
Chapter 41
“Halloooo.” Sapaan bernada riang dengan senyum lembut dan sorot mata hangat itu menyapa Amelia tatkala ia membuka pintu apartemen.
Amelia sudah tahu siapa yang menekan bel karena sebelumnya petugas resepsionis di bawah telah menginformasikan dan Amelia meminta petugas memberikan akses kepada mami Luna dan papi Arkatama untuk naik ke unit ini.
Tapi Amelia tidak pernah mengira mami Luna akan menyapanya begitu ramah.
“Ha-halo.” Amelia terbata lalu mendapat kecupan dari mami di kedua belah pipinya dan juga kening.
Amelia tertegun sesaat sampai wanita mungil itu melewatinya dan menyapa Aslan yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
“Apakabar, Mel?” Papi Arkatama menyapa.
“Baik.” Amelia menjawab seraya meraih tangan papi lalu mengecup bagian punggung tangannya.
“Sayangnya mami.” Mami Luna memeluk Aslan, menempelkan sisi wajah pada dada bidang Aslan.
“Mami kenapa enggak bilang mau ke sini? Aslan bisa jemput di Bandara.” kata Aslan usai mami mengurai pelukan.
“Enggak usah repot-repot, papi sewa mobil dan tadi menjemput kami di Bandara … lagian mami ‘kan ingin kasih surprise.” Mami Luna mengibaskan tangannya.
“Tante Lunaaaaa.” Danisa keluar dari kamar sambil berlari kemudian menabrak tubuh Luna.
“Aduuuh, ini anak kuliahan masih manja-manja aja.” Mami Luna sampai mundur selangkah ke belakang karena Danisa begitu kuat memeluknya.
“Sehat kamu sayang?” tanya Mami sebelum akhirnya mengecup pipi kiri dan kanan Danisa lalu keningnya.
“Sehat Mi, sehat banget malah.”
Mami mengusap pipi Danisa lembut.
“Masuk Mi … Pi …,” ajak Aslan.
Dia baru saja mengurai pelukan dengan papi dan giliran Danisa menyalami papi.
“Maafin kita ya, Bang … kita baru bisa ketemu kamu sekarang, kamu nikah mendadak banget … saat itu kami sibuk sekali mengurus pernikahan Sydney yang digelar beberapa minggu setelah kamu menikah … jadi mami sama papi enggak bisa datang ke Jakarta waktu kamu nikah.”
Papi langsung berbasa-basi ketika bokongnya baru saja menyentuh sofa.
“Iya, Bang … kemarin itu, duh … repot banget mami sama papi, yang mau nikahnya malah santai-santai aja.” Mami menimpali.
“Enggak apa-apa, Mi … Pi … Abang memang mendadak nikahnya dan kita juga enggak menggelar resepsi ….”
“Selamat atas pernikahannya ya, Bang … mami dan papi sangat bahagia.”
“Makasih, Mi.” Aslan mengelus punggung tangan mami lembut.
“Minum dulu Mi … Pi ….” Amelia datang membawa nampan berisi minuman dan camilan untuk mami dan papi.
“Terimakasih … mami jadi ngerepotin.”
“Enggak kok, Mi.” Amelia dan Aslan kompak menyahut.
“Mami nginep ‘kan?” Danisa memeluk lengan mami.
“Iya donk … kenapa? Kamu mau bobo sama Mami?”
Danisa menyengir, menunjukkan deretan gigi rapihnya sampai menyipitkan mata.
Danisa rindu maminya Azriel … juga putranya.
“Diminum ya, Mel.” Papi meraih cangkir berisi kopi, menyesapnya kemudian.
“Silahkan, Pi ….” Amelia yang sudah duduk di samping Aslan pun bergerak condong ke depan untuk membuka toples berisi kue.
“Enak ya kalau kopi buatan menantu,” gumam papi yang masih bisa di dengar semua orang di sana.
Mereka pun tertawa pelan.
“Sekalian cicipin kue buatan Flo, Pi ….” Itu Aslan yang sedang mempromosikan istrinya.
“Wah … Amel jago bikin kue juga?” Mami tampak takjub.
“Enak … memang keren mantu, Papi.” Papi kembali memuji membuat Amelia tersipu malu.
Dari tadi papi memang sengaja terus- terusan memuji Amelia, itu gara-gara mami mem-briefing papi selama dalam perjalanan agar papi terkesan ramah sehingga Amelia nyaman dan merasa diakui sebagai bagian dari keluarga mereka.
Tapi bayangkan saja, papi mengatakan pujian-pujian manis itu dengan ekspresi wajahnya yang dingin dan datar karena karakternya memang seperti itu.
“Iyaaa … enak.” Mami setuju setelah mencicipi satu keping kue kering buatan Amelia.
“Oh iya, Bang … papi sama mami ke sini bukan cuma mau kasih selamat atas pernikahan kamu aja tapi juga mau kasih kamu kado.” Papi kembali To The point padahal tadi mami sudah meminta agar pelan-pelan saja.
Tapi papi bingung harus membicarakan apa lagi karena tidak mungkin bertanya kenapa Aslan tidak hadir pada pesta pernikahan Sydney.
Hanya akan mengorek luka lama mereka.
Dan sekarang kalimat pertanyaan ‘Kenapa Aslan tidak hadir dalam acara keluarga Devabrata?’ atau ‘Kenapa Sydney tidak hadir dalam acara keluarga Om Aiden atau keluarga Devabrata yang turut mengundang Aslan?’ menjadi tabu untuk dilontarkan.
Keluarga tidak akan memaksa mereka untuk hadir di acara keluarga yang sama dan bila salah satunya sengaja tidak datang maka seluruh anggota keluarga harus mengerti.
Mami mendelik manja pada papi, menyerongkan tubuhnya menghadap Aslan dan Amelia.
“Kalian ikut kami sebentar ya?”
***
Mobil SUV premium yang di sewa papi beserta drivernya memasuki kawasan ClementinPark/Upper Bukit Timah.
Sebuah kawasan perumahan elite di Singapura.
Perlu dicatat, meski Singapura sesak dengan apartemen, tapi yang dimaksud perumahan di sini adalah rumah tapak.
Harga rumah di Singapura sangat tinggi dan itu memperlihatkan bahwa di sana punya rumah tapak adalah kemewahan.
Hanya orang-orang super kaya saja yang mampu membelinya.
Aslan belum memikirkan membeli rumah karena apartemennya yang sekarang saja hanya digunakan untuk tidur.
Aslan dan Amelia sibuk bekerja sehingga lebih sering menghabiskan banyak waktu di luar.
“Kita mau ke rumah siapa, Mi? Pi?” Danisa bertanya.
“Ke rumah Bang Aslan.” Mami menjawab sambil melirik Aslan.
Aslan lupa dengan ucapan papi yang mengatakan akan memberi kado.
Jadi mendengar Danisa bertanya mereka akan pergi ke rumah siapa, ia tidak pernah mengira kalau mami akan menjawab demikian.
“Mi!” Aslan berseru tidak terima karena tahu harga rumah tapak di sana seharga ratusan Milyar bahkan ada yang menyentuh angka satu Trilliun.
“Bang … keluarga Devabrata membelikan rumah untuk kamu membangun keluarga bersama Amelia.”
“Aslan enggak bisa terima, Pi.” Aslan menggelengkan kepala menatap horor papi Arkatama.
“Yaaa, jangan gitu donk Bang … ini sebenarnya ide mami … tapi papa kamu sama grandpa ngerecokin jadi mami sekalian isiin juga rumahnya … mami sampe tarik-tarik urat leher lho Bang sama desain interiornya, soalnya dia enggak ngerti-ngerti yang mami mau … sampai akhirnya mereka bisa mewujudkan rumah idaman mami … dan mami persembahkan untuk kalian, anak dan mantu mami tersayang.”
Mami merentangkan tangan ke arah sebuah rumah mewah saat mobil berhenti.
“Mi—“
“Makasih Mi … Pi …,” sambar Amelia.
Bukan maksud tidak tahu diri tapi tidak tega kalau harus melihat raut kecewa di wajah mami.
Selama ini Aslan tidak pernah menerima pemberian keluarga Devabrata kecuali biaya sampai dia menamatkan kuliah.
Aslan juga menolak mentah-mentah posisi CEO yang sekarang masih diduduki grandpa.
Amelia tahu kalau keluarga Devabrata menyayangi Aslan jadi ingin berkontribusi dalam kehidupan Aslan.
Mami menggenggam tangan Amelia sebagai bentuk rasa terimakasihnya.
“Mami tahu kamu mampu membeli rumah ini … tapi mami … papi … kami semua keluarga Devabrata ingin memberi sesuatu sebagai tanda sayang kami sama kamu, Bang ….” Sorot mata mami penuh permohonan agar Aslan mau menerima pemberian mereka.
Aslan menatap Amelia dan ia mendapati sorot mata yang sama di netra istrinya.
“Di dalam sudah ada orang yang akan mengurus surat-surat rumah ini … kamu tinggal tanda tangan aja ….” Papi berujar kembali.
Karena mami sudah berceloteh panjang lebar mengenai rumah idaman itu dan dari sorot mata papi yang terlihat begitu tulus dan berharap ingin kasih sayangnya diterima dengan baik oleh Aslan maka Aslan memutuskan menandatangani balik nama rumah tersebut menjadi atas namanya.
Orang-orang yang berkepentingan dalam balik nama itu kini sudah pergi.
“Berasa hidup, aku kalau tinggal di sini … tinggal di apartemen tuh … haduuuh, enggak enak banget deh.”Danisa berceloteh setelah berkeliling rumah menghasilkan kekehan papi yang ada di sampingnya.
“Nanti kamu sama Amelia akan punya anak … dan mereka membutuhkan ruang yang luas untuk bermain outdoor … makanya mami udah siapin perosotan kecil buat mereka … ada kolam anak juga, pokoknya kalian harus janji kasih mami cucu yang banyak ya.”
Aslan tersenyum simpul kemudian memeluk mami Luna dari samping.
“Makasih Mi … Pi … nanti Aslan telepon Papa Aiden dan grandpa.”
“Mereka pasti seneng kalau tahu kamu mau menerima rumah ini.”
***
Hai, Baby ….”
Sagara menyapa dengan nada selembut sutra penuh kasih sayang begitu Sydney masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
Tapi yang di sapa malah diam saja hanya melirik sekilas pada Sagara kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas lantas bermain game.
Mobil yang dikendarai driver pun melaju meninggalkan gedung Deva Corp.
“Suntuk banget … ada masalah pekerjaan?” Sagara bertanya penuh perhatian, siapa tau ia bisa membantu.
Ngomong-ngomong, mereka tetap tinggal di Jakarta.
Sagara kembali memimpin Palmer Corp Indonesia.
Sydney mengangkat pandangannya untuk menatap Sagara lalu tersenyum dan menggelengkan kepala.
Menjawab tanpa suara.
Ia lantas kembali fokus pada layar ponsel, memainkan game mengisi furniture dan menghias sebuah rumah.
Sagara kehabisan akal, ia tidak mengerti kenapa Sydney menjadi sangat pendiam tapi tidak ada raut kesal di wajahnya dan Sagara sendiri tidak merasa memiliki kesalahan.
Chat terakhir mereka pun siang tadi baik-baik saja.
Tangan Sagara terulur menarik pundak Sydney hingga Sydney bisa merebahkan kepala di pundaknya tapi sang istri masih tetap memainkan game di ponsel.
Sagara bisa melihat bagaimana Sydney memainkan game tersebut.
“Jangan warna ngejreng semua donk … ruang kerja pakai warna abu,” protes Sagara seraya menekan layar ponsel Sydney, memilih wallpaper warna abu.
Sydney tampak tidak keberatan, malah diam saja ketika Sagara iseng memilih furniture untuk ruangan kerja di rumah milik Sydney dalam game itu.
Jalanan di jam pulang kerja yang macet jadi tidak terasa dilewati Sagara dan Sydney karena asyik bermain game.
Sagara semakin tidak mengerti, jika Sydney sedang kesal padanya pasti tidak akan mau dirangkul apalagi membiarkan Sagara mengacak-ngacak gamenya.
Akhirnya mereka tiba di rumah, rumah yang dibeli Sagara sebelum menikah dengan Sydney dan Sydney sendiri yang memilih segala furniture-nya sebelum mereka tempati.
Sydney melangkah lebih dulu masuk lebih jauh ke dalam rumah meninggalkan Sagara.
Tidak seperti biasanya karena Sydney akan menggelayuti lengan Sagara dampak dari rasa rindu setelah seharian mereka dipisahkan oleh pekerjaan.
Sydney masuk ke dalam kamar, membuka pakaiannya menyisakan camisol berbahan satin yang panjangnya hingga pertengahan paha kemudian melangkah cepat menuju kamar mandi.
Sagara menahan pintu kamar mandi ketika Sydney hendak menutupnya.
“Mandi bareng?” Sagara menaik turunkan alisnya berkali-kali menghasilkan senyum yang sangat tipis di bibir Sydney lalu membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Sagara masuk.
Sydney tahu kalau mandi bersama adalah ajakan untuk bercinta jadi ia tidak menolak segala bentuk sentuhan Sagara.
