
Sinopsis :
Di lamar?... dengan sahabat sendiri?..
What the...??!! -_-
Bagaimana jadinya kalo kamu di lamar oleh sahabatmu sendiri?.. Bisakah kamu menerimanya?...
Pertanyaan yang sulit bukan...
Dan Cerita ini mengisahkan dua insan dengan perjalanan cinta mereka yang memporak-porandakan Bumi…
Prolog
Ketika aku jatuh cinta, aku merasa malu terhadap semua. Itulah yang dapat aku katakan tentang cinta. Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi."
(Jalaluddin Rumi)
Cast utama :




1. Lamaran Mendadak
Seorang gadis yang baru bangun tidur melangkahkan kakinya gontai menuruni setiap anak tangga. Menguap lebar sambil celingak-celingukkan bagaikan mencari sesuatu.
"Bundaaaa.." Panggil gadis itu setengah berteriak.
Ia yang tak mendapat respon dari orang yang di panggilnya, lebih memilih duduk di sofa ruang keluarga, lalu menyalakan televisi. Ya, karena hari ini adalah hari Jum'at, pasti kebanyakan siaran di televisi berupa gosip maupun berita dunia.
Ia pun akhirnya menekan tombol saluran sembilan pada remot tv nya. Menemukan gosip terkini tentang rizki bilar dan lesti kejora.. pasangan selebriti yang lagi anget-angetnya :)). Agar semakin hikmat menontonnya, tidak lupa gadis itu menselonjorkan kaki di atas sofa dengan mengambil sigap toples kacang mede di depannya dan memasukkan satu-persatu kacang ke dalam mulutnya.
Krauk.. krauk.. krauk. Bunyi kunyahannya.
Ting nong. Tiba-tiba bell yang tertera pada pintu utama rumahnya berbunyi.
"Aduh.. siapa sih yang datang pagi-pagi begini.. ngeselin aja" umpatnya kesal.
Karena gadis itu tidak kunjung mengindahkan bunyi bell rumah yang terus terdengar, seseorang berjalan cepat menghampiri ke arahnya. Seketika menjewer kupingnya kencang.
"A.. a..aawww.. sakit" Ia melirik ke orang yang menjewernya kini.
"Ih, Bunda, kok aku di jewer sih?" Protesnya tak terima.
"Telinga kamu dimana hah?!.. denger gak itu dari tadi bell bunyi mulu." Emosi Arinda, sang Bunda. "Udah cepet sana bukain pintunya.. liat siapa tamu yang datang." Pinta Bundanya yang berlalu pergi menuju arah dapur disana.
"Iyaa.. Bunda" Jawab gadis itu bangkit dari posisi ternyamannya.
Sebelum membukakan pintu Ia harus mengambil dahulu kerudung rabbaninya yang berada di dalam kamar, otomatis dirinya harus berlari naik ke atas lagi. Eitss, tapi sepertinya tidak perlu karena matanya tak sengaja melihat kerudung segi empat berbahan satin sedang tersangkut di pegangan tangga, entah itu kerudung siapa. Masa bodo, yang penting Ia memakai kerudung kan.
Dengan cepat Ia memasangkan kerudung tersebut ke kepalanya dan membenarkan letak jarum pentul yang masih menempel di pinggiran kain kerudung ini, kemudian segera memutar balikkan badan, menuju pintu utama rumah.
Ceklek. Pintu terbuka lebar.
"Assalamualaikum Maira." Wanita paruh baya di hadapannya langsung memberi salam kepadanya dengan cipika-cipiki, seperti tau kalau Ia yang akan membukakan pintunya.
"Wa..waalaikumsalam Bude."
Maira mengenal siapa wanita paruh baya yang tengah tersenyum menatapnya ini. Dia merupakan Ibu dari sahabat lelakinya, yaitu Elfathan Alfarizqi. Sahabat dari jaman sekolah menengah pertama sampai jaman kuliah. Meskipun mereka berbeda jurusan saat SMA, bahkan kuliah.. tidak berarti membuat mereka saling terpisahkan satu sama lain.
Gadis yang bernama lengkap Nadhirah Humaira itu, kini, mengalihkan bola matanya pada kedua orang yang berada tepat di belakang bude Ratna. Ternyata ada Fathan dan Pak Kasim, Abinya yang juga ikut bersamanya.
"Eh ada Paman juga toh." Maira menyalami dengan tangan terulur ringan dan menempelkan telapak tangannya di kening.
"Iya, Dek Maira." Balas pak Kasim tersenyum.
Pria di sebelah pak Kasim tengah mengulurkan tangan ke arahnya, bagaikan juga ingin disalimi. Namun, Maira langsung menepaknya pelan. Membuat empunya malah tertawa kecil.
"Eh, Jeng Ratna, Pak Kasim.. udah datang toh. Ayo masuk." Kata Arinda memarani mereka ke depan pintu rumahnya, lalu menggiring mereka berdua masuk. "Aduh, teh, Maira bukan di suruh masuk dulu tamunya, malah didiemin aja diluar." Celetuk bundanya dari kejauhan.
"Maaf, bunda."
Bagaimana dirinya mau menyuruh tamunya masuk, kalau Ia saja kaget saat mengetahui siapa yang datang kemari. Maira jadi curiga tentang kedatangan satu keluarga ini ke rumahnya pagi-pagi.
Fathan yang ingin menyusul kedua orang tuanya masuk, seketika terhalang oleh cekalan tangan gadis di sampingnya yang berstatus sebagai sahabatnya itu.
"Tunggu.. Gue butuh penjelasan, Lu" Ujar Maira berkacak pinggang menatap tajam mata Fathan.
"Penjelasan apa ya?.. aku ndak ngerti" Fathan berpura-pura tidak tahu.
Ia menghela napas kasar. "Udah, deh, gak usah pura-pura gak tau.. ini tuh maksudnya apa, Lu sekeluarga datang ke sini, hmm?"
Sedari dulu memang Maira tidak pernah bisa bercakap lembut pada pria yang bertahun-tahun telah menjadi sahabatnya tersebut. Dirinya lebih suka menggunakan bahasa gaul untuk mengakrabkan diri dengan banyak orang, termasuk pria ini. Walaupun begitu Fathan tidak pernah merasa keberatan. Justru, dia malah menyukai cara bicaranya yang sedikit berbeda dibanding teman-teman perempuannya yang lain.
Fathan si anak alim ini, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Emm... ada deh, kejutan" Dengan secepat kilat dia kabur dari pantauan mata Maira.
"Ee.. eh.." Ia hanya bisa mendengus berkali-kali, lalu berjalan ke arah ruang tamu, dimana sekarang keluarga Fathan dan kedua orang tuanya sedang duduk bercengkerama disana.
Tak berapa lama berselang.. dari pintu depan, beberapa orang permisi untuk masuk sembari membawakan macam-macam bingkisan. Mereka semua merupakan para pekerja di rumahnya Fathan. Tiga asisten rumah tangga dan satu supirnya. Jelas Maira tau, karena Ia kan sering main ke rumah pria itu.
Bahkan tepat di saat itu pula, ketiga kakak Maira, yakni.. Zalia, Fatimah juga Adam, kini memberikan salamnya pada kedua orang tua Fathan, kemudian mereka berdiri di belakang Ayah dan Bundanya.
"Aduh, sumpah ini ada acara apaan deh.. kok jadi rame-rame gini sih. Mana pake bawa bingkisan segala" Imbuh Maira dalam hati, bingung setengah mati.
"Jadi gini loh, kedatangan kita kemari mau ada maksud baik dari mandat anakku ini, Fathan." Ucap pak Kasim kepada kami semua yang sudah berkumpul di ruang tamu.
Ayah dan Bunda Maira sesaat tersenyum penuh arti pada pihak keluarga mereka.
"Maaf, kalau Maira lancang.." Ia menengahi pernyataan Abinya Fathan. "Maksud baiknya itu, apa ya paman?" Maira yang super duper kepo gak boleh melewatkan satu pertanyaan pun di benaknya yang berputar sedari tadi.
Arinda yang duduk di sebelah putrinya, spontan menepuk pahanya kencang.
"Aawww.. Bundaaaa" Lirihnya berbisik.
"Silahkan, dilanjutkan lagi, Pak" Arinda membalikkan telapak tangan seraya mengizinkan.
"Iyaa.. Jadi maksud baik kedatangan kami ini ingin.." Ada jeda sebentar dari ucapan pak Kasim. Dia menoleh sekilas kepada Fathan yang berada di sebelahnya, lalu balik lagi menatap wajah kedua orang tua Maira. "Melamar Dek Maira, untuk anak saya Fathan."
Boom!. Otaknya seakan meledak.
"A.. apa? ... Melamar?. Gak salah tuh."
"Tunggu" Maira menjadikan tangannya terangkat ke atas. "Jujur saya gak mengerti ini.. maksudnya gimana, ya. Kok mendadak mau melamar?"
Gak.. gak bisa dibiarkan. Maira tidak terima.. apa-apaan tanpa sepengetahuannya pria itu mau melamarnya.. enak saja!.
"Jujur, teh, ini bukan Lamaran Mendadak sebenarnya." Terang Bundanya sendiri.
Maira menaikkan atensinya, melirik sang Bunda.
"Hah? Maksud Bunda?"
"Lamaran ini udah direncanain sama keluarganya Fathan dengan keluarga kita dari satu minggu lalu.. tapi ya, teh, kita diam-diam saja gak beritahu kamu" Lanjut Arinda berkata. Mesem-mesem gitu.
Wah.. udah gak bener nih, masa yang mau di lamar malah gak di kasih tahu.. paraaaah.. pokoknya parah.
Paman Kasim dan bude Ratna tersenyum mengembang, menatap wajah Maira. Sedangkan Fathan hanya memasang wajah datar seperti sehari-harinya dialah.
"Emm, Jadi.. gimana Dek Maira?." Abinya Fathan bertanya pada Maira yang masih syok terdiam mematung di tempat. "Apakah lamaran anak saya Fathan bakal diterima?."
Ketiga kakaknya yang sedari tadi hanya menyimak saksama, kini mengayun-ngayunkan pelan pundak Maira.
"Ayo, atuh, diterima." Hasut kakak pertamanya, Zalia.
"Harus terima pokoknya, dek." Tambah sang kakak kedua, Fatimah.
"Enggak baik lamaran di tolak loh, dek.." Lagi, kakak ketiganya Adam.
Bukan hanya mereka yang mendesak Maira, tetapi kedua orang tuanya pun juga begitu.
"Ayo, Mai, di jawab gih pertanyaan abinya Fathan." Sani, Ayahnya menyikut lembut lengan tangan Maira.
"Jangan bikin malu bunda ya, Mai." Giliran Arinda yang berbisik di telinganya.
Ya Tuhan... Ia harus bagaimana sekarang?. menerima atau menolak?. Aahh.. frustasi dirinya dibuatnya.
Ia menelan ludah susah payah, tenggorokannya kian tercekat. Ingin minum dahulu, namun belasan pasang mata tengah mengintainya sekarang. Dan mau tidak mau Maira membulatkan tekad untuk membuat keputusan.
"Baiklah.." Nada suara gadis ini meninggi tanpa disadari.
Semua penghuni ruang tamu pun menengok, memperhatikan wajah Maira dengan serius.
Menunggu detik-detik jawabannya Maira...
Dengan sangat berat hati Ia mengatakan...
"Saya menerima lamaran dari Elfathan Alfarizqi."
Belasan pasang mata di sekelilingnya pun mengusap permukaan wajahnya sekilas dan mengelus dada... mengucapkan rasa syukur yang sedalam-dalamnya.
"Alhamdulillah, lamaranmu di terima Le." Kata Ratna yang mengelus lembut pundak anaknya, Fathan.
"Iya Umi.. Alhamdulillah."
Fathan melengkungkan bibirnya ke atas dengan memalingkan pandangannya dari Uminya kepada Maira, yang kini malah membuang muka ke arah lain. Bibir tipis Maira mengerucut sempurna.
"Kalau begitu.. mari kita tentukan tanggal pernikahannya." Tutur Ayahnya mengajak kedua orang tua pihak lelaki untuk merundingkan tanggal baik tersebut.
2. Menanti Hari Esok
{1 minggu sebelum lamaran}
Elfathan Alfarizqi. Itulah namanya. Pria yang berprofesi sebagai Arsitek muda di salah satu perusahaan properti terbesar di Bandung, jawa barat ini.. kini sedang menyiapkan diri untuk menuntaskan sebuah misinya. Misi apakah itu?.
Yaa.. misi memantapkan hati pada sang belahan jiwa.
Umurnya yang sekarang telah memasuki usia renta, menjadikan dirinya tidak boleh menunda-nunda lagi hal yang berkaitan dengan pernikahan.
Karena apa?... kedua orang tuanya ingin sekali segera menimang cucu.
Huufft. Beginilah nasib seorang anak. Sudah susah payah berkorban untuk keluarga, banting tulang dari pagi sampai sore.. eehh, menikahpun juga mesti cepat-cepat.
Bukannya Ia tidak mau menikah.., tetapi yang menjadi permasalahannya adalah calonnya kelak di dalam berumah tangga. Karena dirinya hanya mencintai satu wanita sejak dulu, yaitu merupakan sahabatnya sendiri.. otomatis Fathan harus melamarnya bukan?... Bahwa kalau tidak segera, Uminya akan menjodohkan Ia dengan wanita pilihannya.
Padahal kalian tau?.. Fathan bukanlah anak pertama, melainkan anak kedua dari empat bersaudara. Berarti itu tandanya Ia mempunyai kakak.. yang umurnya terpaut dua tahun lebih tua daripadanya. Namun, dengan berbagai alasan entah mengapa kakaknya tersebut bisa lolos dari nasehat sang ibu yang selalu menceramahi mereka berdua setiap hari. Yaa, lebih tepatnya kalau mereka berdua sedang stay di rumah sih...
"Le, mau kemana kamu?" Wanita paruh baya tengah memasuki kamarnya yang pintunya terbuka lebar. Mendekat ke arahnya.
Fathan melirik tersenyum, lalu fokus lagi pada pandangan ke depan melihat kaca. Ia menyeprotkan minyak wangi ke sekitar kemeja lengan panjangnya.
"Mau pergi ke rumahnya Maira, Mi."
Orang yang di panggil Umi barusan, mentautkan alisnya heran.
"Ke rumahnya Maira?.." Ratna menerawang pakaian anaknya dari atas ke bawah, serta mengendus bau yang berasal dari badannya tersebut. "Serapih dan sewangi ini?"
Fathan menganggukkan kepala. "Benar, Mi." Jawabnya sambil memeluk Uminya dari samping.
"Loh, biasanya kamu kalau main ke rumah Maira cuma pake kaos biasa aja. Ini kok macem kayak ada urusan penting aja kamu kesana"
"Memang Fathan ada urusan penting kok, Mi."
Hah. Ratna melepaskan pelukan anaknya, menatap serius wajah Fathan. "Urusan penting apa toh Le?"
"Mau.. Fathan sedikit ragu memberitahu Uminya, tapi kelak uminya akan tau jua. Meminta izin ingin melamar Putrinya, Mi."
Senyuman Ratna mengembang seketika. "Kamu serius Le?.. Mau lamar Maira berarti?"
Fathan mengangguk sekali lagi. "Iya Umi.. Kan juga cuma Maira satu-satunya perempuan yang belum menikah di keluarganya"
"Iya juga sih ya." Balas Ratna manggut-manggut.
"Yaudah kalo gitu Mi.. Fathan mau berangkat dulu. Takut nanti kesiangan, malah gak enak sama orang tuanya Maira" Kata Ia dengan menempelkan hidungnya ke telapak tangan Sang Ibu.
"Iyaa hati-hati toh, Le"
Fathan pun bergegas menuju mobil fortunernya yang terparkir di halaman rumah. Dengan cepat Ia menyalakan mesin mobil dan melajukannya pada kecepatan maksimal.
Sebelum Ia berkunjung ke rumah Maira, dirinya membeli bingkisan dahulu berupa keranjang buah-buahan segar di supermarket perempatan dekat rumahnya.
Hampir satu jam, Fathan mengendarai mobilnya.. kini Ia sampai di depan pintu utama rumah keluarga Maira.
Melihat pintu setengah terbuka, Fathan menyerongkan badan mengetuk-ngetuk ujung pintunya.
"Assalamualaikum." Salamnya lantang sambil menenteng keranjang buah-buahannya di tangan.
Sepersekian detik belum ada jawaban. Mungkin karena Fathan berkunjung ke rumah ini pada hari kerja membuat penghuni rumah ini tampak tak terlihat. Pintunya terbuka pasti karena asisten rumah tangga mereka sedang membersihkan halaman rumah ini.
Ia tak menyerah begitu saja, mencoba kembali mengucapkan salamnya lantang.
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam".
Benar saja, seseorang sudah menjawab salamnya kini.
Dari arah dapur seorang wanita yang persis seumuran dengan Ibunya melenggang santai, berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Dia menarik gagang pintunya agar pintunya lebih terbuka.
Wajahnya sumringah ketika melihat Fathan. Dengan segera Ia menyalami wanita itu.
"Eh, Nak Fathan.. mau ketemu Maira ya?" Tebaknya yang sudah diketahuinya, setiap kali Ia datang kemari ingin bertemu dengan putri bungsunya tersebut.
"Bukan Tante. Fathan mau bertemu Tante dan Om."
refleks sebelah alis Arinda terangkat sempurna. "Hah, bertemu tante..?"
"Iya tante." Dengan memberikan senyuman termanisnya itu.
"Yaudah ayok masuk dulu" Ajak Arinda mengepakkan sebelah telapak tangannya di udara, bagaikan menggiring Fathan untuk masuk mengikutinya.
Mereka sekarang tengah duduk di sofa ruang tamu. Fathan memberikan keranjang buahnya kehadapan Ibu sahabatnya itu. "Ini tan, Fathan bawa bingkisan kecil buat tante."
"Oh iya.. terimakasih" Tanggap Arinda yang kemudian menaruh keranjang buahnya di sebelah.
"Ayahnya Maira teh lagi pergi ngajak cucu-cucunya jalan-jalan ke trans studio bandung. Sok atuh kalau kamu mau ketemu teh, ketemu sama tante aja."
"Iya tan.." Fathan mempersiapkan serangkaian kata dalam benaknya untuk memberitahukan tentang tujuannya berkunjung kemari. "Jadi gini.. sebenarnya Fathan mau ngomongin hal yang penting sama tante"
"Eemm." Arinda manggut-manggut kecil sembari menunggu kelanjutan kalimat pria itu.
"Kalau boleh Tante mengizinkan.." Ada sedikit jeda disana. Ia menarik napas sejenak. "Fathan ingin segera melamar Maira, tan." Ucapnya tanpa basa-basi lagi.
Arinda mendelikkan atensinya antusias. "Serius ini.. Nak Fathan mau menikahi Maira?.. Tante gak salah dengarkan?"
Ia menggeleng kecil. "Enggak tan. Fathan serius mau melamar dan segera menikahi Maira"
"Ya ampun Nak.. tante teh seneng banget dengernya. Akhirnya yak, Maira ada jodohnya juga" Arinda sembari menepuk-nepuk keras bahu Fathan.
Kenapa Bundanya Maira bisa bilang begitu?.. kalian tau tidak?..
Yaa.. karena Maira sih anak pecicilan, gayanya yang kayak laki, hobby olahraga tinju membuat sederet lelaki pun jadi takut mendekatinya. Termasuk Fathan sebenarnya..
"Sok atuh.. kapan terus kamu mau melamar Maira?" Tanya Arinda semakin antusias.
"Hari Jum'at, minggu depan tan."
Hari Jum'at merupakan hari yang istimewa bagi setiap Muslim. Dengan hari itu pula, Fathan berharap sesuatu yang baik akan terjalin kepada dirinya.
☆☆☆☆☆☆☆
Ia sedang menggulung tumpukkan kertas gambar di atas meja kerjanya. Melengkungkan bibir layaknya bulan sabit. Menanti hari esok akan bertemu sang pujaan hati. Gulungan-gulungan kertas gambar tadi Ia masukkan ke dalam sebuah drafting tube agar terlihat tetap rapih.
"Fathan" Panggil seorang gadis berambut panjang yang menggunakan jepitan berkilap di samping pucuk rambutnya.
Fathan menengok sembari mengangkat drafting tube ke atas pundaknya. "Hei, Jinan". Mata sipitnya berbinar. "Kau kemana saja, kenapa baru terlihat?"
"Emm, aku baru balik dari luar kota. Tiga hari belakangan aku ditugaskan pak Candra untuk melihat proyek hotel di daerah Manado" Tutur Jinan menjelaskan.
"Oh begitu rupanya.."
"Hemm" Jinan mengangguk tersenyum.
"Ngomong-ngomong, apa kau sudah mau pulangkah?"
Jinan memperhatikan bawaan yang terdapat menggantung di pundak serta genggaman tangan Fathan.
"Iya, aku memang mau pulang sih.. cuma mau mampir makan dulu di warung satenya Kang Ipin. Kamu mau ikut?" Ajaknya yang langsung di angguki oleh Jinan.
"Tentu aku mau ikut, aku juga sangat lapar" Kata dia sambil memegangi perutnya. "Oh tunggu sebentar aku ambil tas dulu ya diruanganku"
"Yasudah, kalau begitu aku tunggu di depan kantor"
"Okey.."
Fathan pun berjalan ke arah lift di sebrang ruangan kerjanya. Memasuki lift dan memencet tombol lantai paling dasar. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya.
Pukul 17.00 wib. Kira-kira sedang apa ya Maira sekarang??..
Sejujurnya, Fathan ingin sekali menemui gadis itu hari ini di rumah sakit, namun niatnya harus diurungkan.. karena sepertinya gadis itu masih marah, gara-gara kemarin tidak memberitahukannya soal perihal lamaran yang ditujukan padanya tersebut. Tapi tidak apa, toh Ia juga esok bakal bertemu dengannya.
Ia sudah berada di depan gedung perkantorannya. Menunggu Jinan di dekat meja satpam yang berjaga diluar.
Beberapa menit kemudian, mimik wajah gadis tersebut sudah terlihat di balik lift yang kini berlari kecil mendatanginya.
"Maaf ya jadi lama nunggunya"
"Gapapa kok.. Yaudah yuk kita jalan"
Kebetulan warung satenya kang Ipin ini, masih berada di dalam satu wilayah perkantorannya. Hanya berjarak tujuh meter jauhnya dari tempat sekarang Ia berpijak. Makanya mereka hanya perlu berjalan kaki sedikit, lalu sampai.
Mereka mencari tempat terpewe disana. Biasanya Fathan paling suka duduk di pojok ruangan yang menghadap ke arah jalanan. Dengan begitu Ia jadi bisa memantau keadaan sekitar. Mereka duduk saling berhadapan.
"Kamu mau pesen apa, Nan?" Tanyanya dengan membuka buku menu yang disuguhkan oleh pelayan disini.
"Hemm, samain saja kayak pesanan kamu"
"Oke" Fathan memberitahukan pelayan apa-apa saja makanan yang ingin di pesankan, kemudian balik menatap lurus ke depan.
Tak sengaja matanya dan mata Jinan saling bertemu pandang. Gadis itu seperti tengah mengamati wajahnya pada tangan menopang dagu.
"Hei". Tegurnya pada volume sedang.
Gadis itu masih belum tersadar, justru malah makin senyum-senyum gajelas. Seperti melamun..
Fathan pun menaik turunkan tangannya di depan wajah Jinan.
"Hello tuan putri, anda kenapa senyam-senyum sendiri gitu hmm?"
Jinan yang tersadar spontan menegakkan badan. "E..eh, enggak kok.. aku gak senyam-senyum tuh" Gelagapnya yang melipat kedua tangan di meja.
"Oh ya." Ia memanyunkan bibirnya dengan sedikit decakkan seolah mempercayai ucapannya barusan.
"Iyaa.. sungguh."
Ia mendengus geli. Teman wanita kantornya ini memang pandai sekali berbohong padanya. Sudah beberapa kali coba Fathan memergoki wanita itu tengah memandanginya sampai melamun begitu. Entah apa, yang ada di benaknya.
"Baiklah.."
Tak berapa lama, dua porsi sate ayam berisikan masing-masing sepuluh tusuk serta teh manis hangat diletakkan pelayan di atas meja mereka.
"Terimakasih kang" Ucap Fathan yang kemudian mulai menyantap satenya secara lahap.
Jinan tertawa kecil, memperhatikan cara makan pria di depannya ini. Mulutnya sampe blepotan terkena cairan kecap akibat terlalu lahap makan.
"Kau ini lapar atau rakus, hah? ." Masih terus tertawa pada bungkaman tangan menutupi sebagian mulutnya.
Fathan menghentikan aktivitas makannya sejenak dan menyengir malu. Membersihkan pinggiran mulutnya yang terkena kecap dengan tissue disana.
Drrtt.. drrtt..
Getaran ponsel milik Fathan di atas meja.
"Siapa tuh yang ngirim pesan WA?" Jinan tadi tak sengaja menerawang layar hpnya Fathan yang memunculkan ikon WhatsApp.
Ia melirik sekilas. Jantungnya langsung berdegup kencang saat mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.
"O.. oh ini , dari Maira."
Deg. Jinan berhenti, sesaat ingin menyuapkan nasi ke mulutnya.
Yah, Dia tau siapa itu Maira?..
Perempuan yang bertahun-tahun mengisi relung hatinya Fathan. Pria ini selalu bercerita mengenai perempuan itu padanya, setiap kali ada kesempatan. Hampir setiap hari Jinan mendengar nama perempuan itu. Kali ini sudah muak rasanya kesekian juta kali telah mendengar namanya. Meski Jinan belum pernah bertemu sebelumnya dengan Maira, namun dia pastikan Maira tidak mungkin lebih unggul dibanding dirinya dalam segi apapun.
"Kenapa dia?.. nyariin kamu?"
"Sepertinya begitu.."
"Dia masih sering marahin kamu gak?" Secara yang Jinan tau dari ceritanya bahwa perempuan itu sangat galak dan suka membanding-bandingkan Ia dengan kakak lelakinya. Walaupun begitu Fathan tetap saja enggan memutuskan rasa suka padanya.
Fathan menggeleng pelan. "Udah enggak kok. Kita juga jarang ketemuan, jadi mana sempat dia bawelin aku."
"Ohh.. baguslah" Ingin rasanya Jinan merobek mulut Maira, kalau masih bersikap begitu pada pria yang dikaguminya.
Fathan mendelikkan mata sipitnya, seperti baru mengingat sesuatu.
"Kenapa, Than?" Kini Jinan meminum teh hangatnya sambil mengangkat gelasnya ke atas.
"Aku sampai lupa mau memberitahu kamu.. Katanya dengan menyentuh lembut tumpuan tangan Jinan. Aku sudah lamaran sama Maira"
Seketika dia tersedak. "Uhuk..uhuk." Menaruh gelasnya kembali ke atas meja.
"Kamu gapapa, Nan?
"Gapapa.. aku gapapa." Jinan masih sedikit batuk-batuk.
Ya Tuhan.. bagaimana bisa Dia menjalani hari-harinya kelak-- yang nantinya di penuhi kecemburuan terhadap dua insan yang akan segera naik kepelaminan itu?.. harus bagaimana lagi?..
3. Abang Tampan
Ia menyusuri koridor rumah sakit yang di kanan kirinya terdapat banyak orang berlalu lalang sembari mendorong troli makanan dengan tipe terbuka, mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Maira baru saja mengambil semua peralatan kotor, bekas makanan di ruang kamar VIP nomor empat belas.
