
Ini adalah variasi atas kisah Adam dan Hawa (Eve) yang dikemas dalam sebuah percakapan dalam dongeng sebelum tidur.
Selamat mengapresiasi.
Dongeng Apel Adam
: Dongeng warisan ibu yang kudongengkan lagi padamu.
CERITANYA, Iblis hendak memikat Hawa. Ia berlari-lari menuju Tuhan, ingin mengabarkan niatnya mencari kawan yang bisa diajak ke neraka. Kau masih ingat lagu Apel Adam?
Hm. Buah Apelmu Adam, buah Apelmu. Itu, kan?)*1
Ya, itu. Tentu, tentu Tuhan yang selalu maha memahami itu mau mendengarkannya. “Tuhan, bolehkah?” rajuk Iblis setelah tenang dari megap-megapnya mendekati Arsy. Tuhan cuma menanggapinya seperti biasa; kalem, tersenyum sedikit menampakkan -bukan memamerkan- salah satu dari sifatnya yang lurus, terpuji, dan teruji itu. “Boleh saja,” begitulah kira-kira artinya.
Maka, Iblis pun bersorak seketika itu juga tanpa malu-malu. Seperti kamu yang selalu terlalu amat girangnya saat apa pun yang kamu minta selalu dituruti ayahmu. Selalu, dan akan selalu begitu.
Hihihi.
Itulah seonggok makhluk bernama Iblis. Mungkin dialah sebenar-benar anak kesayangan dari sang maha segala. Bukankah keinginannya selalu terkabul -dikabulkan- tanpa harus melalui prosedur dan diplomasi berkepanjangan? Begitulah, sampai saat Sabtu yang merdu itu, saat Iblis dengan kelegalan mandat penuhnya gentayangan mengintai calon kawannya: Hawa.
Siapa sih sebenarnya Hawa itu?
Hawa adalah makhluk Tuhan paling peka perasaannya. Ia lembut serupa kabut. Ia berlimpah air mata suka juga duka. Ia keras kepala sekaligus rapuh. Kekeraskepalaannya hampir menyerupai Iblis. Keinginan puncaknya mesti dipenuhi. Dan ialah serapuh-rapuhnya makhluk. Ia selalu merasa dirinya bukan makhluk sempurna, karena ia sadar dari mana ia mengada; dari belahan hidup paling dalam makhluk impiannya. Maka ia selalu merasa kurang lengkap, kurang utuh, selalu memburu kelengkapan sebagai nikmat sekaligus kutukan. Apa pun yang ia lakukan selalu tertuju pada yang itu, tak kan meleset dari garis yang telah ia amini itu.
Tertuju pada yang itu?
Ya, memang Adamlah makhluk itu. Dan mereka, Adam dan Hawa itu, sungguh sangat beruntung sekaligus begitu merana. Dari dua kata itulah kemudian memuasalkan tresna, cinta.
Ye, Cinta?
Ya, cinta. Cinta yang sarat makna. Ialah begitu, sebab kedua makhluk Tuhan, lelaki dan perempuan, bisa terlampau dimabuk pesonanya. Ia bisa saja melahirkan suka atau menumbuhkan luka, menetaskan bening airmata sedih atau bahagia, atau menderaskan pekat sayatan rindu berdarah-darah. Jika dirunut sampai kapan pun, nuju mana pun, cinta cuma setia pada beruntung dan merana. Seperti Adam yang mencinta Hawa sebagai sesuatu yang senyatanya adalah keharusan itu. Atau juga halnya Iblis yang katanya membenci nikmat cinta keduanya itu, ia tetap saja bergumul di dua kata itu, kan?
Tak canda, ini nyata adanya. Senyata bahwa Adam memang lelaki dan Hawa adalah perempuan. Dan bahwa keduanya sangat bahagia memakmurkan surga. Kenyataan yang selalu ditolak Iblis, sebab mengusik kemanjaan yang senyatanya dulu di-kun-kan oleh Tuhan untuknya seIblis. Itu menurut Iblis. Iblis, Iblis, eksperimen Tuhan tentang keburukan yang melengkapi kesempurnaan. Hm, ini pun kehendak Tuhan pula. Mau apa?
Mau Apel.
Becanda! Iblis cuma mau mencari Hawa buat menemaninya kelak di neraka. Hawa cuma mau dekat-dekat dengan Adam, sumber muasal adanya. Ia yang rentan itu sangat takut kehilangan. Dan Adam masih selalu sebagai makhluk Tuhan kombinasi surga dan neraka yang sempurna.
Ah, becanda.
Becanda?
He’em.
Lho?
Kan cuma Tuhan yang sempurna?
Hihihi. Benar juga. Jadi, Adam memang makhluk Tuhan kombinasi ideal surga dan neraka. Begitulah.
Hihihi.
Ketawa.
Adam yang mulanya kesepian. Adam yang ngungun merenung hampa. Untuk apa aku ada jika cuma memantik benci? Iblis itu, ia begitu membenciku, curiga sekali padaku, menguntitku ke sana-ke mari seolah aku ini pencuri. Seolah dialah tuan rumah di surga ini. Aku tak boleh mandi di sungai-sungai susu yang katanya penuh racun itu. Aku tak diijinkannya memasuki kastil-kastil yang katanya berhantu itu.
Hihihi, Surga kok berhantu?
Ssst, kamu jangan rewel kayak Iblis gitu.
Hm.
Pendeknya, Iblis itu seperti, ingat dongeng menusia kontet pengawal cincin bertuah yang selalu dikawal makhluk melata sejenis cecak berambut itu?
Smeagol?
Hm. Ya, mirip sekali dengannya. Ingat adegan saat ia berseteru dengan hobbit pembantu itu? Seperti itulah kira-kira Iblis itu. Parah sekali. Ia akan lekas merajuk pada Tuhan jika mendapati Adam cuma melamun! Melamun saja! Pasti dikiranya Adam sedang mengkhayalkan kafur, bejana perak sebening kaca, kastil emas, segelas jahe susu dari salsabil, terompah bersayap, denting peri, bidadari, pelayan-pelayan yang tak pernah uzur, sutera halus hijau tebal, pelangi milyaran warna, dan ini, dan itu, dan lagi, dan terus.)*2
“Tuhan, lakukan sesuatu. Aku betul-betul benci makhluk bernama Adam itu!”
Hm.
“Tuhan, ayolah!”
Hm.
“Lekaslah! Uss …. .”
Hm?!!!!
Tuh, kan, dasar Iblis itu memang kurang ajar. Maksud kata terakhirnya barusan pasti, “Usirlah!” Sama Tuhan saja dia berani memerintah. Keterlaluan sekali. Mungkin Iblis telah mati kutu, hilang akal menghadapi makhluk bernama Adam yang kebetulan waktu itu lagi menampakkan sifat penyabarnya yang amat membuat trenyuh siapa pun yang ikut simpati padanya.
Iblis tahu bahwa melamun adalah sumber kekuatan terbesar Adam. Itulah senjata andalan. Cukup dengan melamun, Adam telah memperoleh apa pun yang ia inginkan tanpa perlu merajuk pada Tuhan seperti Iblis itu. Cukup dengan melamun, Tuhan akan langsung turun tangan menyuruh segala ciptaanNya menyerahkan diri pada lamunan Adam, menyatakan diri untuk Adam nikmati, Adam makan, Adam pakai, Adam tangisi, Adam kangeni, Adam tiduri, Adam injak, Adam tunggangi, Adam elus, Adam lamunkan, Adam beginikan, begitukan, dan masih banyak lagi ini itu yang bisa Adam nikmati itu. Jadi, itu sepertinya merupakan titik kritis bagi perseteruan yang sepertinya cuma dikipaskan Iblis seIblis saja. Perseteruan yang dihadapi Adam selayak koboy nan innocent, anggun, dan sedikit angkuh, plus agak-agak mellow itu. Lihatlah bagaimana ia bermuram durja selayak pecinta putus asa dirundung duka nan menghiba. Apakah yang membuat ia putus asa?
Hm?
Uu, makanya dengerin. Adam tu putus asa kerana?
Ia dimusuhi. Ia butuh tempat buat mengadu, buat share. Ia kesepian.
He’eh! Tapi kenapa ia tak langsung mengadu saja pada Tuhan? Karena begitulah sifat Adam yang koboy. Ia adalah makhluk yang agak santun dan sedikit bijak. Beda dengan anak sekarang; kakak-kakaknya pasti sok dewasa, adik-adiknya pastilah manja. Adam itu jarang bermanja. Ia cuma senang melamun, mengandai-andai. Dan celakanya iblis tak suka, lalu memprovokasi Tuhan supaya Adam diusir saja dari surga kerana Iblis iri dengan kekuatan Adam yang cuma sepele tapi bisa mendatangkan segala ingin berupa-rupa jadi nyata itu. Lalu?
Lalu sampailah pada cerita buah apel itu.
Hehehe. Coba gimana ceritanya?
Ceritanya, Adam itu terus kesepian. Ia butuh tempat buat share, buat mengadu. Dan ia jarang langsung mengadu pada Tuhan karena ia adalah anak yang koboy. Tuhan yang maha segalanya itu paham. Ia paham apa yang harus Ia lakukan untuk menetralisir suasana itu, tentunya. Ia tak mau mengecewakan Iblis, Ia tak hendak menyakiti Adam. Maka, Kun fayakun! Atas nama firman, diciptakanlah makhluk serupa Adam. Makhluk itu berambut hitam. Makhluk itu adalah representasi imaji, pengelamunan, dan angan-angan Adam yang paling penit yang bisa ia lakukan. Ia adalah bayangan Adam yang kemudian dipahat Tuhan jadi seonggok makhluk bernama Eve, Hawa, perempuan.
Buah apelmu Adam, buah apelmu.
Aaahhh.
Hem, lalu?
Berfirmanlah Tuhan; “Wahai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanan yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”)*3
Tul. Maka, Adam pun tahu bahwa ia juga disayang Tuhan. Ia telah diberi mandat untuk menjadi empunya surga. Ia boleh tidur di mana saja ia suka, mandi di mana saja ia mau, buang hajat, makan sepuasnya, cebok, berbisik-bisik, mencangkul, leyeh-leyeh, dan tentu saja; melamun, hal yang dulu paling ia sukai, dan kemudian jarang ia lakukan. Kini, ia telah dengan terang mendengar firman Tuhan. Ia mestinya tak canggung lagi untuk berbuat sesukanya. Ia tak perlu lagi takut pada Iblis, sekedar tak enak, atau kasihan pada makhluk Tuhan serba rewel yang selalu mencurigainya itu. Tapi yang paling mengasyikkan tentu saja karena; Hawa.
Hawalah jawaban segala muasal putus asa atas ngungun dan sepi yang tak terkira. Hawa yang mengajaknya berbincang mesra, saling berbisik, dan bercerita. Hawa yang tak pernah lelah bersisian langkah dengannya. Hawa yang mencarikan kayu bakar dan menjerangkan air hangat untuknya. Hawa yang selalu tertawa saat Adam melucu. Hawa yang menghidangkan jahe susu. Hawa yang menambal sutera hijau tebalnya yang robek tersangkut ranting emas pohon makanan. Hawa yang mengajaknya sembahyang. Hawa yang tak henti berdo’a untuknya. Hawa yang tak hendak berpisah darinya. Dan Hawa pula yang keras kepala hendak mengajaknya mendekati ‘pohon ini Tuhan’, pohon larangan itu.
Adalah simalakama, sebab dengan telinganya sendiri Adam telah mendengarkan firman Tuhan untuk tak sekali-kali mendekati ’pohon ini Tuhan’, pohon larangan itu. Sebab pula, dengan apa ia hendak membalas semua kebaikan Hawa, kalau memenuhi sekedar pintanya saja ia tak bisa?
Di saat genting itulah Iblis seperti mendapat angin segar. Hal yang bisa membuatnya memonopoli surga abadi. Sebab, ia tahu tak mungkin lagi meruntuhkan hati Adam yang setangguh koboy itu. Ia telah jera berurusan langsung dengannya. Dan ia tahu satu-satunya kelemahan adik bungsunya yang telah jadi musuh bebuyutannya itu; cinta. Ia tahu siapa pujaan hati si koboy palsu itu. Siapa lagi kalau bukan; Hawa? Maka, Iblis hendak memikat Hawa. Maka, setelah ia anggap Tuhan mengijinkan, dengan muslihatnya ia terus mengelus-elus sisi lain hati kekasih Adam yang ia tahu sangat rentan melebihi tulang yang paling rawan.
“Pohon itu pohon khuldi,” pelan ia membisiki Hawa. Santai saja lagaknya, seperti makelar yang santun menjaga reputasinya.
Hihihi.
“Buahnya lezat, sangat lezat.”
Kikikik.
“Lebih lezat dari jahe susu ramuanmu, dari air yang kau ambil dari kafur atau salsabil itu.”
Ikikik.
“Iciplah barang sekupas, niscaya kau bisa mencipta kerajaan yang tak akan pernah binasa!”
Wakakaka.
“Karena cinta yang amat hebatnya mesti dijaga. Walau bagaimanapun, walau sampai kapanpun.”
Wuakakaka.
Dengan pendekatan gaya makelar yang serius agak kemacho-machoan dan sedikit menyitir sajak penyair, sangatlah wajar luruh hati rentan kekasih Adam nan rapuh itu. Hawa yang memang tak ingin kehilangan cinta sejatinya. Hawa nan nyata takut tercerabut dari muasalnya yang sungguh-sungguh ia cintai sepenuh hati. Ia, bila bisa, ingin bercinta-cinta sepuas-puasnya dengan kekasih pujaan tambatan hatinya. Walau bagaimanapun, walau sampai kapanpun.
Iblis sungguh mengerti. Ia belajar banyak dari perjalanan Adam sang musuh bebuyutan, dari sejak Adam suka melamun sampai diciptakannya Hawa untuk Adam seorang. Itu semua menginspirasi hal-hal penting dan menginisiatifkan strategi jitu semacam lagak makelar nan puitis tapi tetap santun menjaga reputasi itu demi mensiasati tangguhnya hati Adam yang segentle koboy dan rapuhnya hati Hawa melebihi rapuhnya tulang rawan nan paling rawan. Dan ternyata cuma satu saja intinya; cinta. Cinta yang merekatkan hati keduanya begitu rupa, cinta yang enggan dipisahkan, cinta yang mulanya dihidupkan oleh kekuatan ngungun sepi lamunan, dan tentu saja cinta yang menuntut adanya pengorbanan. Ia paham apa yang mesti ia lakukan. Dan Adam sepertinya mengerti apa yang bakal terjadi.
Ialah?
He’eh.
Yeuk.
Karena sejarah rupanya dimulai oleh orang-orang berani yang digerakkan oleh kekuatan maha dahsyat cinta. Sudah, cukup! Yuk tidur! Besok kesiangan!
*
KETIKA kemudian dongeng ini sampai padamu, ia akan telah mengalami tambalsulam-tambalsulam hingga mungkin kau sendiri takkan tahu seperti apa rupa sebetulnya dongeng ini. Tapi, ia tetaplah dongeng abadi, seabadi ‘pohon ini tuhan’, pohon larangan, pohon khuldi(?) itu. Ia seabadi kebingungan manusia menelusuri bingung itu sendiri.
- End.
Catatan kaki:
)*1 : Salah satu baris dari lirik lagu “Apel Adam”, Melancholic Bitch band: Yogyakarta.
)*2: Sebagian yang disebut di atas adalah benda-benda yang ada di surga berdasar kitab AL- Qur’an.
)*3: AL-Qur’an surat 1 ayat 35. Pohon yang dilarang Tuhan (Alloh) mendekatinya tidak dapat dipastikan karena Al- Qur’an dan Hadits tidak menerangkannya. Ada yang menamakan pohon khuldi (bukan buah khuldi, jadi penulis menyebut buah dari pohon larangan itu dengan buah apel, yang dijadikan judul dari cerita ini, terinspirasi dari lirik lagu “Apel Adam”) sebagaimana tersebut dalam surat ke-20 ayat 120, tapi itu adalah nama yang dibisikkan syetan/iblis. (Catatan kaki no. 37 dari AL-Qur’an surat 1 ayat 35).
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
