Cinta Terlarang Atau Takdir - Chapter 3

77
10
Deskripsi

“Aaarrrrggghhh!” Aruna menjerit sambil menenggelamkan wajahnya pada bantal.

“Ya ampun, perhatian banget sih sama perasaan aku ….”

Padahal Leonhard sudah jelas mengatakan kalau dia tidak ingin hubungan mereka berubah canggung apalagi dingin karena miss communication ini.

“Gentle Man banget sih … mau minta maaf duluan ….” Aruna jadi terharu.

Andaikan keempat kakaknya melihat keanehan Aruna ini, mungkin Aruna akan dibully seumur hidupnya.

 

LOVE AT FIRST SIGHT

 

Aruna menempelkan ponselnya ke dada, mata terpejam dan bibirnya tersenyum setelah membalas pesan dari Leonhard padahal tidak ada kalimat romantis dalam percakapan singkat itu tapi Aruna rasanya seperti sedang pacaran dengan Leonhard.

Aruna pernah menyukai beberapa lelaki, tapi Leonhard berbeda.

Pria matang itu berhasil membuat Aruna jadi aneh seperti ini.

Aruna mengotak-ngatik ponselnya membuka lagi ruang pesan dengan Leonhard kemudian pergi ke profil pria itu untuk melihat dengan jelas foto profil Leonhard yang tengah main golf, padahal hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi dalam pandangan Aruna-Leonhard sungguh luar biasa tampan.

Aruna mengusap layar ponselnya menggunakan ibu jari dan mata yang berbinar.

Beberapa detik kemudian dia sadar akan kegilaan yang dilakukannya, Aruna terkekeh sembari menutup wajah menggunakan satu tangan lantas menjatuhkan punggung di atas kasur.

“Kayanya papi pasti setuju kalau aku pacaran sama Leon ….” Aruna bicara sendiri.

“Emm … tapi enggak, papi enggak boleh tahu apalagi keempat kakak bangsul … mereka pasti ngetes-ngetes Leon ….” Aruna bermonolog.

“Ah … tapi cewek tipe Leon seperti apa sih?” Aruna mulai membuka sosial media mencari tahu pria seperti apa Leonhard sebenarnya.

Zaman sekarang, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki sosial media minimal Twitter atau Facebook.

Lama Aruna mencari tapi dia tidak menemukan satupun media sosial milik Leonhard.

“Gila, ini cowok manusia gua apa?” Aruna semakin penasaran, dia mengetik nama Leonhard di Google lalu keluar fotonya tapi hanya foto-foto yang diambil paparazi saat dia menghadiri sebuah acara bergengsi dalam bidang bisnis dan ekonomi.

Ada juga artikel tentang pria itu di berbagai kanal media online bisnis yang menceritakan pencapaiannya dalam bisnis.

Aruna semakin kagum, dia semakin jatuh cinta setelah jatuh cinta pada pandangan pertama saat meeting kemarin.

Malam ini, Aruna tidur sambil memeluk ponselnya dengan layar menampilkan foto Leonhard.

Dia bangun setelah tiga alarm yang dipasangnya berbunyi, Aruna memang kesulitan bangun pagi tapi dia selalu berusaha untuk bangun pagi apalagi setelah bekerja di kantor papi Arkana.

Usai melakukan ritual pagi di kamar mandi, Aruna mempersiapkan dirinya dengan baik.

Memilih pakaian terbaik, memoles wajahnya dengan make up tipis tidak berlebihan tapi harus terlihat cantik, muda dan segar karena dia memiliki janji dengan Leonhard untuk pergi ke pabrik bahan baku yang terletak di pinggiran kota Jakarta.

Dan karena persiapannya yang luar biasa itu, Aruna jadi kesiangan sarapan pagi.

Kedua orang tua dan kedua kakak laki-lakinya yang belum menikah hampir menyelesaikan sarapan pagi saat Aruna sampai di ruang makan.

“Mi … Pi … Aruna enggak sempet sarapan pagi, Aruna ada janji sama pak Leon mau ke pabrik pagi ini ….” Aruna meraih satu helai roti kemudian mengecup pipi mami, papi dan kedua kakak laki-lakinya kemudian lari menuju ruang tamu di mana pintu utama berada dengan mulut mengapit roti.