Ruangan rawat inap termehong yang pernah diketahuinya. Berkisar tiga sampai lima juta permalamnya. Waw.. berasa seperti menginap di resort mewah saja yang terdapat di daerah Bandung.
Ia mendengus malas, menaruh kembali troli makanan yang di dorongnya itu ke dalam ruangan dapur umum rumah sakit, serta tidak lupa untuk memindahkan tumpukkan piring dan gelas ke dalam westafel disana.
Maira benar-benar tidak niat bekerja hari ini. Jadwal yang seharusnya diberikan pihak rumah sakit kepadanya minggu ini adalah shift sore. Namun, karena beberapa perawat sedang mengambil cuti dengan berbagai macam alasan.. akhirnya pihak rumah sakit pun yang merasa kekurangan perawat, memutuskan untuk merombak ulang jadwalnya tersebut, menjadikan Ia lembur semingguan ini.
Sehingga Ia yang berstatus sebagai perawat magang disini, mau tidak mau harus menerima kebijakan dari rumah sakit barunya tersebut. Yaa, Maira dan kedua teman dekatnya di pindah alih tugaskan ke rumah sakit yang cukup jauh dari lokasi yang sebelumnya. Entah, apa alasan mereka bertiga di pindahkan kemari.
Sejujurnya itu semua tak menjadi masalah untuk Maira, karena apa?.. Ia cukup senang disini, bisa selalu memantau gerak-gerik dari Abang tampan sang pujaan hatinya.. siapa lagi kalau bukan kakak sahabatnya itu, Athar.
Yup, memang sangat kebetulan sekali, Ia kini bekerja sama dengan pria tampan ini sebagai asisten pribadinya. Takdir seakan menyatukan mereka berdua untuk menjadi lebih dekat.
Tetapi, siapa sangka... disaat takdir mulai menyatukan mereka ada saja penghalangnya. Ia jadi tak fokus bekerja, dikarenakan terus menerus memikirkan pernikahan coming soon nya itu. Bagaimana Maira tidak pusing coba.. bila yang melamarnya sahabatnya sendiri. Sakit jiwa emang...
"Lo kenapa, Ra?" Tanya Salsa yang baru saja keluar dari toilet dapur umum di sudut ruangan.
"Ha.. hah, Apa?" Maira baru sadar, ternyata Ia sedang melamun di depan westafel.
Salsa menghela napas kecil. "Kebiasaan Lo melamun mulu. Kenapa sih?.. lagi banyak masalah ya idup Lo?"
Tiba-tiba saja, Maira mewek tersengut-sengut di hadapan temannya ini. "Hiks.. hiks.. hiks."
"Lah, Lo kenapa Ra?.. Panik Salsa sambil menggoyang-goyangkan pelan bahu Maira. Takut dikira temannya ini bakal kesurupan. Jangan nakut-nakutin gue ih!."
"Gu.. gue , Sa.. " Ucapan Kalimatnya patah-patah.
"Iyaa.. Lo ada apa Ra?.. Cerita sama gue , ada masalah apa?.." Makin panik sih salsa di buatnya.
"Gue.. Di.. i.. ituin sama cowok"
"Apa..?" Mata Salsa melotot. Siapa yang ituin Lo Ra?. Bilang sama gue, biar gue tinju dia. Lo di perkos.. ?" Kata-kata Salsa tertahan, akibat Maira membekap mulutnya.
"Gue di lamar.. odong."
Seketika binaran mata Salsa nampak. Ia melepas bekapannya. "Serius Lo.. sama siapa?" Heboh teman ajibnya itu.
"Yuhuuu... Maira udah di lamar nich." Datanglah sih perusuh yang sebenarnya, Ocha. Teman dekatnya selain Salsa. Dia joget-joget asoy gitu di depan mereka berdua. Tau datang darimana tuh orang..
Plak! Maira pun menggeplak kencang jidat Ocha, agar dia berhenti joget.
"Aduuuh" Ocha mengusap-usap pelipisnya.
Salsa melirik sekilas, jam di tangannya itu. Menunjukkan pukul 16.30 wib. "Eh, udah jam empat lewat aja. Lo berdua udah pada makan belum?" Katanya menatap Maira dan Ocha.
Menggeleng keduanya bersamaan.
"Bagus.. Ayok kita makan di kantin" Ajaknya, langsung di angguki mereka berdua. Berjalan bergandengan, layaknya anak SMA yang kalo jam istirahat pada rumpi di lorong sekolah.
Maira, Salsa dan Ocha duduk di meja panjang, setelah membawa mangkuk berisikan mie ayam extra pangsit yang di taruh ke atas meja.
Maira mengkomat-kamitkan mulutnya seraya membaca doa. Aamiin..
Setelahnya, mereka bertiga pun makan dengan lahap. Untuk beberapa menit, mereka makan dalam diam.
Maira yang tidak suka keheningan, memilih untuk merogoh ponsel yang ada di dalam saku baju perawatnya, kemudian menekan ikon WhatsApp dan menyecrollnya ke bawah. Tak sengaja jarinya terhenti pada kontak bernama "I Hate Fathan". Yah, kontak yang Maira ubah kemarin lantaran geram padanya. Ia berpikir untuk menuliskan secuil pesan disana..
"Gue mau bicara empat mata sama Lu, besok!" Sudah ceklis dua, tandanya sudah terkirim dan dia sedang ON WA.
Sepersekian detik muncullah secercah pemikiran, bahwa Ia harus segera menghapus pesan tidak penting barusan. Lantas, Maira menarik kembali pesan WA tersebut dari kontaknya Fathan.
"Ehem" Seseorang kini bersuara..
"Wey.. Ra." Ocha mulai bersua.
"Eumm" Sahutnya yang memasukkan balik ponselnya ke dalam saku baju perawatnya.
"Ngomong-ngomong siapa dah yang ngelamar Lu?" Kepo Ocha tingkat dewa, mendelikkan mata penasaran.
Mereka kembali pada topik yang sedang hangat-hangatnya barusan...
"Iyaa.. siapa deh, yang berani ngelamar Lu?" Timpal Salsa, menyelidik ke arahnya.
Maira menghela napas panjang dengan melepaskan garpu dan sendok ke pinggiran mangkuknya. "Biasa.. siapa lagi kalau bukan Fathan." Mulutnya terasa gatal sesudah menyebutkan nama lelaki tersebut. Alergi kali ah..
"Fathan.. sahabat Lo yang dari jaman SMP itu?"
"Iyalah, siapa lagi.."
Ocha juga Salsa menepuk-nepukkan tangan berirama. "Good... good, parah berani banget dia" Celetuk Salsa.
Ocha mengacungkan dua jempolnya, begitu terkesima pada tekad pria itu.
Dari arah belakang, seorang cowok dengan perawakan kucrit dan sedikit gempal, berlari mendatangi ke meja mereka. Lalu menggebrak mejanya.
Brug
Mereka bertiga pun melonjak kaget. "Astagfirullah"
"Pelan-pelan dong Ken."
Orang bernama Keni tersebut mengatur napasnya dahulu, lalu berkata. "Maira.. Lu di cariin sama Dokter Athar. Katanya kalau dalam 5 menit, lu belum sampe di ruangan dia.. Lu bakalan di pecat jadi asisten pribadinya dia" Jelasnya lantang, membuat seisi kantin menoleh kepada mereka berempat.
"What?" Gantian Ia menggebrak meja. Cepat-cepat Maira ngibrit tanpa memperdulikan lagi mangkuk mie ayamnya yang baru termakan setengah.
"Wey.. wey ini gimana mie ayamnya, Ra?" Teriak Ocha yang tak di hiraukan.
☆☆☆☆☆☆☆
Ruangan dokter Athar berada di lantai empat, dimana lantai khusus para dokter yang menangani spesialis penyakit dalam.
Ia telah sampai di lantai tersebut. Atensinya mencuat seketika, akibat peristiwa di depannya. "Eh buset, buanyak banget.. yang nunggu di ambang pintu ruang kerjanya sih Dokter. Pantes mah dokter Athar kewalahan, gak ada yang nanganin" Pekiknya, permisi menerobos masuk ke dalam ruangan kerja Athar.
Athar yang mendapati wanita yang dicarinya tadi sudah berada di dalam ruangan kerjanya, menghembuskan napas lega. "Akhirnya kamu datang juga.. cepat data orang-orang di depan sana, beri nomor antrian pada mereka" Pintanya yang bersiap memakai jas dokternya itu dan menyangkutkan stetoskop ke lehernya.
Tidak mengelak lagi, Maira langsung mengiyakan permintaan Athar. "Baik, siap laksanakan Dok." Pada telapak tangan menempel di tumpuan kepala.
Dengan sigap Maira meraih buku note dari atas meja kerja dokter Athar, yang digunakan kelak untuk menulis nama-nama pasien yang sedang menunggu di luar sana.
Pintu depan ruangan terbuka lebar. Para ibu-ibu lansia di hadapannya riweuh saling mengumpat satu sama lain, sambil melirik dokter Athar di sebrang sana. Mengerjap-ngerjapkan mata genit.
"Dih, situ mau berobat.. apa mau liatin dokternya sih. Mentang-mentang dokternya ganteng pada gak tau diri, Hheuh." Desisnya geram pada ibu-ibu ini.
Sampai kapanpun Dokter Athar itu cuma miliknya seorang. Titik..
"Ibu-Ibu.. mohon jangan berisik. Ini rumah sakit bukan pasar ya.." Lembut Maira memberikan pengertian pada Ibu-ibu ini.
Namun, masih belom tergubris jua.. tepat di saat yang bersamaan handphonenya Maira berdering. Ringtone lagu Kai yang berjudul "Mmmh" tengah berputar merdu di dalam sana, membuat Ia spontan merogoh saku bajunya.
Nomor tidak di ketahui. "Aduh siapa sih yang pake nelpon segala" Ia menggeser tombol hijau pada layar ponselnya.
"Halloooo... ini teh siapa?" Ucap Maira setengah berteriak, melawan keributan suara di hadapannya ini.
"Ini aku.. masa gak kenal sih." Jawab seseorang di ujung sana, yang tak kalah keras teriaknya. Orang ini, sekarang juga berada di tengah-tengah keramaian jalanan kota.
"Aduh siapa sih.. Udahlah saya gak kenal anda pokoknya"
Tut.. tut.. tut..
Sambungan telepon di matikan sepihak.
Seseorang di ujung sana itu adalah Fathan. Ia sengaja menelpon Maira, dikarenakan pesan WhatsApp wanita itu yang tidak dapat terbaca akibat di tarik kembali olehnya.
Fathan tersenyum menepuk pelipisnya sembari menewarang ke layar ponselnya. "Astagfirullah.. pantas saja, Maira tidak mengenaliku. Wong nomor hp yang ku pakai, nomor khusus teman kerjaku."
4. Membicarakan
Pagi ini di hari Minggu, keluarga Maira sedang berkumpul di rumah. Mereka kini sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Mulai dari Ibundanya, Arinda yang sedang berada di dapur menyiapkan bahan-bahan untuk menumis bumbu, berupa bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, dan beberapa jenis bahan serupa. Menuangkan 3 sendok makan minyak ke dalam kuali besar untuk di panaskan, setelah bumbu sudah tercampur halus dan siap di tumis.
Selanjutnya ada kakak pertamanya, Zalia yang sedang mengambil ayam dari dalam panci setelah di rebus tadi untuk di tiriskan ke atas saringan. Lalu tangannya beralih meraih campuran dua cabai, yaitu merah dan orange di atas nampan setelah di cuci bersih, serta menuangkan beberapa sendok teh garam untuk di jadikan sambal sebagai pelengkap makanan.
Lalu, ada kakak keduanya Fatimah yang sedang menggoreng tempe dan tahu, tepat di sebelah Bundanya.
Serta, Kakak ketiganya Adam sedang asik mengajak main Leya, Davikah dan Harris di lesehan ruang keluarga. Ya, mereka adalah anak-anaknya kakak sulung dan kakak tengahnya Maira, yang berarti keponakannya.
Adam memang belum berkeluarga. Diumurnya yang ke 31 tahun dirinya masih senang merintis karier sebagai pilot di salah satu jasa penerbangan ternama di Indonesia. Dan setiap Bundanya menanyakan kapan dirinya akan menikah, pasti dia hanya bisa selalu menjawab.. "nanti Bunda kalau Adam sudah punya calon dan siap lahir batin". Padahal Bunda sangat ingin melihat anak lelaki satu-satunya di keluarga ini segera berumah tangga dan memliki keturunan seperti dua putrinya yang lain.
Maira menghampiri Adam yang sekarang sedang menatap ke layar ponselnya tersenyum.
"Ehem.. ehem, liatin apaan tuh Bang." Ledek Maira sembari duduk di sofa, di samping kakak ketiganya itu. Meraih bantal kecil yang berada di belakangnya dan di taruh ke atas kakinya yang menyilang.
Adam yang terkejut, menoleh kaku ke arah sang adik. Mengelus dadanya perlahan. "Kamu bikin abang kaget aja deh Mai.."
"Kok kaget sih" Tatapan Maira ke abangnya, tiba-tiba menyelidik. "Atau jangan-jangan...." matanya menyipit sempurna dengan menganyunkan jari telunjuknya samar kepada Adam.
"Jangan-jangan Apa?.." Adam balik menatap Maira takut-takut.
"Abang abis liat bokep ya."
Adam langsung membuat raut wajah datar, mendengus pelan. "Astagfirullah Mai.. mana mungkin abang liat begituan. Meski abang belom nikah, bukan berarti pikiran abang seliar itu." Dia menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir dengan tuduhan adiknya.
Maira malah tertawa mendengar ucapan abangnya itu. "Hahah.. yakali aja Bang, siapa tau kan.."
Kakaknya ini paling susah untuk di ajak bercanda, hidupnya lurus adem ayem aja. Makanya tuh cewek-cewek kayaknya pada ogah buat deketin dia.
"Bang Adam" Ucap Maira memeluk kakaknya dari samping.
"Hemm, tau deh.. kalo udah meluk-meluk gini biasanya ada maunya nih anak" Ujar Adam malas. Sedari kecil, Ia memang sudah menjadi anak terakhir yang paling manja di keluarga ini.
"Hehe.. enggak kok bang. Maira cuman mau nanya?.."
"Sok bade naros naon (silahkan mau nanya apa)?"
Walaupun Maira terlahir di Bandung dengan khasnya bahasa Sunda. tetapi anehnya Ia tidak bisa menggunakan bahasa tersebut, justru Ia lebih mahir menggunakan bahasa arab di bandingkan sunda. Ya, Maira berasal dari keluarga campuran Arab-Indo.
Ayahnya merupakan orang Arab asli yang merantau ke Bandung saat itu untuk mencari pekerjaan. Lalu, beberapa bulan setelah mendapatkan pekerjaan, dirinya bertemu sang Bunda yang merupakan perawat di salah satu rumah sakit swasta kala itu. Berjarak satu tahun mereka bertemu.. Bundanya, Arinda langsung di lamar oleh Ayahnya, Sani. Ayahnya memboyong keluarga besarnya untuk meminang Bunda disini. Dan sampai sekarang akhirnya Ayah tinggal di Bandung. Seperti itulah kisah yang pernah di ceritakan kedua orangtuanya kepadanya.
Meskipun begitu, Maira masih sedikit mengerti tentang kosakata dasar dari bahasa Sunda. Setidaknya Ia tidak bodoh-bodoh bangetlah...
"Aku mau nanya.. Ia mengubah posisi duduknya semula. Kenapa sih gak abang duluan aja yang Nikah?.. kenapa harus Maira sih?." Telaknya tegas mengejutkan.
Adam memasang wajah datar kembali. Bagi Maira sedatar-datarnya wajah abangnya ini, tetap saja kelihatan kasepnya. Emangnya sih cowok rese' itu tuh.. udah jelek ngeselin pula :")). Maksudnya Fathan. Etss, kenapa dirinya jadi membahas dia yah.. Aah.. sudah lupakan.
"Abang sudah berapa kali bilang, hemm.. Kata Adam sambil mencubit pipi adik perempuannya gemas. Kalo udah punya calon pasti abang langsung meminangnya kok."
"Yaa tapi sampai kapan abang?" Cemberutnya menopang dagu. "Masa iya, Maira harus ngelangkahin bang Adam?."
"Yah gapapa dong.. kan calonnya Maira sudah siap lahir batin"
Terlintas secercah ide di benak Maira. "Ahaa.. gimana kalau aku nyariin jodoh buat abang aja?.. kayak makcomblang gitu deh" Ia menyikut kencang lengan kakaknya. "Gimana bang?" Tawarnya sumringah, menaik turunkan alisnya.
"Hemm.. gimana ya ?.."
Tepat di saat Bunda dan kedua kakak perempuannya tengah menyiapkan menu sarapan pagi di atas meja makan, datanglah tiga orang lelaki dari arah pintu utama kediaman rumahnya.
Tawaran Maira untuk abangnya itupun jadi terlewatkan, karena mereka terpaku pada ketiga lelaki di sebrang sana.
"Assalamualaikum" Ucapan seorang lelaki yang salamnya terdengar lantang, namun suaranya lembut menghangatkan jiwa.
"Waalaikumsalam.."
"Papa.." Seru Leya dan Davikah yang merupakan kedua putri dari Zalia. Mereka berdua berlari gembira ke arah papanya.
Papa mereka, Bilal yang menyandang status sebagai kakak iparnya Maira. Baru saja pulang dari Kairo, Mesir setelah satu tahun lamanya berada disana. Mengerjakan proyek Konstruksi dengan dia sebagai ketua pelaksana yang meneliti langsung kondisi di sekitar yang menjadi tempat berlangsungnya pembangunan.
Bilal langsung memeluk kedua putrinya tersebut. "Eh anak-anak papa yang cantik.. kangen yah sama papa." Tuturnya yang kini mengelus rambut mereka lembut.
Leya dan Davikah mengangguk kompak. "Kangen banget Pa.."
Seusai memeluk kedua putrinya, Bilal mendatangi Ibu mertuanya yang berdiri di depan meja makan. Menyalami tangannya penuh kasih. "Ibu apa kabar?"
"Alhamdulillah, baik Nak Bilal..." Arinda dengan menepuk-nepuk pelan pundak menantunya.
Satu persatu keluarga mereka pun ikut disalami dengan Bilal.
"Wah.. kayaknya sarapan sudah siap nih.." Giliran Ayahnya, Sani yang berbicara.
Keluarga mereka hari ini sengaja berkumpul dikarenakan untuk menyambut kedatangan salah satu anak sekaligus menantu lelaki tertua di keluarga ini. Dengan mengadakan sarapan bersama sebagai rasa syukur atas kepulangan Bilal ke rumah yang pulang sehat bugar dan selamat.
"Loh kok ada sih kutu kupret sih.." Jengkel Maira mendekat ke arahnya.
Ayahnya memang di tugaskan tadi oleh Bunda untuk menjemput kakak iparnya pagi-pagi sekali di bandara, namun mengapa pria di belakangnya ini juga ikut menjemputnya. Mau sok cari muka hah!. Pria itu tidak lain dan tidak bukan.. Elfathan Alfarizqi. Sih wajah bulat yang kalau tersenyum matanya menghilang.
"Sayaaangg... Ya ampun kangen banget" Heboh Zalia dari dapur, sehabis mengambil piring dan menaruhnya ke atas meja.. berhamburan ke arah suaminya yang kini merentangkan tangannya lebar.
"Sama Ayy kangen banget" Ayy merupakan panggilan sayang Bilal ke Zalia. Mereka berpelukan erat dan sesudahnya Bilal mencium kening istrinya lembut, sementara Zalia mencium kedua pipinya mesra.
"Eheeemm.. kayaknya ada yang udah gak sabar tuh, mau cup-cupan gitu." Goda Fatimah yang mendengus geli melihat tingkah Maira dan Fathan yang sama-sama termenung menyaksikan kemesraan kakak sulung dan kakak iparnya barusan.
"Ih apaan sih kak!." Balas Maira, seketika wajahnya merah padam.
Mereka yang ada di sekeliling meja makan, tertawa mendegarnya. Tak terkecuali Fathan yang tadi juga di goda. Dia hanya menyengir kaku.
"Yaudah ayuk sok atuh, kita sarapan dulu. Pasti sudah pada lapar kan..." Ujar Arinda seraya menyuruh mereka untuk duduk di meja makan.
"Ayo nak Fathan, silahkan duduk.. kita makan bareng-bareng." Ajak Sani mempersilahkannya ke depan meja makan.
"Iya Om.. terimakasih" Ucapnya berjalan membuntuti calon bapak mertuanya. Baru serempat langkah Fathan berjalan, lengan tangannya kini di cengkam kuat dengan gadis yang berdiri di sampingnya tadi.
"Heh, maksud Lu apa pake ikut-ikut Ayah gue jemput kakak ipar di bandara?.. Mau carmuk di depan keluarga gue.. iyaa?!" Kata Maira sedikit berbisik di telinga Fathan. Gaya bicaranya yang sarkas bagaikan tidak suka melihat calon suaminya itu berada di dalam kediaman rumahnya ini. Ingin rasanya Ia mengusir dirinya, namun apa daya...
Fathan baru mau membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi sudah di selak duluan oleh perkataan calon Ibu mertuanya. Seakan dia tau apa yang putrinya katakan padanya barusan.
"Bunda tadi yang nyuruh Nak Fathan buat ikut jemput Bilal, karena Ayah teh gak mungkin nyetir sendirian ke bandara. Tau kan.. bandara Husein Sastranegara jauhnya semana. Bunda juga yang nyuruh dia teh mampir kemari, buat sekalian.. kalian berdua membicarakan tentang pernikahan kalian selanjutnya yang mau kayak gimana konsep dan segala macemnya..."
Maira pun melepaskan cengkramannya dari tangan Fathan dan melenggangkan kakinya malas menuju meja makan, disusul pria itu di belakangnya. Fathan duduk di kursi paling pojok kanan.
Maira yang hendak duduk di kursi persis di sisi Fathan, di cegah oleh Arinda seketika. "Aduh, Maira teh di sendoki dulu dong nasinya ke piringnya Nak Fathan."
Dengan sigap Fathan mengangkat piringnya sedikit ke atas, mengisyaratkan pandangan dari wajah Maira beralih ke atas piring, seperti di suruh segera mengendokkan nasi untuknya.
Ia mendengus kasar, lalu mengiyakan perkataan Bundanya. "Baiiikkk Bunda.." Kemudian mulai mengendokkan nasinya sembari berbisik kembali di telinga pria itu. "Eh, Lu belum jadi suami gue yak.. jadi gak usah belaga manja deh!"
"Mairaaaaaaa" Mendumel Arinda yang berada di sebrangnya, sepertinya juga mengetahui apa yang saat ini putrinya katakan pada calon menantunya tersebut.
Sang empunya yang di maki Maira, hanya mendengus geli memandang wajahnya.
Ia yang menatap balik, berbisik sekali lagi. "Jangan ketawa Lu!.." Selepasnya Maira mengisyaratkan tanpa bersuara dengan sebelah tangan seakan sedang memotong lehernya. Kreeekk... begitulah kira-kira bunyi potongan leher.
Sekejap Fathan pun diam memasang wajah datar, memalingkan wajah ke arah lain. Seolah tadi tidak melakukan apapun.
Setelahnya, Maira duduk di sisi Fathan. Keluarga mereka makan bersama.
☆☆☆☆☆☆☆
Maira lah orang yang pertama kali menghabiskan piring makanannya duluan di meja makan. Lauk pauk opor ayam, tempe goreng dan tahu goreng serta ulekan sambel buatan sang Bunda dan kedua kakak perempuannya, memang tiada duanya. Sedangkan anggota keluarga yang lain masih sibuk makan sambil berinteraksi satu sama lain dengan orang di sebelahnya.
"Bun, Aku udah selesai.. Maira duluan yaa." Cakap Ia yang tengah berdiri untuk bergegas pergi dari meja makan. Tetapi di saat dirinya melangkah pergi, seseorang kini menguntitnya dari belakang.
Dengan cepat Maira menenongok ke arah orang tersebut.
"Heh, ngapain ngikutin gue. Bukannya pulang sana!" Gertaknya lalu fokus lagi menatap lurus ke depan.
"Loh barusan kan Bunda kamu bilang.. kalau kita harus membicarakan soal pernikahan lebih lanjut" Fathan bersua sambil merogoh kunci mobilnya di dalam saku celana bahannya.
Ia hanya menghela napas panjang. Maira berjalan ke halaman belakang rumahnya, berhenti di meja bundar minimalis berukuran sedang. Mendudukkan bokongnya disana, kakinya di silangkan ke atas bangku.
"Push.. push.. Meong.. Kamu dimana Cera??" Panggil lembut Maira pada kucing anggora peliharaannya itu, yang Ia rawat sejak kuliah.
"Tunggu sebentar ya Mai, aku ambil buku note dan contoh gambarnya dulu di mobil" Pinta Fathan yang diangguki malas oleh Maira.
"Hemm.. cepetan gapake lama"
"Siaaappp" Fathan pun berlari kecil, memutar balikkan badan meunuju mobil fortunernya yang terparkir di ujung sana.
"Meeoouungg." Kucing anggora berbulu abu-abu tebal itu mengaungkan suaranya, mendatangi Maira ke samping meja bundar.
"Akhirnya ketemu juga sama Cera.. Mieeoww" Maira spontan menggendong kucing tersebut ke atas pangkuannya, mengelus-elus bulu tebalnya yang beberapa helai tengah rontok.
Tak berapa lama Fathan balik membawa buku note kecil di genggaman dan beberapa lembar kertas hvs yang kelihatannya terisi gambar.. entah apa isi gambarnya.
Mereka kini duduk berhadapan.
"Kita bahas mulai darimana nih Mai?" Tawarnya yang menjajarkan gambar-gambar berwarna dari kertas hvs tersebut. Maira melirik gambar-gambar disana sekilas.
"Terseraahh.. orang Lu ini yang mau nikah, bukan gue kan!" Sewotnya masih dengan mengelus bulu kucing di pangkuannya dan menatap sepintas wajah Fathan.
Fathan berusaha menanggapi omongan sahabatnya sekaligus calon istrinya ini dengan hati yang tenang dan lapang. Sejujurnya sedari dulu, juga dirinya sudah selalu bersabar meladeni.. tiap cacian dan makian yang di lontarkan Maira terhadapnya.
"Yang menikah itu kita berdua Mai, bukan aku sendiri.. jadi kita rundingin sama-sama ya." Bujuknya bersuara lembut dengan tersenyum ringan.
"Iya.. iya deh." Maira pun akhirnya mengalah. Sambil menegakkan badannya perlahan.
"Nah gitu dong.. yuk mulai darimana?"
Ia berpikir sejenak. "Dari konsepnya dulu deh"
"Oke" Fathan sedikit mendekatkan salah satu gambar yang di jajarkannya ke hadapan Maira.
Disitu ada beberapa gambar kecil mengenai konsep pernikahan yang di bawah gambarnya terdapat penjelasannya masing-masing. Dari yang bagian contoh gambar ke satu, memakai konsep Adat, yang kedua Elegant, yang ketiga Classic Romance, yang ke empat Minimalis.
"Coba di pilih kamu maunya yang mana?"
Maira tadi sudah melihat sekilas gambar di kertas hvs itu. Ia menunjuk sembari membuang muka ke arah lain. "Eemm.. yang ini deh" Jari telunjuknya mengarah pada konsep pernikahan yang ketiga, yaitu classic romance.
