Sassy - Messy (Bab 5-6)

186
46
Deskripsi

Guys maaf kemarin ada kesibukan lain jadinya baru bisa aku matangin hari ini. Ada dua bab ya. Aku harap enggak diskip-skip karena banyak informasi cukup penting. Selamat membaca!

Bab Lima

 

"Your blanket lho, Me. Jangan dipakaikan yang itu malah panas, pakai yang tipis, ambil yang agak tipis."

Aku menghela napas lelah sebelum mengayun kaki ke walk in closet untuk mengambil selimut yang lain.

"Lha gitu. Wis Oma tak keluar, Nonik biar tak suruh buatin lemon madu."

"Dia tidur gini kok."

"Ya diminum nanti kalau kebangun malem-malem. Biar ditaruh di kettle."

Oma tidak perlu bantuanku untuk mendorong kursi rodanya sebab jika dibantu, dia merasa seolah tidak bisa apa-apa dan seperti sudah sangat tua, katanya. Paahal kan memang begitu kenyataannya. Oma ku itu benar-benar ajaib.

Aku terduduk di ranjang lagi, membenahi selimut pada tubuh yang bergelung nyaman di tengah-tengah tempat tidur.

Tanganku terulur menyentuh dahinya yang kini sudah berkeringat. Terasa dingin, tidak sepanas tadi namun wajahnya masih terlihat pucat.

Jadi, hari lalu saat Lumi bilang padaku jika ingin menginap, bocah itu tidak benar-benar melakukannya. Dia bilang, Barak mengomel-omel.

Tapi tadi, Uma mendapat telepon dari Barak yang bertanya sekaligus meminta tolong agar Lumi menginap di rumahku karena adiknya itu tengah demam sementara Barak ada jadwal di rumah sakit. Jadilah kami semua mengiyakan dan Lumi datang ke mari diantar kakaknya dalam keadaan lemas.

Lalu berakhir di sini, menguasai ranjangku.

"Me, masih panas?"

"Udah nggak, keringetan dia."

"Jangan nyalain AC lho ya."

Uma dengan mudah masuk karena pintu kamarku sudah terbuka, dibawanya sebuah baki dengan di atasnya ada teko elektrik, satu buah lemon, satu botol madu, lalu juga dua buah gelas.

"Kalau kebangun nanti bikinin ini."

Aku mengangguk-angguk saja. Baki tersebut kuambil alih dan aku letakkan di nakas.

"Lemonnya jadiin dua aja terus madunya dua sendok, sekalian kamu bikin juga. Tapi udah minum obat kan tadi sebelum tidur?"

Aku mengiyakan. "Makanya nyenyak banget dia."

Tubuhku bergeser begitu Uma mendekat pada ranjang untuk menyentuh dahi Lumi, dirapikannya juga rambut panjang gadis itu yang menempel di sekitaran pipi karena keringat.

"Alhamdulillah udah turun demamnya."

Beginilah ibuku, walau terkadang galak tapi jangan ragukan jiwa keibuannya.

"Lha dulu gimana ya dia kalau pas sakit gini tapi ditinggal kakaknya ke rumah sakit?" Uma bergumam. "Makanya ibunya bilang sama Uma kalau sebelum ini ngebatin terus. Tapi sayangnya beberapa bulan lagi pindah lagi mereka."

Sebelumnya aku memang melamun, tapi jelas bisa aku dengar ucapan Uma barusan dan berhasil dibuat bingung karenanya.

"Maksudnya?"

"Kata ibunya, Barak itu lagi bagun rumah di Gunungkidul sana, tapi masih proses belum bisa ditempati jadinya kemarin masih nyewa terus sekarang ngekos sementara di sini."

Begitu, ya...

Kenapa aku tidak diberi tahu?

Ah, tapi memangnya apa kepentingannya memberi tahuku?

