
Ehe, mulai uhm … anu.
Aku nggak bilang kalau cerita ini akan rwingan, ya. Aku nggak bisa nulis cerita yang ruingan karena jadinya malah nggak dapet feel. Lagian enak bgt nih bocil-bocil udah pada young n rich masa hidupnya gak ada konflik :((
Hidup itu adil miskaaah!
Bab 3
"Dalamanmu jatuh."
Hah?
Dalam— apa?
Aku berdiri kaku di tempatku, membeku dan ... tidak kok, aku masih waras betul dan merasa jika pakaian dalamku masih terpakai sempurna dari balik rok dan kaus panjang yang kini aku kenakan.
Tidak mungkin ada adegan sekonyol itu!
"Nab!"
Satu seruan yang cenderung menyentak itu kembali aku dapat dan kini, mau tak mau tubuhku berbalik.
"Ya?" aku menatapnya gugup, mataku melirik pada sebuah kain berwarna hitam yang ada di genggamannya.
"Tadi jatuh."
Ya Tuhan ... aku tidak tahu harus merasa lega atau merasa konyol karena yang dia maksud adalah dalaman kerudung.
Kenapa tidak sebut saja ciput biar gampang dan tidak menimbulkan makna ganda begini? Aku memang tidak memakainya dan tadi kuselipkan saja di mukena, tanpa tahu kalau akhirnya akan jatuh begitu.
Aku mati-matian mengukir senyum walau pasti dia bisa melihatku yang dilanda canggung luar biasa.
"Iya punyaku. Makasih."
Semoga dia tidak melihat tanganku yang tremor, semoga dia tidak menyadari suaraku yang bergoyang gugup.
Semoga—
"Lain kali kalau jalan hati-hati."
Mataku yang sedari awal sudah sipit ini semakin menyipit.
"Namanya manusia, sih. Ya kali aku sengaja. Makasih sekali lagi."
Dia diam, memandangku sepersekian detik dan berlalu melewatiku begitu saja tanpa suara.
Kok ada ya orang seperti ini?
Kadang aku berpikir, apa selama ini aku terlalu sering diberi tepuk tangan hingga ketika sekali saja mendapat perlakuan seperti ini, membuatku sebal setengah mati?
Atau aku sebal karena hal lain?
Kain kecil yang bernama ciput itu aku remas kuat-kuat dengan tangan kanan, sebelum akhirnya aku berbalik dan detik berikutnya membeku karena sekali lagi, aku dan Mubarak berhadap-hadapan walau dengan jarak yang lumayan.
Apa lagi? Kenapa lagi?
"Kenapa?"
"Pasar dekat sini itu, bagus nggak?"
Ini pertama kalinya dia mengajakku bicara setelah selama dua hari cosplay patung. Akhirnya dia sadar kalau aku ini manusia dan bukan makhluk halus.
"Maksudnya?"
"Ya pasar situ, pernah ke sana?"
"Pernah kok. Dokter mau ke sana?"
"Bagus?"
"Bagus yang gimana nih? Bagus dalam arti murah-murah? Apa bagus barangnya tapi harganya lumayan? Apa bagus tempatnya?"
"Ya menurut kamu yang pernah ke sana, worth it nggak? Aku baru mau nyoba."
A-ku?
Aku?
Aku tidak salah dengar dan dia tidak salah ucap, kan?
"B-bagus kok, murah juga. Kalau sekiranya dapat harga lebih mahal dari pasaran nego aja," aku mengatakannya cepat.
"Oke, thanks."
Tuhan ... jantungku...
Andai sekarang ini aku tidak sedang berada di tempat umum, mungkin tubuhku bakal luruh ke lantai saking lemasnya.
Energinya terlalu kuat sampai dia turut menyedot milikku juga dan perasaan ini ... Ini adalah perasaan sama yang pernah aku rasakan lima tahun silam kepada seseorang untuk pertama kali.