"Sip, bagus kayak pilihan aku" Dia membuat bulatan kecil di atas sudut gambarnya.
Maira menghiraukan ucapan Fathan, seakan tak peduli konsep apa yang terpilih barusan oleh Ia.
"Terus selanjutnya mau bahas yang mana lagi nih?"
"Lokasi pernikahan." Jawabnya cepat bagai roller coaster.
"Okey" Fathan dengan mendekatkan kembali lembaran kertas hvs tersebut. Disitu ada dua gambar, yang pertama Indoor dan yang kedua Outdoor.
“Sok dipilih yang mana?”
(Indoor) (Outdoor)
Masih enggan melihat gambarnya, Ia menunjuk asal saja. "nih deh.. yang ini" Tunjuk Maira sedikit meninggikan volume suaranya serasa kesal harus mengikuti perintah sahabat lelakinya itu. Ia menunjuk ke arah tulisan Outdoor.
"Bagus.. kayak pilihan aku juga"
Maira juga masih menghiraukan perkataan Fathan yang satu ini.
"Selanjutnya... kita bahas apa lagi?"
Ia berpikir, namun kali ini dengan menggaruk-garuk kepalanya lewat bagian atas jilbab pasminanya. "Emm.. kue pernikahan deh."
Walaupun kue pernikahan bukan termasuk dalam hal penting pada daftar pernikahan, tetapi Maira ingin sekali pesta pernikahannya semewah mungkin layaknya sang ratu di kerajaan dongeng.. meski menikahnya bukan dengan orang yang di cintainya..
"Boleh deh."
Untung saja Fathan punya gambar printnan kue yang dicarinya kemarin malam di internet. Dia sudah menduga pasti Maira akan memasukkan list ini pada pernikahannya. Disitu ada dua gambar kue bertingkat yang menurutnya bagus untuk di jadikan contoh kue pernikahan. Yang gambar pertama yaitu floral wedding cake dan, yang gambar kedua royal wedding cake.
Kembali lagi, Maira menunjuk asal saja. "Yang ini.. yah yang ini deh." Ia menunjuk ke tulisan gambar kue yang kedua.
"Siap.. sama lagi nih kayak pilihan aku" Fathan membulatkan pilihan Maira.
Atensinya beralih ke hadapan pria di depannya ini. "Apaan sih dari tadi masa samaan terus?!" Coba sini liat kertasnya. Ia pun menarik lembaran kertas yang kini di genggam Fathan secara cepat. "Ini apa nih maksudnya ada buletan dua di ujung atas gambar?!" Maira meminta penjelasan tak terima pilihannya telah di samakan dengan pilihan pria itu.
"Jadi yang buletan yang kesatu pilihan aku , buletan yang kedua pilihan kamu" Jelasnya memperlihatkan barisan giginya yang rapih nan putih.
Semalam Fathan sesudah mencari contoh-contoh gambar di internet, lalu di printnya di ruang kerja rumahnya.. kemudian dirinya langsung menentukan pilihannya dahulu, sebelum calon istrinya ini yang memilih pilihannya sekarang.
Maira kembali menghela napas panjang. "Yaudah terserah deh, bodo amat." Tak bisa terbantah lagi, Ia hanya melipat kedua tangan mengerucutkan bibirnya kesal.
"Assalamualaikum Maira." Dari halaman belakang rumahnya seorang pria gagah yang di kenalnya muncul dari balik pepohonan rindang di dekat sana, sehabis melewati pagar kecil di sudut halaman.
Mata Maira berbinar sempurna. "Wa.. waalaikumsalam calon imam. Eh salah.." Ia refleks menepak mulutnya pelan.
"Maksudnya dokter Athar."
Fathan yang masih berada disitu membalikkan badannya mengikuti arah pandang Maira, tepat lurus menghadap pria yang merupakan kakak kandungnya itu.
"Ngapain bang Athar ada disini?" Imbuh Fathan menyidik tajam ke wajah kakak laki-lakinya yang kini tersenyum pada Maira.
Sedekat itukah sekarang Maira dengan abangnya ini.. tanpa sepengetahuannya?? .. kok bisa..
5. Meresahkan
"Ngapain bang Athar ada disini?" Imbuh Fathan menyidik tajam ke wajah kakak laki-lakinya yang kini tersenyum pada Maira.
Maira seharusnya mempunyai jadwal shift pagi di rumah sakit hari ini, namun dikarenakan sang Bunda menyuruhnya untuk tinggal di rumah sejenak yang tadi akan menunggu kedatangan kakak iparnya itu. Dirinya pun jadi meminta izin terlebih dahulu pada atasannya yang merupakan seorang Dokter.
Siapa lagi kalau bukan Athar. Lelaki berparas tampan, berahang tegap dan berbadan atletis layaknya Aktor utama di drama-drama korea.
"Loh dokter Athar, kok sudah sampai aja?.. ini kan masih pagi?.. Tadi Dokter bilang mau jemput saya nanti siang?" Tanya Maira berjalan menghampiri ke hadapannya.
"Jemput?.." Fathan menaikkan alisnya heran. "Memangnya mereka bekerja di rumah sakit yang sama kah??.." setaunya Maira bekerja di rumah sakit di daerah Turangga, sementara abangnya di daerah Citarum, Bandung Wetan.
"Kenapa?.." Athar balik bertanya. "Masih ada acara keluarga ya?"
Maira menggeleng singkat. "Enggak Dok, udah selesai kok.."
"Oh.. yaudah kalau be.."
"Kamu sekarang kerja di rumah sakitnya bang Athar ya, Mai?" Bertanya Fathan tiba-tiba penasaran.
Perkataan Athar pun jadi terpotong oleh ucapan Fathan, adiknya yang berada di sebrang sana. Kini memarani mereka.
Athar sedari tadi memang sudah menyadari kehadiran adik lelakinya itu disini, tetapi dirinya enggan menyapa gegara mereka lagi slekan gitu. Biasalah masalah cowok ada saja..
"Kalau iya.. kenapa emangnya hah?!" Balasnya dengan mata mendelik sempurna.
Athar tau, pasti Fathan sangat bingung kenapa mendadak dirinya bisa datang kemari, padahal dirinya tidak pernah ada kepentingan apapun disini. Dan dia pun juga sudah tau.. kalau Fathan telah melamar Maira, perempuan yang di cintainya selama bertahun-tahun.
Tenang.. Athar tidak akan merebutnya dari adiknya itu, karena jelas dia tidak menyukai wanita ini sedikitpun. Dia hanya menganggapnya sebagai partner kerjanya saja.
"Kok kamu gak bilang-bilang sama aku.. kalau sekarang pindah ke rumah sakit tempat kerjanya bang Athar?" Sergah Fathan tanpa sadar menaikkan volume suaranya.
Belum juga jadi istri, sudah gak jujur.. gimana nanti??.. Meresahkan...
"Yaa emangnya Lu siapanya Gue, mesti bilang-bilang.. Bokap gue bukan, suami juga bukan!. Balas Maira tak kalah sengit dengan suara pria itu. Yaa masih calon sih!." Koreksinya.
Athar mencoba mencairkan suasana yang membuat kedua calon mempelai ini bertengkar hebat.
"Biar gue jelasin ya Than. Kata Athar menatapnya dengan muka setengah malas. Jadi gini.. Maira ini dipindah alih tugaskan ke rumah sakit gue beberapa bulan lalu dan dia terpilih sebagai asisten gue setelah mengikuti test yang gue berikan kepadanya.. yaudah deh tuh, sampe sekarang dia jadi asisten pribadi gue" Terangnya singkat dan padat.
"Ohh gitu" Fathan mengerti.
Athar melanjutkan lagi kalimatnya yang sempat terpotong barusan pada Maira. "Kalau begitu.. sekarang kamu udah bisa keluar rumah kan?"
Ia manggut-manggut sembari tersenyum manis kepada Dokter pujaan hatinya itu.
"Tunggu sebentar ya, Dokter.."
Secepat kilat Maira menarik pergelangan tangan Fathan, membawanya berjalan menuju ke ambang pintu akses masuk ke dalam rumahnya tersebut yang terdapat di pekarangan belakang rumah.
"Lo.. loh Mai, kamu ngapain bawa aku kesini?. Kita kan masih belom selesai membahas soal persiapan untuk pernikahannya?" Titah Fathan memaksakan tubuhnya untuk terhenti dari tarikan tangan gadis ini.
"Udah deh, gak usah membantah gitu" Maira berupaya menarik kembali lengan tangannya Fathan, namun gagal karena tubuhnya yang berat kini sedang menggelantung pada tiang penyangga teras halaman belakang rumahnya. "Gece ikut gue!"
"Enggak.. pokoknya aku gak mau Mai, aku mau lanjutin lagi pembahasan kita tadi. Titik!" Tangkisnya makin kuat memeluk tiang penyangga di depannya ini.
Ia menyerah, mengangkat kedua tangannya begitu tinggi. "Okey, kalo Lu tetep ngotot mau lanjutin pembahasan tadi. Gue akan menawarkan dua kompensasi"
"Hah, maksudnya Mai?" Dia sungguh tidak mengerti maksud sahabatnya ini. Untuk apa dirinya menawarkan kompensasi kepadanya. Apa.. Maira ingin menyogoknya dengan sesuatu??..
"Yaa, gue mau kasih Lu pilihan" Maira melipat kedua tangan sambil menghentak-hentakkan kaki seraya memikirkan kompensasi apa yang bagus untuk di jalankan.
Secercah ide datang. "Kompensasi yang pertama, gue janji bakalan dengerin semua keinginan Lu dan kemanapun yang Lu mau gue bakalan turutin.. tapi besok... atau.."
"Atau apaa...?"
"Yang kedua, Lu boleh aja lanjutin pembahasan kita tadi.. tetapi lu harus memohon dulu sama bang Athar, sampe dia izinin lu buat biarin gue tetap tinggal disini sama lu." Setengah bibir Maira terangkat ke atas. "Jadi.. Lu lebih memilih opsi yang mana?.. satu atau dua?" Ia sembari memainkan jari-jemarinya membentuk angka yang disebutkan olehnya barusan.
Fathan mendengus pelan. "Oke, aku pilih opsi yang pertama"
Oh tentu jelas.. untuk apa juga dia memilih pilihan yang kedua, jikalau itu membuat harga dirinya terinjak-injak di depan abangnya sendiri.
"Baguusss" Maira meraih kembali lengan tangan pria di hadapannya yang sekarang hanya bisa pasrah mengikuti kemauannya.
Gadis ini tanpa berisik mendatangi para anggota keluarganya yang sedang asik berkumpul disana, mendengarkan kisah pengalaman sang kakak ipar, Bilal mengenai pekerjaannya di Kairo.
"Bunda." Panggil Maira dari samping dengan volume rendah, agar tak mengganggu pembicaraannya kakak ipar. Menggerakkan pelan lengan tangan Arinda sambil menjatuhkan dengkulnya ke atas lantai, begitu juga pria di sebelahnya menirukan hal yang sama.
Arinda menengok ke arah putri bungsunya. "Naon (Apa)?" Sahutnya memandang mereka berdua.
Maira menyenggol lengan Fathan cukup keras. "Sssut." Ia memberi kode. Namun lelaki itu tak mengindahkan kodeannya barusan, seperti melamun pada tatapan sedikit menunduk. Akhirnya Maira pun mencubit kencang pinggang Fathan.
"Aaww.." Meringis empunya. Dia mengusap-usap bagian yang tercubit tadi.
"Iya.. iya." Responnya yang kemudian menatap wajah calon ibu mertuanya.
"Tan, aku pamit pulang dulu ya.. soalnya ada rapat mendadak di kantor, jadi harus segera kesana. Makasih banyak udah ngundang aku sarapan pagi di rumah, tante." Pamitnya yang mengulurkan tangannya ringan kepada Arinda.
Dia memang ada rapat sore ini di kantor dengan tim proyek Macau (nama kota di Tiongkok, China) yang dimana proyek ini pasalnya akan di jalankan pada pertengahan tahun depan dari lisensi kantornya. Namun, bagi dia rapat kali ini tidak terlalu penting jika di bandingkan untuk membahas soal pernikahannya.
Arinda menanggapi uluran tangan calon menantunya itu. "Loh, Nak Fathan udah selesai membicarakan persiapan pernikahannya?"
"Belum tan, mungkin besok kalau ada waktu akan di lanjutkan."
"Iya Bun. Giliran putrinya yang bicara. Maira juga kan udah bilang ada pekerjaan hari ini di rumah sakit.. udah buru-buru juga di tungguin sama dokter yang bertugas hari ini disana, Bun."
"Yaudah kalo gitu teh. Setelah putrinya itu selesai menciumi tangannya, lalu Arinda berkata. Tapi kalian perginya bareng kan?"
Spontan Fathan dan Maira menganggukkan kepala bersamaan.
"Iya tan, kita perginya bareng kok." Padahal ini kebohongan terberat baginya, karena sudah tidak jujur pada calon ibu mertuanya sendiri. Apa daya, dirinya hanya mengikuti kemauan sahabatnya itu yang sebentar lagi akan menjadi istrinya kelak.
"Yasudah.. hati-hati ya kalian"
Karena posisi sang Ayah, Sani berada di ujung sana. Mereka berdua jadi tidak sempat menyalaminya dan langsung bangkit dari lantai.
"Iya bun.. Assalamualaikum." Pamit mereka berdua bersegera kembali ke halaman belakang rumah Maira.
"Waalaikumsalam."
Mereka berdua pun berpisah di pertengahan jalan, dengan Maira berbelok ke arah kiri dan Fathan ke arah kanan ke tempat dimana mobilnya terparkir.
"Ayo dokter Athar, kita pergi." Ajaknya berjalan mendahului atasannya itu, ke depan pintu besi berukuran kecil disana.
Fathan belum jua masuk ke dalam mobilnya. Dirinya masih memantau calon istrinya itu dari jauh. Melihat abangnya tengah membukakan pintu mobil untuknya.
Kenapa dia jadi sangat tidak suka dengan kehadiran Athar di sisi calon istrinya tersebut?.. seakan membuat mereka terus berdekatan dan seperti itu pasti menjadikan Maira semakin lengket pada Athar. Pasti..
"Mai kita mampir ke mall dulu ya.. aku mau cari buku di gramed buat kado ultah adik kembarku. Gapapa kan?" Kata Athar saat mobil sudah melaju cepat.
"Ohh gapapa dok.."
"Okei.. oh ya, kalau di luar jangan panggil saya dokter, tapi panggil aja Abang. Kayak dulu aja setiap kamu ketemu saya, biasanya kan panggilnya Abang.." Tuturnya menatap Maira sepintas pada senyuman cool di bibirnya, kemudian fokus lagi menyetir.
Athar tersenyum seperti tadi saja, dapat membuat hati Maira meleleh seketika.. bagaikan es batu yang tergenggam di bawah sinar matahari. "Siap bang Athar" Ia balas tersenyum kikuk.
Hampir dua puluh lima menit mereka berada di perjalanan, kini Athar dan Maira sudah sampai di dalam sebuah gedung Mall termegah di Bandung, Jawa barat. Mereka berdua pun memasuki area mall beriringan. Mencari toko buku di lantai atas yang mereka sudah lihat tadi letaknya melalui petunjuk lingkungan Mall, sesaat memasuki gedung tersebut.
"Mai saya mau kesana dulu ya.. kamu kalo mau lihat-lihat buku cari aja, nanti saya bayarin deh.." Ujar Athar tulus.
"Eh gausah bang." Tolaknya dengan mengangkat pergelangan tangannya kecil.
Athar mengguncangkan kepalanya pelan. "Yaudah saya kesana dulu yah.." Maira mengiyakan. Mereka pun berpencar.
Karena Ia cukup bosan, bila hanya menunggu Abang tampannya itu tanpa melakukan apapun. Akhirnya Maira berinisiatif untuk ikut mencari buku juga. Padahal dirinya tidak suka membaca buku, meski itu hanyalah sebuah novel fiksi.
Ia mengotak-atik setiap buku disana. Dirinya memegang salah satu buku dengan judul yang membuatnya tersenyum bergidik ngeri. "Buku macam apa nih?". Maira membulak-balikkan buku kecil seperti kamus itu, yang memiliki corak hitam putih di bukunya. "Judulnya masa tujuh hal romantis yang wajib dilakukan pasangan dalam berumah tangga."
Entah kenapa ada sebersit pikiran licik di benaknya. "Harus gue beli nih buku kayaknya.."
☆☆☆☆☆☆☆
Anggota tim mereka sedang menyiapkan bahan presentasi untuk di tampilkan pada rapat tim kali ini bersama manajer perusahaan dan sekretaris umum perusahaan di ruangan rapat lantai enam. Berisikan sepuluh anggota di dalam tim proyek Macau yang salah satunya ada Fathan dan juga Jinan.
"Jadi nanti disana kita akan membuat struktur bangunan menjadi terlihat lebih bernuansa kehijauan dan minimalis, agar orang-orang yang tinggal di dalamnya tetap nyaman meski berjam-jam berada di ruangan tersebut."Jinan menyelesaikan akhir dari presentasinya ini.
"Jadi gimana pak Fathan apa perlu ada tambahan?" Dia bertanya pada teman lelakinya itu, yang diamanatkan oleh bossnya sebagai ketua pelaksana dari tim proyek pembagunan resort berkelas di Macau, Tiongkok.
Jinan memandang ke wajah Fathan yang tampak sedang termenung memikirkan sesuatu sambil mengetuk-ngetuk kaca meja dengan bolpoin di tangannya.
"Jadi gimana pak Fathan.. apa ada yang perlu di tambahkan pada presentasi perdana hari ini?" Ulang Jinan mengeraskan debit suaranya.
Masih belum tergubris pertanyaan dari Jinan, rekan satu tim yang berada di sebelah Fathan refleks menyikut lengan tangannya.
"Iy..iyaa ada apa?" Fathan mengalihkan pandangan kepada Jinan yang tengah berdiri di depan layar infokus. "Ohh sudah cukup bagus menurut saya untuk presentasi perdana hari ini. Bagaimana tanggapan pak andi dan bu Vera tentang presentasi tim kami ini?" kata Fathan kepada mereka selaku penangan proyek tersebut.
☆☆☆☆☆☆☆
"Fathan.. kamu kenapa selama rapat tadi bengong terus?.. lagi ada masalahkah?" Jinan berbicara setelah mereka semua keluar dari ruangan rapat.
"Tidak.. tidak ada masalah kok. Cuma lagi pusing saja" Sangkalnya yang sekarang tengah memasuki ruangan kerjanya, kemudian duduk manis di meja kerjanya yang menghadap ke arah kaca bangunan tinggi ini.
"Baiklah kalo memang tidak ada masalah. Aku balik dulu keruanganku" Jinan yang membuntutinya sampai ke ruangan kerja Fathan, membalikkan badan untuk kembali ke ruangannya di pojok lantai yang pijakinya ini.
Ia mengambil kertas gambar dan pensil khusus yang di letakkan di dalam box peralatan gambar di sudut meja, lalu menggerakkan jari-jarinya di atas kertas gambar tersebut. Melanjutkan desain rumah pesanan klien yang kemarin di temuinya.
Berkali-kali Ia menggambar, berkali-kali pula menghapus serta meremukkan kertas gambarnya yang kemudian di lempar ke dalam tong sampah disana. Dirinya tidak bisa konsentrasi.
"Maira sedang apa ya??.. apa yang dia lakukan bersama bang Athar?" Pikirannya sungguh kalang kabut, hanya terpaku pada calon istrinya itu sedari tadi datang ke kantornya.
Fathan pun memutuskan untuk mendatangi Maira ke rumah sakit dimana dia bekerja sekarang. Menghilangkan rasa ke gelisahannya dengan melihat sejenak wajah gadisnya. Pada langkah cepat dirinya mengarah ke lift di sebrang sana.
Jinan yang sedang keluar dari ruangannya ingin balik ke ruangan rapat barusan untuk mengambil barangnya yang tertinggal, mendapati Fathan memencet tombol lift dan masuk begitu cepat ke dalamnya.
"Mau kemana dia?.. sepertinya buru-buru sekali" Ucap Jinan setelahnya menghela napas kecil.
Tak berapa lama di perjalanan menuju rumah sakit, kini Fathan telah sampai di lobby utama rumah sakit, lalu berlari kecil menaiki tangga menuju lantai para dokter spesialis yang menangani penyakit dalam. Yah, Ia tau bahwa Abangnya adalah dokter ahli pada bidang tersebut.
Menemukan sosok yang di cari, Fathan berhenti. Lalu mengintip di balik dinding besar yang menjulang tinggi di samping tangga lantai ini. Maira seperti tengah bercakap dengan salah seorang yang juga merupakan perawat disini.
"Permisi" Ia memberhentikan langkah seorang perawat lelaki yang berada di anak tangga teratas itu.
"Iya ada apa, pak?"
"Saya boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa pak?"
"Tolong berikan buket bunga dan coklat ini pada perawat disana yang berada persis di depan ruangan Dokter Athar Arrafif." Pintanya sembari mengasih kedua benda tersebut.
Sebelum datang kemari di jalan, Ia terpikir untuk membelikan buket bunga matahari dahulu karena yang Fahtan selama ini tau bahwa Maira sangat menyukai bunga tersebut bahkan dia mengoleksinya jua.. serta membelikan cokelat berbentuk hati untuknya, seakan melambangkan rasa cintanya pada calon istrinya itu.
"Baik pak, saya akan berikan padanya"
"Terimakasih ya.."
"Sama-sama pak" Perawat lelaki ini, langsung melaksanakan perintah Fathan dengan dirinya masih mengintip disitu.
"Mba, ini ada orang yang nitipin buket bunga dan cokelat ke saya, buat di kasih mba" Sesampainya Perawat lelaki ini di depannya, seketika langsung mengasih kedua benda yang di pegangnya ke hadapan Maira.
"E..eh." Maira sontak menghindar, namun terambilnya jua kedua benda tersebut. "Ini semua dari siapa atuh Mas?"
"Entah.. dia tidak menyebutkan namanya. Tapi orangnya teh masih ada kok di balik tangga disana" Dengan menunjuk ke arah tangga yang berjarak beberapa meter dari sini.
"Oke makasih mas" Dirasa Maira hendak menyusul ke arah tangga, Fathan pun segera pergi dari sini.
"Hei... tunggu" Ia menuruni anak tangga mengikuti jejak kaki pria yang tengah berlari kini.
Seketika Maira menghentikan langkahnya. Ia mengenali baju pria itu. "Fathan..." Ucapnya yang melihat punggungnya telah menjauh.
Meski, Maira selalu memaki-maki dirinya juga membandingkan dia dengan abang kandungnya sejak dulu.. tetap saja pria itu masih bersikap lembut serta perhatian padanya. Ia jadi iba pada sahabat lelakinya ini yang sebentar lagi akan menjadi suaminya kelak.
6. Anak Kembar
"Kami jalan dulu.. Tante, Om. Assalamualaikum" Pamit Fathan pada kedua orang tua Maira yang kini menjemputnya ke depan rumahnya untuk meminta izin mengajak putri bungsunya pergi berkeliling mencari tempat lokasi pernikahan mereka.
Akad yang akan dilaksanakan tiga bulan dari sekarang, menjadikan mereka harus segera bergegas mencari segala kebutuhan pesta pernikahan.
"Waalaikumsalam.. hati-hati ya Nak Fathan. Jagain Maira.. pokoknya jangan sampai kabur dia teh." Jawab Arinda sekaligus tersenyum meledek ke arah putri bungsunya itu.
"Ih apaan sih Bun.. siapa juga yang mau kabur" Belanya sembari mencium tumpuan tangan kedua orang tuanya bergantian.
Fathan yang diamanatkan hanya menyengir singkat. "Pasti Tante.."
"Nak Fathan hari ini memangnya gak kerja?" Kini giliran Ayahnya, Sani yang bertanya sebelum mereka pergi.
Dia tersenyum ringan dan menjawab. "Kerja sih Om, tapi gak terlalu banyak deadline gambar.. jadi InsyaAllah ada waktu luang yang cukup buat pergi hari ini"
Kedua orang tua dari calon istrinya ini sudah sejak lama mengetahui tentang dia yang menyandang profesi sebagai Arsitek muda di salah satu perusahaan properti terbesar di Bandung.
Dengan malas Maira melenggang pergi mendahului Fathan yang terlihat masih terus mendengarkan cuitan sang Ayah dan Bundanya di depan teras rumahnya.
"Mulai deh tuh anak ngambek" Celetuk Arinda dikala putrinya sudah mencapai gerbang di ujung sana.
Fathan memang sengaja tidak memarkirkan mobilnya di dalam rumah karena dirinya tak berlama-lama tadi. Setelah meminta izin untuk mengajak Maira pergi sebentar, sepersekian detik langsung bangkit kembali dari duduknya di sofa ruang tamu yang kemudian berjalan keluar diiringi oleh kedua orang tua dari calon istrinya itu.
Maira melirik jam tangan di pergelangan kirinya, lalu menatap lurus ke depan lagi. "Aduuh lama banget sih.. udah siang nih" Koarnya ketika dirinya menilik lelaki itu dari balik pintu gerbang.
Fathan yang mendengarnya membuka mulut. "Sabar atuh Mai, ini kan aku juga lagi jalan.. tadi Bunda sama Ayah lagi ngomong masa iya aku maen tinggal begitu aja, gak sopan tau."
Maira tengah memperagakan gerak bibir calon suaminya ini seakan mencibirnya.
Beep.. beep. Mereka berdua pun masuk setelah mobil di buka.
Padahal Ia malas sekali untuk jalan-jalan kemanapun hari ini. Jadwalnya yang sudah kembali seperti biasa dengan jadwal minggu ini shift malam, membuatnya ingin bersantai saja di rumah sejenak. Namun, mau bagaimana lagi karena dirinya sudah berjanji dengan lelaki di sebelahnya, mau tidak mau harus dilakukan jua.
"Oh ya, kemarin Lu yang ngasih gue bunga sama coklat ya?" Katanya sesaat memasang seat belt ke pundaknya.
"Euuhh.." Fathan yang berusaha menjawab, kelihatan bingung ingin menuturkan kalimatnya.
Maira mendengus pelan. "Udah gak usah ngelak lagi.. gue tau kok itu Lu yang ngasih. Gue sendiri yang liat soalnya, baju yang Lu pake kemarin sama persis kayak orang yang kabur dari tangga."
"He.. heh, I.. iya itu emang aku Mai yang ngasih" Balas Dia malu sambil mengusap tengkuk menatap calon istrinya.
"Oh kalau begitu.. Maira sambil mengangguk-anggukkan kepala pelan. Terimakasih yah Fathan." Ucapnya melengkungkan bibirnya ke atas.
Deg.
Sumpah demi apa.. sahabatnya ini mengucapkan terimakasih yang terdengar begitu tulus di telinganya. Biasanya hanya ucapan ketus atau makian yang diri lelaki itu terima, tetapi kali ini dunia serasa berhenti berputar untuk pertama kali mendengar kalimat baiknya itu.
"Sama-sama Mai.."
"Oh ya.. Ia sembari merogoh sling bag merah maroonnya. Gue punya sesuatu buat Lu"
"Apa tuh Mai?"
Maira mengangkat ke atas buku bagaikan kamus kecil yang Ia beli kemarin di toko buku. "Nih.. nanti coba Lu baca sendiri aja ya. Lalu menyodorkan buku tersebut pada lelaki di sampingnya yang tengah memandanginya antusias. Intinya gue beli buku ini, karena gue mau Lu melakukan hal-hal seperti yang ada di buku itu, ketika kita sudah menikah nanti.. paham?" Tuturnya menggunakan nada.
Dia menganggukkan kepala sekali. "Paham" Fathan barusan membaca judul buku tersebut dan membolak-balikkannya dengan tersenyum sumringah. Judul dari buku ini membuatnya jadi membayangkannya kelak, jikalau semua hal yang ada disini akan Dia berikan kepada istrinya nanti saat mereka sudah menikah. Sungguh bayangan yang tak terbatas...
"Makasih juga ya Mai.. aku seneng banget kamu ngasih buku ini" Dia mengangkat bukunya sekilas, kemudian di masukkannya ke dalam laci mobil yang terdapat di depan Maira.
Bleee'. Dalam hati bodo amat.. lu mau seneng kek mau enggak kek, mana peduli. Toh niatnya cuma mau mengerjainya saja. Lebih tepatnya nanti ketika mereka berdua sudah tinggal bersama..
"Kamu gak ada barang yang ketiggalan kan di rumah?"
Menggeleng Maira. "Gak ada tuh.."
"Yaudah sekarang kita berangkat ya." Ujar Fathan yang baru memasang seat beltnya tersebut.
"Bismillahirrahmannirrahiim." Mobil Fortuner hitam milik Fathan pun melaju dengan kecepatan maksimal.
Mereka akan mendatangi beberapa lokasi yang mungkin nantinya bisa cocok menjadi tempat akad serta resepsi pernikahannya yang akan dilangsungkan pada bulan juli mendatang. Daerah yang menjadi lokasinya kelak.. Fathan sudah mencari melalui hasil dari bertanya-tanya dengan Uminya, Abinya, kedua orang tua calon istrinya bahkan sampai ke teman-temannya yang sudah pernah menikah dan melangsungkannya secara outdoor. Dengan dia meneliti jarak terlebih dahulu antara rumahnya maupun rumah Maira, agar datang ke tempat penyewaannya saat acara nanti tidak memakan waktu banyak. Kebetulan ada beberapa lokasi terdekat dengan rumah mereka berdua.
Mereka sudah mendatangi dua sampai tiga tempat lokasi pernikahan, namun dirasa belum cukup baik di mata calon istrinya itu. Baginya seperti ada sesuatu yang kurang. Dan.. sekarang inilah tempat ke empat atau lokasi terakhir yang Dia ketahui sebagai tempat penyewaan outdoor pernikahan. Tempat ini direkomendasikan sendiri oleh salah satu teman semasa kuliahnya Fathan yang katanya bakal dijamin menjadi tempat terbagus untuk resepsi pernikahan.
"Nah, Mai ini lokasi terakhir yang aku tunjukkin ke kamu. Kebetulan lahan ini milik temenku, dia sendiri yang langsung ngasih tau ke aku bahwa tempat ini banyak spot foto bagus buat diabadikan pas pernikahan nanti. Cuma sayangnya temen aku gak bisa temuin kita hari ini, jadi bakalan di gantiin sama asistennya yang anterin kita buat keliling lahan luas ini" Panjang kali lebar Fathan menjelaskan pada calon istrinya yang sibuk memotret untuk menerawang setiap sudut tempat ini lebih jelas melalui layar ponselnya.
"Okeh" Jawabnya sangat singkat juga padat.
Mereka menghampiri ke arah seorang perempuan berseragam WO di atas panggung kecil yang tengah berbicara memakai mic di atas sana. Nampaknya sedang latihan untuk persiapan mc di acara pernikahan yang akan datang di tempat yang mereka sambangi ini.
Dia berhenti sejenak sesaat melihat Fathan dan Maira tengah berjalan ke hadapannya. Yang memberikan mic yang dipegangnya kepada teman di sampingnya itu, lalu turun dari panggung.
"Selamat siang pak Fathan dan bu Maira. Saya Ani yang ditugaskan oleh pak Wahyu untuk mengantarkan bapak dan ibu sekalian berkeliling melihat-lihat lokasi outdoor dari penyewaan lahan kami" Sapanya sopan dan ramah.
"Iya terimakasih mba."
"Ayo mari saya antar" Ani membalikkan telapak tangan seraya mengiringi perjalanan mereka untuk melihat seluruh isi dari lahan luas yang di sekitarnya terdapat rerumputan, pepohonan hijau serta bunga-bunga yang indah nan cantik jelita.
Netra Maira menjalar ke setiap penjuru lahan tersebut. Melihat semua sudut dengan sangat teliti.
Mereka berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang terdapat kubah di atasnya. Pemandu WO di sampingnya mulai membuka mulut, hendak menjelaskan fungsi bangunan yang satu ini. "Jadi biasanya space ini akan dipakai untuk akad para calon mempelai yang dimana bisa di dekor sesuai keinginan dari mereka masing-masing"
Fathan dan Maira tampak berjalan ke dalam bangunannya. Ia memutarkan kepala ke bagian kanan, kiri, juga ke atas yang kemudian mengangguk-angguk kecil. "Boleh juga ruang ini"
Tempat yang mereka datangi begitu sejuk penuh dengan hiasan bunga di sekelilingnya. Bangku-bangku sudah tersusun rapih tertata di depannya.
"Bertepatan space ini sudah terdekor sempurna, karena besok ada yang punya hajat disini.. hasil dekornya bisa dijadikan rujukan mungkin untuk pesta pernikahan bapak dan ibu nanti" Jelas sang WO kembali tersenyum ramah.
"Kamu gimana Mai.. suka gak sama space yang satu ini?" Tanyanya melirik calon istrinya itu.
"Yaaa lumayan bagus.." Maira sambil melirik balik Fathan. "Oh ya, untuk halaman tempat duduk para tamu undangan biasanya di letakkan dimana ya mba?"
"Kalau itu tergantung dari calon mempelainya nanti yang maunya bagaimana, karena dari pihak kami hanya membantu menyiapkannya saja... Mari saya antarkan ke contoh tempatnya yang sudah terdekor rapih" Ani mempersilahkan mereka mengikuti dirinya dari belakang.
Hanya berjarak berapa meter dari tempatnya berdiri tadi, mereka telah sampai di salah satu halaman penuh rerumputan di bawahnya yang mana tersusun meja-meja yang begitu pas disana, juga ada panggung kecil di tengah-tengahnya dan lampu hias yang dikaitkan ke pepohonan membentuk zigzag.
"Nah, ini space yang paling banyak di pakai untuk meletakkan meja para tamu undangan disini, karena ruangannya cukup strategis. Tapi kalau mau pake aula yang berada di sebrang tempat akad tadi, juga boleh.. gimana selera bapak dan ibu saja" Jelasnya lagi yang tersenyum kembali.
"Mungkin tergantung sedikit banyaknya jumlah undangan juga kali ya mba?" Tambah Maira mengitari meja bundar di hadapannya untuk melihat setiap sudut benda yang terpampang disini.
"Iya betul bu, nanti bisa diatur kalau masalah itu."
"Ssuts." Ia menyenggol lengan tangan Fathan yang sedang serius mengetik sesuatu di atas layar ponselnya.
"Iyaa, kenapa Mai?" Dia dengan memasukkan ponsel ke dalam saku celana bahannya.
Maira mendekatkan mulutnya ke telinga lelaki itu seraya berbisik. "Kayaknya gue udah srek sama tempat ini. Udah pas deh pokoknya gak ada yang kurang lagi" Kemudian menjauhkan kembali mulutnya itu.
"Serius kamu?"
"He-em"
"Udah pas banget nih ya?" Ulangnya meyakinkan.
"Iyaa sayaaang udah pas kok..." Nada suara Maira melunak seketika menyebutkan kata manis itu.
deg..deg..deg.
Detak jantung Fathan jadi tidak beraturan. Kenapa sedari tadi Maira terus bersikap baik padanya.. apa moodnya juga sedang baik?.. Mungkin..
"Alhamdulillah kalau gitu. Yaudah sekarang kita langsung bikin kesepakatannya aja ya."
Kata Fathan yang lantas membicarakan soal tanggal dan bulan apa mereka akan menyewa lahan ini pada Ani selaku penangan wedding organizer yang ditugaskan oleh temannya itu sebagai penanggung jawab hari ini disini.
"Sekali lagi terimakasih bapak dan ibu yang sudah mempercayai untuk membuat kesepakatan dengan penyewaan tempat dan WO kami. Mengenai pembahasan lebih detailnya kami akan segera menghubungi bapak dan ibu melalui sambungan telepon untuk agenda pertemuan selanjutnya." Ani menyatukan tangan seraya mengucapkan terimakasih.
"Siap mba.. sama-sama."
Mereka berdua pun berjalan menuju parkiran mobil yang berada di luar pintu utama dari gedung tersebut.
"Mai, mumpung belum sore-sore banget kita jalan sebentar yuk.. sekalian temenin aku nyari kado ultah buat adik kembarku" Ajaknya yang diiyakan oleh Maira.
"Tapi jangan kelamaan ya. Soalnya kan gue mau siap-siap ke rumah sakit"
"Okeh..."
☆☆☆☆☆☆☆
Mereka sudah memasuki area Chinatown Bandung setelah membeli tiket barusan.
Berkeliling sembari mengobrol hal-hal seru serta berswafoto bersama, Lalu mencari pedagang makanan ringan di sekitar mereka.
Sebelum mereka menyudahi makannya, seketika Maira menggeser bangku kecil yang di dudukinya kini mendekat ke arah Fathan. Refleks orang yang di dekati menoleh kepadanya.
"Mau ngapain Mai?..."
"Mau foto bareng Lu.." Ia membenarkan letak kamera ponselnya dahulu menjadi landscape, bersiap untuk mengambil foto.
"Eh gak usah Mai.. Dia mengangkat tangannya kecil bagaikan menolak. Kamu aja sini aku fotoin ya."
"Iih, gak boleh nolak pokoknya" Ujar Maira mendelikkan atensinya sempurna. "Harus mau foto bareng gue.."
Pasalnya semenjak lelaki di sebelahnya ini menjadi sahabatnya, bisa terhitung foto yang mereka abadikan berdua hanya kedapatan beberapa keping. Dan kebanyakan moment foto yang diambil hanya pada hari-hari bersejarah dalam sekolah maupun kuliah, seperti kartinian, pensi sekolah, menjadi panitia pelaksanaan MOS di tingkat Universitas juga wisuda.
Fathan mendengus pelan, memanggut pasrah.
"Nah gitu dong" Jarak mereka kini cukup dekat, pipi mereka sekilas bersentuhan. "Satu.. dua.. tiga.. cheese" Ucapnya memberi aba-aba.
Sepersekian detik selesai dengan memotret beberapa keping foto yang diambil lewat ponsel Maira. Kemudian Ia membagikan foto barusan ke kontak whatsapp calon suaminya itu.
Trining. Sembari melihat whatsapp, Fathan memperhatikan jam di sudut layar handphonenya. "Yaudah yuk sekarang kita jalan lagi buat nyari kadonya, takut kesorean"
Maira pun berdiri, lalu berjalan beriringan dengan Fathan.
Setelah memutari beberapa toko, mereka pun terhenti tepat di depan sebuah toko yang menjual berbagai benda elektronik minimalis. Contohnya saja kamera polaroid, jam tangan digital, gameboy dan lain-lainnya.
Fathan tampak memilih kamera-kamera mini tersebut.
"Mai menurut kamu bagusan aku beli yang warna biru muda sama pink atau biru muda sama abu-abu?" Fathan bertanya meminta pendapat Maira yang kian ikut memilih benda-benda di hadapannya itu.
"Kayaknya bagusan biru muda sama pink sih, menurut gue..."
"Oke sip.."
"Gue juga pingin beliin kado deh buat mereka berdua.. Maira mengambil dua jam tangan digital tersebut pada warna yang berbeda. Tapi ini gue di undang gak nih?.."
Karena yang Maira dengar-dengar kalau adik kembarnya Athar dan Fathan itu, akan mengadakan pesta ulang tahun sweet seventeen nya di rumah mereka dengan mengundang teman-teman satu kelasnya lusa depan.
"Pasti di undang dong.. masa iya calon kakak iparnya gak di undang sih.."
"Beneran ya..." Maira menarik bibir sedikit ke atas layaknya tersenyum. "Gue kan juga mau liat anak kembar gu.." Mulutnya berhenti tiba-tiba. Kenapa lidahnya jadi keseleo begini.. aduuh malu deh.
"Apa Mai?.. " Fathan hampir tertawa mendengarnya. "Kamu mau anak kembar.. iya?" Godanya memandangi calon istrinya yang kikuk membuang muka.
"Apaan sih.. belum nikah juga, udah ngomongin anak aja!" Sebal Maira melenggang pergi ke meja kasir mendahului Fathan yang tengah tertawa dan menggeleng bersamaan itu.
☆☆☆☆☆☆☆
Maira membuka seat beltnya. Akan turun setelah satu jam berada di perjalanan pulang menuju rumahnya.
"Ya ampun, gue sampe lupa bilang.." Spontan Ia menepuk jidatnya pelan. "Besok gue kan pulang rada siangan gitu pulang dari rumah sakitnya.. jadi kita kebutiknya agak sorean aja ya, abis asharlah boleh. Lagian juga kan toh orang butiknya udah jadi tempat langganan keluarga gue, jadi gak masalah bisa dateng kapanpun. Bunda juga udah komunikasi langsung sama pemilik butiknya."
Ya, besok Fathan dan Maira akan melakukan fitting baju pernikahan bersama.
"Siap.. berarti abis Ashar aku udah nyampe di rumah kamu ya?"
"Hemm" Sahutnya yang membuka pintu mobil.
Drug. Pintu mobil tertutup kembali. Sebelum Maira berjalan menyebrang, Fathan menekan tombol Switch power window untuk menurunkan kaca mobilnya tersebut. Memandang sejenak wajah gadisnya.
"Yaudah gue pulang dulu ya.. hati-hati Lu ketabrak semut." Ini adalah guyonan receh yang suka diutarakan orang sebagai pelengkap kata, walaupun tidak lucu sama sekali sebenarnya.
Fathan terseyum lebar. "Bukan ketabrak semut Mai.. tapi ketabrak hati kamu nih" Godanya memegang dadanya sendiri serasa kesakitan.
"Aisssh.. makin gak waras aja nih bocah". Umpatnya bergidik geli. Kemudian membalikkan badan cepat dan setelahnya berlari kecil untuk menyebrang menuju gerbang yang menjulang tinggi disana.
"Salam buat Bunda dan Ayah yaaa Mai". Teriaknya di saat Maira sudah membuka gerbang.
"Iyyyooooiii". Balasnya tanpa menoleh lagi.
7. Fitting Room
Fathan dan Maira sudah sampai di depan sebuah butik baju yang terlihat bangunannya begitu minimalis sehingga memperlihatkan beberapa gaun juga kebaya dan tuxedo yang terpajang di setiap sudutnya.
beep.. beep. Mereka melangkahkan kaki ke halaman depan butik setelah Dia mengunci mobilnya.
Pintu di buka oleh salah seorang pegawai butik yang berjaga di pintu utama. "Selamat datang bapak dan ibu." Sapanya tersenyum ramah.
"Iyaa.." Respon mereka berdua dengan mengangguk singkat juga memberikan senyuman balik.
Bangunan butik ini berukuran 10×12 yang berarti ukurannya lumayan luas dan memiliki tingkat dua di atasnya. Dengan ruangan lantai dasar terdapat berbagai area, yakni area reseptionist, konsultasi dan area penjualan. Sedangkan lantai bagian atas tepatnya lantai dua, yakni terdapat ruangan fitting room atau (bilik ganti), ruang tunggu, dan area produksi baju lengkap beserta peralatan jahitnya. Serta yang paling unik dari butik ini mempunyai area bersantai yang cukup menarik perhatian di bagian belakang lantai dasarnya. Yaitu terdapat sebuah caffee kecil yang disuguhkan dengan pemandangan air terjun buatan dan macam-macam tanaman bunga disekitarnya.
"Selamat sore Bapak Fathan dan Ibu Maira" Sapa asisten dari pemilik butik, mba Windy.
Sebelum datang, seperti yang Maira kemarin bilang bahwa bundanya sudah membuat janji dahulu dengan sang pemilik butik. Namun, karena jadwal kedatangan dua calon mempelai ke butiknya ini bentrok dengan hari pameran bajunya di luar kota.. menjadikan dia tidak sempat menangani langsung anak dari kliennya tersebut. Dan yasudah digantikan oleh sang asisten..
"Sore" Ucap mereka bersamaan.
"Mari kita langsung saja melihat-lihat kebaya serta gaun pengantinnya dan juga tuxedonya" Ajak Windy berkeliling ruangan lantai dasar. Dengan mereka berdua mengikutinya berjalan beriringan.
Mulai dari gaun-gaun putih juga kebaya modern berwarna yang berada di sisi sebelah kanan mereka tampak menghiasi sekeliling jalanan lantai dasar. Begitu pula tuxedo berbagai macam warna di sebelah kirinya yang tertampang rapih di setiap gantungan maupun patung orang yang menjadi tempat percobaan setelan bajunya.
Windy berhenti di ujung ruangan. Dimana sepertinya ini merupakan tempat khusus baju pengantin muslimah. "Ini merupakan rak gaun serta kebaya modern pengantin khusus muslimah yang di rancang seidealis mungkin oleh desainer kami, mba Intan Wijaya" Jelasnya dengan membalikkan telapak tangan seraya menunjukkan koleksi baju-baju tersebut.
"Fathan" Ujarnya pelan menarik sedikit pucuk lengan baju milik lelaki disampingnya itu.
"Hemm" Sahut Fathan meliriknya, menyilangkan tangan di dada.
"Gue punya usul buat Lu..."
"Usul apaan Mai?"
"Gimana kalau Lu yang pilihin baju pengantin buat gue, terus nanti gantian gue yang pilihin jas buat Lu.. gimana?" Tawar Maira menaik turunkan alisnya bersemangat.
Dia tersenyum simpul. "Boleh.." Fathan maju selangkah untuk menerawang baju-baju pengantin wanita di hadapannya ini. "Yaudah aku mulai pilihin ya buat kamu.."
Mengangguk Ia pelan.
"Silahkan bapak dan ibu di lihat-lihat dulu bajunya sebelum melakukan fitting" Tutur asisten pemilik butik yang masih setia berdiri di sisi Maira.
Fathan pun menyibak satu persatu gaun di hadapannya tersebut. Sambil memikirkan seleranya Maira dalam berpakaian.
Sesaat Dia mencari gaun maupun kebaya untuknya, calon istrinya yang berada di belakangnya itu kini sedang bertanya-tanya dengan sang asisten yang mengantarkan mereka berkeliling tadi. Bertanya mengenai harga juga trend terbaru baju saat ini yang paling banyak diminati oleh para calon pengantin.
Sesudah memilih gaun, Fathan beranjak ke rak yang melongkap dua rak di sebelahnya, yakni merupakan rak khusus kebaya modern yang menggantung disana. Warna-warna elegan pada setiap kebaya di hadapannya ini membuatnya jadi membayangkan bilamana calon istrinya ini yang akan mengenakannya kelak.. pasti sangat cantik dan pas sempurna di tubuhnya.
Tak berapa lama dirinya membalikkan badan dan bersua. "Maira.. aku udah selesai nih milihin bajunya" Katanya yang diangguki gadis itu.
"Okeh.." Maira sembari berjalan mendekat ke arah Fathan. "Mba tolong di ambilkan ya pilihannya"
"Baik bu.."
"Oh ya, bentar ya Than.. dari tadi handphone gue bunyi terus nih.. mau ngangkat telpon dulu" Maira mengangkat kecil ponsel punyanya, lalu di iyakan calon suaminya. Ia bergegas menjauh dari sana. Tidak terlalu jauh sih.. hanya beberapa meter saja.
Fathan pun memberitahukan baju-baju apa saja yang dipilih olehnya barusan.
"Hallo.. iyaa bang Athar, ada apa?"
Seketika telinga lelaki ini panas mendengar nama orang yang disebutkan Maira di teleponnya kini. Yah, sudah lima hari pasca bertemu abangnya di rumah calon istrinya tersebut, dirinya belum jua saling meminta maaf. Mereka lebih memilih saling diam tidak peduli, bahkan tak ingin bertemu lagi kalau bisa. Sedari kecil Fathan dan Athar memang begitu.. tidak pernah akur.
Usai Maira menelepon, Ia kembali lagi ke tempat semula. Dengan beberapa macam baju di depannya yang sepertinya sudah siap akan di bawa ke lantai atas untuk melakukan fitting baju.
"Mari bapak dan ibu, saya akan antarkan ke ruangan fitting roomnya" Windy mempersilahkan mereka mengikutinya dari belakang. Sementara baju-baju ini, di bawa oleh dua pekerja butik lainnya setelah mereka sampai di atas anak tangga terakhir sebelum memasuki bilik ganti di pojok kiri lantai.
Sang asisten membukakan pintu depan ruangan ganti. Mereka pun masuk ke dalamnya. Pas disaat itu pula baju-baju tadi telah terjajar di hadapannya. Maira kini meneliti beberapa setelan baju yang di pilih Fathan. Ada empat kebaya adat modern dan dua gaun putih.
Mendadak Ia tersenyum menyeringai ingin berniat mengerjai calon suaminya ini. Pasalnya sejak dirinya selesai menelpon di lantai bawah tadi, Fathan terus memasang wajah asam di hadapannya. Entah apa sebenarnya yang membuatnya menjadi begitu..
"Loh kok bajunya kayak gini semua sih?" Bentak Maira tiba-tiba, spontan lelaki disebelahnya melirik cepat ke arahnya.
Sebelum menjawab lelaki ini mendengus kasar. Yang terdengar sampai ke kupingnya. Tumben sekali Fathan bersikap seperti itu, apa dia memang sedang ada masalah.. Padahal pas berangkat dari rumah gadis ini sampai datang kemari, moodnya masih baik-baik saja tuh..
"Kamu kan yang nyuruh aku buat milihin bajunya.. ya berarti suka-suka aku dong pilihinnya yang mana saja" Balas Dia tetap mengontrol nada bicaranya.
Waw. Reaksinya di luar dugaan.
Maira menatap wajah Fathan garang. "Pokoknya gue gak mau.. gue mau baju pengantin yang lain.. titik."
"Yaa.. kamu maunya yang kayak gimana lagi sih bajunya?!.. jadi orang kok ribet banget!"
Asli. Ini lelaki buat Maira pingin meledakkan kata-kata kasarnya. Niat cuma mau mengerjainya, malah jadi beradu mulut begini.
Ia menahan emosinya dan memutarkan mata ke sekeliling ruangan. Lalu berhenti pada satu gaun yang mencolok warnanya. Gaun biru muda selutut tanpa lengan. Mungkin ada orang yang habis mencoba gaun itu, tapi karena tak jadi terambil pegawai disini lupa untuk meletakkannya kembali ke tempatnya. Secepat kilat dirinya berlari ke tempat gaun tersebut berada.
"Gue maunya gaun yang ini." Kata Maira yang berada di belakang patung yang mengenakan gaun biru tersebut dengan menarik ujung bawah gaunnya yang menjadikan sedikit terangkat.
"Maira.." Mukanya benar-benar marah. "Yang benar aja kamu mau pakai gaun itu hah!." Sergahnya menggebu.
Aduh ini orang kenapa dah.. jelek banget sumpah moodnya hari ini.
Maira berlari lagi ke tempatnya semula berdiri. Selintas menyunggingkan senyum manisnya. "Hehe.. Bercanda sayang, jangan serius gitu ah mukanya" Sambil mencolek dagu Fathan.
Yang di jaili hanya mendengus sebal. Jelas-jelas Fathan sedang serius malah di ajak bercanda oleh calon istrinya ini. Sudah tau dia kesal gegara dirinya mengangkat telpon dari abangnya itu.. kan jadi mengingatkan dia pada kejadian berapa hari lalu. Yang dirinya lebih memilih pergi bersama Athar ketibang meneruskan percakapan dengannya. Oke Fix.. dia berlebihan.
"Gue cobain dulu ya bajunya" Lagi, Maira mendatangi windy yang berada di sebrang sana yang sepertinya tadi sedikit menjauh melihat pertengkaran dua sejoli barusan. Ia menyuruhnya untuk menarik gantungan baju-baju di hadapannya ke tengah ruangan untuk membantunya berganti pakaian di balik tirai yang menjulang tinggi itu.
Sementara Fathan tanpa merespon lagi, melenggang duduk di sofa panjang yang dimana ruangannya tersekat oleh pintu kaca transparan.
8. Mengujinya
Maira mencoba satu persatu bajunya. Dengan baju pertama yang terpilih adalah baju adat khas Jawa. Yaa, bagi yang belum tau bahwa calon suaminya tersebut merupakan orang Malang asli yang telah lama tinggal di Bandung, dikarenakan harus mengikuti orang tuanya yang kedapatan dinas kala itu disini. Dan sampai sekarang keluarganya pun memutuskan untuk tinggal menetap di kota Bandung.
"Fathan" Panggil Ia sambil mendorong pintu kaca di hadapannya.
"Apa?" Sahutnya malas.
"Gimana bagus gak kebaya adat jawanya di badan gue?.. pas gak?" Maira berputar singkat.
"Bagus kok.. pas banget"
"Sip" Secercah lengkungan menghiasi bibirnya.
Lanjut pada baju yang kedua. Yaitu baju kebaya adat khas sunda. Warnanya biru ke abu-abuan gitu deh. Lalu setelah terpasang di badannya, Ia menghampiri lagi calon suaminya di ruang tunggu.
Melihat Fathan sedang menghentak-hentakkan kaki, memegangi bagian kepala kirinya pada sebelah tangan menopang di bawahnya.
"Fathan, lu kenapa?" Maira seketika duduk di atas pahanya yang menghadap ke wajahnya, mengambil telapak tangan yang sedang memegangi kepalanya ini.
Dia kaget bukan main, menengok ke hadapan calon istrinya kemudian memalingkan wajah cepat ke arah lain. "Astagfirullah Maira.. kamu kenapa duduk disini sih?.. kita belum mahram tau.. jangan deket-deket" Tangan yang tadi terambil oleh Maira, di lepaskan secara paksa dengan Fathan.
Ia yang masih terduduk di atas paha lelaki ini, menghela napas panjang. "Yah, abisan lu kayak orang frustasi gitu sih.. gue kan takut jadinya." Yang setelahnya berdiri, mundur beberapa langkah.
"Gimana bagus gak gue pake kebaya sunda gini?" Tanyanya lagi sambil menarik kedua ujung baju berekor yang melintas di lututnya seakan terangkat dan melebarkan belahannya lalu menghempaskannya satu demi satu.
"Bagus kok.. Maira cantik pake kebaya itu" Jawabnya sedikit lebih kalem.
"Sip" Ia pun balik kembali ke ruangan ganti. Rencananya untuk baju yang ketiga dirinya ingin memakai gaun yang nantinya akan menjadi baju pengantin utama yang di pakai saat akad pernikahan mereka. Tetapi sayangnya gaun yang dipilih Fathan seperti kurang cocok dengan seleranya. Ia kembali menemui calon suaminya lagi.
"Loh.. Mai kamu gak milih gaunnya?.. Katanya mau pake gaun pas akad?" Ucapnya sesaat Maira memasuki ruang tunggu.
"Iya mau.. tapi gaun yang Lu pilih kurang cocok aja sama selera gue.."
"Yaudah.. terus kamu maunya gaun yang kayak gimana, hmm?"