"Bapaknya kan dari Gunungkidul, rencananya mereka mau tinggal berdekatan di sana, sementara kakaknya yang perempuan itu stay di Surabaya."

"Uma akrab banget sama Tante Juli kayaknya..." entah kenapa fakta ini membuatku senang, seperti ada sebuah harapan yang aku sendiri tidak mengerti secara jelas hal macam apa yang aku harapkan.

"Iya lah, satu frekuensi kok kita. Udah kamu lhang bobo juga, Me. Musim sakit ini, cuacanya lagi begini. Istirahat yang bener, sama itu lho ... olahraga, kok makin bulet aja kamu Uma lihat-lihat. Ya nggak apa gemukan, malah gemes aslinya Uma, tapi nggak pernah olahraga kok kamu ini Uma lihat. Mbok ya tubuhnya dijaga, pagi-pagi habis subuh olahraga kek, jangan kebanyakan begadang, makanmu juga gorengaaan terus. Mbuh lah, Me. Pusing Uma mikir kamu. Lihat itu perutmu, jemblingnya kayak bocil. Nggak apa badan berisi tapi olahraga. Lihat Buyamu dulu ruajin olahraganya sama makannya sehat-sehat sampai tua sekarang sehat, bugar, seger, awet muda."

"Terus Uma?"

"Uma juga, lah!"

Halah, padahal Oma sering sekali membuka kartu dan katanya ibuku dulu juga jembling dan sedikit berisi sepertiku ini, kok. Malas olahraga, makan terus, ya pokoknya benar-benar cerminanku.

"Jadi Meme mau diceramahin apa disuruh tidur?"

"Kalau Uma ngomong itu dari kuping kanan kiri dimasukkan ke kepala, diingat-ingat, jangan masuk dari kanan keluar lewat kiri. Denger nggak?"

"Hmm.."

"Mulai besok habis subuh olahraga gitu lho, jogging kek, sepedahan, senam kecil-kecil. Alat olahraga juga banyak itu punyanya kakakmu."

"Oke."

"Oka oke aja."

Aku diam, selain Oma, yang tidak bisa kubantah tentu saja ibuku ini.

"Pusing puol Uma."

"Ya udah sana minta disayang-sayang sama Buya."

Uma keluar dari kamarku sambil mencak-mencak dan mungkin karena suara pintu yang cukup keras, Lumi sedikit terusik dan akhirnya ... bangun.

"Hngggh..."

Mata Lumi terpejam rapat sebelum akhirnya membuka secara perlahan, gadis itu menatap ke suatu arah, ganti memandangku bingung. Sepertinya dia masih berada antara sadar dan tak sadar.

Baru setelah beberapa detik, akhirnya dia mulai paham.

"Je.."

"Udah enakan?"

Lumi mengangguk-angguk, tangannya terangkat menggaruk kepalanya secara kasar dan mulutnya membuka amat sangat lebar untuk menguap.

Kok bisa ya seberantakan itu tapi tetap cantik?

"Cuma pusing dikit sama tenggorokanku masih nggak enak. Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak.

"Setengah sepuluh," aku menjawabnya sembari bangkit, memanaskan air dengan teko listrik yang tadi dibawa Uma. "Jangan tidur lagi dulu, aku bikinin lemon anget."

"Ih, iya, seger banget pasti."

Pasti Barak walau sengak begitu aslinya luar biasa sabar, bagaimana tidak? Adiknya semanja ini. Ya, aku juga kadang manja, sih.

"Makasih ya, aku ngerepotin orang serumah."

Sembari menunggu air mendidih, aku berbaring di sampingnya dan detik berikutnya Lumi memeluk tubuhku erat bagai guling. Sebenarnya, aku susah tidur jika tidak berada di dekat tembok, tapi karena bocah ini sedang sakit, mau tak mau aku harus merelakan sisi itu.

"Sama-sama. Santai aja, enak kan di sini?"

Dia mengangguk-angguk semangat.

"Hawanya adem banget."

