
Andai jantungnya Meme bisa ngomong palingan dia minta resign, soalnya capek jedag-jedug mulu katanya.
Sassy Messy ini lengkapnya hanya diunggah di KaryaKarsa ya, di WP nanti akan aku unggah sesuai bab gratis di sini . Selamat membaca.
Bab 2
"Mereka itu aslinya pada mau boyongan pindah rumah apa ngekos ya, Kak?"
Ibu jari dan telunjukku menjepit rambut pendek Kak Gilang, menarik-nariknya kecil, sudah aku lakukan sejak bermenit-menit lalu tapi dia tidak protes, makanya aku teruskan.
Posisinya, aku sedang rebahan miring di sofa, sementara kakakku itu duduk di karpet bawahnya dengan kertas-kertas dokumen dari pesantren yang berhamburan.
Dia tertawa kecil, sebelum menyahut.
"Tapi kan sayang barangnya kalau nggak dibawa ke sini."
Ini lah yang aku senang dari kakakku. Serepot apa pun dia, sesibuk apa pun, sekalut apa pun, dia bukan orang moody. Dia pasti tetap mau diajak bercakap walau itu merupakan hal receh sekali pun.
Cocok sekali dengan adik tidak tahu diri sepertiku. Minimal jika tidak membantu maka jangan merepotkan, kan? Tapi aku melakukan keduanya, sudah lah tidak membantu, merepotkan pula.
"Kemarin loh diangkutnya udah pake truk, Kak. Bukan mobil pick up lagi. Bayangin sebanyak apa! Untung muat tuh masuk kamar semua," punggung Kak Gilang aku tepuk keras-keras.
Tidak mengada ya, kemarin aku yang mengurusi Lumina juga Barak dan tahu apa? Aku syok luar biasa begitu ada truk yang berhenti di depan Dalem Kawi diikuti Barak dan Lumina di belakangnya.
Buanyak yang mereka boyong, ada dua lemari, dressing table, ya pokoknya perabotan-perabotan tetek bengek begitu lah. Belum lagi barang-barang dapur semacam kompor listrik, rice cooker, air fryer, lain-lain. Oh, tidak lupa dengan kulkasnya yang sebesar kesombongan manusia itu.
Padahal untuk barang seperti penanak nasi, kompor, dispanser, begituan, sudah kami sediakan kok.
Tapi katanya, siyi nyimin pikii biring sindiri, dan dia utarakan dengan wajahnya yang tidak berperi kemanusiaan itu.
Jadilah tadi kami hitung-hitungan dan tahu lagi? Biaya sewanya bertambah 20% karena tidak mungkin aku menyamakannya dengan penghuni lain sementara dia dan adiknya membawa barang-barang boros listrik.
Alhasil tadi aku mengelus dada berulang kali.
"Truk?"
Kak Gilang terlihat terkejut juga karena dia sedikit memekik dan menoleh padaku.
Aku mengangguk-angguk semangat.
"Sumpah! Sampai aku minta bantuan yang lain buat turunin barangnya," aku memasang wajah dramatis.
Kakakku itu terbahak-bahak akhirnya.
"Besok biar Kakak nyambang ke sana, mau lihat."
"Barak sama Kakak gimana, sih? Songong gitu juga ya?" maksudku, dia benar-benar irit bicara.
Padahal dulu seingatku, walau menyebalkan, sesekali dia masih mengajakku bicara kok. Ya meski bicaranya cenderung ajakan untuk saling ejek, ya.
Tapi sekarang benar-benar berbeda, dia seperti ... kaku, tidak ramah, pokoknya andai pegawai hotel maka akan aku beri rating minus besar. Padahal kan dia harusnya setiap hari bertemu pasien, ya? Harusnya bisa lebih luwes, dong.
Kalau arogan sih tidak memang, namun ya begitu tadi. Kaku dan irit bicaranya sudah tidak tertolong, beda jauh dengan Lumi.
"Songong gimana? Baik kok dia."
"Aku nggak bilang dia jahat ya, Kak. Cuma tuh, ya songong, pokoknya songong," aku menggeplak punggung kakakku lagi. "Kayak seolah-olah tuh begini loh, don't you dare to touch me ya, ada hati yang kudu aku jaga, gitu. Kayak ... dih, apaan sih? Siapa juga yang mau godain dia?"
Tepat setelah aku selesai mengatakan itu dengan gaya centil, Kak Gilang terkekeh yang secara bertahap berubah jadi tawa putus-putus.
"Siapa yang berpikir dia mau goda kamu?" Kak Gilang melongok, tersenyum lebar sampai gigi-gigi putihnya terlihat. "Kan memang ada orang-orang yang punya pembawaan begitu, Kakak nggak tahu isi hatinya gimana, tapi bisa jadi dia kikuk begitu karena kamu lawan jenisnya. Dia sama Kakak ramah-ramah aja kok. Dan andai Kakak berhadapan sama adiknya juga pasti segan. Husnudzon aja, bisa jadi dia segan samamu, jangan apa-apa langsung kamu labeli sombong. Nggak baik, Me."
Mulai, aku mulai diceramahi.
Aku membuka mulut. Bukan, bukan untuk membantahnya kok, merasa hina sekali aku kalau membantah nasihat mulia kakakku.
Tapi—
Aku dan Kak Gilang sama-sama diam begitu kami mendengar isak tangis Uma.
Tidak perlu khawatir, ibuku itu cuma lagi rindu pada anak bungsunya. Setiap kali bertelepon pasti begitu, menangis, terisak-isak bersama Oma dengan dramatisnya sementara aku, kakakku, dan Buya jadi dayang-dayang yang bertugas menenangkan.
Aku sudah khatam akan yang beginian, dahulu ketika jauh dari Kak Gilang, Uma juga begitu, sekarang berlanjut ke Ilyas.
Ada untungnya aku ngendhog saja di sini, kan?
"Sana tengokin Uma."
Aku menggeleng, bukan karena tidak mau, tapi ... setiap melihat Uma atau Oma menangis, pasti rasanya mataku ikut memanas juga. Dan aku sedang tidak ingin melihat itu sekarang.
Lagi pun aku tahu kok kalau Uma akan baik-baik saja.
"Kakak aja sana," aku mendorong-dorong Kak Gilang dan tanpa banyak babibu, kakakku itu langsung bangkit meninggalkan pekerjaannya.
Yah, dia memang anak yang super berbakti dan aku akui itu. Makanya aku merasa iri dengan pasangannya kelak, siapa perempuan beruntung tersebut?
Aku tumbuh bersamanya dan tahu betul bagaimana dia.
Lembut, penyayang, sabarnya luar biasa, bertanggung jawab. Lalu yang terpenting, ketaatannya.
Bisa dibilang too good to be true malah.
Tapi sampai sekarang kakakku itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin ke jenjang pernikahan, sih. Dia masih asik dengan dunia pesantren dan bisnis-bisnis keluarga kami. Sudah ada beberapa tawaran yang diajukan oleh kerabat padahal, tapi dia selalu menolaknya halus.
Beruntung Buya dan Uma tidak pernah memaksa.
Aku menajamkan telinga, isakan Uma kini mulai memelan dan diganti suara dari Buya dan kakakku, jadi sebelum mereka mengetahui kehadiranku, aku segera beranjak ke kamar dan menguncinya.
Begitu masuk, tujuan pertamaku adalah ponsel yang tercharger. Aku pinjam milik Kak Gilang sebab punyaku sudah busuk alias bonyok alias rusak, mau beli tapi masih malas.
Tanganku menarik kursi dan duduk di sama, mengecek pesan atau apa saja yang aku lewatkan selama sekitar dua setengah jam ini.
Yang pertama, dari kakak sepupuku yang meminta supaya besok aku menggantikan jamnya membimbing hafalan kitab.
Baik, aku sanggupi.
Yang kedua, grup obrolan kos putri yang masih ramai berkenalan dengan Lumi sebagai member baru.
Syukur deh mereka akrab.
Yang ketiga, pesanku pada Barak yang berisi izin apakah aku boleh memasukkan nomornya di grup kos putra atau tidak.
Tapi dia tidak membalas. Pun, profil picture-nya masih kosong. Jadi, apa nomorku tidak disimpan olehnya, ya?
Lalu keempat, pesan pribadi dari Lumi yang memintaku agar ke kamarnya sebentar semisal aku berkenan.
Temenin aku ambil daging di kosnya Kak Barak mau nggak Je?
Aku nggak berani mau ambil sendirian, dah malem
Kakakku belum balik
Setelah membacanya aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan dan pesan Lumi barusan dikirim satu jam lalu.
Aku meringis, dia kelaparan ya jangan-jangan?
Tidak menunggu lama, aku segera menyambar kerudung instan dan memakainya begitu saja tanpa mengganti pakaian karena kebetulan aku sekarang sedang mengenakan terusan piyama panjang.
Aku cuma pamit ke Oma dan berangkat ke kosan menggunakan sepeda.
Ada sekitar lima menit, sebelum akhirnya sampai ke kos putri yang gerbangnya sudah tertutup.
"Ning?"
"Malem, Pak," sapaku pada Pak Slamet. "Jadwalnya sampean, ya?"
"Nggih, Ning. Ngopi-ngopi dulu, Ning," satpam yang sudah aku kenal baik itu memamerkan cangkirnya padaku.
Setelahnya aku memarkirkan sepeda, mataku menyusur. Barangkali ada sampah plastik atau apa yang berserak, tapi syukurnya tidak ada kecuali dedaunan kering yang jatuh.
Kebetulan kamar Lumi ada di dekat pos, jadi aku tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk jalan kaki.
"Assalamualaikum—"
Aku terhenyak, bahkan sampai mundur begitu Lumi tiba-tiba membuka pintu dan muncul secepat kilat sebelum aku selesai dengan kalimatku.
Anak ini! Benar-benar!
"Bikin kaget loh kamu!"
Dia menyengir, aku yang mencebik.
"Kamu lama banget nggak dateng-dateng, aku udah pesen makan malam duluan."
Sudah kuduga.
"Maaf tadi aku nggak ngecek hp," sesalku. "Berarti nggak jadi?"
"Jadi, aku mau ambil buat bikin sarapan besok," jawabnya tanpa melihatku karena sedang mencari-cari sandal dan memakainya. Lantas, tangannya segera menyambar tanganku untuk dia gandeng.
Kos putra dan putri berjarak lumayan, ada sekitar seratusan meter. Awalnya aku mengajaknya jalan kaki tapi dia dengan entengnya naik ke boncengan sepedaku.
Jadilah sekarang ini aku ngos-ngosan mengayuh sepeda sembari membawa bayi besar banyak mau ini.
Dia jauh lebih besar dariku, loh. Sudah kubilang kan kalau aku ini kecil, pendek, seperti ibuku? Sementara Lumi tinggi semampai bak model-model itu.
Semoga lelahku menjadi lillah, deh.
Sebenarnya, aku jarang sekali ke kos putra sendirian. Biasanya bersama Ilyas atau Kak Gilang. Itu pun kalau aku terpaksa ke sana sendirian, biasanya satpam akan mengikuti di belakangku.
Sederhana saja sebenarnya, di sana semua penghuninya laki-laki dan aku cuma menjaga diri. Baik dari fitnah atau hal buruk lainnya.
"Kakimu jangan nyaruk-nyaruk jalan gitu dong, Miw!"
"Ya gimana orang kakiku panjang!"
Itu tahu.
Tapi tidak sadar diri juga dia, malah tangannya memeluk perutku erat dan tanpa beban menyenderkan kepala ke punggungku.
Untungnya kami tidak lama kemudian sampai, dan seperti biasa, Pak Yogi—satpam yang bertugas— mengawasiku dari posnya dengan paham dan peka tanpa kuminta sementara aku dan Lumi menuju kamar Barak.
"Kenapa kok nggak dari tadi sore kamu minta bahan makanan," ucapku sambil menatap ke arah lain ketika Lumi memasukkan kode pin kamar kakaknya.
"Udah. Cuma baru sayurannya aja, dagingnya masih di sini."
Pintu terbuka, dan Lumi menawariku untuk masuk yang terang saja aku tolak mentah-mentah.
Apa sih yang ada di pikiran bocah itu? Aku sungguh tidak habis pikir.
Ya walau aku penasaran dengan isi dari kulkas sebesar gajah yang Mubarak bangga-banggakan itu, tapi aku masih waras dengan tidak masuk ke kamar orang asing, ya. Lelaki lagi.
Aku berdiri di samping pintu sementara Lumina mengobok-obok kamar kakaknya.
Tapi tak berselang lama, aku mendengar suara gedabukan.
"Je! Jeje!"
"Hm?"
"Tolong bawain ini, dong."
Dengan semena-mena Lumi memberikan satu bungkus roti tawar padaku berikut satu kemasan yang berisi dua liter susu sementara dia kembali masuk.
Ya Tuhan, pasti anak ini dimanja sekali, ya? Aku jadi mengerti kenapa bapak ibunya tidak tegaan begitu.
Namun, dia sudah besar kan harusnya? Dua puluh tiga tahun bukan anak-anak lagi. Malah sekarang dia sedang dalam pendidikan magisternya. Tapi ya sudah lah, memang sudah sifatnya, mungkin.
Lumina anak yang baik kok.
Aku memeluk roti dan susu pemberian Lumi, sambil melamun tapi tidak lama kemudian, dadaku tiba-tiba berdetak kencang begitu mendengar suara gerbang yang terbuka disusul sebuah SUV yang masuk.
Ah, kenapa sekarang?
Kenapa tidak nanti-nanti saja?
Mataku mengedar ke mana saja asal bukan ke arah pria yang baru saja turun dari mobilnya itu, dan mungkin karena saking heningnya atau aku yang terlalu gugup, suara ketukan sepatunya sampai bisa terdengar begitu jelas.
Jadi ... jadi ... kira-kira apa yang akan dia tanyakan padaku?
Mungkin seperti, kenapa aku di sini? Sedang apa? Apa aku perlu bantuannya? Atau—
Aku menahan napas ketika dia melewatiku begitu saja dan masuk ke kamarnya tanpa suara. Tidak ada yang dia tinggalkan kecuali hawa panas juga sisa-sisa parfum di udara.
Aku tercenung.
Bukannya harusnya aku lega, ya? Tapi kenapa aku justru sebal?
"Ngapain ke sini malem-malem?"
Pertanyaan itu tentu saja bukan untukku, karena Barak utarakan ketika dia sudah berada di kamarnya.
"Kan Kakak udah bilang, pesen makan aja nanti uangnya Kakak ganti. Nggak usah ke sini. Ini tempatnya anak laki-laki."
"Udah pesen makaaaaan! Ini aku ambil buat sarapan besok kok," Lumi menjawab dengan suara cemprengnya.
"Kayak pernah masak sarapan aja. Tiap hari yang masakin kamu sarapan siapa emangnya?"
Oh, jadi Barak yang memasakkan adiknya, ya?
"Nggak usah ke sini lagi apalagi malem-malem. Kalau perlu apa-apa bilang, temuin Kakak di depan."
"Kakak habis dari mana?"
"Dari mana aja."
"Nggak dari rumah sakit, kan? Pasti habis ngelayap. Dari mana?"
"Nggak usah cerewet. Udah sana balik. Inget tadi, jangan ke sini sendirian."
"Apaan orang aku sama yang punya. Tuh ada Jeje di depan. Sebesar itu Kakak nggak lihat? Lagian ada satpam dari tadi lihatin."
Iya, benar itu.
Aku sebesar ini masa dia tidak lihat?
"Pulang sekarang. Kakak mau mandi terus istirahat."
"Ck! Yaaaa! Balikin dulu yang tadi aku buat order makanan."
"Habis berapa?"
"Tujuh puluh."
"Ck, pesen apa makan malam doang habis tujuh puluh ribu?"
"Kalau nggak mau kasih ya udaaaaah!"
"Balikin tiga puluh."
"Ya ampun, Kak! Pelit banget, minta kembalian segala."
"Kasih kembalian atau balikin semuanya?"
"Aku nggak bawa duit, bentar aku tukerin Jeje dulu."
"Nggak usah kalau gitu, bawa aja."
"Nggak usah kembalian?"
"Besok pagi."
"Pelit!"
"Kamu pikir cari uang gampang?"
Lumi mencak-mencak, dia keluar dengan wajar bersungut lantas menutup pintu dari luar dengan keras hingga menimbulkan suara gubrakan.
Aku menatap ngeri.
Hih, mahal loh itu. Kalau rusak bagaimana?
"Ayo!" lagi-lagi dengan seenaknya bocah tidak tahu diri ini menarikku dengan tangan kirinya.
"Lumi!"
Kami sama-sama menoleh pada Barak yang membuka sedikit celah pintu untuk memanggil, pun tetap saja, yang ditatap oleh lelaki adalah dan hanya adiknya.
"Apa lagi?"
"Besok mau sarapan apa?"
"Terserah."
Andai bocil ini adikku, mungkin akan aku sentil saja kupingnya. Tapi sayangnya bukan.
"Sup miso?"
"Terseraaaaah!"
Lumi berjalan lebih dulu dariku, mengabaikan kakaknya yang mungkin sekarang sudah menutup pintu.
"Kadang aku mikir, apa jadi dokter itu stressful banget apa ya, sampai dia tiap pulang pasti ngomeeel aja, sok iya banget, nggak pernah sekali aja uratnya nggak ketarik. Tapi bapakku dulu enggak tuh," padahal aku tidak suruh atau menawari tapi dia lebih dulu menaruh bahan-bahan makanan hasil rampasan dari tempat kakaknya itu ke keranjang sepedaku dan naik ke boncengan dengan santai.
Ingin aku jawab, andai aku punya adik sepertinya pasti juga akan darah tinggi setiap hari, tapi aku tidak mengutarakannya. Jadinya sekarang aku mengayuh tanpa suara.
"Tapi dari dulu dia emang udah sok-sokan, sih," Lumi melanjutkan lagi. "Sok iya, sok cool, pokoknya sok banget. Untung kakakku."