Sydney mengalungkan kedua lengan di leher Sagara saat pria itu mendorongnya ke dinding dengan memegang belakang kepalanya agar tidak terbentur usai ia menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuh.
Sydney juga membalas setiap lumatan bibir Sagara sampai membangkitkan seluruh gairahnya.
Sagara menarik Sydney lebih dekat lalu mengangkatnya begitu saja sampai Sydney duduk di meja wastafel.
Mata Sydney mengerjap lemah dan napas memburu.
Sagara mengurungnya dengan kedua tangan yang ia diletakan di meja wastafel, menempelkan kening mereka kemudian kembali melumat bibir Sydney.
Satu tangan Sagara kini merayap memetakan setiap lekuk tubuh Sydney dan berhenti di dada untuk meremat bagian menyembul yang padat dengan puncaknya yang mulai mengeras.
Sagara tidak bisa untuk tidak mengulum bagian puncak itu jadi ia menunduk, meraupnya dengan mulut.
Jemari Sydney menyelip di antara rambut di bagian belakang kepala Sagara, mencengkram kuat di sana.
Sagara menegakan punggung setelah puas bermain dengan gundukan di dada Sydney, menurunkan boxernya kemudian bergerak maju dan mendesak Sydney.
“Saga ….” Sydney mulai gusar saat Sagara bergerak.
Sagara berusaha menenangkan dengan satu tangan yang memegang pinggul dan satu tangannya lagi menangkup sisi wajah Sydney.
Keduanya bergerak seirama, memberi dan menerima kenikmatan yang sedang mereka ciptakan.
Sydney menjerit kecil ketika mendapatkan pelepasannya membuat Sagara merasa puas.
Sagara memberi waktu jeda untuk Sydney tapi hanya sebentar karena pria itu menurunkan tubuh Sydney hingga kakinya menjejak lantai lalu membalikan tubuhnya sehingga Sydney bisa melihat pantulan dirinya di cermin.
Pinggangnya terasa di tarik ke belakang sehingga ia harus membungkuk lalu Sagara memasukinya kembali.
Sydney memejamkan mata, meringis pelan lantas membuka mata menatap pada cermin.
Melihat bagaimana Sagara menghentak di belakang sana sampai akhirnya wajah pria itu memerah, kepalanya menengadah kemudian mengerang panjang.
Setelah sama-sama mendapatkan kenikmatan—keduanya memutuskan berendam air hangat di dalam bathub.
Sydney bisa bersandar punggung di dada Sagara yang duduk di belakangnya.
Kepala Sydney bersandar setengah menengadah di pundak Sagara.
“Boleh aku tanya sesuatu, Syd?”
“Hem? Boleh … mau tanya apa?”
Suara Sydney terdengar santai, tidak seperti wanita yang sedang merajuk.
“Kenapa kamu diem aja semenjak masuk mobil, apa aku ada salah sama kamu?”
Sagara bertanya hati-hati kemudian menunduk mengecup pundak Sydney.
“Aku lagi mikirin gimana kalau kamu masuk Surga.”
Sagara mengerutkan kening. “Bagus donk kalau aku masuk Surga.”
Sydney diam selama beberapa detik menatap kosong pada langit-langit kemudian membuka mulutnya kembali.
“Enggak kuat bayangin kamu ciuman sama bidadari.”
“Ya udah, aku janji masuk Neraka aja.”
Sagara langsung menjawab detik berikutnya dengan sarkasme.
Jadi dari tadi Sydney diam saja karena itu?
Kenapa dia bisa berpikir seperti itu?
Apa Sydney tengah PMS dan hormon di dalam tubuh sedang mengendalikan pikirannya?
Sydney pun terkekeh tanpa dosa setelah tadi mendiamkan Sagara hingga pria itu kalut dan setelah mengetahui jawaban Sydney—rasanya Sagara ingin membenturkan kepalanya ke dinding.
Chapter 42
“Kamu seriusan mau makan ini semua?”
Sagara menatap Sydney seolah tidak percaya akan menghabiskan semua menu makan malam yang ia pesan.
Bayangkan saja, Sydney memesan lima menu makanan dan tiga minuman untuk dirinya sendiri.
“Kamu laper, sayang?” bisik Sagara bertanya sambil mencondongkan tubuh ke depan agar Sydney mendengar apa yang ia ucapkan.
Sydney mengangguk kemudian tersenyum.
“Kamu enggak pesen makannya?” Sydney balik bertanya karena tadi ia hanya mendengar Sagara memesan minuman saja.
Sagara menggelengkan kepala. “Takut kamu enggak habis, nanti biar aku yang habiskan.”
Karena Sagara sanksi kalau Sydney bisa menghabiskan semua menu makanan yang dipesannya.
Tidak lama pelayan datang membawa semua menu pesanan Sydney.
Sagara hanya memesan ice lecy tea dan ia menunggu Sydney selesai makan.
Namun kenyataan di luar dugaan Sagara karena Sydney menghabiskan semua makanan tersebut termasuk tiga gelas minumannya.
“Kenyang banget,” keluh Sydney sambil mengusap perutnya.
Sagara tidak habis pikir dengan porsi makan Sydney sekarang yang dua sampai tiga kali lipat dari sebelumnya.
“Pulang yuk! Aku ngantuk …,” cetus Sydney membuat tangan Sagara yang sudah terangkat di udara jadi urung memanggil pelayan.
Tadinya Sagara akan memesan makan malam untuk dirinya sendiri tapi karena Sydney mengajaknya pulang dan mengeluh mengantuk—Sagara memutuskan untuk batal memesan.
Sydney terlelap di pundak Sagara selama perjalanan pulang ke rumah saat mobil harus merayap mengarungi jalanan padat di jam pulang kerja.
Sagara terpaksa membangunkan Sydney karena Sydney harus mencuci muka lalu mengganti pakaian sebelum tidur.
“Sayang … bangun.” Adalah panggilan Sagara yang kesekian kalinya sambil menepuk pipi Sydney lembut.
“Sagaaaa ….” Sydney mengerang protes karena Sagara mengganggu mimpi indahnya.
Cup.
“Kita udah sampai.” Sagara memberitau setelah mencuri kecup di bibir Sydney.
Sydney turun dibantu Sagara, lalu menyandarkan setengah bobot tubuhnya pada Sagara dengan memeluk pria itu ketika masuk ke dalam rumah.
Entah kenapa Sydney rasanya bosan dan jenuh melalui setiap harinya.
Bangun pagi lalu pergi kerja kemudian pulang sore atau malam.
Setibanya di rumah, dia dan Sagara akan bercinta sebelum akhirnya tidur lalu kembali bangun esok paginya untuk pergi bekerja.
Begitu terus selama beberapa bulan ini.
Semenjak Nala menikah dan punya anak, Sydney tidak memiliki teman nongkrong lagi.
Terkadang memang Sagara mengajaknya makan malam di Caffe atau resto, tapi merka akan melakukan pembicaraan serius atau ujung-ujungnya Sagara akan menggombali Sydney.
Tidak ada lagi obrolan ringan tentang masalah wanita, gosip di kantor atau obrolan seru lainnya sesama wanita.
Ia menyalurkan rasa jenuh, bosan juga suntuknya pada makanan dan tidur.
Sydney membersihkan tubuhnya sebelum berganti pakaian dengan yang nyaman untuk tidur.
Lalu bergantian dengan Sagara yang masuk ke dalam kamar mandi setelahnya.
Beberapa menit kemudian Sagara keluar, aroma sabun menyeruak dari tubuh pria itu.
Suasana kamar dibuat temaram oleh Sydney yang terbaring di atas ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya.
Mata Sydney yang sudah setengah terpejam, kesadarannya juga nyaris memasuki alam mimpi ketika Sagara keluar dari walk in closet usai memakai pakaian tidur.
Sagara mengecek Sydney sebentar, memastikan sang istri telah terlelap karena ia akan mencari sesuatu di dapur untuk mengisi perut.
Sagara melihat mata Sydney terpejam, kemudian melangkah menjauh.
“Sagaaaaa.” Sydney memanggil dengan nada merengek ketika Sagara sudah tiba di depan pintu kamar mereka.
“Ya sayang? Kamu belum tidur?”
“Belum … peluk aku, aku enggak bisa tidur.”
Sagara menjauhkan tangannya dari handle pintu kemudian melangkah mendekati ranjang lalu merangkak naik ke atasnya.
Sydney langsung masuk ke dalam pelukan Sagara begitu pria itu berbaring di sampingnya.
Menghirup aroma Sagara dalam-dalam dari ceruk leher pria itu dan apa yang Sydney lakukan mampu membuat sesuatu milik Sagara menegang di bawah sana.
Lama kemudian terdengar bunyi dari perut Sagara, sesuatu sedang demo di dalam sana minta diisi.
Sagara menahannya hingga Sydney benar- benar tertidur pulas.
Sungguh tersiksa dirinya harus menahan hasrat dan lapar sekaligus.
Semakin lama perutnya semakin panas, ia harus segera mengisi perutnya sebelum penyakit maag menyerang.
Setelah mendengar napas Sydney berubah teratur, Sagara melepaskan pelukan lalu turun dari atas ranjang.
Tujuannya adalah dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Hanya ada buah-buahan di kulkas, Sagara mengambil beberapa apel dan anggur juga pisang lalu memakannya sendirian.
Setelah menghabiskan buah-buahan itu—Sagara naik ke kamarnya dan kembali memeluk Sydney kali ini dari belakang.
Tidak membutuhkan waktu lama sampai akhirnya Sagara masuk ke alam mimpi.
Tapi tidur Sagara harus terusik karena sesuatu menepuk pipinya.
“Sagaaaaa.”
Dan suara Sydney terdengar.
“Ya sayang?” Suara parau Sagara menyahut.
“Aku laper.” Sydney merengek.
Sepertinya Sagara sedang bermimpi karena tidak mungkin Sydney masih merengek mengatakan kalau dirinya sedang lapar sementara tadi menghabiskan lima macam menu untuk makan malam.
Sagara kembali memejamkan mata, ia percaya kalau itu adalah mimpi apalagi rasa kantuk tidak bisa dilawan lagi.
“Sagaaaaa.” Sydney berteriak sambil menekan kedua pipinya dengan jari membuat bibir pria itu mengerucut.
“Ya sayang?” Sagara kontan menegakan punggung lalu menoleh pada Sydney dengan rambut berantakan dan mata setengah terbuka.
“Aku laper.” Sydney menendang-nendang selimut hingga jatuh ke lantai.
“Lapar?” tanyanya memastikan.
“Iyaaaaa.” Sydney memanjangkan kata dengan nada merajuk.
Oke, berarti dia tidak sedang mimpi.
“Mau aku buatkan apa? Asisten rumah tangga enggak masak karena kita makan malam di luar tadi.”
Secara tidak langsung Sagara ingin mengingatkan kalau tadi Sydney baru saja makan malam dengan lima menu main course.
“Aku mau pasta.” Sydney menjawab, ia belum peka.
“Oke … aku buatkan.” Sagara turun dari atas ranjang.
“Aku ikut.” Sydney menyusul.
Sebetulnya Sagara bisa memanggil asisten rumah tangga yang tinggal di pavilliun belakang untuk membuat makan malam tapi tidak tega karena tadi ketika ia melirik jam dinding di kamarnya ternyata hari telah satu jam lalu berganti.
Dengan wajah mengantuk Sagara mencari pasta instan yang kemudian ia masak sendiri sambil sesekali menguap.
Sydney duduk di meja bar mengawasi Sagara memasak pasta lalu tersenyum setiap kali Sagara meliriknya dan pria itu membalas dengan senyum gemas … gemas ingin mencubit pipi Sydney karena menggganggu tidurnya.
Tapi cinta mengalahkan rasa malas, ngantuk dan kesalnya Sagara.
“Kamu enggak mau?” tanya Sydney setelah Sagara menggeser piring berisi pasta yang siap disantap ke depannya.
Sagara menggelengkan kepala. “Aku udah makan buah tadi.”
“Oh ….”
Mulut Sydney tidak bersuara lagi, ia makan dengan lahap dan hanya dalam beberapa menit pasta di piring itu sudah pindah ke perutnya.
Sagara tidak terlalu memusingkan lagi nafsu makan Sydney malah mencuri-curi tidur selama Sydney menghabiskan pastanya.
“Sayang … ayo kita tidur, aku ngantuk.” Sydney mengecup pipi Sagara membuatnya yang tengah menopang pipi dengan sikut bertumpu pada meja bar dengan mata terpejam itu pun refleks menegakan punggung dan memaksa matanya terbuka.
Sydney sudah menaiki tangga meninggalkan Sagara di dapur.
Sagara mengembuskan napas panjang, menggelengkan kepala samar lantas menyusul Sydney ke kamar.
Keesokan paginya Sydney mandi lebih dulu, ia kehabisan sabun kemudian berteriak dari bawah shower di dalam kamar mandi.
“Sagaaaaa.”
Terdengar suara langkah kaki mendekat disusul pintu yang terbuka.
“Kenapa sayang?” tanya Sagara dengan raut khawatir.
“Sabunnya habis.” Sydney menunjukkan wajah menggemaskan dan tubuhnya yang tanpa sehelai benang itu mampu meredam rasa khawatir Sagara.