"Di belakangnya sawah soalnya."

"Enggak gitu, Je. Maksudnya adem tuh, vibes-nya gitu loh. Orang-orangnya, suasananya. Jadi keinget sama rumahku di Surabaya."

Aku tersenyum saja. Sebenarnya banyak yang bilang begini, bukan hanya satu dua. Aku pikir, mungkin ... karena Uma, Buya, serta kakakku ramah dan penuh perhatian? Atau bisa juga karena rumah ini sangat akrab dengan ayat suci, terutama Uma dan Oma, keduanya teramat rajin mengaji di rumah.

Bahkan andai sekarang aku keluar kamar, pasti suara mengaji Oma bisa terdengar sebab biasanya nenekku itu selalu menyempatkan membaca Al-Quran sebelum tidur sampai mengantuk.

"Kangen ya?"

"He'eh ... udah berapa bulan aku nggak pulang, kakakku sibuk banget, sih."

Tapi katanya sebentar lagi orangtuanya akan pindah ke Gunungkidul, kan? Aku ingin bertanya tapi kok kesannya kepo, padahal aslinya ingin tahu lebih banyak tentang mereka.

"Dia bolak balik dari rumah sakit, toko, studio, ngecek progress rumah."

Nah, akhirnya Lumi menyinggung itu. Aku tidak menyiakan kesempatan ini, jelas saja langsung ku serobot.

"Rumah? Jadi, kakak kamu bangun rumah?"

"Di Gunungkidul, bapakku juga. Jadi nanti kami semua tinggal deketan di sana. Sementara yang di Surabaya ditempatin kakakku yang perempuan tuh, inget nggak? Sekarang udah punya anak dia."

"Kak ... siapa? Lupa."

"Jalila."

"Iya, keponakan kamu umur berapa kalau boleh tahu? Cewek? Cowok?"

"Lima belas, cowok."

"Udah SMP dong berarti?"

"Yup, tapi bongsor banget."

Aku meringis, ini yang seusia Buya sudah pada punya cucu, sementara Buya ku ... duh, ya Tuhan aslinya aku juga pengin sekali segera menikah dan punya anak, tapi apalah daya belum menemukan yang srek. Eh, sudah sih, tapi sayangnya belum nganu.

"Kamu sekeluarga kan pada tinggi-tinggi banget, Miw."

"Tapi kakakku nggak gitu tinggi kok."

"Tapi masih mending dari pada aku."

"Kamu imut! Gemes banget. Kadang aku pengin gitu, punya badan gemes-gemes begini, tapi apalah daya..."

"Bersyukur aja, sih."

Lumi cuma menggerak-gerakkan kepalanya dan sekarang ganti memainkan rambutku. Sudah ku bilang, anak ini benar-benar seperti bocah.

"Miw..."

"Hm?"

"Tadi katanya kakak kamu bolak-balik RS, toko, itu toko apa maksudnya? Sama studio?"

"Dia punya toko keramik, tembikar, di Jogja sana ya kayak piring, gelas, vas, mangkuk, perabotan gitu, deh. Sama punya studio workshop keramik. Udah ada hobi di sana sejak SMA, diterusin sampai sekarang, makanya sampai kayak nggak minat lanjut ke pendidikan spesialis, padahal sama bapakku udah diwanti-wanti kalau pengin lanjut cepetan dilanjut, mana udah tiga dua usianya dia sekarang. Belum nikah-nikah lagi."

Ah, ini sebenarnya too much information tapi sungguh, aku lebih menyukai ini. Kepolosan Lumi benar-benar bagai berkat buatku.

"Mana kocak banget tiap pacaran ada aja halangannya, dulu pacarnya beda agama, habis itu putus kan, terus punya pacar lagi ceweknya problematik parah, keluarganya juga sama aja, jadinya ya nggak disetujuin sama Bapak—"

Oke, ini benar-benar terlalu banyak, Lumi sudah di luar nalar polosnya. Tapi justru aku memanfaatkannya untuk menggali lebih dalam.