Seorang lelaki yang sekarang sudah berbahagia dengan keluarga kecilnya.
Aku tidak lupa dan tahu betul apa maknanya, karena jelas, aku bukan bocah lagi.
Tapi bukan kah, ini terlalu dini?
Aku berjalan kecil, berbeda dengan Mubarak yang melangkahkan kakinya lebar-lebar. Jadi dari kejauhan, aku masih bisa melihatnya memundurkan skuter matic—yang aku tahu milik adiknya dan kebetulan sama dengan milikku hanya saja berbeda warna— lantas dia jalankan hingga akhirnya pemandangan pria dengan baju koko putih serta sarung polos berwarna hitam itu tidak lagi terlihat.
Dengan sadar aku menggigit bibir dalam guna menahan senyum yang seperti ingin memamerkan isi hati pemiliknya ini.
Jadi nanti dia mau ke pasar, ya...
Pemandangan seperti itu sebenarnya bukan hal baru karena di keluargaku, Kak Gilang dan Ilyas sejak dulu juga sering ke pasar kok, entah menemaniku dan Uma atau berangkat sendiri. Karena selain lebih murah, baik Uma atau pun Buya sudah membiasakan kami untuk sering-sering membelanjakan uang pada pedagang kecil. Entah itu pasar, toko kelontong, penjual keliling. Alasannya, uang yang kita anggap kecil, bisa jadi salah satu alasan ekonomi mereka berjalan.
Kita perlu menggerakkan roda bawah lebih dulu.
Dan kembali lagi, aku tidak menyangka kalau lelaki seperti Mubarak mau masuk ke pasar juga. Memang benar apa yang dibilang kakakku, berprasangka buruk dengan hanya bermodal penglihatan sampul itu tidak baik.
"Paklikmu ke mana, Zei?"
Aku menoleh pada Bulik Hanah yang masih memakai mukenanya, pertanyaan tadi aku tanggapi dengan gelengan.
Paklik Gibran dan Bulik Hanah, sesuai panggilan, keduanya adalah adik dari Buya, ayahku. Dan tahu apa? Mereka sudah punya cucu! Bahkan Yusuf, cucu pertama mereka besok akan dikhitan.
"Tadi habis imamin terus ke mana gitu, nggak paham. Bulik kenapa?"
"Nggak kenapa-napa tanya aja kok tumben nggak langsung balik. Oya, katanya Uma mu kemarin habis nangis-nangis?"
"Biasalah, nangisin bungsunya."
"Adikmu sakit apa gimana?"
"Enggak. Bulik kayak nggak tahu Uma sama Oma ku aja. Udah ya aku mau ke atas."
"Pasang alarm sendiri lho ya, Bulik nggak mau bangunin."
"Orang aku mau langsung mandi ini."
"Ya wis kalau gitu."
Ndalem ini luar biasa luasnya, karena awalnya memang didesain untuk rumah keluarga besar dan walau Buya pun Uma serta anak-anaknya tinggal di rumah kami sendiri, kami masih sering menginap di sini karena masih satu komplek dengan pesantren dan alhasil, aku punya kamarku sendiri.
Begitu mengunci pintu, aku segera melempar mukena dan meraih ponsel yang sebelumnya aku taruh di bawah bantal.
Barangkali ... barangkali nomorku sudah—
Disimpan!
Aku menaruh tangan di depan dada untuk menahan debaran yang menggila dari dalamnya ketika melihat nomor yang semalam—dengan bodohnya—terus aku awasi itu kini foto profilnya tidak lagi kosong, melainkan terganti menjadi sebuah gambar yaitu seorang laki-laki dan perempuan yang aku kenal.
Barak dan Lumi.
Keduanya menaiki vespa yang tadi barusan kulihat, helm bertengger di masing-masing kepala mereka. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkan Barak sementara Lumi tersenyum lebar dan memeluk sang kakak dengan posesifnya.
Tapi tidak hanya itu yang membuat dadaku bergemuruh, melainkan bagaimana nomor itu akhirnya sudah membaca pesan yang aku kirim dari kemarin dan kini tengah mengetik balasan.
Berdetik-detik aku menunggu hingga akhirnya, sebuah pesan darinya masuk.
Ok
Ok?
OK?
Jadi, itu saja? Selama itu dan cuma ok, katanya.
Apa dugaanku kemarin benar, jika ada hati yang kudu dia jaga?
***
Berbeda dengan Bulik Hannah, Uma dahulu bukanlah keturunan trah pesantren. Sandara atau ibuku, dulu adalah seorang gadis kota yang pada akhirnya berjodoh dengan Buya. Tapi biar begitu, kisah mereka bukan tipikal perjodohan yang penuh drama kok, tidak ada adegan di mana salah satunya cinta mati lalu satunya lagi tidak mencintai, atau bukan pula yang keduanya harus mati-matian membiasakan diri supaya jatuh cinta.
Uma bilang, jatuh cinta pada Buya itu mudah. Dan Buya mengaku jika mencintai Uma bukan hal sulit.
Ibuku tidak banyak menyentuh pesantren, sejauh ini wanita hebat itu lebih banyak mengurusi bisnis-bisnis keluarga kami entah yang sudah dijalankannya sendiri bersama Buya atau juga peninggalan dari sesepuh. Selain itu, ibuku juga aktif mendanai komunitas kemanusiaan dan lembaga-lembaga sosial, dahulu ketika aku masih kecil, Uma sering mengajakku ke pelosok-pelosok desa untuk melakukan penyuluhan dan memberi bantuan kepada para wanita serta anak-anak di sana.
Katanya yang aku ingat, "Uma nggak begitu paham sama dunia Buyamu, jadi Uma menciptakan dunianya Uma sendiri, yang nggak kalah bermanfaat. Uma nggak pinter ngaji, Me, Uma nggak pernah sekolah agama, Uma bisanya cari uang."
Lalu dengan polosnya aku bertanya, "Jadi Uma kasih tahu mereka gimana caranya cari uang banyak?"
Dan Uma mengiyakan dengan terbahak-bahak.
Lantas semakin aku tumbuh, aku tahu maksud dari kalimat itu. Ibuku memberdayakan para wanita tersebut, memberikannya akses ilmu dan diberi wadah serta alat. Jadi, Uma membentuk komunitas para ibu yang diajaknya bekerja sama, entah menjahit atau memproduksi makanan ringan yang setelahnya juga dibantu distribusi dan penjualannya oleh Uma. Dari mereka, untuk mereka dan berlanjut hingga sekarang walau Uma sudah tidak banyak turun ke lapangan.
Jadi kalau ditanya, siapa role modelku, maka dengan lantang dan percaya diri akan aku jawab: ibuku sendiri! Seorang Sandara Pratiwi Dahayu Putri Sudjatmiko yang terkenal cantik dan dermawannya itu.
Sejak kecil, aku sering bilang kalau cita-citaku adalah menjadi seperti Uma. Karena cantik, baik, senyumnya menyegarkan, pintar memasak dan membuat kue, dicintai orang banyak.
Tapi semakin aku dewasa, aku jadi sadar jika menjadi seluar biasa itu, butuh langkah yang banyak dan perjuangan yang tidak mudah.
Yah ... jadi baik memang mudah, tapi segala hal butuh perjuangan, kan? Termasuk berjuang melawan ego sendiri.
"Me, sini Me!"
Omong-omong, hari ini ndalem super sibuk karena Yusuf, keponakanku yang adalah putra dari sepupuku Mbak Aulia itu baru saja dikhitan dan kami sedang mempersiapkan untuk walimah besar-besaran di pesantren nanti malam.
Sudah kubilang, jadi seperti Uma itu susah karena contoh saja hal kecil begini, di saat semua orang disibukkan dengan keriwuhan duniawi ini, aku malah sembunyi di kamar menghindari perintah. Padahal Oma yang duduk di kursi roda saja aktif, lho.
Aktif memerintah maksudnya.
"Meme mana to? Meme!"
Aku meringis, sebelum membuka pintu, pertama-tama yang aku pasang adalah wajah sok lelah dan lemas, pura-pura mengantuk.
"Hm?"
Uma menatapku nyalang, menyusur dari atas ke bawah seolah-olah aku ini maling yang baru saja tertangkap basah.
"Itu udah Uma suruh mbak-mbak siapin rantang, kasih ke anak-anak kos. Di dapur, lhang cepet! Uma repot ini."
Dan wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu berlalu dengan langkah cepat.
Kadang aku heran, kok bisa ya ibuku masih seaktif itu di usianya yang sekarang? Seperti tidak punya lelah, pokoknya ada saja kerjanya, dulu Oma ketika masih bugar juga begitu.
Tapi kata Oma, aku ini klemar-klemer seperti Uma ketika masih muda. Persis dan plek ketiplek.
"Udah disiapin?"
"Udah."
"Buat dua-duanya?" maksudku, untuk yang putra dan putri?
"Iya. Banyak itu, bawa pakai mobil."
Benar saja, rantang-rantang super jumbo itu aku minta beberapa santri yang kebetulan ada di ndalem untuk diangkat menuju mobil.
"Makasih ya Mas-Mas."
Mereka ber-nggih dan tersenyum sebelum akhirnya berlalu.
"Tumpah nggak ya, Dib?" tanyaku pada Adiba, sepupuku.
"Nggak lah, rapet itu. Pelan-pelan nyetirnya."
"Ayo temenin, dong. Nanti masa aku angkatin sendiri?"
"Minta bantu satpam. Aku sibuk."
Rasa-rasanya ingin aku tarik ujung kerudung Adiba, tapi dia lebih dulu melarikan diri.
Mobil benar-benar aku jalankan seperti semut. Jujur sebenarnya aku belum teramat percaya diri menyetir walau sudah memegang SIM, itu lah kenapa aku lebih sering mengendarai motor atau sepeda, dan kalau pun bepergian jauh, biasanya minta diantar sopir.
Aku lebih dulu berhenti di kos putri, cukup sepi, hanya ada satu mbak-mbak yang membantuku membawa makanan-makanan itu ke dapur umum. Aku memotretnya dan mengirim ke grup chat sebelum berpamitan dan pindah ke komplek kos sebelah.
"Thank you ya, Ning."
Satu jempol dan senyum manis cukup aku beri sebagai balasan.
Selanjutnya, kos pria malah seperti tidak ada kehidupan. Aku turun, mengobrak satpam yang berjaga dan ternyata beliau tidur di posnya. Alhasil aku omeli sekalian.
"Oke misal sampean tidur mbok ya gerbangnya dikunci dong, Pak. Ini kebuka lho tadi, mbedak-mbedak, orang aku sampai bisa masuk. Nggak denger kemarin Bu Hidayah itu habis kemalingan emasnya sampai berapa gram itu. Lagi musim begini, orang pada kena phk, cari kerja susah, orang kalau laper bisa nekat, apa aja ditempuh. Jangan ceroboh lho ya sampean ini, kalau ada apa-apa, yang pertama ditodong itu ya aku soalnya," cerocosku sambil mencak-mencak. Bagasi mobil aku buka dengan sebal.
Sementara satpam yang aku panggil Pak Andik itu cuma mesem-mesem merasa bersalah.
"Nguantuk saya, Ning."
"Nggak larang, orang ngantuk mana bisa kularang. Boleh lah gayer-gayer lima menit buat syarat, biar seger lagi, tapi yang penting ini lho, gerbangnya dikunci."
"Nggih nggih, ngapunten."
"Ya udah ini, makanannya ini tolong taruh ke dapur umum biar dimakan teman-teman, sampean juga."
Aku mundur, membiarkan Pak Andi mengangkat satu persatu rantang. Sadar sekali suaraku pasti cukup keras karena aku merasa sedang diawasi, pastilah penghuni kos yang ada di kamarnya sekarang sedang mengintipku.
Ya memang begini, biarlah aku dikata galak, cerewet, tapi jika tidak aku tegasi begini, pastilah banyak yang semaunya sendiri.
Aku tidak berani masuk, jadi aku masih berdiri di parkiran di samping mobil, menunggu Pak Andik kembali dan mengangkat rantang-rantang yang tersisa lagi.
Suara pintu yang terbuka membuatku menoleh, tapi aku menyesal, harusnya aku pura-pura tidak tahu saja.
Tapi kenapa dia seolah mendekat? Mau apa? Mau membantu, kah?
Aku baru saja ingin merogoh ponsel supaya tidak keki keki amat, tapi belum juga, tubuhku sudah kaku lebih dulu.
"Kamu yang ngomel-ngomel tadi?"
Barak benar-benar mendekat, aku bahkan bisa mencium aroma sabunnya. Pria itu kini menggunakan kaus oblong berwarna hitam dengan celana pendek senada, tampak segar juga rambutnya sedikit basah.
"Berisik amat."
Aku diam dan dia melongok, melihat dua rantang dan satu box berisi kue yang masih ada di bagasi.
"Buat yang lain, boleh minta bantuannya taruh ke dapur nggak?" tanyaku lembut yang padahal harusnya aku marah karena bisa-bisanya dia mengataiku berisik.
Tapi aku tidak bisa!
"Oh, dari khitanan adikmu?"
"Iya."
"Ini semua kubawa?"
"Iya."
Aku mundur lagi, mempersilakannya mengambil.
"Jam berapa?"
Kenapa dia suka sekali bertanya dengan kalimat tidak jelas begitu? Jam berapa itu apanya yang berapa? Soal apa?
Kan aku jadi kebingungan sendiri.
"Maksudnya?"
"Acara walimahnya. Nanti biar aku ke sana ajak Lumi. Sekalian nengok Yusuf."
***
"Cantik amat, dandan udah kayak manten terima tamu aja."
Segala puji bagi Tuhan yang menciptakan manusia...
Walau kadang dengan lupanya mengeluh, tapi aku lebih banyak bersyukur karena diberkati dengan penampilan—yang menurutku—menawan ini.
Aku mengedipkan satu mata dengan kenesnya pada Adiba yang baru saja masuk ke kamar.
"Maaf nggak jadi couple-an."
Yah, daripada memakai sarimbit yang bikin bosan itu, aku lebih pilih mengenakan abaya yang kurasa lebih elegan. Tapi warnanya masih aku sesuaikan dengan yang lain kok, kami sekeluarga besar memakai pakaian berwarna senada, broken white menjadi pilihan kami.
"Kenes banget kamu hari ini, Zei. Serius. Gegayaan heboh pakai abaya semliwir kayak mau manten."
Ya memang, kan dari dulu.
Aku mengabaikan Adiba, kembali duduk ke kursi rias dan melihat-lihat lagi dandananku yang sebenarnya tidak menor kok, cuma memang lebih bold daripada hari-hari biasa.
Lewat pantulan kaca, aku melihat sepupuku itu.
Yah, Adiba memang definisi sempurna dari ning-ning bersahaja. Lihat saja, dia tidak neko-neko, dandanannya polos seperti cuma tersapu bedak dan sedikit pemerah bibir, kerudungnya juga cuma asal terkait. Tapi luar biasanya tetap terlihat rapi dan cantik, malah itu dia kelebihannya.
"Oh, tahu...."
"Apa?" aku menyolot.
"Mas Abrisam mau ke sini kan ya..."
Mataku memutar malas, mulai lagi!
"Apaaaaan!"
Abrisam, kami memanggilnya Gus Ab, adalah salah satu kerabat kami yang—rumornya—menyukaiku, Abah beliau juga pernah menawarkan hubungan tapi dengan halus aku menolaknya dengan alasan belum siap menikah.
Sudah dua tahunan ini, jika ada nama itu, namaku pasti dibawa-bawa.
Adiba terkekeh-kekeh, gadis yang usianya satu tahun di atasku itu kini berada tepat di belakang, kedua tangannya meremas punggungku.
"Gimana dia bisa move on coba, Zei. Orang tiap ke sini selalu disuguhi wajah bidadarinya Ning Zeinab."
"Ai bilang mending you diem."
"Kamu cantik banget, serius. Demi Allah."
"Diem nggak?"
"Apa? Orang dipuji juga."
"Sana! Sana! Pergi! Keluar!"
"Galak banget anak gadis."
"Ngacaaaaa, tuaan you daripada Ai, ya. Calon you mana emangnya?"
Akhirnya setelah aku cubit-cubit, akhirnya sepupu menyebalkanku itu keluar juga. Tapi percuma karena tidak berselang lama aku juga keluar.
Walimah diadakan pukul delapan di pesantren dan sekarang sudah pukul tujuh lewat tiga puluh. Tapi walau begitu, ndalem sudah cukup ramai karena tamu-tamu besar kami sudah datang dan kini tengah dijamu secara pribadi.
"MasyaAllah ... jadi ini walimah khitannya Yusuf atau walimah mantennya Ning Zeinab?"
Ih, kenapa pada bilang begini, sih? Apa penampilanku berlebihan? Tapi aku rasa tidak kok, bahkan abaya yang aku pakai ini juga polos.
Baru saja aku turun dari tangga, sudah dapat sambutan begitu oleh salah satu rewang. Mbak Turi namanya.
"Ih, Mbak! Malu tahu!" pipiku mengembung, menahan antara sebal sekaligus tersipu.
"Lha gimana orang cuantik jenengan, Ning! Belum lihat aja Uma sama Omanya jenengan."
"Ya udah, aku bilang alhamdulillah aja. Dan amin, semoga cepet jadi manten."
Mbak Turi tersenyum-senyum. "Mantennya Ning Zeinab besok biar Mbak yang bikin kue cucurnya."
"Nggak mau kue cucur."
"Terus?"
"Putu ayu."
"Iyo! Tak buatkan dua tampah."
"Eh, mbuh loh ya, Mbak. Ucapan adalah doa."
"Insyaallah Mbak turuti, Ning. Wis, guampang pokoknya."
Aku sekarang yang terkikik dan akhirnya Mbak Turi pamit untuk membawa jamuan.
Orang-orang berlalu lalang, dengan masih menuruni anak tangga, aku menatap sekeliling. Di sana Oma tengah berbincang dengan beberapa tamu bersama Uma, Adiba yang menata buah-buahan di atas karpet, lalu ... dia.
Ada yang berdesir dari dalam tubuhku ketika melihat sosok itu yang berjalan dengan tegap di samping Kak Gilang.
Berbeda dengan kakakku yang mengenakan sarung dan baju koko, Mubarak tampak menawan dengan batik berlengan panjang dan celana bahannya, pun juga sebuah paper bag yang dia bawa.
Mereka melangkah seiringan, aku gugup setengah mati ketika Barak seperti akan mengalihkan padang. Namun tidak, dia tidak menatapku melainkan melirik kecil ke samping.
Tepat pada Adiba yang masih bersimpuh di karpet tak jauh darinya.
Dan hanya perasaanku saja atau memang nyatanya demikian? Karena aku seperti melihat sesuatu yang ... yang cukup berbeda.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