“Jangan pakai mobil aku ya, Na … aku juga buru-buru!” seru Narashima karena dia telah meminta driver untuk memposisikan mobilnya di bagian paling luar agar mudah keluar.

Namun sayang, Aruna tidak mendengar pesan sang kakak jadi dia masuk ke dalam mobil yang berada paling luar karena kebetulan mesinnya menyala yang itu berarti kunci mobilnya ada di dalam.

Aruna melesat membawa mobil milik Narashima keluar dari halaman rumah kedua orang tuanya yang luas.

Tidak berapa lama, anggota keluarga yang tersisa berturut-turut keluar dari dalam rumah untuk pergi melakukan kegiatan hari ini.

“Yaaaah, si Aruna kebangetan ya … mobil aku malah dipake!” Narashima bersungut-sungut saat tidak melihat mobilnya terparkir.

“Maaf Pak … mobilnya tadi dibawa non Aruna saat saya lagi cuci tangan di toilet,” kata driver Narashima.

Narashima mengembuskan nafas kasar, ada peraturan di mana setiap anggota keluarga dilarang keras memarahi pegawai apapun kesalahannya kecuali memberi teguran dengan nada rendah tapi untuk itu pun Narashima tidak memiliki waktu.

“Pakai mobil Papi aja,” kata papi Arkana memberi solusi.

“Ya udah, Nara pamit.” Narashima mengecup pipi mami lalu melakukan tos kepalan tangan dengan sang papi sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil yang terparkir paling luar.

“Rey pergi ya, Pi … Mi ….” Reyzio pamit lantas masuk ke mobil miliknya dengan driver di kursi kemudi.

“Kita pakai mobil Aruna, enggak apa-apa ‘kan sayang?” Papi Arkana membuka pintu penumpang di kabin depan untuk mami Zara.

Mami Zara tergelak.

“Mami sih enggak apa-apa, tapi masa Papi yang badan kekar dan macho gini nyetir mobil yang penuh dengan pernak-pernik cewek.” Mami Zara berujar seraya masuk ke dalam mobil.

Papi Arkana baru sadar kalau interior mobil Aruna penuh dengan pernak-pernik lucu berwarna pink sampai kaca spion tengahnya saja terdapat banyak mute-mute termasuk tombol engine untuk menyalakan mesin.

“Hadeuuuh ….” Papi Arkana tertawa menggelengkan kepalanya.

“Pi … kasian Aruna, kayanya kita beliin dia apartemen yang deket sama kantor aja biar enggak keteteran setiap pergi kerja … soalnya Mami perhatikan, dia sering pulang malam terus pergi pagi banget … kalau dia tinggal di apartemen ‘kan dia enggak perlu buru-buru gini ….” Mami Zara mengungkapkan keresahannya.

“Nanti dia bawa cowok masuk lagi ke apartemennya ….” Papi Arkana terdengar tidak setuju.

“Cowok yang mana sih, Pi? Dia kerja keras gitu untuk membuktikan kalau dia juga bisa sehebat papi dan kakak-kakaknya, mana ada waktu untuk pacaran.” Mami Zara setengah bersarkasme.

Papi Arkana tidak berkomentar, dia tengah berpikir sembari fokus mengemudi menuju rumah sakit milik sang istri.

Salah satu perlakuan romantis papi Arkana kepada sang istri adalah setiap hari sebisa mungkin mengantarnya bekerja meski mereka memiliki mobil dan driver masing-masing.

***

“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.

Mereka berdua adalah asisten Aruna.

“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.

“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.

“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.

“Baik, Bu!” Tasya menyahut.

“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.

“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.

Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.

Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.

Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.

“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.

Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.

“Pak! Punya charger tipe hape ini enggak?” tanya Aruna kepada sekuriti yang berjaga di pintu.

“Saya punya Bu!” seru Intan si resepsionis sebelum sempat pria sekuriti menjawab.

Aruna langsung pergi ke meja resepsionis.

“Hape kamu sama kaya hape aku ….” Aruna mengerutkan kening.

“Iya Bu ….” Intan mesem-mesem.