"Problematik gimana?"

"Papinya petinggi perusahaan, kena kasus korupsi, sampai sekarang masih ditahan. Search aja Doni Suroso, nanti keluar tuh infonya," desis Lumi. Dia menarik kaosku dan berbisik lagi. "Mana dia tuh apa ya, kayak ... susah jelasinnya tapi sejak sama si cewek itu kakakku kayak jadi orang yang beda, murung banget, susah dinasihatin, susah salat, bener-bener ngejauhin kami, sinting emang. Sering berantem sama Bapak, bahkan sering malak uangnya Bapak yang nggak sedikit buat si cewek itu, baru setelah Ibuk aku sakit, stress, nangis terus gara-gara mikir dia, akhirnya sadar tuh. Udah lama sih itu, ada kali lima tahunan. Sekarang alhamdulillah banget udah lepas dari hubungan toxic gitu, udah balik kayak dulu, bahkan dua tahunan ini jadi alim banget dia, kalau luang salatnya selalu di masjid, suka ngaji, sering salat malam, puasa, balik lagi jadi anak yang penyayang sama Bapak Ibuk, apalagi sama Ibuk. Dia dari dulu paling deket tuh sama Ibuk, padahal ... padahal Ibuk bukan yang lahirin dia. Duh, kan! Aku tiap inget masalah itu pasti nangis."

Aku terkejut, cepat-cepat mengubah posisi dari telentang menjadi miring menghadap Lumina. Tanganku terulur mengusap bahunya sementara Lumi masih terisak sambil sesekali terkekeh.

"Itu airnya udah mendidih. Nanti aku curhatin."
 

***
 

Sedari tadi yang terdengar hanya suara tarikan napas Lumi ketika aku meracik minumannya dalam diam. Tanganku memang bekerja cekatan, namun perasaanku rasanya justru campur aduk.

"Kamu nggak bikin sekalian?"

"Lagi nggak pengin."

"Makasih, ya."

Lumi menata bantal di belakangnya supaya dia bisa duduk menyandar, sementara aku kembali berbaring.

"Seger banget."

"Uma tiap ada yang flu pasti dibikinin lemon madu."

"Care banget Uma, aku tuh tiap lihat ibu-ibu gitu pasti langsung keinget sama Ibuk."

Kami diam lagi, aku menatapnya yang meminum lemon hangat dengan tenang. Yah, kalau sekilas dilihat, pasti kebanyakan orang menilai Lumina sebagai wanita anggun mengingat gurat wajahnya sangat ayu dan dewasa, ditambah lagi proporsi tubuhnya yang indah banget.

Tapi kalau dia sudah bersuara ... duh! Jangan ditanya, deh.

"Je..." Lumi memanggilku, menggantung di sana sebab kemudian dia beringsut menaruh cangkir ke atas nakas. Sedang tak lama kemudian, dia ikut berbaring menghadapku.

"Udah, nggak nangis lagi?" ledekku yang dijawab cengiran olehnya.

"Hih! Tapi bener loh, tiap inget masalah itu pasti aku bawaannya pengin nangis aja. Bener-bener kayak masa tersuram di keluargaku, Je."

"Mau cerita?" aku bertanya lembut. Tidak kok aku menawarkan bukan sebab untuk memuaskan rasa penasaranku. Cuma, barangkali dia bisa merasa lebih baik kalau menceritakan masalahnya.

"Bayangin misal kakak kamu, sebelumnya kamu jadiin role model saking kagumnya kamu sama dia. Sebelumnya kamu puja-puja karena dia kelihatan banget sayangnya sama kamu, sama keluarga kamu. Tapi dalam beberapa bulan tiba-tiba dia berubah kayak orang yang nggak kamu kenal, pasti hal itu jadi patah hati terbesarmu sebagai adik kan, Je?"

Pelan, aku mengangguk.