Ide brilian muncul di benaknya. " Gue tau.. gimana kalau Lu yang gambarin langsung sketsa gaunnya buat gue?"
"Hah?" Dia sedikit membuka mulutnya. Yang bener aja Mai, aku mana bisa.. aku kan bisanya gambar sketsa bangunan, bukan gambar sketsa baju.."
"Yaa di coba dulu atuh, siapa tau hasilnya bagus kan."
Dia menghembuskan napas pelan lewat mulutnya. Karena Fathan tidak ingin berdebat seperti barusan dengan Maira, akhirnya dia mengalah dan menuruti kemauan dari calon istrinya ini. "Okey, aku coba gambarin sketsa gaunnya ya.."
"Oke.. sambil Lu gambar, gue pilihin tuxedo buat Lu dulu ya di lantai bawah"
Fathan manggut-manggut kecil. Dia meminjam kertas dan pensil pada windy sang asisten butik. Yang sesudahnya mengantar Maira ke lantai dasar.
Fathan tidak tau saja, Maira sedang mengujinya untuk mengetahui seberapa besar cintanya itu untuknya. Ia melakukan hal ini juga berdasarkan jawaban dari calon kakak iparnya beberapa waktu lalu saat mereka sedang bekerja di sebuah rumah sakit, siapa lagi kalau bukan Athar.
~ Flashback in hospital ~
"Akhirnya selesai juga ya Dok, nanganin para ibu-ibu lansia genit barusan..."
"Iya, akhirnya selesai juga. Hufft.. lelah sangat"
"Dok, saya mau nanya deh?"
"Nanya Opo (Apa)?"
"Dokter udah tau belum kalau saya di lamar sama adiknya situ?"
"Ohh itu.. Umi kemarin cerita ke saya. Kenapa emangnya?"
"Hemm, menurut dokter dia tiba-tiba ngelamar saya mendadak gitu kenapa ya?"
Athar tertawa kecil. "Ya sudah jelas, dia cintalah sama kamu"
"Cinta?.. sejak kapan, dok?. Maira menatap serius wajah Athar. Dokter tau gak?"
"Udah lama banget sih dia bilang ke saya.. kalo gak salah pas kalian kuliah deh. Dia cerita ada satu cewek yang paling dia kagumin dari SMA kelas satu, namanya Nadhirah Humaira.. saya pikir kalo itu kamu."
~Flashback End~
Mana mungkin juga kan, kalau ada laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan tapi mereka gak saling punya perasaan satu sama lain?.. kecuali memang cintanya sepihak, itu masih terbilang wajar bukan??
Maira telah balik ke ruangan dengan asisten di belakangnya membawa beberapa gantungan tuxedo yang dipilihnya barusan.
"Lu udah selesai gambarnya, Than?"
"Sudah nih" Sembari menunjukkan lembaran kertas yang digunakan untuk mengambar sketsa gaunnya.
(Sebut aja contoh gambarnya kayak gini yang aku ambil di internet wkwk:))
Disana ada empat macam gaun yang di buatnya dengan model hiasan yang berbeda-beda. "Maaf ya kalau gambarnya jelek, aku kan sudah bilang gak bisa bikin sketsa baju.."
"Gapapa" Ia pun mengambil kertas hasil gambaran tersebut dan diunjukkannya kepada Windy. "Mba tolong sampaikan ke Bu Intan Wijaya, kalau saya mau di buatkan oleh beliau langsung gaun seperti contoh gambar yang kedua ini?.. bisa kan?."
Windy melihat sekilas ke gambar yang dimaksudkan kliennya ini. "Kira-kira ibu mau memakai gaunnya kapan?.. karena kan membuat gaun memakan waktu cukup lama"
"Tiga bulan dari sekarang, tepatnya tanggal 6 bulan Juli.. itu pas hari akad pernikahan saya"
"Baik, saya segera memberitahukan mba Intan untuk mendiskusikan soal gaun ini lebih lanjut. Dan mungkin kita nanti akan agendakan kembali jadwal pertemuan untuk fitting baju selanjutnya dengan Ibu."
"Siap Mba.. jangan lupa sama baju adat jawa dan sunda tadi ya, yang nantinya bakal saya sewa"
"Baik Ibu siap laksanakan.."
Fathan pun juga sudah mencoba beberapa tuxedonya dengan yang terpilih satu setelan jas putih, satu jas abu-abu dan satu jas biru dongker yang mana mengikuti warna baju dari pengantin wanita.
Selesai untuk jadwal mereka hari ini, yang sebelum pulang ingin mampir dahulu ke kafee di belakang butik. Sesaat mereka memesan minuman, seorang gadis menepuk pelan pundak calon suaminya itu dari samping pada wajah menyongok ke depan.
"Fathan.." Panggilnya lembut dengan senyum cerah di bibirnya kini.
9. Jadi Nyamuk
"Fathan.." Panggilnya lembut dengan senyum cerah di bibirnya kini.
Sang empu yang di panggil menoleh ke arah sumber suara. "Hei.. Jinan" Dia tersenyum lebar, tak menyangka dapat bertemu dengannya disini.
Maira yang memperhatikan raut wajah Fathan, menekuk bibir bawahnya seketika. "Tadi aja.. mukanya bete banget, eh pas ketemu nih perempuan langsung sumringah gitu mukanya" Ia menghela napas sembari memijat pelipisnya pelan. "Emang dasar ya laki, liat yang bening dikit langsung demen dia.." Ngedumelnya masih terus memandangi wajah calon suaminya.
"Kamu habis ngapain ada disini?" Tanya Fathan sesudah mengucapkan terimakasih pada barista di depannya ini yang tengah mengasih pesanan kopi luwaknya.
"Oh, aku abis nganterin kakak sepupu ku buat fitting baju lamaran.. tapi, dia tadi pulang duluan, karena aku bilang setelah ini mau pergi ke tempat lain" Jawab Jinan yang sekarang beralih pandang ke wajah wanita di belakang teman kantornya itu.
"Oh begitu.."
Fathan yang mengikuti arah pandang temannya ini, tersenyum ringan pada wanita yang hendak meminum es cappucino di genggaman tangannya tersebut.
"Oh iya nan, kenalin nih.. calon istri aku, Maira" Ucap Fathan yang membuat dirinya merasa di perkenalkan buru-buru mengulurkan tangan kanannya seraya membuka mulut.
"Haii, aku Maira.. calon istrinya Fathan" Sapanya ramah yang menekankan kalimat terakhirnya. Lalu menyenggol lengan lelaki disebelahnya kencang. "Hehe" Sesudahnya menyengir kaku.
"Oh, Jadi ini yang namanya Maira toh." Untuk pertama kalinya Jinan bertemu dengan gadis yang selalu di usung-usung oleh teman pria kantornya ini atau lebih tepatnya sang pujaan hatinya. Dia meneliti tubuh wanita itu dari atas ke bawah, memanggut-manggutkan kepala. Sangat benar yang pernah di ceritakan oleh Fathan, bahwa gadisnya ini mempunyai gaya berpakaian yang cukup high class, sehingga terkadang menjadikan dirinya sangat sulit untuk memadukan pakaian saat sedang jalan keluar bersamanya.
Jinan menjabat dan menghentakkan tangannya pelan. "Yaa saya Jinan, teman kantornya Fathan"
Dia yakin.. bahwa teman pria satu kantornya itu mengajak calon istrinya kesini, pasti dikarenakan untuk melakukan fitting baju pernikahan. Jujur, ada sebersit rasa jealous di hatinya yang terpendam.
"Emm.. kamu setelah ini memangnya mau pergi kemana nan?.." Fathan kembali bertanya.
"Aku mau beli peralatan menggambar, kebetulan stok peralatan aku udah habis buat di kantor. Jadi, karena hari ini ada waktu senggang.. yah, aku mau belinya sekarang"
Tiba-tiba saja ada pemikiran Fathan untuk niat mengerjai balik calon istrinya ini pada senyuman menyeringai di bibirnya kini. Sebab, Maira telah membuat dirinya kesal tadi.
"Wah, kebetulan sekali.. aku juga ingin membeli peralatan menggambar. Bagaimana kalau kita belinya barengan saja?" Tawar Fathan pada gadis cantik di hadapannya, menjadikan Maira yang sedang minum, mendengar perkataannya barusan refleks hampir menyemburkan es cappucinonya itu, kemudian melirik dia tajam.
Apa-apaan?.. tadi saat mereka turun dari tangga, bahwa lelaki itu bilang akan langsung pulang sehabis dari butik, tetapi kenyataannya?.. dia berdustaaaa...
"Serius, kamu mau beli peralatan juga?"
"He-em"
Mata Jinan melirik ke wajahnya Maira lagi. Lelaki ini pun mengerti.. dan lantas berkata. "Mai, gapapa kan kita mampir dulu ke mall sebentar?"
"Yy.. yaaa, gapapa" Balasnya sedikit terpaksa demi mempertahankan image nya di hadapan teman kantornya Fathan, lalu tersenyum ringan.
"Yaudah yuk kita jalan, nanti ke buru malem lagi" Mereka bertiga berjalan menuju parkiran depan butik.
sesampainya di parkiran mobil..
Sesaat Maira ingin membuka pintu mobil di samping pengemudi, tiba-tiba saja tangan Fathan mencegatnya. "Eh tunggu Mai"
Dirinya seketika menengok cepat kepadanya. "Kenapa?" Sedikit menaikkan nada bicaranya.
"Kita kan belum mahram ya, jadi.. jangan deket-deket dulu duduknya. Maka dari itu lebih baik kamu duduk di kursi belakang aja, Okey" Perintahnya sambil membukakan pintu mobil bagian penumpang belakang.
Maira mendengus berkali-kali, menahan emosi. "Apa lagi ini miskah??!"
Karena Ia tau sopan santun di depan umum, akhirnya dirinya pun mengangguki perintah calon suaminya dengan senyuman ramah. "Terimakasih telah membukakan pintunya, sayang." Seketika tangan Maira mencubit pinggang Fathan keras.
"Aawww" Membuat sang empu meringis pelan, mengusap bagian yang tercubit.
Jinan yang sedari tadi melihat tingkah dua sejoli di depannya ini, hanya diam tanpa kata. Sampai pintu di samping pengemudi terbuka. "Ayo silahkan masuk" Sang pemilik mobil mempersilahkannya.
"Iyaaa" Tak berapa lama mobil fortuner tersebut melaju dengan kecepatan maksimal.
Selama perjalanan Fathan dan Jinan terus mengobrol, sesekali tertawa lepas, seakan melupakan makhluk di belakangnya yang sedang merengut dengan menyilangkan tangan bersandar di sandaran mobil. Maira serasa jadi nyamuk di tengah-tengah mereka.
"Bilang aja Lu emang maunya perempuan ini di depan kan bambank!.. Pake bawa-bawa belum mahram segala-lah, lebay Lu!" Dongkolnya mendarah daging.
☆☆☆☆☆☆☆
Mereka bertiga telah sampai di sebuah mall terdekat yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat butik yang dipijaki mereka tadi. Hanya belok ke kiri dari arah perempatan, lurus dan melewati beberapa lampu merah saja, akhirnya sampai.
Memasuki mall pada posisi Fathan dan Jinan berjalan beriringan, sementara Maira berjalan tepat di belakang calon suaminya itu. Kini mereka sedang memasuki toko buku dengan area yang dimana di dalamnya terdapat khusus menjual peralatan menggambar. Mulai dari buku gambar, pensil, spidol dan lain-lain.
Dug. Kepala Maira menabrak punggung Fathan setelah mereka berhenti di salah satu koleksi macam-macam pensil khusus menggambar, namun sepertinya tak dihiraukan olehnya.
Maira menghentak-hentakkan kaki menunggu mereka sedang memilih-milih pensil di dalam rak. Bosan!.. tentu itu yang dirasakannya. Ia pun memutuskan untuk merogoh ponselnya yang berada di dalam sling bag yang senada dengan warna bajunya, yakni violet. Menekan applikasi WhatsApp. Mencari percakapan grup trio butterfliesnya, lalu mengetik di atas layar ponselnya tersebut.
Fathan dan Jinan yang sudah hampir setengah jalan, berhenti ketika lelaki itu sadar bahwa calon istrinya masih terlihat asik memainkan ponsel disana sembari menyandarkan pundak di peyangga rak.
"Mairaaaa, kamu mau berdiri disitu terus sampe subuh?? iyaa..?" Teriak Fathan, sekejap membuat dirinya mendongak. Kaget, saat melihat calon suaminya sudah berada di pertengahan jalan dari rak yang di sambanginya barusan.
"Iyaa, sabar.. tunggu" Secepat kilat memasukkan lagi ponsel ke dalam sling bag. Kemudian berlari kecil menghampiri mereka berdua.
Dua teman kantor itu masih terus mencari setiap peralatan gambar yang mereka butuhkan. Dari rak satu beralih ke rak satunya lagi. Sesudah pensil, buku gambar, selanjutnya spidol, lalu penghapus. Dan lagi-lagi Maira menabrak punggung Fathan di kala lelaki ini berhenti mendadak.
Yang di tabrak menoleh sebal. "Kamu kenapa sih dari tadi nabrak aku mulu?" Protesnya menatap sahabat sekaligus calon istrinya tersebut.
Hampir habis kesabaran Maira, ingin menjedotkan kepala calon suaminya itu di tembok sekarang juga. Namun, sekali lagi menahan emosinya dan berucap. "Maaf gak sengaja, sayang" Tuturnya lembut melebihi soft drink di kaleng-kaleng, yang kalau di buka langsung nyeesss.
Tanpa bereaksi apa-apa, Fathan fokus lagi memilih model penghapusan di hadapannya sambil bertanya ini itu pada Jinan yang juga ikut memilih.
Setelah, satu jam lebih berada di dalam toko buku, selesai- lah mereka dan bergegas keluar dari dalam sini.
"Emm.. gimana kalau kita makan dulu sebelum jalan pulang?" Ajak Fathan yang sekarang menoleh ke wajah Maira yang berada di belakangnya. "Kamu pasti laper kan Mai, sehabis pulang kerja belum sempat makan?" Dia menebak selalu tepat sasaran.
Sebenarnya, Ia lelah ingin segera pulang untuk melanjutkan tidurnya kembali walau hanya sebentar sebelum nantinya berangkat balik ke rumah sakit, tetapi benar juga yang dikatakan lelaki ini.. memang Maira belum sempat makan sedari tadi siang, yah dikarenakan dirinya tepar duluan dan bangun-bangun sudah Ashar. Lalu selepasnya segeralah Ia bersiap-siap untuk pergi ke butik.
"Hemm" Sahutnya manggut-manggut kecil.
Mereka kini berjalan kembali dengan melihat tempat makan di sekelilingnya yang di pilahnya terlebih dahulu sekiranya sesuai untuk makan di jam-jam segini.
Maira menarik ponselnya lagi di dalam sling bag. Iseng menekan tombol kontak. Netranya terhenti pada satu kontak bernama Bang Athar. Timbullah rasa kejailan yang mencuat-cuat. Ia yakin bahwa Fathan sebenarnya tadi juga berniat mengerjainya balik dengan membawa perempuan cantik ini bersama mereka, makanya Maira akan mengulangi hal yang serupa barusan. Entah.. bagaimana nanti di dalam perkara rumah tangganya. Mungkinkah mereka akan terus saling menjaili, berdebat dan membawa kerusuhan??.. mungkin bisa jadi..
Pura-pura ponsel di tempelkan ke telinga. Bersiap berbicara bagaikan seseorang tengah meneleponnya.
"Hallo bang Athar.."
Deg. Sekali lagi Fathan mendengar nama abangnya disebut oleh Maira. Spontan mengerutkan dahi.
"iya, kenapa bang?.. oh, mau nitip sesuatu?.. mau apa?, makanan, minuman atau apa?.. Oh, okey bang Athar.. Iya, sip pokoknya.. See you too hospital" Ia pura-pura memencet tombol merah pada layar ponselnya itu.
"Tadi.. telpon dari bang Athar ya Mai?" Menengok sekilas, ketika Maira tengah memasukkan ponsel ke sling bag. Kemudian fokus kembali ke depan menyamakan langkah kaki pada kawan di sampingnya.
Ia kini meraih pergelangan tangan Fathan dan mencengkramnya erat dengan masih terus berjalan. "Kalau iya.. masalah buat Lu" Desisnya begitu dekat pada telinga lelaki ini yang sekarang malah bergidik akibat ulah darinya. Sesudahnya Maira berjalan mendahului mereka berdua.
Berselang berapa menit mereka menentukan untuk makan di hokben saja. Makanan yang mereka pesan berupa makanan ringan, seperti egg roll, satu set beef yakiniku dan dua favorite set chicken teriyaki dengan semangkuk nasi serta fresh tea sebagai minumannya.
"Kamu gak ada deadline gambar, Than?" Di sela-sela makan Jinan membuka pembicaraan.
"Ada sih, cuman gak banyak. Kamu sendiri gak ada deadline gambar?"
"Enggak, ada tuh.. tadi pagi aku udah selesain semua gambar pesanan klien. Oh ya, aku sampe lupa ngomong ke kamu.. kalo besok bakalan di adain rapat kedua dari proyek Macau"
"Kok mendadak sih rapatnya?" Dia yang ketua pelaksananya saja tidak mengetahui perihal tersebut.
"Iya, soalnya pak Candra sendiri yang minta ke aku buat besok di adain rapat sebelum dia terbang ke Malaysia besok sore"
Fathan mengangguk mengerti. "Oh okeeh.."
"Yaelah malahan pacaran dia berdua. Sebenarnya yang calon istrinya itu gue apa dia sih?!!.." Maira pun di cuekin terus-terusan cuma bisa menatap mereka bergantian bagaikan di hadapannya adalah sinetron lokal di layar televisi.
"Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing..." Ia mulai menirukan bunyi suara nyamuk. "Ploookk". Lalu pura-pura menepukkan telapak tangan cukup keras di tengah-tengah antara muka Fathan dan Jinan. Menjadikan mereka berdua berganti memandang ke arah Maira.
"Kenapa Mai?"
"Enggak.. barusan ada nyamuk" Bohongnya menyengir lebar.
"Oh, terus nyamuknya ke tangkep?" Bodohnya Fathan malah menanyakan balik.
"Sayangnya, Enggak tuh" Maira mendatarkan wajah sedatar-datarnya. "Yaudah sok, di lanjutkan lagi ngobrolnya atuh" Setelahnya Ia melanjutkan jua makannya yang belum habis.
☆☆☆☆☆☆☆
"Makasih yah, Fathan sudah mau nemenin beli peralatan dan juga mengantar pulang.. maaf jadi ngerepotin kalian"
"Iya, sama-sama nan. Gak ngerepotin sama sekali kok.. betul kan Mai?" Fathan sembari menengok ke kursi mobil belakang.
Maira hanya menjawab. "He-em" Disertai satu anggukan pelan.
"Oke, kalau begitu kalian hati-hati di jalan.. aku permisi" Jinan membuka pintu mobil seusai berpamitan pada mereka. Berjalan menyebrang untuk memasuki gang perumahan di depannya. Rumahnya masih lurus beberapa meter kesana.
Saat bayangan Jinan sudah menghilang di balik lampu sorot gangnya, Fathan kembali menengok ke belakang. "Mai, gak mau pindah ke kursi depan?" Dia tau sih, tadi perkataannya itu sangat keterlaluan pada calon istrinya ini. Tapi toh Fathan senang, karena dia merasakan seperti ada atmosfer kecemburuan di balik matanya Maira.
"Enggak, makasih!" Tolaknya tegas membuang muka.
Sedangkan, Fathan hanya menggelengkan kepala tersenyum ringan. Kemudian melajukan mobil menuju jalan ke tempat kediaman gadis ini.
"Kamu gak langsung ke rumah sakit Mai?.. biar aku anterin sekalian?" Dia mencoba memulai obrolan kembali dengan Maira.
Tidak langsung menjawab, Ia berdehem pelan. "Ehem". Menyilangkan tangan pada tatapan masih membuang muka. "Lu gak liat apa, sekarang gue lagi gak pake baju perawat. Gimana mau ke rumah sakit coba?!"
"Ohh iya ya.." Jawabnya yang malah menirukan gerak bibirnya Fathan seolah mencibirnya.
"Agenda kita selanjutnya ngapain lagi Mai?" Fathan menerawang wajah Maira lewat kaca spion yang menggantung di hadapannya. Terlihat sedang memainkan kuku-kukunya itu.
"Enggak tau.."
"Loh, kok gak tau?"
"Yaa, emang gue belom tau.. terus gue harus ngomong apa coba?!" Suaranya setengah lirih, seperti menahan tangis.
Waduh, salahnya dia sih yang mengerjai calon istrinya ini keterlaluan. Jadi, gini kan akibatnya. "Yaudah kalau belum, bisa di pikirin besok.. gak usah di paksain. Toh juga pernikahannya masih lama"
Setengah jam berlalu. Mereka berdua sama-sama turun dari mobil. Drug. suara pintu mobil di tutup.
Mereka saling berhadapan kini. Namun, pandangan Maira tertunduk dalam.
"Mai, kamu gapapa?" Fathan menyentuh pelan pundak Maira. Seketika kedua tangan gadis ini melingkar di pinggangnya erat.
"E..eh" Dia terkesiap berusaha ingin melepaskan pelukannya, karena takut dilihat orang yang mengenali mereka di jalanan mungkin.. namun apa daya, lelaki itu tak tega yang mendengarkan calon istrinya tengah menangis begini.
"Hiks.. Hiks..Hiks.."
"Mai, udah atuh jangan nangis" Dengan menepuk-nepuk pelan sebelah bahunya.
Ia melepaskan pelukan, sambil menyeret ingus yang hampir keluar dari hidungnya tersebut. Aduuh, kenapa mendadak dirinya jadi mellow drama gini. Padahal sebelumnya melihat sahabatnya itu dekat dengan siapapun, Ia tak pedulikan. Lantas, kenapa sekarang cuma hal sepele seperti barusan saja, bisa membuatnya menangis?.. Aneh. Apa mungkin Maira tidak rela jika Fathan lebih mementingkan temannya yang lain?..
"Maira, marah yah sama Fathan" Ucapnya membungkuk sedikit, memandangi wajah gadisnya itu.
Ia menyeka air matanya dengan tumpuan tangan dan menggeleng pelan, enggan menatap wajah Fathan.
"Yaudah, walaupun Maira gak marah sama Fathan.. Fathan tetap minta maaf ya.. , mungkin ada perkataan aku tadi yang gak sengaja sudah buat hati kamu sakit"
Maira mengangguk pelan. "Pokoknya gue gak mau kayak kejadian barusan.. kalau kita lagi jalan berdua terus ada orang ketiga yang ngerecokin.. inget itu"
Fathan tertawa kecil dibuatnya akan pernyataan Maira yang jelas-jelas marah kepadanya, namun gengsi setengah mati untuk mengungkapkannya tadi.
"Iya.. iyaa, sayangku.. cintaku, calon istriku yang cantik" Dia mengelus pelan pucuk kepala Maira yang terbalut pasmina itu.
"Ihh, apaan sih.. gak usah lebay gitu deh bahasanya" Risihnya di kala mendengarkan ucapan manis yang dilontarkan Fathan kepadanya.
"Loh, emang bener kan kamu calon istriku yang cantik"
"Berhenti gak ngomong gitu..!!"
Bukannya berhenti, Fathan malah menjadi-jadi. "Kenapa sih??.. emang benerkan kamu sayangku, ayang bebku, cintaku, pujaan hatiku, calon istriku..."
"Issshh." Maira pun membalikkan badan, segera berlari kecil untuk menyebrang. Menuju pagar yang menjulang di depannya tersebut.
"Cintaku.. ayang bebku.. belahan jiwaku.. pujaan hatiku.." Fathan masih saja menggoda Maira.
Menjadikan Ia yang telah sampai di depan pagar. Membuat suara aneh disana. "Auurrggh." Yaa, layaknya suara maungan macan dengan mengangkat kedua tangannya seperti ingin menerkam mangsa. Maira memakai suara maungan macan versi raja cheoljong di drama Mr.Queen yang merupakan drama korea kesukaannya itu.
"Sayang, jangan lupa WA sama calling-calling aku ya.." Katanya dengan membentuk jarinya menjadi gagang telepon. "Daaaah... muacch" kemudian setelanya memberikan kiss byee melalui sebelah telapak tangannya seperti macam anak kecil saja yang baru mengenal begituan.
"Udah sarap tuh orang... iiiihhh" Bergidiknya. Cepat-cepat Maira mengunci gerbang, namun masih terus memandangi wajah Fathan dari sini.
Memastikan calon istrinya sudah sampai dengan aman di depan pintu utama rumah, Dia pun kini kembali memasuki mobil.
10. Penghalang
Sehabis pulang dari mall, Fathan membenah diri yang setelahnya melaksanakan sholat isya di kamarnya. Tidak lupa Ia tadarusan sebentar dengan membaca surah-surah makkiyah yang di akhiri dengan surah An-nas.
"Shadaqallahul Adzim.."
Pas sesaat Ia menutup Al-Qur'an lalu menaruhnya di atas meja nakas, ponselnya tengah berbunyi. Zipzip . Menandakan pesan pribadi masuk ke applikasi WhatsAppnya.
Ia menggulung sajadah terlebih dahulu, juga menaruh peci hitam yang di kenakannya di gantungan yang terdapat di balik pintu kamarnya tersebut. Kemudian menyambar ponselnya itu.
Ternyata pesan dari Maira. Segeralah Ia mengetikkan di atas layar untuk membalas pesan dari calon istrinya ini.
Fathan menunggu sejenak balasan dari sahabatnya ini sambil menyecroll setiap pesan percakapan mereka dari bawah sampai ke atas. Meneliti setiap kata yang pernah di tuliskan Ia di dalam sana.
Maira membalas lagi pesan dari calon suaminya itu. Namun...
"E..eh, kok malah ngirim ikon ini sih." Yah, tak sengaja dirinya memencet ikon hati setelah pesan barusan. Padahal tadinya dia berniat untuk mengirimkan ikon lambaian tangan pada sahabatnya itu.
Secepat kilat Maira berusaha menarik kembali ikon yang terkirim disana. Namun, saat dirinya ingin menekan bacaan pesan di tarik kembali, malah sudah tercentang biru. Yang berarti tandanya sudah di baca oleh lelaki itu, bahkan sudah di balas pesannya.
Maira pun melempar iphonenya jauh-jauh di atas kasur dan melenggang pergi dari kamarnya. Dirinya jadi teringat tadi, ketika Fathan mengucapkan kalimat-kalimat manis di depannya sembari senyam-senyum kayak orang gila gitu. Bulu kuduknya meremang bersamaan dengan kedua pundaknya yang naik.
Dirasa Maira tidak membalas pesannya lagi, Ia merebahkan badannya kini di kasur dengan meraih buku kecil yang kemarin di berikan oleh calon istrinya ini, yang mana tadi Ia letakkan di kasur tepat di bawah ponsel.
Merobek plastik yang masih melilit di sekitar buku kecil tersebut, lalu menaruh serpihan plastiknya di sebelah. Mulai membuka satu persatu lembar kertas disana.
Bab pertama di mulai dari saling menyiapkan makanan dan minum bersama. Disini dijelaskan bahwa makan harus dengan piring yang sama, bahkan minum pada gelas yang sama. Terdapat juga ilustrasi percakapan di tengah-tengah sedang makan bersama, serta pula ada gambar pasangan yang tampak mesra saling menyuapi makanan tersebut. Bukan hanya itu saja, ternyata beberapa hadist pun juga di cantumkan di dalam buku ini. Fathan jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya kelak.