“Aku pikir kenapa.” Sagara bergumam sambil membuka lemari penyimpanan di bawah wastafel.
Ia meraih satu botol sabun dari dalam sana kemudian tertegun ketika melihat ada empat bungkus pembalut yang masih utuh.
Sagara menoleh pada Sydney, tubuhnya diguyur air dari shower dengan volume kecil.
Mata Sagara tertuju pada perut Sydney yang memang sedikit membuncit.
Sagara bangkit sambil membawa botol sabun, perlahan melangkah mendekat dengan sorot mata tak terbaca membuat Sydney risih kemudian menutup dada dan bagian intinya dengan tangan.
Ah, Sydney menyesal memanggil Sagara.
Kenapa juga ia harus memanggil Sagara hanya untuk mengambilkan sabun dari dalam lemari wastafel.
Ia sendiri bisa melakukannya.
Tapi rasanya ada yang salah bila tidak membuat Sagara susah.
Sagara berhenti tepat di depan Sydney lalu memberikan botol sabun sehingga Sydney harus melepaskan tangan yang menutupi dadanya.
Dan saat itu lah tangan Sagara terulur menangkup payudara Sydney.
“Sagaaaa.” Sydney memprotes sambil menghela tangan Sagara.
“Diam sebentar, aku lagi ukur payudara kamu.” Sagara tidak melepaskan begitu saja gundukan yang terasa semakin membesar itu.
“Syd … kayanya kamu hamil, ini terasa lebih besar,” cetus Sagara yang kemudian menangkup satu lagi payudara Sydney sehingga kini kedua tangan Sagara berada di dada Sydney.
“Apaan sih, enggak mungkin lah … udah sana, aku mau mandi.”
Sydney mendorong pelan tubuh Sagara dan pria itu tetap bergeming.
“Kamu yang banyak makan akhir-akhir ini, banyak pembalut yang belum terpakai di lemari, perut kamu yang sedikit membuncit, lalu payudara kamu yang membesar ….” Sagara menjeda.
“Dan sikap kamu yang kadang nyebelin,” sambung Sagara di dalam hati.
“Kayanya kamu hamil, aku yakin …,” kata Sagara meski wajahnya tampak ragu.
Sydney mengerutkan kening, bola matanya diseret ke atas—Sydney sedang mengingat-ngingat kapan terakhir kali ia menstruasi.
“Perasaan … kita make Love terus ya?” Sydney bergumam.
“Betul ‘kan? Udah lama kamu enggak dapat tamu bulanan kamu, kamu pasti hamil.”
Sagara terlihat begitu yakin, ada seberkas harap juga di pendar matanya.
Raut wajah Sydney tiba-tiba berubah, matanya memicing curiga.
“Kenapa kamu tahu tanda-tanda kehamilan? Selain Claudia siapa lagi yang udah kamu tidurin? Ngaku!” Sydney menekan telunjuknya di dada Sagara.
“Eng … enggak ada.” Sagara menggelengkan kepala.
“Bohong! Terus kenapa kamu tahu kalau payudara membesar itu adalah tanda kehamilan?” desak Sydney lagi.
“Pria mana yang enggak tahu?” Sagara mengangkat kedua bahunya.
Bibir Sydney mencebik lalu mendorong Sagara ke dalam kamar mandi untuk bergantian membersihkan tubuh sebelum mereka pergi kerja.
Dengan tergesa Sydney mengenakan pakaian, ia tidak berdandan karena malas juga tidak sarapan dan meminta driver mengantarnya ke kantor tanpa Sagara.
Keluar dari kamar mandi Sagara celingukan karena biasanya Sydney akan duduk di meja rias.
Ia berpikir kalau Sydney mungkin sudah turun untuk sarapan tapi ketika ia tiba di ruang makan—asisten rumah tangga memberitau kalau Sydney baru saja pergi tanpa sarapan.
Sagara memejamkan mata sekilas kemudian menghirup udara dalam setelah itu mengeluarkannya untuk meredakan emosi.
Sagara juga pergi tanpa sarapan pagi, ia mengemudikan sendiri mobilnya ke kantor.
“Udah dimasakin tapi enggak di makan, giliran enggak masak malah masak sendiri bikin berantakan dapur.” Sang asisten rumah tangga menggerutu.
Hanya karena Sagara mengetahui tanda-tanda kehamilan pada wanita—Sydney mendiamkan Sagara.
Tidak membalas chat bahkan tidak menjawab panggilan teleponnya membuat Sagara gusar seharian ini apalagi pekerjaannya banyak sekali.
Jadwalnya sangat padat sehingga tidak bisa menyempatkan menemui Sydney di kantornya untuk mengajak makan siang bersama.
Sydney juga pulang lebih dulu ke rumah padahal Sagara sengaja menjemput.
Selama perjalanan pulang—tanpa driver—di jam pulang kerja yang macet, Sagara berusaha menenangkan emosinya.
Tingkah Sydney akhir-akhir ini memang ajaib, sulit ditebak dan moody juga nafsu makannya meningkat.
Sesampainya di rumah Sagara menderapkan langkahnya menaiki anak tangga karena menurut informasi yang ia dapatkan dari sang asisten rumah tangga—Sydney baru saja masuk ke dalam kamar.
“Syd … kita harus bicara,” ujar Sagara serius ketika memasuki kamar dan melihat Sydney baru saja akan menutup pintu kamar mandi.
“Mau ngomong apa? Cepetan ngomong, hah?” Sydney malah nyolot dengan mengangkat dagunya, kedua tangan di pinggang dan matanya melotot menatap Sagara.
Sagara langsung ciut, ia kalah galak dari Sydney.
“Itu … kenapa kamu menghindar seharian ini?” Sagara bertanya dengan suara yang sudah jauh lebih rendah.
“Kamu pikir aja sendiri,” jawab Sydney ketus.
Sagara melangkah mendekat, raut wajahnya melembut.
“Aku minta maaf,” katanya seraya meraih kedua tangan Sydney lalu mempertemukan netra mereka, menatap Sydney lekat.
“Aku tahu tanda-tanda kehamilan seorang wanita karena dulu Claudia yang mengatakannya … dia bilang kalau payudaranya membesar setelah beberapa minggu kami bercinta, katanya itu tanda-tanda kehamilan … aku sempat syok karena takut sekali kalau dia sampai beneran hamil … tapi setelah melakukan tes menggunakan testpack ternyata dia enggak hamil malah justru sedang dalam masa PMS … jadi aku ingat terus tanda kehamilan itu … tadi pagi aku lihat empat bungkus pembalut yang belum kamu gunakan jadi aku pikir kamu hamil.”
Sagara mengaku dengan menjelaskan panjang lebar.
“Tuh ‘kan, kamu masih inget-inget Claudia ….” Sydney gagal fokus.
“Kenapa sih kamu enggak nikah aja sama dia kalau masih inget-inget dia terus?”
Sydney melipat tangannya di dada.
“Ya karena aku enggak cinta sama dia … sekarang aku cintanya sama kamu.”
Sydney sengaja mengembuskan napas kasar kemudian membuang pandangan ke arah lain memberitau Sagara kalau ia sedang tidak menerima gombalan dari pria itu.
“Dah lah males … kamu tidur di luar, aku enggak mau liat muka kamu.”
Deg.
“Syd ….”
Sagara melangkah mendekat dengan tangan terulur hendak menyentuh Sydney tapi Sydney menghela kasar lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Akhirnya Sagara tidur di sofa ruang televisi tepat di depan kamarnya setelah tadi Sydney melempar bantal dan selimut, ia juga mandi di kamar mandi di dekat ruang televisi.
Bisa dibilang ini pertengkaran pertama mereka setelah menikah beberapa bulan lalu.
Pertengkaran dari sesuatu masalah yang Sagara sendiri bingung apa sebenarnya masalahnya?
Masa ia disalahkan hanya karena mengetahui tanda-tanda kehamilan seorang wanita?
Sagara menarik selimut menutupi kepala, sebetulnya bisa saja ia tidur di kamar tamu tapi ingin membuat Sydney merasa kasihan dan bersalah padanya esok pagi.
Ceklek.
Tidak lama pintu kamar mereka terbuka, Sagara bisa mendengar suara langkah kaki mendekat.
Sagara tahu kalau itu Sydney.
Lalu sofa besar itu terasa sempit karena Sydney juga berbaring di sampingnya.
Sagara membuka selimutnya membuat netranya bersirobok dengan netra Sydney yang masih mengobarkan api permusuhan.
“Aku minta maaf karena teriak-teriak sama kamu tapi aku masih kesel sama kamu,” katanya dengan nada manja tidak seperti sorot matanya.
“Aku minta maaf,” balas Sagara meminta maaf untuk apapun kesalahannya bahkan yang belum ia perbuat atau sekalipun ia tidak salah.
Pokoknya ia minta maaf dan mengaku salah.
Salahkan saja dirinya.
Sydney mengeluarkan sesuatu dari kantung piyama dress.
Sebuah benda putih dengan indikator menunjukan tanda positif berwarna merah tepat di bagian tengah.
“Kamu bener, aku hamil …,” ujar Sydney saat Sagara masih menatap testpack di tangannya.
Ternyata perasaan gundah yang tengah melanda Sydney akhir-akhir ini bukan bosan melainkan ia sedang diliputi hormon ibu hamil.
Sagara menegakan punggung lalu menarik Sydney agar duduk di atas pangkuan menghadapnya.
Ia memang sudah menduga tentang kehamilan Sydney tapi entah kenapa masih saja syok, terkejut dan tidak percaya.
Sagara tertawa pelan menatap pada Sydney kemudian testpack di tangannya secara bergantian.
“Kamu hamil ….” Sagara bergumam dengan mata berbinar.
“Aku akan jadi seorang ayah …,” sambungnya lagi.
“Tapi aku kesel sama kamu ….” Sydney terdengar menggerutu.
“Enggak apa-apa … aku akan tahan kamu marah-marahin … kamu pukul aku juga enggak apa-apa … aku enggak makan seminggu juga aku rela … kamu tuduh aku macem-macem pun akan aku terima … karena kamu hamil anak kita.”
Sekarang Sagara percaya kalau ternyata sikap menyebalkan dan nafsu makan Sydney yang besar adalah karena sedang mengandung anaknya.
Sagara merangkum wajah Sydney kemudian menarik pelan hingga ia bisa mengecup bibir mengerucut Sydney.
Dada Sagara nyaris meledak akan rasa bahagia, tidak menyangka bisa secepat ini mendapat keturunan.
Ia berpikir kebaikan apa yang dilakukannya di masa lalu sehingga Tuhan bertubi-tubi menganugerahkan kebahagiaan kepadanya dimulai dari mendapatkan Sydney kembali setelah ia sempat merelakannya lalu mendapat kepercayaan seorang malaikat kecil.
Sagara menunduk menatap perut Sydney kemudian mengusap lembut.
“Besok kita periksa ke dokter ya?”
Sydney menganggukan kepala dengan wajah masih memberengut.
“Kamu enggak kelihatan bahagia, Syd.” Netra Sagara bergerak liar menatap Sydney dengan kening mengkerut terlihat bingung dan resah.
Khawatir Sydney tidak mengharapkan kehamilan ini.
“Aku bahagia tapi aku kesel sama kamu ….” Sydney bicara tidak jelas karena bibirnya masih mengerucut.
“Karena aku tahu tanda-tanda kehamilan seorang wanita?” tebak Sagara.
“Mungkin … yang pasti aku kesel aja sama kamu tapi ingin tidur dipeluk kamu.”
Rumit memang perasaan Sydney yang tengah dikuasai hormon ibu hamil.
Sagara tertawa lantas membawa Sydney ke kamar dan menjatuhkannya perlahan di atas ranjang.
Setelah ia memastikannya ke dokter kandungan, Sagara baru akan memberitahu seluruh keluarga.
Kalau perlu ia akan mengirim email kepada Aslan dengan melampirkan foto USG anaknya.
Sagara masih kesal karena Aslan mendahului pernikahannya dengan Sydney.
Lucunya, meski wajah Sydney memberengut tapi Sydney melesak masuk ke dalam pelukan Sagara.
Mata Sagara terpejam dengan bibir tersenyum lebar.
Chapter 43
Langit sudah gelap ketika Aslan tiba di rumah.
Terpaksa ia harus mentraktir para karyawan di kantor setelah jam kerja selesai karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Aslan tidak tenang selama acara makan malam tadi karena meninggalkan Amelia di rumah sendiri.
Tadi pagi Amelia mengatakan tubuhnya begitu lemas sampai sulit untuk beranjak dari tempat tidur.
Jadi Aslan memberi ijin agar Amelia beristirahat di rumah.
Ia juga meminta asisten rumah tangga untuk menginap malam ini menemani Amelia karena Danisa sedang pulang ke Jakarta.
Lampu ruang tamu sudah padam, Aslan membuka sepatu lalu menyimpan kunci mobil di mangkuk hias di atas meja.
Langkahnya terayun ringan lebih jauh ke dalam rumah.
Sepi menyambutnya, mungkin Amelia sudah tidur karena tadi ia mengatakan agar Amelia tidak perlu menunggu.
“Happy b’day … to you.”
Suara bisikan yang melantunkan lagu selamat ulang tahun terdengar dari ruang televisi.
Aslan menghentikan langkah yang hendak meniti anak tangga, ia menoleh dan mendapati Amelia berdiri tidak jauh darinya dengan kedua tangan memegang kue ulang tahun kecil beserta satu lilin kecil yang menyala menyinari wajahnya sementara ruangan di sana dalam keadaan temaram.
Aslan mendekat membawa senyum tipisnya.
“Happy b’day dear Husband … Happy b’day My Love.”
Amelia menyambung nyanyian selamat ulang tahun untuk Aslan hingga pria itu berdiri tepat di depannya.
Aslan sedikit menunduk agar bisa meniup lilin ulang tahun tersebut dengan sekali hembusan napas.
“Happy b’day,” ucap Amelia sekali lagi.
“Thanks.”
Aslan mengecup bibir Amelia sekilas kemudian mengambil alih kue ulang tahun kecil itu dari tangan Amelia.
“Kamu udah baikan?” Aslan bertanya seraya menempelkan punggung tangannya ke kening Amelia.
“Aku udah baikan, kok.” Amelia menjauhkan tangan Aslan dari kening kemudian mengubahnya menjadi genggaman.
“Aku punya hadiah untuk kamu.” Amelia menuntun Aslan duduk di sofa.
“Wah ….” Aslan tampak terkejut padahal belum mengetahui kado apa yang akan diberikan Amelia kepadanya.
Ia meletakan kue itu di atas meja sebelum akhirnya duduk di sofa di samping Amelia yang kini sedang memegang sebuah kotak di atas pangkuan.
Aslan menatap kotak dengan pita biru di atasnya.
Ia berpikir mungkin isi kotak itu adalah jam tangan atau dasi.
“Kamu enggak perlu kasih aku kado,” kata Aslan yang merasa tidak enak hati karena khawatir Amelia menghabiskan tabungannya hanya untuk membeli kado itu.
Amelia mengamati wajah Aslan sambil tersenyum.
Aslan menegakan punggung, menyerongkan posisi duduknya agar bisa membalas menatap Amelia yang gerak-geriknya tampak misterius.
“Aku enggak tahu kamu akan suka atau enggak dengan kado ini … aku sadar kalau aku hanya pelarian kamu aja, kamu jadikan aku obat untuk bisa melupakan Sydney … bisa dinikahi dan dicintai kamu aja udah merupakan keberuntungan buat aku … aku enggak berharap lebih … dan kalau kamu enggak suka kado ini aku—“
Kalimat Amelia terjeda karena Aslan merebut kotak itu dari tangannya.
Aslan begitu penasaran dengan isi kotak tersebut sampai Amelia tidak percaya diri dan mengungkit masa lalu yang sedang berusaha ia lupakan.
Tanpa ijin, Aslan membuka kotak tersebut kemudian membelalakan mata saat melihat isinya.
Aslan mengambil sebuah testpack dengan garis dua dari dalam kotak, menatap testpack dan Amelia secara bergantian.
Pria itu seperti tidak percaya dengan apa yang sedang dipikirkannya setelah melihat testpack tersebut.
Amelia menelisik mencari tahu apa yang Aslan rasakan karena raut wajah pria itu tampak datar dan dingin.
Aslan mengembalikan testpack ke dalam kotak dan gantian mengambil satu lembar foto USG kemudian membaca baik-baik setiap tulisan kecil yang ada di sana, ternyata sepuluh minggu usia janin itu di dalam perut Amelia.
Amelia meremat kedua tangannya, ia khawatir Aslan belum siap menerima kehadiran buah hati mereka karena belum benar-benar melupakan Sydney.
Ia terkejut saat melihat Aslan tertawa tapi matanya berkaca-kaca.
“Aku enggak akan memaksa kamu untuk—“
Aslan merengkuh pinggang Amelia dengan kedua tangan membuat tubuh mereka merapat kemudian mencium bibirnya lembut.
Mata Amelia terpejam dan Aslan bisa merasakan bibir Amelia tersenyum dampak dari perasaan lega karena tindakan Aslan yang menciumnya berarti pria itu mau menerima bayi ini.
Ciuman Aslan berubah menuntut, kedua tangan kekar pria itu juga memeluk Amelia kian erat sampai sang istri nyaris sesak napas.
“Eh … Sorry.” Aslan menjauhkan tubuh mereka ketika menyadari ada bayi di dalam perut Amelia.
Aslan menangkup pipi Amelia kemudian menciumnya kembali.
“Terimakasih kadonya, aku suka.”
Aslan sengaja menatap Amelia lama, membiarkan wanita itu melihat kesungguhan di matanya sampai akhirnya bibir Amelia tersenyum dan Aslan memberi dekapan erat.
***
Suara mengerikan terdengar dari dalam kamar mandi, Aslan yang baru saja masuk ke kamar membawa satu gelas teh manis untuk Amelia langsung memburu istrinya itu di kamar mandi setelah sebelumnya menyimpan mug berisi teh manis di nakas samping ranjang.
Ketika membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci, Aslan melihat Amelia berlutut di depan closet untuk memuntahkan sesuatu dari dalam perutnya.
Aslan meringis,menyatukan rambut Amelia dari kedua sisi wajah wanita itu kemudian dengan satu tangan mengurut tengkuk Amelia.
Beberapa hari ini Amelia tidak bekerja karena tubuhnya lemas dan selalu mual muntah setiap pagi.
Jadi Aslan mencari pegganti Amelia hanya sementara sebagai sekertaris untuk membantu pekerjaannya kantor.
“Kamu pergi aja, nanti terlambat kerja … aku enggak apa-apa,” kata Amelia dengan napas terengah.
Padahal sesungguhnya Amelia ingin seharian berada di pelukan Aslan di atas ranjang mereka.
Tapi Aslan mana tega meninggalkan Amelia dalam keadaan seperti itu namun dia juga tidak melakukan bantahan secara verbal.
Ia membantu Amelia bangkit setelah puas mengeluarkan isi perutnya.
Amelia membasuh wajah dan mulutnya di wastafel.
Wanita itu tampak pucat dan lemah karena terus muntah sementara tidak ada makanan yang masuk ke perutnya.
Amelia selalu mengatakan kalau makanan yang disodorkan kepadanya itu bau.
Jangankan memakannya, menghirup aromanya saja Amelia sudah mual.
Aslan menggendong Amelia membuat yang bersangkutan memekik tertahan.
“Turunin aku … nanti jas sama kemeja kamu kusut.”
Amelia memprotes lemah tapi Aslan tidak bersedia menurut, ia pun menurunkan Amelia di atas ranjang.
“Aku akan minta Danisa agar segera kembali ke Singapura.” Aslan bergumam sambil mengotak-ngatik ponselnya.
“Enggak usah, biar dia liburan sama mama dan papa ….” Tangan Amelia terulur menutup layar ponsel Aslan.
“Aku enggak apa-apa,” ucapnya mencoba meyakinkan Aslan.
Aslan mengembuskan napas lalu duduk di samping Amelia, tidak tega melihat penderitaan istrinya.
Meski tidak banyak bicara tapi kerutan di antara alis Aslan dan sorot matanya yang teduh menyiratkan banyak kekhawatiran.
“Kamu mau makan apa?” Aslan menempelkan telapak tangannya di sisi wajah Amelia, ibu jarinya mengusap lembut di pipi.
“Aku mau rendang Padang.” Amelia berbisik.
Aslan ingat ada stand masakan Indonesia yang menjual rendang Padang di foodcourt Vivo City Mall.
“Kamu tunggu di sini ya, aku beli dulu rendang padangnya.”
Aslan beranjak dari sisi ranjang, membungkuk sebentar untuk mengecup puncak kepala Amelia.
“Minum teh manisnya biar kamu memiliki tenaga.”
Aslan mengendik pada gelas teh manis di sisi ranjang.
“Iya … nanti, tunggu teh manisnya hangat.”
Amelia tadi melihat kepulan asap di atas gelas.
Setelah mengecup puncak kepala Amelia lagi—Aslan pergi ke Vivo City Mall di antar driver, dalam perjalanan ia memberitau sekertaris barunya akan datang terlambat.
Tidak lama kemudian ia tiba di Mall, turun di loby depan dan meminta driver menunggu sebentar.
Amelia : Sayang, beli coklat juga ya.
Aslan : Oke.
Aslan memasukan ponsel ke saku celana lalu meraih kantung keresek berisi rendang Padang pesanan Amelia dan menyerahkan struk bukti pembayaran di kasir.
Langkahnya terayun ke sebuah toko coklat, ia memilih beberapa jenis coklat kesukaan Amelia lalu membayarnya di kasir.
Baru dua langkah keluar dari toko coklat, ponsel Aslan bergetar pendek—ia merogohnya dari dalam saku lalu membaca sebuah pesan di sana.
Amelia : Sayang, ice cream kayanya enak.
Aslan : Oke, aku belikan untuk kamu.
Aslan mencari toko ice cream, ia memesan rasa vanila Mango rasa favorite Amelia.
Amelia mengirim pesan lagi kepada Aslan sesaat sebelum ia menaiki mobil.
Amelia : Sayang, aku mau marshmellow.”
Aslan menarik napas dalam kemudian mengembuskan perlahan untuk me-reffil sabarnya.
“Parkir saja ke basement, masih ada yang harus saya beli,” titah Aslan kepada driver sebelum akhirnya ia turun kembali.
Aslan pergi ke toko coklat lagi, ia sempat melihat ada marshmellow di sana tapi tidak membeli karena bukan yang Amelia pesan sebelumnya.
Aslan : Mumpung aku masih di Mall, kamu mau makanan apalagi?
Setelah membayar marshmelllow Aslan mengirim pesan kepada Amelia.
Aslan akan membelikan apapun yang Amelia ingin makan meski tahu kalau hanya sedikit bahkan terkadang Amelia tidak memakan makanan yang ia belikan dengan alasan tidak suka dengan aromanya.
Amelia : Aku mau buah persik, sayang.
Aslan : Oke.
Balasan Aslan hanya itu, jangan lupakan kalau ia adalah pria dingin dan tidak biasa berbasa-basi.
Dan hampir seharian Aslan mengelilingi Mall juga pasar tradisional di Singapura hanya untuk mencari buah persik keinginan sang istri yang tengah hamil muda.
Entah kenapa sulit sekali mendapatkan buah itu tapi dengan usaha yang sungguh-sungguh akhirnya Aslan menemukan buah persik walau harganya cukup mahal.
Aslan : Aku udah dapet buah persiknya, kamu mau apalagi?
Amelia : Aku mau kamu dan akhiran panggilan sayang untuk aku setiap kamu membalas pesan.
Aslan tersenyum membacanya.
Aslan : Oke sayang, aku pulang sekarang bawa semua pesanan kamu.
Aslan mendapat balasan pesan berupa emotikon simbol hati dari Amelia.
Sesampainya di rumah, Aslan melihat Amelia sedang duduk di meja makan.
Ada sebuah keresek dengan kotak berlogo restoran chinese food di atas meja.
“Aku tadi pesen ini dulu buat ganjel perut soalnya laper banget.”
Amelia memberi alasan karena Aslan hanya berdiri menatap tajam pada chinese food yang tengah disantap Amelia dengan tangannya menenteng banyak keresek dan paperbag.
Aslan tidak bersuara, menyimpan semua pesanan Amelia di atas meja makan.
“Kamu enggak mual muntah makan itu?”
Amelia menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“Nih … aku abisin.”
Tangannya mengangkat kotak makan yang sudah kosong.
Aslan berusaha mengkondisikan tampang dinginnya agar Amelia tidak melihat kekesalan di wajahnya saat ini.
“Kamu mau makan yang mana dulu? Ada rendang, coklat, ice cream—“
Amelia menahan tangan Aslan yang hendak membuka paperbag membuat kalimat pria itu pun terhenti.
“Aku udah kenyang … aku mau tiduran aja.”
Amelia beranjak dari kursi sementara Aslan mengerjap.
Jadi, pencarian makanan yang dilakukannya setengah hari ini sia-sia?
“Aslan ….” Amelia mengikis jarak dengan Aslan, memegang kedua sisi jas pria itu lantas menempelkan kening di dada bidangnya.
“Anak kamu minta dikelonin bobonya.” Amelia bergumam.
Aslan mengembuskan napas panjang sambil membuka jas lalu ia sampirkan di sandaran kursi meja makan.
Detik berikutnya Amelia merasakan tubuhnya melayang.
Aslan menggendong Amelia dan kedua tangan Amelia langsung melingkar di leher Aslan.
“Kamu bolos kerja hari ini.” Kalimat Amelia yang diucapkan dengan nada rendah itu terdengar seperti teguran di telinga Aslan.
Padahal alasan Aslan masih belum menginjakkan kakinya di kantor hingga siang ini adalah karena harus mengikuti keinginan Amelia.
“Nanti sebentar aku ke kantor … setelah kamu tidur.”
Aslan menyahut sambil melangkah menaiki anak tangga.
“Kalau anak kamu ingin meluk kamu terus gimana?”
“Aku bawa kamu ke kantor.”
Amelia melepaskan kekehan singkat dan Aslan mencium bibirnya ketika wajah cantik sang istri mendongak.
