
Oleh Emrudy
Lucu rasanya menulis ini. Iya, apa menariknya membaca tulisan seorang penulis amatir, otodidak pula? Orang mungkin akan kian mencibir begitu tahu bahwa penulis itu sendiri bahkan tak pernah tamat sekolah dasar, kok sok-sok an sekali dia menulis? Bukan kah menulis adalah pekerjaan kaum intelektual, terpelajar, kaum cerdik pandai yang mengenyam sekolah tinggi dan berderet gelar? Ini sama sekali bukan pikiran sinis tetapi memang kebanyakan kita masih terjebak pola pikir semacam itu. Orang yang tak sekolah akan dianggap suram masa depannya, dia tak akan bisa menjadi manusia kreatif dan tak menghasilkan apa pun dalam hidupnya.
Saya jadi teringat Ajip Rosidi, dia tak pernah tamat sekolah menengah, tapi dikalangan cerdik cendikia, intelektual atau para akademisi, siapa yang tak mengenal namanya? Ajip adalah Sastrawan yang menghasilkan banyak sekali karya, novel, cerpen, puisi, esai, dan banyak lainnya. Beliau bahkan juga pernah mengajar sebagai dosen dan pernah mengajar di Jepang. Ajip mendapat gelar kehormatan bidang ilmu budaya dan sastra Universitas Padjajaran, Bandung. Terlalu panjang menulis prestasi, karya dan penghargaan untuk Ajip Rosidi. Itu baru seorang Ajip Rosidi, beberapa waktu ini Indonesia dikejutkan dengan kemunculan sosok Susi Pudjiastuti, perempuan tak tamat SMA yang diangkat sebagai Menteri. Susi Pudjiastuti terlampau cerdas untuk ukuran orang yang tak tamat SMA, bukan Cuma bahasa Inggrisnya yang memukau tapi juga cara berpikirnya luar biasa.
Itu baru dua orang yang terlihat ke permukaan, saya pikir masih ada banyak seperti mereka namun luput dari perhatian publik. Dari mana gerangan orang-orang ini memiliki kemampuan diatas rata-rata macam itu? Hal ini lah yang mesti dipahami, bahwa meski berhenti sekolah pada dasarnya mereka tak pernah berhenti belajar. Lalu apakah sekolah tak penting? Jika pertanyaan ini anda lontarkan pada dua sosok inspiratif diatas tadi, Ajip Rosidi dan Susi Pudjiastuti, saya pastikan jawaban mereka akan sama, PENTING! Susi Pudjiastuti bahkan mengambil paket C ketika sudah menjadi Menteri. Ajip Rosidi mengajar dan menulis banyak buku juga karena dia sadar betul bahwa pendidikan adalah hal utama bagi rakyat Indonesia.
Baiklah, kita kembali pada tema tulisan, pengalaman menulis seorang amatir dan otodidak, yang artinya itu adalah pengalaman saya sendiri. Lah, kok narsis begitu? Memang apa yang sudah kau hasilkan? Karyamu apa sih? Ih, kalau ada pertanyaan seperti itu saya pasti akan ngumpet di kolong meja, pasalnya saya memang tak punya karya yang patut dibanggakan, makanya judul tulisan ini dibubuhi ‘amatir’ yang artinya saya bukan profesional. Jika menyimak KBBI : ama·tir n kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah, misalnya orang yang bermain musik, melukis, menari, bermain tinju, sepak bola sebagai kesenangan. Nah, disitulah pointnya. Selama ini saya memang menulis berdasar kesenangan saja, hobi, meski kadang kesenangan itu menghasilkan sesuatu, uang, barang, buku, bahkan tawaran pekerjaan yang ada hubungannya dengan tulis menulis, yang terakhir ini bahkan sampai mesti berkutat dengan sesuatu yang sama sekali bukan keahlian saya, mengotak-atik sebuah website yang berafiliasi dengan sebuah kementerian. Saya yang tak tamat SD ini mendapat tugas menjadi orang yang bertanggung jawab mengurus web tersebut sejak awal pembuatan, meng-upload dan mengotak-atik kontennya. Saya tak ahli dibidang itu, tapi sejak dulu saya akrab dengan blog dan pernah memiliki sebuah website toko online yang memang saya operasikan sendiri. Modal saya cuma pengalaman itu saja dan pada kenyataannya saya bisa melakukannya, tapi jelas hasilnya jangan disamakan dengan mereka yang berpengalaman di dunia IT. Saya disitu hanya mengatur, mengedit dan menata konten, website itu sendiri dibuat oleh jasa pembuat web, saya tinggal memilih desain yang ada. Ini sama sekali bukan prestasi, saya tak mengarahkan anda berpikir seperti itu karena pada dasarnya semua orang bisa melakukannya, itu hanya pekerjaan yang janggal dilakukan oleh seorang yang tak tamat sekolah dasar.