Dia pun membaca sampai pada bab yang terakhir. Dimana pada bab ketujuh membuat satu kelopak matanya terangkat sempurna, sedangkan mata yang lainnya sedikit menyipit. Membaca judul babnya perlahan.
"Mandi bersama istri.."
Ceklek. Gagang pintu kamarnya tengah di dongakkan seseorang.
Pas di saat yang bersamaan Fathan mengalihkan atensinya ke arah pintu sembari menutup buku kecil yang berada di genggaman tangannya kini.
"Eh, ada Mas Fathan toh" Kata gadis bernama Arrasya yang merupakan salah satu dari adik kembarnya itu. Menghampiri dirinya ke pinggiran kasur yang sedang memposisikan tubuhnya untuk duduk tegak disana.
"Kenapa Ca?.. kangen sama mas ya?" Ia memeluk adiknya yang sekarang berada duduk di sampingnya.
"Dih, Mas Fathan kali yang kangen aku" Enggan membalas pelukan sang kakak, justru malah melepaskan kedua tangannya yang menempel di bahunya tersebut.
"Yaudah sana kalo gak kangen. Gak usah ke kamar mas lagi!" Cemberutnya memunggungi adik perempuannya sambil menyedekapkan tangan.
"Eh iya.. iya, aku kangen deh" Gantian memeluk kakak laki-lakinya itu dari belakang. Raut wajah Fathan pun berubah tersenyum kembali menghadap ke adiknya ini.
"Oh ya, Mas Fathan kenapa gak pulang ke rumah??. Kok malah pulang kesini.."
Yaa, yang dimaksud oleh Arrasya adalah rumah keduanya. Yang dimana rumah tersebut telah Ia tinggali sejak enam bulan belakangan. Letaknya hanya berkisar 4,5 kilometeran dari kediaman rumah keluarganya ini. Tentunya memiliki rumah sendiri membutuhkan pengorbanan juga upaya kerja keras selama ini.. yang hasilnya Ia tabung setiap bulannya di bank. Demi membahagiakan kelak pasangan hidupnya.
"Kan besok mas, mau bantuin dekor pesta ulang tahun kalian. Jadi, biar sekalian mas nginep aja disini.."
"Oh, begitu toh.."
"He-em" Fathan mengangguk pelan.
Pintu depan kamarnya yang masih terbuka setengah, kini di dobrak cepat oleh seseorang dari luar. Braakk!
"Astagfirullah." Refleks kedua kakak beradik itu melonjak kaget.
"Mas Fathaaannn" Serunya yang berlari merentangkan tangan sembari mengenggam satu buku cetak dan buku tulis serta pulpen, lalu duduk di pangkuannya dengan melingkarkan tangan di leher jenjang lelaki ini secara singkat.
"Aduuh, Arrasyi.." Pekiknya sesaat adiknya terduduk di kedua pahanya. "Berat tau kamu".
Yang di ocehin hanya menyengir lebar. "Mas, kenapa sih kalo pulang tuh gak bilang-bilang dulu sama aci?". Bertanya Arrasyi masih di pangkuan sang kakak.
"Mau banget kayaknya di bilangin, hheuh." Jawab Fathan dengan membuat mulut adiknya menjadi huruf O.
"Ya, harus bilang dulu lah. Aci kan jadi gak perlu bulak- balik kamarnya mas kalau gitu.."
"Emang kamu kenapa bulak-balik kamarnya mas?.. mau minta bantuan ya?" Tebaknya yang sudah pasti benar.
Arrasyi kembali menyengir. "Hehe, kok tau sih mas"
"Eh, Lu bangun jangan duduk kayak gitu. Udah gede juga, manja banget. Udah tau mas, bentar lagi mau nikah.." Celetuk kembarannya, Arrasya yang berada di sebelah Kakak keduanya ini dengan menepak pelan paha Arrasyi.
"Diihh, bilang aja situ iri kan." Balasnya sewot sambil beralih melirik wajah kakak laki-lakinya. "Betul kan mas Fathan?".
"Tau nih.. Aca sirik aja" Mereka malah saling berpelukan kini mengejek ke muka Arrasya.
"Bodo amat dah" Umpatnya merunjungkan bibirnya sebal. Selepasnya Arrasyi dan Fathan mendengus geli bersamaan.
"Oh ya, mas.. ajarin Aci fisika yang bab medan magnetik dong. Aci belom paham nih, rumus-rumusnya.."
Kakaknya yang satu ini memang pandai dalam pelajaran yang berhubungan dengan sains, karena dulu Fathan sering kali mengikuti lomba olimpiade tingkat nasional di sekolahnya dan beberapa kali pula mendapatkan medali emas.
"Yaudah sini mas ajarin.. "
Arrasyi pun mulai membuka buku cetak fisikanya.
☆☆☆☆☆☆☆
"Happy birthday Arrasya, Arrasyi." Ucap Maira memeluk anak kembar di hadapannya itu.
"Makasih mba Maira.. senang deh, liat mba bisa dateng ke ulang tahun kami.." Kata Aca menyunggingkan senyum manisnya.
"Iya dong pastinya dateng. Masa udah di undang, mba gak dateng sih, hehe."
"Lebih senang lagi karena mba Maira, sebentar lagi bakal jadi kakak ipar kita deh" Giliran Aci yang menyeletuk. Setelahnya memperlihatkan barisan giginya yang rapih nan putih.
Maira hanya balas tersenyum ringan atas ungkapan hatinya Arrasyi. Kemudian menyodorkan dua kotak kecil yang sudah terbungkus kertas kado bermotif bunga matahari. "Ini kadoan buat kalian berdua, semoga suka ya.."
Mereka berdua mengambilnya perlahan dari tangan calon kakak iparnya. "Makasih ya mba Mai.."
"Sama-sama"
Di depannya ternyata juga ada kakak sulung mereka, yaitu Athar. Yang kini tersenyum ceria ke arah dua adiknya sembari memeluk mereka begitu erat. "Selamat ulang tahun kedua bidadarinya mas Athar"
Mereka membalas pelukan sang kakak sulung. "Maaciw masku yang tampan, sudah nyempetin dateng ke ulang tahun kita.."
Setelah melepas pelukan mereka, giliran Athar yang menyodorkan dua benda berbentuk persegi panjang ke hadapan mereka yang lumayan tebal rapih terbungkus kertas kado di luarnya tersebut.
"Apa nih mas?.. Tebel banget dah?" Aci mengayun- ngayunkan kadonya pelan.
"Tau nih, apaan sih mas isi kadonya?" Aca juga melakukan hal yang serupa.
"Lihat aja nanti sendiri, yang penting mas udah beliin kalian kadoan kan. Biar gak ngambek kayak tahun kemarin, karena lupa ngasih kado" Tuturnya lembut mengelus kepala kedua adiknya berbarengan.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat yang ada di sekitarnya. Posisi Maira saat ini berada di taman rumahnya sih kembar. Rumah mereka memang tidak besar dan tidak juga bertingkat, tetapi halaman rumah ini terbilang cukup luas dengan satu kolam renang di tengah-tengah halaman. Mencari sosok pria berwajah bulat yang kalau tersenyum matanya menghilang. Kemana perginya Dia??..
Maira tidak tau saja, bahwa lelaki yang di carinya sedang mengintip dirinya di balik tembok yang menghubungkan teras belakang rumah dengan pintu sebagai penyekatnya.
Fathan mendengus pelan, lalu menyeruput minumannya di gelas sesekali melirik calon istrinya disana. Yang sekarang sedang mengobrol ria bersama kedua adik kembarnya dan juga abangnya yang ngeselin itu.
Wajahnya terus tertekuk sedari tadi, kesal memikirkan Maira yang lebih memilih untuk diantar dengan Athar ke kediaman rumahnya ini, dibandingkan dengan calon suaminya sendiri. Dengan alasan bahwa mereka kebetulan pulang kerja di jam yang sama, lalu abangnya menawarkan untuk bareng saja yang diiyakan oleh wanita itu. "Posesif". Yup, mungkin satu kata itu dapat menggambarkan perasaannya. Entah mengapa, timbul rasa gelisah di dalam dirinya yang berpacu seolah mengatakan.. bahwa abangnya nanti akan menjadi penghalang bagi kebahagiaan rumah tangga mereka.
"Kamu kok disini aja Le?" Dari arah samping uminya, Ratna menepuk pelan bahu anak lelakinya yang sedang memberengut menyeruput minuman di genggaman tangan.
"Gapapa umi, Fathan emang lagi mau disini aja" Jawabnya yang mengulaskan senyum ringan.
"Gak nyamperin Maira?.. kesana?" Ratna memberitahukan keberadaan calon menantunya dengan ujung dagunya yang terangkat bebas.
Menggeleng Fathan, lalu tersenyum sebentar. "Enggak Umi"
"Loh, kenapa?.." Tidak biasanya Ratna melihat anak lelakinya ini begini. Sebab setiap kali, ada wanita itu datang ke rumahnya pasti dirinya langsung menyambut heboh berlarian ke arahnya, namun hari ini sepertinya berbeda.
Ratna memandangi sepintas calon menantunya disana yang sedang kelihatan asik mengobrol dengan anak sulungnya dan kedua sang anak kembar. "Mau umi panggilin biar Maira nya ngobrol sama kamu?"
"Enggak usah Umi.."
Ratna manggut-manggut mengerti kenapa anak lelakinya yang satu ini tidak mendatangi calon istrinya disana. "Kamu cemburu ya Le, kalo liat abang ngobrol sama Maira?"
"Enggak kok Mi, siapa yang cemburu" Jelas-jelas tatapan matanya tidak bisa terbantahkan.
"Beneran kamu Le, gak mau umi panggilin aja Mairanya kesini?.. biar ngobrolnya sama kamu aja bukan sama abang" Ratna menangkup sebelah wajah anaknya.
"Enggak usah Mi. Biarin Maira ngobrol sama siapa saja, itu kan hak dia"
"Yakin.. kamu gak mau di panggilin nih Mairanya?" Ulang Ratna untuk meyakinkan sang anak.
Fathan mengangguk tegas sekali, kemudian kembali tersenyum. Tetapi, kali ini pada senyuman lebar yang menunjukkan barisan gigi depannya untuk meyakinkan sang Ibu. "Yakin Umi"
"Yasudah kalau begitu, Umi mau nyamperin Abi dulu ya kesana" Ujar Ratna menunjuk ke arah jajaran pohon bunga dahlia yang disana terdapat Kasim dan dua orang pria lainnya tampak mendiskusikan sesuatu.
"Iya, Umi" Setelah kepergian Ratna yang hendak menghampiri sang suami, giliran Fathan memantau kembali gerak-gerik Maira.
Tanpa sengaja empunya yang masih berusaha mencari keberadaan calon suaminya itu bertemu pandang dalam jarak yang cukup jauh. Tetapi, tak bisa di pungkiri bahwa Maira begitu jeli membedakan wajah setiap orang. Yang kemudian mengenali dirinya ingin menyusul Fathan kesini.
"Aku pergi kesana dulu ya, mau ngambil minuman" Izin Maira kepada anak kembar, juga partner kerjanya ini.
"Oh iyaaa mba, silahkan.."
Kemudian Maira pun berlari cepat melewati sekumpulan orang di sekitarnya yang merupakan teman-teman kelasnya Arrasya dan Arrasyi. Mendatangi lelaki itu yang sekarang mengumpet kembali di balik tembok besar tersebut.
"Door" Ia mengagetkan Fathan pada tepakan tangan sangat keras di bahunya. Sementara, yang di kageti hanya menoleh melambaikan tangan kecil.
"Haii, Mai. Kapan dateng?"
"Belum lama, baru setengah jam lalu"
"O..ohh. Dia sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Kamu mau minum?" Dengan memperlihatkan gelas es yang di pegangnya.
"Iya nih, gue haus" Disaat Ia ingin menyerobot gelas es milik Fathan, lelaki itu segercep mungkin menjauhkan gelas kacanya tersebut.
"E..eh jangan"
"Kenapa, kok gak boleh?!" Tatap Maira membuat muka sejudes mungkin.
"Maksud aku, nanti biar aku ambilin. Bukannya minum dari gelas aku"
"Oohhh.. yaudah sana ambilin gih. Gue tunggu di pinggiran samping kolam renang yaa." Suruhnya dengan menunjuk titik yang dimaksud.
"Okeh. Tunggu sebentar ya Mai."
"Hemm" Kemudian Ia berjalan ke pinggiran samping kolam renang. Lalu duduk disana, yang setelahnya memandangi ke arah Fathan sedang mengambil minuman, hendak menghampiri balik dirinya. Tetapi berhenti sejenak, dikarenakan seseorang tengah mengajaknya berbicara. Membuat dia balas berucap pada lengkungan bibir menghiasi percakapannya itu.
Sekian menit Maira menunggu, akhirnya Fathan datang jua.
"Maaf yaa, Mai jadi kelamaan" Dia dengan menyodorkan minumannya perlahan.
"Gapapa kok" Sahutnya sembari menepuk paha Fathan pelan. Lalu Ia menerima gelas tersebut dan langsung menyeruput esnya dari sedotan.
Telapak tangan wanita itu masih hangat menempel di atas sebelah pahanya, menjadikan Dia cukup risih dan tak dapat bergerak sedikitpun.
Sehabis Ia minum, gelasnya pun di letakkannya di samping. Menoleh kepada Fathan yang tengah seperti patung menguncupkan bibirnya rapat.
"Lu, kenapa Than?"
"E.. enggak, gapapa kok.."
"Serius gapapa?" Ia menelaah mukanya yang bagaikan panas dingin gitu.
"Gapapa" Yang kemudian menarik kedua ujung bibirnya bersamaan.
Maira cuma mangggut singkat, lalu terdiam beberapa saat nampak memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya membuka mulut kembali.
"Oh ya, besok jangan lupa datang ke rumah guenya tepat waktu.. inget jam 10 teng! Lu udah harus ada di depan rumah gue, okey." Pinta Maira tanpa sadar menjalankan telapak tangannya di atas paha lelaki itu, seakan mengelusnya pelan.
Fathan yang kegelian dengan cepat memindahkan tangan Maira dari sana, kemudian ditaruhnya ke atas pijakan keramik kolam renang tepat diantara mereka. "Siap laksanakan Mai" Lagi, menyengir kaku.
Ohh, Ia baru sadar kenapa Fathan duduk seperti patung barusan. Jadi.. karena ulah tangannya ini toh..
11. Mutiara
"Abang langsung berangkat ke bandara ya Mai, hati-hati kamu" Kata Adam yang kini sedikit membungkuk menatap wajah adik perempuannya ini dari dalam mobil.
"Iyaa.. bang Adam juga hati-hati. Maira jalan dulu" Ia mengulurkan tangannya ringan ke hadapan sang kakak lewat kaca mobil, menyongokkan kepalanya sedikit. "Assalamualaikum." Ucapnya sembari menempelkan tumpuan tangan Adam ke keningnya.
"Waalaikumsalam."
Yang selepasnya Adam berlalu pergi. Ia pun kini masuk ke dalam sebuah toko perhiasan berukuran sedang yang letaknya tak jauh dari rumahnya itu.
Maira kemari memang tidak bersama Fathan. Karena lelaki tersebut mendadak ada meeting dari kantornya yang sudah diagendakan hingga jam satu siang. Maka dari itu calon suaminya ini menyuruhnya untuk datang duluan saja ke toko perhiasan, setelahnya dia akan menyusul.
"Selamat siang Bu, ada yang bisa kami bantu?" Ucap salah satu pegawai toko dengan sangat ramah.
"Yaa, saya mau melihat-lihat cincin untuk pernikahan" Jawab Maira melengkungkan senyum.
Oh, sebelah sini Bu kalau untuk cincin pernikahan... mari saya antar" Pegawai wanita berseragam kerja tersebut menunjukkan letak koleksi cincin yang khusus di pajang untuk para pasangan yang akan segera naik ke pelaminan itu.
Mereka berjalan ke dalam lorong kecil dari balik tirai yang tersibak rapih, sesudahnya menemukan etalase kaca bermacam-macam cincin disana.
"Silahkan bisa di lihat-lihat dahulu Bu" Pegawai toko mempersilahkannya dengan membalikkan telapak tangan.
"Iyaaa mba.."
Ia menerawang ke setiap permata yang terjejer berkilauan disana. Memicingkan netra merasakan kemewahan dari benda yang dilihatnya saat ini.
"Boleh lihat yang ini mba?" Tunjuk Maira pada cincin permata yang berbentuk belah ketupat dengan disekitarnya terdapat berlian-berlian kecil yang mengelilinginya.
"Oh, boleh Bu" Pegawai berseragam yang sejak tadi menemani Maira tengah membantunya untuk mencoba cincin yang diinginkan oleh Ia.
Saat cincin yang dipilihnya ini sudah masuk ke jari manis di tangan kirinya. Dirinya meneliti cukup serius dengan membolak-balikkan telapak tangan. "Cincin pernikahan itu kan harus senada pada mempelai prianya. Hmm, sepertinya yang ini tidak cocok" Pikirnya dalam hati dengan gelengan pelan.
"Mba, coba model yang lain" Pinta Maira memberikan cincin yang dipakainya barusan untuk diletakkan kembali ke dalam kotak persegi di atas meja.
“Baik, tunggu sebentar Bu.”
Entah, sudah berapa banyak Ia mencoba setiap cincin yang di keluarkan dari dalam etalase kaca. Di masukkan ke jari manisnya, di teliti, lalu di bolak- balikkan telapak tangannya, kemudian di keluarkan lagi cincin berlian tersebut.
"Masih belum ada yang cocok Bu, cincinnya?" Bertanya pegawai ini yang hampir kewalahan membuka beberapa etalase yang mengitarinya.
Maira mengangguk sekali. "Iya.. saya tuh bingung mba, kalau harus di sesuaikan sama mempelai prianya yang bagus tuh kayak gimana.."
Baru dirinya ingin membuka mulut lagi menjelaskan lebih detail maksudnya pada sang pegawai toko, namun ketika tak sengaja menoleh ke belakang.. pria yang di tunggunya itu kini sudah datang dan tengah berjalan pelan memasuki pembatas lorong yang Ia tadi juga lewati. Dengan cepat Maira berlari kecil menghampiri kesana.
"Fathaaannn" Teriaknya pada volume suara di sesuaikan, membuat sang empu mendongakkan kepala. Menggandeng serta menarik lengan tangannya ini.
"E..eh, Mai pelan-pelan nariknya dong" Dia menyamakan langkah kakinya dengan calon istrinya itu.
"Lama banget sih Lu datengnya.. Capek tau, gue nungguin sendirian" Cerocosnya memanyunkan bibir.
"Iya maaf deh.. tadi kan juga di jalanan macet terus ada lampu merah pula"
"Yaa.. Ya.. Yaaa." Sambil manggut-manggut Maira, paham akan keterlambatan pria itu datang kemari.
"Kamu udah selesai milih cincin pernikahannya Mai?" Ujar Fathan sembari perlahan melepaskan lilitan tangan gadisnya yang masih berada di lengan tangannya ini.
"Belum nih.."
"Loh, kamu bukannya tadi WA aku dateng ke toko perhiasaan ini jam 11 ya?.. "
Ia mendengus malas. "Memang gue datang jam segitu. Cuma.. Maira melirik calon suaminya sepintas, lalu meletakkan kedua siku diatas meja etalase di depannya, membenamkan kepala diantara kedua tangan yang terbuka lebar seraya menunduk, menilik ke arah batu permata yang membentang dari ujung ke ujung itu. Gue bingung.. merasa kayak belum ada yang cocok aja setiap nyobain cincinnya."
"Yaudah kalau gitu aku bantuin milihin cincinnya yah, biar cepet selesai.."
"Okey.." Tiba-tiba Maira beralih menatap sang pegawai toko di hadapannya "Tapi mbanya yah, yang cobain cincinnya buat saya. Dari tadi kan saya capek.. masang copot masang copot tuh cincin" Atensinya di naik turunkan penuh semangat. "Yah.. yah, mau ya mba?". Sekarang telapak tangannya disatukan layaknya memohon.
Senyuman ramah diiringi satu anggukan kecil Ia dapatkan. Dirinya pun balas tersenyum. "Sip kalo begitu" Megacungkan satu jempolnya, kemudian melirik kembali Fathan. "Sok pilihin buat gue cincin pasangan yang cocok."
"Iyaa, siap atuh Mai.."
Dia pun menunjuk setiap kotak cincin yang di pilih olehnya, kemudian dikeluarkan terlebih dahulu para kotak tersebut dan mulai menguji keanggunan cincin pernikahan secara satu persatu.
"Nih, Mai.. aku jamin kamu suka sama cincin yang kayak gini" Dia dengan menunjukkan isi kotaknya, lalu pegawai toko tadi menyematkan cincin yang terpilih di jari manis, menghadapkan tumpuan tangannya ke depan lurus tegak sejajar. Cincin perak yang terdapat hiasan berlian membentang di sisi bagian atasnya. Sebagai cincin pertama yang terpilih.
Ia menerawang sambil memegang sekilas tangan pegawai toko.
"Gimana kamu suka gak Mai?" Fathan menatap sahabatnya ini dari samping.
Menggeleng Ia, balik menatap lelaki itu. "Enggak suka.. kurang gimana gitu berliannya"
"Yowes (Yaudah), aku pilihin lagi yang lain"
Pilihan kedua muncul. Dengan Fathan memegang kotak cincinnya menunjukkan kembali ke hadapan calon istrinya tersebut.
"Aku yakin yang kali ini pasti kamu suka dan gak akan nolak.." Dia percaya diri menarik kedua ujung bibirnya menjadi senyuman. Cincin yang kedua merupakan emas murni pada model seperti tali simpul yang di sekitarnya terdapat permata-permata kecil menghiasi bagian rongganya.
"Gimana Mai.. pasti suka kan?"
Maira menggeleng lagi. "Nooo, masih kurang cocok"
Sesaat Dia mengeluarkan napas dari mulutnya. "Huh, susah ya nurutin keinginan perempuan" Benaknya berbicara.
Pada pilihan ketiga, keempat dan kelima setiapa kali Fathan menanyakan..
"Mai, gimana suka gak cincinya??.."
Pasti gadis ini menjawab. "Enggak.. enggak suka"
"Enggak.. pokoknya gue gak suka itu!"
"No.. no.. no , kurang cocok" Dengan memainkan jari-jemarinya.
Hampir meledak rasanya kepala Fathan di buatnya, namun tetap saja lelaki ini sabar menunggu keputusan dari sang mempelai wanitanya.
Sudah semua pilihan Fathan di cobakan ke tangan sang pegawai toko, tetapi belum satu pun jua yang terambil oleh Maira. Masih sibuk memikirkan jenis berlian apa yang paling bagus untuk di padukan pada kedua pasangan. Setelah tiga puluh menit lamanya berkutat, akhirnya dirinya mengatakan sesuatu..
"Baiklah, saya pilih cincin yang ini mba" Ungkapnya menunjuk ke arah cincin emas yang ditengah-tengahnya kedapatan mutiara kecil nan cantik disana.
Gubrak!!
"Kenapa gak dari tadi sih Mai milihnya" Gemas Fathan mengertakkan gigi. Yang disambut cengiran oleh gadis itu dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kan baru kelihatan mana yang bagusnya sayang" Ia justru mencubit sebelah pipi Fathan, ikut gemas menyaksikan tingkah Dia yang seperti geram, namun tak bisa berkata kasar padanya. Kemudian tertawa kecil, menghadap lagi lurus ke depan.
"Kita mau di buatin cincin model yang kayak gini pokoknya ya mba"
"Iya Bu. Silahkan di ukur dulu ukuran jari manisnya"
Tanpa izin lagi kepada pemilik jari, Maira langsung saja mengembat jari manis yang berada pada tangan kirinya Fathan. Dan di letakkan sejajar dengan jari manisnya Ia.
☆☆☆☆☆☆☆
Sebelum mereka berangkat ke lokasi foto prewedd, Maira tadi sholat Dzuhur dahulu di musholla dekat sini yang kemudian di sambung dengan makan siang di warung makan sebrang toko perhiasan.
Meski cara berpakaian Maira terlihat sangat modis, bukan berarti dirinya tidak menyukai makanan di pinggir jalan.. walau begitu Ia tetap anak rumahan yang lebih menyukai masakan layaknya di rumah bagaikan masakan bundanya sendiri.
"Kamu tumben Mai bawa tas segede gitu?" Kata Fathan yang tengah memperhatikan calon istrinya menggemblok tas besar di punggungnya itu.
"Ini tuh dalamnya baju buat foto prewedd nanti tau.." Jelasnya membenarkan letak sangkitan tas di kedua pundaknya.
"Loh, aku kok gak dikasih tau harus bawa baju sih Mai?"
"Tenang aja.. gue udah bawain baju buat Lu juga kok." Menengoknya tersenyum ringan , lalu fokus berjalan lagi menuju tempat parkiran mobil di ujung sana.
“O..oh, memangnya kamu punya baju laki ya Mai?”
"Aduuhh, nih orang bawel banget sih. Udah tau berat lagi bawa beban masih aja ditanyain" Gondoknya mengelus dada.
"Enggaklah.. mana mungkin gue punya baju laki. Gue kemaren tuh sempet beli di butik beberapa baju yang sekiranya pas buat Lu dengan konsep foto prewedd yang gue udah cari, jadi.. Mereka berhenti tepat di depan mobil fortuner milik pria itu. Nanti Lu tinggal pake aja sesuai perintah gue.. okeh"
"Eumm." Dia menganggukkan kepala pelan. "Oke."
"Cuma oke doang nih?.." Seketika dirinya menginginkan respon lebih dari pria yang bernotabene sebagai sohib yang mau diatur-atur olehnya ini sedari dulu.
“Terus aku harus ngomong apalagi Mai?”
"Yaa, terimakasih kek.. apa kek, gituu.. susah banget kayaknya cuma ngucapin gitu doang." Ia menyilangkan kedua tangan, merengutkan wajah.
Fathan tertawa kecil memandangi wajah Maira yang setiap kali memberikan kesan sebal kepadanya. Membuat dia jadi semakin cinta saja dengan gadisnya ini.
"Iya.. iyaa, terimakasih sayangku.. bidadariku.. Mairaku." Dengan tangan mengelus pelan pucuk kepalanya yang terbalut jilbab instan itu.
"Mulai lagi deh.."
12. Malu
"Kak Rio" Panggil Maira berlarian ke arahnya dengan ceria.
"Ey, Maii.. udah dateng toh." Mereka sembari cipika-cipiki gitu.
Fathan sudah mengenal siapa sosok kak Rio yang disebutkan namanya oleh calon istrinya tadi. Dia adalah seorang fotografer langganan keluarganya Maira, setiap kali mereka melakukan photoshoot bersama di hari-hari penting. Maklum karena keluarganya Maira ini merupakan keluarga besar.. jadi mereka tidak mau kehilangan satu moment bagus pun di saat sedang berkumpul bersama.
"Kak aku kemarin di WA udah bilang kan, kalo mau nyewa gaun sama baju tradisional china buat photoshoot hari ini"
"Iya say, udah disiapin kok. Yuk ikut Eke." Kak Rio memang cuman badannya saja yang kekar seperti lelaki macho pada umumnya, tetapi hati dan gaya bicaranya justru berbanding terbalik.
"Siap kak" Maira kini menarik pergelangan tangan lelaki disebelahnya agar tak tertinggal di tempat. Yang ditarik hanya diam menuruti.