Perlahan Aslan menurunkan Amelia di atas ranjang.
Pria itu berdiri dengan lutut di sisi ranjang, tangannya menarik simpul dasi kemudian membuka kancing kemeja.
“Kamu mau apa?“ Amelia menatap horor pada suaminya.
“Aku minta imbalan ….” Aslan menjawab, kedua tangannya kini sibuk membuka gesper setelah melempar kemeja ke lantai.
“Imbalan untuk apa?” Amelia beringsut saat Aslan mengungkungnya dari atas.
“Kamu udah nyuruh-nyuruh aku beli ini beli itu tapi enggak di makan.” Aslan menggerutu
Detik berikutnya menempelkan bibir dengan bibir Amelia, memagut lembut bibir itu sebelum Amelia melontarkan penolakan.
Amelia hanya bisa mendesah saat tangan Aslan masuk ke dalam kaosnya dan meremat gundukan besar di sana.
Banyak menit berlalu mereka habiskan untuk bercinta dan karena itu terpaksa Amelia harus menunda tidur siangnya.
***
Sydney menengadahkan kepala, matanya terpejam saat gelombang kenikmatan itu sebentar lagi akan ia raih.
Kedua tangan Sydney yang melingkar di leher Sagara merayap ke atas untuk meremat lembut rambutnya memberitau Sagara bila ia tengah terombang-ambing dalam kenikmatan.
“Syd ….” Sagara menggeram seiring gerakan Sydney semakin liar di atas pangkuannya.
“Pelan-pelan sayang … bayi kita.” Sagara mengingatkan tapi Sydney sudah berada di penghujung kenikmatan dan ia malah menambah tempo gerakan naik turunnya.
Satu tangan Sagara perlahan naik menangkup dada Sydney dari luar kemeja sedangkan yang satunya lagi menarik tengkuk Sydney agar menunduk sehingga ia bisa melumat kembali bibir yang telah bengkak karena ulahnya itu.
Sagara mengurai pagutan, bibirnya beralih pada dua gundukan menyembul yang mengintip dari kemeja yang telah terbuka kancingnya.
Hanya sekali usap saja kemeja satin Sydney luruh dan tertahan di bagian sikut.
Tangan Sagara begitu cekatan membuka kaitan bra di belakang punggung Sydney, membebaskan dua gundukan yang langsung di raup dengan mulutnya.
“Sagaaaa ….” Sydney mendesah gusar.
“Baby ….” Suara parau Sagara menyahut.
Hentakannya melambat tapi menekan kuat beberapa kali diiringi erangan panjang terdengar dari bibir keduanya.
Sydney terkulai lemas di pundak Sagara, napas keduanya memburu berebut oksigen.
Tok …
Tok …
Sontak saja Sydney menegakan tubuh, matanya membulat terkejut tapi ingat kalau sebelum mereka bercinta—Sagara sempat mengunci pintu ruangannya.
Sydney hendak turun dari atas pangkuan Sagara tapi pria itu menahan pinggangnya.
“Tahan dulu Lus, saya masih ada urusan sama istri saya,” teriak Sagara kepada sekertarisnya-Lussy orang yang mengetuk pintu barusan.
“Baik, Pak.” Lussy menyahut.
Sagara mememeluk Sydney lagi, masih ingin terbenam di dalam Sydney.
“Aku akan merenovasi ruangan sebelah.” Sagara bergumam.
“Untuk apa?”
“Akan aku jadikan kamar untuk kita bercinta.”
Sydney menegakan punggung agar bisa menatap wajah tampan suaminya.
“Siapa tahu kejadian ini terulang lagi, kamu bertindak impulsif tiba-tiba datang ke kantorku dan mengajak bercinta.”
Sydney menatap kesal pada Sagara lantas turun dari atas pangkuannya.
“Baby …,” Sagara menahan tangan Sydney.
“Aku mau benerin baju.” Sydney melepaskan tangannya dari Sagara.
“Sekali lagi yuk,” ajak Sagara setengah memohon sampai menunjukkan tampang memelas.
“Aku harus balik ke kantor.” Sydney mengancingkan kembali kemeja lalu merapihkannya dengan memasukan ujung kemeja itu ke dalam rok pencil yang telah ia turunkan tadi karena sempat hanya melingkar di pinggang saat bercinta dengan Sagara di sofa.
Sagara ikut bangkit dari sofa, menarik sleting celananya kemudian merapihkan juga kemeja yang keluar dari bagian pinggang celana.
“Pulangnya aku jemput ya?”
“Enggak usah, aku lembur.” Sydney menolak.
“Ya udah aku temenin lembur.”
“Enggak usah, nanti aku enggak konsen.”
Tapi Sagara akan memaksa datang ke kantor Sydney setelah jam kerja usai.
Sydney mendekat hanya untuk memberikan ciuman perpisahan lalu pergi keluar dari ruang kerja Sagara usai menyambar tasnya dari single sofa dekat pintu.
Sagara tertegun, ia merasa seperti pria bayaran pemuas nafsu sesaat yang ditinggalkan begitu saja setelah Sydney mendapatkan kepuasan.
Suara pintu tertutup menyadarkan Sagara, mengusap wajah kasar kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa dari kegiatan bercintanya dengan Sydney.
Entah bayi apa yang ada di dalam rahim Sydney karena tidak ada tanda-tanda kehamilan seperti wanita pada umumnya pada diri Sydney semenjak dinyatakan mengandung.
Sydney telah memeriksakan kandungannya dan ternyata usia kandungan Sydney sudah berjalan enam belas minggu tapi Sydney tidak pernah merasa mual muntah atau lemas.
Malah kondisi fisiknya terlihat fit.
Setiap hari Sydney ke kantor tanpa ada drama morning sick.
Mereka juga masih bercinta seperti biasa dengan banyak gaya tapi Sydney tidak mengeluh sakit malah hasratnya semakin besar saja.
Buktinya Sydney tiba-tiba datang ke kantor hanya untuk mengajak bercinta.
Tapi setidaknya Sydney yang semakin berhasrat itu patut disyukuri karena Sagara tidak perlu meminta—Sydney sudah lebih dulu menyerahkan diri.
Sydney tidak langsung pergi setelah keluar dari ruangan Sagara, ia menghampiri Lussy di mejanya.
“Mbak Lussy ….”
Lussy mendongak dari layar komputer. “Ya Bu?” Ia lantas beranjak berdiri.
“Apa ada karyawan atau klien perempuan yang godain suami saya kemarin dan hari ini?”
Sydney bertanya kelewat santai tapi tampangnya serius tanpa senyum.
Lussy tersenyum tapi senyumnya tidak sampai ke mata.
“Eng—gak ada Bu.” Lussy menjawab gugup.
“Kalau ada, kasih tahu saya ya.” Sydney memberikan kartu nama kepada Lussy.
Lussy menerima kartu nama itu kemudian hanya mengarahkan pandangan ke sana tanpa membacanya untuk mengalihkan tatap dari Sydney.
“Kenapa Bu?”
Semestinya Lussy cukup menjawab ‘Baik Bu’ bukannya banyak bertanya.
“Mau saya karungin terus buang ke laut perempuan itu.”
Sydney pergi usai menjawab demikian membuat Lussy tercengang dan menahan napas karena dari sorot mata Sydney ketika berbicara menunjukkan bila wanita itu tidak main-main.
Banyak yang belum mengetahui kalau CEO Palmer Corp di Indonesia sudah menikah karena pesta pernikahan Sagara dengan Sydney diselenggarakan di Sydney sementara sekarang mereka berdomisili di Jakarta.
Hanya klien besar yang diundang ke sana bahkan karyawan di kantor Sagara saja tidak banyak yang tahu kalau Sagara sudah menikah.
Dan tindakan impulsif Sydney mendatangi kantor Sagara bukan hanya karena ia sedang ingin bercinta dengan Sagara tapi juga ingin melihat tampang Lussy-sekertaris baru Sagara yang tadi pagi mengirim chat dengan kalimat tidak formal.
Isi chat-nya memang tentang pekerjaan tapi Sydney tidak suka membaca informasi yang ditulis dengan bahasa yang terkesan kalau Lussy sedang chat dengan temannya dan bukan dengan bosnya.
Chapter 44
“Hiks … hiks ….”
Amelia menangis dalam pelukan Aslan, mereka sedang duduk bersisian di sofa ruang televisi.
Satu tangan Aslan mengusap lembut lengan Amelia sedangkan satu tangannya lagi mengusap perut Amelia yang telah membesar, sedang menenangkan anaknya siapa tahu terpengaruh oleh kondisi psikis sang mama yang tengah bersedih.
“Aku enggak rela … hiks … hiks … aku sakit hati.”
“Ya udah … mau gimana lagi, ceritanya memang seperti itu.”
Sebisa mungkin Aslan menyadarkan Amelia bila yang sedang ia tangisi hanyalah tokoh dalam cerita film.
“Tapi kenapa Male Lead-nya harus mati coba? Dia pergi ke Selandia baru setelah mereka saling jujur sama perasaan mereka, mana si Male Lead pake acara minta Female Lead-nya nunggu dia lagi … dan yang bikin nyesek itu si Female Lead baru tahu kalau Male Lead-nya udah meninggal setelah lima belas tahun menunggu … penantian selama itu ‘kan jadi sia-siaaaaaa ….”
Amelia mengakhiri kalimatnya dengan raungan panjang membuat kaos di dada Aslan semakin basah saja.
Aslan langsung bertindak dengan mengubah genre usia di akun Netflix Amelia menjadi kids agar istrinya menonton film Barbie atau Coco Melon yang tidak ada drama atau konflik.
Mengingat kondisi psikis Amelia selama hamil yang lebih sensitif dan mudah menangis.
Kemarin saja melihat kucing terlantar kehujanan di jalan sepulang kerja, Amelia menangis histeris karena Aslan langsung menginjak pedal gas—tidak mengijinkan Amelia turun untuk membawa kucing itu pulang.
Mau bagaimana lagi, traffic light sudah mengganti warna menjadi hijau.
Aslan tidak memiliki waktu untuk menunggu Amelia turun dari mobil dengan perut besar dan jalan mengangkang yang lambat kemudian mengejar kucing lalu membawanya kembali ke mobil.
Aslan bisa ditilang bila mengikuti keinginan Amelia waktu itu.
“Sayaaaang … udah donk, itu ‘kan cuma film.”
Aslan mengecup kening Amelia sedangkan satu tangannya masih mengusap perut wanita itu, khawatir mental si janin terguncang karena sang mama yang sering menangis.
“Kenapa si Male Lead-nya harus mati sih? Kenapa enggak setelah lima belas tahun enggak ada kabar itu dia kembali … enggak apa-apa deh si Male Lead udah nikah juga biar nanti si Female Lead-nya jadi pelakor sekalian.” Amelia misuh-misuh usai tangisnya berhenti.
Aslan terkekeh hingga tubuhnya berguncang dan Amelia tidak nyaman lagi bersandar di dada pria itu.
Amelia menarik diri dari Aslan, mengulurkan tangan untuk meraih tissue membuang cairan di hidungnya.
“Aku bingung deh … ini ceritanya sedih tapi kamu malah ketawa.” Amelia menggerutu, memajukan bibirnya kemudian mendelik sebal.
“Sini ….” Aslan menarik pinggang Amelia, membawanya kembali dalam pelukan.
“Kita jalan-jalan yuk ke taman … kayanya kamu butuh udara segar.”
Amelia malah melingkarkan tangan ke tubuh Aslan.
“Enggak mau … aku masih sedih, kita cudle di sofa aja gimana?”
“Ya udah … aku cari film bagus lagi ya ….”
“Hu’um.”
Aslan memilih film yang diapatasi dari kisah para Princes Disney.
Lebih baik menonton film yang membosankan seperti itu dari pada melihat istrinya menangis lagi.
Tapi Amelia malah tertidur ditengah-tengah film diputar, mungkin karena hangatnya pelukan Aslan dan tangan pria itu yang tidak berhenti mengusap perutnya membuat sang janin yang biasanya melakukan banyak tendangan kini duduk diam menikmati elusan sang Papa.
***
“Saga ….”
Sydney turun dari lantai dua menuju ruang makan.
“Ya say—“ Sagara memotong kalimatnya sendiri tatkala melihat Sydney menggunakan pakaian rumahan.
“Kamu enggak akan ke kantor?” Sagara bertanya sementara Sydney duduk di atas pangkuannya padahal meja makan ini memiliki delapan kursi yang bisa Sydney duduki.
Sydney menggelengkan kepala, melingkarkan kedua tangan di leher Sagara.
Wajahnya menyeruk di leher Sagara lalu memberikan kecupan ringan di sana dan Sagara meremang.
Sagara balas melingkarkan kedua tangan di tubuh Sydney.
“Kamu udah ijin cuti sama grandpa?”
Sydney menggelengkan kepalanya lagi.
“Aku males kerja.” Sydney bergumam.
“Waw … tumben sekali.” Sagara mengatakannya di dalam hati.
“Kenapa? Ada masalah di kantor?” Kali ini pertanyaan itu ia suarakan.
Sydney menggelengkan kepalanya lagi.
“Lantas ada apa sayang?” Sagara mengecup setiap jengkal wajah Sydney usai bertanya demikian.
Sydney menjauhkan wajahnya dari Sagara, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca.
“Aku gemuk … hiks … hiks … hiks ….” Sydney mengadu diakhiri tangisnya yang pecah.
“Kata siapa kamu gemuk? Mungkin maksudnya bukan gemuk melainkan buncit … tapi wanita hamil mana yang enggak buncit?”
Sagara menangkup wajah Sydney, mengusap air mata yang mengalir deras ke pipinya.
“Ta-di hiks … waktu aku mau pakai baju, aku liat badan aku di cermin dan ternyata aku gendut banget … lengan aku besar, pipi aku temben … paha aku juga besar selain perut aku yang buncit banget … hiks ….”
“Sebentar ya sayang ya … kamu tunggu dulu di sini.” Sagara menurunkan Sydney di kursi kosong.
Membuka dua kancing di lengan kemeja yang kemudian ia singsingkan.
“Kamu mau ke mana?” Sydney bertanya saat Sagara hendak melangkah meninggalkannya.
“Aku mau pecahin cermin di kamar kita, sembarangan dia bilang kamu gemuk … fitnah itu, Yang ….” Sagara memutar tubuh untuk melanjutkan niatnya menaiki tangga.
“Eeehh … jangaaaan.” Sydney menarik tangan Sagara.
“Masa mau dipecahin cerminnya?” Sydney merendahkan suara dan terlihat gamang.
Tidak menyangka mengadu kepada Sagara dan suaminya itu malah ikut emosional.
Tapi kenapa cerminnya yang harus dipecahkan?
Sydney jadi tertawa.
Sagara akhirnya tersenyum melihat tawa Sydney, ia berjongkok di depan Sydney, menggenggam kedua tangannya erat.
“Kamu tahu … kamu itu cantik banget sekarang karena tubuh kamu lebih berisi, tuh lihat kulit kamu jadi glowing … dan yang paling penting adalah kamu lagi mengandung anak aku … kalau kamu tetap langsing sementara perut kamu membesar … nanti disangka kamu bukan hamil tapi cacingan ….”
“Huaahahaha ….” Sydney tergelak lagi.
Hanya sebentar saja tawa Sydney menguar sampai akhirnya reda secara tiba-tiba.
“Tapi di luar sana banyak cewek cantik yang suka godain kamu … langsing dan enggak hamil.”
Sydney kembali mengeluarkan air mata.
Sebisa mungkin Sagara menahan hembusan napas jengah yang seharusnya terbuang kasar.
“Ya terus kenapa?” Sagara bangkit.
“Jadi bener … ada cewek cantik di luar sana? Siapa? Kamu suka sama dia?” cecar Sydney berubah galak karena tidak terima Sagara mengakui kalau ada wanita cantik di luar sana.
“Ya?” Sagara mengerjap.
Sydney beranjak berdiri dari kursi.
“Ya udah … sana pergi sama cewek itu.”
Sydney menarik langkah menjauh meninggalkan Sagara yang melongo bingung.
“Yang … sayang … ini gimana sih maksudnya? Kita lagi ngomongin apa, aku enggak ngerti … sumpah.” Sagara menyusul Sydney ke kamar.
Sydney meredam tangis dengan menenggelamkan wajahnya pada bantal.
Istrinya itu terlihat sehat dari segi fisik, tidak pernah mual muntah atau menginginkan makanan yang aneh-aneh apalagi membangunkannya tengah malam karena menginginkan sesuatu.
Tidak, Sydney tidak seperti itu tapi mood Sydney sering berubah ditambah overthinking selalu bikin pusing Sagara.
“Sayaaaang ….” Sagara duduk di sisi ranjang, mengusap lembut kepala Sydney.
Perlahan ia menaikkan kedua kakinya lalu memeluk Sydney yang ternyata tidak menolak ketika ia peluk.
Keduanya berbaring sejajar sambil saling memeluk sementara matahari semakin meninggi dan semestinya Sagara sudah pergi ke kantor.
Tapi yang Sagara lakukan adalah memberitau driver melalui pesan singkat bila ia tidak akan pergi bekerja hari ini juga memberitau Lussy kalau ia akan bekerja dari rumah saja.
“Sayang ….” Sydney mendongak karena merasa satu tangan Sagara tidak memeluknya pagi.
“Ya sayang?” Sagara menyimpan ponsel di atas nakas.
“Kamu enggak kerja?”
Sagara tersenyum. “Enggak … aku mau meluk kamu sama anak kita aja.”
Sydney mengerjap dengan sering sambil terus menatap Sagara.
“Kenapa? Kamu laper?” Sagara mengusap lembut pipi Sydney.
Sydney menggelengkan kepalanya, mata bulat dengan bulu mata lentik itu masih menatap Sagara dalam diam.
“Terus … kamu mau apa?” Sagara bertanya serius karena ia akan mengusahakan apapun keinginan Sydney.
“Emm … make Love, yuk?” Sydney berbisik kemudian melesakan wajah di dada Sagara membuat Sagara tergelak.
Sepagi ini Sagara sudah dibuat kalang kabut oleh Sydney.
Sagara mengangkat dagu Sydney dengan dua jari untuk bisa mencium bibir ranum itu, tangannya sibuk memembuka kancing kemeja kemudian beralih masuk ke dalam dress rumahan yang dikenakan Sydney.
Sepertinya Sagara akan membuat Sydney mendesah seharian dari pada harus mendengar ocehan Sydney mengenai segala macam overthinking-nya.
***
“Linda … bilang sama tim support di sana kalau aku sudah siap.”
“Baik Bu.”
Sydney akan melakukan meeting dengan sang kakek dan para petinggi di perusahaan Deva Corp.
Terpaksa harus Sydney lakukan dari kamar rawat inap sebuah rumah sakit—dari atas ranjang karena tadi pagi Sydney merasakan mulas yang luar biasa.
Untuk berjaga-jaga mengingat pesan dokter yang mengatakan bahwa minggu ini adalah waktu persalinannya jadi ia sendiri memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.
Ini adalah persalinan pertamanya, Sydney tidak mau mengambil risiko jadi memutuskan untuk melakukan meetingsecara online.
“Sudah tersambung, Bu ….” Linda sang sekertaris memberitahu.
Sydney menatap kamera MacBook di depannya seperti menatap seluruh orang yang berada di ruang rapat sementara keadaan di sana terekam jelas di layar MacBook.
“Selamat siang Bapak dan Ibu semua … apa gambar dan suara saya tertangkap baik di sana?”
“Selamat siang … jelas semua, Bu Sydney.”
Seorang kepala divisi menjawab mewakilkan yang lain.
“Syd … kamu benar enggak apa-apa?“ Grandpa tampak khawatir.
Padahal sudah memberi ijin kepada Sydney agar tidak perlu mengikuti meeting tapi Sydney begitu keras kepala dan memaksa ingin memberikan laporan out put dari kebijakan perusahaan dalam meeting hari ini.
“Sydney masih bisa, grandpa … jadi … apa bisa kita mulai sekarang?”
Karena durasi mulas di perut Sydney semakin terasa sering dengan tingkat nyeri yang terus naik level.
“Baik … kita langsung saja mulai rapat ini.” Seorang moderator memberi aba-aba usai mendapat kode berupa anggukan kepala dari CEO Deva Corp.
Rapat akhirnya dimulai dan Sydney mendapat kesempatan pertama untuk memaparkan laporannya.
Linda membatu memunculkan slide demi slide laporan Sydney.
Selama beberapa menit Sydney berbicara dan mendapat perhatian penuh dari orang-orang di ruangan rapat gedung Deva Corp.
Sagara datang ketika Sydney sedang menyampaikan kesimpulannya.
Sydney sama sekali tidak teralihkan karena tanggung jawabnya yang besar di perusahaan itu membuat Sydney sangat fokus.
Entah kenapa melihat bagaimana Sydney masih bekerja padahal persalinannya sudah di depan mata membuat Sagara semakin mencintai Sydney.
Akhirnya Sydney sampai pada presentasi bussines planhasil pemikirannya sendiri.
Ada tiga bussines plan yang Sydney siapkan untuk dipertimbangkan oleh CEO dan divisi terkait.
Mata Sagara masih menatap lurus pada Sydney dan darahnya berdesir menghasilkan gelora hasrat di dalam dada.
Ternyata ia menikahi wanita cerdas dan mandiri dibalik sikap manja dan rumitnya jalan pikiran Sydney yang sering kali membuat Sagara kewalahan menghadapinya.
Sagara baru bisa berkedip saat Sydney pamit untuk keluar lebih dulu dari rapat tersebut.
“Sayang ….” Sydney mengesah, raut wajahnya memberi tahu Sagara bila ia sudah tidak bisa lagi menahan nyeri.
Sagara mendekat dan duduk di samping Sydney sementara Linda menyingkirkan MacBook dan meja beroda untuk makan pasien yang menggantung di atas ranjang Sydney.
Sagara menekan tombol yang tersambung ke ruangan perawat.
“Sebentar ya sayang … aku udah panggil perawat.”
Sagara menarik tissue dari meja kecil samping ranjang untuk melap buliran keringat di pelipis Sydney.
Wajah Sydney juga sudah pucat pasi, dari sana Sagara tahu kalau skala sakit yang diderita Sydney sekarang semakin besar.
Sydney menarik tangan Sagara agar lebih mendekat karena ia ingin menempelkan kening di pundak pria itu.
“Papi sama mami katanya akan berangkat malam ini ke Jaiarta … Papa sama mama juga … grandma lagi dalam perjalanan ke sini, Nala tadi bilang kalau anaknya lagi sakit jadi enggak bisa datang sekarang dan Nathan lagi di Surabaya ketemu vendor … siapa lagi? Aku harus kabari siapa lagi? Oh ya … tante Raisa sedang arisan sama ibu walikota dan akan datang setelah acaranya selesai bersama Om Aiden … apa aku harus menghubungi tante Shaqila—“
“Sagaaa ….” Sydney menahan kalimat Sagara yang tengah gugup dan panik.
“Aku cuma butuh kamu aja sama tim dokter dan perawat untuk mengeluarkan bayi ini.” Sydney menatap Sagara dengan mata sayu.
Seorang perawat datang sebelum sempat Sagara membuka mulutnya menanggapi ucapan Sydney.
“Sudah terasa, Bunda? Coba kita lihat sudah pembukaan berapa ya?”
Perawat itu menyingkap selimut Sydney dan memasukan dua jarinya ke bagian bawah tubuh Sydney.
Bagaimana perasaan para anggota meeting bila mengetahui bila sebenarnya selama meeting tadi Sydney tidak memakai celana dalam agar memudahkan perawat mengecek pembukaannya.
“Waah … cepet ya, padahal tadi waktu ibu masuk baru pembukaan dua.”
“Apa istri saya udah mau melahirkan?” Sagara yang bertanya, pria itu lebih panik dari pada Sydney.
“Iya … ayo kita siap-siap, ganti dulu pakaiannya dengan pakaian untuk bersalin ya, Bunda … lalu Ayah silahkan ikut saya untuk menandatangani beberapa berkas berisi persetujuan prosedur tindakan untuk Bunda ….”
Perawat keluar dari ruangan itu usai berkata demikian.
“Sayang … tunggu sebentar ya ….”
Sagara mengecup kening Sydney lama sebelum beranjak dari tepi ranjang.
“Linda … tolong bantu istri saya,” titah Sagara pada sekertaris Sydney.
“Baik, Pak ….” Linda mendekat sambil membawa pakaian bersalin yang sejak tadi sudah disiapkan perawat untuk Sydney.
Sagara bergegas pergi keluar dari ruangan itu, seorang perawat sudah menantinya di pos perawat dengan banyak kertas yang harus ia tanda tangani.
Bersamaan dengan selesainya Sagara menandatangani surat itu—Sydney keluar dari ruangan rawat menggunakan kursi roda.
Mereka bersama-sama menuju ruangan bersalin.
Sagara menggenggam tangan Sydney erat, sesekali mengusap pelipisnya yang berkeringat.
Di dalam ruang bersalin Sydney dipindahkan dari kursi roda ke sebuah ranjang kecil dengan dua penyangga untuk kaki di kanan dan kirinya.
“Tunggu sebentar dokternya ya Bun, jangan ngeden ya … nanti takutnya sobek,” ujar seorang perawat yang usianya sudah tua, mungkin beliau adalah perawat senior.
Mendengar kata sobek membuat Sagara dan Sydney sontak meringis.
Perawat itu kemudian pergi meninggalkan Sagara dan Sydney berdua di sana.
“Sagaaaa … mules banget.” Sydney mengeluh, suaranya begitu kecil lebih kecil dari bisikan.
“Tahan sebentar ya sayang, kita akan ketemu dia sebentar lagi.” Sagara mengusap kepala Sydney lembut tanpa melepaskan genggaman tangan di tangan satunya.
Sydney memejamkan mata, menghirup udara dalam kemudian mengeluarkannya perlahan seperti sedang melakukan pernafasan dalam sesi Yoga.
Itu dilakukan Sydney untuk mengurangi rasa sakit yang menderanya.
Suara banyak langkah kaki terdengar mendekat, siapa lagi kalau bukan dokter dan perawat.
“Siap Bu?” tanya seorang dokter pria yang sedang memakai sarung tangan.
Dokter itu sudah menggunakan pakaian khusus berwarna hijau dengan penutup kepala dan masker.
Dua orang perawat membantu Sydney mengangkat kakinya yang kemudian di letakan di sebuah penyangga untuk membuat paha Sydney agar tidak pegal ketika proses melahirkan.
Sedangkan sang dokter duduk tepat menghadap bagian inti Sydney.
Sydney memalingkan wajah, ia malu.
Tapi tidak dengan Sagara yang menatap tajam pada dokter pria itu, tatapannya begitu mengancam sampai membuat sang dokter salah tingkah.
“Kita mulai ya Bu,” sang dokter memberi aba-aba sembari sesekali melirik Sagara.
Sydney mengejan sampai urat-urat di kening dan lehernya muncul.
Genggamannya begitu erat di tangan Sagara.
Sagara tertegun, jantungnya berdebar kencang dan matanya tidak bisa mengedip menatap Sydney yang tengah berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan anaknya.
Sydney terlihat kewalahan, kesakitan, kelelahan tapi terus berjuang mengejan melahirkan buah hati mereka.
Tanpa sadar air mata Sagara menetes, dadanya terasa sesak dan segala macam pikiran dalam benaknya terhenti saat suara tangis menggaung di ruangan bersalin itu.
“Selamat, Pak … anak Bapak laki-laki dan fisiknya sempurna.”
Dokter yang tadi Sagara berikan tatapan tajam penuh ancaman memberitau kabar bahagia.
Suster membawa bayi mereka kemudian ditengkurapkan di dada Sydney.
Air mata Sydney mengalir tapi bibirnya tersenyum lebar
Sagara membungkuk memeluk Sydney dan putra mereka sekaligus.
Pundak Sagara bergetar, tidak lama Sydney merasakan keningnya basah oleh lelehan air mata Sagara.
“Thanks Baby … Thanks … kamu luar biasa … aku mencintai kamu.”
Sagara mengecup setiap jengkal wajah Sydney kemudian mengecup puncak kepala jagoan kecilnya untuk pertama kali.
“Hai boy … kamu akan Papi didik jadi pebisnis ulung,” ucap Sagara membuat Sydney tertawa pelan.
***
“Are You oke?”
Aslan memburu Amelia yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Tadi istrinya itu mengeluh mulas tapi tidak ada yang dikeluarkan oleh Amelia.
“Kayanya aku mau melahirkan,” kata Amelia seraya menghempaskan tubuhnya di sofa di kamar mereka.
Kepalanya menengadah di sandaran sofa dengan mata terpejam erat.
Kemudian Aslan duduk di sampingnya.
“Kamu yakin?” Raut wajah Aslan tampak begitu khawatir.
Amelia mengangguk, kerutan halus di antara alisnya memberitau Aslan bila sang istri tengah menahan rasa sakit.
Tapi baru minggu lalu mereka melakukan kontrol dan menurut dokter kandungan kalau anak merka akan lahir pertengahan bulan depan.
“Kita ke rumah sakit sekarang ya?”
Amelia hanya menganggukan kepala lantas membuka mata.
Aslan beranjak dari sofa, mencari cardigan untuk Amllia kemudian meraih tas berisi segala perlengkapan dan kebutuhan Amelia juga si bayi setelah persalinan.
Dengan sabar Aslan membantu Amelia berdiri dan memakaikan cardigan kemudian memapah Amelia berjalan dengan cara merangkul pundak wanita itu agar Amelia bisa berbagi bobot tubuh dengannya.
“Pelan-pelan sayang ….” Aslan memperingati.
“Danisa … Danisa ….” Aslan berteriak memanggil adiknya.
“Ya Bang?” Danisa menyahut setelah pintu kamarnya terbuka.
“Ikut Abang sekarang … Flo mau melahirkan, cepat!” Aslan berseru, ia tidak bisa menutupi kepanikannya lagi.
“Iya ….” Danisa masuk ke dalam kamarnya hanya untuk mengambil jaket dan ponsel kemudian bergegas menuruni anak tangga.
“Perut aku kaya ditusuk-tusuk … sakit banget.” Amelia mengadu diakhiri tangis.
Aslan bingung harus menanggapinya seperti apa jadi yang ia lakukan adalah memberikan usapan di perut Amelia.
“Duduk di belakang ya sama Danisa,” kata Aslan, tangannya menarik handle pintu kabin belakang.
Aslan membantu Amelia duduk di sana lalu menyimpan tas yang tadi ia kaitkan di pundak ke kursi penumpang depan.
“Duh … Mbak Amel, sakit ya?” Danisa jadi ikut panik melihat Amelia terus-terusan meringis.
“Sabar sebentar ya, sayang.” Aslan mencoba menguatkan dari balik kemudi.
Konsentrasinya terbagi antara jalanan di depan dan Amelia yang kesakitan duduk di belakangnya.
Aslan mengemudikan kendaraan tidak mengenal rem, beruntung mobil mewah tersebut memiliki suspensi paling baik untuk menahan guncangan sehingga tubuh Amelia tidak terombang-ambing selama Aslan memacu kendaraannya ke rumah sakit.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit akhirnya mereka tiba di rumah sakit.
Aslan berhenti di depan IGD kemudian turun tanpa mematikan mesin mobilnya.
“Tolong istri saya … istri saya mau melahirkan.”
Aslan berteriak-teriak kepada sekuriti dan perawat yang ia temui.
Mereka yang bertugas langsung membawa ranjang beroda mendekati mobil.
Amelia digendong untuk kemudian dibaringkan di ranjang beroda.
“Kamu parkirin mobil Abang ya.” Aslan meminta tolong pada Danisa karena ia tidak bisa meninggalkan Amelia begitu saja.
“Iya.” Danisa menyanggupi, masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.
Para perawat dan dokter IGD sedang melakukan pemeriksaan awal ketika tiba-tiba air ketuban Amelia pecah.
“Suster … bagaimana ini?” Aslan nyaris histeris melihat banyak air mengalir dari bagian bawah tubuh Amelia hingga menetes ke lantai.
“Tenang Pak, kami sedang menyiapkan ruang operasi.” Seorang perawat memberitau.
“Operasi? Kenapa harus dioperasi?”
Kepanikan Aslan naik dua ratus kali lipat.
“Bayinya sungsang, tidak bisa dilakukan persalinan normal jadi terpaksa kami harus melakukan operasi caesar.”
“Apa? Apa istri dan anak saya akan baik-baik saja?”
Aslan menahan pergerakan perawat itu yang hendak meninggalkannya.
“Tenang saja, Pak … bayinya hanya sungsang tapi jantungnya sehat ….” Wanita perawat mencoba menenangkan.
Namun Aslan tidak mempercayai ucapan perawat itu, ia tidak bisa tenang sebelum operasi proses persalinan selesai dan anak juga istrinya dinyatakan selamat.
Sekarang Aslan sudah duduk bersama Danisa di ruang tunggu, matanya menatap lurus pada pintu ganda bercat abu-abu di depannya.
“Bang … mbak Amel sama anaknya pasti selamat ….”
Aslan hanya mengangguk tanpa melepaskan tatap dari sana.
sikutnya bertumpu pada paha dengan tangan menopang dagu.
“Mama sama Papa berangkat sore ini dari Jakarta ….” Danisa memberitau informasi yang diterimanya ketika memberi kabar pada sang mama kalau cucunya akan lahir ke dunia.
Aslan mengangguk lagi tidak ada suara keluar dari mulutnya bahkan sekarang Aslan tidak bisa berpikir jernih.
Banyak kemungkinan terburuk melintas dalam benaknya dan ia tidak akan bisa menghadapi satu pun kemungkinan terburuk itu.
Aslan tidak mampu kalau harus kehilangan Amelia ataupun bayi mereka.
Ia mencintai keduanya dengan sangat.
“Bang … mbak Amel itu hebat, kuat … dia pasti bisa melewati ini semua.”
Andaikan Danisa tahu kalau selama hamil Amelia begitu manja dan sensitif.
Dia seperti bukan Amelia yang Aslan kenal dulu yang tangguh dan kuat.
Melihat tampang Aslan yang sedang jengah saja—Amelia langsung menangis.
Jadi bagaimana Aslan tidak khawatir?
Kalau bisa, ia ingin menggantikan Amelia melewati proses persalinan ini.
Menit berubah menjadi jam sampai akhirnya pintu ganda di depan sana terbuka.
Detik itu juga Aslan berdiri dengan mata terbuka lebar memburu seseorang yang baru saja keluar melewati pintu itu.
Aslan melihat seorang perawat mendorong sebuah box akrilirik.
Matanya Aslan langsung tertuju pada isi box tersebut.
“Selamat Pak … bayi Anda perempuan, sangat sehat … begitu juga ibunya, sekarang sedang recovery di dalam … Anda bisa menemuinya nanti di ruang rawat.”
Aslan tidak mendengar ucapan seorang pria yang merupakan dokter yang membantu persalinan Amelia.
Seluruh impuls tubuhnya tertuju pada bayi mungil nan cantik di dalam sana.
Matanya terpejam dan mulutnya mengerucut seperti sedang mencari sesuatu untuk ia hisap.
Apakah Aslan sedang bermimpi?
Ia telah resmi menjadi seorang ayah sekarang.
“Boleh saya gendong dia?” Aslan meminta ijin padahal itu anaknya.
“Silahkan,” kata perawat wanita yang kemudian mengeluarkan bayi itu dari dalam box.
“Mari … saya tinggal, Pak.” Sang dokter menepuk pundak Aslan sebelum pergi tapi lagi-lagi Aslan mengabaikan pria itu karena terlalu takjub dengan makhluk dalam rengkuhannya.
Aslan menunduk mengecup kening putrinya.
“Kamu enggak boleh punya pacar sampai umur tiga puluh ya … kamu milik Papa.”
Aslan bergumam kemudian menempelkan pipinya dengan pipi sang putri tercinta.
Chapter 45
Devabrata kembali melangsungkan pernikahan maha megah.
Pernikahan tersebut digelar di Ballroom hotel mewah.
Nathan sang mempelai pria baru saja meninggalkan Ballroom untuk mengganti pakaian karena resepsi sebentar lagi akan dimulai.
Pria itu akhirnya menikah juga meski belum bisa melupakan Danisa.
Keluarga Devabrata sengaja menjodohkan Nathan dengan anak dari partner bisnis Deva Corp tapi kali ini tujuannya murni bukan bisnis melainkan agar Nathan bisa melupakan Danisa.
Masa terpuruk Nathan tidak pernah berakhir, mama Raisa khawatir anaknya mati karena perasaan bersalah dan cinta yang tak sampai jadi memohon kepada grandpa Ravendra agar mencarikan jodoh untuk Nathan.
Salah satu partner bisnis mengajukan proposal kerjasama kepada grandpa, kebetulan pemilik perusahaan tersebut memiliki seorang putri cantik yang usianya hanya tiga tahun di bawah Nathan.
Grandpa mengajukan penawaran akan menerima lamaran kerjasama bisnis tersebut bila sang partner bisnis juga menerima lamaran keluarga Devabrata untuk putrinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, si partner bisnis berhasil membujuk putrinya menikah dengan Nathan sehingga pesta ini bisa terselenggara.
Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Nathan dan gadis yang dijodohkan dengannya karena mereka memutuskan bertemu setelah akad nikah—sebelum pesta pernikahan berlangsung.
Dari dalam Ballroom, Sydney melangkah mendekat pada Sagara dan papi yang tengah duduk di bangku taman di luar gedung tempat akad nikah Nathan dengan istrinya baru saja berlangsung.
Sydney menggenggam tangan Gavriel Ryu Palmer- putra pertamanya yang sudah berusia lima tahun di sebelah kanan sementara Cielo Oryn Palmer-putra keduanya yang masih berusia tiga tahun bertengger di pinggang kiri Sydney.
Dan sekarang Sydney tengah mengandung dua puluh minggu.
“Sayang … ayo, kita pergi.” Sydney berujar dari jarak beberapa meter membuat Sagara menghentikan percakapannya dengan papi.
“Sayang!” Sagara berseru.
Matanya membulat terkejut sekaligus khawatir dan pria itu langsung beranjak dari kursi memburu istrinya.
Sagara mengambil alih Cielo dari pinggang Sydney.
“Kamu lagi hamil sayang, kamu enggak boleh angkat yang berat-berat,” tegur Sagara lembut tidak seperti sorot matanya kini yang masih menatap tajam pada Sydney.
“Abis kamu ngobrol terus sama papi, kita harus cepet pergi dari sini.” Sydney memberengutkan wajahnya, kesal karena Sagara terlalu asyik berbincang mengenai bisnis dengan papi Arkatama sementara mereka harus segera pergi.
Sagara melembutkan garis senyum kemudian mencondongkan sedikit tubuh agar bibirnya bisa menjangkau pipi Sydney.
“Aku minta maaf, oke … sekarang kita pergi.”
Sagara mengambil alih Ryu-putra pertamanya dari genggaman Sydney lantas kembali pada papi yang masih duduk di bangku taman bersama dua anaknya dan Sydney.
“Pi … kita pergi ya.” Sydney pamit pada papi dengan meraih tangan papi kemudian mengecup bagian punggung tangannya.
“Iya … sampaikan salam Papa buat mama dan Papa mertua kamu ya.” Papi berpesan.
Papi Arkatama sudah tahu kalau besok Sydney dan suami juga dua anaknya akan ke Lauterbrennen menyusul ayah dan ibu mertua Sydney yang sudah lebih dulu ada di sana.
Tadi Sagara memberitau kalau mereka akan melakukan perjalanan babymoon ke Lauterbrennen.
“Nanti Saga sampaikan, Pi.” Sagara yang menyahut.
“Kalian di sini? Ayo foto keluarga dulu.” Mami Luna tiba-tiba muncul dari dalam Ballroom.
“Mi … kita mau pulang, lain kali aja foto keluarganya ya … ‘kan tadi juga kita udah foto keluarga sebelum akad nikah.”
Sydney menolak secara halus dengan raut wajah resah dan seperti sedang terburu-buru.
“Lho … kalian mau ke mana?” tanya mami heran sambil mengarahkan telunjuk pada Sagara dan Sydney secara bergantian.
Papi mengusap pelan punggung mami kemudian mengedipkan mata memberi kode.
“Ya udah … kalian pamit sama keluarga, biar Ryu dan Cielo—dijagain papi sama mami dulu di sini.”
Dalam posisi duduk papi merentangkan kedua tangan meminta Cielo dari Sagara.
Mami berinisiatif duduk di samping papi.
“Ryu sama oma dulu ya, sini sayang.” Mami mendudukan Ryu di atas pangkuannya.
Ryu menurut karena cukup dekat dengan mami Luna, hampir setiap hari mami dan papi melakukan video Calldengan cucu-cucunya.
Tidak ingin kalah dengan papa Collins dan mama Andara yang sebulan sekali mengajak jalan-jalan Ryu dan Cielo ke arena bermain.
“Titip sebentar ya Mi … Pi, kami ke dalam dulu.”
Mami dan papi menganggukan kepala menanggapi kalimat Sagara kemudian mulai menciumi cucu mereka setelah Sagara menggamit tangan Sydney untuk kemudian masuk ke dalam Ballroom.
“Sagara sama Sydney mau ke mana? Kok buru-buru?” Akhirnya mami bisa bertanya pada papi.
“Kayanya Aslan sebentar lagi datang … makanya Sydney blingsatan gitu ingin cepet-cepet pergi,” jawab papi mengatakan dugaan yang tersimpan di benaknya.
“Lho, Aslan jadi datang? Mami pikir enggak jadi … soalnya Amelia lagi hamil muda, muntah-muntah terus katanya.”
Ternyata mami juga masih terkoneksi dengan putra kesayangannya yang lain itu.
“Kata Sagara sih tadi kayanya Aslan akan datang.” Papi memberitau informasi yang ia terima dari Sagara.
“Ah … Sagara tahu dari mana?” Mami bergumam.
“Mana Papi tahu … mungkin Sagara sama Aslan jadi bestiesekarang.” Papi menjawab asal sambil mengangkat kedua bahunya.
Mami tertawa, lengannya menyenggol lengan papi.
“Omaaaa ….” Ryu mendongak agar netra abunya bisa menatap sang oma.
“Ya Ryu sayang Oma?”
“Aslan itu siapa?” tanya Ryu membuat mami menyikut lengan papi meminta pertolongan.
“Aslan itu kakaknya Om Nathan.” Papi yang menjawab.
“Iya … Om Aslan itu kakaknya Om Nathan.” Mami melengkapi, menambahkan kata om di depan nama Aslan.
“Kalau Amelia?” Kali ini Cielo yang bertanya.
“Tante Amelia itu istrinya Om Aslan.”
“Ooooo.” Ryu dan Cielo kompak membulatkan bibirnya.
“Mi … Pi ….”
Mami Luna dan papi Arkatama sontak mendongak, mata keduanya terbelalak melihat Aslan yang sedang menggendong Kalea Rose-putri pertamanya tengah berjalan mendekat bersama Amelia.
“Gawat Pi.” Mami bergumam.
“Mami kedalam bawa anak-anak setelah salaman sama Aslan dan Amelia.” Papi memberi instruksi.
“Siap.” Mami menjawab sambil tersenyum lebar pada Aslan dan Amelia.
“Eeeh, anak sama mantu mami yang lain,” sapanya kemudian.
Mami beranjak berdiri dari kursi sambil menggendong Ryu.
Aslan mengecup kening Mami kemudian memberikan pelukan sekilas.
Tanpa di duga Ryu ikut mencondongkan tubuhnya hingga mencium bibir Kalea.
Ryu menekan bibirnya ke bibir Kalea sampai kepala Kalea terdesak ke dada papanya.
“Hey kamu ... main nyosor aja anak gadis orang,” tegur papi Arkatama.
Mami tertawa sambil menahan tubuh Ryu yang kembali condong ke depan hendak mencium Kalea kembali.
Kalea sendiri berlindung di pelukan papanya, membenamkan wajah di dada Aslan terlihat ketakutan.
Aslan dan Amelia juga tertawa melihat tingkah Ryu.
“Anaknya siapa, Pi?” Aslan bertanya setelah memeluk papi secara masculin.
Dan Amelia baru saja mendapat kecupan di pipi dari mami kemudian beralih meraih tangan papi lantas mengecup punggung tangannya.
“Ini Ryu dan ini Cielo … mereka anaknya Sydney.” Mami yang memperkenalkan dua cucunya pada Aslan dan Amelia.
Raut wajah Aslan dan Amelia berubah tegang tapi masih mempertahankan sisa senyum di bibirnya.
“Ayo Ryu sama Cielo, cium tangan dulu sama Om Aslan dan tante Amelia.”
Kedua bocah itu menurut, begitu manis meminta tangan Aslan dan Amelia.
Aslan memberikan tangannya pada Ryu-bocah kecil yang baru saja mengambil first kiss putri kesayangannya.
Tapi tangan satunya memeluk erat Kalea, menjauhkan pandangan sang putri agar tidak bersitatap dengan Ryu.
Jemari Aslan lantas menjawil hidung Ryu gemas sebagai teguran atas sikap tidak senonoh anak laki-laki itu pada Kalea.
Aslan masih tidak terima dengan perbuatan Ryu tadi.
Apa ini Karma karena dulu Aslan yang mengambil keperawanan mamanya Ryu?
Kemudian Aslan mengusap kepala Cielo setelah anak kecil itu mengecup punggung tangannya.
“Hallo ….” Amelia membungkuk menyapa Ryu dan Cielo dengan sangat ramah, tidak lupa memberikan kecupan di pipi mereka.
“Mami antar Ryu sama Cielo dulu ya, kalian di sini sebentar sama papi.”
Kalimat Mami itu adalah kode yang sudah dimengerti oleh Aslan dan Amelia.
Di dalam sana ada Sydney dan Sagara, mereka baru bisa masuk setelah Sagara dan Sydney pergi dari venue.
Aturan itu bukan mami papi atau keluarga Devabrata yang buat tapi keinginan Sydney dan Aslan sendiri katanya untuk menjaga perasaan pasangan masing-masing.
Keluarga Devabrata menghargai itu sehingga bersikap kooperatif dengan mengkondisikan mereka agar tidak bertemu.
“Bye Om Aslan … Bye tante Amelia.” Ryu pamit sambil melambaikan tangannya begitu juga Cielo yang tidak banyak bicara tapi lebih banyak tersenyum.
“Byeee ….” Amelia membalas lambaian tangan Ryu dan Cielo tidak seperti Aslan yang memberikan tatapan tajam pada Ryu.
“Kalea … gendong sama Opa, sini.”
Papi Arkatama bangkit dari kursi taman sambil merentangkan tangan.
Kalea mau beralih gendongan ke papi Arkatama.
“Duduk aja Mel, nanti kamu pegal.” Papi sengaja memberikan kursinya untuk Amelia.
“Makasih, Pi …,” kata Amelia yang dibantu Aslan duduk bangku taman menggantikan papi.
“Flo kalau hamil gini, Pi … lemah banget, tadinya Abang enggak akan datang ke nikahan Nathan tapi Flo sendiri yang maksa.”
Aslan berdiri di samping Amelia, mengipasi istrinya dengan kipas kecil yang selalu Amelia bawa-bawa semenjak mengandung anak keduanya.
“Masa nikahan Nathan kita enggak dateng ya, Pi.”
Amelia meminta dukungan.
Papi pun tertawa. “Yang penting kamu sehat ya, Mel.”
“Iya Pi … doain aku sehat terus ya.”
Papi mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum.
“Kaleaaa … cucu Oma, sini Oma gendong.”
Mami kembali, mengulurkan tangan ingin menggendong Kalea juga.
Papi menyerahkan Kalea pada mami.
“Yuk masuk yuk,” ajak mami pertanda di dalam sudah aman.
Sagara dan Sydney sudah meninggalkan Ballroom.
Aslan membantu Amelia berdiri, mereka berjalan di belakang papi dan mami—yang menggendong Kalea—masuk ke dalam Ballroom.
Namun botol susu Cielo tertinggal, Sagara dan Sydney beserta dua anak mereka kembali ke Ballroom untuk mengambil botol tersebut yang ternyata ada di salah satu meja keluarga.
Dan pada saat hendak kembali melewati pintu Ballroom yang mengarah ke loby—Sydney dan Sagara harus berpapasan dengan Aslan dan Amelia.
Sydney bisa melihat Aslan dari ujung matanya tapi ia memilih menoleh menatap Sagara untuk bertanya hal tidak penting.
Sagara menyahut dengan kelakar membuat Sydney tertawa dan Sagara yang sedang menggendong Cielo juga ikut tertawa.
Bukan hanya mereka, Ryu yang berjalan di antara mereka juga terlihat tertawa padahal tidak mengerti apa yang sedang dibahas kedua orang tuanya.
Aslan menyaksikan dengan mata kepala sendiri pemandangan tentang kebahagiaan Sydney dengan keluarganya.
Ia pun tersenyum di dalam hati, ikut bahagia dengan kebahagiaan Sydney.
Tanpa Aslan ketahui setelah beberapa langkah, Sydney menoleh ke belakang.
Aslan merangkul pundak Amelia yang terus memegang perutnya dengan kedua tangan.
Dari sana Sydney tahu kalau Amelia tengah mengandung anak kedua karena anak pertamanya pasti yang sedang digendong mami tadi.
Nala pernah keceplosan, mengatakan kalau usia anak pertama Aslan tidak jauh dengan usia Ryu.
Sydney dan Aslan memang tidak pernah mencari tahu kabar satu sama lain.
Keluarga Devabrata juga sebisa mungkin tidak membicarakan Sydney di depan Aslan dan begitu juga sebaliknya.
Tidak ada yang tahu—baik Sagara maupun Amelia—apakah pasangan mereka sudah melupakan masa lalunya.
Karena sampai detik ini mereka selalu kucing-kucingan setiap kali menghadiri acara keluarga.
Meski begitu Sagara dan Amelia tidak berani mempertanyakan karena saat ini keluarga mereka sudah bahagia.
Sagara dan Amelia menghargai apapun alasan pasangan mereka yang sampai detik ini masih belum mau berdamai dengan masa lalu.
Sagara mendapatkan cinta yang berlimpah dari Sydney termasuk cemburunya terbukti dari Lussy sudah tidak menjadi sekertaris Sagara lagi.
Sekertaris Sagara sekarang adalah seorang pria yang dipilih langsung oleh Sydney.
Sama halnya dengan Sagara, Amelia juga merasakan cinta yang luar biasa dari Aslan.
Meski Aslan terlihat dingin di luar tapi tidak dengan ranjang mereka.
Aslan selalu menginginkan Amelia sebesar Amelia menginginkannya.
Rugi rasanya bila membahas masa lalu yang mungkin saja berakhir dengan perdebatan.
Tapi menurut Sydney dan Aslan, keputusan untuk tetap menjauh seperti ini adalah yang terbaik karena sesungguhnya mereka belum bisa saling melupakan.
Bagaimana bisa Aslan dan Sydney lupa dengan cinta pertama mereka terlebih keduanya pernah beberapa kali berhubungan badan.
Tapi cukup hanya mereka yang tahu, biarlah Aslan dan Sydney menyimpannya di dalam hati.
Keduanya juga tidak menyesal telah merelakan cinta mereka demi keutuhan keluarga Devabrata.
Karena Aslan dan Sydney baru menyadari bila mereka tetap keras kepala memaksakan hubungan ini maka mereka tidak akan pernah mengalami kebahagiaan yang sedang dirasakan sekarang.
Aslan dan Sydney belajar banyak hal, salah satunya adalah tidak bersikap egois dan memaksakan kehendak.
Aslan dan Sydney pernah berbuat kesalahan dan seumur hidup berniat memperbaikinya melalui cara mencintai pasangan mereka yang sekarang dengan sepenuh hati.
Membentuk keluarga bahagia yang ideal menurut pandangan masing-masing.
Dan Amelia juga Sagara menjadi yang paling beruntung menikah dengan orang yang sedang memperbaiki kesalahan di masa lalu karena mereka mendapatkan VERSI TERBAIK dari pasangan mereka tersebut.
~THE END~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