Kesenangan menulis kerap kali saya tuangkan di media sosial. Saya kerap membuat status panjang mirip cerpen atau bahkan membuat cerpen betulan. Berhubung saya adalah pedagang buku, kebanyakan buku bekas, saya kerap menulis tentang itu. Ada banyak status yang kemudian menjelma artikel atau esai yang kemudian saya kembangkan. Pada suatu ketika saya pernah menulis tentang toko buku, tulisan itu dishare lebih 1000 kali dengan jumlah like nyaris sama. Ada banyak orang meng add media sosial saya termasuk dari negeri Jiran. Pernah juga ada sebuah status panjang saya buat yang kemudian diminta untuk ditayangkan oleh sebuah web penerbit sekaligus toko buku indie. Ada juga tulisan saya dimuat disebuah web yang khusus memuat tulisan tentang buku (sekarang web tsb sudah tutup), tulisan tersebut cukup banyak dibaca orang hingga bertengger di tiga besar bersanding dengan tulisan dari seorang Sastrawan dan sebuah tulisan tentang tokoh 98. Tulisan itu membuat saya diundang oleh sebuah komunitas sastra di Cirebon dengan tema yang sama persis dengan judul tulisan saya. Selepas kunjungan di komunitas sastra itu saya menulis lagi dan dimuat disebuah web toko buku yang memang juga memuat karya tulis berupa artikel, esai, cerpen dan puisi. Itu adalah tulisan dimana saya mendapat sejumlah honor. Terakhir sekali, sebuah cerpen saya pernah menjadi headline di Kompasiana.
Dari mana saya bisa menulis, padahal saya tak tamat sekolah dasar? Seperti sudah saya tulis diatas tentang dua tokoh besar Indonesia, Ajip Rosidi dan Susi Pudjiastuti, pada dasarnya mereka yang berhenti sekolah formal bukan berarti berhenti belajar sama sekali. Saya jelas tak bisa disandingkan dengan dua tokoh itu, point’ yang ingin saya sampaikan adalah bahwa orang bisa belajar dari mana saja. Saya bisa menulis karena saya banyak membaca, bahkan saya pernah mementaskan teater bukan karena saya orang teater. Saya pernah mementaskan teater dua kali, sebagai penulis naskah, sutradara sekaligus pemain, hanya bermodal keberanian dan melihat, memperhatikan.
Menulis adalah sebuah kesenangan, hobi yang sudah menyatu dalam diri saya. Saya bahkan tak peduli hasilnya bagus atau tidak, menghasilkan atau tidak, saya menulis saja. “Menulis adalah memahat peradaban” begitu pengarang Helvy Tiana Rosa bilang. "Bila ada sebuah buku yang ingin kau baca, tapi buku itu belum lagi ditulis, maka engkaulah yang mesti menulisnya." Begitu pula kata Toni Morisson, peraih Nobel untuk kesusteraan 1993.
Menulis tak perlu menjadi penulis, novelis, apalagi berharap meraih nobel. Bermimpi tentu saja harus dan perlu, tapi semua tak bisa dilakukan jika “Setelah bermimpi kemudian kau tidur lagi” seperti yang dikatakan Darto Singo kepada puterinya, penyanyi Indonesia berkelas internasional, Anggun C. Sasmi. Tak banyak yang tahu, ayahanda Anggun C. Sasmi itu sebenarnya juga menulis novel. Saya belum pernah menghasilkan novel, meski tengah susah payah berusaha kesana. Apa saya bermimpi menjadi novelis? Tidak, sekali lagi saya hanya menulis saja, menulis untuk kesenangan, kebahagiaan, perkara hasil dan lain-lain biar waktu saja menjawabnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