Photoshoot pertama mereka di mulai pada tema pakaian adat, berupa baju tradisonal china. Ya, Maira begitu menyukai baju khas negara itu dikarenakan cukup unik baginya. Kemudian setelahnya menggunakan kebaya modern yang biasa dijadikan baju khas hampir di seluruh kota di wilayah Indonesia, terutama Bandung para orang sunda ini.
beberapa kali jepretan, sekarang mereka tengah melihat hasilnya di dalam kamera pengambilan gambar. Dirasa sudah cukup bagus, lanjut pada tema prewedd berikutnya..
Tema kedua yang terpikir di benak Ia saat kemarin memilih adalah casual. Dimana biasanya tema tersebut, menjadi tema yang paling romantis bagi setiap pasangan.
Lelaki itu sudah memasangkan setelan baju yang di berikan Maira barusan. Tatapannya memelas seakan tak suka pada baju pemberiannya ini.
"Kenapa muka Lu??.. kok di tekuk gitu?" Ia berjalan ke hadapan Fathan.
"Aku gak pede Mai.."
"Apanya yang gak pede sih.. orang bagus gini juga bajunya. Pas banget buat Lu biar kelihatan kasep" Terang Maira sembari membenarkan sedikit baju yang terpakai olehnya dengan membuka berapa kancing bagian atasnya.
"E..eh, Mai mau ngapain" Dia mencekal pergelangan tangan gadis ini.
Maira menghela napas kasar. "Bajunya tuh harus sedikit di bentuk, biar kelihatan modelnya tau" Ucapnya kini beralih pada kerah kemeja dan meraih kacamata hitam yang tergenggam di tangan Fathan, memakaikan cepat ke hadapan mata sipitnya sebagai aksesori pelengkap foto mereka.
Kebetulan lokasi pemotretan studio yang di datangi Fathan dan Maira, memang begitu dekat dengan beberapa ikon. Diantaranya ada pantai yang di belakangnya terdapat bukit hijau berbunga, dekat juga dengan para pertokoan sederhana yang di dalamnya tersulap tampak mewah, bahkan di sudut pantai terdapat resort terbaik yang berdiri megah disana.
Gadis itu yang super duper ribet dengan segala kemauannya yang tidak mungkin terbantahkan, membuat Fathan sebagai lelaki gentleman mengikuti semua perintahnya dari atas kepala hingga ke ujung kaki.
"Kak Rio ayo fotoin.. kita berdua sudah siap nih.." Teriak Maira pada fotografer andalannya yang sedang berada di bibir pantai.
"Okeh Mai.." Rio pun mendekati kedua pasangan tersebut, kemudian mengarahkan lensa kamera ke depan mereka, dan..
Cekrik!
Masih ada tiga kali sesi foto prewedd lagi. Pada photoshoot ketiga mereka memilih tema classic, seperti menyerupai orang-orang jaman dulu yang mana pemilihan tempatnya di dekat bangunan pertokoan lama di sekitar mereka.
Jujur, sebenarnya Fathan malu melakukan berbagai macam gaya di depan kamera. Karena sesungguhnya dirinya paling tidak suka di foto. Walaupun hanya sekedar foto untuk ujian sekolah.
"Please ya, bilangin calon suami you buat senyum di kamera, dan kalau bisa senyum natural.. okey beby" Perintah kak Rio kepada mereka.
"Wokeh kak" Atensi Maira langsung dialihkan pada muka pria di belakangnya yang tengah berdiri kaku ini. Secepat kilat jemarinya menarik dua sudut mulutnya secara bersamaan.
"Senyum lebar kayak biasa aja Lu senyum. Jangan kaku gitu"
"Eumm" Dia mengiyakan pada anggukan kecil.
Setelahnya mereka mengambil gambar pada rangkaian tema keempat dimana pengambilan fotonya berada di dalam studio. Tema sweetheart gitulah pokoknya. Dengan setelan baju manis yang mereka kenakan.
Dua pengambilan gambar yang berbeda, satu di atas motor pespa dan yang satu lagi duduk di bangku kayu rotan.
Dan sampailah pada tema terakhir. Dimana tema ini menjadi pilihan paling banyak di jadikan foto prewedd oleh setiap pasangan, yakni bridal. Mengenakan gaun dan jas layaknya foto formal pernikahan.
"Maaaii.."
"Heemm, apa?" Sahutnya dengan merapihkan dalaman jas yang di pakai Fathan.
"Kayaknya aku familiar deh sama model baju yang di beli kamu ini" Dia sambil berusaha memikirkan gaya berpakaian siapa yang tengah dicobanya saat ini.
Menatap Fathan sejenak, lalu membantu Dia memasangkan jas ke badannya. "Kayak bang Athar maksudnya kan.."
"Nah betul itu, mirip tuh orang" Cakapnya manggut-manggut singkat.
"Yaudah kalo Lu gak suka disamain sama bang Athar, gue minta maaf yaa.. lain kali kalau mau beliin Lu sesuatu, nanti gue tanya dulu selera Lu maunya yang kayak apa.. Oke.."
Padahal Fathan sama sekali tidak marah loh.. Tetapi, baguslah tandanya wanita itu mulai mengerti tentang dirinya yang paling tidak suka disamakan oleh orang lain.
"Iya gapapa kok Mai.."
"Nah udah kasep nih" Pura-pura Ia membuat jari-jemarinya menjadi persegi bagaikan lensa kamera yang akan siap memotret, menyipitkan sebelah mata. "Yuk, kita ke depan." Ajak Maira sembari mengangkat setengah gaunnya keatas, kemudian membalikkan badan. Berjalan mendahului Fathan.
Tanpa bersua kembali, Dia membuntutinya dari belakang.
Mereka kini berada di ruangan depan studio dekat jendela besar yang menjadi fentilasi dari ruangan tersebut.
Kesan putih pada sekitar studio nampak menggambarkan kesucian dari setiap pasangan yang akan segera naik menuju ke pelaminan.
"Ayo.. ayo kalian deketan gih fotonya, jangan jauh-jauhan terus gak baik loh"
Memang sedari tadi yang terlihat di mata Rio, dua mempelai itu seperti tidak akur atau lebih tepatnya bukan dua kekasih yang di mabuk cinta ingin segera menikah. Tak ada benih-benih asmara yang melekat diantara mereka, hanya rupanya sahabat pada umumnya jika disimpulkan.
"Siipp kak"
Maira meraih kedua telapak tangan Fathan yang di taruhnya ke sisi pinggang ramping miliknya. Lalu tangan Ia berbalik dilingkarkan ke leher jenjang pria itu.
Dia yang terkesiap memasang wajah datar menatap lekat kehadapan wajah Maira. Begitu juga Ia yang tak sengaja menatap ke wajah Fathan. Bertemu pandang dalam jarak sedekat ini.
"Aduuh kok jantung jedag-jedug gini sih.." Umpatnya membuang muka dari hadapan wajah Fathan. Tengah bersiap memasangkan senyuman patutnya orang berfoto candid.
"Wokeh siap ya... Satu.. dua.. tiga."
Cekrik!
13. 🌻75 Days Passed🌻
Tidak terasa 2,5 bulan telah berlalu.. berarti itu menandakan 75 hari terlampaui. Menjadikan dimana hari-H semakin dekat.
Seusai dari butik dan toko perhiasan untuk mengecek barang pesanan mereka, Maira dan Fathan kini beristirahat sejenak di depan toko roti langganan mereka berdua sewaktu SMA dulu. Memesan menu kesukaan mereka masing-masing. Fathan hapal betul menu andalan gadis itu, yang sebentar lagi akan berucap...
"Kang, pesan satu roti bakar cokelat nutella pake kismis ya.."
"Iya siap neng Maira.. minumannya apa neng?" Tanya kang Aji pada pembeli setia yang sudah di kenalnya sejak lama ini.
"Es soda susu aja deh Kang"
"Wokeh" Mata kang Aji beralih pada pria di sebelah eneng cantik itu. "Kalo den Fathan, pasti pesan roti bakar rasa strawberry keju kan, terus minumannya teh manis anget aja.. betul begitu bukan?" Tebak sih penjual yang langsung diiyakan oleh Fathan.
Dia tersenyum ramah. "Kayak biasa kalo saya mah Kang, gak pernah berubah menu pesanannya" Menyengir Fathan sesudahnya.
"Yaudah teh tunggu sepuluh sampai lima belas menitan yak, nanti Akang anter ke meja"
"Siap kang Aji." Maira pun melenggang pergi mendahului lelaki itu yang sepertinya tampak melihat-lihat karangan bunga di samping etalase warung rotinya kang Aji. Ya, jadi memang disini bukan hanya ada satu penjual , tapi beberapa penjual yang tempat jualannya itu disekat-sekat satu petakan gitu macam kios kecil di pinggiran kota. Kemudian di depannya terjajar rapih bangku serta kursi yang melintang di setiap sudut.
"Kayaknya tuh orang yang jualan karangan bunga baru deh disini" Pikir Maira. Karena setau Ia dulu di samping warung roti bakarnya kang Aji itu, warung gado-gado gitu, yang jual bapak-bapak.. kalo gak salah umurnya lima puluh tahunan, seumuran sama Ayahnya.
"Tapi ngapain juga ya dia jualan bunga di sekeliling tempat makanan gini. Kenapa gak punya toko bunga pribadi aja.."
Maira pun duduk di depan meja kayu persegi yang tak lama melihat lelaki itu balik membawa satu paper bag besar berwarna putih bertuliskan Lavana.. mungkin nama toko bunga tersebut.
Ia yang penasaran sedikit mengangkat kepala, menerawang ke dalam paper bag besar putih tersebut. Yang matanya hanya bisa jangkau dari arah sebrang sini bahwa di dalamnya terdapat vas hias berisikan rangkaian bunga, tetapi entah bunga apa disitu.
"Itu Lu beli bunga buat gue ya pasti? iya kan?.." Pede banget sih Maira.
Menggeleng Fathan. "Bukan.. ini buat Jinan"
Kretek. Serasa hatinya gadis itu terbelah dua.
"O..oohh , kirain hehe" Ia tersenyum kikuk, mengusap tengkuknya pelan.
"Bentar ya Mai, aku mau taro bunga ini dulu di mobil" Izinnya yang tersenyum ringan kepada sahabatnya ini.
"Yaa silahkan" Sembari mempersilahkannya sopan. "Kalau perlu gak usah balik-balik lagi Lu!" Umpatnya membuang muka ke samping. Setelahnya meluruskan pandangannya lagi.
Fathan tau calon istrinya itu pasti ilfiil, karena Dia hanya membelikan bunga untuk teman kantornya saja, sementara untuk dirinya tidak. Padahal Fathan punya maksud membelikan rangkaian bunga untuk temannya itu, bukan hanya sekedar membelinya.. melainkan sebagai hadiah ulang tahunnya sekaligus mengucapkan terimakasih karena telah banyak membantu pekerjaannya selama Fathan izin dari kantor. Memang begitulah salah satu sifat jelek Maira selama ini.. mudah iri dengan orang lain.
Berselang berapa menit, Fathan pun balik lagi ke tempat duduk barusan dengan di atas mejanya sudah tertera menu roti bakar pesanan mereka masing-masing.
Dia meneliti ke arah gadis itu yang tampak sedang menusuk-nusuk rotinya layaknya seperti orang kesal.
"Kamu kenapa Mai?" Tanyanya setelah mereka duduk berhadapan.
Enggan menjawab, Maira hanya menggeleng kecil.
Dikarenakan Fathan tidak ingin lebih jauh mencampuri rasa kesalnya gadis itu, dirinya kini lebih memilih untuk memakan roti selai stawberrynya saja. Kemudian, membuka buku note yang di bawanya dari dalam mobil tadi. Mengecek seluruh persiapan pernikahan di dalam sana yang selalu di tulisnya setiap sudah melakukan satu kegiatan, sekiranya apa-apa saja yang masih kurang untuk segera di lengkapi sebelum hari-H datang. Jika, dirasa satu-persatu list sudah terpenuhi maka Fathan akan memberi tanda centang.
"Okey, tinggal sedikit lagi berarti" Katanya lebih kepada diri sendiri.
"Mai.." Panggilnya melirik ke calon istrinya itu yang tengah fokus memainkan ponsel. Di gerakkannya ke kiri lalu ke kanan bagaikan sedang memainkan balapan di dalam sana.
"Apa?" Sahutnya malas.
"Persiapan pernikahan kita udah 90%, berarti sisanya kemungkinan tinggal list kartu undangan, beli souvenir, dekorasi di lokasi outdoor sama beberapa hal kecil lainnya yang baru bisa di telaah selesai kita dekor tempatnya nanti.."
Maira tidak menggubris perkataan Fathan, masih tetap sibuk memainkan ponselnya sesekali mengeletukkan gigi lalu membuat sumpah serapah di depan layar iphonenya sendiri.
"Mairaa.. dari tadi kamu dengerin aku gak sih?!" Nada bicara lelaki itu terdengar sedikit kasar di telinganya, menjadikan Ia menghentikan aktivitasnya sejenak dan mengalihkan pandangan lurus tepat ke wajahnya.
"Dengerin kok" Sekarang Maira justru berdiri dari kursinya, lalu berjalan memutari ke arah belakang lelaki itu. Ia melingkarkan tangan di leher Fathan sambil menenggelamkan kepalanya di bahunya. Membuat Fathan sontak kaget menoleh singkat kepada Maira.
"Coba mana sini gue liat" Pinta Maira mengambil perlahan buku note dari tangan lelaki itu. Ia membaca tanpa bersuara dengan memanggut-manggut kecil.
"Mai, bisa kali tangannya di lepasin.. gak enak di liatin orang tau" Jelas Dia merasa risih, karena ini di depan umum.
"Maaf deh" Bukannya di lepaskan lingkaran tangannya, malah dililitkan semakin erat disana, seolah ingin menyekek leher Fathan.
"Mai.. mai.. Ucap Fathan parau yang hampir kehabisan napas. uhuk.. uhuk." Yang setelahnya terbatuk-batuk.
"Upss, maaf lagi" Tutur Maira yang sekarang kembali ke kursinya, kemudian memberikan senyuman manis kehadapan lelaki itu dengan sebelah sudut bibirnya terangkat sempurna.
Fathan yang masih batuk-batuk langsung meminum teh hangatnya yang Dia sudah biarkan beberapa menit tergeletak di atas meja berubah menjadi dingin. Sedingin udara siang ini di kota Bandung. Yah, Cuaca memang suka silih berganti.. kadang panas, kadang mendung.
"Jadi, sehabis ini kita mau kemana lagi Mai?" Tawar Fathan yang ganti tersenyum pada calon istrinya yang saat ini sedang melihat wajahnya di depan kaca rias berbentuk lingkaran, kemudian di tutupnya seusai Ia menaruh benda serupa, namun tekstur bahannya kenyal layakya sponge. Fathan tidak tahu, apa itu lah namanya..
"Tadi kata Lu, kita belum beli kartu undangan dan souvenir kan?"
"Iyyaa.."
"Yaudah, kita beli itu aja sekarang"
"Okeh"
Mereka berdua pun selepas menghabiskan roti dan membayar makanan pesanan mereka di meja kasir, akhirnya pergi menuju toko souvenir pernikahan yang kekinian yang tadi sudah di cari oleh Maira melalui telepon selulernya di situs pencarian web google. Tokonya berada di jalan Cibadak dekat dengan alun-alun kota Bandung.
☆☆☆☆☆☆☆
Sesampainya disana, matanya langsung di suguhkan oleh beragam macam pernak-pernik. Mulai dari sabun handmade, lilin aromaterapi, tas ramah lingkungan, tanaman hias, sepasang alat makan dan masih banyak lagi benda cantik yang lainnya.
Kalau urusan pilih memilih itu, Maira jagonya. Ada sekitar lima ratus orang tamu undangan yang bakal hadir di acara pernikahan mereka. Meski Ia dan Fathan belum menulis siapa-siapa saja yang bakal di undang, tetapi bisa di prediksi segituanlah. Kalau di hitung dari keluarga besarnya Ayah serta Bundanya Maira saja sudah berapa kan.. belum lagi keluarga calon suaminya ini serta tetangga-tetangga mereka. Beuh, pasti banyak deh..
Maira memilih beberapa souvenir yang di tunjuknya sembari bertanya-tanya pada sang pemilik toko tentang harga dan berapa banyak buah yang ada. Sedangkan Fathan hanya bisa mengiyakan pilihan calon istrinya dengan sukarela. Walaupun yang terlihat oleh matanya sedari tadi adalah benda-benda yang nilainya cukup menguras dompet, apalagi mereka belinya tidak sedikit. Fathan memang royal dalam segala hal, namun bukan berarti dirinya juga harus menghambur-hamburkan uang melebihi kadar kecukupannya.
Setelah Ia memberitahukan berapa banyak jumlah masing-masing dari souvenir yang di butuhkan juga sudah menego harga setiap bendanya, maka di totalkan sementara semua itu. Kebetulan karena di toko ini juga menjual kartu undangan, mereka berdua pun memutuskan untuk membelinya disini saja sekalian agar tidak bulak-balik lagi keluar.
"Sekarang giliran Lu yang milihin kartu undangan" Ujar Maira yang kemudian duduk di bangku plastik, mengibas-ngibaskan tangan ke muka. Serasa panas jika hujan belum turun jua.
"Siap Mai" Fathan mengikuti perintah Maira dengan berjalan ke rak bagian kartu ucapan maupun undangan. "Hemm, bagusnya kartu yang kayak gimana ya.." Sembari memilah setiap kartu undangan yang tergantung disana. "Ahaa.. yang ini aja kayaknya bagus deh" Tangan Dia meraih selembar kartu undangan berwarna gelap yang terpampang jelas gambar juga dekorasinya yang ala-ala india gitu.
"Masnya mau sekalian di tulisin namanya gak.. buat di jadiin contoh biar lebih srek sama lembar kartu undangannya" Kata pria muda di samping Fathan yang sedang berjaga di meja kasir tengah menawarkan.
"Bentar ya A' saya kasih tau calon istri saya dulu"
"Iya sok atuh.."
"Mai, mau di buatin juga gak contoh tulisannya?.. Kata Fathan setengah berteriak dari samping meja kasir. Kalo mau langsung di buatin nih"
"Oh, boleh.. boleh." Balas Maira yang bangkit dari tempat duduknya, melangkahkan kaki untuk menghampiri Fathan di ujung sana.
"Sip" Dia memberikan lembaran undangan tersebut kepada orang yang tadi menawarkan untuk dicari terlebih dahulu cover yang sama seperti demikian di dalam komputer, kemudian segera di ketikkan nama mereka berdua serta nama kedua orang tua mereka. Karena ini hanya sebagai contoh, maka belum di beri nama penerima.
"Gimana Mai, kamu suka gak sama covernya?"
"Eumm, boleh juga" Mereka berdua pun sepakat akan kartu undangan yang terpilih barusan.
Sekarang saat yang paling mendebarkan, yakni dimana menghitung total keseluruhan dari belanjaan mereka hari ini.
"500 buah souvenir, terbagi masing-masing 100 pcs. You tadi pilih yang pertama.. sabun handmade sama lilin aromaterapi, Oe kasih diskon tadi dari tiga juta jadi dua setengah juta aja" Ini yang ngomong nci-nci china gitu. Dia ngomong sambil ngetik di kalkulator jumlah harga souvenirnya. "Terus yang kedua you pilih satu set peralatan makan yang di bungkus pake kotak.. harganya dua setengah jutaan Oe diskon jadi dua juta tiga ratus aja." Seterusnya begitu dengan pilihan ke tiga, keempat, dan kelima.. tidak lupa juga menghitung harga kartu undangannya . Hingga total terakhir di ucapkan kini oleh sang pemilik toko..
"Semua totalnya sembilan juta lima ratus"
"Apa?" Fathan di buat melongo mendengar penuturan sang pemilik toko. "Gak salah tuh, cuma beli souvenir dan kartu undangan aja udah habis segitu" Imbuhnya dalam hati.
"Udah Lu tenang aja souvenir sama kartu undangan, gantian biar gue yang bayar" Maira seketika mengeluarkan kartu debitnya dari dalam dompet hitamnya itu. Ia tau bahwa uang yang selama ini dikumpulkannya demi menantikan liburan panjang menuju Seoul, Korsel bersama kedua sahabatnya kelak, harus terpakai jua saat ini.. mau bagaimana lagi, daripada nantinya Ia ditanya oleh Bundanya, Arinda tentang apakah dirinya ikut patungan atau tidak untuk pesta pernikahannya, lebih baik Maira berinisiatif duluan untuk memberikan uangnya secara cuma-cuma.
"Mai, gak usah.. biar aku yang bayar aja" Fathan sebagai lelaki merasa tidak enak hati bilamana uang calon istrinya juga ikut terpakai untuk membayar keperluan pernikahan mereka.
"Udah gapapa" Kartu atm nya pun sudah tergesek. Maira merupakan orang yang paling tidak suka berhutang, makanya Ia tidak punya sama sekali kartu kredit.
Ayahnya, Sani juga mengajarkan sejak kecil kepada anak-anaknya itu.. bahwa berhutang bukanlah hal yang baik, kecuali ketika kita dihadapkan dalam suatu situasi yang mendesak yang mana tidak memungkinkan lagi untuk menopang hidup.. itu di perbolehkan, tetapi tetap harus segera melunasinya. Jika, tidak.. mana tau kalau kita sudah di alam yang berbeda dan belum sempat melunasinya serta orang yang dihutanginya tidak ikhlas, maka hidup kita pun di alam sana juga tidak akan tenang sebelum hutang itu dilunasi pihak keluarga ataupun di ikhlaskan saja oleh orang yang di pinjamkan dananya.
"Oh ya, nanti juga biaya sewa lahan yang setengahnya masih kurang.. biar gue aja yang nambahin kekurangannya.. Okey."
☆☆☆☆☆☆☆
Fathan menggeser pelan transmisi manual mobilnya yang berada diantara jok pengemudi dan penumpang. Mereka telah sampai di depan rumah sakit tempat Maira bekerja.
Kebetulan hari ini Ia mendapatkan giliran shift sore, makanya Maira menyuruh lelaki itu untuk langsung mengantarkannya saja kemari.
"Mai.." Panggil Fathan ketika dirinya hendak membuka pintu mobil.
"Kenapa?" Ia menengok ke arah Fathan.
"Ini buat kamu" Dia menyodorkan kotak bermanik-manik jingga dengan hiasan pita senada di pinggirannya. Kotak yang di pegang Maira ini semacam kotak hadiah ulang tahun. Padahalkan hari ini bukan hari ulang tahunnya.. lantas kenapa Ia di beri kado??
"Ini apaan isinya? kok berat banget sih"
Dia tersenyum simpul dan berkata. "Coba aja kamu liat sendiri nanti dalemnya apa.."
"Okedeh. Yaudah gue jalan kerja dulu yaa.. hati-hati Lu bawa mobilnya, jangan ngebut-ngebut"
"Iyaa Mai"
Setelah menyampaikan sepenggal kalimatnya barusan, Maira keluar dari dalam mobil dan bergegas menuju koridor rumah sakit. Ia yang merasa penasaran apa isi dari kotak tersebut dengan cepat membukanya yang masih berada di genggaman tangannya itu.
"Apaan nih" Ia memicingkan mata pada benda yang dilihatnya sekarang. Depannya adalah jarum jam, namun terdapat di dalam ukiran kayu yang cukup tebal. Di tengahnya ada belahan yang sepertinya bisa di buka. Maira perlahan membuka belahan itu dan ternyata di balik ukiran kayu ini, ada rangkaian bunga-bunga mini yang di lapisi kaca, sedangkan di sampingnya ada foto mereka berdua, saat mereka sedang mengujungi chinatown beberapa waktu lalu.
"Jadi dia.. beliin gue juga ternyata di toko bunga tadi"
Tiba-tiba Maira memegangi lehernya yang terbalut jilbab segi empat yang di pakainya tersebut. "Aduh tadi kan gue sengaja nyekek lehernya Dia.. kasian dong" Katanya meracau di sepanjang koridor rumah sakit.
"Ah, tapi bodoamatlah.."
14. Dia Lagi!
Menuju H-3 menjelang hari akad pernikahannya. Kedua keluarga calon pengantin sepakat untuk mengadakan pengajian di kediaman rumah keluarga mempelai wanita.
Semua begitu sibuk dengan perannya masing-masing. Bundanya, Arinda saat ini sedang menghitung jumlah nasi kotak yang di pesan, apakah jumlahnya sudah sesuai mengikuti banyaknya tamu undangan atau belum. Lalu, Bude Ratna alias calon ibu mertuanya sedang memasukkan kue dan beberapa buah ke dalam kotak-kotak kecil untuk di jadikan pelengkap dari kotak nasi di sebrangnya yang di bantu oleh kedua kakak perempuannya, yakni Zalia dan Fatimah. Kemudian ada abangnya, Adam yang kini sedang membantu Maira menyusun kue bolu di atas piring sebagai hidangan nanti saat pengajian akan di mulai. Sementara, Ayah dan Paman Kasim sibuk mengurusi halaman rumah yang kini sedang di gelar tiker, hambal dan benda semacamnya.
Sebenarnya juga ada beberapa ibu-ibu tetangga dekat rumahnya yang ikut membantu, yaaa.. walaupun sejujurnya lebih banyak rumpinya sih di bandingin ngebantuin mereka.
Tak sengaja netra Maira menangkap dua insan yang sudah tidak asing lagi baginya. Mendatarkan wajah ketika melirik ke wanita di sebelah calon suaminya itu.
"Huh, Dia lagi!" Batin Maira serasa kesal memandanginya.
Fathan datang ke kediaman rumah kedua orang tua calon istrinya ini memang tidak sendirian. Seorang wanita menemaninya kini.. yang tidak lain adalah Jinan, teman kantornya. Fathan sebelum kesini tadi sempat menjemput temannya dahulu, dikarenakan Dia tak mengetahui jalan menuju rumahnya Maira. Bukan Ia yang sengaja membuat Jinan berkunjung kemari, tetapi Uminya, Ratna yang mengundangnya begitu saja. Menjadikan Jinan juga tidak enak jika menolaknya, sedangkan Fathan hanya mengikuti perintah dari Ibunya saja. Wanita ini sudah cukup dekat pada keluarganya Fathan, beberapa kali Ia ajak main kerumahnya ketika mereka sama-sama mengerjakan tugas kantor bareng.
Dua Ibu-ibu rumpi kini mendekati ke arah Maira. "Neng, itu calon suaminya yah?" Kata Bu Ike tetangga persis disebelah rumahnya ini.
"Iya, bu." Ia menoleh kepada Bu Ike, tersenyum ramah.
"Kok ganteng banget sih neng, calon suaminya" Ibu Ike sambil liatin Fathan dari jauh, mesem-mesem gitu. Demen kali nih ya, ibu-ibu...
"Ahh, biasa aja kali Bu." Dalam hati Maira. "Idih, muka jelek kayak itik buruk rupa aja di demenin.. aduuhh sih Ibu teh matanya gak bisa bedain mana yang cakep mana yang jelek yak, Ck." Tanpa sadar Maira menggeleng sembari mendecakkan lidahnya pelan.
"Neng, kenapa atuh kok geleng-geleng gitu?" Sekarang gantian Bu Wati yang ngomong. "Enengnya lagi sakit kepala ya?"
