
2k words dulu, besok aku kasih dua bab sekaligus. Keiii?
Bab Empat
Aku sudah sebesar ini, hampir seperempat abad aku bernapas dan bohong sekali kalau sebelumnya aku tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta.
Cinta pertama aku rasakan ketika duduk di kelas sepuluh Madrasah. Ketika itu, ada kakak kelas tampan sekaligus pengurus organisasi sekolah yang menurutku luar biasa mempesonanya. Aku menjadi penggemar dalam diam, merasa kalau kisahku adalah novel remaja sedang aku sebagai pemeran utama yang menjadi pengagum rahasia. Tapi sayang, endingnya mengenaskan. Aku tidak mungkin berpacaran dan lelaki itu lulus lebih dulu tanpa tahu kalau ada aku yang menjadi pengagumnya.
Aku dengar, dia baru saja menikah. Good for him.
Lalu yang kedua, lima tahun lalu yang berarti ketika usiaku masih sekitar dua puluh tahun. Bilal namanya. Kami saling mengenal karena dia adalah putra dari kerabat Buya dan yah ... lagi-lagi kisah tersebut berakhir menyedihkan karena dia menerima perjodohan dengan perempuan lain dan kini setahuku, mereka sedang menanti kelahiran anak kedua.
Jika kisah yang pertama itu masih aku anggap cinta monyet, maka yang kedua adalah patah hati terbesarku sejauh ini. Aku ingat ketika kabar pernikahannya mencuat, berhari-hari aku bangun dengan mata bengkak setelah semalaman menangis. Aku merasa menjadi perempuan paling menyedihkan. Bahkan dengan lupa dan bodohnya, aku pernah beranggapan kalau larangan pacaran adalah penghambatku untuk mendapat cinta. Itu dulu dan sekarang aku menyesalinya, sekarang tiap teringat malah aku akan merutuk diriku sendiri karena malu.
Dan kini, aku tidak menyangka kalau akan merasakan lagi debar-debar gugup tapi menyenangkan ini, dan penyebabnya adalah sosok yang padahal baru beberapa hari aku temui.
Tanpa tahu, tanpa paham, tanpa mengerti. Andai saja aku bisa menanyai jantungku serta bagian-bagian lain diriku yang mendesir-desir ketika melihatnya, maka aku akan menuntut jawab. Tapi sayangnya, aku tidak bisa.
Yang aku tahu, aku suka melihat wajahnya yang rupawan itu, aku melemas ketika menghirup aroma wangi dirinya, perutku tergelitik ketika aku mendengar suaranya.
Ah, tidak kok. Aku manusia waras, biarpun kami sudah mengenal sejak dulu, tapi aku tidak menaruh suka sedikitpun padanya ketika aku kecil. Tentu saja, lah. Di mataku dahulu, dia hanyalah anak besar yang menyebalkan, beda jauh dengan kakakku yang manis dan perhatian.
Dan ketika kami sama-sama dewasa, perasaan ini muncul begitu saja. Sosok dewasanya mempesonaku walau masih dia semenyebalkan dulu.
Dan itu terjadi di pertemuan pertama kami setelah belasan tahun terpisah. Baru kemarin, beberapa hari lalu.
"Dib!"
"Hm?"
"You percaya nggak sih sama cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight kayak di novel-novel."
Dengan mulut penuh donat yang belum dia kunyah sepenuhnya, Adiba melirikku, dia tidak langsung menjawab melainkan mengunyah makanannya lebih dulu dengan anteng dan anggun, tanpa tergesa sama sekali.
Oh, omong-omong, kami berdua sedang 'patroli' di gazebo taman sementara di aula pesantren sana, para tamu dan siswa sedang mendengarkan tausiyah dalam rangka walimahnya Yusuf.
"Cinta ... nggak tahu. Tapi kalau tertarik, bisa banget."
"Pernah?"
"Nggak."
Aku mencebik, sepupuku ini bisa dibilang sangat tertutup, dia sepantaranku tapi tidak pernah aku mendengarnya curhat masalah cinta padahal aku selalu laporan padanya kalau ada apa-apa. Maklum lah, kedua saudaraku laki-laki dan aku kadang malu kalau banyak bercerita pada Uma atau Oma, jadi lariku ya ke Adiba.
Dia jadi saksi bagaimana aku dulu menangis-nangis dan hilang semangat karena putus cinta.