"Nggak pernah aku lihat keluargaku sebegitu suramnya, padahal dulu pas Ibuk keguguran pas aku masih kecil, orang-orang masih bisa saling menguatkan. Tapi waktu itu, bener-bener gelap, ibaratnya rumah kami dirusak sama salah satu pemiliknya sendiri. Tiap hari adaaaa aja masalah, nggak ada sehari aja tanpa Bapak sama Kak Barak adu mulut, nggak ada hari tanpa Ibuk aku nangis. Puncaknya pas Kak Barak pergi dari rumah sama si kunti, Ibuk nguamuk, dia datangin tuh si cewek sundal itu, Ibuk marah-marah, nuntut si cewek buat balikin uang kami. Ini bukan masalah duit, tapi paham kan ya?"

Aku mengangguk lagi.

"Tapi kakakku yang pas itu lagi sinting-sintingnya itu malah balik marahin Ibuk. Pertama kalinya, bener-bener pertama kali Kak Barak bentak Ibuk seumur hidupnya, Bapak bales ngamuk, andai aku nggak jerit-jerit paling rumah udah jadi ring tinju, yakin banget," jika tadi cuma matanya yang memerah, Lumi kini kembali mengeluarkan seduan.

"Bapak suruh kakakku pergi, udahlah terserahmu mau hidup kayak apa aja katanya. Dan mungkin karena saking parahnya tekanan batin jadi imunnya lemah kan, Ibuk sakit-sakitan, nangis terus. Aku yang pas itu ngamuk sama Kak Barak, bahkan aku ancam dia, mending aku mati dari pada kehidupanku, masa remajaku dirusak sama kakak begini, mending kakak bunuh aku aja daripada kakak ngerusak rumahku. Akhirnya dia pulang, nengok Ibuk. Disuruh Bapak pergi dari rumah nggak mau, sampai nggak tahu gimana tiba-tiba dia minta maaf sambil nangis-nangis. Ya namanya orangtua ya, Je, Bapak sama Ibuk udah jelas maafin. Gila banget cuma gara-gara sundal sok kecakepan keluargaku jadi berantakan banget. Sekarang si cewek baru beberapa bulan lalu keluar dari rutan gara-gara KDRT ke anaknya sendiri, nggak tahu gimana kok ya ditahannya cepet banget."

"Dia udah nikah berarti?"

"Enggak. Anaknya ada bapaknya nggak ada. Pas ada kabar itu aku sekeluarga kaget kan, takutnya ... takutnya itu anaknya Kak Barak apa gimana karena usianya pas banget dihitung dari pacaran sama kakakku kan, tapi Kak Barak udah sumpah-sumpah kalau nggak pernah tidur sama perempuan mana pun dan katanya si sundal itu dulu pernah dia caught lagi sama om-om, tapi bloon banget kakakku emang, mauan aja dimanipulasi jadinya masih maafin aja. Lagian kalau pun memang anaknya kakakku pasti dia minta tanggung jawab lah."

Aku sedari tadi diam bukan karena apa, tapi karena saking terkejutnya. Benar-benar lidahku kelu, menjabarkan perasaan pun rasanya teramat sulit.

Jadi tidak ada yang bisa aku lakukan selain hanya memasang telinga baik-baik.

"Sekarang syukur banget dia bener-bener balik kayak dulu bahkan lebih lebih lebih keren. Makanya kemana aja pasti aku kintilin tuh kakakku, masa bodoh dikata posesif atau annoying sama cewek-cewek yang deket sama dia. Takut banget kalau dia ketemu cewek yang salah lagi, Je."


 

Bab Enam

 

Karena sedang halangan, aku tidak berangkat ke pesantren untuk salat subuh. Tapi tadi Lumi sempat membangunkanku meminta mukena sebelum akhirnya aku mengorok lagi dan sekarang, pukul tujuh kurang sedikit aku baru bangun!

Lumi sudah tidak lagi berada di kamar, mungkin anak itu masih di sini bersama yang lain atau bisa jadi sudah dijemput kakaknya, entahlah.

Yang pasti aku sikat gigi dan bebersih dengan tergesa yang walau aku ada jam mengajar ketika siang nanti, tapi semalam Uma kan sudah memberiku ultimatum. Baru hari pertama loh, tapi aku sudah gagal.

Tapi bagaimana, dong. Setiap haid begini pasti rasa malasku bertambah berkali lipat, belum lagi rasanya lemas, perut tidak nyaman.

"Lho, kan! Ndoro baru bangun."

Sindiran itu dari siapa lagi kalau bukan Oma. Nenekku yang terlalu sering meraung-raung minta cicit itu duduk santai di depan televisi yang menayangkan berita pagi.

"Sakit lho perutnya Meme, Omaaaa ... lagi mens."

"Jadi tiap hari kon mens?"

Nenekku lahir serta besar di Surabaya dan hingga setua ini, logatnya tidak juga hilang.

Aku menyengir-nyengir saja.

"Udah pada sarapan? Lumi dah balik?"

"Belum. Di dapur dia bantu Uma sama Mbak masak sarapan."

Mbak Erni, beliau cuma bertugas untuk memasak makanan. Ya cuma datang di jam mendekati jam makan saja. Sejak dulu Uma tidak memperkerjakan ART tapi sekarang karena tenaganya berkurang, mau tak mau kami mendatangkan tukang masak dari ndalem. Sementara untuk bebersih, kami juga punya cleaning service langganan.

Berlagak peka, aku hendak beranjak ke dapur untuk bantu-bantu, tapi Oma malah menyeru supaya aku memberi makan ikan-ikan dan ayam hiasnya.

Jadi Oma itu punya ayam, lebih tepatnya ayam kapas, lumayan banyak ada lima ekor. Dan apa beliau bertanggung jawab? Tentu saja tidak sebab semuanya dilimpahkan padaku. Yang memberi makan, membersihkan kotoran, sementara Oma cuma mengelus-elus saja dan mengawasi.

Katanya dulu, "Daripada cucu-cucu ku belum ada yang mau kasih cicit ya wis aku tak pelihara ayam. Kuapok kon sekarang ngurus petekku."

Kalimat itu Oma utarakan dengan licik bak nenek-nenek jahat di sinetron.

"Dah habis semua, ambil pakan yang baru di lemari itu loh, Me."

"Mana?"

"Di atas! Makanya olahraga, pull up pull up itu lho biar balunganmu molor."

Mana ada tulang molor? Tapi aku diam saja, menarik kursi dan aku naiki supaya bisa meraih pakan ikan dan ayam.

"Hih kok ya bisa ada bocah nguampleng mbah-mbah. Lihat ta, Me. Ada anak mukuli wong tua, ck. Kok ya isa ... anak sekarang ini lho, saking pada dimanjanya jadinya semena-mena, mau menang sendiri sekali nggak dituruti nguamuk-ngamuk. Lihat'en Me, sukur dia dilaporkan. Tuman itu, kebiasaan, sukurin kan dipenjara. Mau jadi apa itu, masih muda kok berulah. Mbok ya belajar yang puuuinter, kerja yang rajin. Kon sugih lak seneng, pinter, sugih, ngaji salat yang rajin. Wis, bahagia dunia akhirat."

"Hmmm..."

"Lihat wajahnya, Me. Baru gini nuangis-nangis nyesel, pas nakal aja gegayaan."

"Hmmm..."

"Kenapa sih, Mam? Ada apa?"

Syukur sudah ada Uma, setelah pakan berhasil aku dapat, aku segera turun dan mengembalikan kursi ke tempat semula.

"Ini lho, Nik. Lihat ta, bocah-bocah mukulin orang tua, sukurin sekarang nangis-nangis dibekuk polisi."

Meninggalkan sepasang ibu anak itu, aku bergegas ke taman samping yang sudah seperti kebun binatang itu, tapi baru saja melewati pintu, sebuah suara membuat langkahku membeku.

"Dokter Amrita itu dokter langganannya Oma, udah cocok banget. Kalau Buya ya sukanya di Dokter Rizal."

Argg! Kenapa dia sudah muncul sepagi ini? Tidak kah aku diberi napas dulu? Aku baru bangun, lho.

Oke, baik...

Sampai kapan aku berlagak jadi bak remaja cemen begini? Aku sudah dewasa, harusnya bisa lebih tenang mengendalikan perasaanku.

"Sarapan udah jadi, Me?"

Aku menoleh, detik itu juga pandanganku bertabrakan dengan Barak tapi detik berikutnya segera aku alihkan pada Abuya.

"Belum, masih disiapin."

"Kamu mau apa?"

"Tuh, ayam!" daguku menyentuk pada ayam-ayam yang anteng sekali bergerombol di reremputan.

"Ayam kapas ya itu, Buya?"

Oh, jangan heran kalau Barak memanggil ayahku dengan panggilan 'buya' juga sebab beliau memang dipanggil demikian oleh kebanyakan orang.

Buya Ghani, Uma Rara. Panggilan tersebut sudah familiar.

"Iya. Punyanya Oma itu. Dapatnya pas masih kecil, dulu ada tujuh, yang dua dicuri. Pas gerbangnya bukaan, ayamnya di halaman gini."

"Bahkan pencuri pun masih sampai hati datang ke tempatnya Buya?"

Mereka terkekeh, asyik sekali ya. Sementara aku di sini dengan dikerubungi ayam.

"Ya gimana, Le. Namanya manusia kalau sudah nekat. Dulu kamu sama adikmu tinggal berdua, aman?"

"Alhamdulillahnya aman."

"Sarapan, Mas. Ayo sarapan dulu, Nak Barak. Uma sama yang lain masak bubur ayam."

Suara Uma menginterupsi keduanya. Dan kenapa cuma mereka yang dipanggil? Sementara aku?
 

***
 

Tadi pagi, aku melihat wajah Barak terlihat lelah, mengantuk, matanya merah dan kantungnya teramat jelas terlihat.

Lalu siang ini sehabis dia ikut Dzuhur di masjid pesantren dan menemui kakakku di ndalem. Wajahnya sudah terlihat lebih segar walau tentu, kantung matanya masih kentara.

"Di sini aja? Nggak mau masuk?"

"Nggak usah."

"Kak Gilang masih di pesantren, bentar lagi balik."

"Iya tadi udah janjian."

Sabar, Meme...

Aku mengatakan mantra itu dalam hati. Dia luwes-luwes saja kok bicara dengan Buya, kakakku, juga para sepuh serta lelaki lain, jadi mungkin saja benar yang dibilang kakakku jika Barak bisa jadi memang segan.

Omong-omong, aku penasaran sekali soal apa yang akan dibicarakan Barak dengan kakakku. Kak Gilang cukup terbuka kok, tapi sejauh ini dia tidak bilang apa-apa soal Mubarak.

Aku pamit padanya, tanpa bilang kalau ingin ke dapur membuatkannya minuman.

Teh melati? Oolong? Teh hijau? Atau kopi? Atau jus? Atau minuman botolan? Atau sirup?

Aku kebingungan sendiri yang pada akhirnya, memilih untuk membuatkan kopi sebab kata Buya, kopi buatanku itu medhok, enak, sedap.

Lalu kuenya ... kukis kalengan? Kue-kue basah? Atau kue kering?

Pada akhirnya aku menaruh kue-kue basah yang terdiri dari potongan lapis legit, putu ayu, lemper, serta kue ku ke piring. Jangan heran sebab di ndalem, stok kue-kuean begini harus tersedia banyak sebab kerap kali kedatangan tamu.

Sudah ku bilang kalau rumah kebesaran ini tidak pernah sepi.

Aku mengangkat baki dengan dada berdebar. Kira-kira Barak tahu tidak ya jika kopi ini buatanku? Lalu apa tanggapannya nanti? Sudah aku cicip dan rasanya enak kok.

Nanti pokoknya aku harus bertanya Kak Gilang.

"Dib!"

Langkahku memelan begitu melihat Adiba yang berjalan tergesa, wajahnya tampak kaku dan ketika aku menyerukan namanya, gadis itu sedikit berjingkat.

"Astagfirullah, ngagetin!"

Aku menyengir.

"Gugup amat kenapa, sih?"

"Hm? Oh, aku ... itu ... aku mau ambil berkas proposalnya anak-anak semalam aku cek ketinggalan di kamar," Adiba berlalu begitu saja tanpa aku sempat bertanya.

Tapi ya sudah, dia memang lebih sibuk dariku apalagi akan ada proyek majalah yang akan dia garap.

"You dah makan belum?" aku sedikit menoleh, menyeru padanya.

"Udah!"

Akhirnya aku melangkah lagi, sekarang agak cepat namun masih terkesan hati-hati. Dan belum juga sampai pada pintu, di depan sana aku melihat Mubarak yang berjalan seperti hendak keluar.

Cepat-cepat aku memanggilnya.

"Dok!"

Ya, aku belum mengubah panggilan itu.

Dia menoleh kecil disusul tubuhnya yang berbalik.

"Mau ke mana?"

"Mau ngobrol sama kakakmu di pesantren."

"Aku udah bikinin kopi," suaraku bergetar ketika mengatakannya tapi semoga dia masih mendengar.

Dan benar, Barak berjalan mendekat kembali.

"Nggak perlu repot-repot harusnya..."

"Kasih suguhan ke tamu apa salahnya?"

"Kok kayak sama siapa?"

Maksudnya?

MAKSUDNYA?

Aku menggigit bibir dalam, tanganku rasanya sudah mulai tremor.

"Tapi makasih, biar aku minta kakakmu ke sini."

Ah!

Aku meletakkan baki itu di meja beranda dengan sedikit bergetar dan meninggalkannya dengan perasaan berbunga. Mati-matian aku menahan senyum yang aku lampiaskan dengan baki yang aku peluk erat-erat di depan dada.

Tidak jauh dari posisiku Adiba keluar dari kamarnya dengan tangan kosong, aku menatapnya begitu pun dia, dan karena kurasa aku akan semakin salah tingkah jika terus memandang sepupuku itu, tatapan mataku teralih acak yang berhenti ke sebuah lemari kaca yang di dalamnya ada banyak barang-barang keramik.

Sejenak, aku tertegun. Teringat kembali ucapan Lumi kemarin malam.

Barak punya toko keramik sekaligus studio workshop.

Dan Adiba ... aku ingat dulu Adiba pernah menawariku ikut workshop namun ku tolak mentah-mentah sebab kemalasan mendominasiku. Namun sepupuku itu masih kukuh berangkat sendiri dan itu dia hasilnya, barang-barang yang kini dia pajang dengan cantik.

Sekitar dua tahunan lalu ... di Jogja...

Apa jangan-jangan tempat yang dikunjungi Adiba adalah milik Mubarak? Itu sebabnya kemarin Barak sempat melirik Adiba sebab mereka pernah berjumpa?

Aku melirik Adiba lagi yang sekarang berjalan membelakangiku, hendak entah ke mana.

"Adiba!"







 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Sassy Messy
Selanjutnya Sassy - Messy (Bab 7)
147
24
Barak Meme nonton teater bawrenk! Dan si abwang buanyak gaya pokoknya.Mulai bab ini aku lock, ya. Dan mulai sekarang, babnya tersedia ekslusif cuma di KaryaKarsa aja. Selamat membacaaa
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan