Eeeiiitt, mau ke mana?” Brandon mencegah dengan menahan tangan Sydney.
“Ada apa sebenarnya antara kamu dan tuan Palmer?” Shelby bertanya, matanya memicing curiga.
“Nanti aku beritau, aku bertemu dia dulu.” Sydney menghela tangan Brandon kemudian melanjutkan niatnya menemui Sagara di loby.
Sydney senang sekali mengetahui Sagara ada di gedung yang sama dengannya.
Ternyata ia merindukan Sagara.
Sydney kenal baik dengan rasa bernama rindu karena terlalu sering merindukan sang kakak sepupu yang berakhir penderitaan karena Sydney tidak pernah bisa melampiaskan rasa rindu itu.
Sekeras apapun Sydney mencari Aslan, pria itu selalu menghindar.
Ia sampai bosan melihat wajah sekertaris Aslan yang dengan sabar menghadapinya.
Tapi sekarang, baru beberapa jam lalu ia memikirkan Sagara—pria itu langsung menemuinya.
Apa tidak akan menimbulkan masalah nantinya bila ia menaruh harapan pada Sagara dari sekarang?
Jantung Sydney berdebar saat lift tiba di loby, ia melangkah pelan, merapihkan rambut dan pakaiannya dengan mata memindai sekitar mencari pria paling tampan setelah papinya di gedung ini.
“Sydney,” panggil Sagara.
Ternyata pria itu ada di ambang pintu yang menghubungkan ke sebuah taman.
Sagara Archie Palmer dengan segala pesonanya, melambai pada Sydney bersama senyum menawan yang mampu menyihir kaum Hawa yang ada di loby termasuk Sydney.
Lihat saja bagaimana para betina itu menatap Sagara, mata mereka nyaris keluar dari rongganya dan air liur nyaris menetes dari sudut bibir mereka.
Sydney balas tersenyum, kakinya seperti melayang mendekati Sagara.
“Kamu … ada urusan dengan papi?” Sydney berbasi-basi.
Pria itu menggelengkan kepalanya. “Aku ke sini untuk kamu.”
Sagara memberikan sebuah buket berisi tiga buah bunga mawar yang ia sembunyikan di belakang punggung.
Sydney tertegun. “B-buat aku?” tanyanya ragu.
“Iya … buat kamu.”
Sydney meraih buket bunga itu kemudian menghirup aroma bunga dari kelopaknya.
Ia tahu Sagara bisa saja membelikan buket bunga yang mahal tapi pria itu memberikan hanya tiga tangkai untuknya di pertemuan ke dua mereka.
Sydney mendongak menatap Sagara, senyumnya terkulum membuat pipinya membulat.
Sydney sedang berpikir jika Sagara juga menyukainya tapi pria itu ia tidak ingin terlihat berlebihan dan terburu-buru.
Sagara ingin segala yang terjadi dalam hubungan mereka berjalan normal dan natural.
“Jadi, kamu ke sini untuk kasih aku bunga?”
Kekehan pelan lolos dari bibir Sagara yang tipis.
“Aku mau culik kamu, boleh? Satu jam lagi jam pulang kantor … kalau kita pergi sekarang—kita enggak akan terlalu malem sampe rumah, gimana?”
“Aku ambil tas dulu, tunggu sebentar.” Sydney langsung berbalik dan pergi.
Langkah cepatnya berhenti tidak jauh dari Sagara, ia pun kembali membalikan badan.
“Saga,” panggil Sydney dan Saga tidak perlu membalikan tubuh karena masih setia di tempatnya menatap kepergian Sydney.
“Makasih bunganya, aku suka.”
Senyum Sagara semakin lebar, sorot matanya tampak senang mendengar Sydney berkata demikian.
Pria itu mengangguk sehingga Sydney bisa cepat pergi mengambil tasnya karena Sagara sudah tidak sabar ingin membawa Sydney ke sebuah tempat.
***
Ponsel yang bergetar di atas meja mengambil alih perhatian Amelia Flora dari bunga yang sedari tadi ia pandangi.
Bunga hadiah ulang tahun dari Aslan yang ia beli sendiri menggunakan kartu kredit pria itu.
Amelia merawat bunga-bunga tersebut di balkon yang ia ubah menjadi tempat paling nyaman di unit apartemennya.
Nama Ibu Shaqila tertera di layar ponsel, Amelia meraihnya lalu menarik napas dalam sebelum menjawab panggilan tersebut.
“Selamat malam Bu Shaqila?” Amelia menjawab.
“Mel, Apakabar?” Suara lembut dari ujung panggilan sana terdengar rapuh.
“Saya baik, Ibu sekeluarga Apakabar?” Amelia balas bertanya.
Amelia mendengar suara napas terembus panjang.
“Saya merindukan Aslan.” Shaqila menjawab.
“Pak Aslan baik-baik saja, Bu … beliau sedang sibuk mengembangkan aplikasi dengan menambahkan satu menu yang akan lebih memudahkan pelanggan berbelanja.”
Seperti biasa, Amelia selalu menjawab diplomatis tapi ramah.
“Syukurlah … saya selalu berdoa untuk kesehatan dan kesuksesannya.”
Amelia tersenyum tipis meski tahu Shaqila tidak akan melihatnya.
Hatinya menghangat mendengar kalimat itu yang Shaqila tidak pernah absen ucapkan setiap kali melakukan panggilan telepon dengannya.
Aslan tidak pernah bersikap baik dan mempedulikan mamanya tapi Shaqila tidak ambil hati dan tetap mendoakan Aslan.
Amelia jadi iri karena orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika ia kecil.
Ia tidak tahu bagaimana rasanya kasih sayang, cinta dan perhatian yang tulus karena bibinya sendiri pernah menjualnya kepada seorang pengusaha batu bara dari Kalimantan.
“Mel?” Suara Shaqila membuat Amelia terhenyak, ia tersadar dari lamunan.
“Ya, Bu?”
“Apa tahun ini Aslan akan datang ke pesta ulang tahun Sydney?”
“Iya Bu, pak Aslan meminta saya untuk membeli tiket pesawat akhir minggu ini ke Sydney.”
“Terimakasih Tuhaaaan.” Suara parau Shaqila berubah isak tangis dan hati Amelia bergetar karenanya.
Seorang ibu sampai harus menunggu selama ini untuk bertemu putranya.
“Terimakasih infonya ya Mel, saya titip Aslan … tolong perhatikan makan dan kesehatannya … kapan-kapan main ke rumah ya … bunga mawar yang kita tanam waktu itu sedang berbunga, kita nikmati keindahannya sambil minum teh.”
“Baik Bu, nanti saya main ke sana.”
Akhirnya mereka berdua sepakat memutuskan sambungan telepon.
Shaqila mendekap ponselnya di dada, air mata bahagianya masih berlinang membasahi pipi.
Ia akan bertemu Aslan di pesta ulang tahun Sydney akhir minggu ini.
“Ma … ada apa?” Papa Andi yang baru saja keluar dari kamar mandi melangkah cepat mendekati sang istri tercinta yang tengah duduk di tepi ranjang, Papa Andi terlihat panik.
“Luna kayanya berhasil membujuk Aslan untuk datang ke ulang tahun Sydney minggu ini, Pa.”
“Syukurlah Ma, kirain Papa—Mama kenapa … nanti kita bertemu Aslan di Sydney, mama jangan bilang Danisa … biar saja sesuai rencana Luna—Aslan akan menjadi kejutan di pesta Sydney.”
“Danisa pasti sedih ya, Pa … Aslan datang di ulang tahun Sydney tapi enggak di ulang tahunnya.” Mata sayu Shaqila mengabarkan sejuta penyesalan.
Andi memeluk istrinya, mendongak agar dagunya bisa menekan puncak kepala Shaqila.
“Dia udah besar sekarang … dia sudah mengerti, apalagi Azriel sangat menyayanginya … anak itu seperti tidak ingin Danisa membenci Sydney … menggantikan kasih sayang Aslan yang hanya diberikan untuk Sydney.”
“Iya, waktu ulang tahun Danisa—dia bela-belain bolos kuliah dan datang ke Indonesia … andaikan Aslan bisa seperti Azriel menyayangi Danisa.”
Andi tidak menanggapi, benaknya sedang mengingat pertemuan dengan Aslan sebulan lalu.
Aslan masih enggan bertemu dengan Shaqila dan keluarganya.
Anak sambungnya itu hanya mengatakan kalau ini ia lakukan untuk menjaga keutuhan keluarga Devabrata.
***
“Apa mama saya menghubungi kamu lagi, Flo?”
Aslan bertanya sambil menandatangani berkas yang di bawa Amelia ke ruangannya.
“Iya Pak, tadi malam bu Shaqila telepon bertanya kabar Pak Aslan dan bertanya apa Pak Aslan akan datang ke ulang tahun Nona Sydney.”
“Kamu jawab apa?” Pria itu bertanya lagi dengan nada lebih dingin tanpa menatap Amelia.
“Saya jawab yang sejujurnya.”
Aslan mengangguk-anggukan kepalanya lalu memberikan berkas kepada Amelia.
Kali ini pria itu menatap Amelia dengan sorot mata tajam.
“Apa kamu bilang juga kalau saya mengambil cuti selama satu minggu?”
“Enggak, Pak … bu Shaqila hanya bertanya apakah Pak Aslan akan datang ke ulang tahun Nona Sydney.”
Garis senyum Aslan melembut, pria itu mengendik ke arah pintu meminta Amelia keluar karena ia sudah selesai dengannya.
“Permisi, Pak.” Amelia undur diri dari ruangan itu.
Tidak ada penyesalan ketika Amelia mengatakan rencana kepergian Aslan, apalagi takut Aslan akan memarahinya karena pria itu tidak pernah berpesan untuk tidak mengabarkan kepada siapapun mengenai kepergiannya ke Australia sementara Aslan tahu kalau Shaqila sering menghubungi Amelia untuk mencari informasi tentangnya.
***
“Mel, Aslan enggak sama kamu?” Aiden bertanya saat melihat Amelia hanya datang sendiri.
Kebetulan perusahaan Aiden dan perusahaan Aslan sedang mengerjakan proyek yang sama dari satu klien.
Mereka akan membahas tentang kemajuan proyek kepada klien tersebut dalam ruang meeting di sebuah hotel berbintang.
Dan hanya dalam pertemuan ini—Aiden bisa bertemu putranya yang sudah lima tahun menghindar secara terang-terangan.
Aiden telah menyadari dosanya sangat besar kepada Aslan.
Di masa lalu ia menghamili Shaqila—kekasih Arkatama-adik kembarnya sendiri dan sempat tidak mau mengakui keberadaan Aslan.
Luka yang ia torehkan itu ternyata tidak pernah sembuh di hati Aslan.
“Pak Aslan sedang mengikuti acara otomotif bersama Pak Bobby.” Amelia memberitau.
“Pak Bobby?” Aiden mengulang dengan kening berkerut dalam.
“Betul Pak.”
“Dia menginginkan pak Bobby menjalin kerjasama bisnis dengan perusahaannya?” Aiden menebak.
“Betul, Pak.”
“Kamu enggak tanya kenapa dia enggak meminta bantuan saya? Perusahaan pak Bobby dan saya itu sejenis … dia tidak perlu pendekatan apapun dengan saya, hanya cukup meminta dan saya akan langsung membantu.”
Sebenci itu kah Aslan pada Aiden hingga Aslan sampai rela melakukan pendekatan dengan perusahaan pesaing papanya—alih-alih melakukan kerja sama bisnis dengan Aiden.
“Pak Aiden sudah tahu jawabannya.” Amelia berkata hati-hati.
“Saya permisi, Pak … saya akan menyiapkan presentasi.”
Aiden mengangguk lemah, tampangnya terlihat murung, bahu lebarnya pun melorot.
Selama dua puluh tahun ini ia berusaha menebus kesalahannya tapi Aslan tidak pernah menerima niat baik tersebut.
***
“Kita mau ke mana?” Sydney bertanya kepada Sagara setelah cukup lama mereka berkendara.
“Aku akan membawa kamu ke tempat favoritku.” Sagara memberikan clue.
“Waw … udah berapa banyak wanita yang kamu bawa ke sana?”
Sagara tertawa renyah, menoleh sekilas menatap Sydney yang duduk di sampingnya.
Sagara menduga kalau Sydney sedang mengetesnya.
Dia tidak menjawab, biar Sydney penasaran karena semakin penasaran maka dari sana Sagara akan mengetahui bagaimana perasaan gadis itu padanya.
Setelah lama berkendara, mereka tiba di sebuah bangunan sederhana yang berada di pinggir pantai.
Bangunan tersebut adalah sebuah restoran dengan menu seafood yang menjadi andalan utamanya.
Sagara meraih tangan Sydney, menuntun gadisnya melewati bagian dalam bangunan hingga tiba di bagian belakang yang merupakan area outdoor.
Sydney tidak keberatan saat Sagara menggenggam tangannya.
Ia malah tersipu malu, untung Sagara tidak menoleh ke belakang karena sesungguhnya Sagara juga sedang kesulitan menahan senyum sebab Sydney menyambut genggaman tangannya dengan menautkan jari mereka.
“Kita duduk di sini.” Sagara menarik kursi untuk Sydney.
Dia lantas duduk di depan Sydney.
Sekarang Sydney tahu kenapa tempat ini menjadi tempat favorite Sagara karena ia bisa melihat bagaimana indahnya matahari tenggelam secara langsung tanpa ada yang menghalangi penglihatannya.
Sydney terkesima, matanya berpendar menatap takjub pergantian siang ke malam—mengagumi kuasa sang Pencipta sampai ia tidak menyadari kalau Sagara sudah memesan makanan untuk mereka.
“Gimana? Indah, kan?” Sagara meminta pendapat.
“Ini sih bukan indah lagi tapi indah banget.”
Sagara tertawa puas sementara Sydney menangkup pipinya dengan kedua tangan, begitu menggemaskan.
Senyum Sydney kemudian memudar, matanya memicing menatap Sagara.
“Jadi, ini cara kamu menggoda para gadis?” tuduh Sydney yang sesungguhnya ingin mengetahui apa maksud Sagara mengajaknya ke sini.
Padahal sudah jelas kalau Sagara menaruh hati padanya tapi Sydney ingin mendengar secara langsung.
“Aku baru beberapa bulan di kota ini … Papa memintaku membantunya menangani salah satu proyek karena beliau kewalahan … setelah proyek selesai, aku akan kembali ke Indonesia … jadi bagaimana bisa aku memiliki hubungan dengan banyak gadis dan membawanya ke sini?”
Mata memicing Sydney berubah seketika menjadi bulat sempurna.
Ia baru mengetahui informasi ini.
“Kamu tinggal di Indonesia?”
Sagara mengangguk. “Aku yang memimpin Palmer Corp di Indonesia.”
Raut wajah Sagara tampak sendu ketika berkata demikian karena baru tadi malam ia meminta bertukar posisi dengan papinya—agar Sagara tetap di Australia dan papinya mengelola perusahaan di Indonesia hanya untuk bisa bersama Sydney—tapi papinya tidak mau.
“Oh … gitu ….” Bibir Sydney tersenyum, ia senang karena tidak perlu membatalkan niatnya membantu grandpa di Indonesia.
Ia bisa selalu bersama Sagara.
Duh, Sydney tidak mengerti kenapa perasaannya begitu menggebu-gebu kepada Sagara.
“Iya … jadi nanti kita LDR-an … enggak apa-apa, kan?”
Sydney tergelak mendengar kalimat Sagara yang diucapkannya dengan ekspresi serius seolah mereka telah menjadi pasangan kekasih.
“Tenang aja, nanti aku nyusulin kamu ke Indonesia.”
“Nanti aku jemput di Bandara setiap kamu datang ke Indonesia.”
Sydney kembali tertawa, sekarang ia benar-benar yakin untuk mengemban jabatan COO di perusahaan yang dipimpin Ravendra Devabrata-kakeknya.
“Sebetulnya, presentasi kemarin itu adalah tes dari papi … jadi, setelah lulus kuliah … aku bilang sama papi mau bantuin grandpa di Indonesia … tapi sebelumnya aku harus mengerti dulu tentang perusahaan jadi papi ngajarin aku selama beberapa tahun ini, dan katanya aku lulus tes karena kamu setuju bekerjasama dengan Deva Corp … baru tadi pagi papi bilang mau ngurusin kepindahan aku ke sana.”
Sagara tercengang, ia sulit berkata-kata tapi tatapan mata dan senyum di wajahnya mengatakan banyak hal.
Pria itu terlalu terkejut sekaligus senang mendengar pengakuan Sydney.
Sepertinya Sydney adalah jodohnya karena semesta seakan ikut andil dalam hubungan mereka.
Yang pertama adalah saat tidak sengaja Sagara bertemu Sydney di jalan tol, saat itu dia sedang memikirkan Sydney yang memukau dalam presentasi.
Tapi perlu digaris bawahi alasan Sagara bersedia menjalin kerja sama dengan Deva Corp bukan karena kecantikan Sydney tapi karena presentasi dan keuntungan yang akan Palmer Corp dapatkan dari kerjasama tersebut.
Lalu sekarang, di saat semalaman ia tidak bisa tidur merasa gundah karena akan kembali ke Indonesia—ternyata Sydney juga sudah merencanakan untuk tinggal di sana.
“Aku … aku ….” Sagara terbata dan Sydney malah menertawakannya.
“Kebetulan banget, kan? Jadi kita enggak usah LDR.”
“Ya … kita enggak usah LDR,” ucapnya mengulang apa yang dikatakan Sydney.
“Malah kalau perlu kita bisa tunangan, tinggal satu rumah, banyak bercinta, saling mengenal, lalu menikah dan punya anak …,” sambung Sagara di dalam hati.
Chapter 5
“Saya siapkan tiga pasang sepatu; formal, casual & olah raga … siapa tahu Pak Aslan membutuhkannya, pakaian casual tujuh stel dan formal satu stel beserta pakaian tidur tujuh stel … pakaian dalam juga saya siapkan dengan jumlah yang sama … obat-obatan ada di pouch kecil, begitu juga dengan alat mandi dan alat cukur, parfum dan deodoran saya masukan di pouch terpisah … di setiap pouch saya beri label untuk memudahkan pak Aslan mengetahui isinya.”
Aslan memandangi kopernya ketika Amelia memberitau apa saja isi koper besar yang akan dibawanya ke Australia.
“Dan ini, Pak … iPad dan ponsel dengan provider yang bisa digunakan di Australia.” Amelia memberikan tas berisi alat komunikasi canggih yang akan dibutuhkan Aslan selama cuti.
Amelia sudah terbiasa menyiapkan segala kebutuhan Aslan.
Dia yang paling tahu tentang Aslan sampai nomor celana dalam yang Aslan sendiri mungkin tidak begitu mengingatnya.
Aslan menerima tas yang diberikan Amelia lalu berkata, “Thanks.”
Setelah Amelia Flora menyiapkan semuanya—cosplay jadi istri Aslan—bangun sangat pagi lalu berlarian di trotoar melewati banyak gedung pencakar langit untuk menyiapkan keperluan Aslan—tapi pria itu hanya mengatakan satu kata.
Amelia mengangguk singkat kemudian keluar dari kamar Aslan.
Aslan meraih koper dan menyandang tas, membawanya keluar.
“Sarapan untuk pagi ini saya yang buat, Pak … karena asisten rumah tangga ijin tidak bekerja, dia mau menikahkan anaknya.”
Tuh, Amelia masih sempat membuatkan sarapan untuk Aslan.
Aslan tidak menanggapi tapi melepas koper untuk menarik kursi meja makan dan duduk di sana.
“Kamu enggak sarapan?” Suara berat Aslan menghentikan niat Amelia yang hendak membalikan badan.
“Nanti setelah Pak Aslan pergi, saya akan sarapan … kebetulan masih ada sisa nasi goreng di wajan.”
“Makan sekarang,” titah Aslan.
“Y-ya?” Amelia terbata.
“Duduk di depan saya, ada yang mau saya sampaikan.” Aslan menjelaskan alasannya.
“Baik, Pak ….”
Amelia kembali ke dapur, mengisi piring dengan nasi goreng lalu bergegas duduk di depan Aslan di meja makan itu sesuai perintah sang bos.
“Selama saya tidak ada, hold meeting dan handle masalah yang kecil yang bisa kamu selesaikan … diskusi dengan Alden dan Jasver … sebisa mungkin jangan ganggu saya tapi jika sangat mendesak—kamu bisa hubungi saya.”
Kali ini Aslan mengatakannya sambil menatap mata Amelia Flora agar sekertarisnya tahu kalau pesan ini sangat penting.
Aslan tidak ingin pekerjaan mengganggunya saat bersama Sydney.
Ia telah merencanakan cuti satu minggunya dihabiskan bersama Sydney lalu ia akan menghindar lagi.
“Baik, Pak.”
Setelah itu hening, Aslan dan Amelia menikmati sarapan pagi tanpa suara.
Hanya suara denting sendok garpu yang mengenai piring dan suara kriuk kerupuk yang mereka makan bersama nasi goreng.
Aslan mengulurkan tangan untuk mengambil kerupuk lagi dari dalam toples yang terbuka, berbarengan dengan tangan Amelia juga yang terulur pada lubang toples yang sama untuk mengambil kerupuk.
Kedua tangan mereka bersentuhan.
Tidak, lebih tepatnya tangan Aslan berada di bagian atas memegang tangan Amelia di atas lubang toples.
Mereka berdua terhenyak tapi bukannya menarik tangan agar menjauh—Aslan dan Amelia malah saling memaku tatap selama beberapa detik—membiarkan tangan mereka yang bersentuhan, melayang di udara.
“Maaf, Pak … biar saya ambilkan.” Amelia dengan cepat menguasai dirinya kembali.
Aslan melepaskan tangan Amelia lalu meraih garpu yang tadi ia simpan untuk mengambil kerupuk.
Dengan tampang datarnya—seolah tidak terjadi apapun—memasukan tangan lebih dalam untuk mengambil lebih banyak kerupuk dan menjatuhkannya di atas piring Aslan dengan gerakan pelan.
Amelia kemudian mengambil lagi kerupuk untuk dirinya sendiri.
Satu hal yang Aslan suka dari Amelia, sekertarisnya itu tidak pernah terbawa perasaan atau besar rasa ketika momen-momen romantis bahkan menjurus intim tidak sengaja terjadi di antara mereka.
Amelia akan bersikap seperti biasa setelahnya seolah tidak terjadi apapun.
Sekertaris cantiknya itu juga tidak pernah berusaha menggodanya atau mencari muka.
Amelia akan mengatakan yang sejujurnya jika Aslan meminta pendapat, tidak peduli Aslan suka atau tidak.
Selain itu kinerja Amelia juga patut diacungi jempol, meski memiliki job desk merangkap sebagai asisten Aslan di rumah tapi Amelia tidak pernah keteteran mengerjakan tugas kantor.
Aslan mempercayakan pekerjaan di kantor dan kehidupan pribadinya hanya kepada Amelia sehingga meski tidak pernah bercerita secara detail tapi Amelia bisa mengetahui tentang Aslan dan juga masa lalunya.
“Pak Guntur sudah menunggu di depan di loby, Pak.” Amelia memberitau ketika Aslan beranjak dari kursi usai menghabiskan sarapan pagi.
Aslan menghentikan langkah di depan pintu ketika tangannya sudah memegang handle.
“Ingat pesan saya tadi, Flo …,” kata Aslan tanpa membalikan badannya untuk menatap Amelia.
“Baik, Pak.”
Setelah mendengar kesanggupan Amelia tadi, Aslan memutar handle pintu lantas keluar dari unit apartemennya.
Amelia menutup pintu, ia harus merapihkan apartemen ini menggantikan tugas sang asisten rumah tangga.
***
“Zieeeel!” Danisa berseru tatkala matanya menangkap sosok Azriel di depan pintu kedatangan di Bandara.
Gadis itu berlarian, tidak peduli menyenggol seseorang yang menghalangi jalannya.
“Zieeeel, aku rinduuuuuuu.” Danisa memeluk Azriel, menempelkan wajahnya di dada bidang cowok itu.
Azriel membalas pelukan Danisa, mengangkat tubuh sang gadis yang kemudian ia bawa berputar hingga tercetus tawa renyah dari bibir Danisa.
“Cieeee, yang udah jadi anak kuliahan.” Azriel menurunkan Danisa dan mengurai pelukan.
Meski usia Danisa masih tujuh belas tahun tapi Danisa mampu lulus kelas akselerasi di SMAnya dan tahun ini keterima di sebuah Universitas Negri terbaik di Jakarta.
“Aku masuk pake beasiswa loh, aku pinterkan?”
“Harus pinter donk, Tante Qila ‘kan pinter banget masa kamunya enggak.”
Wajah Danisa cemberut, tadinya dia pamer karena ingin mendengar pujian Azriel.
“Om … Tante … Apakabar?” Azriel mengulurkan tangan yang langsung mendapat sambutan Andi-suami Shaqila.
“Om Baik … kamu Apakabar? Makin tinggi aja nih!”
“Baik Om … iya, basket terus.” Azriel menjawab pertanyaan basa-basi Andi.
“Tante ….” Azriel mengulurkan tangan tapi kedua tangan Shaqila langsung melingkar di tengkuk Azriel membuat anak muda itu membungkuk sehingga Shaqila mudah memberikan kecupan di pipinya.
“Makin besar kamu ya.”
“Iya lah, Tan … masa kecil terus.” Azriel menyahut menghasilkan tawa singkat Andi dan Shaqila.
“Tunggu di sini aja ya, Om … aku bawa mobil dulu.”
“Aku ikuuuuut.” Danisa meraih tangan Azriel kemudian mengguncangnya.
“Iyaaa, ayoooo.”
Azriel menggenggam tangan Danisa, mereka berdua berjalan beriringan menuju di mana mobil Azriel diparkir.
Bila ada acara keluarga, mereka akan menempati rumah utama yang beberapa tahun ini kosong setelah mangkatnya Karenina dan Abimanyu Devabrata-buyut dari Aslan.
“Om kamu Aiden sama keluarganya sudah datang ya?” Shaqila bertanya, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah utama.
“Sudah Tan … mereka datang kemarin, berbarengan sama granpa dan granny.”
“Syukurlah … kita bisa komplit tahun ini.” Andi bergumam.
“Belum komplit kalau enggak ada Bang Aslan,” celetuk Danisa melirih.
“Kan ada aku … memangnya aku enggak cukup? Ini aku bolos lho mata kuliah terakhir, bela-belain jemput kamu ….” Azriel tidak terima kalau Danisa menyebut nama Aslan dengan raut sedih yang seperti gadis itu tunjukan sekarang.
Andi dan Shaqila yang duduk di belakang pun terkekeh geli.
Mereka tahu kalau Azriel tidak benar-benar kesal, itu dilakukannya agar Danisa tidak bersedih karena mungkin Aslan tidak akan muncul seperti tahun-tahun kemarin, tanpa ia ketahui kalau Aslan akan datang.
Bibir Danisa mencebik sebal. “Diem ah, kesel.”
“Aku turunin nih kalau masih cemberut.” Azriel mengancam dan Danisa langsung menarik kedua sudut bibirnya ke atas untuk memperlihatkan senyum pasta gigi.
“Begitu donk.” Azriel mengusap-ngusap kepala Danisa dengan serampangan sehingga kepala Danisa bergerak di luar kendalinya.
“Iiisssh … rambut akuuuu,” jerit Danisa membuat Azriel terkekeh puas.
Andi dan Shaqila saling menatap melihat interaksi Azriel dengan Danisa yang begitu akrab.
Tiba-tiba awan mendung membayangi wajah Shaqila mengingat hubungan Aslan tidak pernah sehangat ini dengan Danisa-adik kandungnya sendiri.
Cukup lama berkendara sampai akhirnya tiba di rumah utama yang terlihat bersih dengan tamannya yang indah meski jarang ditempati.
Arkatama Devabrata masih mempekerjakan asisten rumah tangga, tukang kebun dan sekuriti untuk merawat rumah yang luas dan megah itu.
“Mami Luna udah di sini dari pagi.” Azriel memberitau.
Belum sempat Shaqila dan Andi menjawab—sosok mungil Luna tiba-tiba keluar melewati pintu utama.
Senyum wanita cantik itu selalu hangat tampak bahagia.
Shaqila dan Luna berpelukan, sudah lama melupakan konflik yang pernah terjadi di antara mereka di mana saat itu Shaqila tiba-tiba datang di tengah kebahagiaan rumah tangga Luna dan Arkatama Devabrata—dan mengaku kalau Aslan adalah anak dari Arkatama Devabrata.
Namun kebenaran memang harus terungkap, Aiden Devabrata sendiri yang mengatakan kebenarannya saat melihat sang adik terpuruk karena rumah tangganya diambang kehancuran.
“Dokter Andi … Apakabar?” Luna selalu menambahkan profesi Andi setiap kali memanggil Andi sebagai bentuk rasa hormatnya pada beliau.
“Baik … Baik.” Andi menjawab sambil menjabat tangan Luna.
“Mamiii,” panggil Danisa, muncul dari balik punggung Andi yang masih tegap di usianya yang tidak muda lagi.
“Eeeeh, cantiknya Mamiiii … sini peluk.”
Danisa memeluk Luna erat, ia menyayangi wanita itu walau tidak begitu menyukai Sydney.
Ia masih dendam karena Sydney mendapat seluruh perhatian Aslan hingga tidak sedikitpun tersisa untuknya.
Di dalam sana Aiden beserta Raisa-istrinya juga Ravendra Devabrata yang kini menjadi kepala suku menggantikan Abimanyu Devabrata dengan istrinya-Selena Callista sang perancang busana terkenal di Indonesia—menyambut keluarga Shaqila dengan kehangatan.
Mereka juga sudah melupakan konflik masa lalu, bahkan Raisa—yang saat konflik terjadi sudah menikah dengan Aiden dan memiliki si kembar Nathan dan Nala, akhirnya bersedia menerima apa yang dilakukan suaminya dengan Shaqila di masa lampau meski saat hubungan terlarang antara Shaqila dan Aiden terjadi hingga menghasilkan Aslan—Raisa telah berstatus sebagai kekasih Aiden.
Suasana di rumah utama yang biasanya sepi kini penuh dengan canda tawa.
Apalagi ketika Azriel dan Nathan bermain billiard yang terus diganggu Danisa dan Nala membuat suasana semakin ramai.
Celetukan dalam bentuk provokasi sering kali terdengar tapi tidak pernah berakhir pertengkaran malah jerit dan gelak tawa yang tercetus kian kencang.
“Danisa ….” Suara Sydney berhasil mengubah ramai menjadi hening seketika.
Sydney sudah bertemu Nathan dan Nala kemarin jadi sekarang ia hanya menyapa Danisa.
Dan keheningan itu tercipta karena Nathan, Nala dan Azriel mengetahui bahwa hubungan Sydney dengan Danisa tidak pernah baik gara-gara Aslan.
Danisa terlalu ekspresif memperlihatkan kekesalannya kepada Sydney berbeda dengan Nathan dan Nala yang semenjak dewasa sudah acuh dan tidak terlalu mempedulikan Aslan karena pria itu pun bersikap demikian kepada mereka tapi bukan berarti mereka membenci Aslan.
“Sydney.” Danisa balas menyapa.
Sydney tersenyum kemudian mempercepat langkahnya menghampiri Danisa.
Sydney memeluk Danisa, ia memaafkan sikap buruk Danisa padanya yang kata mami dan papi—itu dilakukan karena Danisa cemburu dan merasa tidak adil dengan kasih sayang Aslan yang lebih besar diberikan kepada Sydney dibanding kepada dirinya.
“Maafin aku ya, Nis.” Sydney bergumam.
Butuh waktu tiga detik sampai Danisa membalas pelukan Sydney.
“Maafin aku juga, aku tahu aku salah … sering jahatin kamu.” Danisa meringis usai mereka mengurai pelukan.
“Enggak apa-apa, udah biasa.” Sydney menyahut dan keduanya tertawa bersama diikuti Nathan, Nala juga Azriel.
***
“Aslan.”
“Mami.”
Luna tidak pernah baik-baik saja selama lima tahun Aslan menghindar jadi ketika saat ini ia bertemu secara langsung dengan Aslan di hotel tempat pria itu menginap—Luna tidak bisa memendam perasaannya lagi.
Memeluk Aslan erat hingga pria muda yang sudah ia anggap sebagai anak kandung itu membungkuk karena tinggi mereka yang sangat jauh berbeda.
Aslan melepaskan kedua tangan Luna dari tengkuk, menuntunnya agar melingkar di tubuh Aslan sehingga tangis Luna bisa teredam di dadanya.
“Udah Mi … udah.” Aslan menepuk-nepuk pelan punggung Luna.
Sedangkan Arkatama Devabrata-suami dari Luna, melipat tangannya di dada—hanya bisa melihat momen haru itu dari belakang punggung istrinya sampai belum sempat saling sapa dengan Aslan yang langsung dikuasai Luna.
“Masuk yuk, Mi.” Setelah Luna tenang, barulah Aslan mengajak Luna dan Arkatama masuk ke dalam kamar hotelnya.
Alasan Luna membiarkan Aslan menginap di hotel adalah untuk menyembunyikan Aslan dulu sampai pesta ulang tahun Sydney yang akan berlangsung besok malam di Villa milik Devabrata yang terletak di pesisir pantai.
Aslan bukan hanya menjadi kejutan untuk Sydney tapi juga untuk kedua kakek dan neneknya yang ikut dihindari Aslan selama lima tahun terakhir.
Meski tinggal di kota yang sama tapi Aslan licin seperti belut, sulit ditemui.
Aslan selalu memiliki alasan yang dengan tegas dan tanpa perasaan—menolak setiap ajakan bertemu atau acara-acara keluarga yang diadakan baik keluarga Devabrata maupun keluarga dari pihak mama Shaqila.
Dalam lima tahun terakhir, Aslan hanya muncul sekali saat pemakaman Marni—ibunda dari Shaqila karena beliau yang merawat Aslan selama ini.
Aslan tidak pernah mau tinggal bersama Shaqila dan keluarga barunya.
“Pi.” Aslan mengulurkan tangan untuk menyapa adik kembar ayah kandungnya tapi Arkatama malah memeluk Aslan, memperlakukan Aslan seperti anak kandungnya sendiri.
Mereka bertiga duduk di sofa set yang berada di sudut ruangan dengan formasi Luna duduk di samping Aslan dan Arkatama menempati single sofa.
“Kamu enggak boleh menghindar seperti yang kamu lakukan lima tahun terakhir, Papi enggak suka … kamu itu bagian dari Devabrata.”
Aslan tersenyum sinis. “Tapi Aslan anak haram, Pi.”
Plak!
Tamparan ringan Luna mendarat di pipi Aslan.
“Jangan pernah katakan itu lagi, Bang! Kamu anak Mami bukan anak haram.” Luna histeris sambil menangis mengatakannya.
“Kamu anak Mami … anak Papi, anak mama Shaqila, anak papa Andi, anak papa Aiden dan anak mama Raisa … kami harus melakukan apa lagi untuk membuat kamu memaafkan kami?” ujar Luna disela isak tangisnya.
“Mami sama papi enggak salah ….” Aslan melirih, menundukan pandangannya menatap lantai berlapis karpet.
“Cukup, jangan bahas ini lagi … kalau kamu mau menghindar terus, terserah … tapi asal kamu tahu Papi enggak suka sama yang kamu lakukan itu.” Arkatama Devabrata berujar tegas.
Aslan masih tertunduk, tubuhnya sedikit bungkuk dengan kedua tangan menopang pada paha.
Luna mengusap punggung Aslan lembut. “Mami enggak tahu bagaimana reaksi Sydney nanti tapi kamu siap-siap sama respon negatifnya … kamu tahu dia gimana, kan? Mungkin dia akan emosional pada awalnya tapi enggak akan lama karena dia sangat merindukan kamu.”
Aslan mengangguk mengerti.
Luna dan Arkatama Devabrata juga seluruh keluarga tidak menganggap perhatian yang Aslan berikan kepada Sydney sebagai perasaan cinta, mereka menganggap bila hal tersebut adalah bentuk pemberontakan Aslan kepada Shaqila dan Aiden.
Chapter 6
“Sydney … ada cowok bawa kue ulang tahun nyariin kamu.” Nala masuk ke dalam kamar Sydney yang baru saja mengaplikasikan makeup di wajahnya.
Memiliki mami yang pandai merias tentu Sydney mewarisi skill itu juga dan tidak perlu usaha keras dan menghabiskan banyak waktu untuk belajar dari mami Luna—Sydney sudah pintar merias wajahnya sendiri seperti sekarang.
Sydney menoleh ke belakang padahal bisa saja ia menatap Nala dari pantulan cermin di depannya.
“Di mana dia sekarang?” Sydney bertanya antusias.
“Di depan … lagi ngobrol sama daddy kamu, ada Papa aku dan om Andi juga di sana.”
Sydney beranjak dari kursi meja rias hendak keluar dari kamar untuk menyambut cowok yang dikatakan Nala barusan yang sudah pasti adalah Sagara.
“Eiiit, mau ke mana?” Nala memblokir langkah Sydney dengan tubuhnya.
“Mau nemuin crush-nya aku.” Sydney menjawab dengan binar di mata.
“Pake bathrobe kaya gini?” Nala menunjuk Sydney dari atas sampai bawah.
“Bantuin aku pakai gaun donk, Kak.”
Sydney meraih gaun yang tergantung di samping meja rias.
Tanpa banyak bicara—Nala si kalem membantunya.
Kegiatan mereka harus terinterupsi oleh ponsel Sydney yang bergetar di atas meja rias.
Nala yang mengambil ponsel itu untuk Sydney.
“Aunty Alice,” ucapnya memberitahu setelah melihat nama Alice—adik bungsu ayah mereka tertera di layar.
“Auntyyyyy!” Sydney berseru bahagia setelah menggeser icon hijau di layar hingga tersambung panggilan video dengan sang Aunty yang kini tinggal di Benua Amerika mengikuti suaminya.
“Sydney sayang, Apakabar?” Alicia bertanya dengan raut sendu penuh penyesalan dan dari sana Sydney tahu kalau sang Aunty tidak bisa hadir.
“Sydney enggak baik-baik aja kalau Aunty enggak datang.” Sydney juga menunjukkan tampang sedih.
“Jangan sedih gitu donk, sayang … di sini uncle kamu lagi sibuk … Aunty enggak bisa ke sana, tapi nanti kalau uncle dan Shaka bisa ambil cuti pasti kita pulang ke Indonesia ….”
Meski sudah diberi alasan oleh Aunty-nya—Sydney tetap bersedih.
Alicia jadi merasa bersalah. “Selamat ulang tahun ya, sayang … kadonya menyusul ya.”
“Makasih Aunty.” Sydney berujar tidak jelas karena bibirnya mengerucut.
“Senyum donk, ini ‘kan hari bahagia kamu.”
Sydney menarik kedua sudut bibirnya ke atas, memaksakan sebuah senyum.
“Oke deh sayang, Aunty enggak akan ganggu kamu yang lagi siap-siap … nanti kita video Call lagi ya.”
“Bye Aunty.”
Sambungan video Call pun terputus.
“Baru bulan lalu mereka ke Indonesia … enggak mungkin sekarang mereka ke Australia juga.” Nala berpendapat seraya menarik ke atas sleting gaun Sydney.
Sydney mengembuskan napas lalu mengangguk mengerti.
“Kak Nala sadar enggak sih … keluarga kita berpencar beda Benua dan kalau ada momen-momen seperti ini baru bisa ngumpul bareng.”
Nala menekan pundak Sydney agar duduk kembali di kursi meja rias setelah selesai menggunakan dress yang mirip putri kerajaan di film Disney.
“Bukannya kamu mau jadi COO di perusahaan grandpa ya?” Nala bertanya sambil merapihkan rambut Sydney.
“Iya, tadinya aku sempat ragu … tapi setelah tahu Saga juga memimpin perusahaan papanya di Indonesia—aku jadi mau pindah ke sana.”
“Saga siapa?”
Nala menghentikan gerakan tangan, matanya menatap ke depan pada cermin yang memantulkan bayangan Sydney.
“Cowok yang tadi kata Kak Nala datang bawa kue, ganteng enggak?”
“Oh ….” Nala kembali merapihkan rambut Sydney yang panjang.
“Lumayan,” katanya biasa saja.
“Bukannya kamu mau pindah ke Indonesia karena biar deket sama Bang Aslan?”
Sydney mengembuskan napas jengah sambil merotasi matanya malas.
“Aku udah enggak peduli sama dia, enggak tahu kenapa dia ngehindarin kita … aku pikir aku masih bisa komunikasi sama dia tapi kayanya yang dia hindari sebenarnya itu aku, buktinya waktu aku datang ke kantornya—dia sama sekali enggak mau nemuin aku … tiga hari berturut-turut aku nungguin dia di loby dan hati dia enggak tergerak sedikitpun, malah sekertarisnya yang nemenin aku di loby sambil kerja.” Sydney bersungut-sungut kesal.
“Jadi sekarang udah enggak cinta sama Bang Aslan lagi? Jadi sekarang cintanya sama Saga?” pancing Nala tanpa mau melihat ke arah cermin.
“Memangnya aku boleh jatuh cinta sama bang Aslan? Bang Aslan ‘kan kakak sepupu aku?”
Sydney menoleh agar bisa bersitatap langsung dengan Nala yang usianya terpaut lebih tua tiga tahun darinya.
“Memangnya kalau boleh, kamu mau jatuh cinta sama bang Aslan?”
Setiap membicarakan Aslan—Sydney akan lupa dengan apapun termasuk Sagara yang saat ini sudah lelah menunggu di luar.
Sydney mengembalikan tatapannya pada cermin, ia malah melamun.
Nala bisa melihat adik sepupunya itu sedang mempertimbangkan ucapannya barusan.
“Sydney! Belum beres juga dandannya? Itu cowok kamu nungguin dari tadi, diembat si Danisa baru tahu rasa … si Danisa udah kecentilan sama cowok kamu sejak dia datang.”
Nathan memberitau sambil tergesa masuk ke dalam kamar Sydney.
“Cepetan … cepetan.” Nala membantu Sydney berdiri lalu menyeretnya ke luar dari kamar.
“Makasih ya Kak Nala.”
“Hem.” Nala bergumam, membuka pintu lebar untuk Sydney.
“Sydney!! Sepatu kamu.” Nathan berlari menyusul Sydney yang sudah berada di lorong dekat mulut tangga.
Nathan berlutut dengan satu kaki untuk membantu Sydney memakai heels.
Sydney jadi dengan mudah memakai heels karena berpegangan pada pundak Nathan.
“Jangan lari, Sydney … hati-hati turunnya …,” ujar Nala, gadis itu sudah berdiri di samping Nathan.
“Iyaaaaa.” Sydney menuruni anak tangga seraya mengangkat gaunnya.
Jantung Sydney berdetak kencang khawatir Danisa berhasil merayu Sagara.
Mau ia cari ke mana lagi pria sempurna yang pacar-able seperti Sagara.
“Jadi, lo tim Danisa atau Sydney?” Nathan bertanya.
“Kalau pun Danisa beneran godain cowoknya Sydney palingan buat balas dendam karena bang Aslan.”
Nathan tertawa pelan. “Gue tahu … tapi menurut lo, ending-nya gimana?”
“Sydney sama bang Aslan.” Nala menerka.
Sekarang Nathan tertawa. “Kalau menurut gue, Sydney bakal nikah sama cowoknya yang ini … lo belum tahu sihsiapa dia.”
“Siapa?” Nala bertanya.
Keduanya melangkah beriringan menuruni anak tangga.
“Putra Mahkota Palmer Corp … Sagara Archie Palmer.” Nathan menjawab.
Kini mereka sudah berada di ujung tangga paling bawah, berhenti melangkah untuk melanjutkan pembicaraan menarik ini.
“Oh ….” Nala membulatkan mulutnya membentuk huruf O dengan kedua tangannya terlipat di dada.
Nala yang menggeluti bisnis seperti papanya pernah beberapa kali mendengar nama Palmer Corp di sebut.
Teman-temannya juga sering bergosip tentang putra mahkota Palmer yang katanya sangat tampan tapi sulit dimiliki.
Nala tidak mengira kalau si tampan Palmer itu kepincut sama kecantikan adik sepupunya.
“Terus … kalau Sydney sama Sagara, bang Aslan sama siapa donk? Bang Aslan harus dapet pengganti Sydney supaya dia bisa ngelupain Sydney.”
Sekarang Nala bertanya serius, mereka berdua sudah lama mengamati tingkah laku Aslan, Sydney, dan Danisa.
Menurut Nathan dan Nala, perhatian Aslan kepada Sydney itu bukan lagi perasaan sayang sebagai kakak kepada adik melainkan adalah perasaan cinta.
Bahkan mereka juga sudah tahu konflik besar apa yang terjadi antara Shaqila dan keluarga Devabrata ketika mereka masih batita.
Konflik besar yang sampai menggegerkan keluarga Devabrata dan katanya, ayah dari Shaqila sampai kehilangan nyawa karena ulah Raisa-mama mereka.
Nathan mengangkat kedua bahunya. “Yang pasti gue harap bang Aslan enggak sama Amelia Flora … gue naksir dia soalnya.”
Kakak kembar dari Nala itu lantas pergi begitu saja bersama kekehan pelan membuat bibir Nala mencebik.
Tapi bisa jadi dugaan Nathan benar karena baru tadi Nala mengetahui jika Sydney tidak menganggap perhatian Aslan itu adalah bentuk perasaan cinta.
Yang Nala tahu—Sydney masih bingung dengan perasaannya pada Aslan.
Sementara di luar sana, Sagara yang sedang duduk langsung berdiri saat melihat Sydney keluar dari dalam Villa.
Pria itu menatap Sydney dengan sorot kagum dan penuh minat, bibirnya juga tersenyum lebar membuat Sydney tersipu sekaligus puas karena ia melihat Danisa berwajah masam sekarang.
Ternyata tuan Palmer junior tampaknya tidak tergoda oleh Danisa yang tadi duduk di sebelah Sagara dengan gesture tubuhnya yang menggoda ditunjang gaun seksi yang gadis itu kenakan.
“Jadi ini yang kemarin kamu bilang pacar-able banget?” celetuk Om Aiden menghasilkan pelototan dari Sydney, meski mata Sydney melotot tapi bibirnya tersenyum malu.
“Oh yang katanya ingin buru-buru ke Indonesia biar bisa bebas pacaran tanpa dikintilin papi.” Itu Om Andi yang menimpali.
Arkatama Devabrata pun terkekeh di kursinya menyadari anak bayi yang susah diatur dan sering ngegas kalau ngomong itu sekarang sudah dewasa dan mengenal cinta.
Papi dari Sydney tentu saja setuju bila Sagara Archie Palmer yang akan menjadi calon menantunya.
Sagara tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini setelah mendengar celetukan-celetukan paman dari Sydney karena dari sana Sagara bisa mengetahui bila Sydney juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Kata bahagia saja tidak bisa mengungkapkan perasan Sagara ini.
Apalagi saat melihat Arkatama Devabrata, calon papi mertua incarannya itu hanya tersenyum seakan merestuinya meski belum ada kejelasan dalam hubungan mereka.
“Om … boleh saya pinjam Sydneynya sebentar?” Sagara meminta ijin.
“Jangankan sebentar … mau kamu pinjam seumur hidup juga enggak apa-apa.” Itu Om Aiden yang menyahut.
Arkatama Devabrata mengangguk mengijinkan disertai senyum yang dikulum, pria sedingin kulkas itu ternyata bisa ramah juga kepada pria yang menyukai putrinya.
Sagara menggamit tangan Sydney, menuntunnya ke tempat yang lebih sepi.
“Aku bawa kado ulang tahun untuk kamu.” Sagara mengeluarkan sebuah kota beludru.
Sagara membuka kotak tersebut dan seketika mata Sydney berbinar.
“Bagus banget, makasih.” Sydney tulus berkata demikian.
Ia sungguh menyukai kalung itu, modelnya sederhana tapi melambangkan cinta dan kemewahan karena bertabur berlian.
“Aku sengaja pilih yang sederhana modelnya, biar kamu bisa pakai setiap hari.”
“Aku akan pakai setiap hari.” Sydney berjanji.
“Berbalik, biar aku pakaikan.”
Sydney berbalik, mengumpulkan rambutnya dengan satu tangan.
Sagara berhasil memakaikan kalung di leher Sydney dan yang bersangkutan kembali membalikan badan menghadapnya.
“Sekali lagi, makasih ya.” Sydney berujar, menatap Sagara sambil mengusap bandul kalungnya dengan jari.
Sagara mengangguk dengan senyumnya yang kelewat tampan.
Sagara tidak menduga dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sydney berjinjit—meski sudah menggunakan heels karena Sagara yang terlalu tinggi—kemudian memberikan kecupan di pipi Sagara.
Kecupan itu sengaja Sydney buat sangat perlahan, lembut dan hati-hati.
Sagara bisa merasakan bagaimana bibir Sydney yang lembab dan hangat mengecup pipinya.
Dan sentuhan singkat tersebut berhasil menaikkan tempo debaran jantung mereka berdua.
Sydney kemudian menunduk menyembunyikan pipinya yang merah seperti buah cherry.
“Sydney.” Suara berat Sagara refleks membuat Sydney mendongak.
Mata bulat Sydney yang indah itu selalu mampu membuat Sagara terpesona.
“Ya?” Sydney menyahut.
“Pacaran, yuk!” Akhirnya Sagara mengatakannya juga.
Menjadikan hubungan mereka ini memiliki status yang jelas.
Sydney tertawa pelan, menggigit bibir bagian bawah lalu mengangguk menyetujui ajakan Sagara untuk berpacaran.
Tanpa Sydney ketahui bila sedari tadi ada sepasang mata menatap tajam ke arahnya dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh.
Rahang Aslan mengetat, napasnya tersendat menahan amarah.
Aslan berada tidak jauh dari Sydney, tadi malam sekali Aslan tiba di Villa dan disembunyikan di sebuah kamar yang paling dekat dengan venue.
“Namanya Sagara Archie Palmer, dia cucu satu-satunya tuan Palmer pemilik Palmer Corp yang berbasis di Australia … kata mami sama papi dia crush-nya Sydney … mereka baru kenal kurang lebih seminggu tapi kayanya kak Sydney suka banget sama Sagara, begitu juga dia.” Azriel memberitau setelah mengikuti arah tatap kakak sepupunya yang berlama-lama mengintip keluar jendela.
Tadi pagi Azriel mendapat bocoran dari papi Arkatama jika Aslan ada di kamar ini dan dia langsung menemuinya.
“Jadi, kalau abang ingin menghindari konflik di keluarga kita … biarkan Sydney bahagia sama Sagara.” Azriel menepuk pelan pundak Aslan.
“Nanti aku ke sini lagi buat jemput Abang kalau udah waktunya.”
Azriel keluar dari kamar untuk bergabung dengan keluarganya agar Sydney tidak curiga karena acara sudah akan di mulai.
Tentu saja Azriel terlalu dewasa untuk mengartikan perasaan Aslan pada kakaknya, sama seperti Nathan dan Nala—Azriel juga menganggap jika perhatian Aslan yang berlebihan kepada Sydney adalah cinta bukan sekedar perasaan sayang antar saudara karena ia saja tidak mendapatkan itu dari Aslan.
Di dalam kamar, Aslan meraih cangkir kopi yang ada di atas meja kemudian membantingkannya ke lantai hingga terdengar nyaring ke luar.
Azriel yang sudah berjalan menjauh dari kamar Aslan sampai menghentikan langkah karena masih bisa mendengar suara pecahan cangkir tersebut.
Adik dari Sydney itu menggelengkan kepala samar lantas melanjutkan kembali langkahnya menuju venue.
Demi apapun Aslan tidak rela melihat Sydney dimiliki pria lain.
Dan yang membuat Aslan sangat marah juga kesal adalah ia berdarah Devabrata sehingga tidak mungkin bisa memiliki Sydney.
Aslan tahu akan bagaimana reaksi keluarganya jika mengetahui ia mencintai Sydney apalagi sampai berkeinginan memiliki Sydney seutuhnya.
Suara riuh rendah nyanyian selamat ulang tahun mengudara.
Kaki Aslan mendekati jendela lagi, melihat Sydneynya meniup lilin dan tertawa bahagia mendapat banyak ucapan selamat.
Ia tidak sabar ingin segera bertemu Sydney, sesungguhnya ia juga merasakan penderitaan yang sangat berat karena harus menahan rindu.
Andaikan di sana tidak ada keluarganya, Aslan akan langsung memeluk lalu mencium bibir Sydney dan membuat bibir itu bengkak.
Lalu ia akan menggendong Sydney seperti karung beras di pundaknya kemudian membawa Sydney ke kamar.
Aslan membayangkan dirinya mencium Sydney lagi lalu mencumbunya dan ….
Tok …
Tok …
Ketukan di pintu menghentikan Aslan dari pikiran gilanya tentang menikmati tubuh Sydney.
Aslan mengumpat bukan karena seseorang di luar sana yang mengetuk pintu kamarnya tapi karena bayangan sialan itu muncul kembali.
Aslan membuka pintu kamar dan langsung mendapati Azriel memberi kode dengan kendikan kepala bila sekarang waktunya ia keluar menampakkan diri sebagai hadiah ulang tahun untuk Sydney.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak untuk tiba di venue, Aslan berjalan di belakang mengikuti Azriel.
Selain keluarga, Sydney juga mengundang teman-temannya.
Sehingga pesta ulang tahun Sydney begitu meriah diramaikan oleh banyak tamu undangan.
“Dan ini adalah kado ulang tahun untuk Sydney dari mami dan papi,” ucap pemandu acara.
Semua mata menatap ke arah samping mengikuti tangan MC terulur.
Aslan akan selalu terlihat tampan dan menawan meski hanya menggunakan kemeja putih lengan panjang yang dilinting hingga sikut dan celana jeans biru dipadankan dengan sneaker putih.
Pria dengan ketampanan setara para dewa Yunani itu menatap lurus hanya pada Sydney meski wajahnya terlihat datar dan dingin namun sorot mata Aslan begitu hangat seakan memberitau semua orang bila banyak rindu yang ia pendam selama ini untuk Sydney.
Aslan melangkah pelan, mendekati Sydney atas perintah MC.
Terdengar isak tangis rindu dari Selena Callista-nenek Aslan dari Aiden-papa biologisnya.
Wanita tua itu langsung mendapat pelukan dari Ravendra Devabrata-suaminya.
Sama halnya dengan Selena, Shaqila juga tidak bisa membendung air matanya.
Dan dada Andi akan selalu ada untuk Shaqila.
Aiden mengetatkan rahang, di usia yang memasuki paruh baya ini menjadikannya lebih sensitif sampai kesulitan menahan haru.
Ia juga merindukan Aslan-putra pertamanya.
Tiba-tiba Aiden merasakan tangannya hangat, ia menoleh ke samping dan tatapannya langsung bersirobok dengan sang istri yang tengah tersenyum tipis seraya menggenggam tangannya.
Aiden melepaskan genggaman itu menggantinya dengan pelukan.
“Abang,” gumam Danisa menatap nanar kakak kandungnya.
Bahagia karena akhirnya bisa bertemu Aslan tapi kecewa melihat hanya Sydney yang ditatap sang Kakak begitu dalam.
Bukan hanya itu, sekarang Danisa yakin jika ia memang tidak berarti bagi Aslan.
Buktinya, setelah lima tahun menghindar—Aslan muncul hanya untuk menghadiri ulang tahun Sydney.
Mungkin cuma Sagara yang kelihatan bingung karena ia tidak tahu siapa pria yang sekarang sedang berdiri di depan kekasihnya dan berhasil membuat Sydney yang tadinya bahagia kini tampak emosional.
Lihat saja bagaimana dada Sydney kembang kempis, napas gadis itu memburu menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya.
Mata Sydney juga telah basah menampung buliran kristal yang sekarang luruh saat Aslan mengangkat tangan untuk mengusap pipinya.
Sydney menghela kasar tangan Aslan.
“I hate You!!” teriak Sydney tepat di depan wajah Aslan dengan tatapan nyalang penuh kebencian.
Sydney berbalik kemudian berlari keluar venue, tanpa perlu berpikir panjang—Aslan langsung mengejarnya.
“Bang, biarin aja dulu.” Azriel menahan Sagara yang hendak mengejar Sydney.
“Dia siapa?” Sagara bertanya.
“Dia anaknya Om Aiden, kakak sepupu kita.” Azriel menjawab.
“Oh … terus kenapa Sydney seperti benci sama kakak sepupunya.” Sagara mengerutkan kening bingung melihat drama yang baru saja terjadi.
“Nanti Abang bisa tanya sama kak Sydney.”
Chapter 7
“Sydney!” seru Aslan dengan lantang agar tidak teredam suara deburan ombak yang menghantam batu karang.
Sydney menulikan telinga, terus berlari ke bagian belakang Villa.
Langkah Sydney tidak berhenti di sana, tidak peduli kakinya yang dibalut heels akan lecet—ia terus berlari menembus taman.
“Sydney,” panggil Aslan lagi.
Aslan berhasil menahan tangan Sydney agar berhenti berlari.
Sesungguhnya bisa dengan mudah Aslan lakukan sedari tadi tapi dia sengaja mencari tempat yang jauh dari jangkauan penglihatan keluarganya jadi membiarkan Sydney tetap berlari.
“Lepas!” sentak Sydney menghela tangan Aslan kasar.
Aslan terlalu keras kepala, cekalan di tangan Sydney malah mengerat sehingga tidak berdampak apapun ketika Sydney menghempaskan tangannya.
“Dengar Abang dulu.”
“Enggak! Aku enggak mau! Pergi!”
Baru kali ini Aslan menghadapi kemarahan Sydney.
Biasanya Sydney akan menjadi gadis manis yang senang bermanja-manja setiap di dekatnya.
Aslan menyadari apa yang telah ia lakukan selama lima tahun ini begitu jahat apalagi ketika ia tidak mau menemui Sydney saat gadis itu datang ke kantornya.
Ia sampai meminta Amelia agar menemani Sydney karena tidak tega melihat Sydney sendirian menunggu di loby.
“Bang!” pekik Sydney terkejut.
Aslan menarik tangan Sydney, nyaris gadis itu tersungkur ke depan karena Aslan setengah menyeretnya memasuki sebuah paviliun yang ternyata tidak dikunci.
Pasti penjaga Villa mengira paviliun ini akan dibutuhkan tapi nyatanya kamar yang berada di Villa utama masih cukup menampung para tamu.
“Bang! Lepasin!”
Blam!
Aslan menutup pintu lalu berdiri menjulang di depannya menghalangi Sydney agar tidak pergi.
“Kita harus bicara,” katanya pelan namun dengan ekspresi dingin.
“Mau apa yang dibicarakan? Aku tahu kalau Abang ngehindarin aku entah karena apa tapi yang pasti sekali Abang pergi maka selamanya Abang harus pergi!” Sydney berteriak hingga urat-urat tampak di lehernya.
Meski begitu, mata Sydney belum berhenti mengeluarkan buliran kristal.
Dan dari sana Aslan tahu kalau Sydney cuma marah, bukan membencinya.
“Abang minta maaf, Sydney … Abang terpaksa menghindar karena Abang mencintai kamu .…”
Sorot mata tajam Aslan berubah teduh, kerutan halus tercipta di antara alisnya pertanda pria itu juga sama menderitanya dengan Sydney.
“Jangan pernah bilang cinta kalau nyatanya Abang pergi ….”
Sydney melangkah mendekat sampai ia harus mendongak agar bisa menatap wajah Aslan yang menjulang di depannya.
Sydney belum sadar kalau cinta yang Aslan maksud tadi adalah sebuah perasaan asmara.
Dia masih menganggap cinta yang disebutkan Aslan adalah tingkatan tertinggi dari rasa sayang pria itu terhadapnya.
“Di sini tuh sakit banget, Abang! Sakiiiit!!!” Sydney memukul dadanya tepat di jantung begitu kencang.
Aslan menangkap tangan Sydney agar tidak menyakiti dadanya namun Sydney masih memiliki sisa kekuatan untuk meronta.
Dan ketika Sydney nyaris di luar kendalinya, Aslan mendorong tubuh mungil itu hingga punggungnya mendesak tembok.
Sydney terkesiap, melebarkan mata saat Aslan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala lalu menyatukannya hingga menjadi satu genggaman pria itu.
Aslan menunduk, perlahan kening keduanya menempel dan hidung lancip mereka saling bersentuhan.
Kini, tidak ada jarak yang memisahkan mereka seperti lima tahun terakhir.
“Abang minta maaf.” Aslan berbisik tepat di depan wajah Sydney.
“Abang jahat.” Sydney melirih, pendar matanya menyiratkan banyak kekecewaan.
Jika sudah begini, bagaimana Aslan bisa meninggalkan Sydney lagi setelah satu minggu?
Aslan khawatir jika dirinya menghilang lagi—Sydney pasti akan lebih menderita.
Semestinya ia tidak memenuhi keinginan mami Luna.
Maminya Sydney itu tidak tahu saja kalau ada monster di dalam diri Aslan—yang bisa merusak putrinya dan sedang berusaha Aslan jinakan sendiri karena ia juga menyayangi mami Luna.
Satu tangan Aslan menangkup sisi wajah sang gadis.
Sedangkan satu tangannya lagi masih mengunci kedua tangan Sydney di atas kepala.
Tidak ada yang bersuara selama beberapa detik.
Sydney juga tidak lagi meronta, matanya terpejam menikmati bagaimana deru napas Aslan menerpa wajahnya.
Ia rindu harum napas Aslan dan aroma tubuh pria itu.
Sydney rindu diperlakukan layaknya ratu oleh Aslan, ia rindu dengan perhatian dan Sydney rindu bagaimana tubuh mereka saling menempel ketika berpelukan.
Akan terasa hangat dan selalu ada nyaman, menjadikan Sydney gadis paling beruntung di dunia ini.
“Sydney.” Aslan menggeram.
Aslan melepaskan cekalan tangannya lalu merengkuh pinggang Sydney, menjadikan nyata apa yang baru saja Sydney bayangkan.
Dada Sydney mendesak dada Aslan yang bidang.
Kepala Aslan mulai bergerak miring lalu kecupan hangat ia berikan di sudut bibir Sydney.
Sydney menelan saliva, ia juga merindukan kecupan Aslan tapi kenapa rasanya berbeda.
Sesuatu dari dalam tubuhnya bereaksi saat bibir Aslan mengenai sudut bibirnya.
Sydney tidak mengerti dengan perasaan asing itu tapi ia menyukainya.
Setelah menjauhkan wajahnya, Aslan menyerukan wajah di leher Sydney.
“Abang kangen banget sama kamu.” Aslan berbisik lantas memberikan banyak kecupan di sana membuat Sydney meremang.
Mata Sydney terpejam, napasnya kembali memburu.
Dengan kekuatan penuh—Sydney mendorong dada Aslan sampai pria dengan tubuh tegap itu mundur satu langkah dengan ekspresi bingung.
Sydney menarik langkah menjauh setelah sebelumnya memberikan tatapan tajam kepada Aslan.
Lima tahun pria itu menghindarinya kemudian datang tiba-tiba dan hanya meminta maaf—tentu saja Sydney tidak terima.
Apa yang sudah Sydney perjuangkan agar bisa bertemu Aslan lima tahun lalu dan usahanya yang begitu keras untuk menahan rindu tidak bisa dibayar hanya dengan kata maaf saja.
Aslan mengembuskan napas panjang, menghempaskan bokongnya di sisi ranjang lalu menangkup wajah dengan tangan.
“Sydney … Sydney … Sydney ….” Aslan menyebut nama Sydney seperti merapal mantra.
Pria itu memejamkan mata tapi yang muncul di benak Aslan adalah lekukan tubuh Sydney, dua gundukan besar di dadanya yang menyembul dari balik bustie dan harum tubuh Sydney yang membuatnya bergairah.
Ini gila!
Seharusnya sebagai kakak sepupu, ia melindungi Sydney bukan malah ingin menidurinya.
***
“Sydney, Bang Aslan mana?” Mami Luna bertanya.
Langsung memburu Sydney yang baru saja terlihat kembali ke venue.
“Mi … makasih hadiah ulang tahunnya.”
Kalimat yang diucapkan Sydney berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang menyimpan banyak kecewa kepada sang mami.
Beberapa tahun ini Sydney berjuang untuk melupakan Aslan, menyingkirkan pria itu dari hatinya seperti yang dilakukan Aslan lebih dulu kepadanya.
Lalu sekarang, sang mami malah mendatangkan pria itu kembali di saat ia sudah mulai terbiasa tanpa Aslan.
“Sydney!” Mami Luna berseru memanggil Sydney.
Gadis itu melangkah begitu cepat ke bagian depan Villa.
Sagara yang melihat hal tersebut langsung menghampiri mami Luna.
“Biar Saga susul ya, Tan … Tante tenang aja, nanti Saga anterin Sydney ke rumah.”
“Makasih ya Saga.”
Mami Luna menggenggam tangan Saga dan pria itu tersenyum sambil mengangguk.
Mami Luna pun akhirnya melepaskan Saga agar bisa menyusul putrinya.
Pesta ulang tahun Sydney tetap berjalan meski tanpa kehadiran si pemilik acara karena Papa Arkatama mengundang band ternama di kota itu untuk memeriahkan pesta ulang tahun sang putri tercinta.
Para tamu undangan enggan meninggalkan pesta, mereka mengabaikan drama keluarga Devabrata tadi dan memilih menikmati konser gratis di pesta ulang tahun Sydney yang kedua puluh satu.
***
“Syd … Sydney.”
Sagara berhasil menyusul Sydney, menarik tangannya tiba-tiba membuat Sydney tidak bisa mengendalikan tubuhnya dan berbalik menabrak dada Sagara.
Detik berikutnya Sydney merasakan tubuhnya dilingkupi Sagara.
“Bawa aku pergi, Saga.” Sydney memohon.
“Kita pergi.”
Sagara mengurai pelukan lalu menuntun Sydney ke mobilnya.
Mobil Sagara melesat meninggalkan pesisir pantai dengan tujuan kembali ke kota.
Hening terasa menyiksa Sagara sepanjang perjalanan.
Walau Sagara yang berinisiatif memberi Sydney waktu agar lebih tenang, membiarkan Sydney melamun menatap ke luar jendela.
Ia tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi antara Sydney dan kakak sepupunya tapi jika dilihat dari sikap Sydney yang begitu keras melakukan penolakan terhadap Aslan—membuat Saga berpikir jika Aslan telah menorehkan luka yang dalam di hati Sydney.
Kemudian ingatan Sagara ditarik paksa pada saat seminggu lalu ia mengantar Sydney membeli kue ulang tahun.
Saat itu Sydney memandangi kue berbentuk kepala tokoh kartun Donald Bebek dan katanya ia teringat seseorang yang menyukai tokoh kartun itu tapi sekarang Sydney sudah membencinya.
Apakah orang yang dimaksud adalah Aslan?
Bazegha Aslan Rami, Sagara langsung mencari tahu tentang pria itu melalui Google saat Azriel memberitau nama lengkapnya.
Dan ia tidak menemukan nama orang tua Aslan di Wikipedia, hanya ada informasi mengenai pendidikan dan sepak terjang Aslan dalam membangun bisnis marketplace yang sukses di beberapa Negara di Asia.
Aslan juga tidak memakai nama Devabrata di belakang namanya tapi jelas-jelas Azriel mengatakan kalau Aslan adalah anak dari Aiden Devabrata.
Semua yang baru diketahui Sagara tersebut menghasilkan curiga dan waspada kepada pria bernama Aslan.
“Sydney,” panggil Sagara sesaat setelah menginjak pedal rem mengikuti mobil di depan yang berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah.
Mereka baru saja memasuki kota, jadi kurang lebih lima jam lamanya Sydney melamun, tidak bergerak sedikitpun dari posisinya.
“Ya?” Sydney menoleh ke samping.
“Kamu enggak apa-apa?” Sagara mengangkat tangan mengusap pipi Sydney dengan punggung jarinya.
“Anter aku pulang,” pinta Sydney dengan suara parau.
“Oke, kita pulang.”
Sebenarnya Sagara memiliki jutaan pertanyaan untuk Sydney tapi sepertinya sang kekasih masih belum bisa diajak bicara jadi Sagara menahannya hingga Sydney lebih tenang.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di kediaman Arkatama Devabrata.
Sagara membantu Sydney turun dari mobil mengingat sang kekasih masih menggunakan gaun Princess yang lebar dan berat.
“Boleh aku anter ke kamar?” Sagara meminta ijin saat mereka sudah tiba di teras.
Sydney mendongak menatap Sagara, kekasihnya pasti membutuhkan penjelasan tentang yang terjadi hari ini.
Betapa jahatnya Sydney karena malah tenggelam sendirian dalam lamunan, mengabaikan Sagara selama lima jam perjalanan.
“Boleh … kita makan malem bareng ya?”
Sagara tersenyum sangat lebar. “Dengan senang hati,” balas pria itu kemudian.
Sydney menerima bantuan kekasihnya menaiki tangga hingga tiba di kamar.
“Mau dibantuin buka sleting?” Sagara menawarkan diri.
Sydney mengerjap, ia ragu. Belum pernah ada pria yang melakukan itu untuknya bahkan papinya sendiri.
“Enggak apa-apa kalau kamu keberatan, aku Alan minta pelayan wanita untuk membantu kamu.”
Sagara memutar badan hendak keluar kamar namun urung tatkala Sydney memanggilnya.
“Saga.”
“Ya?”
Sekarang Sydney yang membalikan badan, mengumpulkan rambut di pundak sebelah kiri agar Sagara mudah membukakan sleting gaunnya.
Sagara mendekat, tangannya terangkat dan sangat perlahan membuka sleting gaun di punggung Sydney.
Pria itu menelan saliva melihat kulit putih nan mulus milik sang kekasih.
“Aku tunggu di luar ya?” bisik Sagara tepat di telinga Sydney dengan dadanya merapat ke punggung Sydney yang telah terbuka.
Napas pria itu mengenai leher Sydney menghasilkan bintik halus di tengkuknya.
Sagara pergi setelah sebelumnya memberi kecupan di pipi Sydney yang kini membeku di tempatnya berdiri.
Sydney tercenung mencerna apa yang baru saja terja.
Satu hari ini, dua pria melakukan sesuatu kepadanya yang hampir serupa tapi hanya Aslan yang mampu membuat sesuatu di dadanya berdebar.
***
Sagara dan Sydney tidak banyak bicara saat makan malam.
Kekasih tampannya itu juga tidak menyinggung perihal kejadian tadi siang di pesta.
Tapi Sydney merasa berhutang penjelasan kepada Sagara.
Sagara sekarang sudah resmi menjadi kekasihnya dan sudah semestinya mengetahui tentang Aslan.
“Aku akan pulang setelah kamu tidur.”
Sagara mengantar Sydney ke kamar untuk beristirahat.
Posisi Sydney sekarang bersandar pada headboard dan Sagara duduk di sisi ranjang menghadap Sydney.
Sagara menarik selimut hingga pinggang Sydney.
“Saga?”
“Ya?”
“Kenapa kamu enggak tanya tentang kejadian tadi siang?”
Bukannya menjawab—Sagara malah tersenyum.
Tangannya terangkat membingkai sisi wajah Sydney dan memberikan usapan ringan dengan ibu jarinya.
“Aku nunggu kamu yang cerita duluan.”
Sydney melapisi punggung tangan Sagara di pipi lalu mengubahnya menjadi sebuah genggaman dan menyimpannya di atas pangkuan.
“Pria yang tadi ngerusak pesta aku itu namanya Aslan … Bang Aslan itu kakak sepupu aku … Om Aiden ayah biologisnya dan mama Shaqila adalah ibu kandungnya … dan Tante Shaqila mengandung Bang Aslan sewaktu Tante Shaqila masih pacaran sama papa Arkatama.”
Sagara menaikkan ke dua alisnya merespon informasi yang baru saja ia dengar dari Sydney.
Pria itu tampak terkejut dengan cara yang sialan tampan.
“Pasti terjadi huru-hara sewaktu masalah itu terbongkar.” Sagara menebak.
Sydney menganggukan kepala. “Karena masalah itu terbongkar saat papi sama mami udah menikah dan tante Shaqila mengawalinya dengan kebohongan … mengatakan kalau Bang Aslan adalah anak papi.”
“Okeeee.” Sagara semakin takjub dengan kisah yang diceritakan Sydney.
“Saat itu, hanya mami pihak netral yang menyayangi Bang Aslan dengan tulus … mami terikat perasaan emosional dengan Bang Aslan, saat itu mami sedang mengandung aku kemudian aku lahir dan Bang Aslan jadi sayang banget sama aku … hanya aku yang dia sayang, sampai membuat iri Danisa-anak tante Shaqila dari Om Andi dan kak Nathan dan Nala-anak dari Om Aiden dan tante Raisa ….” Sengaja Sydney menjeda agar Sagara bisa mencerna informasi tersebut dengan baik.
Detik kedua, Sagara menganggukan kepalanya. Pria itu telah mengerti.
“Aku biasa mendapat kasih sayang berlebihan dari bang Aslan, tapi lima tahun yang lalu tiba-tiba aku enggak bisa menghubungi bang Aslan … dia seperti menghilang padahal aku tahu dia di mana, aku datang ke Indonesia hanya untuk nemuin dia di kantornya tapi enggak sekalipun dia mau nemuin aku … semua usaha udah aku lakuin untuk mencari tahu alasan dia menghindar tapi Bang Aspan enggak pernah kasih tahu aku, mungkin masa sayangnya sama aku telah berakhir atau mungkin dia punya kekasih dan kekasihnya ingin menguasai Bang Aslan sepenuhnya aku enggak pernah tahu, astaga.”
Sydney menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
“Sampai akhirnya dua tahun terakhir aku memutuskan untuk membenci dia agar bisa dengan mudah ngelupain dia sekalian,” sambung Sydney setelah menjauhkan kedua tangannya dari wajah.
Entah kenapa Sagara lega mendengar penjelasan Sydney, apa mungkin karena sekarang ia yakin kalau hubungan antara Aslan dan Sydney hanya sebatas kakak sepupu dan adik sepupu.
Padahal tadi sepanjang perjalanan—Sagara berpikir Aslan adalah anak angkat dan terjadi kisah asmara di antara mereka yang berakhir Aslan mengecewakan Sydney.
“Jadi kamu beraksi seperti itu karena kedatangan Aslan membuat usaha keras kamu untuk ngelupain dia jadi sia-sia?” Sagara menebak.
Sydney mengangguk membenarkan, wajahnya mengerut dan bibirnya mengerucut, sungguh sangat menggemaskan dalam pandangan Sagara.
Sagara mengusak puncak kepala Sydney. “Sama keluarga enggak boleh begitu, dia kakak kamu … dia pasti punya alasan kenapa menghindar … kamu harus dengar alasan Aslan.”
Sagara malah menasihati Sydney seperti itu, dia tidak tahu saja kalau kedekatan Aslan dengan Sydney bisa membuatnya kehilangan sang kekasih.
“Gitu ya?” Sydney bergumam, dia sedang mempertimbangkan saran Sagara.
“Kalau dia datengin kamu dan berusaha menjelaskan … kamu harus dengerin, kalau aku nilai dari cerita kamu tadi … apa yang dia lakukan pasti demi kebaikan kamu.”
Memang iya, Aslan menjauh karena khawatir tidak bisa menahan diri untuk tidak meniduri Sydney seperti yang sering dibayangkannya, sementara Aiden, Luna dan para orang tua mewanti-wanti agar jangan sampai ada hubungan asmara di antara mereka.
Sebetulnya tidak ada larangan dalam agama sekalipun bila Aslan ingin menikahi Sydney tapi bukan itu masalahnya.
Menurut para orang tua, Aslan yang memiliki darah Devabrata sebaiknya menikahi orang lain yang tidak memiliki darah yang sama dengannya agar keturunan mereka berkembang.
“Sydney ….”
Suara berat Sagara membawa Sydney dari lamunannya tentang Aslan.
“Ya?”
“Kamu istirahat ya … besok pagi mau aku jemput?”
Tanpa segan Sagara menarik pinggang Sydney untuk membenarkan posisi tidurnya.
Sydney sempat terhenyak tapi kemudian bibirnya tersenyum kepada Sagara.
Ia belum pernah punya kekasih karena dulu Aslan melarangnya tapi ternyata apa yang kekasihnya ini lakukan tidak jauh beda dengan yang Aslan lakukan.
Sekarang kepala Sydney telah tenggelam dalam bantal yang empuk, Sagara menaikkan selimut hingga pundak Sydney.
“Enggak usah, aku pergi sama papi.”
“Oke, aku jemput pulangnya.” Sagara sedang mencari cara agar bisa bertemu Sydney.
“Aku cuma sebentar di kantor … beres-beres barang aku aja, aku akan pindah ke Indonesia.”
“Oh ya? Kapan kamu pergi?”
“Mungkin minggu depan.” Sydney juga tidak yakin, karena katanya COO yang lama harus menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum dipindahkan ke tempat lain.
“Kamu … kapan kembali ke Indonesia?”
“Aku selesaikan satu proyek dulu di sini setelah itu menyusul kamu ke Indonesia.”
“Berapa lama?”
Belum apa-apa Sydney sudah rindu. Gadis itu senang karena mendapat pengganti Aslan yang sama sayangnya seperti pria itu.
“Satu atau dua bulan … kamu mau tunggu aku, kan?”
Sydney mengangguk penuh keyakinan.
Sagara mencondongkan tubuhnya memeluk Sydney, mengusap kepala bagian belakang sang kekasih lembut.
“Aku pulang ya?” Sagara mengurai pelukan.
Matanya tertuju pada bibir Sydney yang tanpa lipstik tapi masih semerah strawberry.
Sydney mengangguk dan tanpa ia duga, wajah Sagara kembali mendekat lalu mencium bibirnya.
Mata Sydney sontak membulat namun ia tidak menolak karena tahu Sagara memiliki hak untuk menciumnya, pria itu adalah kekasihnya.
“Itu first kiss aku.” Sydney mengerucutkan bibir, wajahnya memberengut kesal yang dibuat-buat.
“Waaahh ….” Sagara terlihat takjub sekaligus bahagia.
***
Setelah pesta selesai, Ravendra Devabrata sang kepala suku meminta seluruh keluarganya berkumpul di aula utama Villa.
Aslan juga ada di sana setelah tadi menyapa satu persatu keluarganya.
Danisa yang duduk di sebrang Aslan sedari tadi menatap kakak satu ibunya dengan sorot mata asing.
Ia tidak lagi mengemis perhatian Aslan, hatinya sudah babak belur oleh perlakuan abai Aslan.
Sama dengan Sydney, Danisa juga sedang berusaha membenci Aslan meski akan selalu berakhir dengan rasa benci terhadap Sydney.
“Maafin Luna ya … gara-gara Luna, pesta ini berantakan.”
Luna meminta maaf kepada seluruh keluarga karena tindakan impulsifnya telah membuat pesta ini berantakan.
“Abang yang salah, harusnya Abang enggak datang.”
Aslan menggenggam tangan Luna yang berada di atas pangkuan wanita itu menghasilkan toleh dari yang bersangkutan.
Bila di masa lalu Luna akan selalu membela Aslan, sekarang gantian Aslan yang akan membela Luna.
“Enggak ada yang benar dan salah, kamu sekarang sudah kembali sama kita … mungkin tadi Sydney syok, tiba-tiba kamu datang di hari ulang tahunnya setelah lima tahun kamu menghilang.”
Ucapan Ravendra Devabrata yang tenang membuat suasana kembali hening.
“Aslan … karena kamu sekarang ada di tengah-tengah kita, bisa kita bicara? Semua laki-laki saja.”
Aslan tahu kalau apa yang akan dibicarakan adalah tentang menghindarinya ia selama ini lalu nasihat demi nasihat akan diberikan grandpa, Papa Aiden, Om Andi dan papi Arkatama.
Pria itu tidak habis pikir, apa mereka tidak bosan menasihatinya padahal tahu ia tidak akan menurut jika menyangkut keberadaannya dalam Devabrata.
Meski begitu, kepala Aslan mengangguk menyetujui keinginan sang grandpa.
Satu persatu para laki-laki meninggalkan living room berpindah ke ruang baca.
Shaqila beranjak dari kursinya mendekati Luna. “Makasih ya Lun, karena kamu—aku jadi bisa bertemu Aslan … tapi maaf … pesta Sydney jadi berantakan.”
Wanita yang melahirkan Aslan ke dunia itu tampak menyesal, terlihat dari ekspresi wajahnya.
Tadi Shaqila sempat memeluk Aslan meski tidak mendapat balasan pelukan dari putranya, setidaknya rindu yang selama ini ia pendam bisa terbayarkan.
“Enggak apa-apa, Tan … tadi pesta tetap lanjut tanpa ka Sydney, untung papi berhasil undang banyak band terkenal Australia … pesta kak Sydney udah kaya konser,” celetuk Azriel yang selalu bisa menenangkan.
Anak muda itu merangkul pundak maminya, tidak ingin kalah dari Aslan yang tadi menggenggam tangan Luna.
“Kenapa kamu diem aja tadi?” Nala bertanya setengah berbisik kepada Danisa.
“Terus kak Nala pengen liat aku gimana? Kayang? Jumpalitan?” ketus Danisa melampiaskan kesalnya kepada Nala.
“Yaaa, kamu peluk kek … cium atau gelondotan di tangannya bang Aslan.” Nathan menimpali.
“Kak Nathan ‘kan tahu kalau bang Aslan cuma sayang sama Sydney.” Danisa melirih, raut wajahnya tampak menyedihkan.
Nala menarik pundak Danisa agar gadis itu merebahkan kepala di pundaknya.
“Udah lah … Nathan sama Ziel juga sayang sama kamu.”
Tapi sayangnya bujukan Nala tadi tidak berpengaruh apapun bagi Danisa yang sering kali dikecewakan Aslan.
Meski ia merasakan kasih sayang Nathan, Nala dan Azriel tapi tetap saja ada ruang kosong di hatinya dan belum ada satu pun yang mampu mengisinya.
Chapter 8
“Makasih ya Saga, udah anterin Sydney pulang ke rumah … maaf jadi harus merepotkan kamu.” Luna merasa tidak enak hati kepada calon menantunya.
Mami Luna sedang berbicara dengan Sagara melalui sambungan telepon.
“ …. “
“Kalau pulangnya terlalu malem … kamu boleh nginep di rumah, nanti tante minta asisten rumah tangga untuk merapihkan kamar tamu.”
“ …. “
“Oke, makasih juga udah temenin Sydney ya, Saga ….”
“ ….”
Luna lantas memutus sambungan telepon, ia lantas kembali ke living room karena para pria sudah keluar dari ruang baca.
Wanita cantik itu tidak mengetahui bila Aslan menguping percakapannya dengan Sagara.
Rahang Aslan mengeras, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh.
“Bang … mau ke mana?” Azriel berlari menyusul Aslan yang baru saja melewati pintu utama Villa.
Azriel berhasil menyusul Aslan lalu mencekal tangannya dan yang bersangkutan menghentikan langkah, pria itu kemudian menoleh memberikan tatapan tajam pada Azriel.
“Bang … mami Luna, om Aiden sama tante Shaqila masih ingin ngobrol sama Bang Aslan … Danisa, kak Nathan sama kak Nala juga kangen sama bang Aslan … jangan pulang dulu lah, Bang … memangnya Abang enggak kangen sama kami?”
Azriel berpikir jika Aslan akan langsung pulang ke Indonesia.
Tidak, Aslan akan menyusul Sydney pulang ke rumah mami Luna dan papi Arkatama.
Mendengar Sydney sedang bersama Sagara membuat darah Aslan mendidih.
Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Sagara dan Sydney tanpa adanya kedua orang tua mereka.
“Abang mau ketemu Sydney.” Aslan mengatakan yang sebenarnya.
“Tapi Abang enggak pulang, kan?”
Aslan menggelengkan kepala. “Abang ambil cuti seminggu … tapi Abang harus ketemu Sydney sekarang.”
Azriel mengembuskan napas panjang. “Enggak bisa besok, Bang? Ini sudah malem … kita semua besok pulang.” Azriel masih mencoba membujuk Aslan.
“Ziel … Abang harus ketemu Sydney sekarang.”
Aslan menghela pelan tangan Azriel.
“Bang ….” Aslan menoleh mendengar Nathan melangkah mendekat.
“Adik Abang bukan cuma Sydney … ada Danisa sama Nala, gue dan Ziel … selagi semua keluarga ngumpul—lo enggak ingin ngobrol sama kita, cerita tentang ngapain aja lo selama lima tahun terakhir.” Nathan juga ikut membujuk Aslan, bukan untuk dirinya tapi untuk Danisa karena Nala sudah tidak peduli lagi dengan Aslan.
“Jagain Nala sama Danisa buat gue,” pinta Aslan pada Nathan kemudian mengarahkan tatapannya pada Azriel.
“Kamu juga jagain mami kita ya.”
Dan Aslan benar-benar pergi, tanpa mau peduli dengan perasaan keluarganya.
Pria itu juga tidak pamit kepada para orang tua.
Semenjak bisa menghidupi diri sendiri—Aslan tidak peduli lagi kepada keluarganya dan bersikap seenaknya.
Sikap Aslan itu seringkali menyakiti hati keluarga Devabrata dan mama Shaqila yang begitu menyayanginya.
Mobil yang disewa Aslan selama di Australia melaju kencang keluar dari halaman Villa menyisakan debu yang menguap ke udara.
Azriel dan Nathan saling melempar tatap.
“Aku akan bilang enggak tahu kalau para orang tua tanya,” cetus Azriel yang jengah dengan sikap keras kepala Aslan.
“Aku juga,” gumam Nathan, memutar badan lalu masuk ke dalam Villa.
***
Sydney terjaga dari lelapnya tatkala merasakan engap di dada dan kasur quen size yang ia tiduri seakan mengecil membuatnya sesak.
Gadis itu bergerak seraya mengerjapkan mata menyesuaikan penglihatan dengan situasi kamar yang temaram, mencari tahu apa yang terjadi dengannya.
Seorang pria memeluknya dari belakang begitu posesif, nafas pria itu menderu kasar menerpa tengkuk Sydney.
Sydney yang tidak bisa membalikan badan karena dikunci oleh pelukan pria itu berusaha berpikir jernih.
Tidak mungkin orang jahat bisa masuk ke rumahnya yang dijaga sekuriti, jendela kamarnya pun tinggi karena berada di lantai dua tanpa balkon dan pijakan.
“Eemmmhh.” Pria di belakang Sydney mengerang parau memberitahu Sydney jati dirinya.
Jantung Sydney menurunkan tempo debaran setelah mengetahui Aslan yang memeluk dari belakang.
Ia berusaha melepaskan tangan Aslan yang mengungkung tubuhnya namun setelah terurai—Aslan mengeratkan pelukan kembali.
“Bang! Lepasin!” Sydney meronta.
Aslan melepaskan Sydney hanya untuk membuat gadis itu berbalik menghadapnya dengan satu gerakan mudah.
“Abang ngantuk, Sydney … kasih waktu Abang beberapa jam untuk tidur setelah itu kita bicara dan kamu boleh marah, mukul, nendang atau cakar Abang.”
Aslan mengatakannya sambil memejamkan mata, pria itu sangat lelah dan mengantuk setelah mengemudi selama kurang lebih lima jam di tengah malam.
Kedua tangan kekar Aslan mendekap erat tubuh Sydney, sehingga wajah Sydney terbenam di dadanya.
Sydney teringat ucapan Sagara yang mengatakan bila mungkin Aslan memiliki alasan kenapa menghindar selama lima tahun terakhir.
Oke, Sydney akan memberikan kesempatan untuk Aslan menjelaskan tapi bukan berarti ia telah memaafkan kakak sepupunya itu.
Tidak membutuhkan waktu lama, Sydney bisa merasakan napas Aslan berubah teratur menerpa puncak kepalanya.
Mata Sydney kembali terpejam, akhirnya ia bisa merasakan tidur dalam pelukan Aslan lagi.
***
Tok …
Tok …
“Nona … sarapan sudah siap.” Suara asisten rumah tangga membangunkan Sydney dari tidurnya.
“Iyaaa … bentar lagi turun.” Sydney bergumam dengan mata terpejam.
Kantuk masih mendera gara-gara Aslan mengganggu tidurnya tadi malam dan ia kesulitan untuk melanjutkan tidur kembali.
Mengingat alasan masih mengantuk saat ini membuat Sydney membuka matanya lebar-lebar dan wajah tampan pria itu memenuhi pandangan mata Sydney.
Aslan sudah bangun lebih dulu dan sekarang sedang menatapnya dengan ekspresi datar.
Beberapa menit lamanya mereka saling menatap tanpa suara.
Tatapan Aslan begitu teduh sedangkan Sydney masih menyimpan kecewa.
“Pagi,” ucap Aslan bergumam.
Sydney menatap tajam Aslan sampai terdapat kerutan di antara alisnya.
Aslan balas tersenyum tipis, tangannya terangkat hendak merapihkan rambut di sisi wajah Sydney yang langsung dihela oleh yang bersangkutan.
Seakan senang melihat Sydney yang kesal dan melakukan penolakan—Aslan beralih mengapit dagu Sydney dengan jarinya membuat sang gadis mendongak sedangkan ia pun merunduk hingga hidung lancip mereka saling bersentuhan.
Sydney berusaha meronta tapi bukan hanya tangan Aslan, kedua kaki Aslan telah mengunci pergerakannya.
“Abang maunya apa sih?” Sydney bertanya ketus.
“Mau minta maaf.” Aslan langsung menjawab.
“Abang tahu kesalahan Abang apa?”
Cup.
Dengan lancang Aslan mengecup hidung Sydney dan langsung mendapat tatapan peringatan dari sang gadis.
“Abang menghindar selama lima tahun.” Aslan pun menjawab.
“Bukan hanya itu tapi Abang juga ngerusak pesta ulang tahun Sydney ….”
“Maaf.” Aslan berbisik, pendar di matanya mengabarkan penyesalan.
“Kenapa tiba-tiba muncul?” Sydney melayangkan satu pertanyaan alih-alih menjawab permintaan maaf Aslan.
“Mami Luna minta Abang datang untuk jadi kado ulang tahun ka—“
“Harusnya Abang enggak usah datang,” sambar Sydney emosional.
“Tapi Abang jug—“ Kalimat Aslan terjeda lagi.
“Abang tuh egois!”
“Sydney … Ab—“
“Seenaknya menghindar terus tiba-tiba muncul.”
Aslan menengadahkan kepala kemudian mengembuskan napas jengah karena tidak diberi sekalipun kesempatan untuk menjelaskan.
Semua kalimat penjelasannya terus-terusan di jeda oleh Sydney.
“Oke, Abang sal—“
“Abang enggak bisa seenaknya menghindar terus dat—“
Kali ini Aslan yang menyela kalimat Sydney dengan sebuah kecupan di bibir.
Aslan menekan bibirnya di bibir Sydney sebelum akhirnya melumat bibir bagian bawah sang gadis.
Sontak saja mata Sydney membulat, jantung berdebar kencang—ia pun meronta karena berpikir kalau ini adalah sebuah kesalahan.
“Emmm ….” Sydney memprotes.
Baru setelah puas—Aslan berhenti mencium Sydney.
“Abang ….” Sydney melirih, menelan saliva, menatap nanar Aslan.
“Itu alasan Abang menjauh, karena Abang enggak bisa ngendaliin perasaan Abang sama kamu … Abang enggak bisa ngendaliin keinginan Abang untuk milikin kamu ... seutuhnya.”
Sydney tercenung, kelopak mata dengan bulunya yang lentik itu mengerjap lemah.
Ia bingung harus merespon seperti apa.
Sekarang Sydney mengerti kalau ungkapan cinta Aslan di paviliun Villa kemarin adalah sebuah perasaan asmara bukan lagi kasih sayang kakak kepada adiknya.
Karena seorang kakak tidak akan mencium bibir adiknya dengan gerakan paling romantis sampai menggunakan lidah hingga menghasilkan gairah.
Dan semenjak Sydney menjadi adiknya Aslan—sedekat apapun mereka—baru kali ini pria itu melakukannya.
***
Aslan membuka pintu mobil untuk Sydney, meski sang gadis memberengutkan wajah tapi tak urung masuk juga ke mobil Aslan.
Setelah Aslan mengatakan alasannya menghindar—di atas ranjang Sydney usai mencium bibirnya penuh damba—Sydney tidak bicara sepatah kata pun.
Aslan meminta Sydney mandi karena ia akan mengajak Sydney jalan-jalan untuk menebus masa lima tahun yang hilang di antara mereka.
Sydney mengikuti perintah Aslan, mandi lalu berpakaian bahkan Sydney sedikit merias wajahnya.
Entahlah, ada perasaan kalau dirinya harus terlihat cantik di depan Aslan padahal dulu Sydney akan sangat cuek sekali tidak mempedulikan penampilannya.
Tapi sebelum pergi mereka berdua melakukan sarapan terlebih dahulu dan selama sarapan pagi tadi—Sydney juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aslan jadi serba salah, ia tidak bisa membaca bagaimana tanggapan Sydney atas alasannya tadi.
Apakah Sydney kecewa karena pria yang ia anggap kakak ternyata mencintainya terlebih sudah ada pria lain di hati Sydney saat ini.
Mengingat hal tersebut Aslan mengeratkan cengkraman pada kemudi.
Atau Sydney sedang meraba perasaannya sendiri, mencari tahu apakah ia juga mencintai Aslan.
“Sydney,” panggil Aslan setelah mereka cukup jauh berkendara melewati tengah kota.
“Hem?” Sydney menoleh dari tatapannya ke luar jendela.
“Are You oke?” Aslan bertanya.
Sydney mendengkus geli. “Mana ada adik yang baik-baik aja setelah dicium bibir sama kakaknya dan setelah itu kakaknya mengatakan mencintainya sementara baru kemarin si adik ini ditembak cowok dan malamnya sebelum sang kakak datang—si adik memberikan first kiss-nya sama si pacar.”
Satu detik setelah Sydney berkata demikian—Aslan menginjak pedal gas dalam-dalam, kedua tangannya mencengkram kemudi erat sampai buku jarinya memutih.
Rahang Aslan mulai mengetat, ia sedang menahan amarah lantaran mendengar Sydney menyerahkan first kiss-nya pada Sagara.
Ya, Aslan tahu ‘si pacar’ yang Sydney maksud adalah Sagara.
“Jadi gue cuma telat beberapa jam dari si sialan Palmer itu.” Aslan mengumpat di dalam hati.
“Bang … awas Baaaang, ngapain ngebut-ngebut!” Sydney berseru menegur Aslan.
Memegang erat seat belt menggunakan kedua tangan.
Sydney ngeri dengan cara mengemudi Aslan di jalanan berkelok karena sekarang mobil sedang melaju kencang menuju dataran tinggi Blue Mountain.
Di sisi kanan mereka adalah jurang terjal, tidak bisa Sydney bayangkan kalau sedikit saja Aslan meleset membelokan kemudi maka nyawa mereka taruhannya.
“Baaaaaang!!!!” Sydney menjerit, kepalan tangannya memukul lengan berotot Aslan sekuat tenaga tatkala Aslan baru saja mematikan mesin mobil.
Mereka sudah tiba di Echo point.
Tapi melihat reaksi Aslan yang malah diam saja membuat Sydney segera menghentikan pukulan.
Karena biasanya Aslan akan terkekeh bila telah berhasil menggodanya sampai ketakutan seperti tadi.
Namun yang dilakukan Aslan sekarang adalah memberikan tatapan tajam lalu membuka pintu mobil dan turun tanpa mengatakan apapun.
Lima tahun berlalu, Sydney tidak mengenali kakak sepupunya lagi.
Sydney turun menyusul Aslan, membanting pintu kencang dan terdengar suara alarm mobil tanda pintu terkunci, berarti Aslan tahu kalau Sydney sudah turun tapi kenapa pria itu terus melangkah tidak mau menunggunya?
“Bang!!!
Sydney berseru kesal.
“Iiisssh … harusnya ‘kan aku yang marah … kenapa jadi dia yang marah?” Sydney misuh-misuh seraya melangkah waspada melewati jalur tracking bernama Prince Henry Cliff Walk.
Pantas saja Aslan memintanya menggunakan celana panjang dan jaket tebal juga sepatu khusus anti slip ternyata pria itu ingin membawanya hiking.
“Bang Aslan!!!” Sydney memanggil lagi.
Aslan terus melangkah tidak mempedulikan Sydney dan bodohnya Sydney malah mau saja mengikuti ke mana kaki Aslan melangkah walau masuk lebih jauh ke dalam hutan.
Blue Mountain terkenal dengan air terjunnya, banyak terdapat air terjun di sana dan yang paling terkenal adalah Wentworth Falls.
Aslan tidak akan membawa Sydney kesana karena membutuhkan perjalanan ekstrem sekitar empat sampai lima jam.
Pria itu membawa Sydney ke salah satu air terjun yang dilewati oleh jalur tracking mudah ini dan tidak kalah indah dari Wentworth Falls.
Aslan berdiri menatap air terjun menjulang di depannya.
Percikan dari air yang turun mengenai tubuhnya menghasilkan sensasi segar.
“Bang.” Sydney mendekat ke samping Aslan.
Dengan sekali gerakan Aslan melingkarkan kedua tangan di pinggang Sydney kemudian mengayunkan tubuh mungil itu hingga Sydney berada di depannya membelakangi air terjun.
Sydney yang terkejut dengan gerakan tiba-tiba Aslan refleks melingkarkan kedua tangan di leher pria itu sehingga kini tubuh mereka menempel tidak berjarak.
“Aba—“
Aslan membungkam bibir Sydney dengan bibirnya, satu tangan kekar pria itu yang tadi berada di pinggang Sydney kini berpindah ke belakang kepala Sydney untuk memperdalam ciuman tidak peduli Sydney tidak membalas ciuman itu.
Pria itu menekan bibirnya lalu melumat bibir Sydney bagian bawah kemudian beralih ke bagian atas, menghisapnya kencang dan baru berhenti ketika Sydney menepuk-nepuk pundaknya karena nyaris kehabisan napas.
Dada Sydney kembang kempis, dia menyimpan protes dan amarahnya sebentar karena sedang meraup oksigen untuk mengisi paru-paru.
Sementara itu Aslan mengusap bibir Sydney yang bengkak karena ulahnya.
“Jangan pernah kasih bibir kamu untuk cowok itu lagi.”
Aslan menggeram, tatapannya begitu tajam mengancam Sydney.
Sydney baru mengerti sekarang, kalau alasan Aslan marah tadi karena mengetahui Sagara menciumnya.
“Tapi Saga pac—“
Aslan tidak memberikan kesempatan Sydney membantah, dia mencium bibir Sydney lagi tapi sekarang dengan gerakan sangat lembut, memberikan kecupan-kecupan kecil sebelum akhirnya memagut kembali bibir Sydney membuat Sydney terbuai dan … membalasnya.
Sydney bisa merasakan Aslan tersenyum dalam ciuman, pria itu berpikir kalau ternyata Sydney memiliki perasaan yang sama.
Sayangnya, sang gadis langsung tersadar dan mengurai pagutan lebih dulu.
“Kita ….” Napas Sydney memburu.
“Enggak bisa ….” Sydney menelan saliva.
“Kaya gini, Bang … aku adik Abang … ayah kita, saudara kembar … kita … hiks … hiks ….”
Tangis Sydney lebih kepada kecewa karena Aslan mencintainya sebagai seorang pria bukan mencintainya sebagai kakak.
Namun lebih dari pada itu, ia juga kecewa pada dirinya sendiri yang malah lebih menikmati ketika berciuman dengan Aslan dari pada dengan Sagara-kekasihnya.
Aslan mendekap Sydney, melingkupi tubuh mungil Sydney dengan tubuhnya yang besar.
Iya, Aslan juga tahu tapi mau bagaimana lagi?
Dia juga tidak bisa mengendalikan apalagi melenyapkannya.
***
“Kalau mami tahu pasti pingsan,” gumam Sydney sambil menatap Three Sister yang merupakan gundukan tiga batu yang kelihatan seperti kakak adik.
Mereka sudah berada di sebuah restoran dengan view point Blue Mountain.
“Kalau papi tahu, Abang pasti dihajar abis-abisan.” Aslan menimpali.
“Kalau granpa tahu pasti kena serangan jantung.” Sydney berujar lagi, mengasumsikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila keluarga mengetahui mereka telah berciuman melibatkan hasrat dan asmara.
“Kalau grandma tahu pasti nangis histeris tujuh hari tujuh malam,” kata Aslan. Pria itu menatap lekat Sydney dari samping.
“Kalau om Aiden tau pasti marah besar terus gorok leher Abang.” Sydney masih menatap Three Sister.
“Kalau mama Qila tahu pasti masuk rumah sakit jiwa lagi.”
Mama Shaqila pernah dirawat di rumah sakit jiwa akibat konflik besar yang terjadi di masa lalu membuatnya jiwanya terguncang, tapi di sana—beliau bertemu dengan papa Andi dan jatuh cinta.
Seketika Sydney menoleh mendengar ucapan Aslan barusan.
“Terus kenapa masih Abang lakuin?”
“Abang enggak tau gimana caranya berhenti.”
Sydney merebahkan kepalanya di pundak Aslan.
Tangan Aslan bergerak menggenggam tangan Sydney, kini mereka sama-sama memandang view point Blue Mountain.
Berlama-lama menatap ke sana dengan pikiran berkecamuk dan perasaan gundah.
“Apa Abang harus menghindar lagi? Mungkin kali ini lebih … jauh?” Suara Aslan mengecil di akhir kalimat.
Genggaman tangan Sydney mengerat, memberitau Aslan bila ia tidak setuju dengan ide tersebut.
Kepala Sydney melesak lebih dalam hingga ke ceruk leher Aslan membuat Aslan memiringkan kepala menumpukan pipinya di kepala Sydney.
Sydney memikirkan Sagara, baru sehari mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dan ia sudah mengkhianati pria baik itu.
Bagaimana cara menjelaskan kepada Sagara agar pria itu mengerti dan mau melepaskannya?
Hari akan berganti malam saat Aslan membawa Sydney pulang.
Keduanya tidak lagi membahas masalah pelik di antara mereka, membiarkan apa yang terjadi tadi dan perasaan mereka berdua tetap tidak ketahui keluarga.
Sydney tertawa sumbang, ia teringat ucapan Nala di Villa.
“Kamu ngetawain apa?” Aslan menoleh sekilas, tatapannya kembali ke depan karena ia harus fokus mengemudi di jalan berkelok tanpa penerangan jalan, hanya mengandalkan lampu mobil.
“Kak Nala pikir aku mencintai Abang, dia kayanya curiga sama perhatian Abang yang berlebihan sama aku.”
Aslan memilih diam, tidak menanggapi.
“Bahkan aku enggak sadar sama perasaan aku sendiri,” sambung Sydney terdengar miris.
“Jadi perasaan kita sama?” Aslan hanya ingin memastikan.
“Jangan tanya itu dulu, aku masih bingung mikirin hubungan kita, terus gimana kita harus bersikap di depan keluarga dan Saga … aku udah jahat banget sama dia … kita baru jadian kemarin, Baaaaaang.”
Sydney mengerang sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
“Putusin dia!” titah Aslan seenak udelnya.
“Dia itu klien besar Deva Corp dan baru seminggu tanda tangan kontrak bisnis … gimana kalau Saga kesel dan batalin kontraknya? Terus aku harus bilang apa saat mutusin dia? Apa aku harus bilang kalau tiba-tiba kakak sepupu aku mencintai aku terus cium bibir aku dan minta aku mutusin dia, gitu?”
Sydney sedang dalam mode galak.
Lagi-lagi Aslan memilih tidak menanggapi, tidak mau tahu dengan apa yang akan dilakukan Sydney yang terpenting Sydney harus mengikuti perintahnya.
“Enggak adil buat Saga, Bang … dia pria baik-baik, dia mencintai aku.” Sydney melirih, menatap keluar jendela dengan sorot mata sendu.
Sydney jadi galau.
Chapter 9
Sydney nyaris terlonjak dan menjatuhkan ponsel yang ia genggam—ketika baru saja mengaktifkan ponselnya yang mati karena kehabisan baterai saat tiba-tiba nama Sagara muncul di layar.
Ibu jarinya refleks menggeser icon hijau di layar tersebut mungkin karena perasaan bersalah.
“Ha-halo?” Sydney menjawab panggilan telepon sambil terbata.
“Hai Beib,” sapa Sagara lembut dari ujung sana.
“Saga.” Sydney melirih, menjatuhkan bokong di sisi ranjang lalu mengusap wajahnya bersama hembusan napas panjang.
“Are You oke?” Sagara bertanya dengan nada khawatir karena mendengar embusan napas Sydney yang tidak biasa.
“Enggak, aku enggak baik-baik saja Saga … aku bingung harus bagaimana?” Sydney membatin.
“Aku … baru pulang.” Pada kenyataannya Sydney menjawab demikian.
“Seharian ini aku menghubungi kamu …. “ Kalimat Sagara menggantung.
“Maaf Saga, ponselku mati.”
Sydney terdengar sangat menyesal.
“It’s oke.” Dan suara Sagara begitu tulus menenangkan Sydney.
“So, dari mana aja seharian ini?” Sagara merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan satu tangan terlipat di belakang kepala.
Matanya menatap langit-langit kamar membayangkan wajah cantik sang kekasih.
“Aku sama bang Aslan ke Blue Mountain … aku memikirkan ucapan kamu kemarin, aku harus mendengar penjelasannya ‘kan, Saga?”
Sydney sedang mencari pembenaran atas apa yang dilakukannya bersama Aslan hari ini.
Sagara memang menyarankan agar Sydney mendengar penjelasan Aslan atas menghindarnya pria itu selama lima tahun terakhir, bukan menyarankan Sydney membalas ciuman kakak sepupunya.
“Yup, kamu udah mendapat penjelasannya sekarang?” Sagara balas bertanya.
“Iya, udah ….”
“Kamu udah enggak marah sama Abang kamu lagi, kan?”
“Enggak.”
“Baguuuus, gitu donk … kakak adik enggak boleh marahan … kamu harus bersyukur karena punya kakak dan adik, aku anak tunggal … sepi rasanya hidup kalau enggak ada kamu.”
Sagara mengakhiri kalimatnya dengan sebuah gombalan receh.
Sydney melepaskan kekehan singkat, hatinya kian didera perasaan bersalah kepada Sagara.
“Saga?” panggil Sydney lembut.
“Ya sayang?” Sagara menjawab sama lembutnya membuat hati Sydney terasa diremas kuat.
Ada jeda cukup lama yang terisi dengan bingung.
Sydney tidak tahu bagaimana memutuskan hubungan asmaranya dengan Sagara, ia tidak ingin melukai perasaan pria itu tapi melanjutkan hubungan ini juga tidak benar karena pasti ia akan mengkhianati Sagara.
“Baby? Kamu ngantuk ya?”
Sagara seakan memberi jalan bagi Sydney untuk memutuskan sambungan telepon agar ia bisa berpikir lebih dulu.
“Iya ….”
“Oke, sleep well Baby … dream about me.”
“Bye Saga.”
“Bye Love.”
Sambungan telepon terputus, Sydney menjatuhkan punggungnya ke atas ranjang dengan kedua kaki menjuntai ke lantai.
Ponselnya ia dekap di dada.
Sydney memejamkan matanya. “Saga … maafin aku …,” gumam Sydney yang kini dilanda galau tingkat Dewa.
Setelah mengantar Sydney ke rumah, Aslan sempat masuk untuk makan malam dan berbincang sebentar dengan mami dan papi.
Aslan mengatakan akan menginap di rumah utama karena papa Aiden dan mama Shaqila katanya menginap semalam lagi di sana.
Ravendra-sang kakek sudah mewanti-wanti agar Aslan memperbaiki hubungannya dengan Aiden dan Shaqila juga adik-adiknya.
Jadi untuk menghormati sang kakek yang selalu memperlakukannya dengan baik, akhirnya Aslan setuju untuk menginap di rumah utama.
Dan sebelum pergi, pria itu sempat mengatakan akan menjemput Sydney di kantor esok hari sedangkan Sagara pasti juga akan menjemputnya.
Sydney menggerakan kepala ke kiri dan ke kanan seraya memejamkan matanya erat.
“Aduuuuhhh … gimana doooonk?” Sydney mengesah frustrasi.
***
“Kamu ikut Papi ke kantor, sayang?”
Arkatama menyapa putrinya yang baru saja turun dari lantai dua menggunakan pakaian untuk kerja.
Sydney mengecup pipi Arkatama lalu maminya dan duduk di samping beliau.
Sydney sudah melupakan pestanya yang berantakan, kini pikiran gadis itu tersita oleh hubungannya yang rumit antara dirinya, Aslan dan Sagara.
“Iya, Pi … Sydney mau beresin barang-barang terus mau traktir Shelby sama Brandon … bikin pesta perpisahan kecil-kecilan pas makan siang nanti.”
Sydney menuang cream soup ke dalam mangkuk kosong yang telah disediakan di depannya.
“Nanti pulangnya minta dijemput Pak Deni ya.”
Sydney mengangguk saja, mulutnya penuh dengan cream soup.
Ia tidak memberitau sang papi kalau ada dua pria yang mencintainya akan menjemput.
“Oh ya, Pi … Sydney titip Shelby sama Brandon ya … jangan dipecat kalau buat kesalahan yang enggak terlalu fatal … terus kalau berprestasi—naikin lah jabatannya, ya Pi … ya Pi.”
Sydney melepaskan sendok demi menyatukan kedua tangan di depan dada agar permohonannya lebih dramatis.
“Mana bisa? Kakak masukin mereka ke perusahaan tanpa seleksi aja udah nepotisme namanya … terus sekarang mau naikin jabatan mereka? kasian nasib karyawan yang bener- bener berprestasi dan seharusnya menempati posisi mereka.”
Azriel si paling bijaksana akan selalu menyebalkan bagi sang kakak.
Bibir Sydney mencebik, matanya langsung mendelik sebal.
“Enggak asyik ah kamu mah.” Sydney menggerutu.
“Kalau nanti aku lulus dan pegang jabatan COO di perusahaan papi, akan aku pecat dua sahabat Kak Sydney.”
Azriel mengancam, pria muda itu senang menggoda sang kakak.
“Papiiii … Mamiiiii ….” Sydney merengek mengadu kepada kedua orang tuanya.
Sedari tadi mami Luna diam saja karena tahu kedua anaknya akan meributkan hal sepele.
Sedangkan Arkatama Devabrata hanya tertawa tanpa membela siapapun.
“Oh ya, katanya Aslan satu minggu menghabiskan masa cutinya di sini?” Arkatama bertanya kepada istrinya.
“Iya.” Tapi Sydney yang menjawab.
“Jadi, kak Sydney udah baikan sama Bang Aslan?” celetuk Azriel bertanya.
Luna mengedipkan matanya memberi kode pada Azriel agar tidak membahas hal itu.
“Mami enggak usah ngedip-ngedip gitu.” Sydney bergumam sambil menunduk menekuni sarapan paginya.
“Aku udah enggak apa-apa kok …,” sambung Sydney lalu mendongak menatap maminya sambil tersenyum tipis.
“Sekali lagi Mami minta maaf ya, sayang.” Luna masih belum memaafkan dirinya karena telah merusak pesta sang putri.
“Mi … jangan minta maaf terus, Sydney jadi enggak enak hati.”
Sydney menggenggam tangan Luna di atas meja.
“Makasih ya kado ulang tahunnya, Sydney ‘suka’ banget.”
Tanpa ada yang menyadari arti suka yang sebenarnya dari kalimat Sydney barusan.
“Sengaja Mami memohon sama abang Aslan agar dia mau datang ke pesta ulang tahun kamu … karena bang Aslan sayang banget sama kamu, waktu kamu kecil dia selalu jagain kamu … dia enggak akan ngebiarin siapapun nyakitin kamu bahkan nyamuk sekalipun … abang Aslan udah sayang sama kamu semenjak kamu dalam perut mami, dia seneng banget waktu tahu mau punya adik … itu kenapa mami jadikan kamu alasan agar dia mau kembali ke keluarga kita.”
Ucapan mami Luna nyaris membuat Sydney tersedak.
Maminya hanya mengetahui kalau kasih sayang Aslan layaknya seorang kakak kepada adiknya.
Mami Luna tidak tahu saja kalau Aslan-yang sudah dianggap sebagai anak kandung dan begitu menyayanginya—telah berkali-kali mencium bibir Sydney bahkan menyatakan cinta.
***
“Katanya kamu ambil cuti seminggu ya Aslan?” Ravendra-sang kakek bertanya di sela sarapan pagi mereka.
“Iya, grandpa.” Aslan menjawab singkat.
“Grandpa dan grandma akan pulang hari ini.”
Aslan hanya mengangguk samar menanggapi ucapan kakeknya.
“Apa setelah kita semua kembali ke Jakarta—kamu mau mengunjungi grandma?” Selena bertanya penuh harap.
Aslan menatap wajah cantik yang tidak lekang dimakan usia milik nenek dari pihak papanya.
“Nanti Aslan main ke rumah grandma.”
Selena tampak senang padahal Aslan mengatakan itu hanya agar topik pembicaraan segera berganti.
“Hari ini, kamu mau ke mana?” Andi bertanya, tentunya kepada Aslan.
Tapi belum sempat Aslan menjawab—suara lainnya muncul.
“Nala sama Nathan mau ajak Danisa ke taman bermain … kamu ikut ya Aslan, kemarin ‘kan kamu sudah jalan-jalan sama Sydney … sekarang gantian sama adik-adik kamu yang sedarah.”
Aiden akan selalu menjadi orang yang menyebalkan bagi Aslan, itu kenapa ia malas bertemu dengan ayah biologisnya.
Raisa-suami dari Aiden memberikan tatapan peringatan.
Mama dari Nathan dan Nala itu tidak suka sang suami mengemis perhatian Aslan untuk kedua putra putrinya.
“Kalau Abang Aslan enggak mau, enggak apa-apa kok … kak Nala sama Nathan juga cukup, katanya kak Ziel mau menyusul pulang kuliah.”
Danisa menimpali dengan nada ketus, menatap Aslan dengan sorot mata kesal.
Aslan masih menatap Danisa meski sang adik sudah membuang muka ke arah lain.
Kemudian menunduk menghabiskan sarapan paginya tanpa menanggapi apapun yang diucapkan orang-orang di ruangan itu.
Setelah sarapan pagi—Nala, Nathan dan Danisa pamit untuk pergi ke taman bermain.
Shaqila melihat Aslan berjalan di lorong menuju garasi.
Sang putra sepertinya akan pergi.
“Aslan?” panggil Shaqila membuat langkah Aslan terhenti.
Aslan membalikan badan, matanya menatap Shaqila yang tengah berjalan mendekat—menunggu wanita itu mengatakan alasan memanggilnya.
“Kamu mau ke mana?” Shaqila bertanya.
“Aslan mau menyusul Danisa.”
Ekspresi Shaqila tampak terkejut, dan sepertinya ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Aslan.
“Benarkah?” Mama Shaqila menangkup pipi Aslan dengan kedua tangannya dan sang putra mengangguk.
Aslan bukan sedang berubah menjadi cucu yang menuruti nasihat kakeknya tapi ia hanya ingin mengisi waktu luang sebelum nanti menjemput Sydney di kantor dari pada harus mengobrol dengan para orang tua.
“Makasih ya sayang,” ucap Shaqila dan Aslan menganggap mamanya itu berlebihan.
“Danisa pasti seneng …,” sambungnya kemudian mendekat lalu memeluk Aslan.
Menempelkan sisi wajahnya di dada Aslan yang bidang.
Sekarang tinggi mereka sangat jauh berbeda, Aslan mewarisi kebanyakan genetik dari papanya dalam segi fisik sedangkan kecerdasan menurun dari mamanya.
“Mama kangen kamu, Aslan … kamu masih inget enggak waktu kita tinggal berdua di Singapura? Kamu seneng banget kalau udah mama peluk … dulu kita hanya berdua, kita saling memiliki ….”
Shaqila menjeda kalimatnya, ia mendongak dan mendapati tatapan Aslan yang tajam seakan sang putra sangat membencinya tapi tidak mengurungkan niat menyambung kalimatnya lagi
“Andai waktu bisa diputar, mama akan memilih untuk tidak datang ke sini dan menampakkan diri di depan keluarga Devabrata … walau kita hanya berdua tapi waktu itu mama bahagia sekali, Nak.”
Mata Shaqila berkaca-kaca, ada sesak menghantam dadanya sekarang.
Kedua tangan Aslan mencengkram lengan Shaqila lalu mendorong pelan.
“Ma, Aslan pergi ya ….”
Aslan lantas memutar badan lalu masuk ke dalam mobil dan mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi melewati gerbang besar rumah utama.
Shaqila tercenung di tempatnya berdiri, segala cara sudah ia lakukan untuk membuat Aslan berhenti membencinya tapi sepertinya Aslan tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi.
Ia telah benar-benar kehilangan Aslan.
Dan Shaqila tidak pernah tahu kalau ucapannya barusan mengorek kembali luka lama Aslan di masa kecil.
Tentu saja Aslan masih ingat bagaimana hidupnya dulu ketika mereka tinggal hanya berdua saja lalu mamanya memutuskan untuk menjadi serakah dan tidak tahu diri dengan mengatakan kalau ia adalah putra dari Arkatama Devabrata.
“Aaaarrrrrrrrrgggghhhhh!!!!!” Aslan berteriak kencang sekencang laju kendaraannya saat ini di jalur bebas hambatan.
Kedua tangannya mencengkram kemudi erat, napas pria itu pun memburu.
Tanpa terasa air mata mengalir dari sudut mata kiri tatkala bayangan tentang konflik besar di masa lalu melintas dalam benaknya seperti kaset rusak.
Saat ia harus melihat mami Luna menderita karena kebohongan yang diungkap mama Shaqila tentang dirinya adalah anak papi Arkatama.
Saat kebohongan itu terungkap dan mama Raisa mengatainya kalau ia anak haram.
Saat ia harus melihat mama Shaqila dan papa Aiden bercinta padahal ia tahu kalau papa Aiden sudah menikah dan punya anak.
Saat kakek Harun meninggal yang disebabkan oleh masalah tersebut.
Dan saat mama Shaqila menggila dan dibawa ke rumah sakit Jiwa.
Selama beberapa bulan ia harus menahan rindu kepada mama Shaqila yang tidak mau menemuinya.
Aslan menepikan mobil ke sisi jalan karena pandangannya kabur diselimuti air mata.
Dia turun dan kembali berteriak menumpahkan segala rasa yang menyesakan dada.
Aslan bersandar setengah tubuh pada kap mobil, kepalanya menengadah, menghirup udara dan mengeluarkan perlahan berkali-kali sampai perasaannya membaik.
***
“Nathan!”
Seruan Aslan membuat Nathan yang tengah membeli tiket lantas menoleh.
“Bang Aslan?” Nathan tampak tidak percaya Aslan menyusul ke taman bermain.
“Gue yang bayar.” Aslan mengeluarkan sebuah kartu kepada petugas tiket.
“Tadi kepala lo kebentur, Bang?” Nathan bertanya setelah menerima empat tiket dari petugas loket.
“Kenapa memang?” Aslan balik bertanya seraya memasukan kembali kartunya ke dalam dompet.
“Lo sampe nyusul ke sini.”
Aslan tidak menanggapi ucapan Nathan, merebut tiket dari tangan adiknya lalu melengos menuju pintu masuk di mana Nala dan Danisa menunggu.
Niatnya ke Australia untuk menghabiskan waktu bersama Sydney tapi kenapa ia malah pergi bersama adik-adiknya?
Aslan juga menyesal tapi kadung sudah berada di sini, mungkin benar kata Nathan tadi kepalanya terbentur sehingga apa yang ia lakukan di luar kendalinya.
“Nis, liat siapa yang datang?” Nala menarik pundak Danisa agar berbalik.
Mata Danisa membulat melihat kakaknya yang tampan penuh pesona itu berjalan mendekat.
“Bang … Aslan.” Danisa bergumam.
“Mungkin karena aku pengen banget bang Aslan sayang sama aku sampai aku berhalusinasi liat bang Aslan ya Kak? Kak Nala juga mungkin merasakan apa yang aku rasain makanya bisa ngeliat bang Aslan di sini padahal enggak mungkin ya dia nyusul kita ke sini.”
Ekspresi wajah Danisa tampak nelangsa ketika berkata demikian sambil menatap Nala.
“Kata siapa enggak mungkin?” Suara Aslan berhasil membuat Danisa menoleh kepadanya.
Pria dengan tubuh atletis itu sudah berdiri di depan Danisa.
“Bang Aslan?” Danisa malah bertanya, kepalanya meneleng masih tidak percaya.
“Iya … kamu lupa sama wajah Abang?”
Danisa mengerjap lalu menggelengkan kepalanya.
“Enggak.” Tapi gadis itu tampak bingung.
Sekuat tenaga Danisa menekan rasa bahagianya karena tidak ingin merasakan kecewa lagi.
Danisa menganggap ini hanya mimpi belaka.
“Yuk masuk!” Nathan merebut kembali tiket dari tangan Aslan dan memberikannya kepada petugas.
“Berempat,” katanya memberi tahu.
Mereka melewati bagian pemeriksaan dan setelah berada di dalam—Nathan merangkul pundak Danisa membawanya ke sebuah wahana ekstrim.
“Ada angin apa nih tiba-tiba nyusul?” Nala menyenggol lengan Aslan dengan bahunya.
Aslan menoleh sekilas lalu mengembalikan tatapannya ke depan.
“Mau main sama adik-adik Abang, enggak boleh ya?”
“Boleh aja … tapi jangan kasih harapan palsu ya, kasian Danisa … dia masih kecil belum bisa nerima kenyataan pahit.”
Kekehan singkat lolos dari bibir Aslan.
“Maksud kamu apa?” Aslan mengusap puncak kepala Nala sekilas.
Dada Nala tiba-tiba bergetar.
“Ya kalau udah kaya gini … kaya gini aja selamanya, jangan menghindar lagi … jangan hanya fokus di Sydney.”
Nala mengambil satu langkah ke depan Aslan membuat kaki Aslan berhenti melangkah.
“Bang … Abang boleh benci orang tua kami tapi jangan benci kami juga ….”
Aslan membalikan badan Nala agar membelakanginya lalu merangkul pundak gadis itu dan melanjutkan langkah.
“Kalau kamu ngomong terus—Abang akan pulang.”
“Oke.” Nala menggerakan tangannya di sepanjang bibir seperti menarik sebuah resleting.
Aslan lantas tertawa pelan melihat tingkah konyol Nala.
Nala merasa hidupnya lengkap mendengar tawa pria yang sedang merangkulnya saat ini.
“Nis … kamu enggak ingin dirangkul bang Aslan juga” bisik Nathan ketika mereka sedang mengantri sebuah wahana.
Danisa menoleh ke belakang, ia melihat Nala tertawa sambil dirangkul Aslan—entah sedang membicarakan apa.
Perasaan cemburu masih saja ada padahal Danisa sudah berusaha tidak mempedulikan Aslan lagi.
“Biarin aja lah, dia nyusulin kita juga pasti dipaksa grandpa … enggak usah banyak berharap, Kak … nanti dia juga pergi lagi.”
Nathan tergelak, mengusak kepala Danisa gemas.
Danisa kembali membelakangi Nathan, entah disengaja atau tidak—kedua tangan Nathan melingkar di pundak Danisa, pria itu memeluk Danisa dari belakang lalu menekan dagunya di puncak kepala Danisa.
Bibir Danisa lantas tersenyum miris, walau Aslan tidak peduli padanya tapi Nathan dan Azriel begitu menyayanginya.
Seharusnya ia bersyukur tapi entah kenapa sudut hatinya masih saja kosong, bahagianya terasa belum sempurna.
***
“Kamu masih berhutang penjelasan tentang tuan Palmer!” Shelby tiba-tiba masuk ke ruangan Sydney, gadis itu menuntut penjelasan.
Beberapa hari ini Sydney menghindar karena belum memiliki kejelasan tentang hubungannya dengan Sagara.
Tapi di saat semua sudah jelas—Aslan malah muncul dan mengacaukannya.
“Dan kenapa ada drama di antara kamu dan kakak sepupu yang kamu kagumi itu di pesta ulang tahun Sabtu kemarin?” Itu Brandon yang bertanya lalu menghempaskan bokong di sofa di tengah ruangan Sydney.
Sebagai anak pemilik perusahaan ini, meski belum memiliki jabatan tetap tapi Sydney mendapat fasilitas ruangan sendiri yang nyaman.
Sydney mengembuskan napas panjang, tangannya berhenti memasukan barang ke dus.
“Kunci pintunya … aku mau bicara rahasia.”
Shelby yang masih berdiri di belakang sofa langsung berlari mengunci pintu.
Sydney berani bercerita kepada kedua sahabatnya itu karena mereka bukan keluarga Devabrata ataupun keluarga Shaqila.
Shelby dan Brandon adalah pihak luar yang akan netral menanggapi masalah yang tengah dihadapinya.
“Tuan Palmer menyatakan cinta di pesta ulang tahunku dan aku menerimanya sebagai kekasih ….”
Shelby dan Brandon langsung bertepuk tangan. “Kamu tidak pernah memiliki kekasih tapi sekalinya mendapat kekasih—seorang Palmer, luar biasa.” Shelby sampai iri.
Sydney tersenyum kecut dan sekarang raut sendu membayanginya.
“Lalu sekarang kamu sedih karena kamu akan pindah ke Indonesia sementara tuan Palmer menetap di sini jadi kalian harus LDR?” Brandon menebak dan langsung mendapat gelengan kepala dari Sydney.
“Tuan Palmer adalah CEO dari Palmer Corp di Indonesia, dia di sini hanya sedang membantu ayahnya saja … dua atau tiga bulan lagi dia juga akan kembali ke Indonesia.”
“Lantas … ekspresi sedih itu karena apa?” Shelby mendekat dan duduk di depan meja kerja Sydney.
“Aslan, kakak sepupuku yang lima tahun ini menghindar tiba-tiba datang dan menyatakan cintanya juga.”
“Sudah kuduga!” Brandon berseru, pria itu sampai berdiri karena dugaan tentang Aslan yang mencintai Sydney ternyata benar adanya.
Brandon mendekat dan duduk di samping Shelby.
“Aku tahu kalau kakak sepupumu bukan hanya menyayangimu tapi juga mencintaimu, semenjak dia nyaris mengajarku yang saat itu mencium pipimu … di Indonesia mungkin tabu tapi Hellooo … ini Sydney dan kita semua melakukannya.”
Sydney merasa dirinya bodoh sekali, Brandon saja bisa menduganya kenapa ia yang mendapat kasih sayang dan perhatian Aslan tidak pernah berpikir kalau ada perasaan asmara yang Aslan miliki untuknya.
“Pantas saja dia melarangmu untuk berpacaran … karena dia ingin memilikimu.” Shelby menimpali.
“Bagaimana perasaanmu kepadanya? Kamu menolaknya ‘kan?” Mata Brandon memicing, kedua tangan pria itu terlipat di depan dada.
“Tapi kalau kamu mencintainya, apa salahnya menikahi sepupu? Ibu dan ayahku adalah sepupu … mereka menikah dan lahirlah aku … kamu hanya perlu mengikuti kata hati.”
Shelby berujar dengan entengnya, seolah masalah ini bukanlah masalah yang berat tapi yang dialami Sydney begitu rumit karena kedua orang tua dan keluarga Devabrata pasti menentang.
Sydney cukup dewasa untuk mengartikan ucapan para orang tua yang berharap kalau ia, Aslan, Azriel, Nathan, Nala dan Danisa bisa rukun dan saling menyayangi sebagai saudara.
Gadis itu pun menundukan pandangannya, ia memilih diam.
Hal tersebut membuat Shelby dan Brandon saling melempar tatap.
“Jangan bilang kalau kamu juga mencintai kakakmu dan menjadikan tuan Palmer pelampiasan untuk mengobati kehilanganmu atas kakak sepupumu yang selama lima tahun terakhir menghindarimu.”
Sebagai seorang pria—Brandon terlalu peka.
Sydney mendongak, menatap Brandon tepat di mata.
Jadi, apakah sesuatu yang dirasakannya selama seminggu ini bersama Sagara tidak nyata?
Jadi benar, ia hanya menjadikan Sagara pengganti Aslan saja karena hanya Sagara—pria yang berani memaksa masuk ke dalam kehidupannya dan memberikan kasih sayang yang tulus.
Sydney kembali mengesah, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Jangan sakiti tuan Palmer, Syd ….” Brandon menggelengkan kepala dengan tatapan serius yang mengancam.
“Tidak Brandon … sepertinya aku harus menyerah karena keluargaku tidak akan pernah mengijinkan kami saling mencintai ….” Sydney menyandarkan punggungnya.
Ia menoleh ke samping menatap ke luar dinding kaca, ucapan mami Luna saat sarapan pagi menyadarkannya.
“Atauuuu … kamu bisa menggunakan tuan Palmer sebagai tameng … di depan seluruh keluarga, kamu adalah kekasih tuan Palmer tapi sebenarnya kamu dan kakak sepupumu menjalin hubungan terlarang.” Shelby mengatakannya dengan nada menyebalkan, senyum penuh makna dan mata memicing.
“Gila kamu! Gila!!” Brandon memukul kepala Shelby dengan berkas yang ia ambil dari atas meja kerja Sydney.
“Aw ….” Shelby mengaduh.
“Lalu apa? Hah? Hubungan mereka hanya sebatas itu … tetap saja mereka tidak bisa saling memiliki karena tidak ada restu orang tua sedangkan Sydney akan sangat melukai hati tuan Palmer! Dasar perempuan hina, penyihir, tidak memiliki perasaan!”
Brandon terus memukul lengan Shelby menggunakan berkas sampai gadis itu menyingkir dengan beranjak dari kursi.
“Sudah-sudah … ayo aku traktir makan siang sebagai pesta perpisahan!” Sydney melerai, merebut berkas itu dari tangan Brandon.
Brandon tampak kesal namun Shelby malah tertawa meledek sahabatnya itu.
Sebagai pria baik, tulus dan setia kepada kekasihnya—Brandon sangat tidak setuju dengan ide Shelby barusan.
Menurutnya, Tuhan sudah berbaik hati kepada Sydney dengan mendatangkan tuan Palmer agar hidup Sydney bisa bahagia dan berada di jalurnya.
Masalah cinta bisa diatur belakangan mengingat tuan Palmer memiliki kesempurnaan dalam fisik dan status sosial—pasti tidak membutuhkan waktu lama bagi Sydney melupakan perasaannya pada sang kakak sepupu.
Dari pada memaksakan hubungan dengan kakak sepupu yang akan membuat masalah dalam hidupnya karena Sydney sendiri menyadari kalau seluruh keluarga akan menentang.
Chapter 10
“Tuan Palmer … apa yang membawa ada datang ke sini?”
Arkatama Devabrata menyambut Sagara dengan formal di ruangannya.
Beliau menganggap Sagara sebagai seorang klien bukan pria yang sedang dekat dengan putrinya.
Sagara dan Arkatama Devabrata saling berjabat tangan lalu keduanya duduk berhadapan di sofa set yang berada di tengah-tengah ruangan.
“Sepertinya kerjasama kita berjalan lancar dan tidak akan menemukan kendala serius.” Sagara berpendapat.
“Semoga saja,” balas Arkatama penuh harap.
Ada hening selama tiga detik, Arkatama bisa melihat bila Sagara tampak segan mengutarakan maksud kedatangannya karena percakapan tentang bisnis tadi terkesan basa-basi.
“Ada yang bisa saya bantu tuan Palmer?” Akhirnya Arkatama bertanya, matanya menatap lurus Sagara dengan raut wajah serius.
“Jadi gini Om, maaf … aku melanggar batasan, semestinya kalau di kantor kita profesional.”
Sagara mengajak Arkatama agar bicara lebih santai.
Sontak Arkatama tertawa lepas, tadi ia sudah berpikir terlalu jauh mengenai kontrak kerjasama bisnis mereka.
“Oke … jadi ada apa sebenarnya?” Arkatama bertanya setelah tawanya mereda.
Papi dari Sydney itu sampai menegakan punggungnya menunggu Sagara bicara.
“Waktu ulang tahun Sydney kemarin, aku menyatakan cinta kepada Sydney dan ternyata dia juga merasakan hal yang sama dan kami sedang menjalin hubungan ….” Sagara menjeda ingin mengetahui respon Arkatama.
Sagara tidak melihat ekspresi terkejut di wajah Arkatama malah beliau mengangguk-anggukan kepalanya.
Sagara lega, Arkatama tidak memberikan penolakan.
Jadi, apakah Arkatama menyetujui hubungannya dengan Sydney?
“Aku serius sama Sydney, Om … tapi aku enggak mau terburu-buru … aku ingin Sydney yakin dulu dengan perasaann, jadi aku memilih untuk pacaran dulu lalu nanti baru aku akan melamarnya ….”
Sagara menjeda lagi, menunggu tanggapan Arkatama tapi pria paruh baya yang masih memiliki tubuh atletis itu hanya menatapnya dengan sorot mata tak terbaca.
“Jadi ….” Sagara menegakan punggungnya, menatap Arkatama begitu percaya diri.
“Apa Om merestui hubungan kami?” tanyanya kemudian dan Arkatama kembali tertawa.
“Sydney masih dua puluh satu tahun, Om serahkan semuanya sama Sydney … kalau Sydney memang benar-benar jatuh cinta sama kamu, Om akan merestui … Om enggak akan ikut campur terlalu jauh mengingat kamu adalah klien bisnis Om dan Sydney putri Om.” Arkatama menegaskan.
“Baik, Om … aku mengerti, Terimakasih.”
Arkatama menatap Sagara dalam-dalam, hatinya sedang bergejolak.
Sebagai seorang ayah—ia sangat menyayangi putrinya dan ingin tetap melindungi Sydney selamanya tapi di sisi lain, Arkatama mengetahui siapa Sagara Palmer.
Anak muda itu memiliki kecerdasan intelektual tinggi, dia juga sukses mengelola perusahaan Palmer di Indonesia.
Meski terbilang muda tapi Sagara bukan tipe anak muda yang menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersenang-senang.
Arkatama sampai mengumpulkan banyak informasi ketika mengetahui kedekatan putrinya dengan Sagara dan ia tidak menemukan jejak keberengsekan Sagara di masa lalu.
Sagara adalah tipe menantu idaman, pria itu sempurna.
Sengaja Arkatama tidak memperlihatkan antusias yang berlebihan kepada Sagara agar pria itu menghormatinya sehingga tidak berani menyakiti Sydney.
***
Azriel bergabung menyusul ke taman bermain ketika hari mulai sore dan para sepupunya sudah kelelahan untuk bermain.
“Ah … enggak asyik!” Azriel meledek karena para sepupu menyerah untuk menaiki satu wahana lagi.
“Gaya kamu tuh enggak asyik, kita dari pagi di sini … naik roler coaster aja udah tiga kali ya, Nis?” Nathan menyahut setengah emosi.
Nisa menganggukan kepala membenarkan lalu menghadapkan tubuhnya pada Azriel.
“Kamu pulang kuliah langsung ke sini?” Pertanyaan Danisa itu membuat Azriel mengurungkan niat membalas Nathan.
Azriel mengangkat tangan, mengusap puncak kepala Danisa.
“Iya … aku langsung ke sini, aku enggak tahu kalau ada bang Aslan … kayanya aku enggak dibutuhin, aku pulang aja ya?”
Azriel sedang berdrama menyindir Aslan.
“Jangaaaan, kamu itu aku butuhin banget … kamu sayang sama aku, enggak kaya abang aku.”
Danisa memeluk Azriel, melesakan wajahnya di dada Azriel.
Azriel yang menggunakan kaos di bagian dalam dan kemeja yang dibuat seperti outer—menarik kedua ujung kemejanya sampai Danisa tenggelam di dalam kemeja Azriel.
Mereka semua tertawa kecuali Aslan yang menatap malas Danisa kemudian melempar tatapannya ke samping.
Sedari tadi Danisa menghindari Aslan meski sebenarnya ingin sekali memeluk abangnya itu.
Bukan Sydney saja yang rindu, Danisa juga begitu merindukan Aslan tapi lagi-lagi Danisa berusaha menahan diri agar tidak kecewa dan harus puas dengan hanya diam-diam memandang Aslan dari jauh.
“Makan aja yuk! Aku laper belum makan siang nih!” Ajak Nala, dibalas anggukan oleh yang lain.
Sambil melangkah mengikuti adik-adiknya dari belakang—Aslan merogoh ponsel dari saku celana.
Ia tidak menemukan notif pesan dari Sydney, gadis itu bilang hanya akan membereskan barang-barangnya lalu mentraktir Shelby dan Brandon.
Kemarin Aslan berpesan agar Sydney memberi kabar setelah semua urusannya beres tapi sampai sekarang Aslan belum mendapat kode dari Sydney untuk menjemputnya.
Ketika mengangkat pandangan setelah memasukan kembali ponsel ke saku celana, ia mendapati Nathan, Nala dan Azriel berjalan di depannya.
Aslan menoleh ke samping kiri mencari Danisa tapi adiknya itu tidak ada lalu menoleh ke samping kanan dan ia juga tidak menemukan Danisa di sana.
Aslan hendak bertanya kepada adik-adiknya di depan tapi menyempatkan menoleh ke belakang dan membuatnya urung mengeluarkan suara.
Danisa ternyata berjalan di belakangnya, gadis itu begitu fokus menatap layar ponsel sampai tidak menyadari kalau langkahnya telah mendekati Aslan dan ….
Bugh!
Danisa menabrak dada Aslan.
“Sini hapenya!” Aslan hendak merampas ponsel dari tangan Danisa tapi kalah cepat dengan tangan Danisa yang langsung menjauhkannya.
“Enak aja!” tolaknya dengan nada ketus.
“Kalau gitu simpen dulu hapenya, nanti kamu kesandung.”
“Enggak usah sok-sok perhatian lah … pikirin Sydney aja, sebentar lagi Abang dilupain karena Sydney pacaran sama Sagara.”
Danisa melipat kedua tangannya di dada, menatap lurus ke depan sambil berjalan di samping Aslan yang telah mengetatkan rahang.
“Sayangnya Sydney enggak akan lebih besar dari sayangnya aku sama abang … kita itu saudara satu kandung, aku enggak akan pernah lupain abang … sedangkan Sydney, dia punya Ziel … lalu sekarang Sagara ….” Danisa menoleh ke samping menatap Aslan.
Sekarang Danisa sudah besar dan pintar bicara.
“Sebentar lagi abang dilupain Sydney,” sambung Danisa lalu tertawa sumbang yang malah membuatnya terdengar menyedihkan.
Dan sialnya Danisa tidak bisa menahan laju air mata.
“Danisa,” panggil Aslan seraya memegang tangan Danisa yang kemudian dihela kasar oleh Danisa.
“Nis,” panggil Aslan lagi, tidak tega melihat air mata Danisa meski hatinya masih membara karena ucapan Danisa tentang Sydney barusan.
Seingatnya, Sydney belum memutuskan hubungan dengan Sagara dan bisa jadi apa yang diucapkan adiknya itu terjadi.
“Danisa!” Aslan berseru membuat tiga adiknya menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang.
Aslan menarik kasar tangan Danisa lalu merengkuh tubuh sang adik ke dalam dekapan.
Danisa tidak meronta, dia menangis tanpa isakan di dada Aslan.
Nathan, Nala dan Azriel kembali membalikan badan dan melanjutkan langkah menuju restoran.
“Kalau dia akan menghindar lagi, seharusnya enggak usah peluk Danisa.” Azriel bergumam.
Nala merangkul lengan Azriel. “Kayanya bang Aslan enggak akan menghindar lagi,” katanya begitu yakin.
Azriel yang lebih tinggi dari Nala menurunkan pandangannya menatap sang kakak sepupu, sorot mata pria itu tampak tidak percaya.
“Rumit memang keluarga kita tuh.” Nathan mengembuskan napas panjang.
Mereka bertiga tiba lebih dulu di restoran dan menyisakan dua kursi kosong untuk Aslan dan Danisa.
Aslan dan Danisa masih jauh tertinggal, pria itu membiarkan Danisa tenang lalu mengurai pelukan.
“Udah … nangisnya?” tanya Aslan dingin.
Sikapnya kepada Danisa dan adik-adiknya yang lain sudah jauh lebih lunak semenjak Papa Aiden memperingatinya tentang apa yang mungkin bisa adik-adiknya lakukan kepada Sydney karena cemburu.
Aslan tidak tahu saja kalau selama ini Danisa sering menjahati Sydney.
Tapi Sydney tidak pernah ingin Aslan mengetahui itu dan malah membuatnya semakin menjauhi Danisa meski Sydney sendiri ingin sekali mencekik leher Danisa bila dia sudah berulah.
“Udah … tapi aku mau permen kapas.” Danisa menunjuk stand penjual permen kapas.
Dengan tampang dingin dan datar tapi cool-nya, Aslan menggenggam tangan Danisa menuju stand permen kapas.
Mata Danisa berbinar menatap si penjual yang membuatkannya permen kapas, gadis itu terlihat senang.
“Abang mau?” tanyanya seraya mendekatkan sejumput permen kapas ke bibir Aslan.
Aslan menggelengkan kepala tapi Danisa semakin mendekatkan permen kapas itu dan mau tidak mau mulut Aslan akhirnya terbuka.
Danisa tersenyum lebar, merangkul lengan Aslan—mereka berjalan beriringan menuju restoran.
Saking bahagianya, Danisa lupa tentang niat awal yang tidak akan berharap kepada Aslan lagi.
Aslan dan Danisa tiba di restoran ketika permen kapas Danisa tinggal setengah.
“Ini buat kamu, Ziel.” Danisa memberikannya kepada Azriel.
“Makasih adikku sayang,” ucap Azriel yang merasa senang karena Danisa menyisakan makanan untuknya.
Tangan Nathan langsung terulur mencomot permen kapas itu diikuti Nala.
Azriel memberengut, menghasilkan tawa Nathan dan Nala yang merasa puas karena Azriel hanya kebagian batang permen kapasnya saja.
“Bangke, kalian semua.” Nathan dan Nala kembali tergelak.
Aslan melihat interaksi adik-adiknya itu, mereka cukup dekat dan hangat bahkan sangat menyayangi Danisa meski mereka tidak sedarah dan pernah terjadi konflik antara kedua orang tua mereka.
Nathan dan Azriel semestinya bisa menggantikan Aslan sebagai sosok kakak bagi Danisa jadi tidak apa-apa ‘kan bila sekarang Aslan pergi.
“Abang duluan ya.” Aslan beranjak dari kursi.
“Mau ke mana?” Danisa menahan tangan sang kakak.
“Abang udah janji mau jemput Sydney.”
Aslan merasa tidak perlu berbohong, ia melepaskan cekalan tangan Danisa dari tangannya.
“Tapi kemarin Abang seharian sama Sydney masa sama kita sebentar banget.” Danisa mencoba membujuk agar Aslan tetap tinggal, ia masih merindukan kakaknya itu.
“Abang janji sama Sydney jemput dia pulang kerja … kita tadi udah naik banyak wahana … Abang pergi ya.”
Tanpa bersedia mendengar jawaban—Aslan pergi begitu saja tidak mau meraba perasaan adik-adiknya terutama Danisa.
Tadi Aslan sempat mengecek ponselnya lagi dan tidak ada juga pesan dari Sydney lalu teringat ucapan Danisa yang menyinggung tentang Sagara kemudian jiwa overprotective dan posesif-nya tergugah.
Aslan membayangkan Sagara menjemput Sydney di kantor dan sebelum itu terjadi ia harus menjemput Sydney lebih dulu.
“Bang!” panggil Nala menyusul Aslan hingga ke luar restoran.
“Bang … jangan pergi, kasian Danisa.” Nala memegang kedua tangan Aslan erat.
“Nala … Lepasin,” titah Aslan setengah menggeram.
Nala akhirnya melepaskan Aslan, ia berdiri menatap Aslan hingga pria itu menghilang ditelan jarak.
“Gue pikir, lo udah enggak peduli sama dia.” Suara Nathan terdengar dari belakang punggungnya.
Sang kakak kembar kemudian berdiri di samping Nala ikut menatap ke mana arah pandang Nala saat ini.
Nala mengembuskan napas gusar. “Gue cuma enggak mau kesalahan orang tua kita terulang lagi.”
***
“Papi manggil Syd … ney?” Sydney terbata tatkala menemukan Sagara di ruangan papinya.
“Iya … katanya Saga mau jemput kamu.” Arkatama memberitau.
Wajah Sydney berubah pucat, sengaja ia mematikan ponsel hari ini agar Sagara ataupun Aslan tidak menghubunginya dan berharap tidak menjemput tapi Sydney salah, mematikan ponsel tidak membuat Sagara patah arang, pria itu justru langsung datang mencarinya di kantor.
“Oh … ituuu ….” Sydney bergumam tidak jelas.
Sagara beranjak dari sofa lalu memberikan satu buket bunga untuk Sydney.
Sydney mengerjap lantas menerimanya, ia berusaha memberikan senyum setulus mungkin agar Sagara dan sang papi tidak tahu bila saat ini ia sedang memikirkan bagaimana jika Aslan datang menjemputnya juga?
“Hai,” sapa Sagara yang senyumnya begitu lebar dan sorot matanya banyak menyimpan rindu.
Sydney jadi tidak berani menatap Sagara, terlalu banyak dosa yang ia telah lakukan kepada pria itu.
“Hai, Terimakasih bunganya,” sahut Sydney sambil menunduk.
“Yuk … kita sama-sama ke loby … Papi juga udah mau pulang ….”
Arkatama ikut beranjak dari sofa.
“Enggak apa-apa Sydney pulang sama Saga, Pi?”
Sydney berharap Arkatama menolongnya.
“Enggak apa-apa, tadi Saga sudah minta ijin sama Papi mau ajak kamu makan malam.”
Dan sang papi tidak membantu sama sekali.
Sydney menoleh lagi pada Sagara lalu tersenyum menyembunyikan tampang cemas.
“Kamu sakit?” Sagara berbisik sambil menyentuh kening Sydney dengan punggung tangan.
Mereka berjalan beriringan menuju lift di belakang Arkatama.
“Enggak, aku baik-baik aja,” jawab Sydney agar Sagara tidak khawatir.
Padahal dada Sydney terasa sesak, ia gugup, cemas, gundah gulana dan perasaannya tidak menentu.
Dalam hati berdoa agar Aslan diberikan kesibukan hari ini sehingga tidak bisa menjemputnya.
Sydney memeluk buket bunga pemberian Sagara, meski kakinya melangkah tapi tatapannya kosong ke depan.
Sagara memperhatikan Sydney dari samping, nanti ia akan bertanya kenapa Sydney terlihat aneh seperti ini.
Langkah Sydney, Sagara dan Arkatama beserta sekertaris beliau berhenti di teras loby.
Mereka menunggu driver menjemput.
“Om, mobil saya datang duluan … saya ijin bawa Sydney ya, Om.”
Meski Sagara adalah klien besar Arkatama tapi Sagara memperlakukan Arkatama sangat hormat dan penuh sopan santun.
“Iya … Silahkan,” kata Arkatama mengangguk.
Suara decitan ban membuat semua menoleh, driver Sagara mengerem mendadak tatkala ada mobil menyalip antrean di depannya.
Mobil yang menyalip itu berhenti tepat di depan mereka.
Seorang pria menggunakan kaca mata hitam turun dari kursi kemudi.
“Bang Aslan,” gumam Sydney yang kakinya langsung lemas dan jantungnya berdetak kencang.
Meski mereka tidak bisa melihat seberapa tajam tatapan Aslan tapi rahang pria itu yang mengeras memberitau bila Aslan sedang murka.
Aslan langsung menarik tangan Sydney, merebut buket bunga lalu membuangnya ke tong sampah berbahan stainles yang tidak jauh dari mereka berdiri.
Pria itu menyeret Sydney, memutar setengah bagian mobil dan membuka pintu untuk Sydney.
“Bang.” Sydney memberikan tatapan permohonan tapi Aslan tidak peduli.
“Masuk!“ titah Aslan tegas meski suaranya pelan.
Aslan seolah memiliki Sydney, memerintah Sydney sesuka hati.
Pria itu tidak mempedulikan ada Arkatama dan Sagara yang sedang melongo bingung.
Dan ketika Aslan kembali memutar setengah bagian mobil untuk duduk di belakang kemudi, dia menyempatkan menurunkan kaca mata hitamnya sedikit lantas memberikan tatapan tajam, mengancam dan mengintimidasi Sagara.
Sagara sama sekali tidak gentar hanya bingung dengan sikap arogan Aslan.
“Aslan yang anter Sydney pulang, Pi.”
Usai berkata demikian—tanpa menatap sang papi—Aslan masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas dalam-dalam.
“Bang!” Sydney berseru.
Aslan hanya menoleh sekilas, Sydney tahu pria itu sedang emosional karena melihat Sagara bersamanya.
“Abang bilang putusin cowok itu!” Aslan menggeram.
“Kasih aku waktu, Bang … aku enggak bisa mutusin Sagara gitu aja dan jangan bersikap seperti ini lagi, aku enggak suka!”
Sydney melipat tangannya di dada, membuang tatapan ke luar jendela.
“Bersikap kaya gimana maksud kamu?” Aslan bergumam.
“Buang bunga dari Saga terus bawa aku pergi gitu aja … Abang tuh ya ….” Sydney sampai bingung harus berkata apa.
“Abang bisa beliin kamu bunga lebih banyak, lebih bagus dari itu! Lagian Abang idah bilang mau jemput kamu di kantor.”
“Bukan gitu, Bang … tap—“
“Tapi apa? Kamu mencintai Sagara? Iya?” Aslan menyela kalimat Sydney dengan suara lantang membuat Sydney berjengit.
Sydney mengembuskan napas, memejamkan mata, menyandarkan kepalanya dan tidak lagi bersuara agar mereka memiliki waktu untuk menenangkan diri.
Lama kemudian, Sydney baru membuka mata saat merasakan mobil Aslan berhenti melaju.
Sydney memindai sekitar, pria itu membawanya jauh ke pinggir kota.
Ada rest area yang buka dua puluh empat jam berada di ujung tebing yang menghadap barat sehingga mereka bisa melihat matahari terbenam dari dalam mobil.
“Mau ikut turun atau Abang aja yang beli minum untuk kamu?” Suara Aslan sudah melunak.
“Abang aja.” Sydney melirih.
Sydney keluar dari mobil setelah melihat Aslan masuk ke dalam sebuah minimarket.
Bersandar setengah tubuhnya di kap mobil yang hangat—Sydney menatap kosong pada lembayung senja di depannya.
Ia pernah melihat keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa ini dari sebuah restoran bersama Sagara.
Saat itu ia merasa menjadi wanita yang paling bahagia karena dicintai oleh Sagara.
“Awas panas,” kata Aslan memberikan satu cup kertas berisi kopi.
Sydney meraihnya tanpa mengucapkan Terimakasih.
Aslan menyandarkan setengah tubuhnya di kap mobil di samping Sydney.
Menatap lurus pada matahari yang perlahan tenggelam.
“Kamu belum jawab pertanyaan Abang.”
“Yang mana?” Sydney menoleh.
“Kamu suka juga ya sama cowok itu?” Aslan mengulang pertanyaan lebih sederhana agar mudah dicerna Sydney.
“Enggak tahu, Bang … aku enggak pernah pacaran … Abang selalu ngelarang aku pacaran jadi aku enggak tau perasaan apa yang aku punya untuk Saga.” Sydney mengembalikan tatapannya ke depan.
“Tapi dia baik, manis dan penyayang ... dia selalu buat aku nyaman ada di sampingnya.” Sydney melirih.
Aslan mencengkram cup kopi di tangannya hingga cairan pekat di dalamnya berhamburan membasahi tangan.
Panas dari kopi itu belum seberapa karena hatinya lebih panas mendengar Sydney memuji pria lain selain dirinya.
“Lalu … perasaan kamu sama Abang?” Aslan merasa harus mendengar langsung dari mulut Sydney.
Sydney kembali menatap wajah Aslan, menggigit bibir bawahnya sambil mengerjapkan mata dengan sering.
Baru kali ini ia merasa takut salah bicara padahal Sydney adalah tipe gadis yang blak-blakan.
Jujur, Sydney juga belum benar-benar yakin dengan perasaannya pada Aslan.
Yang pasti, Sydney tidak ingin kehilangan Aslan lagi.
Meski terpisah jarak lintas benua tapi sebelum Aslan menghindar selama lima tahun terakhir—mereka selalu berkomunikasi secara intens.
Aslan selalu datang setiap hari raya atau acara keluarga.
Mereka tidak segan tidur bersama di atas satu ranjang atau ketiduran di sofa saling berpelukan setelah selesai menonton Netflix.
Tapi setelah Aslan menyatakan cinta, duduk berdua seperti ini saja rasanya aneh.
Sydney tidak menyadari matanya telah berkaca-kaca sedangkan Aslan masih menunggu jawaban darinya.
Sydney menggigit bibir bagian bawah semakin kuat saat satu buliran kristal luruh dari mata kiri.
“Hey,” bisik Aslan panik melihat air mata Sydney.
Wajah Aslan perlahan mendekat seiring jarinya mengapit bibir Sydney agar melepaskan gigitan di bibir.
Aslan mengusap bibir itu kemudian memberikan kecupan ringan di sana.
Wajahnya menjauh untuk melihat reaksi Sydney dan Aslan tidak mendapat penolakan.
Bibir Sydney terasa manis, layaknya candu—Aslan tidak dengan mudah melepasnya.
Kedua tangannya menarik tubuh Sydney agar mendekat, memeluk erat seakan memberitau Sydney betapa besar rindunya yang selama lima tahun ini ia pendam.
Aslan menggigit pelan bibir Sydney menghasilkan lenguhan yang membuat bibir candu itu terbuka sehingga Aslan bisa melesakan lidah ke dalam sana, membelai Sydney lebih intim dan dalam lagi.
Sydney memejamkan mata, entah sejak kapan ia menyambut dan membalas ciuman Aslan.
Yang Sydney tahu kalau sekarang ia tidak ingin berhenti.
***
“Aslan, papi mami mau bicara sama kamu dan Sydney sebentar,” ujar Arkatama ketika Aslan hendak pamit setelah mengantar Sydney pulang.
Aslan menoleh pada Sydney lalu mami Luna yang tersenyum lalu bergelayut di tangannya.
Aslan yakin bila ini tentang sikapnya tadi ketika menjemput Sydney di kantor.
Oke, Aslan mengaku salah karena telah tidak sopan di depan Arkatama Devabrata dan kliennya.
Tadi ia sedang diliputi emosi akibat ucapan Danisa dan ketika sampai di kantor Deva Corp—ia melihat Sagara sudah lebih dulu menjemput Sydney.
“Aku boleh ikut enggak?” Azriel langsung duduk di single sofa yang berada di ruang keluarga.
“Enggak!” seru Sydney ketus.
Azriel menjulurkan lidah, ia telah mendapat posisi terbaik untuk kakaknya yang akan dimarahi sang papi.
Pasalnya tadi Azriel sudah mendengar clue apa yang akan disampaikan Arkatama pada Aslan dan juga Sydney.
Kali ini mami Luna duduk di samping suaminya sedangkan Aslan duduk bersebelahan dengan Sydney.
“Maafin Abang, Pi.” Aslan langsung mengakui kesalahannya.
Arkatama menganggukan kepala lalu tersenyum.
“Dengar dulu Papi ya Bang … Papi mau cerita agar kamu dan Sydney mengerti keadaan keluarga kita.”
Tatapan Aslan dan Sydney berubah serius, memfokuskan diri kepada Arkatama.
“Sebetulnya konflik antara papa Aiden dan mama Qila ketika waktu kamu kecil itu terjadi bukan kesalahan mama Qila dan Papa Aiden semata … Papi juga menyumbang kesalahan terbesar sehingga mama kamu mengkhianati Papi.”
Aslan dan Sydney saling menatap sesaat, mereka masih belum mengerti maksud dari Arkatama memberitau hal tersebut.
“Dulu, Papi punya adik angkat … namanya Briana, dia anak dari orang kepercayaan kakek buyut Abimanyu … hubungan Papi sama Briana sangat dekat melebihi kedekatan Papi sama Aunty Alicia … Papi enggak tahu kalau kasih sayang Papi disalah artikan … ternyata Briana mencintai Papi ….”
Arkatama menahan kalimatnya, ia menoleh kepada sang istri lalu menggenggam tangannya erat.
Membicarakan Briana akan mengorek luka lama istrinya karena bukan hanya Shaqila yang tersakiti oleh Briana tapi Luna juga.
Hanya saja Luna bertahan dan Shaqila menyerah.
“Saat itu Papi menjalin hubungan dengan mama Qila, kami kuliah di kampus yang sama begitu juga dengan papa Aiden dan Briana … tapi kedekatan Papi dengan Briana membuat mama Qila cemburu … Papi yang salah, selalu mendahulukan Briana daripada mama Qila dan ternyata itu sangat menyakiti mama Qila sampai dia mengkhianati Papi dan lahir lah kamu ….”
Aslan menundukan pandangannya.
“Kedekatan kamu dan Sydney percis seperti yang terjadi dengan Papi dan Briana … tadi di kantor, Papi lihat bagaimana posesifnya kamu sama Sydney di depan Sagara yang Papi tahu kalau Sagara sekarang sudah menjadi kekasih Sydney.”
Aslan mengangkat pandangannya, sekarang ia tahu maksud dari ucapan Arkatama.
“Apa betul Sydney, kamu menerima cinta Sagara di pesta ulang tahun kamu kemarin?” Sengaja Arkatama bertanya di depan Aslan agar Aslan mendengar langsung dari Sydney.
“Betul, Pi ….” Sydney menjawab dengan nada rendah.
“Kamu harus mempertanggungjawabkan hubungan kamu, Papi bicara seperti ini bukan karena Sagara klien di perusahaan kita tapi kamu harus konsisten dan bertanggung jawab dengan keputusan kamu yang telah menerima cinta Sagara.”
Arkatama sedang memberi ultimatum bukan nasihat.
“Abang … Jangan sampai kesalahan mama Qila, papa Aiden dan Papi terulang kembali … kamu enggak mau ada Aslan berikutnya yang harus menanggung derita seperti apa yang pernah kamu rasakan, bukan?”
Aslan dan Sydney tertohok oleh pertanyaan Arkatama di akhir kalimatnya.
“Papi enggak mau nanti kekasih Aslan merasa risih dan cemburu kepada Sydney dan begitu juga dengan Sagara … padahal kalian adalah kakak dan adik sepupu dan sampai kapanpun akan tetap begitu.” Arkatama mengakhirinya dengan kesimpulan.
“Memangnya kalau sama sepupu enggak boleh nikah ya?” celetuk Azriel menatap kedua kakaknya dengan senyum misterius.
Luna dan Arkatama saling melempar pandang.
“Boleh … enggak ada larangan menikahi sepupu tapi papi, mami dan seluruh keluarga Devabrata sepakat untuk tidak melakukan itu.” Arkatama berujar tegas menjawab pertanyaan Azriel tapi tatapannya mengarah pada Aslan dan Sydney.
“Menikahlah dengan orang asing … agar keluarga kita berkembang ….” Luna menambahkan.
“Kalau aku suka sama kak Nala gimana? Terus ternyata kami saling mencintai?” Azriel menyengir tatkala mendapat tatapan tajam Papinya.
“Ralat kata-kata kamu tadi Ziel, karena kami enggak akan mentolelir kalau sampai itu terjadi.”
“Becanda, Pi … aku cuma tanya.” Azriel melirik kepada Aslan dan Sydney.
Lirikannya Azriel seolah berkata, “Denger itu!”
“Gimana kalau Azriel memaksa ingin menikahi Nala?” Itu Aslan yang bertanya untuk mencari kemungkinan hubungannya dengan Sydney bisa direstui keluarga.
“Maaf, tapi kami akan memisahkan kamu dan Nala ….”Luna yang menjawab, menatap Azriel lekat.
“Enggak Mi … becanda.” Azriel meralat sambil memberikan tatapan peringatan kepada Aslan.
“Kalau kamu dan Nala memaksa, Silahkan pergi dari keluarga Devabrata.” Arkatama meninggikan intonasi suaranya, menatap nyalang Azriel.
“Enggak, Pi … ampun, Pi … sumpah becanda doank.”
Azriel jadi ngeri sendiri.
“Tapi kami enggak becanda, sayang … kamu enggak boleh menikahi sepupu, itu peraturan keluarga Devabrata.” Luna melembutkan garis senyumnya.
“Iya Mami cantik, Mami sayang Ziel.”
“Kamu juga enggak boleh menikahi Danisa.” Arkatama menambahkan.
“Kenapa?” Azriel tampak tidak terima.
“Ya masa, Papi besanan sama mantan Papi?” Arkatama sudah lebih santai.
“Danisa ‘kan bukan sepupu Ziel, kenapa enggak boleh?” Azriel masih saja ngotot.
“Dulu, waktu Briana ketahuan mencintai Papi … dia enggak diterima lagi di keluarga Devabrata … jadi, kalau kamu masih mau ngeliat Danisa … jangan jatuh cinta sama dia.”
Azriel berdecak lidah kesal. “Ribet banget deh aturan Devabrata.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