"Je, kamu ngantuk, ya?"
"Hmmm."
"Baru jam segini masa udah ngantuk?"
"Hmmm."
"Ham hem!"
"Kalau nggak mau keluar tenaga, minimal diem!"
Dan akhirnya dia benar-benar diam.
Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik ya sekarang ini.
Tepatnya ketika kehadiranku dianggap transparan oleh seseorang seolah aku ini makhluk halus.
Baru saja.
***
"Zei, nanti kamu gantiin jadwalnya Mbak ya."
"Tapi aku bisanya cuma yang di kelas 8A aja loh, Mbak. Jam sepuluh aku ada jam sendiri."
"Iya, selanjutnya Mbak udah minta tolong Bu Riski."
Aku manggut-manggut. Melepas mukenaku dan melipatnya. Biasanya sehabis subuh di mushala pondok putri, aku pulang ke rumah untuk molor dulu. Lumayan kan dapat satu atau setengah jam. Tapi hari ini aku sudah bawa seragam dan memilih untuk mandi serta sarapan di ndalem saja karena nanti ada Jumat bersih dan aku kudu mengawasi anak-anak.
Setelah mukena sudah rapi dan kerudungku sudah tertata, aku berdiri dan memberi pengumuman supaya para ketua kelas 10 segera menemuiku.
"Nanti sehabis ngaji, segera temen-temannya disuruh kembali ke kamar ya, siap-siap. Pakai seragam olahraga, jam enam kita olahraga sehabis itu kerja bakti. Nanti tiap perwakilan ambil peralatan kebersihan di gudang."
"Siap, Ning."
"Nanti sarapannya sehabis olahraga, lalu dilanjut Jumat bersih. Dan setelahnya, pelajaran seperti biasa."
"Iya, Ning."
"Oke, sekarang kembali lagi."
Setelah beberapa siswi itu berbalik, aku meraih mukenaku lagi untuk ku bawa ke ndalem karena sudah seminggu aku belum mencucinya.
Pondok putra dan putri bersebelahan, aslinya punya gerbang keluar sendiri-sendiri, tapi aku biasa melewati pondok putra karena lebih dekat dengan rumah kebesaran.
Sembari berjalan, aku mengedarkan pandangan, ada beberapa anak yang masih melalar kitab di mushala, ada yang sudah mengantre mandi, ada yang melamun ngantuk, ada yang berlari-lari membawa baskom berisi pakaian kotor untuk dilaundry.
"Hei, Mas! Mbok ya hati-hati, nggak usah lari. Jatuh lho kalian nanti," peringatku pada anak-anak yang malah seperti lomba lari itu. "Kayak mau apa aja, ayo jalan yang bagus gitu lho, nanti antre yang rapi. Budayakan tertib!"
Mereka cengengesan tapi lantas menunduk-nunduk hampir membungkuk.
"Hehe, nggih, Ning. Maaf, Ning."
Aku menggeleng-geleng tak habis pikir dan ketika anak-anak itu menurut, aku melanjutkan langkah.
Sekali lagi pandanganku mengedar, barangkali lagi-lagi menemukan pemandangan yang pantas untuk mendapat tegur, tapi yang aku dapati setelahnya malah membuatku bungkam.
Jadi, Mubarak baru saja melakukan ibadah subuh di sini, ya? Tapi kami memang tidak melarang kok, ada banyak anak kos yang kadang salat di musala pesantren, entah salat fardu atau Jumatan.
Dan ... dan ... ternyata kakakku tidak bohong sebab pria itu tampak luwes dan ramah berada di antara Kak Gilang dan Paklik.
Ketiganya berjalan keluar dari mushala dengan Barak yang ada di tengah-tengah, kedua tangan lelaki itu melipat di depan dada—yang mungkin untuk menghalau dingin— mereka terlihat bercakap entah apa tapi aku melihatnya sesekali mengangguk-angguk dengan wajah yang tidak se-kaku kemarin.
Baru setelah memakai sandal, ketiganya berpencar.
Duh, aku tidak paham kenapa jadi segugup ini tapi tidak ada yang bisa aku lakukan selain mempercepat langkah.
Aku pura-pura tidak melihatnya begitupun dia yang sepertinya tidak menyadari keberadaanku yang di matanya memang antara ada dan tiada ini.
Bagai gajah di pelupuk mata memang.
Tapi kenapa aku merasa jika ada yang mengawasiku? Seolah sekarang ini ada yang menyorotkan matanya pada diriku entah dari posisi yang mana.
Katanya, manusia punya kemampuan seperti ini.
Namun—
"Nab!"
"Jenab!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