"Eh" Maira menoleh kembali, tetapi kali ini sembari pura-pura memijat kepalanya kencang. "Iyaa nih Bu, tiba-tiba kepala saya pusing hehe" Bohongnya supaya gak kelihatan kayak orang aneh. Setelahnya menyengir kecil.
Seusai di tinggal kedua Ibu-ibu rumpi barusan, juga Abangnya, Adam yang meminta izin kepadanya untuk balik ke kamar dahulu ingin mengambil ponsel, membuat Maira hanya tinggal sendirian disini hendak menata kue bolu lapis di atas piring kaca. Pandangan Maira masih tidak lepas memperhatikan Fathan dengan teman kantor wanitanya itu yang saat ini sedang membantu calon ibu mertuanya serta tengah bercakap bersama kedua kakak perempuannya, sesekali tertawa kecil. Entah, apa yang mereka bicarakan.
Sungguh menyebalkan!.. melihat mukanya saja sudah malas, ditambah lagi mendengarkan tawaannya yang sok jaim di sebrang sana.
Maira yang semakin meradang menyaksikan tingkah Jinan dari sini seakan menjadikannya naik pitam. "Maen nyosor-nyosor aja tuh cewek, pake gandeng tangan Fathan lah, nepuk bahunya segala-lah, menatap wajahnya pake mata sok cantiknya itu!" Tapi, emang benar sih.. kalau di samakan dengan Maira, diibaratkan Ia cuma sekedar angsa putih di tepi danau sedangkan Jinan adalah burung merak di dalam sangkar emas yang kalau di kepakkan sayapnya pasti berkilauan bahkan saat di terpa sinar matahari. Berbeda jauh bukan?...
Antara setengah sadar atau enggak sadar banget, Maira kini melahap satu persatu kue bolu lapis di kotak terakhir yang seharusnya Ia sudah susun rapih di atas piring kaca, namun malah Ia makan bagaikan orang kesetanan. Masih terus berpusat memandangi ke objek yang sama.
Arinda yang mengamati tingkah laku anak bungsunya itu dari tempatnya berpijak, langsung menghampirinya cepat. Melayangkan pandangan ke kotak kue di depannya, membelalakkan mata. "Yaa, ampun Mairaaaa!" Ujarnya sambil menggeplak bahu kanan putrinya untuk menyadarkan Ia yang terus-terusan melahap kue bolu lapis yang hampir tersisa setengah loyang disana. "Kamu ini laper apa rakus hah?.. masa iya, mau dihabisin semua. Ini kan harusnya kotak terakhir yang buat di jadiin hidangan di ngajian nanti, Bunda udah hitung pas loh.."
Oke fix dia malu.. karena saat ini semua pasang mata tengah tertuju kepadanya. Menilik seksama ke dirinya dan Bundanya, Arinda. Tau kan, bagaimana kalo orang tua sudah ngomel-ngomel, bacotnya pasti sudah tak tertolong...
Maira menengok hati-hati ke hadapan Arinda. "Maaf Bunda, aku kebanyakan makan kuenya hehe". Cicitnya memeluk pinggang Bundanya singkat yang sedang berdiri disampingnya itu, lalu selepasnya mendongakkan kepala terkekeh pelan.
Ratna yang mendengarkan pembicaraan mereka soal kue barusan, seketika balik berkata kepada sepasang perempuan yang memiliki hubungan darah itu.. yakni, ibu dan anak disana. Jarak mereka berdua dengan tempat yang Ratna duduki ini tak begitu jauh, hanya di halangi oleh peyangga tangga dan beberapa kursi di hadapannya. Calon menantu dan besannya itu berada di depan meja makan sekarang.
"Yaudah gapapa atuh jeng Arinda, biar di beli lagi aja sama Fathan" Tutur Ratna melirik kepada putranya yang tengah menggabungkan sisi-sisi kertas duplex yang di jadikan sebagai box dari hidangan kue dan buah pelengkap kotak makanan. Dia mengiyakan perkataan Ibunya sopan.
"Iya Umi, biar Fathan aja yang beliin kuenya" Dia pun berdiri bersiap menjalankan amanat dari orang tua di hadapannya ini.
"Oh ya, ajak Jinan juga ya Than.. siapa tau kamu butuh bantuan nanti"
Baru Jinan akan membalas pernyataan dari Ibunya Fathan, gadis di sebrang sana sudah menyelaknya duluan pada telapak tangan sedikit terangkat.
"Kalau gitu biar Maira saja Bude yang bantuin Fathan" Ia mengembangkan senyuman kepada Ratna yang saat ini ikut tersenyum.
"Yowes, kalau Maira mau mah ndak apa-apa"
"Iyaa, Bude" Sekarang Maira berjalan cepat memarani calon suaminya itu yang bakal berjalan mendahuluinya, namun sebelum berhasil pergi Ia sudah melilitkan tangannya duluan di lengan milik Fathan. "Kalau begitu kita jalan dulu.. Assalamualaikum." Pamit Maira ceria kepada mereka disekitar ruangan itu.
"Waalaikumsalam." Mereka membalas ucapan salam Maira.
Ia pun mengeratkan lilitannya sehingga menempel lengan tangan diantara mereka berdua agar terlihat oleh teman kantor wanita calon suaminya itu untuk memberitahukannya kalau Fathan hanya akan menjadi miliknya seorang kelak... atau lebih tepatnya bisa disebut jadi pesuruhnya mungkin. Sama seperti halnya yang selalu dirinya lakukan dulu, sewaktu SMP hingga Kuliah hanya mau membuat diri lelaki disebelahnya ini menjadi alibinya saja.
Jinan yang kala itu sudah mengawasi dari jauh tersenyum sinis dari arah belakang. Dia jelas sudah tau, bahwa perempuan sok baik disana memang sedang memanas-manasi dirinya ini dengan segenap upaya apapun yang Ia bisa lakukan. Meski Jinan terus-menerus memperhatikan mereka bagaikan jealous berapi-api, tetapi dirinya tetap berusaha calm down.
Mereka sudah masuk ke dalam mobil. Fathan menghidupkan mesinnya, kemudian melajukan mobil pada kecepatan maksimal.
Tak lama setelah melewati beberapa blok perumahan, lalu tikungan di ujung blok terakhir, mereka pun sampai pada lampu merah di jalan raya. Berentilah sejenak mobil fortuner hitam ini.
Maira melirik Fathan yang sedari tadi hanya duduk diam pada pandangan lurus ke depan. Memainkan jari-jemari di atas setir seperti diketuk-ketukkan cepat kemudian menghela napas yang terdengar cukup berat. Tumben lelaki ini tidak sama sekali menanyai Ia.. biasanya omongannya suka ngalor ngidul kalau sudah bersama dirinya.
Sejujurnya Fathan sedang mengalami gejala nervous di akibatkan waktu akad yang semakin dekat, di tambah lagi calon istrinya ini malah membuntuti dirinya terus, sehingga rasa gelisah itu timbul dua kali lipat lebih banyak dari biasanya.
Lampu merah masih belum menyudahi sorotannya. Ia yang tampak kebosanan hendak memainkan tangan menjadi teropong bintang seakan-akan ingin menerawang keluar angkasa. Kebiasaan gabut membuat Maira selalu menemukan cara seru untuk menanggulangi setiap keadaan dimanapun kapanpun.
Teropongnya kini beralih ke wajah lelaki di sampingnya itu. Meninjau setiap inci bagian wajah calon suaminya ini. Jadi kepikiran.. soal perkataan ibu-ibu tadi yang seketika berlalu lalang mengisi rongga kepalanya ini.
"Mending di teliti aja kali ya, biar lebih ngeh (memahami)"
Bagian pertama yang terekam oleh teropong tangannya Maira adalah matanya lelaki ini. "Sipit.. oke juga" Lumayanlah seperti tipe kesekian pacar idamannya.
"Eitss, tunggu.. tunggu" Ia menggeser teropong tangannya sedikit keatas. Hampir saja melewatkan bagian di atas mata, yaitu dua garis melengkung yang setiap orang pasti punya karakternya tersendiri. "Hemm.. alisnya kalau di lihat-lihat lumayan tebel juga" Maira tahu kalau Fathan sedari dulu gak pernah tuh yang namanya nyulam alis atau pake pensil alis. Alisnya tebal secara alami.
Selanjutnya, bagian kedua yang menyatu pada wajahnya yaitu, hidung. Maira berpikir sejenak. "Heemm sedikit mancung sih" Berusaha lebih dekat melihat ke depan hidungnya. "Gak ada pori-porinya pula, bersih" Tipe pacar idaman kesekian yang mementingkan kebersihan diri sendiri. "Goodlah pokoknya"
Teropong Maira bergeser sedikit ke arah kanan, meneliti telinga milik pria itu. "Kupingnya gak caplang yaa.. berarti okelah perfect"
Dan bagian terakhir pada wajahnya, merupakan bibir.. yang terkadang bisa menjadi daya tarik seseorang. Bibir lelaki itu kini pada kondisi datar terbentang lebar. "Kalau di perhatikan bibirnya sih mendekati kata sempurna.. tipis, warnanya juga merah jambu tidak hitam lah ya.. secara dia kan gak ngerokok" Perempuan mana sih yang tidak mau dengan lelaki yang bebas dari asap rokok. Hidupnya saja terawat, apalagi pasangannya kelak.
Tinggalah Maira sekarang mentotalkan keseluruhan hasil dari uji riset yang di terawangnya ini. "Emm.. kalau di bilang ganteng banget.. kayaknya enggak deh" Ia sembari menggelengkan kepala kecil. "Tapi.. kalau di bilang setengah ganteng.. Masih tetap fokus pada subjek yang berada di depannya. Bolehlah.. boleh.."
Fathan merasa bahwa dari tadi sepertinya calon istrinya ini tengah melakukan sesuatu bilamana terlihat dari sisi sebelahnya, namun dirinya tidak bisa mengetahui secara pasti apa yang sedang di lakukan, karena dia terus menghadapkan wajahnya ke depan.
Begitu penasaran akhirnya Fathan beranikan diri menoleh cepat kehadapan calon istrinya. Mendapati Maira sedang menyatukan kedua tangan membentuk lingkaran besar, layaknya sebuah teropong.
"Oh my God.." membuat yang di tatap memberikan kesan gelagapan, buru-buru menyudahi tingkah absurdnya, membuang muka ke arah luar jendela. Kaget bukan main dirinya, laju jatungnya sekarang berdetak tak menentu.
"Kamu tadi habis ngapain Mai?" Bertanya Fathan masih menatap kepadanya ini yang malah menutup sebagian wajahnya menghadap jendela mobil. "Ngeliatin aku ya.. hayoo ngaku?" Antara dia yang kepedean atau tersipu.
Telak sudah Ia ketahuan. "Apaan sih, siapa juga yang ngeliatin Lu.. geer banget!"
Fathan hanya merespon perkataan calon istrinya itu dengan dengusan geli seakan jawabannya barusan mengatakan... memang benar Maira telah memperhatikannya dalam diam.
Lampu merah menghilangkan sorotannya, berganti warna menjadi hijau. Fathan mulai menjalankan mobilnya kembali, fokus lagi menyetir.
Mereka membeli kue di tempat yang sama seperti membeli kue bolu lapis itu sebelumnya. Mengambilnya beberapa buah, agar kalau kurang mereka masih punya banyak cadangan untuk di keluarkan.
Sesudah membeli kue bolu lapis tersebut, Fathan dan Maira balik ke rumah mempersiapkan diri mengikuti serangkaian pengajian yang sudah turun temurun dilakukan hakikatnya baik bagi setiap pasangan yang ingin menikah. Katanya sebagai permintaan restu kepada kedua orang tua serta biar dirahmati oleh Gusti Allah, kelak pernikahannya akan langgeng.
☆☆☆☆☆☆☆
Tak lama berselang beberapa waktu, pengajian yang tadi di buka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, lalu ada pula tausiyah dari seorang Ustadzah berisikan tentang petuah atau nasihat-nasihat yang menyangkut masalah pernikahan, juga ada iringan shalawat dan terakhir doa penutup.
Selesailah pengajian yang berjalan dengan khidmat, kini waktunya mereka bersalam-salaman sebelum esok melakukan siraman untuk kedua mempelai di kediaman rumah masing-masing.
"Semoga lancar ya ndok sampe hari-H." Tutur Bude Ratna, selaku calon ibu mertuanya yang sekarang tengah memeluk Maira dengan elusan punggung begitu lembut penuh kasih sayang.
"Aamiin.. InsyaAllah bude" Jawab Ia dalam pelukan Ratna.
Keluarga calon mempelai pria hendak ingin pulang, yang sebelum itu bertemulah dahulu mereka berdua, Fathan dan Maira di depan teras rumahnya ini.
"Mai.."
"Apaan?" Sahutnya menyenderkan badan ke samping pilar besar penyangga depan rumahnya.
"Kamu jaga kesehatan ya Mai, jangan sampe sakit" Nasihatnya sembari menautkan jari-jemarinya sendiri yang saat ini mengelantung di bawahnya.
"Heeemmm.. iyaaa tau kok"
"Yaudah, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya Mai.."
"Eumm" Ia dengan memberikan satu anggukan kecil.
"SAMPAI BERTEMU DI PELAMINAN.. DAAAHH MAIRAA." Lelaki itu berujar kencang tepat di telinga kanannya, menjadikan Maira yang mendengar langsung mengusap dalam telinganya cepat. Menatap tajam kepada empunya yang sudah berlari kabur menuju pintu gerbang.
"Eh, gue enggak budek kali.. sakit nih kuping gue" Lagi, balas berteriak Maira cemberut, masih mengusap indra pendengarannya ini.
Fathan membalikkan badan, lalu berjalan mundur perlahan tersenyum merekah ke hadapan gadisnya itu. Tidak membalas perkataannya barusan, justru memberi salam perpisahan.
"Assalamualaikum" Penuh semangat Fathan berbalik badan, kemudian berlari kembali melewati pintu gerbang menuju mobil fortuner hitam yang terparkir di luar.
"Waalaikumsalam"
Setidak sabar itukah sahabatnya ingin menghalalkan dirinya??.. apa jangan-jangan ini rencananya yang sudah lama terpendam?.. Maybe.
15. Persiapan
Dari kediaman keluarga Maira sudah ramai para sanak saudara berkumpul saling membantu persiapan menjelang siraman yang diadakan siang hari ini. Keluarga dari pihak Ayahnya, Sani yang menetap di Bandung maupun pihak Bundanya, Arinda yang berasal dari Bandung bahkan ada juga dari luar kota, ikut hadir dan telah menginap sejak semalam. Makanya rumah gadis ini begitu heboh penuh suara anak-anak balita, remaja, orang dewasa.. semuanya lebur jadi satu di pagi ini. Bayangkan betapa riuhnya seisi rumah, semua bak kapal pecah sekarang.
"Sih cantik yang besok mau nikahan udah mandi belom nih?" Kata Ayahnya, Sani menyongok dari dinding depan yang menghubungkan pintu kamar dengan kamarnya tersebut. Kebetulan pintu kamar gadis ini, terbuka lebar.
Maira yang sedang duduk di depan meja riasnya menoleh kepada sang Ayah sambil tersenyum ringan, lalu berkata. "Udah kok yah.."
Sani menghampiri anak bungsunya itu, kemudian duduk di pinggiran kasurnya yang sekarang berhadap-hadapan dengan Maira.
Ayahnya memandangi dirinya penuh dengan kasih sayang. Meraih sebelah telapak tangannya sembari menepuk-nepuknya pelan. "Maira kalau udah berkeluarga dan nanti tinggal dirumah sendiri.. tetap sering main ya ke rumah. Terus ingat, kalau udah berkeluarga itu sikapnya harus lebih dewasa lagi, ucapannya pun juga harus di ubah jangan ngomong kasar dan sembarangan, karena anak kamu kelak akan menjadi pribadi seperti ibunya" Nasihat Sani yang begitu menyayangi Maira, apalagi putri bungsunya ini masih sangat manja kepadanya dan Arinda, meski umurnya sekarang sudah menginjak 28 tahun.
Maira menaruh telapak tangan yang satunya lagi di atas tumpuan sang Ayah. "Pasti Ayah, Maira bakal sering main ke rumah dan berusaha merubah sikap buruknya Maira" Ia berganti posisi duduk, kini duduk di samping Sani. "Ayah jangan khawatir, sekuat yang Maira bisa buat jadi istri yang terbaik nantinya, yang gak akan nyusahin suaminya dan selalu nurut sama suami" Ia memeluk Ayahnya erat, seperti enggan rela untuk pergi meninggalkan kedua orang tuanya, karena harus melukakan pernikahan yang jelas-jelas dari awal bukan keinginannya. Namun, mau bagaimana lagi jika nasi sudah menjadi bubur.
"Aamiin, semoga kamu lebih bisa memaknai hidup ketika sudah berumah tangga ya, Nak" Sani dengan mengelus rambut anaknya lembut. Sementara, dirinya mengangguk dalam pelukan sang Ayah.
"Yaudah, kamu siap-siap gih.. bentar lagi kan waktunya siraman" Ucap Ayahnya, mengembangkan senyumannya.
"Siap.. laksanakan, Yah" Maira ikut tersenyum.
Selepas peninggalan sang Ayah keluar dari kamarnya, kini secepat kilat seorang wanita berambut sebahu dengan perawakan tinggi dan badan sekurus ranting pepohonan masuk ke dalam kamarnya. Berlarian kearahnya.
"Ya ampun, mba Mai.. kangen sumpah" Kata Indah sembari memeluknya sekilas.
"Sama Zheyeeng" Ia balas memeluknya.
Indah adalah adik sepupu dari keluarga bundanya yang paling dekat dengannya ini, serta sering Ia ajak jalan kemanapun kalo dirinya lagi suntuk. Tentu, dia maulah kalau Maira yang mengajak jalan, orang dikasih fee mulu dia. Indah baru sempat datang pagi ini dikarenakan kemarin dirinya harus melakukan ujian komprehensif di kampusnya, tetapi sesudah ujian semalam mereka sempat video callan. Membuat fakta mencengangkan yang baru wanita berambut sebahu itu ketahui tentang sesuatu di pernikahan Maira ini.
"Lu serius mba, mau nikah sama mas Fathan?" Seketika mulut lebarnya menguak soal keterkejutannya semalam mengenai pembahasan tersebut.
Maira mendengus malas."Mau bagaimana lagi, besok sudah akan terjadi"
"Lu mah jahat mba.. bilangnya sukanya sama mas Athar, eh tapi nikahnya sama mas Fathan. Gimana sih??" Sebal Indah duduk menyilangkan kakinya di atas kasurnya Maira. Yaa, Indah beberapa kali memang pernah Ia ajak ke rumah calon suaminya itu dulu untuk sekedar menemani kegabutannya saja. Beberapa kali menatap lelaki itu, Indah langsung naksir kepadanya.. cuma sayang perasaannya belum sempat tersampaikan.
"Gue mah emang sukanya sama bang Athar kan. Ia bicara sambil menatap wajah sepupunya ini. Cuman gimana lagi.. yang ngelamar gue sih kutu kupret satu tuh.. jadi, terpaksa deh gue harus menerima lamarannya akibat desakan juga dari bonyok (bokap, nyokap) sama ketiga kakak gue" Maira teringat lagi, hari dimana dirinya tengah dilamar Fathan sahabatnya kala itu.
"Kok gitu sih tetiba ngelamar Lu aja. Kenapa gak ngelamar gue aja coba. Rasanya udah capek skripsian mau nikah aja gue nih" Indah membuat wajah frustasinya mengingat ketikan skripsinya yang baru revisian bab 1, itupun belom kelar-kelar.
Maira tertawa meledek. "Yeh, bocah.. baru segitu aja nyerah Lu. Gimana dunia kerja nanti, lebih pelik cuy" Ujarnya dengan mengacak-ngacak rambutnya Indah.
Yang digituin hanya mendesis sebal, merapikan poni rambutnya kembali pada jari-jari tangannya. "Eh, tapi gimana tuh Mba.. kalau Lu menikah sama dia, cuma gak ada rasa cinta?" Yakin bisa bertahan tuh pernikahan Lu?"
"Entah, gue juga gak tau" Balasnya bersamaan dengan naiknya kedua bahunya cepat. "Tapi yaudah gampang itumah, tinggal cerai aja kalo gak cocok " Lagi, Maira yang tidak mau ambil pusing memikirkannya.
Indah justru tersenyum puas kehadapan Maira. "Yaudah pokoknya kalau Lu sampe cerai, nanti mas Fathan biar buat gue aja, okey." Dia masih sambil membayangkan jika dirinya akan menggantikan posisinya Maira kelak sebagai istri dari orang yang paling di taksirnya itu. Pasti Indah bakal bahagia kalau menikah dengannya bukan?..
Maira menggelengkan kepala dengan decakkan di mulutnya. "Ck..ck, yeee terserah Lu. Ambil aja sono, gue gak butuh dia"
"Beneran loh yaaa"
"Iyee, Indah sayaaangg"
"Yeess, sip." Balas Indah yang sekarang malah rebahan di kasurnya Maira dengan memainkan ponselnya ini. Sedetik kemudian bangun dari posisi ternyamannya, menatap sepupu perempuannya pada pandangan cemas. "Tapi.. kalau Lu sampai gak jadi bercerai sama mas Fathan gimana dong nasib gue mba?"
Maira memutar bola matanya malas, menggeleng pada ketukan. "Itu sih derita Lu kali yaa, syukurin aja deh" Katanya dengan nada meledek.
"Dih, Lu mah gitu banget sih mba.. jahat" Indah dengan menyilangkan tangan dan memanyunkan bibir.
"Maira, ayo siap-siap.. bentar lagi siramannnya di mulai" Teriak Bundanya, Arinda seketika dari lantai bawah yang kini di teriaki balik oleh dirinya.
"Iyaa Bunda, aku lagi mau pakai kainnya ini" Ia pun bergegas mencari kain motif batik di dalam lemari yang di taruh Bundanya kemarin disana. Lalu, menarik kainnya setelah ketemu di cari. Segeralah Maira menuju kamar mandi.
Dikarenakan Maira mengenakan hijab, sebelum dipakaikan kainnya di lapisi dahulu dengan manset kaos kemudian barulah melilitkan kain tersebut ke badannya. "Woy ndah, bantuin gue ngapa" Ia berujar sembari menyongokkan kepala di belahan pintu kamar mandinya. Sedikit susah ternyata untuk memakai kain batik ini sendirian.
"Hellow, indah.. tolong bantuin gue, bisa kan?" Indah begitu sibuk pada ponselnya sehingga tidak menghiraukan pintaan darinya.
"Indaaahhh.. Lu denger gak sih gue bilang apa barusan!" Sepupunya belum menggubrisnya jua membuat Maira geram mengertakkan giginya tersebut.
"Iyaa.. iya gue bantuin, elah bawel banget dah Lu." Dia berjalan menghampiri kakak sepupunya ke dalam sana.
"Abisan Lu ngeselin!"
Sesaat sampai di dalam kamar mandi, Indah mulai cerocos lagi. "Lagian pernikahan Lu ribet banget sih mba.."
Memang betul pernikahan dirinya akan jadi pernikahan teribet menurut Ia. Dahulu pernikahan kedua putri Bundanya itu, sebelumnya yang diadakan tak seribet pernikahan putri bungsunya ini. Pernikahan Zalia dan Fatimah dulu lebih ke gaya modern dan sesimpel mungkin. Sementara, Maira dengan percampuran kedua adat antara Sunda dan Jawa membuat keluarganya untuk pertama kali melakukan siraman sebagai rasa bentuk mengormati leluhur yang turun-temurun melaksanakan ritual tersebut.
"Tau tuh keluarga gue" Ungkap Maira yang beralih menyanggulkan rambutnya setelah kain terpasang sempurna. Sedangkan Indah sekarang membantu melebarkan kerudung segi empatnya, lalu di bentuknya perlahan.
"Nikah mah harusnya tinggal ijab kabul aja, kenapa malah susah-susah banget yak" Celotehnya menatap kaca westafel kamar mandinya.
Seusai Maira mengenakan hijabnya, ritual adat siraman pun satu persatu dilaksanakan. Dengan pelaksanaan yang pertama ada yang namanya Ngecakeun Aisan (biasanya calon mempelai wanita dari dalam kamar digendong secara simbolis oleh sang ibu, sementara sang ayah berjalan di depan membawa lilin menuju tempat sungkeman), lalu ada Ngaras (sebagai izin calon mempelai wanita yang dilanjutkan dengan sungkem juga mencuci kaki kedua orang tua), selepasnya melakukan pencampuran air siraman oleh kedua orang tuanya, serta siraman dan proses akhirnya ada Ngerik atau potong rambut, namun hanya memotong sedikit helai rambutnya untuk mempercantik diri katanya. Bahkan, tidak lupa melakukan acara pemakaian henna yang merupakan tradisi pernikahan yang sudah dilakukan sejak turun temurun sebagai mempelai wanita di keluarganya ini.
☆☆☆☆☆☆☆
Menuju tempat kediamannya Fathan. Sebagaimana mestinya mempelai wanita melakukan siraman, mempelai pria pun juga pasti melaksanakan siraman. Hanya saja tidak terlalu baku urutannya, seperti siraman yang dilakukan oleh mempelai wanita umumnya.
Diawali dari sungkeman pada adat jawa. Merupakan permohonan restu yang diutarakan langsung oleh sang mempelai pria di hadapan kedua orang tuanya kini.
Fathan menyatukan kedua tangan dan menempelkannya di kening, kemudian membuka mulutnya hendak berucap..
"Mohon restunya Umi, Abi.." Seraya menunduk dalam. "Saya akan menikah dengan seseorang pilihan saya. Doakan kelak agar saya bisa membangun keluarga yang harmonis seperti Umi dan Abi membangun keluarga kita. Walau saya sudah menikah esok, tetap tegur dan nasihati Fathan, jika ke depannya masih ada kesalahan yang Fathan perbuat"
Air mata Ratna merembes kepelupuk matanya, tengah mengelus rambut anak lelaki keduanya ini yang paling menurut jika dirinya nasehati. Air mata bahagia, melihat anaknya besok bakal memiliki pemdamping hidup yang Ia pilih sendiri dengan hati nuraninya.
"Umi, merestukan kalian. Apapun pilihan Fathan itu yang terbaik.. Umi doakan selalu agar kalian bahagia dan memiliki keturunan yang soleh solehah.." Ratna berkata sembari terus mengelus rambut anak lelakinya.
"Aamiin" Jawab Fathan mendongakkan kepalanya tersenyum ringan.
Giliran Kasim, Abinya yang memberikan nasihat. Ikut membelai surai anak lelakinya pelan. "Kamu yang sabar toh Le, dalam berumah tangga. Semua pasti ada suka dan duka yang kamu jalani nantinya. Berusaha bahagiakan istrimu selalu, mencoba mengerti perasaannya jika mana dia sedang marah. Jangan pernah mengambil tindakan yang salah, ketika kalian bertengkar" Tutur Kasim yang begitu mengenal watak anak keduanya ini.
"InsyaAllah, Abi.. sekuat yang Fathan bisa menangani yang terbaik soal perkara rumah tangga saya kelak"
Sesudah sungkeman, dilanjutkan dengan siraman yang dijalankan penuh dengan khidmat.
Esok, hari baru akan tiba. Dirinya berharap kebahagiaan akan selalu datang menghampiri ke dalam perjalanan rumah tangganya bersama pendamping hidup yang Ia cintai. Semoga ini menjadi akhir pilihan yang tepat baginya.

JANGAN LUPA COMMENT AND LIKENYA!
MAAACIW! :))
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