"Suka sama cowok lagi?"
Lagi, katanya?
Aku berdecak, melirik Adiba sinis.
"Mulutmu kayak aku naksir orang tiap bulan sekali."
Dia tertawa kecil.
"Berarti udah beneran move on dari Bilal, nih?"
"Dari dulu keles, sejak dia nikah, sejak itu aku udah mati-matian lupain dia dan nggak ada usaha yang sia-sia," dulu aku menganggap kalau diriku ini gadis paling patah hati sedunia tapi sekarang, aku sudah ada di titik malu dengan diriku sendiri tiap teringat perilaku tersebut.
"Mungkin karena kalian nggak banyak berinteraksi juga, jadinya gampang. Karena katanya ... katanya loh ya, yang bikin kita susah lupa sama seseorang itu ya kenangannya."
Aku manggut-manggut.
"Kan cuma jadi secret admirer."
"Sekarang?"
Adiba menoleh padaku dan aku menatapnya bingung.
"Maksud?"
"Katanya habis jatuh cinta pada pandangan pertama, terus mau mengulang yang kayak dulu apa tempuh jalan yang lebih ekstrem?"
Bahuku disenggol olehnya, tapi bukannya sinis seperti tadi, sekarang ini aku malah bergeming.
"Kita udah dewasa kan, Zei? Mbak Aulia aja dulu seusia kita udah nikah, udah punya anak. Kalau kamu merasa siap sama pernikahan lalu yakin sama pilihanmu yang sekarang, kenapa nggak matur aja sama Abuya? Biar kalian bisa mengamati dia secara dalam. Baru setelahnya, entah dilanjut atau enggak..."
"Kesimpulannya, andai iya, jadi aku yang ngelamar, gitu?"
"Kenapa enggak? Kita bahkan jadi saksi gimana Kak Gilang beberapa kali dapat tawaran pernikahan. Kita perempuan lajang, jatuh cinta dan menawarkan hubungan lebih dulu bukan dosa, enggak juga membuat marwah kita turun. Kamu paham banget sama ini aslinya."
Kekehanku menyembur begitu saja. Aku melengos dan seperti begitu direncanakan, hal pertama yang ditangkap indraku adalah Mubarak. Lelaki itu di sana, di ujung gedung dengan satu tangan yang memegangi ponsel di telinga dan satu tangannya lagi masuk ke saku celana sementara ... matanya juga menatap ke arahku sebelum akhirnya dia beralih dan begitu pun aku.
"Masalahnya aku belum yakin. Maksudnya, belum yakin sama diriku, kayak ... Ini tuh baru sekadar kagum atau udah ada rasa yang dalam karena terlalu capet tahu, Dib," aku melirik Adiba lagi, memilin-milin gamisnya. "Kamu dari tadi ceramahin aku, tapi nggak kepo gitu yang aku maksud siapa?"
"Emangnya mau dikasih tahu?"
Kepalaku menggeleng-geleng, senyum malu aku pamerkan pada Adiba yang aku yakin, pasti aslinya dia geli.
"Kan, ya udah sih, tanpa aku paksa pun besok-besok kamu pasti juga bakal kasih tahu."
Lagi, mataku dengan susah diaturnya melirik ke samping, tempat di mana tadi aku melihat Barak dan kini dia berjalan masuk kembali ke aula.
Bibir dalam aku gigit sedikit kuat untuk menahan senyum.
"Kamu masih mau di sini atau ikut?"
"Ke mana?"
"Ya bantu siapin prasmanan, pengajiannya udah hampir selesai gitu."
Aslinya aku malas, tapi karena tidak tahu harus apa, jadi mengekor saja ke mana pun Adiba pergi. Memang ya, anak, menantu, serta cucu Almarhumah Mbah Puteri itu pada aktif-aktif banget, seperti tidak punya lelah dan aku adalah satu-satunya yang tidak masuk golongan.
Aku termasuk pemalas, klemar-klemer, lelet, belum lagi prinsip yang selama ini ku pegang teguh, yaitu: kalau ada yang lain kenapa harus aku?
Dengan langkah ogah-ogahan, aku menarik-narik kecil pucuk kerudung Adiba dari belakang.
"Eh, Dib!"
"Apa lagi?"
"Kamu nggak mau cerita soal Mas Altair?"
Langkah Adiba terhenti, tapi milikku tidak hingga akhirnya kami bisa sejajar dan berjalan seiringan.
Dari tadi aku merasa ganjal karena ada hal yang ingin aku tanyakan dan aku melupakannya, tapi akhirnya sekarang teringat. Aku ingin menanyakan perihal Altair.
Pria yang sejak beberapa bulan lalu menanyakan Adiba namun belum juga diberi jawaban. Kami mengenalnya sebagai putra bungsu pengasuh pesantren dari Jawa Timur yang tersohor, Kyai Ahmad Zainal.
Anak priyayi, putra mahkota. Altair juga terkenal sebagai tokoh yang aktif menyuarakan isu-isu sosial, beliau sangat pantas mendapat titel tokoh masyarakat di usianya yang semuda itu. Cerdas, masyhur, bibit bebet bobot jelas tidak bisa disepelekan.
Adiba yang lembut dan lebih senang menjadi pahlawan di belakang layar seperti teramat melengkapinya.
Tapi entah, sepertinya pesona sekencang itu belum juga mampu menembus dinding pertahanan sepupuku ini.
"Mbuh lah."
Kan?
Aku benar-benar tidak mengerti dia.
***
Dalam Bahasa Jawa, ada kata 'genduk' yang berarti perempuan kesayangan. Itu artinya sebagai anak perempuan satu-satunya aku adalah genduk-nya Buya?
Oh, jelas tidak.
Genduk-nya Buya adalah Uma. Bahkan hingga usianya yang sekarang, ayahku itu tetap memanggil istrinya dengan panggilan 'Nduk'.
Nduk Sayang...
Nduk Cah Ayu...
Lalu Uma akan merona, tersenyum-senyum malu. Sementara aku dan Kak Gilang serta Ilyas akan saling lirik salah tingkah.
Sesayang itu Buya pada Uma, dan yah ... karena wanita kecintaannya bilang jika tiba-tiba ingin makan tengkleng dari warung legendaris langganan keluarga yang sayangnya tidak bisa dipesan secara online itu, akhirnya Biya menyuruhku untuk berangkat membeli.
Padahal tadi ketika berangkat, cuaca masih terang benderang, aku bahkan mengeluh kepanasan. Tapi mungkin karena saking lamanya mengantre—hampir satu setengah jam karena mereka kembali memasak—tanpa sadar setelah aku keluar, mendung sudah menyelimuti Magelang.
Dan alhasil, aku kehujanan! Awalnya gerimis, aku pikir bisa bertahan hingga rumah dengan titik-titik air yang jatuh itu, tapi semakin lama semakin deras dan karena merasa jika tidak aman kalau memaksa menyetir motor, aku memilih meneduh di minimarket.
Setelah memarkir motor dan melepas jas hujan, aku masuk ke minimarket yang tampak sepi, berniat membeli beberapa makanan ringan sebagai syarat meneduh.
"Air mineral, jangan soda."
"Terserahku!"
"Taruh lagi nggak?"
"Hih, apa sih?"
"Jangan kebiasaan minun soda, Mbul! Taruh!"
"Malu tahu, Kak!"
"Makanya taruh. Kakak bilangin Bapak kapok kamu."
"Ck! Bawel amat!"
Duh, Tuhan ... aku tidak percaya dengan yang namanya kebetulan karena yang aku yakini adalah takdir. Dan, takdir macam apa ini?
Namun, harusnya wajar-wajar saja kan kalau kami sering bertemu? Kami ada di satu daerah yang sama, mereka bahkan tinggal tidak jauh dariku, dan sekarang hujan, wajar sekali jika keduanya turut ada di tempat yang aku datangi.
"Itu aja?"
"Udah. Nggak usah banyak-banyak di kosan masih. Tapi beliin sosis bakar itu dong, Kak. Pengin yang anget."
Aku berbalik supaya mereka tidak melihatku, pura-pura memilih makanan ringan walau sebenarnya tidak ada yang bisa aku baca atau amati dengan jelas karena saking gugupnya.
"Loh, Je!"
Ah....
Oke, baik. Tarik napas, embuskan pelan...
Aku kembali membalik tubuh, memasang wajah sok terkejut pada Lumi yang berada di dekat kasir sementara kakaknya hanya menengok sekilas padaku.
"Eh, Miw. Habis dari mana?"
"Habis dari gym, malah hujan. Kamu?"
Dengan dua buah snack yang aku ambil acak dalan dekapan, aku berjalan menghampiri keduanya.
Dalam hati aku meringis kok ini. Kontras sekali, ya. Kakak beradik good looking serta body goals itu baru pulang dari gym sementara aku baru saja kembali dari warung makan.
"Habis dari warung."
"Ya udah neduh barengan, nanti balik barengan juga."
"Sosisnya satu lagi, Mbak," kata Barak pada petugas kasir.
Aku dan Lumi diam, sementara Lumi berdiri di samping kakaknya, aku di belakang keduanya menunggu giliran.
"Kamu udah, ini aja?"
"Udah."
"Lima puluh satu totalnya, Mas."
Dari posisiku, aku bisa melihat lelaki di depanku ini merogoh dompet, meraih satu lembar berwarna merah sebelum akhirnya menengok.
Sebuah gerak yang benar-benar mengagetkanku.
"Sekalian sama punya mbaknya," dia melirik kasir tersebut sekilas dan menatapku lagi, kepalanya tergerak dan di saat begini, aku merasa benar-benar bodoh karena tidak juga bisa mencerna.
Sebelum akhirnya Lumi mengambil dua buah snack dari tanganku dan dia letakkan ke meja kasir.
Jadi, aku mau ditraktir?
"Eh, nggak usah!" tentu saja aku menolak.
Maksudnya, berbasa-basi.
"Sekalian," Barak menyahut singkat, enteng.
"Nggak usah nggak usah," cepat-cepat aku mengambil dompet dalam tas juga dan mungkin karena saking gugupnya, benda persegi itu jatuh.
Argh! Zeinab! Bisa tidak berlagak normal sekali saja?
Sebelum aku mengambilnya, Barak lebih dulu membungkuk dan meraihkan benda itu untukku.
"Makasih tapi nggak perlu repot-repot begini, loh."
"Santai aja ih, anggap aja dia dompet berjalan," Lumi menjawab, telapak tangannya menepuk-nepuk lengan Barak hingga membuat Mbak Kasir di depan kami ikut tersenyum.
Akhirnya, dengan sok tidak enak padahal kesenangan, aku menerima traktiran itu dan kami bertiga keluar dan meneduh di beranda toko.
"Kok dua sosisnya?"
"Buat Jenab."
Uma, Buya ... apa lagi ini?
Belum juga hilang kesemsemku sebab tadi Barak menarikkan tempat duduk untukku dan adiknya sedang dia dengan suka rela berdiri, sekarang aku dibuat leleh lagi dengan sikapnya.
"Eh, nggak usah..."
Tapi tetap, dong. Jaga image lebih dulu itu perlu.
"Tinggal makan, nyah!" Lumi memberikan secara paksa padaku yang tidak lagi bisa kutolak.
Satu buah sosis bakar yang dengan suka rela aku tukar dengan caviar demi momen ini. Ah, jangankan cuma itu, ditukar dengan satu hektar kebunnya Oma pun aku rela.
Pun, andai orang lain yang memanggilu Jenab bukan Zeinab pakai "z" aku akan mengamuk, tapi karena yang memanggilnya dia, ya mau bagaimana lagi?
"Makasih, ya. Aku ngerepotin banget."
"Mana ada repot, santai aja," lagi-lagi Lumi yang bersuara sementara Barak terdiam lagi.
"Aku kemarin aslinya diajak kakakku ke pesantren kamu ikut syukuran khitan, tapi lagi nugas banyak banget."
"Ya kalau ada waktu luang main-main ke rumah aja, apa nanti malem, makan malam di rumah?"
"Nginep boleh?"
“Heh!”
Aku terkekeh. "Boleh lah, gampang. Kalau kakak kamu lagi jaga malam ke tempatku aja."
Ada Kak Gilang, sih. Tapi gampang lah biar aku suruh kakakku tidur di ndalem saja misal Lumi ingin menginap.
"Dia ada jadwal nanti malem. Kalau gitu aku tempatmu, deh."
"Nggak usah, ngapain?"
"Apa sih orang yang punya rumah ngebolehin juga kok. Lagian bosen tahu di kos mulu."
Dua kakak beradik itu saling adu tatapan tajam sementara aku meringis.
Kalau melihat yang begini, aku jadi rindu dengan Ilyas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