“Gaji kamu berapa memangnya bisa beli hape kaya gini? Kamu Ani-Ani ya?” tuduh Aruna tanpa tedeng aling-aling.

“Ah … Ibu tahu saja.” Intan menjawab santai sambil tersipu.

“Astagaaa … Ani-Ani siapa kamu? Bukan Ani-Aninya papi ‘kan!”

“Pak Arkana mana mau sama saya, Bu ….” Raut wajah Intan tampak memberengut.

“Jangan main-main di sini ya, Intan … awas lho!” Aruna mengancam.

Kini ponsel Aruna sedang diisi dayanya tapi masih belum bisa dinyalakan.

“Ih enggak kok, Bu … saya mah main-main di luar … lagian para istri dari bapak-bapak di sini galak-galak … enggak suka ah.”

Aruna nyaris menyemburkan tawa mendengarnya.

“Aruna … ngapain di sini?” tanya papi Arkana yang baru saja tiba di kantor.

“Nungguin pak Leon, Pi … dia janji jam tujuh jemput Aruna di sini tapi sampe sekarang belum sampai, ke mana ya dia?” Aruna mengeluh.

“Loh … kamu enggak dapet chat dari dia? Barusan dia chat Papi katanya enggak jadi survei ke pabrik sekarang karena mendadak harus ke Singapura … Papi pikir dia kabarin kamu.” Langkah papi Arkana sudah sampai di depan Aruna.

Aruna termenung sesaat, dia buru-buru menyalakan ponsel lalu banyak notifikasi muncul.

“Lima panggilan tak terjawab ….” Aruna bergumam saat melihat Leonhard telah menghubunginya sebanyak lima kali.

Leonhard : Bu Aruna, mohon maaf saya cancel survei kita ke pabrik hari ini karena mendadak saya harus ke Singapura.

Pundak Aruna melorot dengan ekspresi sendu setengah kesal.

Papi terkekeh. “Makanya, Papi pernah bilang kalau ponsel jangan pernah kehabisan daya ….” Papi mengusak kepala Aruna lantas berlalu begitu saja meninggalkan Aruna yang nyaris menangis karena Leonhard membatalkan janji.

“Udah capek-capek dandan, buru-buru datang ke kantor sampe enggak sarapan … mana dimarahin mas Nara di chat gara-gara pakai mobilnya ….” Aruna bergumam dengan bibir mengerucut.

Ternyata selain pesan yang dikirim Leonhard dari jam lima pagi ini, Narashima juga memborbardir Aruna dengan pesan penuh amarah yang baru bisa Aruna baca setelah ponselnya terisi daya.

“Iiiih … sebel … sebel … sebel!” Aruna menghentakan kakinya melangkah menuju lift setelah mencabut ponsel dari kabel charger.

“Kenapa si ibu?” gumam Intan penuh tanya.

Aruna kembali ke lantai di mana ruangannya berada.

Dari jauh, Tasya dan Tezaar menatap bingung bosnya yang melangkah gontai dengan ekspresi wajah ditekuk.

“Loh, Bu … enggak jadi survei ke pabrik?” Tasya yang bertanya mewakili apa yang ada dibenak Tezaar.

“Enggak jadi, pak Leon cancel mendadak katanya ada urusan penting di Singapura.” Aruna menjawab, ekspresi wajahnya berubah sendu.

Langkah gontai Aruna tidak berhenti, melewati meja dua asistennya dan baru berhenti setelah pintu ruangannya tertutup.

“Cewek kalau enggak jadi pergi yang susah itu bukan hapus makeupnya tapi balikin moodnya,” kata Tasya seperti memberitahu Tezaar.

“Hah?” Tezaar mengangkat kedua alis.

“Maksud kamu, bu Aruna naksir pak Leon?” Tezaar bertanya untuk memastikan kalau dugaannya sama dengan Tasya.

“Ya iya lah, selama ini … bu Aruna mana pernah pakai blush on karena pipinya memang udah pink alami ‘kan … tapi hari ini mau pergi sama pak Leon, bu Aruna pakai blush on … udah gitu kaya yang patah hati enggak jadi pergi … kasian ya bu Aruna.” Tasya menatap nanar pintu yang baru saja dilewati bos cantiknya.

“Iya ya ….” Tezaar bergumam, ikut menatap sendu pintu ruangan Aruna.

“Udah ah, ayo balik kerja lagi!” Tezaar menekan pundak Tasya agar kembali duduk di kursinya melanjutkan pekerjaan dari pada mengurusi kehidupan pribadi orang lain.

Dan seharian ini mood Aruna buruk sekali, dia terlihat sedih tapi jadi sering marah-marah.

“Tezaaaaaaar!” teriak Aruna dari ruangannya.

“Iya Bu!” Tezaar berlari masuk ke ruangan Aruna.

“Ini datanya yang terbaru donk, masa data dua bulan lalu kamu kasih aku … ah, kamu mah! Cepetan cari data yang baru!” Aruna meninggikan suara dengan kening mengkerut dan wajah mengerut yang malah membuatnya tampak lucu.

“Oh iya, maaf Bu … saya cari sekarang.” Tezaar langsung keluar dengan cara lari terbirit-birit menuju mejanya mencari apa yang Aruna perintahkan.

“Tasyaaaa!” panggil Aruna selanjutnya.

“Iya Buuuuu.” Tasya berlari masuk ke dalam ruangan Aruna.

“Ini gimana sih, laporannya kok belum ditandatangan pak Beny, ah! Cepetan mintain tanda tangannya nanti lupa terus pas meeting aku dimarahin papi lagi!” Aruna marah dengan nada menggemaskan.

“Ba … baik, Bu … sekarang saya ke ruangan pak Beny.” Tasya meraih berkas dari atas meja lalu keluar dengan cara berlari sama seperti Tezaar.

Tapi beberapa jam kemudian Aruna anteng tidak ada pergerakan atau suara, Tasya dan Tezaar yang khawatir mengintip melalui kubikelnya.

Ruangan Aruna dikelilingi dinding kaca sehingga seperti akuarium apabila tirainya tidak ditutup dan gadis itu tampaknya malas menutup tirai sehingga Tasya dan Tezaar bisa melihat ekspresi murung di wajahnya saat ini.

Karena moodnya yang buruk, Aruna tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

Jadi jam delapan malam dia masih di kantor ditemani dua asistennya yang tidak berani pamit pulang duluan.

Tasya dan Tezaar langsung bangkit dari kursi sembari menyandang tas saat Aruna keluar dari ruangannya.

Sesaat Aruna menatap Tasya dan Tezaar bergantian.

“Kalian isi form lembur ya,” katanya pelan seraya berlalu menuju lift.

“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menyahut kemudian melakukan tos karena uang lembur di AG Group sangat besar padahal keduanya tidak melakukan apapun selama lembur hari ini malah asyik main game menggunakan WiFi kantor lantaran pekerjaan telah selesai dan Aruna tidak meminta mereka mengerjakan sesuatu.

Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.

Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.

Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.

Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.

“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.

Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.

Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.

“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.

“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.

“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkana mengusak kepala Aruna gemas tapi tidak mendapat respon dari yang bersangkutan.

“Kamu mau pindah ke apartemen? Papi punya apartemen kosong di apartemen sebelah gedung kantor … biasanya digunakan klien dari Luar Negri atau Luar Kota untuk menginap tapi kamu tempatin aja … biar klien menginap di hotel,” cetus papi Arkana yang ternyata memikirkan ucapan mami Zara tadi pagi.

“Yakiiiin, Aruna boleh tinggal sendiri?” Aruna sanksi.

Respon Aruna yang menyipitkan matanya membuat papi Arkana terkekeh.

“Papi yakiiin, kamu udah dewasa sekarang … kamu udah tahu mana yang benar dan salah, kan?”

Lidah Aruna berdecak sebal. “Palingan Papi masang CCTV atau nyimpen orang buat ngawasin sama jagain Aruna.” Nada suara Aruna terdengar meledek membuat papi tergelak.

“Enggak lah, kamu akan sibuk banget sama pekerjaan sampai enggak ada waktu untuk diri sendiri apalagi pacaran ….” Papi Arkana menjeda, terbit smirk di sudut bibirnya.

“Kalau nyerah … lambaikan tangan ya.” Papi Arkana menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali lantas tergelak.

Aruna mendelik seraya mencebikan bibir. “Sorry ya … enggak ada kata menyerah.” Aruna bangkit dari sofa.

“Liat aja, Aruna akan menggantikan pak Beny sebentar lagi ….”

“Weiiiis … hebat.” Papi bertepuk tangan.

“Good night, Pi.” Aruna membungkuk untuk mengecup kening sang papi sebelum akhirnya menaiki anak tangga pergi ke kamarnya.

Baru saja langkahnya sampai di kamar, ponsel Aruna yang ada di dalam tas berbunyi.

Malas-malasan Aruna merogoh tas mencari alat komunikasi canggih itu, matanya kemudian membulat sempurna tatkala membaca nama Leonhard tertera di layarnya.

“Oh My God … oh My God … Oh My God ….” Alih-alih menjawab panggilan telepon dari orang yang membuat hatinya berantakan hari ini, Aruna malah mondar-mandir panik.

Menarik nafas lalu mengeluarkan perlahan, akhirnya Aruna berhasil menguasai diri lalu menggeser icon gagang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan tersebut.

“Hallo …,” sapa Aruna dingin.

Leonhard meringis, dia yakin Aruna pasti kesal karena dia membatalkan janji.

“Bu Aruna ….”

“Ya?”

“Tadi siang saya mendapat kabar kalau Bu Aruna menunggu saya di lobby—“ Kalimat Leonhard terhenti.

“Oh iya, hape saya lupa di-charge jadi enggak baca chat dari Pak Leon … saya baru tahu kalau Pak Leon membatalkan janji setelah papi … eh, pak Arkana memberitahu saya,” sela Aruna mengklarifikasi.

“Ya … saya langsung menghubungi pak Arkana setelah menunggu lama chat saya hanya ceklis satu.”

“Iya … hari ini miss communication tapi enggak apa-apa, saya yang salah enggak charge ponsel saya kemarin malam.” Aruna mengerutkan wajahnya.

“Oke … clear ya, jadi Bu Aruna enggak marah ‘kan sama saya?”

“Hah? Enggak kok, ke … kenapa marah?” Aruna gelagapan.

“Soalnya Bu Aruna enggak balas chat saya setelah dibaca ….”

Aruna melipat bibirnya ke dalam. “Oh itu, saya langsung kerjain yang lain,” kata Aruna dengan suara pelan.

“Oh, saya pikir Bu Aruna kesal sama saya … saya merasa harus menyelesaikan masalah ini karena kita akan terus berkomunikasi dan bertemu hingga kontrak bisnis selesai.”

“Saya enggak marah loh, Pak ….” Kalimat Aruna menggantung. “Cuma kesel doank terus bad mood seharian,” sambungnya di dalam hati.

Lalu tercetus tawa di ujung panggilan sana dengan suara bariton seksi membuat Aruna menegang dan buku kuduknya menegang.

“Baiklah … saya pastikan enggak akan ada lagi miss communication ke depannya.” Leonhard berjanji.

“Oke.” Otak Aruna jadi beku, dia hanya menjawab singkat.

“Saya masih di Singapura sampai dua hari ke depan … bagaimana kalau kita reschedule survei ke pabriknya sampai saya kembali ke Jakarta?” Ini adalah maksud kedua dari tujuan Leonhard langsung melakukan panggilan telepon dengan Aruna setelah meminta maaf tadi.

“Baik, Pak ….”

“Sampai ketemu tiga hari lagi, Bu Aruna ….”

“Iya Pak ….”

“Selamat malam, Bu Aruna.”

“Selamat malam Pak Leon.”

Panggilan telepon pun terputus.

“Aaarrrrggghhh!” Aruna menjerit sambil menenggelamkan wajahnya pada bantal.

“Ya ampun, perhatian banget sih sama perasaan aku ….”

Padahal Leonhard sudah jelas mengatakan kalau dia tidak ingin hubungan mereka berubah canggung apalagi dingin karena miss communication ini.

“Gentle Man banget sih … mau minta maaf duluan ….” Aruna jadi terharu.

Andaikan keempat kakaknya melihat keanehan Aruna ini, mungkin Aruna akan dibully seumur hidupnya.

 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Maafkan Aku, Menikahinya - Chapter 13, 14, 15
29
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan